Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan ringkasan sejarah perang paderi
Betapa mengerikan, bagaimana sekelompok orang YG BERFAHAM WAHABI dengan dalil mengatasnamakan pe-murni-an agama menyerang umat islam lainnya, membantai raja dan
seluruh keluarganya dengan kejam dan licik, menghancurkan 2 kerajaan,
dan mengakibatkan kematian jutaan orang.... Seluruhnya atas nama
pe-murni-an agama dari adat istiadat yang (menurut mereka) melanggar
syariat islam.
3 Fase Perang Paderi
Sebagaimana diketahui, perang paderi biasanya dibagi dalam 3 fase yaitu:
** Fase 1: 1802 – 1821
Periode ini adalah fase kelam penyerangan yang dimotori segelintir kaum
wahabi terhadap umat islam lainnya atas nama pe-"murni"-an agama dari
"adat istiadat" yang menyimpang dari syariat islam. Dalam periode ini,
terjadi pembantaian terhadap Raja Minangkabau dan seluruh keluarganya.
Penyerangan kaum paderi di SUmatera Barat dan Sumatera Utara
mengakibatkan korban jiwa yang sangat besar, di susul oleh berjangkitnya
wabah kolera mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Islam Minangkabau di
Sumatera Barat. Kaum Paderi juga merangsek ke Sumatera Utara meng-invasi
Kerajaan Batak Bakkara dan menewaskan Sisingamangaraja X.
Seluruh penyerangan yang melemahkan Kerajaan di Sumatera barat dan
Sumatera Utara ini mengakibatkan mudahnya penjajah Belanda masuk ke
Padang mulai tahun 1819.
** Fase 2: 1821 – 1832
Periode ini adalah pertempuran antara kaum paderi melawan penjajah belanda.
** Fase 3: 1832 – 1837
Periode ini adalah pertempuran kaum paderi bersama rakyat Sumatra Barat
lainnya (termasuk kaum "adat" yang pernah dibantai secara biadab oleh
kaum Paderi) melawan penjajah belanda.
Selanjutnya saya hanya akan menuliskan sejarah kaum paderi pada fase 1
1802 -1821. Karena fase 2 dan fase 3 sudah banyak diceritakan di sejarah
Imam Bonjol versi sekolah.
Penyerangan Kaum Paderi Terhadap Kerajaan Islam Minangkabau
Dimulai dari tahun 1802, dimana 3 orang yang baru pulang dari arab saudi
mendirikan gerakan wahabi di Sumatera Barat yaitu Haji Miskin dari
Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima
Puluh) dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar). Gerakan
wahabi oleh 3 pak haji ini tidak mendapat respons yang baik dari rakyat
muslim Sumatera Barat pada saat itu.
Hingga pada 1803, gerakan wahabi menjadi gerakan bersenjata setelah Haji
Miskin mendapat sokongan dari 7 orang muridnya yang dipimpin Tuanku Nan
Renceh. Selanjutnya Haji Miskin dan 7 muridnya menamakan diri Harimau
Nan Salapan, berpakaian jubah putih-putih, dan kemudian disebut sebagai
kaum paderi.
Atas nama pe-murni-an agama islam dari praktek adat, selanjutnya kaum
paderi menyerang sekelompok orang yang menyelenggarakan pesta adat
(termasuk di dalamnya ada judi sabung ayam) di Bukit Batabuh pada 1803.
Penyerangan berdarah ini diikuti dengan penyerangan-penyerangan
berikutnya di berbagai kota di Sumatera Barat.
Hingga pada tahun 1808, Raja Minangkabau Sultan Arifin Muning mengundang
kaum paderi dalam perundingan damai di Kuto Tengah. Sayangnya, kaum
paderi justru melakukan pembantaian kejam atas Sultan Arifin Muning Alam
Syah beserta keluarga dan pembesar kerajaan yang hadir dalam pertemuan
tersebut (kecuali 1 cucunya yang sempat melarikan diri). Setelah itu
kaum paderi tak tertahankan lagi dengan serangan ke pusat kerajaan
Islam Minangkabau, dan menghancurkan istana pagaruyung.
Atas keberhasikan serangan ke pusat Kerajaan Islam Minangkabau
Pagarruyung di Tanah Datar, maka salah seorang panglima paderi kemudian
dikaruniai kewenangan oleh pimpinan kaum paderi Tuanku Nan Renceh untuk
membangun Benteng Bonjol. Panglima tersebut adalah sekaligus murid
utama Tuanku Nan Renceh, bernama Malin Basa atau Peto Syarif atau
Muhammad Syahab, dan kemudian bergelar Tuanku Mudo Imam Bonjol menjadi
pemimpin benteng bonjol yang menjadi pusat penyerangan paderi menguasai
seluruh wilayah Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Serangan di seluruh kerajaan islam minangkabau di Sumatera Barat, dan
kemudian meluas ke Sumatera Utara ke kerajaan Batak Bakkara hingga
menewaskan Sisingamangaraja X, menimbulkan korban jiwa mencapai jutaan
orang, di susul dengan wabah kolera, yang kemudian melemahkan seluruh
sendi kerajaan di SUmatera Utara dan Sumatera Barat hingga melempangkan
jalan bagi kerajaan belanda masuk ke Padang pada tahun 1819
Post a Comment
mohon gunakan email