KH. Mustafa “Gus Mus” Bisri mengungkapkan keresahannya sebagai manusia, warga negara dan seorang Muslim, bahwa kita seperti kembali ke zaman Qabil dan Habil, dua putra Nabi Adam. Padahal, kata Gus Mus, kita telah melewati masa nabi demi nabi, rasul demi rasul, namun kita masih memiliki prilaku Qabil terhadap Habil
“Kita saling memangsa,” ungkap Gus Mus dengan nada berat di panggung Mata Najwa (13/4).
Sebagai orang Indonesia, pria kelahiran Rembang ini melihat, baik di dunia nyata maupun maya, prilaku saling fitnah sungguh sangat mencemaskan. Gus Mus lalu menggambarkan bagaimana orang dengan mudah menjatuhkan orang lain dengan ‘meme’, di sisi lain orang yang mudah tersinggung melaporkan dengan ancaman pasal tertentu.
“Sebagai orang Islam, saya berpendapat, orang Islam-lah yang paling bertanggungjawab di negeri ini.”
Tanggungjawab ini, menurut ulama senior NU ini, karena baik buruknya Indonesia bergantung pada mayoritas. “Tapi kita tidak memperlihatkan kegagahan mayoritas sebagai yang ngayomi, yang melindungi,” katanya
Justru yang diperlihatkan ialah sikap yang jauh dari ajaran Islam. Orang Islam itu, menurut jebolan Al Azhar Mesir ini, memiliki tatanan, kitab suci, sunnah, dan Rasul sebagai panutan. Sayangnya, alih-alih mengenal Allah, Nabi dan Al Qur’an, mengenal dan silaturahmi sebagai sesama manusia saja kita sudah mencapai tahap krisis.
“Kita duduk bersama (saja), masing-masing (sibuk) lihat handphone-nya.”
Saat ini, kata ulama yang juga seniman ini, manusia jarang ‘melihat’ manusia lainnya. Pertemuan atau silaturahmi secara langsung sesama manusia dan menyadarinya sebagai sesama makhluk Tuhan itu penting. Tuhan memuliakan atau menghormati kita sebagai anak cucu Adam, “tidak menghormati kita sebagai kiai, tidak sebagai ustadz, tapi sebagai manusia.”
Disaksikan penonton Mata Najwa di seluruh Indonesia, alumnus Ponpes Krapyak Yogyakarta ini mengatakan alasan dibalik ia menulis buku ‘Canda Nabi’. Para mubalig dan ustadz, menurut pengasuh ponpes Raudhatu Thalibin Rembang ini, jarang atau mungkin tidak pernah menyentuh sisi kemanusiaan Nabi Muhammad. Gus Mus lalu menceritakan sejumlah canda Nabi termasuk ketika Nabi ke pasar dan bercanda dengan akrab bersama sahabatnya di sana.
“Jadi Rasulullah itu juga ke pasar, jangan Anda anggap ke masjid terus.”
Disinggung masalah orang yang suka menyesatkan keyakinan orang lain, Gus Mus mengatakan, mereka menyesatkan bukan karena keyakinan agamanya tapi justru karena ketidakyakinannya pada agama yang dia peluk. Keyakinan itu memperkuat, bukan membuat orang tidak merasa percaya diri sehingga dia takut dengan pengaruh beragamnya keyakinan.
Pria berusia 71 tahun ini lalu menceritakan bagaimana dakwah damai Rasulullah. Sebagian orang tidak ingin diajak Nabi menyembah Tuhan, bahkan melempari Nabi dengan batu. Padahal, kata Gus Mus, jika tidak mau diajak ya tidak usah melempar. Karena prilaku buruknya ke Nabi itu, malaikat Jibril sampai ‘jengkel’ dan mengusulkan untuk ‘menyikat’ mereka.
“Saya ini diutus oleh Allah untuk mengajak kepada kebaikan, bukan untuk melaknat keburukan,” katanya mengutip sabda Nabi yang menolak membalas dengan kekerasan.
Betapa mudahnya kebencian disebar dari khotbah-khotbah, disertai dan disarati bahasa geram. Syiar kebencian ini, menurut Gus Mus, dilakukan oleh mereka yang memiliki nuansa nafsu dan keangkuhan ‘orang pintar baru’ atau OPB. Orang pintar baru, jika dianologikan, seperti baru lulus sarjana tapi sudah bangga dan suka pamer dengan ilmu dan keahliannya. Lebih berbahaya lagi, jika ‘orang pintar baru’ banyak yang mengikutinya.
“Padahal orang yang baru lulus sarjana itu, dia baru memulai untuk menjadi orang pintar.”
Ciri ‘orang pintar baru’ yang diikuti banyak orang akan merasa ‘ghurur’, mengutip istilah Imam Al Gazali yang berarti tertipu dengan dirinya sendiri. “Wah, follower saya banyak nih. Tentu, saya ini orang hebat,” katanya menggambarkan ciri-ciri penyakit hati yang berbahaya ini.
Gus Mus berpesan untuk tidak pernah berhenti belajar. Sebagaimana orang yang tidak putus ngaji kitab bab demi bab secara mendalam, perjalanan manusia kepada Tuhannya ini panjang dan banyak yang harus ditempuh. Sedemikian sehingga tidak mudah seseorang divonis sesat oleh orang lain yang berbeda capaiannya dalam perjalanan.
“Tidak boleh juga, kalau orang masih berjalan pada tahap ini, lalu kita hukumi sesat. Padahal perjalanan dia masih jauh kok,” katanya sambil menjelaskan bahwa orang yang bahaya justru yang berhenti di tengah perjalanan dan merasa dirinya paling benar. []
(Islam-Indonesia/Metro-TV-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email