Pesan Rahbar

Home » , , , » IJTIHAD ALI IBN ABI THOLIB A.S

IJTIHAD ALI IBN ABI THOLIB A.S

Written By Unknown on Sunday, 3 August 2014 | 15:16:00


Ijtihad Khalifah Ali AS.

Para ulama Ahlus Sunnah dan Syi'ah tidak mencatat hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan Khalifah Ali AS yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAWW. Ini adalah bertepatan dengan sabda Nabi SAWW: "Ali bersama al-Qur'an dan al-Qur'an bersama Ali." Dan di dalam hadits yang lain, "Aku tinggalkan kepada kalian Thaqalain; Kitab Allah dan Ahlul Baitku. Kalian tidak akan sesat selamanya jika kalian berpegang kepada keduanya. Dan keduanya tidak akan berpisah sampai bersama-sama mengunjungiku di Haudh. "{Muslim, Sahih, VII, hlm. 122].
 
Dan ini menunjukkan bahwa khalifah Ali adalah maksum. Jika tidak, niscaya hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan beliau yang menyalahi nas dicatat oleh Ahlul Sunnah dan Syi'ah. Tampaknya khalifah Ali AS merasa kesal terhadap bid'ah-bid'ah yang telah dilakukan mereka. Sementara kaum Muslimin pula telah biasa dengan bid'ah-bid'ah tersebut selama 25 tahun. Khalifah Ali AS sendiri menggambarkan kondisi yang terjadi di masa itu seperti berikut:
"Khalifah-khalifah sebelumku telah melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar Rasulullah SAWW dengan sengaja. Mereka melanggar janji mereka dengan dia dengan mengubah Sunnah-sunnah beliau. Sekarang jika aku memaksa mereka untuk meninggalkannya dan mengembalikan kondisi sebagaimana di zaman Rasulullah SAWW, niscaya tenteraku akan bertaburan lari dariku, meninggalkanku sendirian atau hanya sedikit saja di antara Syi'ahku yang mengetahui kelebihanku, dan imamahku melalui Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAWW akan tinggal bersamaku. Apa pendapat kalian, jika aku menempatkan Maqam Ibrahim pada tempat yang telah ditempatkan oleh Rasulullah SAWW, mengembalikan Fadak kepada pewaris-pewaris Fatimah AS, mengembalikan timbangan dan ukuran seperti yang lazim di zaman Rasulullah SAWW, mengembalikan tanah kepada orang yang telah diberikan oleh Rasulullah SAWW, mengembalikan rumah Ja'far kepada pewaris-pewarisnya dan memisahkannya dari masjid (karena mereka telah merampasnya dan memasukkannya ke dalam masjid); mengembalikan hukum-hukum yang kejam yang dipaksa oleh khalifah-khalifah sebelumnya pada wanita-wanita yang secara tidak sah telah dipisahkan dari suami mereka, mengembalikan jizyah kepada Bani Taghlab, mengembalikan tanah Khaibar yang telah dibagi-bagikan, menghapuskan dewan-dewan pemberian dengan melanjutkan pemberian kepada semua orang sebagaimana dilakukan pada masa Rasulullah SAWW tanpa menjadikannya terkonsentrasi di kalangan orang-orang kaya, memulihkan pajak bumi, menyamakan kaum Muslimin di dalam masalah nikah kahwin, melaksanakan khums sebagaimana difardhukan Allah SWT, memulihkan Masjid Nabi seperti bentuknya yang asli pada zaman Nabi SAWW, menutup pintu-pintu yang terbuka (setelah wafatnya Rasul) dan membuka pintu-pintu yang ditutup (setelah wafatnya Rasul), melarang penyapuan di atas al-Khuffain, menetapkan hukum terbatas pada peminum nabidh, memerintahkan halal mut'ah wanita dan mut'ah haji sebagaimana pada zaman Nabi SAWW, memerintahkan takbir lima kali dalam shalat jenazah, mewajibkan kaum Muslimin membaca Bismillahi r-Rahmani r-Rahim dengan suara yang nyaring pada waktu shalat, mengeluarkan orang yang dimasukkan bersama Rasulullah SAWW di dalam masjidnya, di mana Rasulullah SAWW telah menghapusnya, memasukkan orang yang dikeluarkan setelah Rasulullah SAWW (beliau sendiri) di mana Rasulullah SAWW telah memasukkannya, memaksa kaum Muslimin dengan hukum al-Qur'an dan talak menuruti Sunnah, mengambil zakat menurut jenis-jenisnya yang sembilan, mengembalikan wudhuk cuci dan shalat kepada waktunya, syariatnya dan tempatnya, mengembalikan anggota Najran ke tempat-tempat mereka, mengembalikan layanan terhadap tawanan perang Farsi dan bangsa-bangsa lain kepada kitab Allah dan Sunnah NabiNya.
 
Jika aku melakukan semua ini, niscaya mereka mengembara meninggalkanku. Demi Allah ketika aku perintahkan orang-orang supaya tidak melakukan shalat jama'ah di masjid pada bulan Ramadhan kecuali shalat-shalat fardhu dan memberitahukan kepada mereka bahwa shalat sunat berjama'ah (Tarawih) adalah bid'ah, sekelompok tenteraku yang pernah berperang di pihakku mulai berteriak: "Wahai kaum Muslimin! Ali ingin mengubah sunnah Umar dan bermaksud menghentikan kita dari melakukan shalat-shalat sunat Tarawih di bulan Ramadhan." Mereka berteriak begitu rupa sampai aku khawatir mereka akan memberontak. Sayang! Betapa menderitanya aku berada "ditangan" orang-orang yang menentangku sekuat tenaga dan mentaati pemimpin-pemimpin mereka yang "keliru" yang hanya menyeru mereka ke neraka. "[Al-Kulaini, al-Raudhah mina l-Kafi, VII, hadits 21, hlm. 60-63].
 
Khalifah Ali AS begitu berdukacita di atas sikap negatif kaum Muslimin terhadap seruannya untuk kembali kepada Sunnah Rasulullah SAWW. Bahkan mereka pula memarahi dia. Khalifah Ali AS berkata, "Aneh! Hati ummat ini telah diresapi cinta kepada pelaku-pelaku bid'ah dan menerima segala bid'ah mereka." Kemudian dia berkata lagi, "Aneh! Mereka melihat Sunnah Nabi mereka beralih dan berubah- ubah sedikit demi sedikit, bab demi bab. Kemudian mereka meridhainya tanpa mengingkarinya. Bahkan mereka memarahi (orang lain) untuk mempertahankannya, mencaci pengkritik-pengkritiknya dan penentang-penentangnya. Kemudian datang kaum setelah kita, lalu mengikuti pula bid'ah-bid'ah tersebut. Lantas mereka mengambil bid'ah-bid'ah tersebut sebagai Sunnah dan agama bagi bertaqarrub kepada Allah SWT. "[Sulaim, Kitab Sulaim bin Qais al-Amiri, hlm. 134-135]
Persoalan yang timbul adalah apakah ucapan khalifah Ali AS itu benar terjadi kepada kita di abad ini? Lantas itu kita masih mencintai bid'ah-bid'ah tersebut. Dan sampai kapan kita harus dicaci, dihina dan dilarang, karena ingin kembali kepada hukum Allah SWT dan Sunnah Rasul-Nya?
 
Ali AS berjuang untuk mengembalikan kaum muslimin kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya yang sebenarnya. Lantaran itu dia ditentang di setiap waktu, bahkan Ali AS sendiri pada hakikatnya telah disisihkan dan dikucilkan oleh kekuasaan politik pada waktu itu. Selama 25 tahun ia tidak menghunuskan pedangnya. Ia bekerja hanya sebagai seorang petani biasa untuk menghidupi kehidupan keluarganya. Tanah Fadak peninggalan Rasulullah untuk istrinya Fatimah AS pula disita. Dan apa lagi yang tinggal untuknya selain dari tulang empat kerat untuk menghidupi keluarganya.
 
Bandingkanlah kemiskinan Ali AS dengan kekayaan yang ditinggalkan oleh khalifah Utsman, al-Zubair, Thalhah, Abdul r-Rahman dan Sa'ad, kelima mantan Anggota Syura atau Ahlu l-Hilli wa l-'Aqdi yang ditunjuk oleh khalifah Umar untuk memegang jabatan khalifah, kalian akan mengetahui kezuhudan Ali AS bahkan posisi mereka begitu jauh berbeda di semua segi jika dibandingkan dengan posisi Ali AS.
 
Khalifah Utsman ketika dia dibunuh meninggalkan seratus lima puluh ribu Dinar, seribu ekor unta, nilainya dua ratus ribu Dinar. [Ibn Sa'd, Tabaqat, III, hlm. 53], seribu hamba selain dari rumah-rumah, emas, perak dan intan. [Al-Dhahabi, Dual al-Islam, I, hlm. 12].
 
Al-Zubair meninggalkan lima puluh ribu Dinar, sebelas buah rumah mewah di Madinah, dua buah di Basrah, sebuah di Kufah, sebuah di Mesir, seribu ekor kuda, seribu hamba lelaki dan seribu budak. [Al-Bukhari, Sahih, V, hlm. 21; Ibn Sa'd, Tabaqat, III, hlm. 77; al-Mas'udi, Muruj al-Dhahab, I, hlm. 434].
 
Thalhah meninggalkan dua puluh ribu Dinar, memiliki hasil pertanian ditaksirkan sebanyak seribu Dinar setiap hari. [Ibn Sa'ad, Tabaqat, III, hlm. 158; al-Baladhuri, Ansab al-Asyraf, V, hlm. 7; al-Dhahabi, Dual al-Islam, I, hlm. 18].
 
