Pesan Rahbar

Home » , , , » Teroris ISIS : Ancaman Baru Pancasila

Teroris ISIS : Ancaman Baru Pancasila

Written By Unknown on Wednesday, 13 August 2014 | 21:58:00

Awal Ramadhan tahun ini, dunia internasional dikejutkan oleh pengumuman  dari juru bicara gerakan bersenjata yang menamakan dirinya Islamic State in Iraq and Sham (ISIS) tentang telah berdirinya Khilafah Islamiyah.  Juru bicara ISIS, Syaikh Abu Muhammad al Adnaniy  asy Syamiy melalui rekaman audio yang disebarkan secara online, memberi penegasan bahwa (Islampos.com, 30/6/2014):
“ Dewan syura Daulah setelah melalui berbagai pertimbangan memutuskan untuk mendirikan Khilafah Islam dan menunjuk Abu Bakar Al-Baghdadiy sebagai khalifah yang akan memimpin seluruh kaum Muslimin.  Dan ia (Al-Baghdadiy) telah menerima bai’at. Oleh karena itu, dia adalah imam dan khalifah bagi setiap Muslim di manapun. Dan dengan ini, nama Irak dan Syam dalam nama Daulah Islam sekarang dihapus dari semua pembahasan dan komunikasi resmi, dan nama resminya diubah menjadi ‘Daulah Islam’ dimulai dari sejak tanggal deklarasi ini!”
Pengumuman ini merupakan sebuah proklamasi hadirnya Negara baru yang berimajinisi mengembalikan kejayaan Kekhilafahan Islam di masa lalu. Nama Khilafah Islamiyah merujuk pada sebuah imperium yang dibangun sejak masa Abu Bakr ash-Shiddiq sampai masa Kekhilafahan Turki Ottoman, yang runtuh di awal abad 20. 
Namun, berbeda dengan bangunan Kekhilafahan era Khulafa-ar-Rasyidin (The Great Chalipate) saat Abu Bakr ash-Shiddiq pertama-kali diba’iat, yang berbasis pada transisi dan pergantian kepemimpinan secara damai dari Nabi Muhammad; Kekhilafahan Islamiyah model ISIS hadir justru dari kecamuk perang antar faksi-faksi umat Islam di sekitar Irak dan Syria. ISIS – pada awalnya – merupakan bagian dari faksi militer Al-Qaeda yang menyempal. Sang Khalifah, Abu Bakr al-Baghdadiy merupakan tokoh penting Al-Qaeda yang kemudian keluar dan mengorganisasikan sebuah kekuatan milisi bersenjata bernama ISIS. Kemahirannya dalam pengorganisasian membuat al-Baghdadiy sanggup menjadikan ISIS sebagai faksi bersenjata yang sangat disegani, bahkan Al-Qaeda sendiri tak sanggup menghadapi.
Anggota utama dari pasukan yang diorganisir oleh ISIS adalah faksi-faksi militer yang bersimpati dengan perjuangan Al-Qaeda. Beberapa simpatisan Ikhwanul-Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Salafy secara personal – yang mempunyai visi sama – juga merupakan anggota dari ISIS. Meskipun demikian, sejauh ini, tidak ada pernyataan terbuka dari Ikhwanul Muslimin dan Salafy untuk mendukung berdirinya Khilafah Islamiyah versi ISIS itu. Bahkan, melalui rilis di website-nya, Hizbut Tahrir secara terbuka mengutuk pendirian Khilafah Islamiyah versi ISIS, menganggap bahwa pendiriannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidai syar’i.
Di Indonesia, dukungan secara resmi justru muncul dari jejaring Islam yang berafiliasi dengan Jama’ah Islamiyah seperti Korps Mubaligh Jakarta (KMJ) dan Jam’ah Anshorut Tauhid (JAT). Patut dicatat, KMJ dan JAT (Kompas, 18/7/2014) adalah dua organisasi yang secara terang-terangan mempermasalahkan karikatur The Jakarta Post yang mengkritik kebiadaban ISIS. Meskipun, secara terbuka, The Jakarta Post telah memintaa maaf dan mencabut karikatur itu, KMJ dan JAT tetap menuntut The Jakarta Post ke pengadilan.
Satu tokoh penting dari lingkaran dalam Jama’ah Islamiyah, Ustadz Abu bakr Ba’asyir secara terbuka telah memberi dukungan atas berdirinya  Khilafah Islamiyah versi ISIS itu. Dari penjara Nusa Kambangan, melalui juru bicaranya, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir memberi dukungan terbuka, tetapi belum memberi ba’iat terhadap Khalifah Abu Bakar Al-Baghdadiy. Di samping itu, kampanye-kampanye untuk mensosialisasikan dan mendukung berdirinya Khilafah Islamiyah sangat massif dilakukan. Simpul-simpul gerakan ini meliputi Ciputat, Bandung,Bogor, Solo, Jogja, Surabaya, Malang, dan bahkan sampai Nusa Tenggara Barat.
Melihat gerakan yang sangat massif itu, potensi menjamurnya dukungan (dan juga ba’iat) terhadap Khilafah Islamiyah versi ISIS sangat kuat terjadi di Indonesia. Adalah wajar, jika kemudian, ternyata anggota dari milisi bersenjata ISIS merupakan orang-orang Indonesia.  Majalah TIME (17/6/2014) pernah melaporkan bahwa sebagian besar anggota ISIS bukanlah orang-orang Timur-Tengah, Uzbek, atau Checnya melainkan orang-orang dari Indonesia. Artinya, meskipun gerakan terorisme telah diperangi secara massif di Indonesia oleh Densus 88, namun aliansi antara gerakan fundamentalisme Islam radikal di Indonesia dengan Timur-Tengah belum terputus, eksodus migrasi para pejuang jihad dari Indonesia ke wilayah-wilayah konflik di Timur-Tengah masih terus terjadi. Indonesia adalah wilayah subur kaderisasi pejuang jihad.
Delegitimasi Pancasila
Realitas sosial ini tentu saja sangat mengkhawatirkan dan membutuhkan respon yang tepat dan cepat. Pembiaran terhadap kampanye yang sangat massif oleh para pendukung ISIS di Indonesia merupakan tindakan yang sangat kontraproduktif.
Ideologi yang dibawah oleh ISIS adalah fundamentalisme Islam yang ekslusif, mengabaikan aspek inklusifisme dan acuh terhadap keragaman. ISIS – dengan Khilafah Islamiyah-nya – memimpikan hadirnya Pan-Islamisme Raya di dunia. Irak, Syria dan sekitarnya dijadikan basis utama gerakan ini. ISIS – sama dengan Hizbut Tahrir – menentang keras demokrasi dan nasionalisme yang dianggapnya sebagai taghut, berhala terkutuk  yang harus dilawan. Bahkan, dalam banyak aksinya, ISIS tak segan membunuh siapa saja yang menentang cita ideal yang diimpikannya. Aksi-aksi kekerasan dan kekejaman oleh ISIS banyak diunggah di dunia maya oleh anggotanya sendiri. Kekejaman ISIS inilah yang sejatinya merupakan sasaran kritik dari karikatur The Jakarta Post edisi 3 juli 2014. Karikatur itu sejatinya adalah copy-paste dari media Al-Quds Al-Arabiya yang mempublikasikan karikatur yang sama pada tanggal 30 Juni 2014. Artinya, di Timur-Tengah sendiri, ISIS juga dikritik.
Ideologi ISIS yang anti-dialog dan mengembangkan sudut pandang islamisme sempit sangat bertentangan dengan cita-ideal bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa memimpikan Indonesia menjadi bangsa yang majemuk, bangsa yang internasional – kalau meminjam istilah dari Bung Karno. Sebaliknya, ISIS menghadirkan konsep homogenisasi kebangsaan melalui islamisme. Jika di Indonesia yang menjadi ikatan pemersatu kredo kebangsaan adalah Pancasila maka ISIS memimpikan Islam sebagai pengikat kebangsaan. Dilihat dari sini, gagasan ISIS jelas sangat bertentangan dengan keindonesiaan. ISIS adalah anti-thesis dari keindonesiaan.
Masalahnya, di level akar rumput, gagasan-gagasan ala ISIS ini berkembang bak cendawan. Ustadz-ustadz yang mempunyai sudut-pandang Islamisme dan anti-Pancasilaisme bertebaran di kampong-kampung dan sudut-sudut kota. Pengajian-pengajian yang mendeskreditkan Pancasila kerap terdengar, meskipun tidak dilakukan secara terbuka.
Musuh terbesar dari Pancasila adalah islamisme. Hal ini perlu digaris-bawahi mengingat Indonesia adalah Negara dengan jumlah pemeluk Islam yang sangat besar. Setiap usaha provokasi untuk menumbangkan pancsilaisme dan menggantikannya dengan islamisme akan mudah direspon, terutama oleh anak-anak muda. Lebih lagi, di saat yang sama, ketidak-adilan terjadi begitu massif di Indonesia. Isu-isu ketidak-adilan menjadi “pemantik api” yang pas untuk menawarkan “surga”.
Counter Discourse   
Sikap paling bijaksana menghadapi membiaknya gagasan fundamentalisme agama berbasis Islamisme ini bukan dengan cara-cara kekerasan atau intimidasi. Kekerasan dan intimidasi justru memperkuat militansi dan diskursus yang mereka bangun. Terbukti, pendekatan kekerasan yang dilakukan oleh Densus 88 tidak serta-merta mengeliminasi cara-pandang islamisme ini. Alih-alih berkurang, cara pandang islamisme justru mngental, menguat dan membiak. Densus 88 malah – sekarang – menjadi musuk publik karena tindakan-tindakannya kerap tidak transparan.
Cara terbaik menghadapi membiaknya ideology islamisme ini adalah dengan melakukan counter discourse atau melawan wacana islamisme dengan wacana pancasilaisme, Halini penting dilakukan untuk mendarah-dagingkan falsafah Pancasila sebagai philosofische grondslag, terutama pada kalangan kaum muda. Hancurnya karakter kebangsaan di kalangan kaum muda disebabkan pancasila tidak pernah dikampanyekan secara massif. Kalau toh ada kampanye tentang pancasila, itu dilakukan hanya dalam bentuk seremonial, tanpa ada pemahaman dan pemaknaan yang mendalam. Pancasila – akhirnya – hanya menjadi sebagai ornament sejarah – meminjam istilah BJ. Habibie.
Diskursus tandingan (Counter discourse) tentang Pancasila perlu dimassifkan dalam menghadapi islamisme atau islamsentrisme ala ISIS untuk menghadirkan wajah Islam yang mengindonesia. Islam yang otentiuk dengan nilai-nilai keindonesiaan, bukan Islam ala Timur-Tengah yang anti-perbedaan. Kredo “Bhineka Tunggal Ika” harus dapat diresapi sebagai usaha untuk mengindonesiakan Islam.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: