Pesan Rahbar

Home » , » MH Thamrin, Putera Betawi Pejuangan Kemerdekaan Indonesia

MH Thamrin, Putera Betawi Pejuangan Kemerdekaan Indonesia

Written By Unknown on Thursday 10 March 2016 | 18:12:00


Di masa perjuangan melawan Belanda, para pejuang kemerdekaan mengenal istilah pergerakan dengan dua modus, yaitu bersedia bekerja sama dengan pihak kolonial atau tidak. Menurut sejarawan Bob Hering, jika Soekarno-Hatta disebut sebagai perpaduan Jawa-luar Jawa serta gabungan orator ulung dengan administrator handal, maka pasangan Soekarno-Thamrin sebagai paduan modus perjuangan secara kooperatif dan nonkooperatif.

Tampaknya, kata “kooperatif” selama ini mengandung konotasi kurang positif – sehingga orang ‘seakan’ lebih menghargai tokoh yang berjuang secara nonkooperatif. Padahal, kedua jalur itu saling melengkapi perjuangan bangsa dalam mencapai kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan dari tahun 1933 sampai 1942 saat pergerakan Soekarno-Hatta-Sjahrir terkesan mandek, justru Thamrin tetap bergerak dengan bersemangat di Volksraad.

Pria bernama lengkap Mohammad Husni Thamrin ini, sering disebut satu nafas dengan Soekarno. Ketika Soekarno berpidato soal makro, seperti falsafah dan ideologi negara, Thamrin menukik kepada persoalan mikro, seperti kampung yang becek tanpa penerangan dan masalah banjir. Ia memprotes mengapa perumahan elite Menteng yang diprioritaskan pembangunannya, sedangkan kampung kumuh diabaikan. Ia mempersoalkan harga kedelai, gula, beras, karet rakyat, kapuk, kopra, dan semua komoditas yang dihasilkan rakyat. Ia berbicara tentang pajak dan sewa tanah.

Ketika Soekarno dibuang dan dipenjara di Ende, pria yang dilahirkan di Sawah Besar, Jakarta dari pasangan seorang Belanda dan Betawi asli, Thamrin Mohammad Thabrie dan Noeraini pada tanggal 16 Februari 1894 itu hadir saat proses Soekarno diadili dan dijebloskan ke penjara. Di waktu yang bersamaan, Belanda juga menghukum Thamrin dengan tahanan rumah – Soekarno pun berkunjung ke rumahnya. Dengan demikian, Thamrin menjadi tali penghubung (trait d’union) kelompok pergerakan yang kooperatif dan nonkooperatif, juga antara kelompok pergerakan dengan Volksraad.

Thamrin bukanlah kooperatif tanpa reserve. Ia memiliki prinsip, sebagaimana tercermin dalam pernyataannya “Nasionalis kooperatif dan nonkooperatif memiliki satu tujuan bersama yang sama-sama yakin pada Indonesia Merdeka! Jika kami kaum kooperator merasa bahwa pendekatan kami tidak efektif, maka kami akan menjadi yang pertama mengambil arah kebijakan politik yang diperlukan.” (Handelingen Volkraad, 1931-1932).

Menurut surat kabar Bintang Timur (15/07/1933), Thamrin adalah kampiun kaum nasionalis di Volksraad yang tak diragukan, yang berani mengingatkan pemerintah dalam banyak isu penting. Koran Adil 17 Juli 1933 mengungkapkan, Thamrin selalu menyampaikan pidato dengan argumen yang tepat, yang membuat darah tukang lobi anti-Indonesia Merdeka, seperti Fruin dan Zentgraaff jadi mendidih.


Thamrin menggunakan kesempatan secara brilian untuk menarik perhatian sungguh-sungguh terhadap apa yang “sebenarnya hidup dalam kalbu pergerakan seluruhnya”. Thamrin berbicara tentang kebenaran dan melakukan pekerjaan sepenuh hati dalam situasi begitu sulit bagi pergerakan. Dalam berdebat yang penting argumen kuat, Thamrin sendiri tidak pernah menggunakan kata-kata tajam dan keras.

Ada sebuah pernyataan resmi Handelingen Volksraad (1930-1931), yaitu: Apa saja yang disampaikan MH Thamrin, masih terasa kebenarannya sampai sekarang meski pemerintah telah gonta-ganti: “Satu hal yang dapat dipastikan bahwa rasa keadilan yang dibangun dewasa ini sangatlah sulit dicari. Kepercayaan terhadap keputusan pengadilan termasuk salah satu sandaran utama negara yang sangat penting, tetapi dengan banyaknya keraguan terhadap kenetralan institusi pengadilan, maka pemerintah akan kehilangan salah satu pilar terkuat untuk memelihara kedaulatan hukum.”


Tak Kibarkan Bendera Belanda

Semula, meski Thamrin dipandang sebagai tokoh kooperatif, pada akhirnya hayatnya justru Thamrin dianggap berbahaya oleh Pemerintah Hindia Belanda. Thamrin tidak mengibarkan bendera Belanda di rumahnya pada ulang tahun Ratu Wilhelmina, 31 Agustus 1940.

Dalam suatu kesempatan, ia juga mempelesetkan JINTAN, obat kumur murah buatan Jepang, menjadi “Jenderal Japan Ini Nanti Toeloeng Anak Negeri”. Selain itu, tokoh Jepang Kobajashi dipanjangkan menjadi “Koloni Orang Belanda akan Japan Ambil Seantero Indonesia”. Ia dikenai tahanan rumah karena dianggap tidak setia kepada Belanda dan main mata dengan pihak Jepang.

Di rumahnya di jalan Sawah Besar No 32, Thamrin muntah-muntah dan demam mungkin karena gangguan ginjal, kecapaian dan malaria. Istrinya meminta polisi agar mengizinkan kunjungan dokternya. Akhirnya sang dokter datang, tetapi sudah terlambat, tanggal 10 Januari 1941, suhu badan Thamrin sangat tinggi dan ia hampir tidak bisa bicara. Dokter memberi suntikan untuk menurunkan panasnya, namun penyakitnya tidak tertolong lagi, keesokan harinya ketika ia meninggal dunia tepat pada 11 Januari 1941.

Pada hari pemakamannya, dari rumahnya di Sawah Besar sampai ke kuburan Karet, lebih dari 20.000 orang mengantarkan jenazah tokoh Betawi itu ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Pada tahun 1960 Presiden Soekarno mengangkatnya secara resmi sebagai Pahlawan Nasional – yang kemudian namanya disematkan di Jalan MH Thamrin di Jakarta Pusat.

(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: