Sebagaimana yang Anda ketahui bahwa “negara” Israel tidak memiliki
sejarah yang panjang. “Negara” Israel berdiri pada beberapa dasawarsa
terakhir dengan mencaplok tanah Palestina. Kawasan ini bernama Palestina
dan Suriah yang telah dikenal sebelumnya dalam sejarah.
Adapun tentang wilayah Palestina sebagian ahli tafsir berkata, “Yang dimaksud dengan tanah suci pada ayat berikut ini adalah Palestina.
﴿یا
قَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتی کَتَبَ اللهُ لَکُمْ
وَلا تَرْتَدُّوا عَلى أَدْبارِکُمْ فَتَنْقَلِبُوا خاسِرینَ﴾
“Hai
kaumku, masuklah ke tanah suci yang telah ditentukan Allah bagimu, dan
janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu
menjadi orang-orang yang merugi.” (Qs. Al-Maidah [5]:21).
Hanya saja terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir dalam hal ini.
Pada tafsir Amili sesuai nukilan dari Thabari disebutkan, “Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir Terkait dengan makna ‘al-ardh al-muqaddasa.’ Sebagian berkata bahwa daerah itu adalah Suriah.
Sebagian lain berkata
bahwa maksudnya adalah Yerikho dan sebagian lainnya berkata, “Damaskus,
Palestina dan sebagian Yordania. Namun kita tidak memiliki dalil valid
untuk menentukan daerah mana yang dimaksud secara umum kita katakan
bahwa maksud dari al-ardh al-muqaddasah itu adalah yang terbentang antara Sungai Nil dan Furat.”[1]
Dari ayat-ayat lainnya sesuai dengan kutipan sebagian ahli tafsir disebabkan oleh sebuah indikasi bahwa yang dimaksud sebagai tanah suci itu adalah Palestina adalah ayat mulia ini:
﴿وَ أَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذینَ کانُوا یُسْتَضْعَفُونَ مَشارِقَ الْأَرْضِ وَ مَغارِبَهَا الَّتی بارَکْنا فیها﴾
“Dan
Kami wariskan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bagian
timur dan bagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya.” (Qs. Al-A’raf [17]:137).
Allamah Thabathabai terkait dengan penafsiran ayat ini berkata, “Nampaknya secara lahir maksud dari ‘ardh’ adalah negeri Suriah dan Palestina. Frase ayat ‘allati barakna fiha’ (Kami beri berkah padanya) yang menunjukkan hal ini. Karena Allah Swt hanya menyebut ‘berkah’ pada negeri selain Ka’bah yaitu negeri suci yang berada di sekitar Palestina dan maknanya adalah, “Kami wariskan negeri suci dan negeri-negeri bagian timur dan bagian baratnya kepada Bani Israel yang telah ditindas dan berada dalam kondisi lemah serta tidak berdaya.”[2]
Dalam pada itu, ayat-ayat yang berkenaan dengan pembangkangan Bani Israel dan penjelasan turunnya azab ke atas mereka ditafsirkan sebagai negeri Palestina.
Sebagian ahli tafsir dalam menafsirkan ayat berikut:
وَ قُلْنا مِنْ بَعْدِهِ لِبَنی إِسْرائیلَ اسْکُنُوا الْأَرْضَ فَإِذا جاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ جِئْنا بِکُمْ لَفیفاً
“Dan
sesudah (Fir’aun), Kami berfirman kepada Bani Isra’il, “Diamlah di
negeri (Mesir dan Syam) ini. Tetapi apabila datang janji akhirat,
niscaya Kami datangkan kamu dalam keadaan bercampur baur (dengan musuhmu
di padang pengadilan).” (Qs. Al-Isra [17]:104).
Mereka berkata demikian:
Ayat, “Tetapi apabila datang janji akhirat, niscaya Kami datangkan kamu dalam keadaan bercampur baur” ditujukan kepada Bani Israel dan maksud al-akhirah adalah hari kiamat. ‘Lafifan’ artinya kalian dikumpulkan pada satu tempat dalam kondisi bercampur baur. Maksud dari ayat ini adalah memberikan ancaman kepada kaum Bani Israel karena ulahnya menciptakan fitnah dan kerusakan di muka bumi.
Penafsiran ini dapat disimpulkan dari bentuk lahir ayat. Sekiranya
tafsir birray itu dibenarkan kami akan menyebutkan bahwa kata ‘lafif’
itu menengarai tentang berkumpulnya orang-orang Yahudi dan Zionis dari
pelbagai belahan dunia di Palestina dan Allah Swt segera akan menjadikan
sebuah kaum yang kuat beperang berkuasa atas mereka (rakyat Palestina)
dan penderitaan nampak di wajah-wajah mereka dan janji Ilahi bersifat
pasti dan niscaya akan terlaksana..”[3]
[1]. Ibrahimi Amili, Tafsir Amili; Ali Akbar Ghaffari, jil. 3, hal. 254, Intisyarat Shaduq, Teheran, 1360 S.
[2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 8, hal. 228, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kelima, 1417 H.
[3]. Muhammad Jawad Mughniyah, Tafsir al-Kâsyif, jil. 5, hal. 93, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1424 H.
Post a Comment
mohon gunakan email