Ro Bonjol… Ro Bonjol
(Bonjol datang… Bonjol datang).
Basyral Hamidy Harahap, 67 tahun, peneliti sejarah Mandailing,
masih ingat cerita-cerita lisan turun-temurun di kampungnya di Simanabun,
PadangLawas. Kisah tentang bagaimana takutnya penduduk ketika pasukan
Padri pimpinan Tuanku Tambusai datang menyerbu. Masyarakat Simanabun
memukul kentungan sembari berteriak, "Bonjol datang, Bonjol datang. "Lalu
mereka naik perbukitan Dolok menyelamatkan diri.
Kontroversi Kebrutalan Kaum Padri Gerakan Padri selama ini di identikkan
dengan kepahlawanan Imam Bonjol dan kelompoknya melawan Belanda. Tapi
belakangan sebuah buku lama yang kontroversial dan me sisi gelap
Padri, Tuanku Rao, diterbitkan kembali. Lalu muncul buku barudengan judul
Greget Tuanku Rao sebagai reaksi.
Kedua buku ini memperlihatkan bahwa gerakan Padri sesungguhnya adalah
gerakan Wahabi—gerakan pemurnian Islam yang dilakukan secara keras
terhadap Islam kultural di Minang dan Batak. Dan itulah gerakan
yangmembuat puluhan ribu nyawa jadi korban. Imam Bonjol dianggap dengan
sadar melakukan itu, sehingga ada usul gelar pahlawan nasional dicabut
darinya. Betulkah demikian? Ikuti pembahasan Tempo.
… Petisi ini mendesak Pemerintah Indonesia untuk membatalkan pengangkatan
Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan…. Imam Bonjol
adalah pimpinan Gerakan Wahabi Paderi….
Gerakan ini memiliki aliran yang
sama dengan Taliban dan Al Qaeda…. Invasi Paderi ke Tanah Batak
menewaskan jutaan orang….
Petisi online itu tersebar di banyak mailing list seminggu lalu. Seorang
anak muda, Mudy Situmorang—lulusan Teknik Elektro Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, kelahiran Simanindo, Pulau Samosir—telah
mengirimnya. Dalam petisi itu, ia membeberkan dosa-dosa gerakan Padri,
antara lain pembantaian massal keluarga Kerajaan Minangkabau Pagaruyung
dan penyerbuan Padri ke Batak yang menewaskan Sisingamangaraja X.
Ia mengatakan petisi itu atas nama pribadi, bukan organisasi, dan
semata-semata untuk pelurusan sejarah.".
Kita tunggu sampai 500 pendukung.
Hasilnya dikirim kepemerintah," katanya saat dihubungi Tempo.
Sampai
sekarang, petisi itu memang belum "berbunyi".
Namun petisi ini mengingatkan orang akan dua buah buku bertema sama yang
baru-baru ini terbit. Yang satu adalah buku lama karya Mangaradja
Onggang Parlindungan berjudul Tuanku Rao.
Buku itu pertama kali
dicetak penerbit Tanjung Pengharapan, 1964, dan diluncurkan kembali oleh
penerbit LKiS Yogya, Juni lalu, tanpa suntingan apa pun, bahkan tetap
dalam ejaan lama.
Itulah buku yang pada 1964 menghebohkan. Buku itu tidak bercerita
langsung tentang Imam Bonjol, tapi berisi kronologi penyerangan
komandan-komandan Padri. Parlindungan sendiri menyusun buku itu
berdasarkan data sejarah Batak yang dimiliki ayahnya, Sutan Martua
Radja. Pada 1918, ayahnya adalah guru sejarah di Normaal school
Pematang siantar. Ayahnya memiliki warisan dokumen sejarah Batak
turun-temurun dari tiga generasi sepanjang 1851-1955.
Di samping itu, Parlindungan memakai bahan-bahan milik Residen Poortman.
Posisi Poortman sama dengan Snouck Hurgronje. Snouck adalah seorang ahli
Aceh, yang informasinya diminta oleh pemerintah Belanda.Sedangkan
Poortman adalah seorang ahli Batak. Poortman pensiun pada 1930 dan
kembali ke Belanda.
Di Leiden, Belanda, Poortman lalu menemukan
laporan-laporan para perwira Padri sepanjang 1816-1820 untuk Tuanku
Imam Bonjol. Parlindungan mengenal Poortman secara pribadi dan pernah
bertemu di Belanda. Poortman mengirimkan bahan-bahan laporan itu saat
Parlindungan menulis bukunya.
Parlindungan bukan sejarawan profesional. Caranya menulis pun
serampangan. Data yang diramunya itu sering ditampilkan cut and glue
atau dinarasikan kembali dengan bahasa campuran: bahasa Indonesia lisan,
kadang disisipi kalimat-kalimat Inggris yang panjang. Di sana-sini, ia
memberikan komentar yang cara penulisannya seperti seorang ayah yang
menerangkan kisah kepada anaknya. Kata ganti yang dipakai untuk dirinya
adalah "Daddy". Sedangkan anak laki-lakinya di situ disebut "Sonny Boy".
Ketika polemik menghangat, buku itu ditarik dari peredaran. Buku itu pun
jadi buku langka. Di sebuah pameran buku di Jakarta, buku itu beberapa
tahun lalu bahkan sempat dihargai Rp 1,5 juta.
Buku kedua, Greget Tuanku Rao, ditulis Basyral Hamidy Harahap, terbit
September lalu. Basyral adalah Ketua Jurusan Perpustakaan Universitas
Indonesia 1965-1967 dan pensiunan pustakawan Koninklijk Instituut
voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV). Ia ingin mengoreksi beberapa
info tentang Tuanku Rao yang dianggapnya kurang tepat. Tapi, pada garis
besarnya,ia sepakat dan bahkan menambahkan data kekerasan yang dilakukan
Padri.
"Buku Parlindungan banyak salahnya,tapi buku itu ada di jalan
yang benar."
, Siapakah Parlindungan?
Tak banyak yang tahu sosok pengarang ini. Basyral
sendiri pada 1974 pernah bertemu dengannya di dekat rumah Hamka di
Jakarta. Ia langsung menanyakan kabar polemik antara Parlindungan dan Buya
Hamka. Agaknya Parlindungan tak suka.
"Saat itu ia langsung mengarahkan
tongkatnya yang berkepala gading ke arah dahi saya. Saya kaget,
mengelak, "kenang Basyral.
Hal ini sedikit terkuak ketika anaknya, Dorpi Parlindungan Siregar, kini
59 tahun, mau bercerita kepada Tempo—dialah anak yang dipanggil Sonny
Boy dalam bukunya.
"Ayah saya seorang perwira KNIL.
Perjalanan karier ayah saya dimulai
ketika pada 1 Oktober 1945, Jenderal Mayor Oerip Soemohardjo mendirikan
Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Beliau mengumpulkan 17 anak muda
di Yogyakarta, di antaranya Soeharto, Ibnu Sutowo, danayah saya."
Pada usia 27 tahun, menurut Dorpi, ayahnya memperoleh pangkat letnan
kolonel. Sebagai insinyur kimia lulusan Jerman dan Belanda, ayahnya
menjadi bawahan dr Willer Hutagalung, dulu dokter pribadi Jenderal
Soedirman. Mereka kemudian mengambil bekas pabrik mesiu dan peralatan
senjata Belanda, yang lalu menjadi Pindad.
Pada 1960, ayahnya ditahan rezim Soekarno karena dianggap pro-Masyumi.
Tempat tahanan ayahnya berpindah-pindah, dan akhirnya menjalani
tahanan rumah. Di sanalah, dengan data milik kakeknya dan Residen
Poortman, ayahnya menulis buku Tuanku Rao.
Dan yang mengejutkan, bagian terbesar halaman buku ayahnya menceritakan
kisah kejahatan algojo Padri bernama Tuanku Lelo, sosok yang tak lain
menurut Parlindungan adalah kakek dari kakeknya sendiri.
"Jadi ia seperti
menceritakan aib keluarga sendiri. Tak banyak penulis yang berani seperti
itu," kata Ahmad Fikri dari LKiS.
Buku itu awalnya, menurut Dorpi, tidak
diperuntukkan bagi umum, tapi bagi anak-anaknya saja.
"Sehabis membaca
Al-Quran setiap hari, Ayah membacakan cerita ini untuk saya dan adik,"
kenang Dorpi akan ayahnya yang meninggal pada 1975 itu. Atas desakan
teman-temannya, buku itu akhirnya diterbitkan.
Perang Paderi, Wahabi vs Syiah (peny)
Buku itu intinya berisi informasi bagaimana gerakan
Wahabi masuk Minang. Waktu itu, tahun 1803, HajiPiobang, Haji Sumanik,
dan Haji Miskin kembali ke Minang setelah bermukim di Mekkah lebih dari
12 tahun. Mereka adalah bekas perwira tentara Turki. Mereka mencoba
menanamkan mazhab Hambali di Sumatera, menekankan pemurnian Islam.
Gerakan pembersihan agama Islam ini menarik hati seorang mubalig besar
bernama Tuanku Nan Rentjeh, yang tengah gundah lantaran di Minang
berkembang Islam Syiah. Mereka bersama-sama kemudian mencita-citakan
suatu Darul Islam. Piobang membentuk pasukan Padri yang sangat
profesional. Pakaian mereka serba putih. Persenjataannya cukup kuat.
Mereka, misalnya, menurutParlindungan, memiliki meriam 88 milimeter
bekas miliktentara Napoleon yang dibeli "second hand" di Penang. Dua
belas perwira Padri dikirim belajar di Turki.
Tuanku Rao, yang aslinya
seorang Batak bernama Pongkinan golngolan Sinambela, dikirim untuk
belajar taktik kavaleri; Tuanku Tambusai, aslinya bernama Hamonangan
Harahap, belajar soal perbentengan. Pasukan Padri juga memiliki
pendidikan kemiliteran di Batusangkar.
Sasaran pertama "gerakan kaum putih" ini adalah Istana Pagaruyung,
karena istana itu dianggap sebagai boneka Belanda yang merintangi Darul
Islam.
Pada 1804, ribuan rumah dibakar dan keluarga Istana Pagaruyung
dibantai. Untuk cita-cita Darul Islam, pasukan Padri ingin meluaskan
agresinya ke luar alam Minangkabau—ke tanah Batak.
Salah satu tamatan pendidikan militer Batusangkar, bernama Peto Syarif
Ibnu Pandito Bayanuddin, oleh Tuanku Nan Rentjeh diperintah mencari
lokasi yangbakal digunakan sebagai benteng—basis tentara Padrimenyerang
Tanah Batak. Peto menemukan bekas sarangperampok di rute
Minangkabau-Batak bernama Bonjol. Ia mengislamkan kawasan Bonjol,
membangun benteng disana, serta melatih kekuatan 10 ribu tentara. Sejak
itu, ia dijuluki Imam Bonjol.
Buku Tuanku Rao ini menjelaskan cukup detail bagaimana persiapan dan
kronologi invasi Padri ke Batak Selatan (1816) dan Toba (1818- 1820).
Dari etape-etape dan serangan kilat (blitzkrieg), siasat-siasat,
sampainotula rapat-rapat para panglima dideskripsikan.Pendiri Padri,
Haji Piobang dan Tuanku Imam Bonjol, mengkoordinasi penyebaran pasukan di
bawah pimpinanTuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lelo, Tuanku Asahan,
Tuanku Maga, dan Tuanku Kotapinang.
Toba dikepung dari empat penjuru. Tuanku Asahan dengan kavaleri
berkekuatan 11 ribu tentara menyerang dari samping kanan; Kolonel
Djagorga Harahap dengankekuatan 4.000 anggota pasukan dari sayap kiri;
Tuanku Maga menusuk dari sisi tengah atas dengan 5.000anggota pasukan;
Tuanku Lelo bersama 9.000 tentaranya merangsek dari sisi tengah bawah.
Pada 1820, Sisingamangaraja X, yang bertahan di Benteng Bakkara,akhirnya
tewas. Kepala Sisingamangaraja X ditusuk diatas tombak, dipancang di
tanah.
Penyerbuan yang paling bengis dilakukan oleh Tuanku Lelo.
Parlindungan
sendiri menganggap "eyangnya" itu"kriminal perang". Tuanku Lelo bernama
asli Idris Nasution. Sosoknya besar, berjanggut hitam, berambutpanjang,
berombak-ombak. Ia mengenakan baju jubah dan serban yang seluruhnya putih
serta suka memakai selempang dan ikat pinggang berwarna merah
bertaburan emas—yang dirampasnya di Pagaruyung. Ia dikena lsebagai algojo
pembantai, juga maniak seks.
Parlindungan bahkan sampai menyebut eyangnya ituseorang big scoundrel
yang memiliki kelakuan binatang.Di tiap kawasan, sang eyang mengumpulkan
ratusan wanita, lalu memerkosanya. Di Toba, 14 malam berturut-berturut
pasukannya dibiarkan melakukan pestaseks besar-besaran.
Ketika pasukan bergerak meninggalkan Toba, Tuanku Lelo memerintahkan
ribuan wanita dikumpulkan di Red Light District di Sigumpar Toba.
Dari
Sigumpar, mereka digiring berjalan kaki melalui
Siborong-borong, Pangaribuan, Silantom, Simangambat, Sipirok, menuju Natal
Mandailing. Sesampai di Mandailing, hanya 300 wanita selamat; 900 mati.
Yang capek dipenggal.
Kemudian Belanda memutuskan menyerang Padri. Pertempuran pada 1820,
menurut Parlindungan, meletusdi Benteng Air Bengis. Imam Bonjol turun
sendiri. Tuanku Rao tewas di situ. Nah, di pertempuran Air Bengis ini,
secara licik Tuanku Lelo melakukan desersi. Melihat Imam Bonjol terdesak,
ia lalu memimpin kavalerinya sendiri menuju Angkola dan Sipirok.
Ia
melanjutkan petualangannya, menjarah,membunuh, melampiaskan nafsu
seksualnya. Ia lalu menjadi warlord di Angkola dan Sipirok
selama1822-1833. Ia di sana mendirikan sebuah harem dibentengnya di
Padang Sidempuan.
Buku Tuanku Rao hanya sedikit menyinggung peran Tuanku Tambusai. Namun,
menurut Basyral, Tuanku Tambusai takkalah kejam dibanding Tuanku Lelo.
"Kebrutalan TuankuTambusai terjadi di daerah Padang Lawas, Dolok,
dan Barumun. Salah satu kawasan yang paling parah terkena adalah daerah
nenek moyang saya, Simanabun," tutur Basyral (lihat "Tambusai dan Pasukan
Putih-putih").
Para sejarawan berbeda pendapat soal kebrutalan ini.
"Sebetulnya masuknya
Padri ke Batak bukan ekspansi.Kelompok-kelompok musuh Padri saat itu
dapat dipukul mundur hingga ke Tapanuli Selatan. Karena itu,
mereka bertempur sampai ke daerah tersebut," tutur Dr MestikaZed,
sejarawan dari Universitas Negeri Padang.
"Sebagai sebuah buku sejarah, buku Parlindungansumbernya sangat lemah.
Dokumen Poortman sendiri diragukan. Banyak yang tidak faktual," kata Dr
Asvi Warman Adam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hamka bahkan
pernah menganggap Tuanku Lelo hanyalah karangan Parlindungan belaka
(lihat "Mengenang Sanggahan Hamka").
Memang, sekarang mustahil
untuk mengecek semua sumber yang digunakan Parlindungan, karena semua data
itu dimusnahkan oleh Parlindungan sendiri.
Dalam bukunya itu, Parlindungan menyebutkan data yangdiwariskan ayahnya
kepadanya hanya meliputi 20 persendari yang dimiliki ayahnya. Ia
menyaksikan sendiri,pada 1941, ayahnya membakar sisanya sambil
bercucuran air mata di tepi Sungai Bah Bolon.
"Daddy tidak mau risiko," katanya kepada anaknya.
"Ourfamily secrets
yang ketahuan pada outsiders cukup yangterbatas dalam buku ini. No
more." "Saya menduga, itu adalah alibi dia, yang sebenarnya tak cukup
memiliki data otentik, atau bisa juga ia tak mau sejarawan
lain menelitinya," kata J.J. Rizal dari Yayasan Bambu, yang menerbitkan
Greget Tuanku Rao.
Akan halnya Dr Gusti Asnan, pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Andalas, Padang, menganggap tidak semua sumber Belanda yang
digunakan Parlindungan mengandung bias. Dari 100 laporan, ada 20-50 persen
data yang benar. Menurut dia, historiografi Perang Padri sendiri dimulai
pada1950-an.
"Saat itu terjadi dekolonialisasi historiografi Indonesia,
termasuk Perang Padri. Demi persatuan dan kesatuan, bagian-bagian miring
dari data yang ada, seperti kebrutalan Perang Padri, sengaja tidak
disiarkan."
Ia juga melihat gerakan pasukan Padri tak semata-mata bermotif agama,
tapi juga ekonomi. Sejak akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19,
perkembangan ekonomi di Sumatera Barat memang luar biasa karena booming
kopi.
Dr Gusti pernah membaca sebuah kisah tentang saudagar bernama Peto Magik
di Pasaman. Ia dikenal sebagai saudagar Padri—bisa dianggap konglomerat.
Seorang Belanda bernama Bulhawer yang melakukan kerja samadengan Peto
mengaku tidak melihat sedikit pun gambaran islami padanya. "Kesan yang
dilihat Bulhawer, PetoMagik adalah seorang kapitalis. Dan gambaran ini
saya rasa juga menggambarkan sebagian besar kaum Padri," ujar Gusti.
Maka, menurut Gusti, ketika daerah kekuasaan di Tanah Datar dan Agam
mulai direbut Belanda, kaum Padri pun meluaskan ekspansi ke utara:
Bonjol, Pasaman, danTapanuli Selatan.
Mengapa ke utara? Karena
daerah utara memiliki basis kekayaan yang sangat tinggi. Apalagi, dengan
menguasai area tersebut, Padri masihdapat melakukan hubungan dengan kaum
lain, seperti Aceh, melalui jalur sungai.
Sekalipun mengakui kekerasan yang dilakukan Padri,sebagian orang
memandang dari sudut berbeda. "Soal nyasaat itu kan tidak ada HAM," kata
sejarawan Taufik Abdullah.
Basyral sendiri melihat Imam Bonjol mengetahui segala perampokan,
pemerkosaan, dan mutilasi yang dilakukan perwira-perwiranya. "Mustahil
Imam Bonjol tak tahu. Iakan komandan," kata Basyral.
Tapi Taufik Abdullah tak sependapat. Menurut dia,kekerasan di awal
gerakan Padri bukan tanggung jawab Tuanku Imam Bonjol.
Saat gerakan Padri
masih radikal di awal, Tuanku Imam Bonjol masih muda dan barumenjabat
sebagai asisten Tuanku Bandaro, salah satu pemimpin gerakan Padri saat
itu.
"Buat saya, pencabutan gelar pahlawan itu nonsens. Justru di bawah
pimpinan Tuanku Imam Bonjol pasukan Padri lebih menitik beratkan serangan
pada pihak Belanda," kata Taufik.
Menurut Taufik, keliru jika melihat sosok Imam Bonjoldalam Padri
disamakan dengan Diponegoro.
"Diponegoromerupakan pemimpin tunggal,
sementara gerakan Padri merupakan gerakan sosial kolektif, dengan
banyakpemimpin," katanya.
Taufik mengatakan, bahkan, Tuanku Imam Bonjol sempat mengirim empat anak
buahnya ke Mekkah untuk naik haji,termasuk Tuanku Tambusai. Tujuannya
untuk melihat kondisi Islam di Mekkah. Ternyata Islam saat itu jauh lebih
moderat.
Sehingga, ketika kembali ke Minang,Tuanku Tambusai pun menjadi
lebih moderat. Sekembalidari Mekkah, seperti disebut dalam Tuanku Rao,
ia punmenyesal melihat dengan mata kepala sendiri bagaimanawanita-wanita
ditawan oleh pasukan Tuanku Lelo.
Menurut Taufik, adat basandi syarak justru mengemuka di bawah
kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Imam Bonjol wafat pada usia 93 tahun di
Manado, pada 1864. Takb anyak orang yang tahu, ia meninggalkan
sebuah"catatan harian".
Sumber : Tempo Edisi. 34/XXXVI/15 - 21 Oktober 2007.
MAKAR WAHABI DIBALIK JUBAH SALAFI
Zaranggi Kafir Menjawab dari para Wahabi:
Betapa mengerikan, bagaimana sekelompok orang YanG BERFAHAM WAHABI dengan
dalil mengatasnamakan pemurnian agama menyerang umat islam lainnya,
membantai raja dan
seluruh keluarganya dengan kejam dan licik, menghancurkan 2 kerajaan,
dan mengakibatkan kematian jutaan orang....
Seluruhnya atas nama pemurnian agama dari adat istiadat yang (menurut mereka) melanggar syariat islam.
3 Fase Perang Paderi.
Sebagaimana diketahui, perang paderi biasanya dibagi dalam 3 fase yaitu:
** Fase 1: 1802 – 1821:
Periode ini adalah fase kelam penyerangan yang dimotori segelintir kaum wahabi terhadap umat islam lainnya atas nama pemurnian agama dari "adat istiadat" yang menyimpang dari syariat islam. Dalam periode ini, terjadi pembantaian terhadap Raja Minangkabau dan seluruh keluarganya.
