Banyak yang bertanya: Mengapa orang-orang baik dan saleh sering mendapat ujian di dunia? Mengapa Allah tidak memudahkan mereka di dunia, memberi mereka segala kesenangan? Mengapa hidup mereka tampak begitu terpuruk, terpojok, penuh derita, kesedihan dan ujian? Ini tentu pertanyaan yang kerap kita dengar. Bahkan mungkin kita sendiri mempertanyakannya.
Para ahli makrifat menjelaskan bahwa di antara hikmah di balik kerasnya penderitaan orang-orang saleh adalah bahwa, melalui kesengsaraan dan penderitaan itu, mereka dibuat agar selalu mengingat Allah, berdoa, dan meratap di hadirat-Nya Yang Suci. Rangkaian ujian dan kesulitan itu akan membuat mereka senantiasa mengingat-Nya dan menyibukkan pikiran mereka dengan-Nya.
Adalah hal yang amat wajar bahwa manusia pada saat-saat sengsara selalu berpegangan dengan sesuatu yang diharapkan dapat menyelamatkannya, dan pada saat-saat senang dan sejahtera, mereka mengabaikannya dan lalai sehingga tidak lagi menganggapnya sebagai penentu keselamatannya. Dan, karena manusia-manusia pilihan dari para hamba Allah mengetahui bahwa tak ada sumber bantuan selain Allah, perhatian mereka pun hanya mengarah kepada-Nya, mereka bergantung sepenuhnya pada tahta-Nya yang suci; dan, melalui cinta dan perhatian khusus-Nya terhadap mereka, Allah Swt. juga menyediakan sarana-sarana yang membuat mereka selalu selalu bergantung total terhadap-Nya.
Namun, hal ini tidaklah berlaku bagi para nabi dan para wali yang telah menyempurnakan diri mereka dan disempurnakan Allah Swt, karena kedudukan mereka terlalu tinggi dalam kesucian dan hati mereka terlalu teguh dalam keimanan untuk dapat tertarik kepada hal-hal duniawi. Kebergantungan total mereka kepada Allah tidak pernah tergoyahkan bersama dengan berubahnya berbagai keadaan di sekeliling mereka.
Ini mungkin disebabkan karena para nabi dan para wali yang sempurna—melalui cahaya batiniah dan pengalaman ruhaniah mereka—yakin bahwa Allah Swt. tak punya perhatian khusus pada dunia dan perhiasannya ini. Bahkan, segala sesuatu di dalamnya adalah rendah dan hina di sisi-Nya yang Suci. Karena alasan itulah mereka pun mengutamakan kemiskinan daripada kekayaan, kesengsaraan daripada kesenangan dan kemudahan, serta kepedihan daripada kerianggembiraan dunia ini.
Beberapa hadis mulia juga mendukung pandangan ini. Misalnya disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Malaikat Jibril pernah memberikan kunci perbendaharaan bumi ini kepada Baginda Nabi terakhir Saw dan dia berkata kepada beliau bahwa meskipun beliau menerimanya, tak ada yang akan mengurangi kedudukan ukhrawi-nya sedikit pun. Akan tetapi, Rasul saw. pun serta merta menolaknya lantaran kerendahan dunia di hadapan Allah Swt dan beliau lebih memilih kemiskinan.
Dalam riwayat lain, Baginda Nabi diriwayatkan sering berdoa meminta hidup bersama orang-orang miskin, diwafatkan dalam keadaan miskin, dibangkitkan bersama orang-orang miskin dan dikumpulkan kelak bersama orang-orang miskin. Seolah-olah Nabi ingin mengajarkan suatu logika pembalikan bagi yang mendengarkannya. Beliau ingin mengatakan bahwa kemiskinan yang kalian paling benci ini sejatinya adalah kemuliaan dibandingkan kekayaan yang kalian muliakan bilamana ia membawamu kepada mengingat dan senantiasa bergantung kepada Allah. Sebaliknya, kekayaan yang kalian muliakan sesungguhnya adalah kehinaan tiada tara bilamana berujung kepada lupa dan lalai kepada Dzat yang Mahakudus.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email