Abdul r-Rahman bin 'Auf meninggalkan dua ratus lima puluh ribu Dinar, seribu ekor unta, tiga ribu ekor kambing, seratus ekor kuda yang dipelihara di Baqi', potongan emas yang banyak dipotong dengan kapak sampai sakit tangan pemotong-pemotongnya dan meninggalkan empat orang istri setiap orang mendapatkan delapan puluh ribu Dinar. [Ibn Sa'd, Tabaqat, III, hlm. 96; al-Mas'udi, Muruj al-Dhahab, I, hlm. 434; al-Ya'qubi, Tanggal, II, hlm. 146].
 
Sa'd bin Abi Waqqas meninggalkan dua ratus lima puluh ribu dirham dan sebuah istana yang besar dan indah. [Al-Mas'udi, Muruj al-Dhahab].
 
Justru itu mereka sepertilah manusia biasa berlomba merebut kekayaan dunia dengan cara apapun. Perlakuan tersebut telah disabdakan oleh Rasulullah SAWW, "Aku akan mendahului kalian dan sesungguhnya aku menjadi saksi kepada kalian, demi Allah aku sedang melihat ke haudhku sekarang aku dikaruniai kunci kekayaan bumi dan sesungguhnya aku tidak khawatir bahwa kalian akan mensyirikkan Allah, tetapi aku khawatir kalian akan bersaing berlomba untuk dunia. "[al-Bukhari, Sahih, V, hlm. 101]
 
Sebagaimana juga ada sahabat yang tidak meridhai keputusan yang dibuat oleh Rasulullah SAWW. Bahkan mereka menuduh dia melakukannya karena kepentingan diri sendiri dan bukan karena Allah SWT. Al-Bukhari di dalam Sahihnya, Jilid IV, hlm. 47 bab al-Sabr 'Ala al-Adha meriwayatkan bahwa al-A'masy telah memberitahukan kami bahwa dia berkata: "Aku mendengar Syaqiq berkata:" Abdullah berkata: Suatu hari Rasulullah SAWW telah membagi-bagikan sesuatu kepada para sahabatnya sebagaimana biasa dilakukannya. Tiba-tiba seorang Ansar mengkritiknya seraya berkata: "Sesungguhnya pembagian ini bukanlah karena Allah SWT. Akupun berkata kepadanya bahwa aku akan memberitahukan Nabi SAWW tentang kata-katanya. Akupun mendatangi beliau ketika itu beliau berada bersama para sahabatnya. Lalu aku memberitahukan dia apa yang terjadi . Tiba-tiba mukanya berubah dan menjadi marah sehingga aku menyesal memberitahukannya. Kemudian beliau bersabda: "Musa disakiti lebih dari itu tetapi ia bersabar." Perhatikanlah bagaimana sikap sahabat terhadap Rasulullah SAWW! Tidakkah apa yang diucapkan oleh Rasulullah SAWW itu adalah wahyu? Tidakkah keputusan Rasulullah SAWW itu harus dipatuhi? Tapi mereka tidak mematuhinya karena mereka tidak mempercayai kemaksuman Nabi SAWW.
 
Al-Bukhari di dalam Sahihnya, Jilid IV, Kitab al-Adab bab Man lam yuwajih al-Nas bi l-'Itab berkata: "Aisyah berkata: Nabi SAWW pernah melakukan sesuatu kemudian mengizinkan para sahabat untuk melakukannya. Tetapi sebagian sahabat tidak melakukannya. Kemudian berita ini sampai kepada Nabi SAWW, maka beliau memberi khutbah memuji Allah kemudian bersabda: "Kenapa mereka menjauhi dari melakukan hal yang aku melakukannnya. Demi Allah, sesungguhnya aku lebih mengetahui dari mereka tentang Allah dan lebih takut kepadaNya dari mereka. "
 
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa posisi para sahabat adalah lebih tinggi dari posisi Rasulullah SAWW. Karena mereka percaya bahwa Nabi SAWW bisa berbuat salah sedangkan mereka selalu benar.
Al-Bukhari juga di dalam Sahihnya Jilid IV, hlm. 49 bab al-Tabassum wa al-Dhahak (senyum dan tertawa) meriwayatkan bahwa Anas bin Malik telah memberitahukan kami bahwa dia berkata: "Aku berjalan bersama Rasulullah SAWW diwaktu itu ia memakai burdah (pakaian) Najrani yang tebal. Tiba-tiba datang seorang Badui lalu menarik pakaian Rasulullah SAWW dengan kuat. " Anas berkata: "Aku melihat kulit leher Nabi SAWW menjadi lebam akibat tarik kuat yang dilakukan oleh Badui tersebut. Kemudian dia (Badui) berkata: Wahai Muhammad! Berikan kepadaku sebagian dari harta Allah yang berada di sisi Anda. Maka Nabi SAWW berpaling kepadanya dan tertawa lalu menyuruh sahabatnya untuk memberinya. "
 
Karena itu tidak heran jika Rasulullah SAWW sendiri menjelaskan bahwa mayoritas sahabat akan berbalik ke belakang setelah kematiannya. Rasulullah SAWW bersabda: "Ketika aku sedang berdiri, tiba-tiba datang sekelompok orang yang aku kenal. Lalu seorang dari kami keluar dan berkata: Marilah. Aku pun bertanya: Kemana? Maka dia menjawab: Ke neraka. Demi Allah! Apa kesalahan mereka. Dia menjawab: Mereka (sahabat) telah murtad setelah Anda (meninggal) dan berpaling ke belakang. Dan aku melihat bahwa tidak terlepas dari mereka melainkan sejumlah unta yang terpisah dari penggembalanya. "[al-Bukhari, Sahih, IV, hlm. 94-96; Muslim, Sahih, VII, hlm. 66 (Hadith al-Haudh).
 
Dan beliau bersabda lagi: "Aku mendahulu kalian di Haudh. Siapa yang melalui di hadapanku akan meminumnya dan siapa yang telah meminumnya tidak akan haus selamanya. Kelak sejumlah orang yang aku kenal dan mereka pula mengenaliku akan dikemukakan di hadapanku. Kemudian mereka (sahabat ) dipisahkan dariku. Di kala itu akan akan berkata: Mereka itu adalah para sahabatku (ashabi) Maka beliau menjawab: Sesungguhnya Anda tidak mengetahui apa yang telah mereka lakukan (ahdathu) setelah Anda. Maka aku akan berkata lagi: Nyahlah mereka yang telah mengubah ( sunnahku) setelah ketiadaanku. "[al-Bukhari, Sahih, IV, hlm. 94-99]
Semua hadits-hadits tersebut adalah menepati ayat al-Inqilab firmanNya di dalam Surah Ali Imran (3): 144: "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang ( murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat merugikan Allah sedikitpun dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. " Dan jumlah yang sedikit saja yang "lolos" adalah menepati firmanNya di dalam Surah Saba '(34): 13: "Dan sedikit sekali dari hamba-hambaku yang bersyukur.".
 
Ini adalah suatu fakta dan iannya bukanlah suatu cacian atau cercaan. Jadi harus dibedakan antara "mencerca, mencaci dan menjelaskan" hakikat sesuatu hal. Jika tidak Anda akan mengatakan bahwa al-Bukhari, Muslim, al-Tabari, Ibn Katsir, Ibn Hajr, Ibn Qutaibah adalah agen Yahudi, orientalis dan sebagainya karena mencatat perbuatan-perbuatan sahabat yang menyalahi nas. Khalifah Ali AS berkata: "Jika seseorang mengatakan hal atau keadaan seseorang yang menyalahi nash al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAWW adalah lebih wajar dan tidak dapat dikatakan pengumpat." [Syarif al-Radhi, Nahj al-Balaghah, hlm. 323] Firman Allah yang dalam Surah al-Nur (24): 7: "Dan sumpah kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang yang berdusta," dan firmanNya lagi dalam Surah al-Baqarah (2): 159: ".. ... mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) orang yang dapat melaknat. "
 
Kedua ayat tersebut jelas menunjukkan orang yang melakukan dosa besar atau menyembunyikan kebenaran yang terkait dengan hukum agama dan lain-lain adalah dilaknati Allah dan RasulNya apakah sahabat atau tidak. Menurut ayat tersebut orang Islam wajib melaknati orang-orang yang telah dilaknati oleh Allah dan RasulNya.
Khalifah Umar tidak percaya Abu Hurairah dan memukulnya sampai berdarah karena mengambil harta Muslimin di Bahrain. [Ibn Abd Rabbih, al-'aqd al-Farid, I, hlm. 26] Dia memeluk Islam pada 7 Hijrah dan dia bersama Nabi SAWW selama dua tahun lebih tetapi dia telah meriwayatkan hadits sebanyak 5,374 hadits sementara Ahl Suffah yang memiliki waktu luang dan memeluk Islam lebih awal sekitar 18 orang hanya meriwayatkan 116 hadits. Abu Bakar meriwayatkan 142 hadis, Utsman 146 hadits, Umar 537 hadis dan Ali AS 586. [Lihat Syarafuddin al-Musawi, Abu Hurairah, hlm. 20].
 
Abu Hurairah meriwayatkan sebuah hadis yang menyatakan Nabi Musa AS telah menampar Malaikat Izrail dan melukai sebelah matanya? [Al-Bukhari, Sahih, II, hlm. 163; Muslim, Sahih, I, hlm. 309] Tidakkah ia bertentangan dengan al-Qur'an tentang sifat malaikat dan sifat Nabi?
 
Hadits yang artinya, "Sebaik-baik abad adalah kurunku dan kurun setelahku" adalah bertentangan dengan al-Qur'an dan akal.
 
Firman Allah dalam Surah Fussilat (41): 46: "Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh, maka pahalanya untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atasnya sendiri dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hambaNya."
 
Kedua ayat tersebut tidak menetapkan pahala yang lebih kepada orang yang hidup pada abad pertama, kedua dan seterusnya, bahkan mereka diberi ganjaran atau siksaan menurut perbuatan mereka.
 
Ini juga bertentangan dengan akal yang sejahtera karena ada peristiwa yang seharusnya tidak dilakukan oleh orang yang hidup pada abad pertama. Antaranya upaya untuk membakar rumah Fatimah binti Muhammad SAWW karena memaksanya memberikan bai'at kepada Abu Bakar, lahirnya kaum murtad dan mengaku menjadi Nabi, Perang Jamal yang menewaskan lebih 16.000 orang, Perang Siffin yang mengorbankan lebih 70.000 orang, sebagian besar sahabat dan tabi'in, Perang Nahrawan menentang Ali AS, penipuan Muawiyah terhadap Imam Hasan AS, cacian Muawiyah di atas mimbar terhadap Ali di masjid-masjid, pengangkatan Yazid, seorang peminum alkohol, pembunuhan Imam Husain AS, anak-anak dan keluarganya serta sahabatnya sebanyak 72 orang, pembantaian -ramai di Madinah yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah, panglima Yazid, 80 orang sahabat Nabi yang telah bergabung Perang Badar dibunuh dalam Perang al-Hurrah. [Ibn Qutaibah, al-Imamah wal-Siyasah, I, hlm. 216].
 
Bani Umayyah mencaci Ali AS di atas mimbar masjid selama 70 tahun, dimulai dari Muawiyah, berlanjut sampai pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Cacian dihentikan selama dua tahun lebih, kemudian dilanjutkan kembali. [Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa ', hlm. 243].
 
Dimana kebaikan 100 tahun pertama, selain dari abad lahirnya Nabi SAWW dan keluarganya? Kenapa tidak dikatakan saja sebaik-baik makhluk adalah Nabi Muhammad SAWW, kemudian keluarganya.
 
Adapun riwayat Abu Hurairah yang artinya, "Janganlah kamu semua mencaci sahabat-sahabatku" adalah bertentangan dengan hadits, "Allah melaknat orang yang mengundurkan diri dari bergabung tentara 'Usamah'. [Ibn Asakir, Tanggal Dimasyq, I, hlm. 424; al Syarastani, al-Milal wa al-Nihal, I, hlm. 21] Nabi SAWW melawan sahabatnya yang mencaci 'Usamah (ketika itu berusia 18 tahun) dan mengundurkan diri mereka dari tentaranya karena tidak mungkin bagi Nabi yang melarang agar sahabatnya tidak dicaci, beliau sendiri mencacinya pula dan orang yang di khitab kan di dalam hadits tersebut adalah orang yang berada di majlis Nabi SAWW, yang terdiri apakah orang kafir, munafik atau orang Islam. Ini berarti Nabi melarang orang kafir mencaci sahabat, sekalipun ia sendiri dicaci oleh mereka.
 
Kalaulah itu ditujukan kepada orang Islam, maka ia memiliki dua pengertian. Pertama, orang Islam yang ada saat hidup Nabi SAWW adalah sahabatnya. Dengan itu khitab Nabi SAWW berarti, "Janganlah kamu wahai sahabatku mencaci sahabatku ...." Ini berarti sahabat yang di khitab kan itu adalah sahabat yang jahat. Dengan kata yang lain, "Wahai sahabatku yang jahat, janganlah kamu mencaci sahabatku yang baik," justru itu ada sahabat yang baik dan ada yang jahat. Jikalaulah orang Islam itu hanya dimaksudkan untuk orang lain dari sahabat, berarti orang Islam tidak bisa mencaci orang Islam (sahabat) yang telah dicaci oleh Allah dan RasulNya. Ini bertentangan dengan Surat al-Nur (24): 7, yang tidak membedakan antara sahabat dan bukan sahabat.
 
Pujian atau keridhaan Allah kepada seseorang atau sahabat tertentu berkaitan erat dengan perbuatan mereka itu sendiri dan jika perbuatan mereka itu pada waktu yang lain menyalahi nas, maka pujian atau keredhaanNya tidak akan dikaitkan dengan mereka berbasis nas, karena pujian atau keredhaan dalam ayat-ayat tersebut adalah dari sifat fi'liyah yang terhenti atas perbuatan makhluk dan bukan dari sifat dhatiyah yang memberi pengertian tetap tanpa berdasarkan perbuatan mereka apakah bertentangan dengan nas atau tidak.
 
Jadi kalau ia memberi pengertian keredhaan yang permanen atau selamanya maka semua orang yang termasuk di dalam firmanNya: yang berarti "Wahai orang yang beriman" tidak seorangpun di antara mereka akan jadi murtad, begitu juga kemurkaanNya kepada orang kafir di dalam firmanNya: "Wahai orang kafir "tidak seorangpun dari mereka akan menjadi Muslim.
 
Khalifah Umar telah menyebat Qadamah bin Maz'un salah seorang sahabat yang awal memeluk Islam dan bergabung Perang Badar karena minum alkohol. [Ibn Hajr, al-Isabah, III, hlm. 228] Jika Allah telah meridhainya kenapa pula Umar menetapkan hukuman had atasnya?
 
Dimana sumber hukum yang mengatakan orang yang mencaci sahabat tidak bisa diampun? Ibn Hajr di dalam Sawaiq al-Muhriqah, hlm. 150 tidak mengkafirkan orang yang mencaci sahabat. Begitu juga Ibn Hazm di dalam al-Fisal, III, hlm. 257 tidak mengkafirkan orang yang mencaci sahabat, bahkan ia diampun jika dia seorang yang jahil. Dan jika mencaci sahabat adalah kafir, maka sahabat mencaci sahabat adalah lebih kafir lagi dan mereka pula lebih wajar tidak diampun!
 
Jadi Allah SWT sendiri tidak mengakui bahwa semua sahabat itu adalah adil. Rasulullah SAWW sendiri tidak mengakui bahwa semua sahabatnya adil. Al-Bukhari dan Muslim sendiri tidak mengakui semua sahabat itu adil. Untuk menjelaskan ketidakadilan semua sahabat, di sini ada beberapa pertanyaan dan jawaban seperti berikut:

a) Pertanyaan: Apakah "sikap" Allah SWT terhadap sahabat yang melanggar hukumNya? Jawabannya: Negatif, sahabat itu tidak adil, tidak ada khusus, harus dihukum sesuai dan tidak bisa berijtihad menyalahi nas.

b) Pertanyaan: Apakah sikap Rasulullah SAWW terhadap sahabat yang melanggar hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya? Jawabannya: Negatif, sahabat itu tidak adil, tidak ada hak istimewa, harus dihukum dengan Nya dan tidak bisa berijtihad menyalahi nas.

c) Pertanyaan: Apakah sikap Syi'ah terhadap sahabat yang melanggar hukum Allah dan RasulNya? Jawabannya: Negatif, sahabat itu tidak adil, tidak ada hak istimewa, harus dihukum dengan Nya dan tidak bisa berijtihad menyalahi nas.

d) Pertanyaan: Apakah sikap kita Ahlus Sunnah terhadap sahabat yang melanggar hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya? Jawabannya: Positif, sahabat itu adil, memiliki hak istimewa, tidak dihukum dengan hukum Allah dan RasulNya karena Allah telah meridhai mereka dan Rasulullah SAWW pula telah memilih mereka sebagai sahabatnya. Jadi mereka bisa berijtihad menyalahi nas, mereka pula mendapat satu pahala sebagai imbalan menyalahinya.

e) Pertanyaan: Apakah sikap kita Ahlus Sunnah terhadap hukum Abu Bakar dan Umar yang melanggar hukum Allah SWT? Jawabannya: Hukum Abu Bakar dan Umar harus diikuti. Karena mereka berdua adalah adil dan bisa berijtihad melawan hukum Allah SWT. Bahkan mereka berdua diberikan pahala pula. Dan jika seseorang tidak mengikuti hukum mereka berdua yang melanggar hukum Allah SWT maka dia adalah keluar dari Ahlus Sunnah wal-Jama'ah. Dan mereka berkata: "Siapakah kita jika dibandingkan dengan mereka berdua?" Tapi kita tidak pernah membandingkan mereka berdua (Abu Bakar dan Umar) dengan Allah SWT yang membuat mereka berdua. Karena itu kita Ahlus Sunnah lebih meridhoi hukum mereka berdua dari hukum Allah SWT. Sebaliknya kita menentang orang-orang yang mengkritik mereka berdua karena melanggar hukum Allah. Dan mempertahankan mereka berdua pula dengan cara apapun. Seharusnya kita lebih meridhoi hukum Allah SWT dari hukum Abu Bakar dan Umar.

f) Pertanyaan: Apakah sikap kita Ahlus Sunnah terhadap Sunnah khalifah Abu Bakar dan Umar yang menyalahi Sunnah Rasulullah SAWW? Jawabannya: Sunnah Abu Bakar dan Umar harus diikuti karena mereka berdua adalah adil dan ini adalah prinsip Ahlus Sunnah wal-Jama'ah. Dan mereka berdua pula bisa berijtihad melawan Sunnah Rasulullah SAWW bahkan mereka berdua diberikan pahala pula. Dengan ini kita Ahlus Sunnah lebih meridhai Sunnah mereka berdua dari Sunnah Rasulullah SAWW. Justru itu kita Ahlus Sunnah bukanlah orang yang menjaga Sunnah Rasulullah SAWW di dalam arti yang sebenarnya. Bahkan kita menggunakan nama "Ahlus Sunnah" untuk menjaga Sunnah Abu Bakar dan Umar dengan mengabaikan Sunnah Rasulullah SAWW saat ini bertentangan dengan Sunnah mereka berdua. Dan ini adalah suatu fakta apakah kita mengakuinya atau tidak.
 
Dari jawaban-jawaban tersebut kita temukan bahwa sikap Syi'ah tentang sahabat adalah sejajar dengan "sikap" Allah dan RasulNya. Sementara sikap kita Ahlus Sunnah agak keterlaluan tidak sejajar dengan "sikap" Allah dan RasulNya serta akal yang rasional. Lantaran itu doktrin semua sahabat itu adil adalah bukan dari ajaran al-Qur'an dan Sunnah RasulNya. Bahkan ini diadakan pada abad ketiga Hijrah bermotif politik untuk menjaga para sahabat yang memerintah yang menyalahi nas. Kemudian ia dijadikan "aqidah" ​​oleh Abu l-Hasan al-Asy'ari di dalam bukunya al-Ibanah, hlm. 12.
 
Semenjak itu ia menular ke dalam pemikiran golongan Ahlus Sunnah wal-Jama'ah sehingga menjadi identik di dalam pemikiran mereka tanpa disadari bahwa itu bukanlah dari aqidah al-Qur'an. Justru itu mereka menjadi lebih sensitif kepada sahabat terutama Abu Bakar dan Umar dari Allah dan RasulNya. Lalu mereka meridhai para sahabat yang melanggar hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Dan mengutamakan hukum dan Sunnah mereka dari hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Dan ketika kritik dilakukan kepada sahabat yang menyalahi nash, kita Ahlus Sunnah cepat menjadi emosi dan marah sama ada yang berpendidikan tinggi yang memiliki gelar Ph.D atau yang berpendidikan Sijil Pelajaran Malaysia atau Empat Thanawi. Apakah yang berpangkat Mufti atau amil zakat semuanya mempertahankan para sahabat yang menyalahi nas, meridhai dan mematuhi mereka pula. Karena itu ia menjadi belenggu bagi pemikiran menurut al-Qur'an. Bahkan ini merupakan suatu "penjajahan mental" yang halus yang sulit di kikis dari pemikiran mereka.
 
Karena itu ketika dikritik para sahabat yang melakukan kezaliman, perzinaan, peminuman minuman keras, pencurian, penipuan, pembunuhan, pemalsuan hadits, pengambilan dan pemberian suap, pencacian terhadap Nabi SAWW, penindasan terhadap anak cucu Nabi SAWW dan lain-lain, mereka merasakan bahwa agama Islam terkontaminasi dan dasar Islam telah diruntuhkan karena mereka menyangka bahwa para sahabat yang melakukan kejahatan tersebut sebagai orang-orang yang selalu adil, yang harus dihormati karena mereka adalah dasar Islam.
 
Sebenarnya mempertahankan para sahabat yang melakukan kejahatan tersebut atau menyalahi nas bukanlah dasar Islam, bahkan mereka mencemari hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Dan hanya menjadi dasar bagi mazhab Ahlus Sunnah wal-Jama'ah saja. Karena Allah dan RasulNya menentang para sahabat tyang melakukan kejahatan tersebut dan mereka dihitung sebagai tidak adil dan berhak diberi pembalasan sesuai. Bagi kita Ahlus Sunnah kita lebih meridhai dan mematuhi hukum-hukum Abu Bakar dan Umar yang menyalahi nas dari nas. Dan ini adalah aqidah kita Ahlus Sunnah wal-Jama'ah yang didirikan oleh Abu l-Hasan al-Asy'ari pada abad ketiga Hijrah.
 
Untuk memverifikasi hak istimewa para sahabat yang memerintah dan menyalahi nash, kita popularkan pula "hadits", "Bila seorang hakim atau pemerintah berijtihad dan benar, dia mendapat dua pahala dan jika salah (karena menyalahi nas misalnya) dia mendapatkan satu pahala." Hadih ini pada hakikatnya bertentangan dengan firman-firmanNya di antaranya di dalam Surah al-Ahzab (33): 36: "Dan tidaklah patut bagi pria yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan sesuatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata. " Dan firmanNya dalam Surah al-Maidah (5): 49: "..... dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka."
 
Dan firmanNya di dalam Sirah al-Maidah (5): 50: "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" Jadi hadits tersebut adalah lemah karena ini bertentangan langsung dengan ayat-ayat tersebut apalagi jika mereka menggunankan ijtihad sebagai alasan untuk melanggar nas.
 
Kemudian doktrin ini pula dijadikan hak istimewa penguasa-penguasa tertentu di dalam dunia Sunni. Jadi koreksi atau penentangan terhadap hak istimewa penguasa-penguasa tersebut pada hukum Allah dan RasulNya di masa ini dan seterusnya tidak akan terlaksana sepenuhnya tanpa koreksi atau penghapusan terhadap "hak istimewa penguasa-penguasa yang terdiri dari para sahabat yang menyalahi nas" yang menjadi "aqidah" ​​kita Ahlus Sunnah wal-Jama'ah.
 
Justru itu setiap perjuangan atau penentangan kita Ahlus Sunnah terhadap kezaliman untuk menegakkan sebuah negara Islam misalnya, adalah terbatas dan tidak pula berkelanjutan. Ini disebabkan kita sendiri terlibat secara langsung di dalam kancah mempertahankan "hak istimewa" para sahabat yang menyalahi nas. Justru itu bertentangan dengan firman Tuhan di dalam Surah Hud (11): 13: "Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, maka kamu akan disentuh api neraka."
 
Ketika Ali AS menjadi khalifah, beliau tidak memberikan hak istimewa kepada siapapun. Bahkan beliau menyamakan kedudukan semua orang dari segi keadilan menurut al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAWW. Tindakannya itu tidak disenangi oleh sebagian mereka dan akhirnya terjadi Perang Jamal yang dipimpin oleh 'Aisyah, al-Zubair dan Thalhah. Dan dialog telah terjadi di antara Khalifah Ali AS dan al-Zubair. Dia mengatakan kepada al-Zubair: "Jika aku tahu Anda ahli surga, aku tidak akan memerangi Anda." Tentang kesalahan al-Zubair dalam perang Jamal, lihat al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, I, hlm. 103, Kitab Sulaim, hlm. 211.
 
Lantaran itu hadits 10 orang sahabat yang dijamin masuk surga itu adalah hadits-hadits politik yang mencoba menyatukan pendukung klan yang bersengketa. Dalam arti yang lain, sekalipun mereka yang 10 itu berperang dan caci-mencaci tapi akhirnya mereka ke surga juga. Ini terjadi ketika seorang pria mencela Ali di Masjid Kufah, maka berdirilah Said bin Zaid (w.51H) seraya berkata: "Aku mendengar Nabi bersabda bahwa 10 orang masuk surga; yaitu Ali, Thalhah, al-Zubair, Said bin Abi Waqas, dan Abdu r-Rahman bin Auf. "Kemudian orang bertanya:" Siapakah yang kesepuluh? " Ia menjawab: "Aku." Dalam lafal yang lain nama Abu Ubaidah dimasukkan dan Nabi pula tidak dimasukkan. [Al-Turmudhi, Jami ', hlm. 13 dan 183] Hadits ini melalui Abdu r-Rahman bin Hamid yang didengarnya dari ayahnya yang mendengar dari Abdu r-Rahman bin 'Auf. Hadits ini dianggap palsu karena ayah Abdu r-Rahman bin Hamid yang bernama al-Zuhri adalah seorang tabi'in, bukanlah sahabat, ia lahir pada 31 Hijrah, sementara Abdu r-Rahman bin Auf meninggal pada tahubn 31 atau 32 Hijrah.
Kemudian diikuti pula Perang Siffin yang dipimpin oleh Muawiyah dan akhirnya Perang Nahrawan. Sesungguhnya benar apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAWW kepada Ali AS: "Sesungguhnya Anda akan memerangi al-Nakithin (di Perang Jamal), al-Qasitin (di Perang Siffin) dan al-Mariqin (di Nahrawan)" [al-Kanji al-Syafi 'i, Kifayah al-Thalib, hlm. 169].
 
Demikianlah perjuangan Khalifah Ali AS untuk menegakkan Sunnah Rasulullah SAWW sekalipun ia ditentang oleh para sahabatnya sendiri. Tapi sayang sekali keinginannya untuk mengembalikan kaum muslimin kepada Sunnah Rasulullah SAWW kurang mendapat respon, sehingga ia menemui kesyahidannya tanpa kekayaan yang ditinggalkannya.
 
Kesimpulan:
Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman berpendapat bahwa ijtihad bisa dilakukan meskipun wujudnya nas. Pendapat ini kemudian dipegang oleh Ahlus Sunnah wal-Jama'ah. Sementara Imam Ali AS berpendapat ijtihad tidak dapat dilakukan jika adanya nas. Pendapat ini kemudian dipegang oleh Syi'ah (Mazhab Ja'fari).
Dari pendapat-pendapat Khulafa 'Rasyidin lahirlah dua golongan sampai dewasa ini. Pertama dikenal dengan Ahlus Sunnah wal-Jama'ah yang mendukung ijtihad ketiga khalifah meskipun itu bertentangan dengan nas. Mereka juga berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
 
Kedua dikenal dengan Syi'ah (Mazhab Ja'fari) yang mendukung Imam Ali AS berpegang kepada ijtihad tidak dapat melawan nas sampai dewasa ini. Meskipun begitu mereka berpendapat bahwa pintu ijtihad masih terbuka. Karena itu mereka memiliki banyak para mujtahid di setiap masa dan terus berijtihad di dalam soal-soal yang tidak bertentangan dengan nash.
 
Jadi semua pendapat atau ijtihad Khulafa 'Rasyidin harus dihormati dan digabungkan di dalam satu wadah persatuan yaitu ijtihad harus diteruskan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam di masa ini. Karena zaman Khulafa 'Rasyidin sudah berlalu. Dan ini menjadi satu contoh dan pengajaran kepada kita semua.
 
Saya memiliki harapan yang tinggi bahwa perasaan fanatik dan kejumudan pikiran akan dicairkan melalui pembacaan, penelitian dan merujukkannya kepada Allah SWT dan RasulNya SAWA. Semoga Allah memberkati kita semua bersama Khulafa 'Rasyidin. Amin.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: