Pernyataan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Ban Ki Moon yang mengecam hukuman mati yang diterapkan Indonesia sangat tidak bijak.
Demikian dikatakan Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen Meutya Hafid. Meutya mempertanyakan standar ganda yang diterapkan lembaga itu terhadap Indonesia.
“Jika Sekjen PBB melarang hukuman mati, saya mempertanyakan di mana kah pembelaan Sekjen PBB saat TKI asal Indonesia, Siti Zaenab, dihukum mati 14 April lalu oleh Arab Saudi? Di mana kah pembelaan Sekjen PBB terhadap 37 tenaga kerja Indonesia yang akan dihukum mati oleh Arab Saudi?” tanya Meutya dalam pernyataan tertulis yang diterima Kompas.com, Minggu 24 April 2015.
Politikus Partai Golkar itu mencurigai PBB hanya membela kepentingan negara besar saja saat mengecam hukuman mati. Dia menilai pernyataan Ban Ki Moon itu tidak bijak dengan mengungkap bahwa narkoba bukan kejahatan serius.
“Bahkan Sekjen PBB mengintervensi Pemerintah Indonesia agar membatalkan hukuman mati bagi para terdakwa yang tersangkut narkoba,” sebutnya.
Padahal, kata Mutya, saat ini Indonesia merupakan pasar narkoba yang sangat besar. Jumlah pecandu narkoba di Indonesia sudah mencapai 3,9 juta orang dan nilai transaksi perdagangan narkoba Rp 48 triliun per tahun. Setiap hari 50 orang Indonesia meninggal dan tiap tahunnya 18.000 orang Indonesia meninggal akibat narkoba, serta sekitar 4,5 Juta warga negara Indonesia masih direhabilitasi juga akibat narkoba.
“Narkoba di Indonesia sudah pada level sangat berbahaya. Kejahatan narkoba merupakan salah satu kejahatan luar biasa sehingga layak pelakunya dihukum mati,” ujar mantan wartawan ini.
Seperti dilansir kantor Berita AFP 26 April 2015, Sekjen PBB melalui juru bicaranya mengatakan eksekusi mati berdasarkan ketentuan hukum internasional hanya dapat diberikan bagi pihak yang melakukan kejahatan serius seperti mencabut banyak nyawa orang sekaligus. Sementara, narkoba tidak termasuk kategori itu.
Berdasarkan hukum internasional, hukuman mati bisa diterapkan untuk kejahatan yang sifatnya paling serius seperti pembunuhan secara disengaja. Sementara pelanggaran terkait obat, umumnya tidak dimasukkan kategori ‘kejahatan paling serius. (Tribunnews.com)
Post a Comment
mohon gunakan email