“Kami tak ada bedanya dengan sekolah-sekolah lain,” kata Rateb Jneid, Ketua pengelola Langford Islamic College (LIC) di pinggiran Kota Perth, Australia.
Dia ingin menekankan bagaimana sekolah yang dikelolanya normal saja, sama dengan sekolah-sekolah lainnya. LIC menjalankan pendidikan dari mulai tingkat Taman Kanak-kanak hingga Kelas 12. Ratusan calon murid masih harus mengantre untuk bisa masuk ke sekolah ini.
Dr Jneid mengaku mengerti adanya kesalahpahaman dan prasangka buruk di masyarakat non-Muslim mengenai sekolah ini, tapi kondisi tersebut amat berbeda dari kenyataan yang ada.
“Kami mengajarkan matematika, sains, bahasa Inggris. Seluruh kurikulum normal. Kami hanya memiliki beberapa semester untuk kajian Islam dan Bahasa Arab,” katanya.
“Kami memiliki 40 persen guru non-Muslim di sini. Saya tidak begitu peduli dengan latar belakang mereka. Kita semua manusia dan perlu berupaya yang terbaik buat para murid,” tuturnya.
“Selama memiliki kualifikasi untuk mengajar murid-murid kami untuk pelajaran tertentu, maka tidak ada masalah,” tambah Dr Jneid.
Salah satu wakil kepala sekolah, Yahya Ibrahim, mengakui ada hal-hal kecil yang mungkin tidak biasa bagi orang luar. Sekolah itu memiliki fasilitas lapangan, taman bermain, ruang olahraga dan kantin yang dikelola oleh para orang tua.
Seragam sekolah itu mungkin juga sedikit berbeda. Murid perempuan menggunakan kemeja tangan panjang dan rok atau bawahan yang lebih panjang dan sebagian besar dari mereka mengenakan jilbab.
“Kami tidak memiliki aturan yang mewajibkan murid mengenakan penutup kepala. Tapi hal itu memang disarankan untuk murid Kelas 4 ke atas,” kata Yahya Ibrahim.
“Ada beberapa murid yang tidak mau mengenakan jilbab, bahkan di jenjang sekolah menengah. Kami mentolerir hal seperti itu. Kami menganggapnya sebagai seragam sekolah ketimbang sebagai hal yang berkaitan dengan agama,” jelasnya.
Wakil kepala sekolah lainnya, Naeem Meer bekerja di LIC selama enam tahun dengan pengalaman mengajar di Inggris, Uni Emirat Arab dan Brunei. LIC justru merupakan sekolah Islam pertama tempatnya bekerja. Dia menggambarkan pengalaman ini cukup menyenangkan, terutama karena kekompakan di kalangan murid-muridnya.
“Sekolah ini sangat majemuk. Kami memiliki murid dari latar-belakang berbeda, termasuk kawasan bermasalah karena dilanda perang,” katanya.
Dia mengatakan gambaran awal orang luar mengenai apa yang terjadi d sekolah Islam ini sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. “Mengingat apa yang diberitakan di media sekarang, banyak stigma yang disematkan pada orang Muslim dam Islam,” kata Meer.
“Saya kira kekeliruan pertama adalah menyebut sekolah Islam hanya memiliki guru-guru Muslim saja,” jelasnya.
“Meskipun kami menekankan nilai-nilai Islam, namun bukan berarti kami tidak toleran terhadap agama lain,” tambah Meer.
“Saat tiba di Australia, setiap kali saya melamar ke sekolah Katolik, hal pertama yang ditanyakan adalah apakah Anda pengikut agama itu? Hal itu yang menjadikan CV saya sulit ditindaklanjuti lebih jauh,” ungkapnya. “Saya rasa sekolah kami jauh lebih toleran.”
Guru matematika dan sains di LIC, Bhawan Marwaha bukan penganut Islam. Dia beragama Hindu. Marwaha mulai bekerja di sekolah ini begitu lulus perguruan tinggi.
Menurutnya, baik dia maupun anak perempuannya, yang juga mendaftar di sekolah ini selama periode waktu tertentu, merasa selalu diterima. “Sekolah ini tidak ortodoks. Ini lingkungan menyenangkan untuk bekerja. Menjadi seseorang non-Muslim, tidak sulit bagi saya,” katanya.
Seorang staf lain yang juga non-Muslim adalah guru Sastra Inggris, Rosemary Nelson. Dia mengajar di sini setahun lalu setelah sempat bekerja di sejumlah sekolah umum dan sekolah swasta.
“Mereka menghilangkan pelajaran Sastra Inggris di sekolah tempat saya bekerja ketika itu. Jadi saat ada kesempatan untuk mengajarkan pelajaran itu lagi, saya sangat senang karena itu memang bidang saya,” Nelson berkisah.
Dia mengatakan kurikulum yang diajarkannya di LIC sama persis dengan kurikulum di sekolah lain. “Saya tidak menegajarkan sesuatu yang berbeda. Bahkan saya bisa mengajar dengan lebih baik di sini karena anak-anaknya kooperatif. Para orang tua memastikan mereka mendapatkan materi pelajaran,” tambahnya.
“Kita memiliki lembaga orang tua murid yang bagus. Mereka umumnya professional dan menginginkan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Tapi mereka juga sangat mengapresiasi apa yang dilakukan para guru,” ujarnya.
Dia mengaku terenyuh ketika melihat media memberitakan tentang Muslim dan terorisme. “Saya melihat yang terjadi dan berpikir, ya Tuhan, murid-murid harus berhadapan dengan semua kritik atau hujatan dari apa yang terjadi,” ujarnya.
“Murid-murid perempuan memang ada yang mengalaminya sedikit. Karena saya juga mengajar Ilmu Sosial, diskusi-diskusi semacam itu muncul juga,” katanya.
“Saya berusaha menyemangati anak-anak untuk bersikap ramah dan membuka diri agar orang lain tahu kalau mereka sama saja. Mereka hanya menggunakan gaya busana yang berbeda,” tambah Nelson.
Sejumlah murid perempuan Kelas 11 mengatakan mereka semua pernah mengalami beberapa bentuk perlakuan Islamofobia ketika berada di publik.
“Hal itu pernah sekali terjadi pada saya dan ibu saya,” ungkap Jamila. “Kami sedang berbelanja di toko dan beberapa anak laki-laki memaki kami. Ibu saya hanya mengatakan mereka pengecut.”
“Perlakuan seperti ini membuat frustasi pada awalnya tapi setelah beberapa saat Anda akan terbiasa,” tambahnya.
“Setiap orang memiliki opini berbeda dan kita menyadari kalau tidak semua orang dapat melihat sesuatu seperti Anda melihatnya,” kata Jamila.
Murid lainnya, Amaliya, mulai mengenakan jilbab ketika berusia 12 tahun. “Awalnya saya tak suka. Saya merasa seperti kiamat bagiku. Orang-orang akan membenci saya. Tapi kemudian menjadi terbiasa, seperti mengenakan pakaian lainnya. Jilbab membuat kita lebih dekat kepada Tuhan,” katanya.
Amaliya mengaku sadar betul dengan tuduhan sejumlah non-Muslim kalau praktik mengenakan penutup kepala di tempat umum merupakan bentuk penindasan.
“Saya dapat mengerti dari mana pemikiran semacam itu berasal,” katanya. “Ketika salah menafsirkan Al-Qur’an memang terlihat seperti itu. Sama saja jika Anda salah menafsirkan Injil.”
“Tapi terkait hal itu, jika Anda melihat pengguna jilbab di sekitar Anda sebagai dokter dan profesi lainnya, maka tampaknya bukan sebagai bentuk ketertindasan, bukan?” ujarnya.
Murid Kelas 10 Yasmeen mengaku amat menyakitkan jika orang menilai dia dan teman-teman sekelasnya dari penampilan mereka. “Tapi mudah-mudahan kita bisa dewasa, bisa memiliki keluarga yang penuh kasih dan akhirnya tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang mengenai kita,” tandasnya.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email