Penyerangan kaum paderi di SUmatera Barat dan Sumatera Utara mengakibatkan korban jiwa yang sangat besar, di susul oleh berjangkitnya wabah kolera mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Islam Minangkabau di
Sumatera Barat. Kaum Paderi juga merangsek ke Sumatera Utara menginvasi Kerajaan Batak Bakkara dan menewaskan Sisingamangaraja X.
Seluruh penyerangan yang melemahkan Kerajaan di Sumatera barat dan Sumatera Utara ini mengakibatkan mudahnya penjajah Belanda masuk ke Padang mulai tahun 1819.
** Fase 2: 1821 – 1832:
Periode ini adalah pertempuran antara kaum paderi melawan penjajah belanda.
** Fase 3: 1832 – 1837:
Periode ini adalah pertempuran kaum paderi bersama rakyat Sumatra Barat lainnya (termasuk kaum "adat" yang pernah dibantai secara biadab oleh kaum Paderi) melawan penjajah belanda.
Selanjutnya saya hanya akan menuliskan sejarah kaum paderi pada fase 1 diatas 1802 -1821. Karena fase 2 dan fase 3 sudah banyak diceritakan di sejarah Imam Bonjol versi sekolah.
Penyerangan Kaum Paderi Terhadap Kerajaan Islam Minangkabau.
Dimulai dari tahun 1802, dimana 3 orang yang baru pulang dari arab saudi mendirikan gerakan wahabi di Sumatera Barat yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh) dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar). Gerakan wahabi oleh 3 pak haji ini tidak mendapat respons yang baik dari rakyat muslim Sumatera Barat pada saat itu.
Hingga pada 1803, gerakan wahabi menjadi gerakan bersenjata setelah Haji Miskin mendapat sokongan dari 7 orang muridnya yang dipimpin Tuanku Nan Renceh. Selanjutnya Haji Miskin dan 7 muridnya menamakan diri Harimau Nan Salapan, berpakaian jubah putih-putih, dan kemudian disebut sebagai
kaum paderi.
Atas nama pe-murni-an agama islam dari praktek adat, selanjutnya kaum paderi menyerang sekelompok orang yang menyelenggarakan pesta adat (termasuk di dalamnya ada judi sabung ayam) di Bukit Batabuh pada 1803.
Penyerangan berdarah ini diikuti dengan penyerangan-penyerangan berikutnya di berbagai kota di Sumatera Barat.
Hingga pada tahun 1808, Raja Minangkabau Sultan Arifin Muning mengundang kaum paderi dalam perundingan damai di Kuto Tengah. Sayangnya, kaum paderi justru melakukan pembantaian kejam atas Sultan Arifin Muning Alam.
Syah beserta keluarga dan pembesar kerajaan yang hadir dalam pertemuan tersebut (kecuali 1 cucunya yang sempat melarikan diri). Setelah itu kaum paderi tak tertahankan lagi dengan serangan ke pusat kerajaan
Islam Minangkabau, dan menghancurkan istana pagaruyung.
Atas keberhasikan serangan ke pusat Kerajaan Islam Minangkabau Pagar ruyung di Tanah Datar, maka salah seorang panglima paderi kemudian dikaruniai kewenangan oleh pimpinan kaum paderi Tuanku Nan Renceh untuk membangun Benteng Bonjol. Panglima tersebut adalah sekaligus murid utama Tuanku Nan Renceh, bernama Malin Basa atau Peto Syarif atau Muhammad Syahab, dan kemudian bergelar Tuanku Mudo Imam Bonjol menjadi pemimpin benteng bonjol yang menjadi pusat penyerangan paderi menguasai
seluruh wilayah Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Serangan di seluruh kerajaan islam minangkabau di Sumatera Barat, dan kemudian meluas ke Sumatera Utara ke kerajaan Batak Bakkara hingga menewaskan Sisingamangaraja X, menimbulkan korban jiwa mencapai jutaan orang, di susul dengan wabah kolera, yang kemudian melemahkan seluruh sendi kerajaan di SUmatera Utara dan Sumatera Barat hingga melempangkan jalan bagi kerajaan belanda masuk ke Padang pada tahun 1819.