Pesan Rahbar

Home » , , , , , , , , » Tolong Anda jelaskan asas dan tipologi pemikiran Syiah?

Tolong Anda jelaskan asas dan tipologi pemikiran Syiah?

Written By Unknown on Saturday 19 July 2014 | 14:45:00


A. Asas pemikiran Syiah dan sumber seluruh maarif (plural pengetahuan) Syiah adalah al-Qur'an. Syiah memandang seluruh ayat-ayat dzahir Al-Qur’an, demikian juga perilaku dan perbuatan, bahkan diamnya Nabi Saw sebagai hujjah (argumen). Dan selanjutnya juga memandang ucapan, perilaku dan diamnya para Imam Maksum juga sebagai hujjah. Di samping al-Qur'an menjelaskan hujjiyah (argumentatifnya) lewat penalaran akal, al-Qur'an juga menyokong jalan mukasyafah (penyingkapan) dan syuhud (penyaksian) untuk meraup berbagai pengetahuan dan makrifat.

Asas pemikiran semacam ini dapat dirumuskan dengan beberapa perkara di bawah ini:
1. Keyakinan terhadap keesaan Allah Swt dan kesucian-Nya dari segala kekurangan, serta seluruh sifat-Nya dihiasi dengan kesempurnaan.
2.   2. Keyakinan terhadap husn dan qubh aqli (kebaikan dan keburukan yang ditimbang dalam pandangan akal) dan bahwa akal memahami bahwa Allah Swt tidak akan mengerjakan perbuatan-perbuatan tercela dan buruk.
3.   3. Keyakinan terhadap kemaksuman pada para nabi Ilahi dan kepamungkasan kenabian Rasulullah Saw.
4.   4. Keyakinan bahwa hanya Allah yang mengangkat khalifah Rasulullah melalui Nabi Saw atau imam sebelumnya. Dan jumlah khalifah Rasulullah Saw adalah dua belas orang dimana yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan yang terakhir adalah Imam Mahdi Ajf yang kini hidup dan menantikan titah Ilahi (bagi kemunculannya).
5.   5. Keyakinan terhadap kehidupan setelah kematian dan bahwa manusia akan mendapatkan ganjaran atau hajaran atas segala perbuatan yang dilakukannya di dunia.
B. Untuk menjawab secara detil pertanyaan ini mengharuskan kami untuk menyusun beberapa jilid kitab. Akan tetapi secara ringkas kami akan menyebutkan beberapa poin di bawah ini: Sumber Pertama Mazhab Syiah dalam Meraup Pengetahuan Sumber pertama yang dijadikan sandaran oleh mazhab Syiah adalah al-Qur'an. Al-Qur'an merupakan sertifikat dan bukti definitif kenabian secara umum dan abadi Rasulullah Saw. Kandungan-kandungannya adalah seruan kepada Islam. Akan tetapi menjadi Qur'an sebagai sumber pertama tidak bermakna menafikan sumber-sumber dan hujjah-hujjah lainnya. Melainkan sebagaimana yang akan kami jelaskan bahwa al-Qur'an sendiri menjelaskan sumber-sumber lainnya.

Jalan-jalan yang diperkenalkan al-Qur'an untuk Pemikiran Mazhab Al-Qur'an lewat ajaran-ajarannya menjelaskan tiga jalan bagi kaum Muslimin untuk sampai dan mencerap tujuan-tujuan agama dan maarif Islam.

Hal-hal Lahir pada Agama Kita melihat al-Qur'an dalam penjelasan-penjelasannya menjadikan seluruh manusia sebagai obyek pembicaraan. Terkadang al-Qur'an tidak menggunakan argumentasi dalam penyampaiannya dan hanya bersandar pada firman-firman Allah Swt untuk mengajak manusia menerima asas-asas agama: seperti tauhid, kenabian, ma'ad. Begitu juga dengan hukum-hukum praktis seperti, perintah shalat, puasa dan sebagainya, dan melarang sebagian perbuatan. Sekiranya penjelasan-penjelasan redaksional al-Qur'an ini tidak dipandang sebagai hujjah maka sekali-kali al-Qur'an tidak akan pernah meminta manusia untuk menerima dan mentaati seruan-seruannya.

Akan tetapi hal-hal lahir (zhawahir) pada agama tidak terbatas pada ayat-ayat al-Qur'an, bahkan penjelasan-penjelasan, perbuatan dan diamnya (taqrir) Rasulullah Saw berdasarkan pada ayat-ayat lahir al-Qur'an itu dipandang sebagai hujjah. "Laqad kana lakum fii Rasulullah Uswatun Hasanah." (Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan, Qs. Al-Ahzab [33]:21).

Demikian juga melalui riwayat yang mutawatir dari Rasulullah Saw yang menegaskan bahwa ucapan, perbuatan dan diamnya Ahlulbaitnya (para Imam Maksum As) adalah laksana ucapan, perbuatan dan diamnya Rasulullah Saw sendiri.

Adapun hadis-hadis yang dinukil dari sahabat, selagi sesuai dengan ucapan atau perbuatan Nabi Saw dan tidak berseberangan dengan hadis Ahlulbait maka hadis-hadis tersebut dapat diterima. Dan apabila memuat pendapat pribadi sahabat maka hal itu tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dan hukum yang dikeluarkan oleh sahabat adalah seperti hukum yang dikeluarkan kaum Muslimin secara umum. Hal yang dapat dijadikan bukti bagi kita adalah bahwa sahabat sendiri dengan sahabat yang lainnya melakukan perbuatan seperti ini.
Penalaran Akal
Pada kebanyakan ayat-ayat Al-Qur'an manusia dibimbing kepada penalaran rasional dan menyeru kepada manusia untuk berpikir, berinteleksi, berkontemplasi pada ayat-ayat afaq (kosmos) dan anfus (diri). Dan al-Qur'an sendiri melakukan penalaran rasional untuk menyingkap berbagai realitas dan hakikat.  Al-Qur'an tidak berkata bahwa pertama kebenaran maarif Islam itu diterima kemudian menggunakan penalaran dan ekspostulasi rasional lalu memproduksi maarif yang disebutkan. Melainkan dengan kepercayaan sempurna pada realitas, al-Qur'an sendiri berkata: usunglah argumen dan dari situ kebenaran maarif yang disebutkan akan engkau jumpai dan terima. Bukan pertama berimanlah kemudian mencocok-cocokannya dengan al-Qur'an dengan mengusung argumentasi dan dalil.

Argumentasi-argumentasi dan penalaran-penalaran akal yang digunakan manusia dengan fitrahnya untuk menetapkan dan membuktikan pandangan-pandangannya terdiri dari dua bagian: Pertama, burhan (argumen) dan kedua jadal (dialektika).

"Burhan" adalah argumen yang premis-premisnya adalah bersandar pada fakta dan realitas. Dengan kata lain, proposisi-proposisi yang dibangunnya dapat diterima dan dibenarkan oleh akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Sebagaimana kita ketahui bahwa bilangan tiga lebih kecil dari bilangan empat. Pemikiran semacam ini adalah pemikiran rasional. Dan apabila dipraktikkan pada hal-hal universal yang terkait dengan alam semesta seperti pemikiran tentang awal penciptaan dan akhir dari alam semesta dan penghuninya maka pemikiran semacam ini disebut sebagai pemikiran filosofis.

"Jadal" (dialektika) adalah sebuah argumen yang diadopsi dari seluruh atau sebagian hal-hal yang populer (masyhurat) atau yang diterima secara umum (musallamat). Sebagaimana hal ini umum digunakan oleh pemeluk agama-agama dan penganut mazhab-mazhab untuk menetapkan pandangan-pandangan mazhabnya dengan kaidah-kaidah yang diterima secara umum. Al-Qur'an menggunakan kedua metode ini dan banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menyebutkannya.

Pertama, al-Qur'an memerintahkan manusia untuk berpikir bebas pada hal-hal universal alam semesta, pada tatanan seluruh semesta dan tatanan-tatanan khusus seperti tatanan langit, bintang gemintang, perputaran siang dan malam, bumi, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Al-Qur'an memuji penjelasan yang paling diterima akal.

Kedua, al-Qur'an memerintahkan manusia untuk berpikir dialektis yang umumnya disebut sebagai pembahasan teologis, dengan syarat dilakukan dengan sebaik-baik model (untuk mengekspresikan kebenaran dengan baik dan tanpa sikap keras kepala).[1]
Terdepannya Syiah dalam Pemikiran Filosofis dan Teologis dalam Islam
Orang-orang yang familiar dengan perbuatan-perbuatan sahabat Rasulullah Saw dengan baik mengetahui bahwa di antara seluruh peninggalan sahabat yang kini berada di tangan kaum Muslimin, tidak ada satu pun yang dinukil bersumber dari para sahabat apalagi yang berupa pemikiran filosofis. Akan tetapi, dengan mudah kita jumpai penjelasan-penjelasan aktraktif Amirul Mukminin yang mengemukakan pembahasan teologis yang merupakan pemikiran filosofis yang paling dalam.

Para sahabat dan tabi'in dan orang-orang Arab pada masa itu tidak satu pun yang mengenal pemikiran bebas filsafat. Tidak satu pun dijumpai satu contoh kuriositas filsafat dari ucapan-ucapan ulama yang hidup pada dua abad pertama hijriah. Satu-satunya penjelasan-penjelasan yang mendalam filsafat dapat dijumpai pada para Imam Syiah khususnya Imam Pertama dan Imam Kedelapan Syiah yang memiliki khazanah tak-terbatas pemikiran-pemikiran filsafat. Merekalah yang memperkenalkan pemikiran-pemikiran filosofis ini kepada sekelompok murid mereka.

Pemikiran filsafat kendati tersohor pada awal-awal abad ketiga Hijriah seiring dengan penerjemahan kitab-kitab filsafat Yunani di kalangan kaum Muslimin akan tetapi di kalangan mayoritas Ahlusunnah hingga abad ketujuh tidak bertahan lama, dengan kepergian Ibnu Rusyd Andalusia, filsafat juga mengalami nasib yang sama. Berbeda  dengan yang terjadi dikalangan Syiah, filsafat sesaatpun tidak pernah berakhir dan faktor yang paling berpengaruh dalam proses terjaga dan terpeliharanya model pemikiran ini di kalangan Syiah adalah khazanah ilmiah yang diwariskan oleh para Imam Syiah. Untuk menjelaskan masalah ini cukup kita membandingkan khazanah keilmuan Ahlulbait dengan kitab-kitab filsafat yang ditulis sepanjang perjalanan sejarah; karena dengan jelas akan kita dapatkan bahwa hari demi hari filsafat semakin dekat kepada khazanah keilmuan yang disebutkan hingga abad kesebelas Hijriah yang satu sama lain saling mencocokkan dan tidak lagi tersisa jarak yang membentang kecuali pada ungkapan-ungkapan dan masalah redaksional saja.
Penyingkapan (mukasyafah) dan Penyaksian (syuhud)
Al-Qur'an secara menarik menerangkan bahwa seluruh maarif bersumber dari konsep tauhid dan monotheisme yang sejati. Monotheisme yang sempurna berasal dari orang-orang yang telah melupakan dirinya dan mengerahkan seluruh fakultas dirinya menghadap ke alam atas dan dengan keikhlasan dan penghambaan, memijari pandangannya dengan cahaya Tuhan dan dengan mata yang realistis menyaksikan seluruh hakikat segala sesuatu, malakut langit dan bumi. Lewat "keikhlasan dan penghambaan" serta iman yang kuat, malakut langit dan bumi serta kehidupan abadi tersingkap baginya.

Dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur'an berikut ini klaim ini akan menjadi jelas:
"Dan sembahlah Tuhanmu sampai keyakinan (ajal) datang kepadamu." (Qs. Al-Hijr [15]:99)
"Sungguh kamu benar-benar akan melihatnya dengan ainul yakin." (Qs. Al-Takatsur [102]:5-6).

"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Qs. Al-Kahf [18]:110).

Irfan Syiah.
Pertama, sumber kemunculan Irfan dalam Islam harus dipandang berasal dari penjelasan-penjelasan elokuen Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As dalam masalah hakikat-hakikat irfani dan tingkatan-tingkatan kehidupan maknawi dimana hal ini menjadi khazanah tak-terbatas kemudian mewariskan maarif ini kepada umat manusia.

Kedua, pengamalan tuntutan-tuntutan syariat dalam sair dan suluk serta menyelaraskan sair dan suluk dengan aturan-aturan syariat merupakan faktor yang paling penting dalam menjaga irfan Syiah dari berbagai penyimpangan pemikiran dan moral.[2]

Persembahan Pemikiran Syiah dalam Domain Teologi
Apa yang hingga kini kami jelaskan adalah mengenai pemikiran Syiah secara ringkas. Akan tetapi hadiah dan persembahan pemikiran seperti ini sangatlah luas pada tataran praktis dan keyakinan. Bahkan untuk sekedar menyebut judul-judul dan sub-judul juga sangat panjang. Karena itu, di sini kita hanya akan menyebutkan sebagian judul dan sub-judul pelbagai persembahan pemikiran Syiah pada domain teologi (kalam) dan kami akan alokasikan pembahasan yang lebih rinci dan jelas mengenai persembahan pemikiran Syiah dalam domain teologi dan jurisprudensi pada kesempatan mendatang:

1. Keyakinan terhadap keberadaan Tuhan merupakan konsep yang diterima secara umum oleh agama-agama Ilahi dan dengan banyak jalan argumentasi dan penalaran rasional yang dikemukakan terkait dengan masalah ini.
2. Tingkatan pertama tauhid adalah tauhid dzati dan sebagai ikutannya adalah tauhid perbuatan. Artinya Allah Swt itu Esa dan tiada yang menyerupai-Nya. Dzat-Nya adalah simpel (basith) dan bukan rangkapan. Rangkapan rasional dan luaran (khariji) tidak berlaku bagi-Nya. Dzat Tuhan terhiasi dengan seluruh sifat kesempurnaan dan terjauhkan dari segala cela dan kekurangan. Sifat-Nya bukan merupakan tambahan bagi Dzat-Nya dan dalam mengerjakan segala urusan-Nya, Dia tidak memerlukan sesuatu atau siapa pun. Dan tiada satu pun entitas dan eksisten yang dapat mengulurkan bantuan kepada-Nya.[3]
3. Alam semesta tidak memiliki Pemeliharan dan Pengatur selain Tuhan. Dan pengatur-pengatur lainnya seperti para malaikat hanya dapat menunaikan tugasnya tatkala mendapatkan izin dari Allah Swt.
4. Tauhid dalam ibadah merupakan konsep yang dianut secara umum di kalangan seluruh syariat-syariat samawi. Dan tujuan diutusnya para nabi adalah mengingatkan dan menegaskan konsep ini.
5. Keyakinan terhadap syafaat dan tawassul. Sesuai dengan ajaran-ajaran al-Qur'an keduanya tidak bertentangan dengan ajaran tauhid dan tidak termasuk sebagai perbuatan syirik.
6. Keyakinan terhadap husn dan qubh aqli (perbuatan baik dan buruk yang ditimbang dengan akal). Hal ini menegaskan bahwa akal manusia dapat memahami bahwa Allah Swt sekali-kali tidak akan mengerjakan perbuatan buruk lagi tercela dan dan segala sifat aniaya ternafikan dari-Nya.[4]
7. Keyakinan terhadap husn dan qubh aqli memiliki hasil yang banyak dimana salah satu hasilnya adalah keyakinan terhadap keadilan ('adalah). Dan keadilan itu sendiri memiliki cabang dan bagian yang banyak: misalnya keadilan Tuhan (dimana keyakinan terhadap keadilan Tuhan membuka gerbang-gerbang maarif, menuntaskan pelbagai problema teologis) kemestian adilnya seorang mujtahid, para hakim dan pemimpin politik dan sosial, imam jamaah, kesaksian di pengadilan dan sebagainya.
8. Keyakinan terhadap "amr baina al-amrain" (in between) dalam pembahasan determinisme (jabr) dan ikhtiar (freewill).[5]
9. Kehendak Ilahi yang penuh hikmah menuntut bahwa supaya manusia sampai pada kesempurnaan maka Allah mengutus para nabi kepada manusia dan tidak memandang bahwa peran akal memadai dalam membimbing manusia mencapai tujuan-tujuan penciptaan yang tinggi.
10. Para nabi Allah Swt, dalam proses penerimaan dan penyampaian wahyu kepada umat manusia terpelihara dan terjaga dari kesalahan yang disengaja ataupun tidak.
11. Para nabi Allah Swt terpelihara dari segala jenis dosa dan perbuatan tercela.
12. Nabi Muhammad Saw merupakan nabi terakhir dari silsilah kenabian dimana kenabiannya disertai tantangan dengan mukjizat abadinya.
13. Ajaran Islam merupakan ajaran universal yang bersifat semesta bukan bersifat lokal dan regional, tribal atau kesukuan.
14. Nabi Saw adalah Nabi terakhir, kitabnya merupakan penutup kitab-kitab dan syariatnya juga merupakan syariat pamungkas dari silsilah syariat samawi.
15. Kitab samawi kaum Muslimin terjaga dari segala jenis distorsi, tiada sesuatu pun yang ditambahkan kepadanya juga tiada sesuatu yang dikurangi.
16. Kehendak Ilahi yang penuh hikmah menuntut bahwa Nabi Saw memperkenalkan imam dan pemimpin setelahnya dan beliau juga dengan menentukan dan mengangkat Ali bin Abi Thalib As sebagai khalifah setelahnya pada pelbagai kesempatan telah menunaikan tugas ini dengan baik.
17. Tugas imam setelah wafatnya Rasulullah Saw adalah: Menjelaskan al-Qur'an, menerangkan hukum-hukum syariat, menjaga masyarakat dari penyimpangan, menjawab seluruh pertanyaan yang bersangkutan dengan agama dan keyakinan, mengimplementasikan keadilan di tengah masyarakat, membentengi demarkasi-demarkasi Islam dari musuh-musuh.
18. Imam dan khalifah Rasulullah Saw dari sisi keilmuan dan moralitas senantiasa mendapatkan perhatian Ilahi dan mendapatkan pelbagai pengajaran melalui bantuan gaib; artinya seorang maksum, sebagaimana Rasulullah Saw, harus terpelihara dari segala jenis kesalahan, alpa dan kelalaian serta maksum dari pelbagai dosa. Atas dasar ini, hanya Tuhan yang dapat menentukan dan mengidentifikasi imam dan hal itu dilakukan melalui Nabi Saw atau imam sebelumnya.
19. Khalifah Rasulullah Saw adalah dua belas orang dan redaksi "itsna 'asyar khalifah" (dua belas khalifah) yang disebutkan pada sumber-sumber kedua mazhab dimana khalifah pertamanya adalah Ali bin Abi Thalib dan khalifah terakhirnya adalah Imam Mahdi bin Hasan al-Askari Ajf.
20. Nama-nama suci para imam dan khalifah Rasulullah Saw secara runut sebagai berikut: 1. Ali bin Thalib. 2. Hasan bin Ali. 3. Husain bin Ali. 4. Ali bin Husain. 5. Muhammad bin Ali. 6. Ja'far bin Muhammad. 7. Musa bin Ja'far. 8. Ali bin Musa. 9. Muhammad bin Ali. 10. Ali bin Muhammad. 11. Hasan bin Ali. 12. Muhammad bin Hasan (Imam Mahdi Ajf).
21. Imam Keduabelas Imam Mahdi Mau'ud (yang dijanjikan) putra Imam Hasan Askari lahir pada tahun 255 Hijriah di Samarra (Irak) dan hingga kini masih hiup serta sedang menanti titah Ilahi untuk bangkit (menegakkan pemerintahan berkeadilan). Pada masa ghaibah Imam Mahdi Ajf yang menjabat sebagai pemimpin dan leader pemerintahan Islam adalah wali fakih.[6]
22. Di antara tipologi pemikiran Syiah adalah terbukanya pintu ijtihad; artinya pada ranah fikih dan hukum-hukum praktis, kaum Syiah memandang bahwa penerapan kaidah-kaidah universal atas masalah-masalah partikular dan inferensi aturan-aturan syariat dari teks-teks agama tetap terbuka dan tidak terbatas pada apa yang dipahami oleh orang-orang terdahulu.
23. Kemunculan seseorang dari keluarga Nabi Saw di akhir zaman untuk menegakkan keadilan dan menyampaikan manusia kepada kesempurnaan yang sesungguhnya merupakan salah satu keyakinan yang diterima dalam Islam dimana banyak hadis dari kedua mazhab, Syiah dan Sunni, yang menegaskan hal ini. Bahkan kemunculan seorang penyelamat merupakan salah satu keyakinan agama-agama dan mazhab-mazhab yang ada di dunia dewasa ini. Seperti agama Kristen, Yahudi, Zarasustra dan sebagainya.[7]
24. Keyakinan terhadap adanya raj'at dan bahwa sebagian orang setelah kematian dan sebelum digelarnya gelanggang kiamat akan kembali ke dunia.[8]
25. Keyakinan terhadap kehidupan pasca kematian dan manusia memperoleh ganjaran atas amal baiknya dan hukuman atas amal buruknya di alam akhirat dan bahwa kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Melainkan manusia dengan kematian akan berpindah ke dunia yang lain dan melintasi terminal antara alam dunia dan alam akhirat yang disebut sebagai barzakh yang memiliki kehidupan, nikmat dan azab tertentu.[9]

