Oleh : Salamuddin, MA.
Pendahuluan.
Mengkaji aplikasi hermeneutika dalam
tradisi Islam tidak terlepas dari tokoh Nars Hamid Abu Zayd. Pemikir ini
sangat terkenal di dunia dan di Indonesia, juga menjadi rujukan para
akademisi. Buku-bukunya telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.
Adalah menarik menyimak bagaimana Nasr
Hamid memandang teks al-Quran, sebagaimana dia paparkan dalam berbagai
bukunya, terutama dalam Mafhum an-Nas Dirasah fii Uluum al-Quran dan
Naqdu al-Khitab ad-Dini. Konsep Nasr Hamid ini membawa dampak pada
metode penafsiran teks al-Quran, di mana ia mengkritisi metode tafsir
Ahlu Sunnah yang menurutnya tidak sesuai dengan konteks kekinian.
Tulisan ini akan coba menguraikan biorafi Nasr Hamid Abu Zayd, Hermeneutika
Nasr Hamid Abu Zayd; Teori Makna dan Signifikansi (الدلالة والمغزى) dan
Posisinya dalam Hermeneutika Barat, Aplikasi Teori Hermeneutika Nasr
Hamid Abu Zayd, dan Analisis Kritis Atas Teori Hermeneutika Nasr Hamid
Abu Zayd.
Biografi.
Nasr Hamid Abu Zayd lahir di Tantra,
Mesir pada 10 Juli 1943. Dia menyelesaikan gelar BA pada 1972
konsentrasi Arabic Studies, gelar MA pada tahun 1977 dan PhD pada 1981
dengan konsentrasi Islamic Studies di Universitas Kairo. Dia bekerja
sebagai dosen di Universitas yang sama sejak 1982. Pada tahun 1992, dia
dipromosikan sebagai profesor, tetapi ditolak karena hasil kerja dan
pemikirannya yang kontroversial, diantaranya menghujat para sahabat,
terutama Uthman Ibn ‘Affan. Menurutnya, Utsman Ibn ‘Affan, mempersempit
bacaan Alquran yang beragam menjadi satu versi, Quraysh.[1]
Belakangan ia divonis “murtad”, dikenal dengan peristiwa “Qadiyyah Nasr
Hamid Abu Zayd”. “Pemurtadan” Nasr tidak berhenti sampai di situ,
tetapi masih terus berlanjut hingga pengadilan banding Kairo menetapkan
Nasr harus menceraikan istrinya. Tindakan ini menurutnya sebagai upaya
melanggengkan hegemoni kaum Quraysh terhadap kaum muslimin. Semenjak
peristiwa itu, dia meninggalkan Mesir dan menetap di Netherlands bersama
istrinya. Awalnya, di Netherland Nasr menjadi profesor tamu studi Islam
pada Universitas Leiden sejak 26 Juli 1995, hingga 27 Desember 2000
dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap di Universitas tersebut.[2]
Nasr Hamid Abu Zayd merupakan ilmuwan
muslim yang sangat produktif, Ia menulis lebih dari dua puluh sembilan
(29) karya sejak tahun 1964 sampai 1999, baik berbentuk buku, maupun
artikel. Ada sembilan karyanya yang penting dan sudah dipublikasikan,
yaitu:
- The al- Qur’an: God and Man in Communication (Lcidcn, 2000).
- Al-Khitab wa al-Ta’wil (Dar el-Beida, 2000).
- Dawair al-Kawf Qira’ah fi al-Khitah al-Mar’ah (Dar el-Beidah, 1999).
- AI-Nass. al-Sultah, al-Haqiqah: a/-Fikr al-Diniy bayna lrdaat alMa’rifah wa lradat al-Haymanah (Cairo, 1995).
- AI- Tafkir fi Zaman al- Tafkir: Didda al-.lahl wa al-Zayf wa alKhurafah (Cairo, 1995).
- Naqd al-Khitab al-Diniy (Cairo, 1994).
- Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum Alquran (1994) (Cairo, 1994).
- Fa/safat a/-Ta’wi!: Dirasah fi a/-Ta’wi! al-Qur ‘an ‘ind Muhyi a/-Din Ibn ‘Arabiy (Beirut, 1993).
- AI-lttijah al-’Aqli fi al-Tafsir: Dirasah Qaqiyyat al-Majaz fi al-Qur ‘an (Beirut, 1982).
Nasr Hamid Abu Zayd hidup dalam hegemoni
wacana agama Islam yang ”terisolasi” dari dunia ilmu pengetahuan Barat.
Perhatiannya yang sangat besar di bidang interpretasi (tafsir) Alquran
rnendorongnya untuk bereksplorasi dengan filsafat Barat, seperti
rasionalisme, kritisisme, Fenomenologi dan hermeneutika.
Hasil eksplorasinya memunculkan beragam
tudingan miring. Tuduhan-tuduhan tersebut muncul sebagai reaksi terhadap
tulisan-tulisan Nasr tentang interpretasi Alquran.[3]
Pemikiran Nasr yang kontroversial
tersebut sebagai produk latar belakang pendidikan dan pemikiran
keagamaannya. Meskipun Nasr sekolah di sekolah Teknik, bahkan ia pernah
bekerja sebagai teknisi elektronik di Organisasi Komunikasi Nasional,
tetapi ia telah hafal Alquran sejak usia 8 tahun. Barangkali ini yang
menjadi penyebab mengapa ia memiliki perhatian yang cukup besar terbadap
interpretasi Alquran. Sementara itu mengapa Nasr tertarik untuk
menafsirkan Alquran dengan menggunakan teori kritik sastra? Hal ini
dapat dimengerti karena Nasr mendapat gelar SA di bidang bahasa dan
sastra Arab pada fakultas sastra Universitas Kairo. Kemudian ia
melanjutkan studi di bidang yang sama di Universitas Amerika di Mesir.
Selanjutnya ia juga concern melakukan kajian terhadap wacana keagamaan,
karena studi pascasarjananya, baik S-2 maupun S-3 mengambil konsentrasi bahasa Arab dan Islamic Studies.
Selain itu, sejak usia 11 tahun, ia juga
bergabung dengan Ikhwan al-Muslimin. Ikhwan al-Muslim adalah organisasi
Islam yang beranggotakan Islamis moderat. Bergabungnya Nasr dalam
organisasi tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap cara pandangnya
terhadap Islam.
Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd : Teori Makna dan Signifikansi (الدلالة والمغزى) Serta Posisinya dalam Hermeneutika Barat.
Kehadiran teks dalam tradisi keagamaan
telah membawa pengaruh dan implikasi yang cukup besar bagi perkembangan
intelektual, kebudayaan dan peradaban. Tradisi Arab-Islam nampak
memiliki “tradisi teks” yang cukup kuat ketimbang peradaban yang lain.
Perhatian yang diberikan oleh para pengkaji Islam dalam menelaah tradisi
Arab-Islam dari dulu sampai dewasa ini, banyak difokuskan kepada
pembacaan teks-teks tersebut. Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, hal ini
dilatarbelakangi suatu asumsi bahwa peradaban dunia dapat diandaikan
kepada tiga kategori, yaitu peradaban Mesir Kuno yang disebut “peradaban
(yang muncul) pasca kematiannya” (hadlârah mâ ba’da al-maut ), peradaban Yunani disebut “peradaban akal” (hadlârah al-‘aql) , sedangkan peradaban Arab-Islam dikategorikan sebagai “peradaban teks” ( hadlârah an-nash).[4]
Peradaban Arab-Islam disebut peradaban
teks dalam pengertian sebagai peradaban yang menegakkan asas-asas
epistemologi dan tradisinya atas suatu sikap yang tidak mungkin
mengabaikan peranan teks di dalamnya. Kendati demikian, ini tidak
berarti bahwa teks itu sendiri yang menumbuh-kembangkan peradaban atau
meletakkan asas-asas kebudayaan dalam sejarah masyarakat Muslim.
Sesungguhnya faktor utama yang melandasi dan menjadi asas epistemologi
dari suatu kebudayaan adalah proses dialektika antara manusia dengan
realitasnya ( jadal al-insân ma’a al-wâqi’i) yang meliputi
aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya pada satu sisi, dan proses
dialog kreatif manusia yang terjalin dengan teks ( wa hiwâruhu ma’a an-nash) pada sisi yang lain.[5]
Realitas sebagai sebuah “teks” seperti konteks kesejarahan manusia,
begitu pula teks-teks liturgis keagamaan yang lain seperti Alquran,
hadis, kitab tafsir, syarah hadis, fiqih, tasawuf dan falsafah telah
berperan sebagai instrumen yang melengkapi lahirnya kebudayaan dan
peradaban masyarakat Arab-Islam.
Hermeneutika berhubungan dengan problem
penafsiran dan problem ini terfokus pada relasi antara teks dan
penafsir. Nasr Hamid Abû Zayd menawarkan hermeneutika modern sebagai
respons terhadap tradisi penafsiran teks klasik yang mengabaikan
eksistensi penafsir. Teori penafsiran Nasr Hamid Abû Zayd bersifat
objektif-historis dari teks, yaitu bahwa proses penafsiran dan kegiatan
pengetahuan secara umum selalu ditujukan untuk mengungkapkan berbagai
kenyataan yang memiliki keberadaan objektif di luar horison subjek
pembacaan. Apabila horison pembaca membatasi sudut pandangnya, maka
data-data teks tidak berposisi sebagai penerima pasif terhadap
orientasi-orientasi subjek yang mengetahui. Hal ini berarti, bahwa
pembacaan dan aktivitas intelektual yang benar pada umumnya, didasarkan
pada dialektika (جدلية) kreatif antara subjek dan objek.
و هذا معنى ان القرأة الحقة، والنشاط
المعرفى الحق عموما، تقوم على الجدلية خصبة خلاقة بين الذات والموضوع. و
هذه العلاقة تنتج التأويل على مستوى درس النصوص والظواهرعلى السواء.[6]
“Hal ini berarti bahwa pembacaan dan
aktivitas intelektual yang benar pada umumnya didasarkan pada dialektika
yang produktif dan kreatif antara subjek dan objek. Hubungan ini
menghasilkan interpretasi baik pada level pengkajian teks maupun
terhadap fenomena.”
Hermeneutika objektif-historis merupakan bentuk kritik terhadap pembacaan tendensius (talwîn). Sementara ideologisasi dihasilkan dari kecenderungan subjektif-oportunistik (an-naz’ah aí-íâtiyah an-naf’iyah)
dan telah menggugurkan sudut objektif teks dan historisitas teks, dan
bentuk kritik terhadap kecenderungan positivistik-formalistik (an-naz’ah al-wad’iyah asy-syakliyah) yang menyembunyikan orientasi-orientasi ideologis di bawah jargon “objektif ilmiah” (الموضوعية العلمية).
Hermeneutika objektif-historis Abû Zayd
adalah gagasan kritis berdasarkan argumentasi sebagai berikut. Abû Zayd
banyak memanfaatkan pendekatan linguistik melalui kritik sastra,
karena karakter bahasa kitab suci dan historisitasnya dikaji melalui
pendekatan linguistik yang dikonsepsikan oleh Ferdinand de Saussure
dan pendekatan makna yang dibahas oleh Hirsch. Konsep parole dan langue dalam kategori semiotika diterapkan untuk membahas al-Qur’ân sebagai parole dan teks sebagai langue.[7] Teori interpretasi Abû Zayd dipengaruhi oleh hermeneutika E.D. Hirsch.[8]
Hirsch menjelaskan keberadaan pengarang di hadapan berbagai pendapat
yang mengabaikannya. Hirsch berpendapat bahwa pengabaian terhadap
pengarang timbul dari konsep (imagination) yang menyatakan
bahwa makna karya sastra akan berbeda dari satu kritikus ke kritikus
yang lain, dari satu masa ke masa yang lain, bahkan menurut pengarangnya
sendiri makna itu akan berbeda dari satu periode ke periode yang lain.[9]
Menurut Ahmad Hasan Ridwan, untuk
mengatasai problem yang dilematis ini, Hirsch membuat pembedaan atau
pemisahan antara apa yang disebut makna (meaning) dan apa yang disebut magzâ (signifikansi).
Hirsch berpendapat bahwa signifikansi sebuah teks sastra terkadang
berbeda-beda atau beragam, tetapi maknanya tetap satu. Dalam hal ini,
dia berpendapat adanya dua tujuan yang terpisah yang masing-masing
terkait dengan dua bidang yang berbeda. Bidang dan tujuan kritik sastra
adalah mencari signifikansi teks sastra yang sesuai dengan satu masa
tertentu, sedangkan teori penafsiran bertujuan untuk mencari makna teks
sastra itu. Yang tetap adalah makna, yang dapat dicapai melalui analisa
teks, sedangkan yang berubah-rubah adalah magzâ (signifikansi).[10]
Makna (dalalah) ada dalam karya itu sendiri. Sedangkan signifikansi (magzâ)
berdasarkan keberagaman jenis relasi yang ada antara teks dengan
pembaca, Ketika makna teks dapat berubah sesuai dengan pengarangnya,
maka sebenarnya yang dimaksud yang berubah adalah magzâ. Hal
ini didasarkan pada keyakinan bahwa pengarang mentransformasikan dirinya
kepada pembaca sehingga merubah hubungan pengarang dengan teks.[11]
Makna yang dikehendaki pengarang berbeda
dengan makna yang tersimpan dalam teks. Karenanya, menurut Nasir Hamid
Abu Zayd sebagaimana juga pendapat Hirsch, yang harus diperhatikan
dalam teks adalah makna teks, bukan apa yang dikehendaki pengarang, atau
apa yang dimaksudkannya, atau apa yang ingin diekspresikannya.[12]
Menurut Ahmad Hasan Ridwan, dalam hal
ini, Hirsch sependapat dengan Betti mengenai pentingnya fokus
hermeneutika pada bidang kajiannya tentang makna teks agar sampai kepada
tafsir objektif. Penafsir tidak memaksakan pendapatnya masuk ke dalam
teks. Betti hendak mengembalikan hermeneutika pada keadaan alaminya,
sebagaimana Scheleirmacher memfokuskannya pada usaha memahami teks. Baik
Betti maupun Hirsch berpendapat bahwa filologi adalah metode yang
paling ideal untuk menafsirkan teks.[13]
Penjelasan di atas menggambarkan, bahwa
kelihatannya pemikiran hermeneutika Nasir Hamid Abu Zayd cenderung pada
sintesa dari model keterpusatan kepada teks (text centered) dan keterpusatan pada penafsir (reader centered).
Lahirnya makna tidaklah berasal dari teks itu semata-mata, akan tetapi
melalui proses dialektika antara teks dengan manusia sebagai objek teks,
seperti juga yang terjadi dari relasi antara teks dengan kebudayaan
sebagai relasi dialektis yang saling menguatkan, dan satu sama lain
mengkombinasikan dirinya pada saat memunculkan wacana, pemikiran dan
ideologi. Akal pikiran manusialah yang melahirkan makna dan berbicara
atas nama teks, sedangkan teks itu sendiri tidak berbicara. Sehingga
otoritas itu dapat dikatakan sebagai produk dari proses dialektika.[14]
Dengan demikian, dalam menafsirkan teks,
Nasir Hamid Abu Zayd bersifat dekonstruktif dengan menempatkan teks
terpisah dari pengarangNya, dan dia istilahkan dengan kematian pengarang
(maut al-muallif),[15] atau the death of author oleh Derrida.[16] Berikutnya, peran pemaknaan secara mutlak diserahkan pada pembaca teks (reader centered),
dengan segala aspek sosial dan latar belakang historisnya. Salah satu
karakteristik tipikal dari pengaruh sosio-kultural terhadap
karakteristik Alquran bahwasanya dalam proses pembentukan teks, Alquran
tidak bisa keluar dari kerangka kebudayaan bangsa Arab saat itu,
misalnya, dengan pengaruh teks-teks syair bangsa Arab. Karakter dan
corak suatu teks akan senantiasa menggambarkan dan merefleksikan
struktur budaya ( bunyah as-saqâfah) dan alam pikiran ( state of mind) di mana ruang dan waktu teks tersebut dibentuk.[17]
Ketika proses interaksi kebahasaan berlangsung, antara penutur dan
penerima harus terdapat kerangka yang sama sebagaimana disebut di muka.
Akan tetapi dalam realitas pragmatisnya hal itu sulit terjadi. Sebab
proses komunikasi dalam bingkai bahasa adalah menyampaikan pesan dalam
bentuk teks. Ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan antara
“sistem/logika bahasa” dengan “sistem/logika teks” yang keduanya itu
dibatasi oleh pesan dari ideologi si penutur. Sedangkan si penerima
memiliki kemungkinan dengan sistem/logika bahasanya untuk membentuk
“kerangka interpretatif” ( al-ithâr at-tafsîr î) tersendiri
terhadap pesan yang disampaikan si penutur. Melalui “sistem/logika
teks”, ideologi si penerima masuk untuk memberikan penilaian. Pada
tataran inilah kemudian terjadinya reduksi atau bahkan kemungkinan
distorsi terhadap pesan, baik oleh penutur maupun penerima. Tentunya ini
dapat juga terjadi ketika melakukan interpretasi terhadap teks Alquran.
Karenanya menurut Nasr Hamid Abu Zayd, bahasa menjadi dasar sebagai sumber peafsiran dan penta`wilan.[18] Ia menawarkan dan memperkenalkan pendekatan modern dalam memahami teks.[19]
Dalam pendekatan modern, tugas hermeneutika tidak hanya menentukan
prinsip-prinsip penafsiran umum, tetapi juga mengungkapkan cita-cita
yang sesuai bagi penafsiran.[20]
Ia mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali asumsi-asumsi
pembaca tentang apa itu “membaca”, “menafsirkan”, atau “memahami teks”.
Fenomena ini kemudian melahirkan istilah baru dalam tradisi penafsiran,
yakni “pembacaan” (qirâ’at).[21] untuk menandai proses penemuan “makna”, sebuah ungkapan tulisan atau teks terdiri atas pengarang, teks dan pembaca.[22]
Selain itu, Nasr Hamid Abu Zayd dengan meminjam teori hermeneutika Barat E.D. Hirsch Jr.,[23] juga memperkenalkan teori makna (dalâlah) dan signifikansi (magzâ) dalam upaya memahami teks. Pembedaan antara makna dan signifikansi terdiri dari dua konsep. Pertama,
makna memiliki watak historis, yaitu bahwa ia tidak mungkin diungkapkan
tanpa pemahaman yang memadai terhadap konteks internal linguistik teks
dan konteks sosial-budayanya, sementara signifikansi memiliki watak
kekinian, yaitu bahwa ia merupakan hasil pembacaan yang berbeda dengan
masa terbentuknya teks. Kedua, makna secara relatif memiliki
watak yang stabil dan mapan, sementara signifikansi bersifat dinamis
seiring dengan horison pembacaan yang terus berubah.[24]
Selanjutnya beliau membedakan tiga tingkatan dalâlah. Pertama, dalâlah yang merupakan saksi sejarah yang tak dapat dicarikan ta’wîl dan magzâ-nya, masalah yang berkaitan dengan ayat-ayat perbudakan, hubungan muslim dan non muslim (ahl al-kitab), sihir, hasud, jin dan setan. Kedua, dalâlah yang dapat dita’wilkan dengan majâz, seperti ayat-ayat kehambaan (‘ibâdiyah) bukan penghambaan (‘ubûdiyah). Ketiga, dalâlah yang dapat diperluas dengan pencarian magzâ, seperti ayat-ayat kewarisan untuk wanita. Dari magzâ ini, teks dapat terus berkembang, sebagaimana Abû Zayd menjelaskan :
ثلاثة مستويات للدلالة فى النصوص الدينية :
المستوى الاول مستوى الدلالات التى ليست الا شواهد تاريخية لا تقبل
التأويل لمجازى أو غيره، والمستوى الثانى مستوى الدلالات القابلة للتأويل
المجازى، المستوى الثالث مستوى الدلالات القابلة للاتساع على أساس “المغزى”
الذى يمكن اكتسافه من السياق الثقافىالاجتماعى الذى تتحرك فيه النصوص، ومن
حلاله تعيد انتاج دلالتها.[25]
“tiga level makna dalam teks-teks agama.
Level pertama adalah level makna yang hanya merupakan bukti-bukti
historis yang tidak dapat diinterpretasi secara metaforis atau lainnya;
level kedua adalah level makna yang dapat diinterpretasi secara
metaforis; dan level ketiga adalah level makna yang dapat diperluas atas
dasar “signifikansi” yang dapat disingkapkan dari konteks kultur-sosial
di mana teks-teks tersebut bergerak, dan melalui produktivitas makna
dari teks-teks tersebut.”
Pembedaan antara makna dan sigifikansi di
dalam menginterpretasi teks bagaikan dua sisi mata uang. Hal itu
berlangsung karena signifikansi tidak terlepas dari sentuhan makna,
sebagaimana signifikansi mengarah pada dimensi makna. Signifikansi
mencerminkan tujuan dan sasaran dari tindakan pembacaan, maka tujuan
tersebut dapat dicapai hanya melalui penyingkapan makna. Hermeneutika
Abû Zayd menurut Ahmad Hasan Ridwan,[26] bermula dari proses pemahaman terhadap suatu teks secara bolak-balik antara dalâlah dan magzâ, suatu pemahaman yang dimulai dari kenyataan sekarang (dalam rangka mencari magzâ untuk menemukan arti asal (dalâlah aèliyah) dengan cara penelusuran intelektual ke masa lalu (past time) untuk memasuki ruang-ruang historis. Teks muncul di masa lalu (past time), dan kembali ke masa kini (present time) untuk mendapatkan makna baru yang hidup (produktif). Nilai baru yang dimaksud adalah fusi horison untuk future yang hasilnya digunakan untuk membangun kembali magzâ secara terus menerus.[27]
Teori ta’wîl yang ditawarkan Abû Zayd merupakan proses gerak dialektis (gerak bandul) antara makna (dalâlah) dan signifikansi (magzâ),
antara masa lalu dan masa kini, dan antara teks dan pembacanya. Gerak
dialektis ini menghasilkan pemahaman terhadap suatu teks secara
bolak-balik antara dalâlah dan magzâ, sebagai suatu pemahaman yang dimulai dari kenyataan sekarang (dalam rangka mencari magzâ) untuk menemukan arti asal (dalâlah aèliyah) ketika teks itu muncul di masa lalu, dan hasil temuan ini digunakan untuk membangun kembali magzâ
dan begitu proses selanjutnya. Proses ini tidak boleh berhenti pada
makna dalam pengertian historis partikularnya, tetapi proses ini harus
menyingkapkan signifikansi magzâ yang memungkinkan untuk membangun pondasi kesadaran ilmiah atas dasar signifikansi tersebut.[28]
Aplikasi Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd.
Jika aplikasi teori hermeneutika Syahrûr dikenal dengan istilah inter-tekstualitas dengan teknik sintagmatis-paradigmatis untuk menangkap pesan yang terkandung dalam teks al-Qur’ân,[29] dan Fazlur Rahman dikenal dengan teori double movement.[30]
Kemudian Hermeneutika Arkoun berusaha untuk memilah dan menunjukkan
mana teks pertama atau teks pembentuk dan mana teks hermeneutika,[31] dan kelihatannya dipengaruhi teori hermeneutika post-strukturalis Michel Foucault, sehingga ia menggunakan metode dekonstruksi dan analisa arkeologis.[32] Maka aplikasi teori Nasr Hamid Abu Zayd berangkat dari teori makna (dalâlah) dan signifikansi (magzâ) sebagaimana dikemukakan sebelumnya dan contoh cara kerjanya sebagai berikut:
Poligami dalam wacana Alquran mempunyai
level makna ketiga, di mana pemahamannya haruslah melampaui makna
historisnya dengan menguak signifikansi masa kininya dan mampu menguak
dimensi yang tak terkatakan dari suatu pesan. Dalam masalah poligami,
Abu Zayd berargumentasi sebagai berikut:
- Kesadaran akan historisitas teks keagamaan adalah teks linguistik dan bahasa sebagai produk sosial dan kultural.
- meletakkan teks dalam konteks Alquran secara keseluruhan terhadap konsep adil. Dengan melakukan ini, Abu Zayd berharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang implisit dapat diungkapkan.
- Poligami dibolehkan dalam Alquran pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami yang tak terbatas yang telah dipraktikan sebelum datangnya Islam.[33]
Gambar :[34]
No. | Makna /Dilalah | Signifikansi/maghza | Yang tak terkatakan | ||
Poligami | Praktik poligami pra-islam : poligami tidak terbatas | Islam membatasi poligami empat istri secara adil | Sikap adil dalam poligami tidak mungkin: monogami ditekankan | Tujuan akhir legislasi Islam: monogami | Poligami dilarang |
Analisis Kritis Atas Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd
Pendekatan hermeneutika yang dikembangkan
kalangan modernis semisal Nasr Hamid Abu Zayd yang merupakan upaya
untuk mengembangkan pendekatan dalam memahami Alquran banyak ditentang
di kalangan umat Islam. Adnin Armas misalnya,[35]
mengemukakan bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara
hermeneutika di satu sisi, dan tafsir – ta’wil di sisi lain sehingga
tidak tepat digunakan untuk mengkaji Alquran. Perbedaan tersebut
terutama dalam sifat alamiahnya; otoritas dan keaslian teks; serta dari
sisi kebakuan bahasa dan makna dalam memaknai kitab suci.
Ketidaksesuaian ini dapat dilihat dari beberapa unsur berikut:
Pertama, hermeneutika secara
jelas menyamarkan kedudukan teks-teks suci agama; karena memang pada
awalnya hermeneutika ditujukan untuk menjembatani kewibawaan dan
keaslian teks Bibel yang bermasalah.
Kedua, penentuan kontekstual
terhadap makna dengan mengesampingkan kemapanan bahasa dan susunan makna
dalam bahasa (semantic structures), menyebabkan kosa kata dalam teks
kitab suci selalu permisif untuk disusupi berbagai dugaan
(guess/conjecture), pembacaan subjektif dan pemahaman yang hanya
mendasarkan pada relativitas sejarah.
Ketiga, memisahkan makna antara
yang “normatif” dan yang “historis” di satu sisi dan menempatkan
kebenaran (truth) secara kondisional menurut budaya tertentu dan suasana
historis di sisi lain, akan cenderung pada paham sekuler. Oleh karena
pertimbangan yang diambil pemikiran keagamaan lebih berorientasi pada
Pencipta Teks (Allah), yang tidak memihak pada supremasi data empiris,
maka dengan sendirinya akan ditolak oleh pendekatan kesadaran
historis-ilmiah dalam memahami teks-teks keagamaan. Pendekatan kesadaran
historis-ilmiah menurut Nasr Abu Zayd cenderung kepada apa yang
dihasilkan oleh pembaca teks yang memiliki perangkat ilmiah kekinian
untuk menjadi ‘hakim’ dalam mewarnai interpretasi teks keagamaan. Maka
bagi Nasr Hamid Abu Zayd, teks bukan lagi milik pengarangnya, tapi sudah
menjadi pemilik para pembacanya.
Selain itu, klaim adanya dikhotomi antara
yang mutlak dan yang nisbi; antara Alquran dan tafsirnya; antara agama
dan pemikiran keagamaan, seperti yang dikemukakan oleh Nasr Hamid Abu
Zayd akan membuka beberapa konsekwensi serius. Pertama,
kebenaran al-Quran hanya dimiliki Tuhan saja. Sehingga saat kebenaran
itu sampai pada manusia, ia menjadi kabur, sebab manusia tidak pernah
tahu apa maksud Tuhan dalam al-Quran. Pemikiran seperti ini berarti
bahwa Tuhan tidak pernah berniat menurunkan al-Quran untuk manusia. Kedua, mengingkari tugas Nabi yang diutus untuk menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Ketiga,
menyeret pada pengertian bahwa seolah-olah semua ayat al-Quran tidak
memiliki penafsiran yang tetap dan disepakati. Bahkan semua penafsiran
dipengaruhi oleh kepentingan penafsir dan situasi psiko-sosialnya. Keempat,
menolak otoritas keilmuan, syarat dan kaidah dalam menafsirkan
al-Quran, sebab setiap orang berhak menafsiri al-Quran dengan kualitas
yang sama nisbinya. Kelima, membatalkan konsep dakwah dalam
Islam, karena semua perintah dan larangan dalam al-Quran bersifat nisbi
yang tidak harus dilaksanakan. Maka akibatnya umat Islam tidak wajib
melaksanakan perintah ayat dakwah: “Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu…” (QS. Al-Nahl: 125). Sebab ayat tersebut akan dipertanyakan
lagi, jalan Tuhan yang mana? Kalau Islam, Islam yang mana? Islam
Muhammadiyyah, NU, PERSIS, PKS atau Islam apa? Keenam,
berlawanan dengan konsep ilmu dalam Islam. Sebab definisi ilmu dalam
Islam adalah sifat yang dapat menyingkap suatu objek, sehingga tidak
menyisakan ruang keraguan; dan berakhir pada keyakinan. Sementara
relativisme selalu bermuara pada kebingungan. Ketujuh,
membubarkan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Sebab paham relativisme akan
menisbikan batasan antara yang ma’ruf dan yang munkar, hingga akhirnya
menjadi kabur dan samar. Paham relativisme akan mengatakan bahwa yang
ma’ruf menurut sebagian orang, bisa jadi munkar bagi sebagian lainnya.
Padahal Nabi SAW telah mengingatkan kaum muslimin untuk menjauhi hal-hal
yang bersifat syubhat (samar). Karenanya menurut Hendri Sholahudin,
Andaian nisbinya tafsir secara mutlak, tentu sulit diterima akal yang
jernih. Adanya perbedaan dalam penafsiran al-Quran, bukan berarti
penafsiran itu mutlak nisbi. [36]
Penggunaan hermeneutika yang menghasilkan
asumsi historisitas Alquran dengan dalih bahwa perbuatan Tuhan bila
telah teraktualisasi dalam sejarah, maka harus tunduk pada peraturan
sejarah, sejatinya telah menimbulkan konsekwensi yang rumit untuk
diterima akal sehat. Apakah dengan demikian Tuhan tunduk mengikuti
kaedah peraturan alam yang diciptakan-Nya sendiri? Apakah kemudian wahyu
dapat “diseret” untuk mengikuti kemauan realitas sejarah yang
berkembang? Karenanya menurut Adian Husaini,[37]
konsep Alquran yang diuraikan Nasr Hamid Abu Zayd di atas bukan hanya
bertentangan dengan pengertian Alquran yang dikenal oleh umat, namun
telah membubarkan konsep wahyu dalam Islam. Sebab dengan corak pemahaman
ala Abu Zayd bahwa kemutlakan Alquran dan sakralitasnya telah sirna dan
menjadi teks manusia ketika masuk dalam pemahaman Nabi, diaplikasikan
dalam kehidupan dan disampaikan kepada umatnya, akan membatalkan konsep
wahyu yang dikenal dalam Islam. Semua umat Islam sepakat bahwa
pengertian Alquran adalah Firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW secara lafzhan wa ma’nan (lafazh dan maknanya) dengan
perantara Jibril AS, terjaga dalam mushaf, kemudian disampaikan kepada
para Sahabat dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir
(recurrence) tanpa keraguan sedikitpun. Membacanya adalah ibadah, di
dalamnya terkandung berbagai mukjizat, petunjuk dan ilmu pengetahuan.
Sedangkan dalam dataran epistemologis (epistemic level), Abu Zayd dan
kelompok modernis lainnya yang menerapkan metode historis (historical
methodology), baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, sebenarnya
telah menolak sumber ketuhanan (the divine source) terhadap Alquran yang
mereka anggap sebagai realitas holistik (the holistic reality) yang
dihasilkan dari metodologi penelitian ilmu-ilmu sains. Pernyataan Abu
Zayd bahwa Alquran adalah produk budaya, fenomena sejarah dan teks
linguistik membawa pengertian bahwa Alquran dihasilkan secara kolektif
dari serangkaian faktor politik, ekonomi dan sosial. Atau dengan kata
lain, Alquran adalah hasil pengalaman individual yang diperoleh Nabi
Muhammad dalam waktu dan tempat tertentu (specific time-space context),
dimana latar belakang sejarah saat itu mengambil peranan inti dalam
mewarnai pemikiran beliau dan bahasa sebagai perangkat ungkapan sejarah
(expressional tool of history). Dengan demikian, memahami agama dengan
cara menundukkannya dalam ruang sejarah, bahasa dan budaya yang terbatas
adalah watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh peradaban Barat
yang tidak sejalan dengan Islam.
Sebagai pembaca yang menjadi hakim dalam
memaknai teks, Nasr Hamid Abu Zayd menganjurkan untuk mengunci firman
Tuhan dalam ruang dan waktu. Kemudian membatasi makna Alquran menurut
zaman tertentu dalam sejarah. Dengan cara ini, pembaca teks dapat
memahami teks secara ilmiah dan tidak terpasung, baik oleh pandangan
dogmatis-sektarian (madzhab minded), permasalahan ideologis
(iman-kufur), mistis, tabu (desakralisasi) maupun khurafat. Sebaliknya,
dalam pandangan Nasr Hamid Abu Zayd, corak pendekatan ulama klasik dalam
pembacaan teks, terikat dengan pendekatan asbab al-nuzul dan naskh wa mansukh
adalah terpasung dan tidak ilmiah. Sebab meskipun kedua pendekatan ini
juga memperhatikan data empiris, namun pada kenyataannya data empiris
yang ditampilkan tersebut masih diwarnai oleh peran Pencipta Teks.
Dengan demikian, kecenderungan ulama klasik yang lebih memposisikan teks
agama sebagai hakim daripada akal, dipandangnya sebagai corak
pendekatan ideologis.Kecenderungan Abu Zayd yang lebih mengesampingkan
Sang Pembuat Teks, kemudian menjadikan pembaca teks dengan segala
kondisi sosial, politik dan budaya yang melatarbelakanginya, sebagai
hakim yang menentukan arah pemaknaan teks, sebenarnya adalah bentuk
pengutamaannya terhadap realitas lahiriyah (al-waqi‘ al-madi, material
reality). Sebab baginya, segala aktivitas berfikir yang selalu
terbayang-bayangi oleh realitas ketuhanan dan metafisika (akidah,
pahala, siksa, syari’ah dan akherat) dipandang sebagai bagian dari mitos
(usthurah). Maka dengan demikian Abu Zayd lebih mengutamakan realitas
(al-waqi‘) daripada pikiran. Dan baginya, teks adalah hasil dari sebuah
realitas. Maka setiap perubahan yang terjadi dalam realitas, menuntut
perubahan dalam pembacaan teks, sampai akhirnya terjadi kesepaduan
antara teks dan realitas (zaman dan tuntutannya). Sehingga menurut
Hendri Sholahuddin,[38]
tujuan teori tafsir Nasr Hamid Abu Zayd yang ingin menghilangkan
ideologi sektarian, justru sangat rancu. Sebab unsur ideologi dalam
suatu penafsiran tidak bisa dinetralisir. Ibarat dua sisi mata uang,
mengesampingkan suatu ideologi hanya akan terjebak dalam ideologi
lainnya. Dengan kata lain, menolak suatu ideologi adalah ideologi itu
sendiri, seperti halnya menolak kemapanan adalah menetapkan
ketidakmapanan atau bentuk lain dari sebuah kemapanan.
Terlepas dari itu semua, sesungguhnya
Nasr Hamid Abu Zayd telah melahirkan ijtihad baru dalam metode
penafsiran. Sebagai sebuah teori, tentunya harus tetap terus diuji.
Sehingga pada akhirnya yang diikuti oleh umat tetunya teori yang telah
teruji dan dapat dipertahankan.
Khatimah.
Hermeneutika merupakan hasil ektrapolasi
otoritas manusia sebagai produk dari proses interaksi pemikran Islam
dengan pemikiran Barat. Interaksi dialogis telah melibatkan sebuah
proses dialektika yang intensif antara tradisi besar dan tradisi kecil
dalam sejarah pemikiran Islam. Perubahan (change) terjadi
ketika hermeneutika merupakan tradisi baru memiliki kekuatan dibanding
tradisi lama. Akan tetapi, proses kesinambungan (continuity) dengan tradisi lama tetap berjalan meskipun telah muncul tradisi baru.
Dengan demikian, metode penafsiran (hermeneutika) Nasr Hamid Abû Zayd merupakan artikulasi dari proses kesinambungan (continuity) dan perubahan (change),
dan karena itu, hermeneutika dikukuhkan sebagai metode alternatif
ketika sistem penafsiran dalam tradisi Islam tidak memadai untuk
memahami teks-teks keagamaan dalam realitas kontemporer. Sebagai sebuah
teori penafsiran, tentunya harus tetap dikritisi dan diuji, sehingga
hasilnya dapat dipertanggungjawabkan karena akan diikuti oleh umat
Islam.
REFERENSI:
Abû Zayd, Nasr Hâmid, Mafhûm an-Nash: Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Markaz as-Saqâfî al-‘Arabî, 1998
___________________, at-Tafkîr fî Zaman at-Takfîr: li al-Jahl wa az-Zaif wa al-Khurâfah Kairo: Maktabah al-Madbûlî al-Mishriyyah, 1995
___________________, Naqd al-Khitab al-Diny, Mesir: Sina li.al-Nashr, 1994
Al-Jabiri, Abid, Muhammad, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Beirut, Markaz as-Saqâfî al-‘Arabî, 1991
Arkoun, Mohammed, al-Fikr al-islâmî : naqd wa al-Ijtihâd, terj. Hasyim Shalih London: dâr al-Saqi, 1990
___________________, Târîkhiyyah al-Fikr al-’Arabî al-Islâmî, terj.: Hasyim Shâleh Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumî, 1989
Armas, Adnin, Metodologi Bibel Dalam Alquran, Jakarta: Gema Insani, 2005
Binder, Leonard, Islamic Liberalism: A Qritique of Development Ideologies, London: Oxford University Press, 1988
Brugman, J., An Introduction to The History of Modern Arabc Literature in Egypt, Leiden: E.J. Brill, 1984
Critchley, Simon dan Mooney, Timothy, “Deconstruction and Derrida”, dalam Richard Kearney (ed.), Twentieth-Century Continental Philosophy (london: Routledge, 1994), vol. VIII,
Foucault, Michel, The Archaelology of Knowledge, London: Routledge, 1991
Gadamer, Truth and Method New York: Seabury Press,1975
Halliday, M.A.K & Hasan, Ruqaiya, Bahasa, Konteks dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam pandangan Semiotika Sosial, terj: Asruddin Barori Tou, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994
Hanafî, Hassan, Dirâsah Islâmiyyah Kairo: Maktabah al-Anjilo al-Mishriyyah, 1981
Husaini, Adian, Hermeneutika Pemikir Kontemporer: Kasus Nasr Hamid Abu Zayd & Mohammad Abid al-Jabiri, http://pondokshabran. org/index. php?Itemid=17&id =32&option=com_content&task=view, 2005
Hourani, Albert, Arabic Thought in The Liberal Age 1798-1939, London: Oxford University Press, 1962
Ichwan, Nur, Moch. Meretas Kesarjaan Kritis Alquran, Teori hermenutika Nasr Abu Zayd Bandung: Teraju, 2003
Jr, Hirsch, E.D. validity in Interpretation, New haven and London: Yale University Press, 1967/1978
Osborne, T, Grant., Hermeneutical Spiral, Downer: Grove University Press, 1991
Poggemiller, Dwight, “Hermeneutics and
Epistemology: Hirsch’s Author Centered Meaning, Radical Historicism and
Gadamer’s Truth and Method”, Premise Journal, vol II, no. 8/ September 27, 1995
Râfiq, Shâdiq, Musthafâ, Tahta Râyah Alquran, Bairut: Dâr al-Ktâb al-‘Arabî, 1974
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition Chicago: The University of Chicago Press, 1982
Ridwan, Hasan, Ahmad, Jejak Hermeneutika Dalam Islamic Studies, http://ahasanridwan. wordpress. com/2008/02/23/jejak-hermeneutika-dalam-islamic-studies/2009
Sagiv, David, Fundamentalism and Intellectuals in Egypt, Gila Svirski, (Great Britain: Frank Cass& Lo. LTD., 1995
Sholahudin, Hendri, Al-Qur’an dan Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, http://www. Ppmi pakistan. or.id/?p=20, 2009
Sudjiman, Panuti dan Zoest, Van, A., Serba-Serbi Semiotika, jakarta: Gramedia, 1992
Syahrûr, Muhammad, Islam dan Iman : Aturan-aturan Pokok, terj. Sabrur R. Soenardi Yogyakarta: Jendela, 2002
Thiselton, C., Anthony, New Horizon in Hermeneutics , Michigan: Grand Rapids, 1992.
[1].
Adian Husaini, Hermeneutika Pemikir Kontemporer: Kasus Nasr Hamid Abu
Zayd & Mohammad Abid al-Jabiri, http:// pondokshabran. org/ index.
php? Itemid= 17&id =32&option= com_ content &task=view,
2005), h. 1.
[2]. Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Diny, (Mesir: Sina li.al-Nashr, 1994) h. 28; dan lihat; Moch. Nur lchwan, Meretas Kesarjaan Kritis Alquran: Teori hermenutika Nasr Abu Zayd (bandung: Teraju, 2003), h. 194.
[3]. Adian Husaini, h. 2.
[4]. Nasr Hâmid Abû Zayd, Mafhûm an-Nash: Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
(Beirut: Markaz as-Saqâfî al-‘Arabî, 1998), h. 9; sementara itu
Muhammad ‘Abid al-Jâbirî memberikan kategori yang sedikit berbeda,
kendati sama-sama menggunakan tiga kategori, yaitu peradaban Yunani,
Eropa dan Arab-Islam. Lihat Muhammad Abid al-Jabiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî,
(Beirut: Markaz as-Saqâfî al-‘Arabî, 1991), h. 17-29; di luar itu,
Hassan Hanafî memberikan kategorisasi yang berbeda dengan keduanya.
Menurut Hanafî, peradaban Arab-Islam terdahulu adalah peradaban yang
cenderung bersifat thêocentrique, yakni pemusatan terhadap Tuhan,
sedangkan peradaban Barat lebih kepada antrhopocentrique, yakni
pemusatan terhadap manusia. Lihat Hassan Hanafî, Dirâsah Islâmiyyah (Kairo: Maktabah al-Anjilo al-Mishriyyah, 1981), h. 279-280.
[5]. Mafhûm …., h. 9
[6] . naqd…, h.115.
[7]. Ferdinand de Saussure membedakan parole dan langue. Parole adalah penggunaan bahasa secara individual dan langue adalah bahasa yang dipilih dari kamus umum. Panuti Sudjiman dan A. Van Zoest, Serba-Serbi Semiotika (jakarta: Gramedia, 1992), h. 57 dan lihat; naqd…, h. 193.
[8].
E.D. Hirsch digolongkan sebagai penganut pemikiran Radical Historicism.
Dwight Poggemiller, “Hermeneutics and Epistemology: Hirsch’s Author
Centered Meaning, Radical Historicism and Gadamer’s Truth and Method”, Premise Journal, vol II, no. 8/ September 27, 1995, h. 10.
[9] . Nasr Hamid Abu Zayd, Isykâliyah al-Qira’ah wa Â’liyâh at-Ta’wîl, (Beirut: markaz as-Saqafî al-‘Arabî, 1992) h. 48
[10]. Ahmad Hasan Ridwan, Jejak Hermeneutika Dalam Islamic Studies, (http://ahasanridwan. wordpress. com/2008/02/23/jejak-hermeneutika-dalam-islamic-studies/2009), h. 12.
[11].
Abû Zayd mejelaskan lebih lanjut dari teori Hirsch dengan tiga level
makna suatu pesan yaitu: (1) Makna yang hanya menunjuk kepada bukti
atau fakta historis yang tidak dapat diinterpretasikan secara metaforis;
(2) Makna yang menunjuk kepada bukti atau fakta sejarah yang dapat
diinterpretasikan secara metaforis; (3) makna yang dapat diperluas
berdasarkan signifikansi yang diungkap dari konteks sosio-kultural
tempat teks muncul. Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd…, h. 210.
[12] . Isykâliyâh…, op.cit., h. 48
[13]. Ahmad Hasan Ridwan, h. 13
[14].
Hubungan teks dan konteks bersifat dialektis: teks menciptakan konteks,
persis sebagaimana konteks menciptakan teks, sedangkan makna timbul
dari pergesekan keduanya. M.A.K Halliday & Ruqaiya Hasan, Bahasa, Konteks dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam pandangan Semiotika Sosial,
terj: Asruddin Barori Tou (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1994), h. 64. Interelasi antara bahasa dan budaya dalam bingkai konteks
oleh Mohammed Arkoun disebut dengan istilah ad-dâ’irah al-lughawiyyah atau logosphêre, yakni
ruang bahasa tempat sekelompok manusia menata, merekonstruksi,
menimbang dan menyampaikan makna sesuai dengan sejarahnya. Mohammed
Arkoun, Târîkhiyyah al-Fikr al-’Arabî al-Islâmî, terj.: Hasyim Shâleh (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumî, 1989) h. 147.
[15]. naqd…, h.113.
بل ان الحاحها على انفصال النص عن مؤلفه و
عن عصره والواقع الذى أنتجه، لدرجة أنها بشرتنا بعصر “موت المؤلف” جعلها
تبنى للنصوص عالما مستقلا له قوانينه الخاصة. انها نظرية النقد الجديد،
خلعت مسرحها القديمة واستبد لت القارىء بالمبدع، وأليات القرأة و التأويل
بأليات الابداع و التشكيل
[16]. Simon Critchley dan Timothy Mooney, “Deconstruction and Derrida”, dalam Richard Kearney (ed.), Twentieth-Century Continental Philosophy (london: Routledge, 1994), vol. VIII, h. 445
[17]. Polemik mengenai persoalan tersebut terjadi di Mesir, misalnya yang terjadi dengan Thâhâ Husein. Lihat Musthafâ Shâdiq Râfiq, Tahta Râyah Alquran (Bairut: Dâr al-Ktâb al-‘Arabî, 1974), h. 72. Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Qritique of Development Ideologies, (London: Oxford University Press, 1988) h. 186; Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age 1798-1939 (London: Oxford University Press, 1962)h. 222-224; David Sagiv, Fundamentalism and Intellectuals in Egypt, Gila Svirski, (Great Britain: Frank Cass& Lo. LTD., 1995); serta J. Brugman, An Introduction to The History of Modern Arabc Literature in Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1984), h. 338-379.
[18]. Naqd….h. 198
[19]. Nasr Hamid Abu Zayd, at-Tafkîr fî Zaman at-Takfîr: li al-Jahl wa az-Zaif wa al-Khurâfah (Kairo: Maktabah al-Madbûlî al-Mishriyyah, 1995), h. 138.
[20] . Grant T. Osborne, Hermeneutical Spiral, (Downer: Grove University Press, 1991), h. 366-374
[21]. Anthony C. Thiselton, New Horizon in Hermeneutics ,(Michigan: Grand Rapids, 1992), h. 2-3
[22]. Ahmad Hasan Ridwan, h. 14
[23]. E.D. Hirsch, Jr, validity in Interpretation (New haven and London: Yale University Press, 1967/1978), h. 8.
[24] . naqd…, h. 218
[25] . naqd., h. 203
[26]. Ahmad Hasan Ridwan, h. 16
[27]. Di antara kunci penting dalam hermeneutika Gadamer adalah fusi cakrawala (horisontverchnlzubg)
sebagai bagian integral dari situasi hermeneutik. Cakrawala adalah
tebaran pandangan yang merangkum dan mencakup segala hal yang dapat
dilihat dari suatu titik pandang. Yang dimaksud titik pandang bukanlah
pandangan fisikal, tetapi pandangan mental atau kejiwaan. Gadamer
membedakan cakrawala historikal dan cakrawala masa kini. Cakrawala
historikal adalah prasangka-prasangka yang membentuk
ekspektasi-ekspektasi tentang masa lalu. Sedangkan, cakrawala masa kini
adalah prasangka-prasangka yang kita bawa. Prasangka tersebut selalu
hidup bersama tradisi yang membentuk horison interpreter secara
partikular dan berkelanjutan. Tradisi (teks) yang menempati past time dan sesuatu yang baru (interpreter) yang menempati present time selalu terus menerus bersama dan membuat suatu nilai yang hidup (produktif bukan reproduktif). Nilai hidup tersebut yang dimaksud adalah fusi horison untuk future. Ketika reader yang berada pada situasi kekinian ( present time) yang melebur dengan teks dalam effective-history suatu momen produktif, maka bersama dengan horison obyek akan menjadi fusi horison ke arah masa depan. Gadamer, Truth and Method (New York: Seabury Press,1975), h. 273.
[28]. Ahmad Hasan Ridwan, h. 16
[29]. Sintagmatis-paradigmatis
yakni dengan cara menggabungkan ayat-ayat al-Qur’ân yang memiliki titik
persinggungan dan persamaan tema dalam surat-surat yang berbeda. Teknik
sintagmatis bertujuan untuk menentukan makna yang paling tepat di
antara makna-makna yang ada, setiap kata pasti dipengaruhi oleh
hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya. Adapun
tujuan analisis paradigmatis adalah pencarian dan pemahaman terhadap
sebuah konsep-konsep dari simbol-simbol lain baik yang mendekati maupun
yang berlawananMuhammad Syahrûr, lihat Muhammad Syahrûr, Islam dan Iman : Aturan-aturan Pokok, terj. Sabrur R. Soenardi (Yogyakarta: Jendela, 2002), h. xx.
[30]. teori double movement
menjelaskan penafsiran dua arah, yaitu melakukakan ziarah pemahaman
terhadap lahirnya teks di masa lampau dengan memahami benar kondisi saat
ini, dengan merumuskan visi al-Qur’ân yang utuh dan membawa kembali ke
masa sekarang dengan menerapkan prinsip umum tersebut dalam situasi
sekarang. Secara praktis gagasan Rahman tersebut tercakup pada dua
langkah: pertama, orang harus memahami makna pernyataan
al-Qur’ân dengan mengkaji latar belakang historis ketika sebuah ayat
diturunkan, dan memahami makna al-Qur’ân sebagai keseluruhan di samping
jawaban-jawaban khusus.
Kedua, adalah melakukan
generalisasi respons-respons khusus dan menyatakannya sebagai
pernyataan-pernyataan moral-sosial umum yang dapat disarikan dari
ayat-ayat spesifik dan rasio logisnya. Jika langkah pertama adalah
berangkat dari persoalan-persoalan spesifik dalam al-Qur’ân untuk
dilakukan penggalian dengan sistematisasi prinsip-prinsip umum,
nilai-nilai, dan tujuan-tujuan jangka panjang, maka langkah kedua harus
dirumuskan dan direlasikan pada saat sekarang. Kedua langkah pemahaman
al-Qur’ân tersebut sebagaimana digagas Rahman dapat membuktikan bahwa
perintah-perintah al-Qur’ân akan menjadi hidup dan efektif kembali. Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 7-8
[31]. Mohammed Arkoun, al-Fikr al-islâmî : naqd wa al-Ijtihâd, terj. Hasyim Shalih (London: dâr al-Saqi, 1990), h. 232.
[32].
Analisa arkeologi dimaksudkan untuk mengklarifikasi sejarah teks-teks
hermeneutika dari tradisi pemikiran tertentu, yaitu memperjelas dengan
membersihkan kabut ruang dan waktu yang menyelubunginya sehingga akan
terlihat hubungan antara teks-teks dari fase sejarah tertentu dengan
konteks sosial, generasi serta gerakan-gerakan pemikiran yang beragam
dan berada dalam waktu yang samaArchaelogy describes discourse as practices specified in the element of the archive. Lihat, Michel Foucault, The Archaelology of Knowledge (London: Routledge, 1991), h.131-233-4.
[33]. Moch. Nur Ichwan, h. 86-91.
[34]. Moch. Nur Ichwan, h. 91
[35]. Adnin Armas, Metodologi Bibel Dalam Alquran, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 75
[36]. Hendri Sholahudin, Al-Qur’an dan Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, (http://www. Ppmi pakistan. or.id/?p=20, 2009), h. 10
[37]. Adian Husaini, h. 4
[38]. Hendri Sholahudin, h. 12.
Post a Comment
mohon gunakan email