Referensi:

[1]. “Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Qs. Al-Isra [18]:114)

[2]. Untuk telaah lebih jauh, silahkan lihat: Allamah Thabathabai, Syiah dar Islam, hal-hal. 75-114.  
[3]. Untuk telaah lebih jauh, silahkan lihat Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Amuzesy Aqaid, hal. 136-137.  
[4]. Untuk telaah lebih jauh, silahkan lihat Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Amuzesy Aqaid, hal. 162-167.  
[5]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat Indeks: Perkara di antara Dua Perkara, pertanyaan 58 (Site:294)
[6]. Untuk telaah lebih jauh dan mengetahui lebih jeluk ihwal Pemikiran Politik Syiah, silahkan lihat makalah-makalah tentang Wilayah Fakih pada site ini.  
[7]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat Indeks: Imam Mahdi dalam Perspektif Syiah, pertanyaan 168 (Site: 1375)
[8]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat Indeks: Apa yang dimaksud dengan Raj'at? Siapa saja yang dapat melakukan Raj'at?, pertanyaan 247 (Site: 1112)
[9]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Ja'far Subhani, Mansyur-e Aqaid Imamiyah.


Apa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah ?
 



Mau Tahu Perbedaan Sunni dan Syiah?

Syi’ah.
Allah-eser-green.pngSyi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Muslim Syi’ah mengikuti Islam sesuai yang diajarkan oleh NabiMuhammad dan Ahlul Bait-nya. Syi’ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi’ah. Bentuk tunggal dari Syi’ah adalah Shī`ī (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi’ah.

Perangko Iran bertuliskan Hadits Gadir Kum. Ketika itu Muhammad menyebut Ali sebagai mawla.

Istilah Syi’ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī شيعي.

“Syi’ah” adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya “pengikut Ali”, yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: “Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung” (ya Ali anta wa syi’atuka humulfaaizun).[1]

Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.[2] Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau.[3] Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi’ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.

Ikhtisar.
Muslim Syi’ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi’ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur’andan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.

Secara khusus, Muslim Syi’ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluargaAhlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh MuslimSunni. Muslim Syi’ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.

Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi’ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur’an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi’ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.

Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi’ah mengakui otoritas Imam Syi’ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi’ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.

Doktrin.
Dalam Syi’ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu’uddin {masalah penerapan agama). Syi’ah memiliki Lima Ushuluddin:

1. Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
2. Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
3. An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi’ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia.
4. Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian.
5. Al-Ma’ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan.

Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin (Al Hadid / QS. 57:3). Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang).Dimensi ketuhanan ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin (Al Hadid / QS. 57:3). Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang). Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan / QS. 25:2) Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS. 22:70) Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al-Maa’idah / QS. 5:17) Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An’am / QS 6:149) Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96) Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22). Allah yang menentukan segala akibat.

Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan / QS. 25:2) Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS. 22:70) Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al-Maa’idah / QS. 5:17) Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An’am / QS 6:149) Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96) Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22). Allah yang menentukan segala akibat. nabi sama seperti muslimin lain.

I’tikadnya tentang kenabian ialah:
1. Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
2. Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad SAW.
3. Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada.
4. Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
5. Al-Qur’an ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad SAW.

Sekte dalam Syi’ah.
Syi’ah terpecah menjadi 22 sekte[rujukan?]. Dari 22 sekte itu, hanya tiga sekte yang masih ada sampai sekarang, yakni:
Dua Belas Imam.

Disebut juga Imamiah atau Itsna ‘Asyariah (Dua Belas Imam); dinamakan demikian sebab mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan imam mereka yaitu:

1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin.
2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid.
4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin.
5. Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir.
6. Jafar bin Muhammad (703–765), juga dikenal dengan Ja’far ash-Shadiq.
7. Musa bin Ja’far (745–799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
8. Ali bin Musa (765–818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha.
9. Muhammad bin Ali (810–835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi.
10. Ali bin Muhammad (827–868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
11. Hasan bin Ali (846–874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari.
12. Muhammad bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi.

Ismailiyah
Disebut juga Tujuh Imam; dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari ‘Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma’il. Urutan imam mereka yaitu:

1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin.
2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba.
3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid.
4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5. Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir.
6. Ja’far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja’far ash-Shadiq.
7. Ismail bin Ja’far (721 – 755), adalah anak pertama Ja’far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.

Zaidiyah
Disebut juga Lima Imam; dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum ‘Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:

1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5. Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.

Kontroversi tentang Syi’ah.

Sebagian Sunni menganggap firqah (golongan) ini tumbuh tatkala seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba yang menyatakan dirinya masuk Islam, mendakwakan kecintaan terhadap Ahlul Bait, terlalu memuja-muji Ali bin Abu Thalib, dan menyatakan bahwa Ali mempunyai wasiat untuk mendapatkan kekhalifahan. Syi’ah menolak keras hal ini. Menurut Syiah, Abdullah bin Saba’ adalah tokoh fiktif.Hubungan antara Sunni dan Syi’ah telah mengalami kontroversi sejak masa awal terpecahnya secara politis dan ideologis antara para pengikut Bani Umayyah dan para pengikut Ali bin Abi Thalib.

Sebagian kaum Sunni menyebut kaum Syi’ah dengan nama Rafidhah, yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna meninggalkan.[4] Dalam terminologi syariat Sunni, Rafidhah bermakna “mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakar dan Umar bin Khattab, berlepas diri dari keduanya, dan sebagian sahabat yang mengikuti keduanya”.

Namun terdapat pula kaum Syi’ah yang tidak membenarkan anggapan Sunni tersebut. Golongan Zaidiyyah misalnya, tetap menghormati sahabat Nabi yang menjadi khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib. Mereka juga menyatakan bahwa terdapat riwayat-riwayat Sunni yang menceritakan pertentangan di antara para sahabat mengenai masalah imamah Abu Bakar dan Umar.[5]

Sebutan Rafidhah oleh Sunni.
Sebutan Rafidhah ini erat kaitannya dengan sebutan Imam Zaid bin Ali yaitu anak dari Imam Ali Zainal Abidin, yang bersama para pengikutnya memberontak kepada Khalifah Bani Umayyah Hisyam bin Abdul-Malik bin Marwan di tahun 121 H.[6]

1. Syaikh Abul Hasan Al-Asy’ari berkata: “Zaid bin Ali adalah seorang yang melebihkan Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakar dan Umar, dan memandang bolehnya memberontak terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakar dan Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka: “Kalian tinggalkan aku?” Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii“.[7]

2. Pendapat Ibnu Taimiyyah dalam “Majmu’ Fatawa” (13/36) ialah bahwa Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah; karena tidak semua Syi’ah menolak Abu Bakar dan Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah.

3. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau (Imam Ahmad) menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakar dan Umar’.”[8]

4. Pendapat yang agak berbeda diutarakan oleh Imam Syafi’i. Meskipun mazhabnya berbeda secara teologis dengan Syi’ah, tetapi ia pernah mengutarakan kecintaannya pada Ahlul Bait dalam diwan asy-Syafi’i melalui penggalan syairnya: “Kalau memang cinta pada Ahlul Bait adalah Rafidhah, maka ketahuilah aku ini adalah Rafidhah”.[9]

Referensi:
^ Riwayat di Durul Mansur milik Jalaluddin As-Suyuti
^ Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji
^ Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm
^ Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829
^ Baca al-Ghadir, al-Muroja’ah, Akhirnya Kutemukan Kebenaran, dll
^ Badzlul Majhud, 1/86
^ Maqalatul Islamiyyin, 1/137
^ Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Ibnu Taimiyyah
^ Abu Zahrah, Muhammad. Imam Syafi’i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Penyunting: Ahmad Hamid Alatas, Cet.2 (Jakarta: Lentera, 2005).

Dimanakah letak perbedaan dua mazhab besar Islam, Sunni dan Syiah?. Ternyata, menurut Ketua Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rahmat, terletak dasar hadits yang digunakan kedua aliran besar tersebut.”Sunni memiliki empat mazhab Hambali, Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Apakah ajaran keempat mazhab itu sama? Tidak ada yang berbeda,” katanya dalam seminar dan deklarasi Majelis Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN) di Masjid Akbar, Kemayoran, Jakarta, Jumat (20/5).

Jalaluddin mengatakan perbedaan keduanya hanya terletak pada hadits. Jika hadits Sunni paling besar berasal dari sahabat nabi seperti Abu Hurairoh, maka hadtis Syiah berasal dari Ahlul Bait (Keluarga Nabi Muhammad SAW). “Jadi bukan berarti ajaran Sunni itu salah, dan Syiah sebaliknya,” ujarnya.Hal senada diutarakan Duta Besar Iran untuk Indonesia Mahmoud Farazandeh, yang menyebut “Perbedaan Sunni dan Syiah di Iran lebih bermuatan politik.

“Sementara Pandu Iman Sudibyo, salah satu penganut Syiah dari Bengkulu, lalu mengajukan contoh praktik Syiah di daerahnya yang disebut tidak mendiskriminasi penganut Syiah di Bengkulu. “Kami hidup rukun dan kami lebih mengedepankan rasional,” kata ketua IJABI Bengkulu tersebut.Di Bengkulu, katanya, setiap tahun malah ada perayaan Tabot untuk menghormati kematian Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu nabi, yang bertepatan dengan hari Asyuro (10 Muharram). “Banyak turis asal Iran yang melihat perayaan Tabot di Bengkulu,” katanya.

Tulisan ini adalah tanggapan sederhana atas tulisan di situs ini yang berjudul Apa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah ?. . Tulisan yang bercetak miring adalah tulisan di situs tersebut. Sebelumnya perlu diingatkan bahwa apa yang penulis(saya) sampaikan adalah bersumber dari apa yang penulis baca dari sumber-sumber Syiah sendiri.

Banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) dianggap sekedar dalam masalah khilafiyah Furu’iyah, seperti perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah, antara Madzhab Safi’i dengan Madzhab Maliki.Karenanya dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah, mereka berpendapat agar perbedaan pendapat tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Selanjutnya mereka berharap, apabila antara NU dengan Muhammadiyah sekarang bisa diadakan pendekatan-pendekatan demi Ukhuwah Islamiyah, lalu mengapa antara Syiah dan Sunni tidak dilakukan ?

Penulis(saya) menjawab benar perbedaan Sunni dan Syiah memang tidak sebatas Furu’iyah tetapi juga berkaitan dengan masalah Ushulli. Tetapi tetap saja Syiah adalah Islam . Kita akan lihat nanti. Tidak ada masalah dengan pendekatan Sunni dan Syiah karena tidak semuanya berbeda, terdapat cukup banyak persamaan antara Sunni dan Syiah.

Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sehingga apa yang mereka sampaikan hanya terbatas pada apa yang mereka ketahui. Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan hakikat ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Disamping kebiasaan berkomentar, sebelum memahami persoalan yang sebenarnya

Jawaban saya, kata-kata ini juga bisa ditujukan pada penulis itu sendiri, minimnya pengetahuan dia tentang Syiah kecuali yang di dapat dari Syaikh-syaikhnya. Kemudian berbicara seperti orang yang sok tahu segalanya. Dan berkomentar sebelum memahami persoalan sebenarnya.

Sedangkan apa yang mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh Syiah yang sering berkata bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah seperti perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzahab Syafi’i. Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i, hanya dalam masalah Furu’iyah saja. Sedang perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah), maka perbedaan-perbedaannya disamping dalam Furuu’ juga dalam Ushuul.

Bukankah baik kalau mengenal sesuatu dari sumbernya sendiri yaitu Ulama Syiah. Kalau si penulis itu menganggap Ulama Syiah Cuma berpura-pura lalu kenapa dia tidak menganggap Syaikh-Syaikh mereka itu yang sengaja mendistorsi tentang Syiah. Subjektivitas sangat berperan, anda tentu tidak akan mendengar hal yang baik tentang Syiah dari Ulama yang membenci dan mengkafirkan Syiah. Pengetahuan yang berimbang diperlukan jika ingin bersikap objektif. Sekali lagi perbedaan itu benar tidak sebatas Furu’iyah.

Rukun Iman mereka berbeda dengan rukun Iman kita, rukun Islamnya juga berbeda, begitu pula kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur’an mereka juga berbeda dengan Al-Qur’an kita(Ahlussunnah).

Apabila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah) mengatakan bahwa Al-Qur’annya sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat berbeda dan berlainan.

Kata-kata yang begitu kurang tepat, yang benar adalah Syiah meyakini Rukun Iman dan Rukun Islam yang dimiliki Sunni tetapi mereka merumuskannya dengan cara yang berbeda dan memang terdapat perbedaan tertentu pada Syiah yang tidak diyakini Sunni.
Kitab Hadis Syiah benar berbeda dengan Kitab Hadis Sunni karena Syiah menerima hadis dari Ahlul Bait as(hal ini ada dasarnya bahkan dalam kitab hadis Sunni lihathadis Tsaqalain) sedangkan Sunni sebagian besar hadisnya dari Sahabat Nabi ra.

sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur’an mereka juga berbeda dengan Al-Qur’an kita. Ini adalah kebohongan, yang benar Ulama-Ulama Syiah menyatakan bahwa Al Quran mereka sama dengan Al Quran Sunni. Yang mengatakan bahwa Al Quran Syiah berbeda dengan Al Quran Sunni adalah kaum Syiah Akhbariyah yang bahkan ditentang oleh Ulama-Ulama Syiah. Kaum Akhbariyah ini yang dicap oleh penulis itu sebagai Ulama Syiah. Sudah keliru generalisasi pula. Penafsiran Al Quran yang berlainan bukan masalah, dalam Sunni sendiri perbedaan tersebut banyak terjadi.

Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah mengatakan : Bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) adalah satu agama tersendiri.

Yang berkata seperti ini adalah Ulama-ulama Salafi, karena terdapat Ulama Ahlussunah yang mengatakan Syiah itu Islam seperti Syaikh Saltut, Syaikh Muhammad Al Ghazali, Syaikh Yusuf Qardhawi, dan lain-lain. Sebenarnya yang populer di kalangan Sunni adalah Syiah itu Islam tetapi golongan pembid’ah. Cuma Salafi yang dengan ekstremnya menyebut Syiah agama tersendiri.

Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah ini kami nukilkan sebagian dari perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dengan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).

Saya akan menanggapi satu persatu pernyataan penulis ini:

1. Ahlussunnah : Rukun Islam kita ada 5 (lima)
a) Syahadatain.
b) As-Sholah.
c) As-Shoum.
d) Az-Zakah.
e) Al-Haj.

Syiah : Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda:
a) As-Sholah.
b) As-Shoum.
c) Az-Zakah.
d) Al-Haj.
e) Al wilayah.

Jawaban: Saya tidak tahu apa sumber penukilan penulis ini, yang jelas Syiah juga meyakini Islam dimulai dengan Syahadat. Jadi sebenarnya Syiah meyakini semua rukun Islam Sunni hanya saja mereka menambahkan Al Wilayah. Yang ini yang tidak diakui Sunni, tentu perbedaan ini ada dasarnya.

2. Ahlussunnah : Rukun Iman ada 6 (enam) :
a) Iman kepada Allah.
b) Iman kepada Malaikat-malaikat Nya.
c) Iman kepada Kitab-kitab Nya.
d) Iman kepada Rasul Nya.
e) Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat.
f) Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.

Syiah : Rukun Iman Syiah ada 5 (lima)*
a) At-Tauhid.
b) An Nubuwwah.
c) Al Imamah.
d) Al Adlu.
e) Al Ma’ad.

Syiah jelas meyakini atau mengimani semua yang disebutkan dalam rukun iman Sunni, hanya saja mereka ,merumuskannya dengan cara berbeda seperti yang penulis itu sampaikan. Rukun iman Syiah selain Imamah mengandung semua rukun iman Sunni. Perbedaannya Syiah meyakini Imamah dan Sunni tidak, sekali lagi perbedaan ini ada dasarnya.

3. Ahlussunnah : Dua kalimat syahadat
Syiah : Tiga kalimat syahadat, disamping Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, masih ditambah dengan menyebut dua belas imam-imam mereka

Ini tidak benar karena syahadat dalam Sunni dan Syiah adalah sama Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Tidak mungkinnya pernyataan penulis itu adalah bagaimana dengan mereka orang Islam pada zaman Rasulullah SAW, zaman Imam Ali, zaman Imam Hasan dan zaman Imam Husain. Bukankah jelas pada saat itu belum terdapat 12 imam.

4. Ahlussunnah : Percaya kepada imam-imam tidak termasuk rukun iman. Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul imam-imam, sampai hari kiamat.
Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan.

Syiah : Percaya kepada dua belas imam-imam mereka, termasuk rukun iman. Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka.

Imam Sunni tidak terbatas karena setiap ulama bisa saja disebut Imam oleh orang Sunni. Bagi Syiah tidak seperti itu, 12 imam mereka ada dasarnya sendiri dalam sumber mereka, dan terdapat juga dalam Sumber Sunni tentang 12 khalifah dan Imam dari Quraisy. Intinya Syiah dan Sunni berbeda pandangan tentang apa yang disebut Imam. Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan. Pernyataan ini hanya sekedar persepsi, tidak dibenarkan berdasarkan apa, jelas sekali penulis ini tidak memahami pengertian Imam dalam Syiah.

Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka. Saya tidak tahu apa dasar penulis itu, yang saya tahu Ulama Syiah selalu menyebut Sunni sebagai Islam dan saudara mereka. Anda dapat melihat dalam Al Fushul Al Muhimmah Fi Ta’lif Al Ummah oleh Ulama Syiah Syaikh Syarafuddin Al Musawi(terjemahannya Isu-isu Penting Ikhtilaf Sunnah dan Syiah hal 33 yang membuat bab khusus yang berjudul Keterangan Para Imam Ahlul Bait Tentang Sahnya Keislaman Ahlussunnah) Atau anda dapat merujuk Al ’Adl Al Ilahykarya Murtadha Muthahhari( terjemahannya Keadilan Ilahi hal 271-275).

5. Ahlussunnah : Khulafaurrosyidin yang diakui (sah) adalah :
a) Abu Bakar.
b) Umar.
c) Utsman.
d) Ali Radhiallahu anhum.

Syiah : Ketiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak diakui oleh Syiah. Karena dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai’at dan mengakui kekhalifahan mereka).

Pembahasan masalah ini adalah cukup pelik, oleh karenanya saya akan memaparkan garis besarnya saja. Benar sekali khulafaurrosyidin yang diakui Sunni adalah seperti yang penulis itu sebutkan. Syiah tidak mengakui 3 khalifah pertama karena berdasarkan dalil-dalil di sisi mereka Imam Ali ditunjuk sebagai khalifah pengganti Rasulullah SAW. Pernyataan (padahal Imam Ali sendiri membai’at dan mengakui kekhalifahan mereka), disini lagi-lagi terjadi perbedaan. Sunni berdasarkan sumber mereka menganggap Imam Ali berbaiat dengan sukarela. Tetapi Syiah berdasarkan sumber mereka menganggap Imam Ali berbaiat dengan terpaksa. Hal yang patut diperhitungkan adalah Syiah juga memakai sumber Sunni untuk membuktikan anggapan ini, diantaranya hadis dan sirah yang menyatakan keterlambatan baiat Imam Ali kepada khalifah Abu Bakar yaitu setelah 6 bulan. Sekali lagi perbedaan ini memiliki dasar masing-masing di kedua belah pihak baik Sunni dan Syiah, jika ingin bersikap objektif tentu harus membahasnya secara berimbang dan tidak berat sebelah. Perbedaan masalah khalifah ini juga tidak perlu dikaitkan dengan Islam atau tidak, bukankah masalah khalifah ini jelas tidak termasuk dalam rukun iman dan rukun islam Sunni yang disebutkan oleh penulis itu. Oleh karenanyajika Syiah berbeda dalam hal ini maka itu tidak menunjukkan Syiah keluar dari Islam.

Sebelum mengakhiri bagian pertama ini, ada yang perlu diperjelas. Syiah meyakini rukun iman dan rukun islam Sunni hanya saja Syiah berbeda merumuskannya. Oleh karenanya dalam pandangan Sunni, Syiah itu Islam. Syiah meyakini Imamah yang merupakan masalah Ushulli dalam rukun Iman Syiah. Sunni tidak meyakini hal ini. Dalam pandangan Syiah, Sunni tetap sah keislamannya berdasarkan keterangan dari para Imam Ahlul Bait . Anda dapat merujuk ke sumber yang saya sebutkan.

Syiah Kafir, Omong Kosong “Tong Kosong Nyaring Bunyinya”.

Suara-suara seperti ini selalu dikumandangkan oleh mereka yang mengaku sebagai golongan yang benar. Mereka yang menamakan dirinya Salafi tidak henti-hentinya berkata syiah itu kafir dan sesat. Tentu saja mereka mengikuti syaikh mereka atau ulama salafi yang telah mengeluarkan fatwa bahwa Syiah kafir dan sesat. Salah satu dari ulama tersebut adalah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin.

Tulisan ini merupakan tanggapan dan peringatan kepada mereka yang bisanya sekedar mengikut saja. Sekedar ikut-ikutan berteriak bahwa syiah kafir dan syiah sesat tanpa mengetahui apapun selain apa yang dikatakan syaikh mereka. Jika ditanya, mereka akan mengembalikan semua permasalahan kepada ulama mereka, Syaikh kami telah berfatwa begitu. Padahal setiap orang akan mempertanggungjawabkan perkataannya sendiri dan bukan syaikh-syaikhnya. Apalagi jika perkataan yang dimaksud adalah tuduhan kafir terhadap seorang muslim. Bukankah Rasulullah SAW bersabda “Apabila salah seorang berkata pada saudaranya “hai kafir”, maka tetaplah hal itu bagi salah seorangnya. (Shahih Bukhari Juz 4 hal 47). Artinya jika yang dikatakan kafir itu adalah seorang muslim maka perkataan kafir akan berbalik ke dirinya sendiri. Singkatnya Mengkafirkan Muslim adalah Kafir.

Yang seperti ini sebenarnya sudah cukup untuk membuat orang berhati-hati dalam mengeluarkan kata “kafir”. Jelas sekali adalah kewajiban mereka untuk menelaah apa yang dikatakan oleh syaikh-syaikh mereka. Apakah benar atau Cuma pernyataan sepihak saja?. Sayangnya mereka yang berteriak itu tidak pernah mau beranjak dari pelukan syaikh mereka. Sepertinya dunia ini terbatas dalam perkataan syaikh mereka saja. Heran sekali kenapa mereka tidak pernah menghiraukan apa yang dikatakan oleh ulama sunni yang lain seperti Syaikh-syaikh Al Azhar yaitu Syaikh Mahmud Saltut, Syaikh Muhammad Al Ghazali dan Syaikh Yusuf Al Qardhawi yang jelas-jelas menyatakan bahwa Syiah itu Islam dan saudara kita.
Tentu jika mereka saja tidak mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh ulama sunni yang lain selain syaikh mereka, maka tidak heran kalau mereka tidak pernah mendengarkan apa yang dikatakan Ulama Syiah tentang Bagaimana Syiah sebenarnya. Padahal mereka Ulama Syiah jelas lebih tahu tentang mahzab Syiah ketimbang orang lain. Kaidah tidak percaya adalah sah-sah saja tetapi hal itu harus dibuktikan. Ketidakpercayaan yang tak berdasar jelas sebuah kesalahan. Apa salahnya jika mereka mau merendah hati sejenak mendengarkan apa yang dikatakan ulama syiah tentang syiah dan jawaban ulama syiah terhadap pernyataan syaikh mereka, Insya Allah mereka tidak akan gegabah ikut-ikutan berteriak kafir kepada saudara mereka yang Syiah. Sayangnya sekali lagi mereka tidak mau tapi dengan mudahnya berteriak kafir.

Jadi wajar sekali kalau mereka yang berteriak itu tidak mengetahui bahwa setiap dalil dari syaikh mereka sudah dijawab oleh Ulama Syiah. Dan tidak sedikit dari dalil syaikh mereka itu yang merupakan kesalahpahaman dan sekedar tuduhan tak berdasar. Mereka yang berteriak itu akan berkata “syaikh kami telah berfatwa berdasarkan kitab-kitab syiah sendiri”. Ho ho ho benar sekali dan ulama syiah bahkan telah menjawab syaikh mereka berdasarkan kitab syiah dan kitab yang menjadi pegangan kaum sunni. Tetapi sayang mereka tidak tahu, karena mereka bisanya cuma teriak saja. Tong Kosong Nyaring Bunyinya.

Baiklah anggap saja kita tidak usah memusingkan segala tekstualitas antara ulama sunni dan syiah itu, maka cukup kiranya mereka yang berteriak Syiah kafir itu menjawab pertanyaan ini
Apakah kafir orang yang mengucapkan La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah?
Apakah kafir orang yang menunaikan shalat?
Apakah kafir orang yang berpuasa di bulan Ramadhan?
Apakah kafir orang yang menunaikan zakat?
Apakah kafir orang yang berhaji ke Baitullah?

Saya yakin mereka bisa menjawab, dan jawabannya tidak, mana ada orang kafir yang seperti itu. Orang yang seperti itu jelas-jelas Muslim. Dan sudah menjadi hal yang umum kalau Syiah jelas mengucapkan syahadat, menunaikan shalat, puasa di bulan ramadhan, membayar zakat dan haji ke Baitullah. Jadi jelas sekali Syiah itu Muslim.
Betapa mudahnya mulut mereka berbicara, sungguh aneh sekali ketika pikiran terperangkap dalam kurungan ashabiyah.

Tulisan ini juga ditujukan kepada mereka yang belum tahu tentang Syiah, cukuplah penjelasan bahwa Syiah adalah Islam sama seperti Sunni, perbedaannya mereka Syiah berpedoman pada Ahlul Bait Nabi SAW. Semoga saja siapapun yang belum mengenal Syiah tidak termakan dengan Fatwa-fatwa yang mengkafirkan syiah. Jika tidak tahu cukuplah diam dan lebih baik berprasangka baik. Jangan ikutan berteriak, biarkan saja mereka yang berteriak Syiah kafir. Dan Sekali lagi bagi mereka yang berteriak, Baca, baca lagi dan pikirkan baik-baik. Maaf, Jangan mau membodohi diri dan tampak seperti orang bodoh. Dengarkan ulama sunni yang lain, dan dengarkan pembelaan mereka Ulama Syiah. Jangan maunya sekedar berteriak. Ingatlah Semua orang bertanggung jawab atas apa yang dikatakannya. 


Salam damai.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: