Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS FIQIH. Show all posts
Showing posts with label ABNS FIQIH. Show all posts

Mengapa Syiah mengusap kaki dalam berwudhu?


Oleh: Ayatullah Ja’far Subhani

Kenapa Syi’ah, bukannya mencuci kaki dalam wudhu’, malah mengusapnya?
Usap kaki dalam amalan wudhu’ mempunyai dasar Al-Qur’an dan sunnah. Berikut kami akan menjelaskannya secara ringkas:

Secara literal, ayat keenam surat Al-Ma’idah menyatakan bahwa orang muslim harus menjalankan dua tugas dalam wudhu’nya; tugas yang pertama adalah membasuh muka dan kedua tangan, lalu tugas yang kedua adalah mengusap kepala dan kedua kaki. Hal ini dapat dimengerti dengan mudah sekali dari kesertaan dua bagian ayat (QS. Al-Maidah : 6) berikut:

Bagian pertama:

فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ

Bagian kedua:

وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَکم إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِ‌ۚ

Apabila dua kalimat perintah di atas kita sampaikan kepada orang arab yang berbahasa Arab dan benak dia belum pernah mengetahui perbedaan-perbedaan hukum fikih, pasti dia akan memahami dua tugas tersebut di atas dari dua kalimat ini; yaitu perintah membasuh muka dan kedua tangan, serta perintah mengusap kepala dan kedua kaki.

Menurut tata bahasa dan sastra Arab, kata (أَرۡجُلَکم) harus disambungkan pada kata (رُءُوسِكُمۡ) sehingga kaki harus diusap sebagaimana kepala, dan tidak seharusnya kata itu disambungkan kepada kata (أَيۡدِيَكُمۡ) sehingga berarti kewajiban basuh kaki seperti basuh tangan. Alasan tidak dibenarkannya penyambungan kedua itu adalah konsekuensi yang tidak diterima menurut tata bahasa dan sastra Arab, dimana hal itu berarti adanya kalimat pemisah (ٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ) secara tidak tepat di antara kata (أَيۡدِيَكُمۡ) dan kata yang disambungkan kepadanya (أَرۡجُلَکم), bahkan keberadaan kalimat pemisah bukan pada tempatnya itu akan membuat pendengar atau pembaca salah paham.

Perlu diketahui juga bahwa variasi bacaan kata (أَرۡجُلکم) secara majrur (lam dibaca kasrah) atau mansub(lam dibaca fathah) tidak punya pengaruh apa-apa terhadap makna kewajiban usap kaki, karena bagaimana pun juga kata itu disambungkan pada kata (رُءُوسكُمۡ); bila kata (أَرۡجُلکم) dibaca secara majrur berarti mengikuti tampilan luar kata (رُءُوسكُمۡ), adapun jika kata itu dibaca secara mansub berarti mengikuti posisi kata (رُءُوسكُمۡ) dan statusnya sebagai obyek.

Banyak sekali keterangan ulama Syi’ah lmamiyah tentang makna ayat wudhu’ ini, antara lain Anda dapat membacanya di dalam kitab tafsir Majma Al-Bayan karya Thabarsi.[1]


Akar Perselisihan 

Tidak diragukan lagi bahwa secara literal ayat di atas menunjukkan kewajiban usap kaki dalam wudhu’, sehingga secara keseluruhan ayat tersebut mengharuskan dua basuh muka dan tangan serta dua usap kepala dan kaki.

Setiap kali Ibnu Abbas ditanya tentang cara berwudhu’ dia menjawab, “Al-Qur’an turun dengan membawa hukum usapan kaki.” Dia juga menjelaskan, “Orang-orang bersikeras untuk membasuh kaki dalam wudhu’, padahal hukum Islam yang sebenamya tentang hal itu adalah usap kaki.”[2]

Meskipun demikian, tetap perlu bagi kita untuk mengetahui akar perselisihan tentang masalah ini, dan menurut kajian hadis serta sejarah pensyariatan Wudhu’ ada dua faktor yang membuat masyarakat menyimpang dari kejelasan makna literal ayat di atas. Dua faktor itu adalah kekuasaan dan pola pikir personal atas dasar maslahat.


Kekuasaan 

Pemerintah dan kekuasaan punya pengaruh besar sekali dalam mengubah hukum usap kaki dalam wudhu’ menjadi basuh kaki. Lebih khusus Hajjaj bin Yusuf, dia sangat bersikukuh masyarakat harus membasuh kaki pada waktu wudhu’, karena menurutnya, kotor sekali kaki orang-orang yang hendak menunaikan shalat, mengingat bahwa mayoritas mereka tak beralas kaki.

Anas bin Malik adalah salah satu sahabat Nabi Saw yang berumur panjang dan selama bertahun-tahun dia juga hidup di kota Kufah. Ketika seseorang datang menyampaikan berita kepadanya bahwa Hajjaj memerintahkan massa untuk membasuh bagian luar dan dalam kaki, seketika itu pula dia protes seraya berkata, “Maha benar Allah Swt dan betapa bohongnya Hajjaj. Allah Swt berfirman, “Dan usaplah kepala dan kaki kalian.” (sedangkan Hajjaj memerintahkan mereka untuk membasuh kaki)[3]

Begitu gencar dan seriusnya seruan Bani Umayyah terhadap masyarakat untuk membasuh kaki mereka ketika wudhu’ sehingga fukaha (ahli fikih) yang hidup pada waktu itu tidak berani menentang.

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari para sahabat Nabi Saw bahwa suatu ketika Abu Malik Asy’ari berkata kepada sanak familinya, “Beritahulah satu sama yang lain untuk berkumpul, karena aku akan mengajarkan cara Rasulullah Saw shalat.” Saat mereka telah berkumpul dia bertanya, “Apakah ada orang asing (selain famili) di antara kalian?” mereka menjawab, “Tidak.” Maka dia pun minta sewadah air, dan setelah mencuci mulut serta hidungnya dia membasuh tiga kali muka dan kedua tangannya, lalu dia mengusap kepala dan bagian atas (luar) kedua kakinya. Setelah itu dia shalat.[4]


Pola Pikir Personal atas Dasar Maslahat 

Pola pikir personal atas dasar maslahat yang diprioritaskan atas makna literal Al-Qur’an dan hadis Nabi Saw merupakan sumber bid’ah dalam agama, contoh-contohnya telah kami paparkan di dalam kitab khusus yang berjudul Bid’ah. Faktor ini pula yang menyebabkan masyarakat berpaling dari hukum usap kaki dalam wudhu’ dan menggantikannya dengan basuh kaki.

Abu Bakar Razi (50-70), tokoh ternama yang lebih dikenal dengan julukan Jashash, di dalam kitab Ahkam Al-Qur’annya menuliskan bahwa dari sisi kewajiban usap atau basuh kaki, ayat wudhu’ di atas terhitung ambigu atau tidak jelas. Untuk itu, menurut dia sebaiknya kaki dibasuh saat berwudhu’, karena itu pilihan yang lebih hati-hati dan mewakili dua kemungkinan tersebut secara bersamaan.[5]

Tentu saja klaim ambiguitas tidak sesuai dengan kedudukan ayat wudhu’ yang sedang menjelaskan tugas-tugas orang berwudhu’. Lebih dari itu, bila kehati-hatian yang dijadikan sebagai tolok ukur maka sewajarnya orang tersebut berwudhu’ dua kali; karena secara esensial, usap berbeda dengan basuh.

Penulis kitab tafsir Al-Manar termasuk ulama yang tidak mengingkari makna literal ayat tentang keharusan usap kaki. Namun di lain sisi dia mengatakan, “Apa gunanya mengusap kaki yang kotor dan dekil?!”[6]

Mungkin dia lalai bahwa ayat wudhu’ ini tidak dikhususkan untuk orang-orang primitif dan kompros, melainkan wahyu Ilahi dialamatkan baik untuk orang primitif maupun beradab, orang kota maupun orang desa, dan cahaya Ilahi ini akan terus terang serta berlaku sampai Hari Kebangkitan.

Di samping itu, kita akan tanyakan kepada dia apa gunanya usap kepala cukup dengan satu jari (menurut Mazhab Syafi’i)? Baik usap kaki maupun usap kepala dengan satu jari sama-sama tidak begitu jelas kegunaannya bagi sebagian orang, tapi kenapa yang pertama dianggap olehnya terlarang atau tidak sah sedangkan yang kedua boleh dan sah? Lebih dari itu, wudhu’ bukan sekedar untuk kebersihan, melainkan juga tindak kebersihan sekaligus ibadah. Maka itu, orang yang paling bersih secara lahiriah pun tetap harus berwudhu’ untuk menunaikan shalat, sedangkan orang kotor hendaknya membersihkan kaki dan organ wudhu’nya yang lain sebelum berwudhu’.

Itulah tadi sekilas pembahasan tentang ayat wudhu’. Selanjutnya, kita akan sama-sama mempelajari hadis-hadis yang bersangkutan dengan masalah ini:


Hadis-hadis Tentang Usap Kaki Nabi Saw.

Tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian mengira orang di dalam kitab-kitab Ahli Sunnah tidak ada satu pun hadis yang meriwayatkan Nabi Muhammad Saw mengusap kedua kaki beliau dalam wudhu’, padahal dengan sekali penelitian saja lebih dari tiga puluh hadis bisa ditemukan, dimana mayoritas hadis itu menjelaskan cara wudhu’ Rasulullah Saw dan sahabat-sahabat beliau.

Makna ayat wudhu’ dan hadis yang begitu jelas menunjukkan kewajiban usap kaki dalam wudhu’ menuntut fukaha Ahli Sunnah untuk mengoreksi pendapat fikih mereka dalam hal ini, sehingga dengan demikian mereka membantu langkah umat menuju kesatuan dalam fikih, dan dengan demikian pula mereka mengikuti jejak sebagian besar sahabat serta tabi’in Nabi Muhammad Saw yang senantiasa mengusap kaki dalam berwudhu’. Di bawah ini kami akan menyebutkan sebagian dari mereka:
1. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, “Aku melihat Rasulullah Saw mengusap bagian luar (atas) kedua kakinya.”[7]

2. Jabir bin Abdillah mengatakan, “Imam Muhammad bin Ali bin Husain as -yang dikenal dengan julukan Baqirul Ulum dan kehebatannya dalam ilmu serta fikih diakui oleh semua kalangan-[8] telah berkata kepadaku, “Usaplah atas kepala dan kedua kakimu.”[9]

3. Busr bin Sa’id mengatakan, “Usman berwudhu’ seraya mengusap kepala dan kedua kakinya sebanyak tiga kali, lalu dia berkata, “Demikianlah Rasulullah Saw berwudhu’.”.”[10]

4. Hamran bin Aban -budak Usman- telah meriwayatkan dari Usman bahwa Rasulullah Saw mengusap kepala dan kedua kakinya setelah membasuh muka dan kedua tangannya.[11]

5. Abdullah bin Zaid Mazini, dikenal dengan julukan lbnu Imarah, mengatakan bahwa Nabi Saw berwudhu’ dengan mengusap kepala dan kedua kakinya.[12]

6. Abdullah bin Abbas sering sekali mengatakan, “Sesungguhnya wudhu’ itu terdiri dari dua basuhan dan dua usapan.”[13]

7. Amir Syu’bi mengatakan, “Asas wudhu’ adalah dua basuhan dan dua usapan. Karena itu, di dalam tayamum organ yang harus dibasuh dalam wudhu’ tetap diperhatikan -agar diusap dalam tayamum- sedangkan organ yang harus diusap dalam wudhu’ ditinggalkan.”[14]

8. Rifaah bin Rafi’, salah satu sahabat Nabi Saw, meriwayatkan bahwa beliau Saw mengusap kepala dan kedua kakinya sampai gundukan di atas kaki.[15]

9. Abu Malik Asy’ari, sahabat Nabi Saw, juga telah mengajarkan cara wudhu’ Rasulullah Saw kepada sanak familinya, dan temyata di akhir wudhu’nya dia mengusap kedua kaki.[16]

10. Rifa’ah bin Rafi’ juga meriwayatkan dari Nabi Saw bersabda, “Shalat kalian tidak akan diterima kecuali jika wudhu’ kalian sempurna; basuhlah muka dan kedua tangan kalian, lalu usaplah kepala dan kedua kaki kalian sampai gundukan di atas kaki.”[17]
 
Itulah sebagian contoh dari tokoh sahabat dan tabi’in yang meriwayatkan usap kaki dalam wudhu’ dari Rasulullah Saw, adapun data lebih detil mengenai nama tokoh-tokoh yang meriwayatkan usap kaki dari beliau, para sahabat dan tabi’in telah kami sebutkan di dalam kitab Al-Inshaf fi Masa’ila Dama fiha al-Khilaf, jilid 1, dari halaman 56 sampai dengan 95.


Referensi:

[1] Thabarsi, Majma’ Al-Bayan, jld. 2, hal. 163-167; Al-Inshaf fi Masa’ila Dama fiha al-Khilaf, jld. 1, hal.1040.
[2] Suyuthi, Al-Dur Al-Mantsur, jld. 3, hal. 14.
[3] Thabari, Tafsir Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 6, hal. 82; lbnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim,jld. 2, hal. 20.
[4] Ahmad bin Hanbal, Musnad, jld. 5, hal. 342; Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, jld. 3, hal. 28, hadis no. 3412.
[5] Jashash, Ahkam Al-Qur’an, jld. 2, hal. 346.
[6] Rasyid Ridha, Al-Manar, jld. 6, hal. 234.
[7] Ahmad bin Hanbal, Musnad, jld. 1, hal. 153, hadis no. 739, hal. 183, hadis no. 91.
[8] Dzahabi, Tadzkiroh Al-Huffiidz, jld. 1, hal. 124.
[9] Thabari, Tafsir Jami’ AI-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 6, hal. 82.
[10] Ahmad bin Hanbal, Musnad, jld. 1, hal. 109, hadis no. 489.
[11] Muttaqi Hindi, Kanz Al-‘Ummal, jld. 0, hal. 436, hadis no. 26863.
[12] Ibid, hal. 451, hadis no. 26922.
[13] Thabari, Tafsir Jami’ AI-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 6, hal. 82.
[14] Ibid.
[15] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, jld. 1, hadis no. 460; Nasa’i, Sunan Al-Nasa’i, jld. 2, hal. 226.
[16] Ahmad bin Hanbal, Musnad, jld. 5, hal. 342.
[17] Hakim Nisyaburi, Al-Mustadrok, jld. 1, hal. 241.

(Hauzah-Maya/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Dalil Nabi Sujud di Atas Tanah!! Mengapa Syi’ah Sujud Dengan Dahi di Atas Tanah? Kenapa Syi’ah Sujud di Tanah??? Rasulullah Saw Melarang Para Sahabatnya Jika Bersujud Selain di Atas Tanah (Yang Dimaksud: Bukan Tanah Yang Kotor Buat Sujud)


Bersujud di Atas Tanah - Satu Jawaban

Bersolat di Atas Bumi.

Sebagai seorang Syiah, kami mempercayai cara untuk sujud yang paling sempurna ialah dengan meletakkan kepala kita di atas bumi kerana ia adalah kawasan yang paling rendah yang mampu di letakkan ketika seseorang itu mengingati Allah swt. Bersujud itu sendiri adalah salah satu gerakan bagi menunjukkan betapa hina nya kita di hadapan Allah swt. Di hadapannya, kita tidak bernilai, kita adalah hamba yang tidak layak untuk Allah swt. Dan jika ia dilakukan di atas tanah, ia akan mempunyai kesan yang lebih mendalam dari, contohnya bersujud di atas karpet. Di dalah buku Ahlul Sunnah, Targhib wal Tarhib, Volume 1 Ms 581, berbunyi:
“Rasulullah saw bersabda: Jadikanlah muka kamu berdebu, and selimutilah hidung kamu dengan debu.”.

Nabi saw juga menerangkan sebab musabab untuk sujud di atas tanah dengan cara yang paling indah. Di dalam Kanz al Ummal, kita dapat lihat hadis-hadis yang dengan indahnya MENGARAHKAN (semasa sujud) menyapu dahi pada tanah dan sebab musababnya:

Kanz al Ummal Volume 7 Hadis 19778:
“Sapu lah diri kamu dengan tanah kerana ia adalah rahmat dan berkat buat kamu, rahmat seperti kasih sayang seorang ibu pada anak-anaknya, sesungguhnya kamu telah dicipta darinya, ia adalah hidup kamu(makanan) dan kepadanya kamu akan di tanam.”

Ini sama seperti ketika Imam Jaafar As Sadiq ditanya tentang falsafah bersujud di atas tanah, dia berkata:
” Oleh kerana bersujud bermaksud berserah diri dan menghinakan diri sendiri pada Yang Maha Kuasa, maka ia tidak sepatutnya dilakukan diatas sesuatu yang boleh dipakai atau di makan, kerana seseorang itu adalah hamba kepada apa yang di makan dan yang di pakai, manakala bersujud pula adalah tindakan menyembah Allah. Jadi ia tidak sepatutnya meletakkan kepalanya diatas apa yang disembah manusia dan menguasai mereka.” (Wasa’il al-Shi’ah, Vol 3 ms 591).

Orang-orang ang rapat dengan Rasulullah saw dan Ahlul Bayt baginda sangat erat dengan amalan bersujud di atas tanah dan dengan berbuat begitu, mengikuti amalan keturunan mereka, Rasulullah sallallahu alaihi wa salam.

Imam Jaafar As Sadiq berkata: “Bersujud adalah tidak dibenarkan kecuali di atas tanah atau apa sahaja yang tumbuh darinya, kecuali sesuatu yang di makan atau kapas.” (Wasa’il al-Shi’ah, Volume 3 ms 592).


Sujud Di Atas Turbah

Shiah selalunya meletakkan Turbah di tempat sujud semasa bersolat, dan tindakan ini dapat di buktikan dari Sunnah Rasulullah saw. Kami mempercayai, tindakan paling zuhud, merendah diri di hadapan Allah swt adalah bersujud di atas tanah, jika di bandingkan dengan kain buatan manusia.

Rasulullah saw Bersolat di Atas Khumrah.

Allamah Waheed Uz Zaman memberi komen tentang perkara ini di dalam Tafsir sahih Al Bukhari.
“Semua ulama bersetuju adalah di bolehkan untuk bersujud di atas sajadah. Tetapi Umar Ibnu Abdul Aziz mengatakan yang dia bersujud di atas lumpur, yang akan di bawakan pada baginda setiap kali bersolat, dan Ibnu Abi Shaybah meriwayatkan dari Urwah yang mengatakan bersujud di atas sesuatu selain Khumrah adalah makruh.” (Tayseer al-Bari Sharh Sahih Bukhari, Volume 1, ms 275).

Imam Bukhari dan Imam Abu Dawud mengkhaskan satu bab berkenaan bersujud di atas tanah.
1. Tayseer al-Bari Sharh Bukhari, Volume 1, ms 276.
2. Sunan Abi Daud, volume 1,ms 291, Maulana Waheed uz-Zaman.

Tindakan Rasulullah sujud di atas tanah adalah sangat terkenal sehinnga hampir semua perawi meriwayatkannya di dalam buku hadis mereka.

Mengikut Imam Shaukani, seorang ilmuan Sunni terkenal, lebih dari 10 orang sahabat Rasulullah saw telah meriwayatkan baginda bersujud di atas Khumrah. Beliau juga menyenaraikan sumber Sunni yang meriwayatkannya termasuk Sahih Muslim, At Tarmizi, Sunan Abu Dawud, Sunan An Nasai dan banyak lagi..

Nayl al-Autaar, Bab Sujud Di Atas Khumrah, volume 2, MS 128

Di dalam Sahih At Tarmizi meriwayatkan Rasulullah bersujud di atas Khumrah.

Berdasarkan Hadis ini lah Imam Malik yang dilahirkan di Madinah berkata:
“Selain tanah, bersujud di atas benda lain atau daun-daun atau tumbuhan adalah makruh.” (Al-Muhalla, volume 3, ms 115, Imam Ibn Hazm Andalasi).


Apa Itu Khumrah

Hadis-hadis yang meriwayatkan tentang tempat Rasulullah sujud selalunya menyebut:
“Rasulullah pernah bersujud di atas Khumrah.”

Ilmuan Sunni telah mendefinasikan Khumrah sebagai berikut:

Dr Mushin Khan di dalam Terjemahan Sahih Al Bukhari menyebut Khumrah sebagai:
“Sehelai tikar yang hanya mampu memuatkan muka dan telapak tangan ketika bersujud.”

Ibn Athir, Jami al-’Usul:
” Khumrah adalah seperti yang digunakan oleh Shiah di zaman kita untuk bersujud.” (Ibn al-’Athir, Jami’ al-Usul, (Kairo, 1969), vol. 5, ms. 467).

Maulana Waheed Uz Zaman Khan Hyderabadi dalam “Lughaat Al-hadeeth” berkata:
“Khumrah adalah sehelai tikar kecil(yang dibuat dari daun palma), atau dibuat dari daun kurma, di mana hanya mampu memuatkan kepala ketika bersujud. Beliau juga turut menyebut…..Walaupun di dalam agama kita adalah di bolehkan untuk bersujud di atas kain, tetapi adalah lebih baik untuk bersujud di atas tanah atau tikar.” (Lughaat ul Hadeeth, volume 1 ms 133).


Amalan Pribadi Allamah Waheed Uz Zaman Bersujud di Atas Khumrah dan Mengatakan Ia Adalah Sunnah

Di dalam muka surat yang sama yang mengandungi perbincangan tentang sujud, maulana Waheed menyebut:

“Saya berpendapat dari Hadis ini, bersujud di atas sesuatu adalah di bolehkan dan adalah tidak betul bagi masyarakat untuk melabelkan tindakan ini sebagai sesat. Berdasarkan hadis ini, saya selalu menyimpan sehelai daun palma untuk digunakan ketika bersujud, dan saya tidak mengendahkan kata-kata dan kritik orang-orang yang jahil. Kita sepatutnya mengambil berat dengan Sunnah Nabi walaupun ada orang melabelkan kita sebagai sesat.” (Lughaat ul Hadeeth, Volume 1, , Ms 133)

“Saya selalu menghamparkan tikar saya di dalam masjid yang telah mempunyai kain. Sesetengah orang dari Ahlul Sunnah mengutuk saya dengan mengatakan tidak semestinya dilakukan begini. Mereka tidak memahami yang kita sepatutnya bersolat dengan cara yang paling benar berdasarkan semua orang. Ini sebagai jalan selamat. Ia juga di laporkan dari Rasulullah bersolat di atas kain, tetapi solat wajib tidak dibenarkan ditunai di atas kain. Para sahabat melaporkan Rasulullah bersujud diatas tanah dan tikar dari daun palma.” Lughaat ul Hadeeth Volume 1, ms 113,

Bumi dijadikan sebagai tempat ibadah untuk Rasulullah.

Diriwayatkan Jabir bin Abdullah:
Rasulullah bersabda, “Aku telah diberikan 5 perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelum ku.
1. Allah telah memberikan ku kepada kejayaan dengan memberi rasa takut kepada musuh sejauh sebulan perjalanan.
2. Tanah ini telah diciptakan kepadaku dan pengikutku sebagai tempat bersolat dan untuk digunakan bertayyamun, kerana itu, pengikutku dapat bersolat dimana sahaja bila sudah tiba waktu.
3. Rampasan perang telah dijadikan Halal untukku sedang ia tidak halal kepada sesiapa sahaja sebelum ku.
4. Aku telah diberikan hak untuk memberi syafaat di Hari Pembalasan.
5. Setiap nabi diutuskan kepada kaumnya sahaja, tetapi aku diutus kepada seluruh umat manusia.

Hadis ini adalah sangat jelas dengan mengatakan tanah dan batu sebagai tempat sujud. Sejarah Islam dan Nabi Muhammad menunjukkan Masjid di Madinah hanya dihiasi dengan tanah walaupun terdapat berbagai jenis tikar dan hiasan wujud pada zaman itu.Oleh kerana itu, masjid ini tidak mempunyai karpet atau sebarang jenis pelapik di atas lantai, dan ketika hujan, lantai masjid akan berlumpur. Bagaimanapun Muslim tetap bersujud di atas lumpur itu dan tidak di hampar dengan sebarang karpet.

Saheeh al Bukhari Volume 1, Buku 11, Hadis 638:

Diriwayatkan dari Abu said Al Khudri:

Telah datang awan dan hujan sehingga atap menjadi bocor, dan di masa itu, atap masjid dibuat dari daun kurma. Iqamah dilaungkan dan aku melihat Rasulullah bersujud di atas air dan lumpur itu, sehingga jelas kelihatan lumpur di dahi baginda.

Imam Bukhari meriwayatkan Rasulullah ketika bersolat didalam bilik baginda, selalu bersujud di atas Khumra(sekeping tanah keras atau tikar).

Saheeh al Bukhari Volume 1, Buku 6, hadis 329:

Diriwayatkan Maimunah:
Semasa aku datang haid,aku tidak bersolat, tetapi aku selalu duduk di atas tikar di sebelah masjid Nabi. Baginda bersujud di atas helaian baginda, dan ketika bersujud, pakaian baginda sering mengenai aku”

Rasulullah menyuruh sahabat tidak bersujud di atas kain dan mengalihkan turban agar dahi mengenai tanah.

Sujud adalah satu cara untuk bersyukur kepada Allah Sws atas keberkata yang Allah limpahkan pada kita, dan cara terbaik ialah diatas tanah. Inilah sebabnya Nabi pernah menyuruh para sahabat untuk mengalihkan sebarang kain diantara dahi dan tanah agar segala espek sujud dapat dilengkapi. Terdapat banyak hadis dimana Nabi melarang bersujud di atas kain(atau turban) dan baginda sendiri tidak melakukan demikian.

“Apabila Nabi bersujud, baginda akan mengalihkan Amamah(turban) dari dahi ”

Referensi:

1. Al Tabaqat al Kubra dari Ibn Sa’ad Vol 1 ms.352
2. Kanz ul Ummal Vol.7, ms.49 (No.17896)

Di dalam baris yang sama ada menyebut rasulullah meminta seorang sahabat mengalihkan turban ketika bersujud.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ رَأَى رَجُلاً يَسْجُدُ بِجَنْبِهِ ، وَقَدْ أَعْتَمَ عَلَى جَبْهَتِهِ ، فَحَسَرَ رَسُولُ اللَّهِ عَنْ جَبْهَتِهِ.

“Rasulullah melihat seorang bersujud di sebelah baginda dan dahi beliau dilitupi, baginda membuang pelitup itu”

Referensi:

1. Sunan al Kubrah dari Al Bayhaqi Volume 2 ms 151 (No. 2659)
2. Al Isabah dari Ibn Hajar al Asqallani Vol. 3,ms. 465 (No. 4138)
3. Usd ul Ghaaba dari Ibn al Atheer Volume 3 ms 9


Said Ibnu Musayyab Mengatakan Bersolat di Atas Kain Adalah Bidaah

Imam Ahlul Sunnah terkemuka, Tabeen Said Ibnu Musayyab mempunyai pandangan berikut tentang bersujud di atas karpet atau kain, diriwayatkan dari Qatadah:

أخبرنا قتادة قال سألت سعيد بن المسيب عن الصلاة على الطنفسة فقال محدث

“Aku bertanya kepada Said Ibnu Al Musayyib tentang bersolat di atas karpet. Dia menjawab ia adalah sesuatu yang baru.” Online Tabaqat al Kubra by Ibn Sa`ad, Vol 5.

“Diriwayatkan dari Qatadah, apabila Said ditanya mengenai bersolat di atas kain, beliau menjawab ia adalah bidaah.” Tabaqat Ibn Sa`ad, Vol 3 bahagian 5 ms 160.


Sahabat Abdullah Ibnu Mas’ud Tidak Pernah Bersujud Selain di Atas Tanah

Para Nasibi yang jahil yang memanggil Shiah sebagai pembuat bidaah, sepatutnya membaca lebih tentang amalan Sahabat besar Abdullah Ibnu Masud, di rakamkan oleh Al Haythami di dalam Majma’ al Zawaid. Volume 2 ms 57:
“Abu Ubaidah meriwayatkan sahabat Ibnu Masud tidak pernah bersujud selain dari atas tanah.” (Online Majma’ al-Zawa’id, Volume 2 Hadith 2272).

Sahabat Jarir bin Abdullah bersujud di atas tanah walaupun terlampau panas.
Suhu panas melampau tidak menghalang sahabat terkenal bersujud di atas tanah.

“Jabir Ibn Abdullah meriwayatkan: kami bersolat bersama Rasulullah pada waktu Zuhur, aku mengengam tanah pada tanganku agar sejuk, kemudian bertukar tangan dan apabila aku bersujud aku akan meletakkannya di tempat sujudku”

Referensi:

1. Sunan al-Nisa’i, Volume 2 ms 204.
2. Sunan al-Bayhaqi Volume 1 ms 439
3. Musnad Ahmad ibn Hanbal, Volume 3 ms 327.


Fatwa Ibnu Taimiyah Berkenaan Solat di Atas Kain adalah bidaah

Ibnu taimiyah mengeluarkan fatwa ini di dalam Majmo Al Fatawa bila ditanya samada karpet di dalam masjid adalah bidaah atau tidak:

Segala puji bagi Allah tuhan sekalian Alam, bersolat di atas kain solat bukanlah Sunnah para golongan Salaf Muhajirin atau Ansar, juga bukan amalan para Tabiin. Malah mereka bersolat diatas tanah didalam masjid, tidak seorang pun dari mereka mengambil kain solat atau sejadah.

Apabila karpet diperkenalkan di Masjid Madinah, Imam Malik mengarahkan agar ia di rampas dan berkata kepada Abdul Rahman ibnu Mahdi:
Sesungguhnya dengarlah! Karpet/sejadah di dalam masjid adalah satu BIDAAH!

dan ini adalah hadis sahih dari Abu Said Al Khudri” (Mujmoo al Fatawa by Ibn Taymeeya Volume 22 ms163).

Pendapat Muhaddith Shah Abdul Aziz Dehalvi tentang bersujud di atas tanah di dalam buku anti Shiah
“..Jawaban kepada pertuduhan ini ialah sejak bilakah Ahlul Sunnah disuruh menjauhi amalan bersujud di atas tanah? Adalah diketahui dari hadis Sahih bahawa sebelum kesesatan, Syaitan tidak pernah meninggalkan satu tempat pun samada di langit atau bumi dimana ia tidak pernah bersujud, dan sejak dia enggan bersujud di hadapan Adam, yang dibuat dari tanah, semua sujud yang pernah dilakukan tidak lagi diterima. Jadi apabila seseorang tidak bersujud di atas tanah atau sesuatu yang dibuat dengannya, keadaanya adalah serupa seperti syaitan itu.

Tohfa Athna Ashriya ,ms 97-98.

Salam


Mengapa Syi’ah sujud dengan dahi di atas Tanah ? Soal mengapa pengikut Syi’ah bersujud di atas tanah tidak bercanggah dengan mana-mana hukum fiqh dari semua madzhab.

Solat adalah perbuatan ibadah yang cara-caranya terikat kepada amalan Rasulullah SAWA.Kaedah ini diterima oleh semua madzhab dan tidak ada sesiapa berani mempertikaikannya ataupun dia akan terkeluar dari senarai “Muslim”.

Hadith Nabi SAWA yang mulia menjelaskan tentang cara-cara bersujud seperti yang tercatat dalam Sahih Muslim, misalnya hadith nombor 469, [terjemahan]….

Dan di mana saja kamu berada, jika waktu solat telah tiba, maka solatlah, kerana bumi ialah tempat bersujud (masjid) atau hadith nombor 473, [terjemahan]

“….Bumi dijadikan suci bagiku [nota: misalnya debu tanah boleh digunakan untuk bertayammum] dan menjadi tempat sujud [wa ju’ilat ila-l-ardh tuhura wa-masjidan].

Dan memang orang-orang Syi’ah mengikut contoh Imam-imam mereka seperti Imam Ali Zainal Abidin AS dan seterusnya, yang meletakkan tanah Karbala sebagai tempat untuk bersujud.

Yang patut diingatkan bahawa Syi’ah tidak sujud kepada tanah . tetapi di atas tanah untuk merendahkan diri di hadapan Allah SWT.

Imam Ja’far al-Sadiq AS ketika ditanya perkara tersebut berkata [bermaksud]: ”….kerana sujud adalah untuk merendahkan diri di hadapan Allah, oleh itu adalah tidak wajar seseorang itu bersujud di atas benda-benda yang dicintai oleh manusia di dunia ini.” [Wasa’il al-Syi’ah, Juzuk III, hlm.591].

Dalam hadith yang lain Imam Ja’far al-Sadiq AS menjelaskan bahawa:

“Sujud di atas tanah lebih utama kerana lebih sempurna dalam merendahkan diri dan penghambaan di hadapan Allah Azza Wa-Jalla.” [Al-Bihar, Juzuk, 85, hlm.154]

Kenapa syi’ah sujud di tanah ??? Rasulullah saw melarang para sahabatnya jika bersujud selain di atas tanah.

Yang jelas bukan sunni sih….


Pertanyaan:

Melakukan Sholat di atas tanah ?

—————————————————
Jawaban kami:

Sujud secara bahasa berarti al-khudû’, yakni tunduk atau merendahkan diri. Sedangkan sujud dalam shalat bermakna meletakkan dahi di atas tanah. Inilah wujud peribadatan dan “penghinaan” seorang makhluk di hadapan Khalik. Sampai-sampai disebutkan dalam riwayat, “Keadaan paling dekat antara seorang hamba kepada Allah adalah ketika sujud.”

Karenanya menurut saya, shalat sejatinya bukanlah bacaan surah pendek yang lama (apalagi dilama-lamakan), tapi justru sujud yang lama. Kepala atau dahi dilambangkan sebagai bagian yang dimuliakan. Padahal hakikatnya manusia hanya diciptakan dari tanah (turâb, ardh) bahkan tanah hitam. Kesombongan manusia itu dihancurkan dengan menaruh lambang kemuliaan (dahi) ke tempat aslinya (tanah) di hadapan Sang Pencipta.


Sujud Dalam Fikih dan Sejarah

Dalam fikih Syiah Ahlul Bait, sujud di atas tanah merupakan perintah Rasulullah dan para imam Ahlul Bait as. Dalam Fiqh Al-Imâm Ja’far diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Jakfar tentang tempat yang boleh dijadikan tempat sujud. Lalu dijawab, “Tidak boleh sujud kecuali di atas ardh (tanah, bumi) atau yang tumbuh di bumi, kecuali yang dimakan atau dipakai.”.

Orang itu bertanya apa sebabnya, kemudian Imam menjawab, “Sujud merupakan ketundukan kepada Allah, maka tidaklah layak dilakukan di atas apa yang boleh dimakan dan dipakai, karena anak-anak dunia adalah hamba dari apa yang mereka makan dan mereka pakai, sedangkan sujud adalah dalam rangka beribadah kepada Allah…” Hal ini sesuai dengan perintah Nabi Muhammad dalam Shahîh Al-Bukhârî:

جعلت لي الأرض مسجداً وطهوراً

“Dijadikannya tanah bagiku sebagai tempat sujud dan suci.” Artinya tanah bukan saja mensucikan untuk bertayamum tapi juga sebagai tempat sujud. Dalam segala kondisi Nabi selalu sujud di atas tanah. Pernah ketika terjadi hujan di bulan Ramadan, masjid Nabi yang beratapkan pelepah kurma menjadi becek. Abu Said Al-Khudri dalam riwayat Bukhari berkata, “Aku melihat Rasulullah dikening dan hidungnya terdapat bekas lumpur.”.

Dalam kondisi panas, beberapa sahabat seperti Jabir bin Abdullah Al-Anshari biasanya akan menggenggam dan membolak-balikkan kerikil agar dingin sebelum digunakan untuk sujud. Sedangkan beberapa sahabat yang lain mengadu kepada Nabi, tapi tidak ditanggapi.

عن خباب بن الأرت قال شكونا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم شده الرمضاء في جباهنا وأكفنا فلم يشكنا

Khabab bin Al-Arat berkata, “Kami mengadu kepada Rasulullah saw. tentang sangat panasnya dahi kami (saat sujud), tapi beliau tidak menanggapi pengaduan kami.” (HR. Al-Baihaqi) Tapi ada juga sahabat yang mencari-cari kesempatan untuk sujud di atas kain, tapi ketahuan Rasul, sebagaimana juga diriwayatkan dalam Sunan Al-Baihaqî:

عن عياض بن عبد الله القرشي قال رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا يسجد على كور عمامته فأوما بيده ارفع عمامتك وأومأ إلى جبهته

Iyad bin Abdullah Al-Quraisyi berkata, “Rasulullah saw melihat seseorang sujud di atas lilitan serbannya. Maka beliau memberi isyarat dengan tangannya untuk mengangkat serbannya sambil menunjuk pada dahinya.” Mungkin karena riwayat di atas dan banyak riwayat lainnya sehingga Imam Syafii pun mengatakan bahwa seseorang harus sujud di atas tanah:

وَلَوْ سَجَدَ على رَأْسِهِ ولم يُمِسَّ شيئا من جَبْهَتِهِ الْأَرْضَ لم يَجْزِهِ السُّجُودُ وَإِنْ سَجَدَ على رَأْسِهِ فَمَاسَّ شيئا من جَبْهَتِهِ الْأَرْضَ أَجْزَأَهُ السُّجُودُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

“Apabila seseorang sujud dan dahinya sama sekali tidak menyentuh tanah, maka sujudnya dianggap tidak sah. Tetapi jika seseorang sujud dan bagian dahinya menyentuh tanah (al-ardh), maka sujudnya dianggap cukup dan sah, Insya Allah Taala.” (Al-Umm, 1/114).

Artinya, menurut mazhab Imam Syafii seseorang ketika sujud dahinya harus menyentuh tanah. Tapi apakah orang Syiah protes ketika teman-teman bermazhab Syafii sujud di atas sajadah yang terbuat dari kain bahkan bahan sintetis? Lalu kenapa ada yang protes (bahkan menyebutnya musyrik) ketika orang Syiah sujud di atas tanah padahal itu sesuai dengan fikih mereka yang diajarkan Ahlul Bait?!

Meski demikian Rasulullah saw. memberikan keringanan untuk sujud di atas setiap benda yang tumbuh di atas tanah, jika memang cuaca sangat panas atau sangat dingin. Terkadang Rasul menggunakan khumrah (semacam tikar kecil) dan terkadang karena uzur/darurat beliau mengizinkan sahabat untuk menarik serbannya. Artinya selama bisa sujud di atas tanah, maka Rasul melarang (seperti dalam riwayat Al-Baihaqi).


Turbah Al-Husain

Sebuah blog menyebut Syiah sebagai penyembah berhala. Hal itu karena mereka tidak memahami dengan benar makna “muslim”. Ketika seseorang bersyahadat dan menjadi Muslim, maka yang disembah adalah Allah. Sedangkan syirik adalah menyembah selain Allah. Bagaimana mungkin menjadi musyrik dan menyembah berhala padahal dalam shalatnya ia bertakbir, tahmid, tahlil, salawat dan seterusnya? Tentu kalian tidak ingin disebut sebagai penyembah berhala karena sujud di atas kain sajadah, ‘kan?

Turbah hanyalah sebuah lempengan tanah tempat orang-orang Syiah “sujud di atasnya” (masjûd ‘alaih) bukan “sujud kepadanya” (masjûd lahu). Lalu mengapa tanah Karbala atau turbatul Husain yang dipilih?

Pertama, yang diwajibkan adalah sujud di atas tanah atau yang tumbuh dari bumi kecuali yang dapat dimakan atau dipakai. Jadi menurut saya, tidak ada kewajiban untuk sujud di atas tanah Karbala. Kedua, menjadikan tanah Karbala sebagai turbah tidak berarti tanah Madinah dekat pusara Nabi saw. tidak memiliki keutamaan. Karena masing-masing memiliki keutamaannya sendiri.

Hanya saja tanah Karbala adalah tempat terbunuhnya cucu Nabi dan keluarganya untuk membela Islam sejati yang hampir musnah. Tanah tersebut telah dibanjiri darah suci para syuhada yang berjuang di jalan Allah. Kaum Syiah akan terus mengingat perjuangan Imam Husain as. Bukankah segala sesuatu yang berkaitan dengan Allah akan memiliki keutamaan? “Kemuliaan suatu tempat terletak pada siapa yang menempatinya,” kata pepatah. Afwan.

Imam ash-Shadiq as berkata, “Sujud di atas tanah adalah suatu kewajiban.” (Wasail Syiah juz 3 hal.).

فقد قال الأمام جعفر الصادق عليه السلام لا تسجد إلا على الأرض أو ما أنبتت الأرض

Berkata Imam Ja’far ash-Shadiq as, “Janganlab kamu sujud kecuali di atas tanah atau apaapa yang… tumbuh dari tanah.” (Biharul Anwar juz 85 hal. 149, al-Kafi juz 3 hal. 330).

Seseorang bertanya tentang sujud di atas sorban sedangkan dahinya tidak menyentuh tanah.

:فقال الإمام جعفر الصادق عليه السلام لايجزيه ذلك حتى تصل جبهته الأرض

Berkata Imam ash-Shadiq as, “Tidak boleh sehingga sampai mengena dahinya ke tanah.” (Wasail Syiah juz 3 hal. 609).

سأل هشام بن الحكم الإمام الصادق عليه السلام فقال: أخبرني يا بن رسول :الله عما يجوز السجود عليه السلام يجوز السجود على الأرض أوما أنبتت، إلا ما أآِل أو لُبش

“Hisyam bin hakam bertanya kepada Imam ash-Shadiq as, “Beritahu aku wahai putra Rasulullah tentang apa-apa yang boleh sujud di atasnya dan apa-apa yang tidak boleh?” Beliau menjawab, ‘Boleh sujud di atas tanah atau apa-apa yang tumbuh dari tanah, kecuali yang dapat dimakan atau yang dapat dipakai.” (Wasail Syiah juz 3 hal. 591).

عن أنس بن مالك قال: آنا نصلي مع رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم في شدة الحر فيأخذ أحدنا الحصباء في يده، فإذا بردت وضعها و سجد عليها

Dari Anas bin Malik berkata, “Kami salat bersamaRasulullah saw di musim yang sangat panas, salah satu dari kami mengambil kerikil lalu diletakkan di tangannya, apabila kerikil tadi sudah dingin lalu kerikil tersebut diletakkan dan di pakai untuk sujud di atasnya.”(Sunan Baihaqi juz 2 halo 105, Nailul authar juz 2 hal. 268) .

عن ابن عباس: إن النبي صلى الله عليه وآله وسلم آان يصلي على الخُمرة

Dari Abdullah bin Abbas, “Sesungguhnya Nabi saw salat di atas Khumroh (tikar yangterbuat dari daun pohon kurma sebesar wajah).” (Musnad Ahmad bin Hambal juz 1 hal. 269/ 309/29/358; Sahih Tirmizi juz 2 hal. 151).

عن ابن عمر: آان رسول الله صلى الله عليه وآله و سلم يصلي على الخُمرة

Dari Abdullah bin Umar, “Bahwasannya Rasulullah saw salat di atas Khumroh ( tikar yang terbuat dari daun pohon kurma sebesar wajah).” (Musnad Ahmad bin Hambal juz 2 haI. 92; Sunan Tirmizdi juz 2 hal. 151) .

عن وائل قال: رأيت النبي صلى الله عليه واله وسلم إذا سجد و ضع جبهتة وأنفه على الارض

Dari Wail berkata, “Aku melihat Nabi saw apabila beliau sujud, beliau meletakkan dahi dan hidungnya di atas tanah.” (Ahkamul Qur ‘an lil Jash Shoh, juz 3 hal. 36 Musnad Ahmad Bin Hanbal, juz 4 hal. 315).

Rasulullah saw melarang para sahabatnya jika bersujud selain di atas tanah.


Sujud di Atas Tanah

Apabila kita mengkaji dan mengamati ucapan–ucapan para ahli bahasa dalam kitab-kitab mereka yang beragam tentang makna sujud, akan kita dapati bahwa mereka hampir sepakat bahwa arti sujud adalah al-khudû’, tunduk dan merendahkan diri. Dan setiap orang yang merendahkan diri dan menundukkan kepalanya ke tanah, maka ia berarti telah melakukan sujud. Oleh karena itu, setiap orang yang menundukkan kepalanya ke tanah dan merendahkan dirinya disebut sebagai orang yang sujud.”.


Makna Sujud Menurut Ahli Bahasa

Apabila kita mengkaji dan mengamati ucapan–ucapan para ahli bahasa dalam kitab-kitab mereka yang beragam tentang makna sujud, akan kita dapati bahwa mereka hampir sepakat bahwa arti sujud adalah al-khudû’, tunduk dan merendahkan diri. Dan setiap orang yang merendahkan diri dan menundukkan kepalanya ke tanah, maka ia berarti telah melakukan sujud. Oleh karena itu, setiap orang yang menundukkan kepalanya ke tanah dan merendahkan dirinya disebut sebagai orang yang sujud.

Demikianlah ahli bahasa mendefinisikan makna sujud. Bagi anda yang ingin mengetahui makna sujud lebih luas lagi, maka anda dipersilahkan untuk merujuk ke kitab-kitab mereka. Mereka telah bersepakat tentang makna sujud yang hakiki yaitu tunduk dan merendahkan diri. Adapun makna sujud di dalam salât adalah makna majazi bukan bermakna secara hakiki, karena meletakkan dahi di atas tanah itu menandakan adanya kerendahan dan ketundukan yang sempurna.


Makna Sujud Dalam Syariat Islâm

Setelah kita mengenal dan mengetahui makna sujud menurut para ahli bahasa, marilah kita telaah lebih jauh makna sujud menurut pandangan para ulama dan kaum muslimin. Pada hakikatnya, apabila kita mengkaji dan melihat teks-teks para ulama dan fuqaha, akan kita temukan bahwa arti sujud dalam syari’at, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang telah didefinisikan oleh para ahli bahasa. Hanya saja para ulama dan fuqaha menambahkan tentang arti sujud dengan tata cara yang khusus. Termasuk di dalamnya kewajiban-kewajiban dan syarat-syarat sahnya sujud tersebut sesuai dengan ijtihad dan istinbât (menyimpulkan sebuah hukum) mereka dari Al-Qur’ân, al-Hadits dan dari kitab-kitab yang lain.

Bahkan pendapat para ulama Ahli Sunah wal Jamaah sama sekali tidak jauh berbeda dengan pendapat para ulama Syi’ah Imâmiyah tentang makna sujud tersebut. Hanya saja para pengikut ulama Ahli Sunah wal Jamaah tidak mempraktikkan apa yang dimaksudkan oleh hadits-hadits Rasulullâh Saw yang juga terdapat di dalam kitab-kitab mereka. Mereka memilih mengamalkan hasil ijtihad para ulama mereka, disadari ataupun tidak. Apabila kita mau meluangkan waktu untuk mengkaji teks-teks serta pandangan-pandangan fuqaha dan ulama Ahli Sunah wal Jamaah, yaitu: Imâm Hânâfî, Mâlikî, Syafi’î maupun Hanbâlî, maka kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa makna sujud adalah meletakkan dahi di atas tanah dengan penuh ketundukan dan kekhusyu’an.

Ibnu Quddâmah – salah seorang ‘ulama Hanbâlî – dalam kitabnya Al-Mughnî mengatakan bahwa sempurnanya sujud diatas tanah adalah dengan meletakkan seluruh bagian telapak tangan di atas tanah dan mengangkat kedua siku-sikunya.[1]

Imâm Ahli Sunnah yang lainnya yaitu Muhammad bin Idris yang lebih dikenal dengan nama Imâm Syâfi’î di dalam kitabnya yang terkenal yaitu al-Umm, beliau mengatakan bahwa, ” apabila seseorang sujud dan dahinya sama sekali tidak menyentuh tanah, maka sujudnya dianggap tidak sah. Tetapi jika seseorang sujud dan bagian dahinya menyentuh tanah, maka sujudnya dianggap cukup dan sah, Insya Allâh”[2].

Ucapan mereka tidak lain menjelaskan tentang hakikat orang yang sujud, yaitu si-Mûsallî (orang yang melaksanakan salât) hendaknya meletakkan dahinya di atas tanah tanpa adanya penghalang antara dahinya dengan tanah. Demikianlah di antara ucapan fuqaha dan ulama madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara singkat. Apabila anda ingin mengetahui secara lebih jeluk, silahkan anda merujuk pada kitab-kitab mereka.


Berikut Ini kami Akan Singgung Ucapan Ulama dan fuqaha Syi’ah Imâmiyah Tentang Sujud di Atas Turbah

Pandangan-pandangan, pendapat-pendapat serta ucapan-ucapan para Ulama Syi’ah Imâmiyah, baik dahulu maupun sekarang, tidak ada perbedaan pendapat sedikit pun dalam masalah ini. Dan mereka senantiasa mengamalkan dan mempraktikkan pandangan–pandangan dan pendapat-pendapat serta ucapan-ucapan tersebut di dalam sujud mereka ketika mereka melakukan salât sehari semalam. Sejak keluarnya perintah sujud di atas tanah hingga hari ini, tidak ada seorangpun yang berbeda pendapat tentang masalah ini. Mereka – para ulama dan para pengikut madzhab Ahlul Baît As – senantiasa mempraktikkan segala sesuatu yang dipraktikkan oleh Rasulullâh Saw dan mempraktikkan ucapan-ucapan dan perintah-perintah para Imâm Ma’sumîn setelah wafat Rasulullâh Saw dari masa ke masa.

Seorang ulama Syi’ah tersohor yang dikenal dengan nama Al-Muhâddits Al-Bahrânî, menulis dalam kitabnya bahwa sujud menurut bahasa adalah tunduk dan merendah. Sedangkan sujud menurut syar’i adalah meletakkan dahi di atas tanah atau segala sesuatu yang tumbuh di atas tanah yang tidak dimakan atau tidak dipakai. Dan sujud itu berarti tunduk dan kerendahan secara khusus[3].

Imâmul Ummah, pemimpin umat, Pelopor Revolusi Islâm Iran dan Reformer abad ini, di dalam kitabnya yang masyhur yang diberi nama Tahrir al-Wasilah, Al-Imâm Ruhullâh Musâwî Khomeînî mengatakan bahwa wajib hukumnya dalam setiap raka’at melakukan dua kali sujud. Dua sujud tersebut hukumnya rukun, dan salât akan menjadi batal apabila ditambahkan atau dikurangi pada rakâ’at pertama baik dengan sengaja atau karena lupa. Akan tetapi apabila ia mengurangi atau lupa satu sujud saja, maka tidak sampai membatalkan salât-nya. Di dalam sujud diharuskan merendahkan dan meletakkan dahi sehingga bisa dinamakan sujud. [4]

Al-Imâm Ruhullâh Musâwî Khomeini pada halaman yang lainnya -sehubungan dengan masalah ini- mengatakan, bahwa tempat sujud (tempat meletakkan dahi) disyaratkan harus suci, sebagaimana juga disyaratkan harus berbentuk tanah atau tumbuh-tumbuhan yang tidak dimakan atau kertas. Dan yang lebih utama adalah Turbah Husaîniyah yang di antara fungsinya adalah dapat membakar dan menyingkap hijab-hijab yang tujuh dan menyinari bumi yang tujuh sebagaimana yang tercantum di dalam hadits.

Tidak sah hukumnya sujud di atas segala sesuatu yang tidak termasuk tanah atau tidak dikategorikan sebagai tanah. Misalnya sujud di atas barang tambang seperti emas, perak, kaca dan lain-lain. Begitu pula tidak sah hukumnya sujud di atas segala sesuatu yang tidak termasuk tumbuh-tumbuhan seperti sujud di atas abu. Dan -menurut beliau- hukumnya boleh sujud di atas genteng, kapur atau bata walaupun setelah dimasak. Begitu pula sujud diatas arang. Kemudian beliau melanjutkan bahwa bolehnya sujud di atas tumbuh- tumbuhan dengan syarat tumbuh-tumbuhan tersebut tidak dimakan (tidak dijadikan sebagai sayuran atau lalapan) dan tidak dipakai atau tidak dijadikan bahan pakaian. Oleh karena itu tidak boleh sujud di atas segala sesuatu yang berada pada manusia yang berupa makanan dan pakaian, seperti sujud di atas roti, kue, biji-bijian yang bisa dimakan, gandum, beras dan sebagainya. Termasuk pula buah-buahan, lalapan, dan sayuran yang dimakan. Adapun sujud di atas kulit buah-buahan setelah terpisah dari isinya dan kulit tersebut tidak dimakan, maka hukumnya boleh kecuali di atas kulit apel, timun dan kulit buah-buahan lainnya yang dimakan walaupun mengikuti isinya.

Demikian juga -secara ahwat wujubi (sikap hati-hati yang bersifat wajib) tidak dibolehkan sujud di atas kulit biji-bijian yang biasanya dimakan isinya.[5] Demikian penjelasan yang agak rinci yang ditulis oleh Al-Imâm Ruhullâh Mûsawî Khomeini Ra.

Al-Ustâdz Ayatullâh as-Syaîkh Nâsir Makârim Syirâzi berkata, sesungguhnya kami selaku pengikut madzhab Syi’ah Imâmiyah berkeyakinan bahwa ketika salat hukumnya wajib melakukan sujud di atas tanah atau di atas segala sesuatu yang tumbuh di atas tanah seperti dedaunan, dahan pohon dan semua tumbuh-tumbuhan yang biasanya tidak dimakan dan tidak dijadikan pakaian. Dengan dasar inilah ajaran kami tidak membenarkan seseorang melakukan sujud di atas sajadah. Selain itu pula, kami lebih memilih dan mengutamakan sujud di atas tanah daripada sujud di atas yang lainnya walau pun dibolehkan. Oleh karena itu, agar lebih mudah, banyak pengikut ajaran Syi’ah Imamiah yang selalu membawa-bawa sekeping tanah yang suci yang sudah dikeringkan yang dinamakan “turbah” untuk mereka gunakan sebagai alas sujud dalam salât.

Sedang dalil yang kami jadikan sebagai dasar pandangan dan keyakinan kami ini adalah hadits Nabi Saw, yaitu:
“Bumi ini telah Allah ciptakan untukku sebagai tempat sujud dan pensuci”.[6]

Terminologi “masjid” di dalam hadits ini, maksudnya adalah tempat sujud dan bukan tempat salât. Hadits ini tercantum di dalam kitab-kitab sahih Ahli Sunnah seperti kitab Sahih al-Bukhâri dan lainnya. Syaikh Mahdî ‘Abbâs al-Bahrâni mengatakan : ” Arti sujud dalam hadits tersebut maksudnya adalah sujud di atas sesuatu yang dikategorikan sebagai tanah menurut bahasa, ‘urf dan syari’at.

Mungkin anda akan mengatakan bahwa kata “masjid” di dalam hadits ini bukanlah berarti tempat sujud, melainkan tempat salât, artinya dibolehkan melakukan salât di mana saja di muka bumi ini dan dibolehkan pula melakukan sujud di atas apa saja, tidak terbatas pada tempat-tempat tertentu saja. Akan tetapi yang benar adalah kata “masjid” di sini berarti tempat sujud, karena jelas bahwa di dalam hadits tersebut terdapat kata “tahûr” yang berarti tanah tayammum. Dengan demikian hadits tersebut bermakna: “Sesungguhnya tanah bumi ini bisa dijadikan sebagai alat bersuci dan juga sebagai tempat sujud dalam shalat”. Di samping itu pula banyak sekali hadis-hadis lainnya yang datang dari Ahlul Bait as yang menyinggung masalah sujud ini dan menegaskan bahwa tempat sujud harus berupa tanah, batu-batuan dan yang sejenisnya”.[7]

Di samping itu, anda dapat merujuk ke kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh para ‘Ulama Syi’ah Imâmiyah yang dikenal dengan Risalah ‘Amalîyah.

Dengan penjelasan tersebut, teranglah bahwa penjelasan-penjelasan dan pandangan-pandangan para fuqaha dan ‘ulama madzhab fiqih Islâm, bahwa sesungguhnya yang dituntut dalam sujud adalah terealisasinya peletakan dahi di atas tanah atau sujud di atas sesuatu yang lainnya yang dianggap sah dengan penuh kekhusyukan. Dan apabila tidak demikian, maka tidak dapat dinamakan sebagai sujud secara syar’i.


Sujud Pada Masa Rasulullâh Saw

Ketika Rasulullâh tiba di kota Kuba, Madinah Al Munawarah pada tanggal 12 Rabiul Awal, beliau berjumpa dengan Imâm Alî As pada bulan tersebut.[8] Hari masuknya Rasulullâh Saw ke kota tersebut adalah hari yang sangat mulia dan agung. Ketika itu, Bani Amr bin Auf telah berkumpul mengelilingi Rasulullâh Saw dan memaksa beliau untuk singgah di kota Kuba sedangkan suku Aus dan Khazraj berusaha mengambil unta Rasulullâh Saw. Mereka juga memaksa Rasulullâh Saw untuk singgah di rumah mereka. Ketika itu, Rasulullâh Saw memberikan jawaban : ” Biarkanlah unta itu berjalan, sesungguhnya dia diperintahkan.”[9] Ketika itu, unta Rasulullâh Saw berhenti di tanah yang cukup luas milik dua orang anak yatim suku Khazraj yang bernama Sahl dan Suhail. Kedua anak itu berada dalam asuhan As’ad bin Zurarah. Kemudian Rasulullâh Saw membangun masjidnya di atas tanah di tempat unta beliau berhenti. Bangunan masjid itu dibangun dengan sangat bersahaja. Temboknya dibuat dari tanah liat, ukuran tingginya sama dengan ukuran tinggi manusia, tiang-tiangnya dibuat dari pohon kurma dan hamparannya masih dalam bentuk tanah murni, tidak disemen.[10]

Rasulullâh Saw bersama para sahabatnya melaksanakan salât di masjid itu. Mereka sujud di dalam salât mereka sehari-hari di atas tanah murni tanpa adanya penghalang sedikitpun antara dahi-dahi mereka dengan tanah. Sampai suatu saat datanglah kebatilan yang merubah hak tersebut dan menyebar bid’ah setelah wafatnya Rasulullâh Saw.


Sebagian Bukti Tentang Masjid Nabi Saw

Masjid Nabâwi tetap dalam bentuknya yang asli, yang dibangun oleh Rasulullâh Saw dan para sahabatnya. Masjid itu didirikan dengan bersahaja, temboknya dibuat dari tanah liat, tiangnya dibuat dari pohon kurma, atapnya dibuat dari pelepah dan dedaunan kurma dan hamparannya masih dalam bentuk tanah yang murni.

Sepanjang sejarah, Rasulullâh Saw dan para sahabatnya setelah wafatnya Rasulullâh Saw tetap melaksanakan salât sehari semalam di dalam masjid yang mulia tersebut dan sujud di atas tanah yang murni tanpa adanya alas apapun baik itu sajadah, karpet ataupun yang lainnya, hingga suatu saat muncullah bid’ah setelah wafatnya Rasulullâh Saw.

Berikut ini akan kita temukan bukti-bukti dari beberapa orang yang telah merubah masjid mulia tersebut, yang mana semenjak saat itu mereka tidak lagi sujud di atas tanah yang murni.

Sebelumnya kami akan tunjukkan beberapa bukti tentang keberadaan Masjid Nabawi dalam keadaannya yang murni pada zaman Rasulullâh Saw.

Bukti – bukti tersebut antara lain:
1. Al Bukhârî di dalam Sahih-nya mengatakan dalam bab Manâqibu ‘Alî bin Abî Tâlîb dengan sanad Abî Hazm, bahwa seorang laki-laki datang menjumpai Sahl bin Sa’ad. Ia berkata: ” Inilah fulan – pemimpin Madinah – ia memanggil Imâm ‘Alî As di atas mimbar “. Ia menjawab: ” Apa yang ia katakan?” Ia berkata: ” Ia mengatakan Abu Turâb” . Kemudian ia tertawa dan berkata ” Demi Allâh Swt, tiada yang memberikan julukan kepada ‘Alî selain Rasulullâh Saw dan tidak ada julukan yang lebih beliau cintai dari pada julukan itu, yaitu Abû Turâb”. Kemudian aku berkata: ” Wahai Abû Abbâs bagaimana kisah ini? ” . Abû Abbâs berkata : ” Suatu hari seseorang datang menjumpaiku yaitu ‘Alî bin Abî Tâlîb As dan Fâtimah Az Zahrâ kemudian keluarlah ‘Alî As dan dia berbaring di atas masjid. Kemudian Rasulullâh Saw bertanya kepada Fâtimah Az-Zahrâ, mana anak pamanmu? Az-Zahrâ menjawab : ” Ia di dalam masjid. Kemudian Rasulullâh bertanya kepada ‘Alî As, beliau mendapatinya bahwa selendangnya telah jatuh dari pundaknya dan bagian pundaknya terkena debu. Kemudian Rasulullâh Saw mengusap debu itu dari pundak ‘Alî As dan berkata: “Duduklah Wahai Abu Turab.”[11]
2. Riwayat yang dikeluarkan oleh Muslim dalam kitabnya dengan sanad yang berasal dari ‘Umar bin Khattâb. Dia berkata : ” Ketika Nabi Muhammad Saw meninggalkan istri-istri beliau, beliau masuk ke dalam masjid. Ketika itu, orang-orang yang ada di dalam masjid sedang melempar kerikil-kerikil (bermain-main dengan kerikil itu)”.[12]
3. Ibnu an-Najjâr telah menyebutkan dalam kitabnya Addurr al-Tsamînah (mutiara yang berharga), sebuah hadits yaitu bahwa Masjid Nabawi asy-Syarîf dimasa Rasulullâh Saw, Abu Bakar dan ‘Umar disirami air dan orang-orang ketika itu membuang riak dan air ludah mereka ke dalam masjid itu. Sehingga setelah disirami, kembali menjadi bersih. [13]


Sujud di Atas Batu-batu Kerikil Bermula Pada Masa Khalîfah ‘Umar bin Khattâb

Sampai di sini telah kita buktikan bahwa Rasulullâh Saw bersama orang-orang yang beriman ketika itu melaksanakan salât di masjid beliau di atas tanah yang murni tanpa adanya tikar atau karpet.

Berikut ini kita ingin mengungkap sejak kapan kaum muslimin mulai melaksanakan salât di dalam masjid Nabi tersebut dan sujud di atas sesuatu yang tidak pernah dilaksanakan oleh Rasulullâh Saw dan para sahabatnya, yakni mereka sujud di atas batu kerikil.

Beberapa bukti berikut ini yang menegaskan pernyataan di atas :
1. Al-Bukhârî mengeluarkan riwayat di dalam kitab Sahih-nya dengan sanad Ibnu ‘Umar yaitu ‘Abdullâh bin ‘Umar. Dia berkata bahwa sesungguhnya masjid pada masa Rasulullâh Saw telah dibangun dengan labin – semacam bata – sedangkan atapnya dari pelepah kurma dan tiangnya dari pohon kurma dan Abû Bakar ketika itu tidak menambahkan apapun pada masjid itu. Dan pada masa ‘Umar ditambahkan sedikit dan dibangun sebagai tambahan bangunan pada zaman Rasulullâh Saw. Pada zaman Khalîfah ‘Umar, dia menambahkan bangunan itu sedikit dan tetap menggunakan tiangnya dari kayu. Kemudian ‘Utsmân merubahnya lagi dan menambahkan yang lebih banyak serta membuat temboknya dari batu-batu yang diukir dan berikut tiang-tiangnya. Sedangkan atapnya dibuat dari saj(nama jenis kayu) .[14]
2. As-Samhûdî di dalam kitab Wafâul Wafâ menyebutkan sebuah hadits bahwa ‘Umar bin Khattâb ketika membangun kembali masjid Rasulullâh Saw, ia bertanya : ” kami tidak tahu dengan apakah kami harus hampari masjid ini? Seseorang berkata padanya : ” Hamparilah dengan batu-batu kerikil “. Umar berkata : ” Ini adalah wadî atau lembah yang penuh berkah dan aku mendengar bahwa Rasulullâh Saw bersabda: ” Batu-batu kerikil adalah batu yang penuh berkah.[15]
3. As-Samhûdî – menukil dari Ibnû Zubâlah – menyebutkan tentang terjadinya penghamparan tempat sujud itu dengan batu-batu kerikil. Sufyân bin ‘Abdullâh Ats-Tsaqâfî telah datang mengunjungi ‘Umar bin Khattâb. Dan ketika itu masjid Nabi Saw belum dihampari dengan batu kerikil. Ia berkata kepada ‘Umar : ” Bukankah anda mempunyai wadi atau lembah (yang banyak terdapat batu-batu) ? ” Umar menjawab : ” Ya ” . Ia berkata lagi : ” Hamparilah masjid ini dengan al-aqiq yang penuh berkah itu.”[16]
4. As-Samhûdî pada bukti sebelumnya juga menukil dari Ibnu Sa’ad. Ia berkata bahwa ‘Umar bin Khattâb menghampari dan meletakkan batu-batu kerikil di dalam masjid Rasulullâh Saw. Dan sebelum masjid itu dihampari dengan batu-batu, orang-orang ketika melaksanakan salât mengangkat kepala-kepala mereka dari sujud, mengusapkan debu-debu di dahi mereka dengan tangan- tangannya. Kemudian setelah itu ‘Umar bin Khattâb memerintahkan untuk menghampari masjid itu dengan batu-batu. Maka didatangkanlah batu-batu itu untuk dijadikan sebagai hamparan masjid tersebut. [17]
5. Al-Baihaqî di dalam kitabnya As-Sunanul Kubrâ telah mengeluarkan satu riwayat yang sanadnya dari Urwah bin Zubair. Ia berkata : ” Sesungguhnya orang yang pertama kali menghampari masjid Rasulullâh Saw dengan batu-batu adalah Umar bin Khattâb. Ia pernah berkata kepada orang-orang : “Hamparilah masjid ini dengan wadi atau batu-batu yang penuh berkah yakni al aqiq” . [18]
6. As-Samhûdî berkata : ” Dapatlah ditarik kesimpulan dari ucapan-ucapan sejarawan bahwa sesungguhnya penghamparan masjid Nabi Saw (Masjid Nabawi) itu terjadi pada masa Khalîfah ‘Umar bin Khattâb.

Dengan demikian telah jelaslah buat kita dengan pemaparan bukti-bukti di atas bahwa tanah di dalam Masjid Nabawi Asy-Syarîf itu tidak pernah dihampari dengan batu-batu dan kerikil-kerikil hingga pada masa ‘Umar bin Khattâb. Dialah orang yang pertama kali yang merubah masjid tersebut dan menghamparinya dengan batu-batu aqiq. [19]

Sementara pada masa Khalîfah ‘Utsmân bin ‘Affân, ruangan masjid nabi ketika itu tidak berubah sama sekali artinya tetap dihampari batu-batu sebagaimana perintah Khalifâh ‘Umar atas saran seseorang.

Berikut ini kita akan tunjukkan beberapa bukti yang menopang pernyataan di atas :
1. Asy-Syâtibî dalam kitabnya Al-I’tisâm telah mengeluarkan satu riwayat dari Hasan Al-Basrî. Ia berkata : ” Pada suatu hari ‘Utsmân bin ‘Affân keluar dan berkhutbah di hadapan kami. Kemudian orang-orang memotong khutbahnya tersebut dan melemparinya dengan batu”.[20]
2. As-Sakhâwî menyebutkan suatu bukti yang lainnya dengan merujuk pada kitab At-Tuhfatul Latîfah. Ia berkata : ” Hari terakhir di mana ”Utsmân keluar yaitu pada hari Jum’at. Ketika dia telah menaiki mimbar (Masjid Rasulullâh Saw), orang-orang melemparinya dengan batu. Sehingga dengan lemparan batu menyebabkan ia tidak dapat Imâm Jama’ah, kemudian Abû Umâmah As’ad bin Sahl bin Hanîf al-Ansârî maju ke depan menggantikannya menjadi Imâm. [21]
3. Pernah suatu saat ‘Utsmân melakukan tidur qailulah (tidur selama beberapa menit sebelum tibanya salat zuhur) di dalam Masjid Nabawi. Ketika itu ‘Utsmân telah menjadi khalîfah. Hal ini sebagaimana telah dikeluarkan satu riwayat oleh Al-Baihaqî di dalam As-Sunanul Kubrâ dengan sanad dari Hasan Al Basrî, yaitu ketika dia ditanya oleh seseorang tentang hukum tidur qailulah di dalam masjid. Ia menjawab : ” Sesungguhnya aku melihat ‘Utsmân bin ‘Affân ketika itu dia telah memangku jabatan sebagai khalîfah , dia melakukan tidur qailulah di dalam masjid, kemudian ia bangun dan di bagian samping badannya terdapat bekas-bekas batu “. [22]

Wahai pembaca yang budiman, dengan teks-teks, bukti-bukti dan dalil-dalil yang telah kami sebutkan di atas, teranglah bahwa Masjid Nabi Asy-Syarîf tidak pernah dihampari dengan apapun. Hingga pada masa Khalifâh ‘Umar bin Khattâb, kemudian masjid itu dihampari dengan batu-batu dari lembah. Kaum muslimin melakukan salat dan mereka bersujud di atas batu-batu hingga pada masa Khalifâh ‘Utsmân pun batu-batu itu tetap ada. Sedangkan sebelum dihampari dengan batu-batu oleh Khalifâh ‘Umar, kaum muslimin melaksanakan salât di masjid tersebut dan melakukan sujud di atas tanah tanpa batu satu pun (di atas tanah, red-).


Awal Munculnya Bid’ah

Sebelumnya kita telah mengkaji teks-teks, dalil-dalil dan bukti-bukti di atas bahwa Rasululllah Saw dan kaum muslimin yang melaksanakan salât bersama Rasulullâh Saw di dalam masjid tersebut. Ketika itu mereka melakukan sujud di atas tanah yang masih murni. Hingga pada masa ‘Umar bin Khattâb, dialah orang yang pertama kali menghampari lantai masjid itu dengan batu-batu yang berasal dari lembah. Sejak saat itu kaum muslimin melaksanakan salât di masjid tersebut dan mereka melakukan sujud di atas batu-batu yang membuat penghalang antara dahi-dahi mereka dengan tanah. Kemudian datanglah Hajjâj bin Yusuf. Ia adalah gubernur yang dilantik oleh ‘Abdul Mâlik bin Marwân pada masa Khalifâh Banî Umayyah untuk memerangi Ibnu Zubaîr. Ketika itu penduduk Haramain – Mekah dan Madinah – tertimpa kesengsaraan dan kesusahan akibat terjadinya peperangan. Dialah – Hajjâj bin Yusuf – yang melempari Ka’bah dengan manjaniq (alat perang semacam ketapel yang berukuran besar) dan telah membunuh lebih dari 100.000 orang di luar medan peperangan dan 30.000 kaum muslimat, 16.000 dari mereka itu hidup dalam keadaan telanjang di penjara.[23] Laki-laki fasiq, durjana dan kejam ini adalah orang yang pertama kali menghampari masjid Nabawi itu dengan tikar setelah mengangkat batu -batu dan debu-debu di dalam masjid itu keluar.

Berikut ini beberapa bukti atas pernyataan tersebut :
1. Al-Ghazâlî dalam kitabnya Ihyâ ‘Ulumûddîn berkata : ” Sesungguhnya ketika itu perbuatan menghampari masjid Nabawi dengan bawari atau tikar dianggap sebagai perbuatan bid’ah dan ada yang mengatakan bahwa hal itu dilakukan oleh Hajjâj bin Yusuf. Sebelum itu orang-orang tidak menempatkan sesuatu penghalang antara dahi-dahi mereka dengan tanah ketika mereka sujud.[24]
2. Qatâdah berkata bahwa ia melakukan sujud kemudian kedua matanya tertusuk oleh bagian tikar itu hingga ia menjadi buta, ia berkata : ” Semoga Allâh melaknat Hajjâj. Ia telah membuat bid’ah dengan menghampari masjid ini dengan Bawari (sejenis tikar).[25]
3. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz pernah menulis surat kepada ‘Udaî bin Artâh. Ia berkata : ” Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau telah mengerjakan sunnahnya Hajjâj. Aku nasihatkan janganlah engkau mengerjakan sunnah tersebut karena sesungguhnya ia salât tidak pada waktunya. Ia pun mengambil zakât bukan dari orang yang berhaq diambil zakâtnya dan ketika ia melakukan hal itu, ia telah membuat kerusakan.[26]


Awal Munculnya Sajadah

Dengan membaca dan mengkaji riwayat-riwayat dan kitab-kitab sejarah tentang keadaan dan perkembangan masjid pada masa Rasulullâh Saw dan khalîfah yang empat, dapatlah kita ketahui dengan jelas dan pasti bahwa masjid-masjid ketika itu lantainya tidak dihampari dengan karpet, permadani, ataupun sajadah, bahkan juga tidak dihampari dengan tikar yang terbuat dari daun-daun dan pelepah korma atau dedaunan pohon-pohon lainnya walaupun dibolehkan sujud di atasnya. Apakah ini berarti ketika itu belum ada permadani, karpet atau sajadah? Tidak demikian. Karena sejarah menjelaskan baik secara langsung ataupun tidak bahwa kain-kain tebal dan permadani sudah ada sejak sebelum lahir Rasulullâh Saw. Masjid-masjid pada zaman khalîfah yang empat tetap tidak dihampari dengan permadani, bukan pula karena mereka tidak punya ide dan keinginan untuk itu. Akan tetapi karena hal itu dilarang oleh syari’at Islâm dan tidak boleh sujud ketika salat kecuali di atas tanah secara langsung. Dan demi menjaga syariat Islâm serta menganggap bahwa sujud di atas karpet atau permadani itu adalah termasuk bid’ah. Oleh karena itu, ketika terik panas para sahabat Nabi Saw – sebagaimana dalam riwayat-riwayat – menggengam batu-batu kecil agar menjadi dingin dan mereka jadikan sebagai alas sujud. As-Sakhâwi berkata ” Sesungguhnya masjid-masjid sampai pada tahun 131 Hijriah atau 132 Hijriah masih tetap menggunakan tanah atau batu-batu kecil.”*

Sehubungan dengan masalah sajadah dapat kita ketahui secara jelas dengan merujuk pada ensiklopedia Islâm (di dalam kitab itu disebutkan bahwa : ” Istilah sajadah tidak ditemukan di dalam kitab suci Al-Qur’ân dan hadits-hadits yang sahih. Kata sajadah ini dapat dijumpai satu abad setelah penulisan hadits-hadits tersebut “.[27]

Ibnu Batutah mengatakan di dalam kitabnya Rihlah Ibnu Batutah berkata : ” Orang-orang pinggiran kota Kairo Mesir telah terbiasa keluar rumah mereka untuk pergi melakukan salât Jum’at. Para pembantu mereka biasanya membawakan sajadah dan menghamparinya untuk keperluan salât mereka. Sajadah mereka itu terbuat dari pelepah-pelepah daun korma”. Dia menambahkan ” penduduk kota Mekkah pada masa ini (pada masanya Ibnu Batutah, red-) melakukan salat di Masjid Jâmi’ dengan menggunakan sajadah. Kaum muslimin yang pulang haji banyak membawa sajadah buatan Eropa yang bergambar (ada yang bergambar salib) dan mereka tidak memperhatikan gambar tersebut. Sajadah masuk ke Mesir dengan jalan impor dari Asia untuk dipakai salat oleh orang-orang kaya, di dalam sajadah itu terdapat gambar mihrab yang mengarah ke kiblat.[28]

Syaikh Murtadâ Az-Zubaîdî di dalam kitabnya Ittihaful Muttaqin berkata : ” Musallî hendaknya tidak melakukan salat di atas sajadah atau permadani yang bergambar dan dihiasi dengan beragam gambar yang menarik. Karena hal itu membuat si musâlli tidak khusyu’ di dalam salatnya, karena perhatiannya akan tertuju pada warna-warni sajadah itu. Kita telah tertimpa bencana dengan permadani-permadani Romawi itu yang kini digelar di masjid-masjid dan rumah-rumah yang dipakai untuk salât, sehingga kebiasaan bid’ah itu telah membuat orang yang melakukan salat di tempat lainnya dianggap tidak sah dan kurang sopan. Lâ Hawla wa lâ Quwwata îllâ Billâh. Aku menduga kuat bahwa semua ini adalah akibat ulah dan perbuatan orang-orang Barat – semoga Allah mengutuk mereka – yang telah memasukkan sesuatu ke dalam kalangan kaum muslimin sedang mereka lalai dan lengah dari tipu daya musuh-musuh tersebut. Lebih aneh lagi, aku pernah melihat di sebuah masjid yang berhamparkan permadani, namun permadani itu memiliki gambar salib. Hal inilah yang membuatku semakin terkejut. Aku yakin bahwa semua ini adalah perbuatan dan tipu-daya orang-orang Nasrani. “[29]


Sujudnya Rasulullâh Saw Selain di Masjid Nabawi

Sampai di sini dapat kita pahami bahwa sujudnya Rasulullâh Saw dan para sahabatnya di Masjid Nabawi Asy-Syarif di atas tanah yang murni tanpa adanya penghalang apa pun antara dahi dan tanah.

Kemudian kita bertanya-tanya; Bagaiamana sujudnya Rasulullâh dan para sahabat beliau, dalam salat mereka selain di Masjid Nabawi. Apakah ketika mereka bersujud melakukannya di atas tanah sebagaimana yang mereka lakukan di Masjid Nabawi atau tidak?. Marilah kita mengkaji beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa Rasullulâh dan para sahabatnya melakukan sujud di tempat-tempat yang berbeda selain di Masjid Nabawi.
1. Al-Wâil bin Hajar berkata: ” Aku melihat Rasulullâh Saw, apabila beliau bersujud, beliau meletakkan dahi dan hidungnya di atas tanah.[30]
2. Ibnu ‘Abbâs berkata: ” Sesungguhnya Nabi Saw pernah melakukan sujud di atas batu.[31]
3. ‘A^isya berkata : ” Aku tidak pernah melihat Rasulullâh Saw menyandarkan wajahnya (dahinya) ketika salât dengan sesuatu apa pun, selain di atas batu atau tanah, ketika beliau melakukan sujud.[32]
Dengan riwayat ketiga ini, jelaslah bagi kita dengan kesaksian istri beliau sendiri bahwa sesungguhnya beliau melakukan sujud di atas tanah dan menyandarkan dahi beliau yang mulia di atas tanah.
4. Abû Sa’îd al-Khudrî berkata: ” Aku melihat Rasulullâh Saw pada dahinya terdapat bekas-bekas tanah dan air.[33]
5. Abu Hurairah berkata: ” Aku melihat Rasullah Saw melakukan sujud pada hari turun hujan dan pada dahi beliau terdapat bekas-bekas tanah.[34]
Bukti ke 4 dan ke 5 ini menegaskan kepada kita bahwa Rasulullâh Saw mengutamakan sujud di atas tanah walaupun turun hujan. Sehingga para sahabat beliau dapat dengan jelas menyaksikan bekas-bekas tanah pada dahi beliau yang mulia.
6. Ibnu ‘Abbâs berkata: ” Aku melihat Rasulullâh Saw melakukan salât dengan kisâ (sejenis kain) yang berwarna putih pada waktu subuh yang sangat dingin. Untuk menghindar dari dingin, beliau menghamparkan kisâ itu pada tangan dan kaki beliau.[35]
7. Pada bagian lainnya Ibnu ‘Abbâs berkata: ” Aku melihat Rasulullâh Saw pada hari turun hujan, beliau menghamparkan kisâ tersebut di atas tanah untuk kedua tangan beliau ketika melakukan sujud.[36]
8. ‘Abdullâh bin ‘Abdurrahman berkata: ” Rasulullâh Saw datang menjumpai kami, kemudian beliau salât bersama kami di dalam masjid Banî ‘Abdil Asyhal. Ketika itu aku melihat beliau meletakkan kedua tangannya diatas bajunya ketika sujud “.[37]

Riwayat-riwayat ini menunjukkan dan menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw beralaskan kisâ dan aba’ah-nya di atas tanah yang memisahkan antara kedua tangan dan kaki beliau. Hal ini menunjukkan keadaan darurat atau keterpaksaan ketika turun hujan. Akan tetapi walaupun beliau meletakkan alas untuk tangan dan kaki beliau, beliau tidak meletakkan secarik kain apapun yang menjadi perantara antara dahi beliau dan tanah sehingga dalam situasi hujan dan cuaca yang sangat dingin itu, dahi beliau menjadi basah dan terdapat bekas-bekas tanah.

Setelah kita melewati beberapa riwayat, hadits-hadits dari kitab-kitab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan jelas, kita dapat memahami dan mengambil kesimpulan bahwa Rasulullâh Saw melakukan sujud ketika beliau melaksanakan salât di atas tanah baik itu masih berupa tanah yang murni maupun berupa batu-batuan.

Berikut ini kami ajak anda untuk menyimak hadits-hadits, riwayat-riwayat yang menceriterakan tentang sujudnya Rasulullâh Saw di atas bagian sesuatu yang tumbuh di atas tanah. Sebagaimana hal ini dicatat oleh para ahli hadits dari madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah di dalam kitab-kitab mereka yang berupa hadits-hadits mu’tabarah atau diakui keabsahannya.


Sujudnya Rasulullâh Saw di Atas Sesuatu Yang Tumbuh di Atas Bumi

Kaum muslimin dan ‘ulama mereka telah bersepakat tentang bolehnya melakukan sujud di atas sesuatu yang tumbuh di atas tanah. Hanya saja, yang mereka ikhtilaf-kan adalah tentang bolehnya sujud di atas segala sesuatu yang bisa dimakan dan bisa dipakai. Sebagian dari mereka membolehkan hal tersebut sesuai dengan ijtihad dan istinbât mereka. Akan tetapi sebagian yang lainnya tidak membolehkan hal tersebut karena mengikuti Imâm Ma’sum mereka.

‘Ala kulli hal, tanpa diragukan lagi bahwa kaum muslimin dari pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak pernah menyangkal keabsahan sujudnya seorang muslim Syi’ah Imâmiyah di atas segala sesuatu yang ditumbuhkan oleh bumi yang tidak dimakan dan tidak dipakai. Dan yang masyhur menurut madzhab Syi’ah Imâmiyah adalah tidak boleh melaksanakan sujud dalam keadaan ikhtiar, yakni tidak dalam keadaan terpaksa kecuali di atas tanah atau di atas sesuatu yang ditumbuhkan oleh bumi dengan syarat tidak dimakan dan tidak dipakai.

Pernah terjadi perbincangan antara penulis dengan sebagian kaum muslimin tentang sujudnya orang Syi’ah Imâmiyah di atas tanah atau turbah. Pertama kali penulis tanyakan kepada mereka adalah apakah anda menganggap sah sujudnya orang-orang Syi’ah di atas tanah atau turbah itu sesuai dengan madzhab anda atau tidak. Mereka menjawab : ” Ya, sujud semacam itu hukumnya sah, hatta menurut madzhab kami. Kemudian kami katakan kepada mereka : ” Apabila sujud mereka (orang-orang Syi’ah) sujudu di atas tanah itu sah dan benar menurut madzhab anda, lalu mengapa anda memprotes perbuatan mereka itu. Sesungguhnya orang-orang Syi’ah tidak pernah memprotes dan menyangkal apa yang anda lakukan ketika kalian salât, tetapi kenapa kalian menyangkal orang-orang Syi’ah ” ?

Yang ke dua, yang perlu anda ketahui adalah bahwa sesungguhnya orang-orang Syi’ah sama sekali tidak mengamalkan dan mempraktikkan kecuali apa yang telah diamalkan dan yang telah dipraktikkan oleh para Imâm Ma’sum dan mereka sama sekali tidak mengambil urusan yang berhubungan dengan ibadah mereka kecuali dari para Ma’sumîn tersebut. Juga mereka tidak mengikuti dan mentaati kecuali kepada orang-orang yang telah mendapatkan restu, izin serta ridâ dari Allâh Swt, dan Allâh Swt sendiri telah memerintahkan mereka dan begitu pun Rasulullâh Saw untuk melakukan hal itu. Maka bagi anda laksanakanlah ‘amal ibadah anda dan biarkan mereka melaksanakan ‘amal ibadah mereka. Hindarilah memprotes mereka tanpa dasar dan argumen karena sesungguhnya apa yang dilakukan oleh orang Syi’ah itu bersandar pada sanad dan dalil yang kuat dan dapat ditemukan dalam kitab-kitab utama anda.

Wahai saudara-saudaraku kaum muslimin yang berpegang teguh pada Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ketahuilah bahwa sesungguhnya apabila anda malaksanakan sujud di dalam salât-salât anda di atas turbah atau tanah sesuai dengan apa yang telah biasa dilakukan oleh orang-orang Syi’ah di dalam salât-salât mereka, maka sesungguhnya para ‘ulama dan para imâm anda menganggap dan menilai perbuatan tersebut sah dan diterima tanpa adanya keraguan dan isykal(masalah) sedikit pun. Dan sesungguhnya Rasulullâh Saw serta keluarganya yang mulai dan suci beliau serta seluruh sahabat beliau akan menerima dan meridâi hal tersebut tanpa adanya keraguan sedikitpun. Akan tetapi apabila anda melakukan sujud di dalam salât-salât kalian di atas sesuatu yang tidak dipakai oleh orang-orang Syi’ah misalnya di atas sajadah atau di atas karpet maka bisa jadi ‘ulama anda akan menerima dan menganggapnya sah. Akan tetapi sudah pasti bahwa para Imâm Ma’sum dan para ‘Ulama Syi’ah tidak dapat menerima hal itu dan mereka tidak akan pernah mengangapnya sah.

Dan apabila sujud dalam salât tersebut tidak dianggap sah, maka salâtnya pun dianggap batal atau tidak sah. Dan tentunya apabila anda melakukan hal itu, yaitu melakukan sujud diatas selain apa-apa yang dipakai oleh orang-orang Syi’ah dan para Ma’sumîn mereka, padahal anda telah membaca hadits-hadits dan riwayat-riwayat Rasulullâh Saw ini, maka andapun boleh jadi ragu terhadap apa yang telah anda lakukan itu. Orang yang berakal sehat tidak akan memilih suatu perbuatan yang hanya diterima dan direstui oleh sebagian ‘ulama saja tanpa diakui oleh ‘ulama yang lainnya, apalagi para Ma’sumîn As. Orang yang berakal pasti akan memilih suatu perbuatan yang ia yakini berdasarkan argumen- argumen yang kuat yang diterima oleh seluruh ‘ulama, para Imâm Ma’sûm serta Rasulullâh Saw. Silahkan anda menyimak riwayat-riwayat dan hadits-hadits berikut ini tentang sujudnya Rasulullâh Saw. Setelah itu renungkan dan pikirkanlah, semoga anda mendapat petunjuk dari Allâh Swt. Atau kalau tidak lakukanlah apa yang anda kehendaki tapi ingatlah sesungguhnya anda mas’ul, kelak dimintai tanggung jawab atas segala perbuatan anda pada hari pembalasan nanti.

Dalam surat At-Taubah disebutkan : ” Berbuatlah kalian, sesungguhnya Allâh Swt dan Rasulnya serta orang- orang yang beriman, (yaitu para Imâm Ma’sûm) akan melihat amal perbuatan kalian dan kalian akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui segala yang ghâîb dan yang terang dan kalian akan diberitahukan tentang apa- apa yang kalian lakukan.( Qs. At-Taubah : 105 ).

Adapun riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang sujudnya Rasulullâh Saw adalah sebagai berikut :
1. Abî Sa’îd al-Khudrî berkata : ” Aku masuk menjumpai Rasulullâh Saw. Ketika itu beliau sujud di atas hasîr, yaitu tikar yang terbuat dari daun “.[38]
2. Anas bin Mâlik dan Ibnu ‘Abbâs dan sebagian istri – istri Rasulullâh Saw seperti ‘A^isya, Ummu Salamah dan Maîmunah – meriwayatkan suatu hadits yaitu : Adalah Rasulullâh Saw biasa melakukan salât di atas humrah yaitu sejenis tikar yang ditenun dari daun kurma “.[39]
3. Abî Sa’îd al-Khudrî meriwayatkan : ” Aku melihat Rasulullâh Saw salât di atas tikar dan beliau sujud di atas tikar tersebut “.[40]
4. ‘A^isya berkata : ” Bahwa Rasulullâh Saw mempunyai tikar dan beliau biasa menggelar dan salât di atasnya “.[41]
5. Anas bin Mâlik meriwayatkan dan ia berkata : ” Rasulullâh Saw salât di atas humrah dan sujud di atas humrah tersebut “.[42]
6. Anas juga meriwayatkan dan berkata ” Rasulullâh Saw adalah insan yang mempunyai akhlak yang paripurna. Pernah suatu ketika datang waktu salat beliau berada di rumah kami. Ketika itu di rumah kami ada sebuah tikar kemudian beliau menyapu dan membersihkan tikar itu dan mengimami salât, lalu kami pun salât di belakang beliau dan tikar yang dipakai itu terbuat dari pelepah kurma “.[43]
7. Bukhârî, Muslim dan Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Anas. Mereka berkata : ” Maka kemudian aku berdiri menuju ke tikar yang sudah menghitam karena sudah lamanya dipakai. Kemudian kami bersihkan tikar itu dengan air. Kemudian Rasulullâh Saw berdiri dan melakukan salât berjamaah bersama kami “.[44]
8. Abî Sa’îd al-Khudrî bahwa dia pernah masuk menjumpai Rasulullâh Saw dan menemukan Rasulullâlh Saw sedang salât di atas tikar dan beliau salât di atasnya.[45]
9. Anas bin Mâlik meriwayatkan satu hadits, ia berkata : ” Pernah Rasulullâh Saw mengunjungi rumah Ummu Sulaîm ketika tiba waktu salât, beliau melakukan salât di atas tikar yang kami miliki. Tikar itu beliau bersihkan dengan air “.[46]

Pembaca yang budiman, setelah mengkaji dan membaca hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang perbuatan dan amalan-amalan Rasulullâh Saw dalam sujud beliau maka jelaslah bagi kita bahwa beliau senantiasa melakukan sujud di atas tanah dan sesuatu yang tumbuh di atas tanah seperti tikar yang terbuat dari pelepah pohon kurma. Dan kami sama sekali, hingga kini, belum pernah melihat dan menemukan riwayat – riwayat bahwa Rasulullâh Saw sujud di atas sesuatu yang dimakan dan dipakai. Dan yang perlu anda ketahui adalah bahwa hadits-hadits yang kami paparkan di atas adalah hadits-hadits yang bersumber dari kitab-kitab Ahlus Sunnah wal Jama’ah sesuai dengan risalah ini. Kalau pun benar ada sebuah riwayat dan hadits yang menunjukkan sujudnya Rasulullâh Saw dan sebagian sahabat beliau di atas baju atau diatas kain dan sebagainya. Akan tetapi riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw dan sebagian sahabat-sahabat beliau salat di atas kain itu menjelaskan sebuah keadaan darurat seperti ketika musim dingin, dibawah derajat dan musim panas yang menyengat. Sedangkan kaum muslimin dan ulama seluruhnya telah bersepakat bahwa keadaan darurat itu menjadikan sesuatu yang sebelumnya dilarang menjadi boleh dilakukan.

Wahai kaum muslimin, khususnya anda para pengikut setia madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan terlebih khusus lagi para pengikut madzhab Wahâbî ketahuilah bahwa para pengikut Syi’ah Imâmiyah, adalah mereka yang mengamalkan dan mempraktikkan hadits-hadits dan riwayat-riwayat tersebut ketika mereka melakukan salât itu sejak pada masa Rasulullâh Saw hingga saat ini. Dan kitab-kitab mereka yaitu kitab-kitab ‘Ulama Syi’ah sarat dengan riwayat-riwayat semacam ini.

Orang-orang Syi’ah Imâmiyah mempunyai keyakinan bahwa sunnah dan sirah Rasulullâh Saw yang penuh berkah dan rahamt itu merupakan petunjuk, penuntun, pembimbing dan berkedudukan sebagai marja’ atau tempat rujukan bagi seluruh kaum muslimin setelah kitab suci al-Qur’ân al-Karîm.

Wahai pengikut madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengapa anda tidak mempraktikkan riwayat- riwayat tersebut dan tidak menjalankan perintah- perintah Rasulullâh Saw. Akan tetapi kalian malah menyalahkan dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hal tersebut di dalam sujud kalian. Bukankan anda membaca Al-Qur’an yang menyatakan :
” Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahului Allâh dan Rasul-Nya. Dan bertaqwalah kepada Allâh sesungguhnya Allâh Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (Qs. Al-Hujurât : 1).

Para mufassirun dalam menjelaskan tentang asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat tersebut), mengatakan bahwa ketika Rasulullâh Saw hendak pergi ke medan Khaibar, beliau meninggalkan seseorang yang telah beliau tunjuk yang menempati tempatnya di Madinah al-Munawarah dan mengangkat orang itu sebagai Khalîfah dan pengganti beliau. Ketika itu ‘Umar bin Khattâb memberikan usulan lain. Ia mengusulkan orang lain yang menjadi khalîfah Rasulullâh Saw di Madinah, bukan orang yang telah ditunjuk Rasulullâh Saw. Berkenaan dengan sikap ‘Umar ini, turunlah ayat tersebut yang menjelaskan agar ‘Umar bin Khattâb tidak mendahului segala yang telah ditetapkan Allâh dan Rasul-Nya.[47]

Dan perlu dijelaskan bahwa tidak bolehnya mendahului Allâh dan Rasul-Nya Saw itu berarti tidak boleh memberikan usulan atau ide tentang apa yang telah ditetapkan oleh Allâh dan Rasul-Nya tentang suatu urusan atau tidak boleh tergesa-gesa dalam menetapkan apa yang telah diputuskan oleh Allâh dan Rasul-Nya. Dan sudah tentu bahwa ayat tersebut mempunyai penafsiran dan pemahaman yang sangat luas yang mencakup dan meliputi seluruh tindakan dan perbuatan atas segala ketetapan dan ketentuan Allâh dan Rasul-Nya.[48]

Jelas bahwa apa yang anda lakukan, yaitu sujud di atas segala sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allâh dan Rasulnya itu merupakan misdâq dan bukti akan adanya mendahului ketetapan Allâh dan Rasul-Nya. Bahkan hal itu pun merupakan bukti dan misdâq dari ayat :
” Demi Tuhanmu, sungguh mereka tidak beriman sehingga mereka bertahkim kepadamu, wahai Muhammad tentang sesuatu yang mereka ributkan dan mereka ihtilafkan diantara mereka kemudian setelah itu mereka tidak mendapatkan kesempitan di dalam diri mereka terhadap apa yang telah engkau putuskan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An-Nisâ : 65).

Setelah membaca penjelasan dan keterangan- keterangan ini, yaitu tentang sujudnya Rasulullâh Saw dan para sahabatnya, maka cobalah anda merujuk dan melihat hati sanubari anda. Perhatikanlah baik-baik apakah nurani anda mendapatkan kesempitan dan kesesakan setelah melihat dengan jelas risalah dan apa yang telah diputuskan oleh Rasulullâh Saw ataukah kalian akan menerimanya dengan sepenuh hati. Maka dari sini mengemuka sebuah pertanyaan, Sudahkah anda termasuk orang-orang yang beriman secara hakiki ataukah belum? Karena salah satu tanda-tanda dan sifat-sifat orang mukmin adalah bahwa dia tidak mempunyai pilihan sama sekali tantang suatu perkara selain apa yang telah ditetapkan oleh Allâh dan Rasul-Nya sebagaimana sesuai dengan firman Allâh Swt :
” Dan tidak sepatutnya bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan, apabila Allâh dan Rasulnya telah menetapkan suatu perkara atau suatu hukum, mereka mempunyai pilihan lain atas pilihan mereka dan barang siapa yang bermaksiat atau menentang Allâh dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah berada dalam kesesatan yang nyata.” (Qs.Al-Ahzâb: 36 ).


Perhatikan, pikirkan dan renungkanlah ayat ini dengan cermat.

Wahai para pengikut setia Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah inilah, Nabi kita Rasulullâh Saw, Nabi yang penyayang dan yang penuh welas-asih terhadap seluruh umat manusia dan kaum muslimin. Sungguh beliau telah menjadi uswah dan suri teladan dalam segala urusan dan perkara bagi kita semua. Bukankah kaum muslimin telah bersepakat bahwa Rasulullâh Saw merupakan suri teladan pada setiap masa dan setiap keadaan? Dan sesungguhnya sîrah dan perilaku beliau merupakan cahaya terang benderang yang menerangi jalan-jalan mereka dalam seluruh sisi kehidupan? Dan bahkan dalam masalah sujud dalam salât pun diwajibkan untuk mengikuti dan meneladani beliau serta mengikuti sunah-sunah beliau.

Bukankah anda telah membaca ayat :
” Sungguh adalah Rasulullâh Saw merupakan suri teladan yang baik untuk kalian semua yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allâh dan hari akhirat dan mengingat Allâh sebanyak- banyaknya.” (Qs. Al-Ahzâb : 21)

Sesungguhnya Rasulullâh Saw adalah merupakan suri teladan yang baik bagi anda, tidak hanya dalam masalah ini saja, bahkan di dalam seluruh aspek kehidupan dikarenakan sisi ma’nawiyah beliau yang sangat tinggi dan agung, kesabaran, istiqâmah dan keteguhan hati, kecerdasan, keikhlasan dan seluruh sifat beliau merupakan suri teladan bagi kita semua. Juga penguasaan beliau terhadap berbagai macam peristiwa, ketegaran beliau saat menghadapi berbagai kesulitan. Dan singkatnya, dalam segala hal beliau merupakan suri teladan yang paripurna bagi seluruh kaum muslimin.[49]

Dari uraian-uraian di atas kesimpulan yang dapat kita ambil dalam masalah sujud secara syar’i adalah meletakkan dahi di atas tanah secara langsung dan tanpa penghalang apapun, baik tempat sujud itu berupa tanah ataupun batu-batuan. Oleh karena itu, apabila seorang musallî – orang yang melaksanakan salât – ia melakukan sujud tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut, misalnya ia dalam sujudnya meletakkan dahinya di atas sajadah, karpet, kain dan lain sebagainya, maka menurut pandangan syar’i sujudnya tidak dianggap sah dan salâtnya pun ikut batal.

Teranglah bahwa dalam madzhab Syi’ah Imâmiyah, hukumnya wajib meletakkan dahi di atas tanah, termasuk batu-batu, pasir dan tumbuh-tumbuhan yang tidak dimakan dan tidak dijadikan sebagai bahan untuk membuat pakaian. Sementara menurut ‘ulama dan mujtahid Ahli Sunnah pun sebenarnya wajib pula hukumnya seperti pendapat Madzhab Syi’ah Imâmiyah bahkan menurut mereka, nampaknya lebih luas lagi hukum tersebut, yaitu menurut sebagian mereka sujud itu tidak sempurna kecuali dengan meletakkan anggota tubuh yang dalam salât wajib melakukan sujud. Anggota tubuh yang dimaksud itu berjumlah tujuh bagian yaitu : dua telapak tangan, dua dua kaki, dua lutut dan juga hidung kecuali di atas tanah. Sedangkan menurut Madzhab Syi’ah Imâmiyah yang diwajibkan menyentuh tanah hanyalah bagian dahi saja. Sedangkan dua telapak tangan, dua kaki, dua lutut dan juga hidung tidak diwajibkan untuk menyentuh tanah secara langsung.

Dan bahkan sebagian ‘Ulama Ahlus Sunnah mensyaratkan adanya sentuhan dahi ke tanah tersebut, artinya sebagian besar dahi harus menyentuh tanah. Sementara di dalam madzhab Syi’ah Imâmiyyah, apabila dahi tersebut sudah menyentuh tanah sebesar uang logam saja, atau sebesar kuku ibu jari kita, itu dianggap sudah sah. Jadi kalau anda melakukan sujud di atas tanah atau turbah yang hanya sebesar kuku ibu jari saja, maka menurut madzhab Syi’ah Imâmiyah sujud anda sudah dianggap sah.

Dengan uraian di atas dapatlah kita pahami bahwa menyentuhkan dahi ke atas tanah bukanlah suatu hukum biasa tetapi merupakan ketetapan Allâh dan Rasul-Nya serta perilaku para sahabat dan para tabi’in.

Jadi sama sekali bukan sesuatu yang dibuat-buat oleh orang Syi’ah. Bahkan lebih jauh dari itu, bukanlah suatu kemusyrikan, sebagaimana yang dituduhkan sebagian kaum muslimin bahwa orang-orang Syi’ah telah menyembah batu atau tanah sujudnya mereka di atas tanah yang besarnya sebesar korek api itu. Janganlah anda begitu mudahnya menilai orang lain telah berbuat musyrik sedangkan argumen-argument anda telah cocok dan sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah Imâmiyah.

Jelaslah bahwa meletakkan dahi di atas tanah ketika salat merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar ketika tidak ada halangan. Dan sujud di dalam syari’at Islâm tidaklah sah dan tidak dapat dinamakan sujud apabila dahinya itu tidak menyentuh bagian tanah secara langsung. Adapun adanya hadits-hadits dan riwayat -riwayat yang menceriterakan bahwa Rasulullâh saw serta para sahabatnya pernah melakukan sujud di atas kain, hal ini mereka lakukan dalam keadaaan darurat dan terpaksa seperti dalam keadaan yang sangat panas, sangat dingin atau sehabis turun hujan. Dengan demikian, bahwa hukum asal atau hukm awwalî sujud dalam salât adalah wajib meletakkan dahi di atas tanah. Sedangkan hukm tsanawî ataau hukum ke dua yaitu ketika dalam keadaan darurat, – dalam pembahasan kita ini – maka dibolehkan meletakkan dahi di atas kain.

Hadits-hadits berikut ini menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw dan sebagian dari sahabatnya melakukan sujud di atas kain atau baju ketika berada dalam keadaan darurat.
1. Ibnu ‘Abbâs berkata : ” Aku melihat Rasulullâh Saw melakukan salât di atas baju yang berwarna putih ketika Salât Subuh. Saat itu udara sangat dingin. Beliau menggunakan kain itu untuk menghindar dari rasa dingin di bagian tangan dan kakinya “.[50]
2. Ibnu ‘Abbâs berkata : ” Aku pernah melihat Rasulullâh Saw pada musim hujan beliau menghindari lumpur ketika melakukan sujud dengan meletakkan baju beliau pada tangannya “.[51]
3. ‘Abdullâh bin ‘Abdurahman berkata : ” Rasulullâh Saw datang kepada kami dan melakukan salât berjamaah bersama kami di masjid Banî ‘Abdul Ashal. Aku melihat beliau meletakkan tangannya di atas bajunya, ketika Beliau melakukan sujud.[52]
4. Tsâbit bin Samîd berkata : ” Sesungguhnya Rasulullâh Saw pernah salât bersama kami di Masjid ‘Abdul Ashal sementara beliau memakai baju yang berlipat yang beliau jadikan alas tangannya untuk menghindari dinginnya batu-batu.[53]
5. Anas berkata : ” Apabila kami melakukan salât dibelakang Rasulullâh Saw pada siang hari yang panasnya sangat menyengat. Kami melakukan sujud di atas baju kami untuk menghindari terik panas matahari.[54]

Dengan riwayat-riwayat di atas dapat kita pahami bahwa seseorang dibolehkan melandasi anggota sujudnya dengan baju ketika berhalangan atau dalam keadaan darurat. Misalnya, ketika udara sangat panas atau sangat dingin, atau tanah berlumpur.

Dalam mencermati riwayat-riwayat yang menjelaskan sujud dalam keadaan darurat atau keadaan terpaksa, kita melihat bahwa Rasulullâh Saw dan para sahabatnya sujud diatas kain walau dalam keadaan darurat.

Kita tidak mendapatkan adanya riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw dan para sahabat pernah sujud atau sajadah di atas karpet meskipun dalam keadaan darurat.

Oleh karena itu, salah seorang ulama Sunni yaitu Asy-Syaukâni dalam kitabnya Nairul Autâr ia berkata : ” Hadits-hadits diatas yaitu sujud ketika berhalangan menegaskan bolehnya sujud di atas baju ketika berada dalam keadaan darurat, hal ini menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah menyentuh tanah secara langsung karena didalam riwayat-riwayat tersebut diterangkan bahwa meletakkan baju itu dapat dilakukan hanya ketika berhalangan. Dan demikian juga sebagian orang berdalil dengan hadits-hadits tersebut bahwa dibolehkannya melandaskan baju itu hanyalah baju yang dipakai. Bukan dengan sajadah, karpet dan lainnya yang tidak digunakan untuk salât.[55]

Dalam hal ini pula An-Nawawi berkata bahwa Abu Hânifâh memberikan hukum seperti ini yaitu melandaskan dengan baju yang dipakai ketika sujud. Demikianlah pendapat jumhur atau umumnya fuqaha dalam madzhab Ahli Sunnah wal Jama’ah.

Bahkan Al-Bukhârî dalam Sahih-nya memberikan judul sebagai berikut : Sujud di atas baju ketika udara dan batu-batu sangat panas menyengat. Hadits-hadits di atas menegaskan tentang tidak bolehnya sujud di atas batu kecuali benar-benar berhalangan.[56]

Bukan tempatnya di sini untuk menyebutkan seluruh hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang ada berkenaan dengan perintah Rasulullâh Saw untuk sujud di atas tanah. Beberapa hadits dan riwayat yang telah kami sebutkan di atas sudah memadai untuk menegaskan kepada kita bahwa Rasulullâh Saw senantiasa memerintahkan para sahabatnya untuk sujud dalam salâtnya dengan meletakkan dahi secara langsung di atas tanah. Dan bahkan ada beberapa riwayat dan hadits-hadits yang mengkisahkan pelarangan Rasulullâh Saw kepada sahabatnya untuk melandasi dahinya yang akan menghalangi antara dahinya dan tanah. Diantara hadits-hadits larangan Rasulullâh Saw itu, yang bisa juga dikatakan sebagai dalil bahwa sujudnya beliau dan para sahabat beliau dalam keadaan darurat adalah :
1. Saleh As-Sabaî berkata bahwa pernah Rasulullâh Saw melihat seseorang melakukan sujud dan di sampingnya terdapat surbannya yang menghalangi. Lalu Rasulullâh Saw menyingkap surbannya itu dari dahinya.[57]
2. Ayat bin Abdullah berkata : Pernah Rasulullâh Saw melihat seseorang melakukan sujud di atas surbannya. Lalu beliau memberi isyarat kepada orang tersebut dengan tangan beliau supaya orang itu mengankat surbannya dan beliau memberikan isyarat kepada dahi beliau, yang maksudnya supaya orang tersebut menyentuhkan dahinya di atas tanah.[58]

Masih banyak lagi hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw senantiasa memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk melakukan sujud ketika salât agar meletakkan dahi di atas tanah secara langsung. Mengingat terbatasnya tempat dan waktu, tidak mungkin untuk menuangkan semua hadits-hadits yang berkenaan dengan hal tersebut – dalam risalah ini.

Apabila kita telaah dan kaji riwayat-riwayat di atas, dengan hati yang tulus dan ikhlas, tidaklah sulit bagi kita untuk memahami bahkan untuk mengikuti segala apa yang telah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullâh Saw dan para sahabat beliau.


Sujudnya Para Tabi’in

Kami memandang perlu untuk menghadirkan bukti-bukti lainnya yang disandarkan kepada Tabi’in, generasi setelah Rasulullâh Saw dan sahabat. Bukti-bukti yang kami hadirkan ini adalah sebagai penopang dan sandaran atas bukti-bukti yang telah kami hadirkan sebelumnya.

Dalam pembahasan kita tentang sujud di atas tanah menurut riwayat Ahli Sunnah wal Jama’ah juga didukung oleh para tabi’in yang merupakan generasi pertama setelah wafatnya Rasulullâh Saw. Sebagian dari tabiin itu bahkan membawa alas sujud berupa bata mentah di dalam setiap perjalanan mereka untuk digunakan sebagai tempat bersujud dalam salât.

Bukti-bukti tersebut antara lain :
1. Umar bin ‘Abdul ‘Azis diceriterakan bahwa ia tidak hanya merasa cukup dengan tikar yang dibuat dari pelepah kurma saja, bahkan ia juga meletakkan debu di atas tikar tersebut untuk ia jadikan sebagai alas sujud.[59]
2. Urwah bin az-Zubair dikisahkan bahwa ia tidak suka melakukan salât kecuali di atas tanah.[60]
3. Masruk bin al-Ajdâ dikatakan bahwa ketika ia melakukan perjalanan dengan perahu ia selalu membawa bata mentah untuk ia jadikan sebagai alas sujud.[61]
4. Alî bin ‘Abdullâh bin ‘Abbâs bahwa Razin berkata : ” Pernah ‘Alî bin ‘Abdullâh bin ‘Abbâs mengirimkan surat kepadaku. Ia berkata: ” Kirimkanlah kepadaku lempengan batu dari Gunung Marwah (nama sebuah gunung yang ada di kota Mekah) untuk aku jadikan sebagai alas sujudku ” .[62]
5. Atâ bin Abî Rabah berkata : ” Tidak dibenarkan melakukan salât kecuali di atas tanah atau batu-batu kecil.[63]
6. bin Az-Zubair. Ia sama sekali tidak suka melakukan sujud dalam salâtnya kecuali di atas tanah.[64].
7. Ibrahîm an-Naha’i. Ia melakukan sujud di atas tikar dari daun burdi dan ia melakukan sujud di atas tanah.[65]
8. Muhammad bin Muslim Az-Zuhrî bahwa Muammar pernah sujud kepadanya tentang sujud di atas tinfasah (tikar yang dibuat dari pelepah pohon kurma). Ia menjawab : ” Hukumnya tidak apa-apa yaitu boleh. Karena Rasulullâh Saw pernah melakukan salât diatas tikar yang dibuat dari pelepah pohon kurma.[66]
9. Makhul. Ia senantiasa melakukan salât di atas tikar yang terbuat dari daun burdi dan ia melakukan salât di atas tikar tersebut.[67]
10. Muhammad bin Sirîn. Ia senantiasa membawa bata mentah untuk ia jadikan sebagai alat sujud ketika ia bepergian dengan perahu.[68]
11.Jabir bin Zaid. Ia tidak suka melakukan salât di atas apapun yang terbuat dari binatang dan ia selalu menyentuhkan dahinya ketika ia melaksanakan salât di atas tumbuhan.[69]
12. Hasan al-Basrî. Ia selalu meletakkan batu-batu kecil di tempat ia melaksanakan sujudnya.[70]


Riwayat-riwayat yang kami utarakan kepada anda di atas hanyalah sebagian riwayat-riwayat yang menjelaskan perilaku salat dan sujudnya para Tabi’in yang dapat ditulis oleh para perawi dan diabadikan dalam kitab-kitab sejarah. Yang perlu anda ketahui adalah seluruh riwayat tersebut adalah riwayat yang bersumber dari Ahlus Sunah wal Jama’ ah yang tersebut di dalam kitab-kitab utama mereka.

Dengan demikian jelaslah bahwa sujud di atas tanah, lempengan batu yang bisa dibawa ke mana-mana, batu tanah atau turbah bukanlah merupakan ulah dan perbuatan orang-orang Syi’ah. Sujud di atas tanah bukan suatu pekerjaan yang dibuat-buat dan main-main belaka, akan tetapi ia merupakan ajaran Islâm yang telah disampaikan oleh Rasulullâh Saw kepada sahabat-sahabat beliau dan diikuti oleh para tabi’in yang pada dasarnya adalah bahwa sujud itu wajib hukumnya untuk dilakukan diatas tanah atau tumbuh-tumbuhan yang tidak dimakan dan tidak dipakai, baik tanahnya itu dibuat dan dipadatkan atau batunya dibuat sedemikian rupa sehingga bisa dibawa atau dengan tanah apapun. Dengan syarat batu atau tanah tersebut bersih dari najis dan kotoran yang lainnya.

Sekali lagi kami ingatkan bahwa sujud di atas tanah, di atas batu ataupun di atas tumbuhan yang tidak dipakai ataupun tidak dimakan bukanlah berarti sujud kepada tanah itu. Anda harus bisa menbedakan antara sujud di atas tanah dengan sujud kepada tanah. Sehingga jelaslah bahwa apa yang dituduhkan oleh orang-orang Wahâbî kepada orang-orang Syi’ah yang melakukan sujud di atas sekeping tanah sebagai perbuatan syirik dan menyembah kepada tanah, tuduhan itu sama sekali tidak benar dan tidak mempunyai dasar yang kuat.

Karena apabila sujud di atas tanah itu dikategorikan dan dihukumi sebagai perbuatan syirik karena dianggap bersujud dan menyembah tanah, maka seluruh kaum muslimin yang melakukan sujud di atas sajadah, sapu tangan, karpet dan lain sebagainya termasuk melakukan perbuatan syirik. Karena dengan demikian mereka akan dikatakan menyembah sajadah, sapu tangan, dan karpet. Jadi sujud di atas tanah sama sekali bukan sujud dan beribadah kepada tanah itu. Sebagaimana seluruh kaum muslimin ketika mereka melaksanakan salât diwajibkan menghadap Ka’bah al-Musyarrafah hal ini berarti bahwa mereka menyembah Ka’bah itu. Sama sekali tidak demikian. Dan semua ketentuan dan hukum-hukum syariat ini yang diperintahkan oleh Allâh Swt dan Rasulnya Saw yang sedemikian rupa itu pasti mengandung hikmah yang tinggi nilainya yang sebagiannya dapat diungkap dan diketahui oleh para ulama dan sebagian kaum muslimin dan masih banyak lagi hikmah-hikmah ibadah itu yang tidak bisa diungkap atau belum dipahami oleh kaum muslimin. Bagian akhir dari risalah ini kami akan membeberkan sedikit tentang hikmah sujud di atas tanah.[]


Catatan Kaki:

[1]Lihat Al-Mughnî, jilid 1, hal. 520.
[2] Lihat Al-Umm, jilid 1 , hal. 114.
[3] Lihat Al-Muhâddits Al-Bahrânî, Al-Hadâiqun Nâdira, jilid 8, hal. 273.
[4] Lihat Tahrîr al-Wasilah, jilid 1, hal.156.
[5]
[6] Sahih al-Bukhâri, jilid 1, hal. 209, Muslim, jilid 1, hal. 371 dan Wasâilus Syi’ah, jilid 3, hal. 423.
[7] Lihat kitab “Aqâ’idunâ” hal.115-116.
[8] Lihat Sîrah Sayyidul Mursalîn, jilid 1, hal. 567.
[9] Lihat Sirah Sayidul Mursalin, jilid 1, hal 570. [9]
[10] Lihat As-Sujud ‘ala Turbat al-Husaîniyah hal. 193
[11] Hadits ini dikeluarkan oleh Ashâbul Shihâh yaitu para ulama hadits yang mempunyai kitab Sahih dan sunan, yang diantaranya adalah al-Bukhârî di mana ia mengeluarkan hadits tersebut dalam kitab Sahih-nya pada jilid 1, hal. 19 pada Kitâbus Saleh dalam kitab Naumu al- Rijâl fil Masjid dan pada jilid 5, hal. 18 dan 19 pada bab Manâqib ‘Alî bin Abî Tâlîb As sebagaimana kami singgung di atas dan pada jilid 8, hal. 45 dalam Kitâbul Adâb pada bab al-Takannî bi Abî Turâb dan pada jilid 8, hal. 63 dalam kitab Al-Isti’dzân pada bab al-Qâilah fil Masjid dan juga Muslim meriwayatkannya dalam kitab Sahih-nya yaitu kitab Fadâil al-Sahâbah pada bab Fadâil ‘Alî bin Abî Tâlîb As. Dan juga Ibnu Jarîr Al-Tabarî meriwayatkannya dalam kitab Târikh-nya paada jilid 2, hal. 124.
[12] Lihat Sahih Muslim pada jilid 4, hal. 188 pada bab al- îlâ Wa’tizâlun Nisâ wa Takhyîr hunna waqawlahu Ta’ala (wa in Tazzâharâ ‘Alaihi).
[13] Lihat Addurr al-Tsamînah hal. 371.
[14] Lihat Sahih al-Bukhâri, jilid 1, hal. 93, Bab Bunyânul Masâjid dan Fathul Bârî Jilid 2, hal. 86 dan As-Sunanul Kubrâ, Jilid 2, hal 438.
[15] Lihat Wafâul Wafâ bi akhbâr dârul Mustafâ, jilid 1, hal. 473.
[16] Lihat Wafâul Wafâ bi akhbâr dârul Mustafâ, jilid 1, hal. 473.
[17] Lihat Tabaqât Ibnu Sa’ad, jilid 3, hal. 283-284. Dan Manâqib’ Umar Ibn al-Jauzî, Hal. 63.
[18] Lihat As-Sunanul Kubrâ, Jilid 2, Hal. 441 dan Manâqib ‘Umar oleh Ibnul Jawzî, Hal. 63.
[19] Wafâul Wafâ bi akhabâril Mustafâ, Jilid 1,Hal.473.
[20] Lihat Al I’tisâm, jilid 1, hal. 64
[21] Lihat At- Tuhfatul Latîfah, jilid 1, hal. 68 dan 291.
[22] Lihat As-Sunanul Kubrâ, jilid 2, hal. 447.
[23] Lihat Murûjudz Dzahab, jilid 3, hal. 166.
[24] Lihat Ihyâ ‘Ulumûddîn, jilid 1, hal. 80.
[25] Lihat Ittihâful Muttaqîn, jilid 1, hal.727.
[26] Lihat Sîrah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz oleh Ibnul Jawzî, hal. 88-89.
* Lihat At-Tuhfatul Latifah, jilid 1, hal 376.
[27] Dairatul Ma’ârîf Al-Islamiyah, jilid 11, hal 275.
[28] Lihat Rihlah Ibnu Batutah, jilid 1, hal 72-73.
[29] Lihat Ittihaful Muttaqin bisyarhi Ihya ‘Ulumûddîn, jilid 3, hal. 201,
[30] Lihat Ahkamul Qur’ân oleh Al-Jassâs al-Hanafî, jilid 3, hal. 209
[31] Lihat Sunan al-Baihaqî, jilid 2, hal.102.
[32] Lihat al-Musannif, jilid 1, hal.397 dan Kanzul Ummâl, jilid 4, hal. 212.
[33] Lihat Sunan an-Nasâ’î, pada Bab as-Sujud ‘alal Jabin. jilid 2, hal 208,
[34] Lihat Majmauz Zawâid, jilid 2, hal 126.
[35] Lihat Sunan al-Baihaqî, jilid 2, hal. 106.
[36] Kitab Sîratunâ wa Sunnatunâ, hal. 132, menukil dari Ahmad bin Hanbal.
[37] Lihat Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hal. 328, pada Bab Sujud ‘ala Tsiyâb fil Harri wal Bardi.
[38] Lihat Sunan al-Baihaqî, jilid 2, hal. 421 pada Kitâbus Salât dalam Bâbus Salâh ‘alâl Hasîr.
[39] Lihat Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hal. 328 pada Bâbus Salât ‘alâl humrah dan juga lihat Sunan Al-Baihaqî, jilid 2, hal 421 dan Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 1, hal.40.
[40] Lihatlah Sîratunâ wa Sunnatunâ pada hal. 130 yang menukil dari Sahih Muslim.
[41] Lihat Fathul Bârî, jilid 1 hal. 413.
[42] Lihat Al-Mu’jamul Ausat was Saghîr oleh Tabrani.
[43] Lihat Sahih Muslim, jilid 1, hal. 457 dan Sunan Al-Baihaqî, jilid 3 hal 436.
[44] Lihat Sahih al- Bukhârî, jilid 1, hal.107 dan Sahih Muslim, jilid 1 hal. 457.
[45] Lihat Sahih Muslim, jilid 1, hal 458.
[46] Lihat At-Tabaqâtul Kubrâ , jilid 8 hal 312.
[47] Lihat Al-Amtsal fî Tafsîri Kitâbillah, jilid 16, hal. 510 yang menukil dari Tafsir Al-Qurtubî, jilid 9, hal. 621.
[48] Ibid., hal. 512.
[49] Lihat Al Amtsal fi Kitâbillâhil Munzal, jilid 13, hal. 197.
[50] Lihat Sunan Al-Baihaqî Jild 2 hal. 106.
[51] Lihat Sîratunâ wa Sunnatunâ hal. 132 yang menukil dari Ahmad bin Hanbal.
[52] Lihat Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hal. 328 bab as-sujud ‘alâ siyab fil harri wal bar.
[53] Ibid.
[54] Lihat Sunan an-Nasa’i, jilid 2, hal.216 dan Sunan ad-Dairimi jilid 1 hal. 308.
[55]Lihat Asy-Syaukani, Nairul Autar jilid 2, hal 1268. Ibn Hajar juga berkata yang sama didalam kitabnya Fathul Bari, jilid 1, hal. 414. Demikian juga di dalam Sahih Al-Bukhârî,jilid 1, hal. 101 dan pada jilid 2, hal 61 diterangkan tentang adanya sebagian sahabat yang sujud di atas baju tersebut.
[56] Lihat juga Sahih Muslim, jilid 2, hal 103. Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hal 321. Sunan Abû Dâwûd, jilid 1 hal. 106. Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal 100. Nailul Autâr jilid 2, hal. 268.
[57] Lihat Sunan Al-Baihaqî, jilid 2, hal 105
[58] ibid.
[59] Lihat Fathul Barî ,jilid 1, hal. 410 dan Syarh Al-Ahwaji, jilid 1 hal. 272, Ihyâ ‘Ulûmuddîn, jilid 1, hal. 149 dan Ittihâtul Muttaqîn , jilid 2, hal. 32.
[60] Ibid.
[61] Lihat Tadaqatul Kubrâ, jilid 6, hal. 79.
[62] Lihat Ahbarîl Makkah, jilid 3, hal 151.
[63] Lihat Al-Muhalah, jilid 4 , hal 83.
[64] Lihat Naidul Autar, jilid 2, hal 127. [64]
[65] Ibid.
[66]Lihat Al Musanif Jilid 1 Hal. 394.
[67] Ibid, hal 399.
[68] Lihat Fathul Bari, jilid 2, hal 33.
[69] Lihat Naidul Autâr, jilid 2, hal 126.
[70] Lihat Al- Musanif , jilid 2, hal. 61 dan 413.

Sudahkah Anda Sujud dahi di Atas Tanah Saat Salat ?

Sumber : http://ejajufri.wordpress.com


Apa itu Turbah?

Turbah adalah lempengan tanah (atau tanah liat) yang dipadatkan (dikeringkan dan dibekukan) dan biasanya digunakan oleh pengikut mazhab Syiah ahlulbait ketika sujud saat salat. Turbah berasal dari bahasa Arab yaitu turab, yang berarti debu atau lumpur. Bentuknya bermacam-macam; bulat, kubus, segi delapan atau persegi panjang. Beberapa turbah dihiasi ukiran asma Allah swt., ahlulbait, atau bentuk kubah masjid. Terkadang ada orang yang membalikkan turbah (sisi ukiran berada di bawah) agar lebih nyaman di dahi saat sujud.

Beberapa turbah zaman sekarang bisa menampilkan jumlah sujud dan rakaat yang telah dilakukan. Di dalamnya terdapat gerakan mekanik cakram yang memutar kertas bersimbol ketika seseorang sujud. Cakram akan kembali seperti awal ketika salat selesai. Nampaknya turbah ini dibuat untuk membantu orang yang mudah lupa (was-was) dalam jumlah sujud dan rakaat. Sekedar tambahan, ulama seperti Ayatullah Khamenei sudah memberikan fatwa tentang turbah seperti ini, “Jika ia termasuk benda yang sah dijadikan tempat sujud dan tidak bergerak saat meletakkan dan menekan dahi, maka sujudnya tidak terhalang secarasyar’i.”


Mengapa Sujud di Atas Tanah?

Sujud secara bahasa berarti al-khudû’, yakni tunduk atau merendahkan diri. Sedangkan sujud dalam salat bermakna meletakkan dahi di atas tanah. Inilah wujud peribadatan dan “penghinaan” seorang makhluk di hadapan Khalik. Sampai-sampai disebutkan dalam riwayat, “Keadaan paling dekat antara seorang hamba kepada Allah adalah ketika sujud.”

Karenanya menurut saya, salat sejatinya bukanlah bacaan surah yang lama (apalagi dilama-lamain), tapi justru sujud yang lama. Kepala atau dahi dilambangkan sebagai bagian yang dimuliakan. Padahal hakikatnya manusia hanya diciptakan dari tanah (turâb, ardh) bahkan tanah hitam. Kesombongan manusia itu dihancurkan dengan menaruh lambang kemuliaan (dahi) ke tempat aslinya (tanah) di hadapan Sang Pencipta.
Sujud dalam Fikih dan Sejarah

Dalam fikih Syiah ahlulbait, sujud di atas tanah merupakan perintah Rasulullah dan para imam ahlulbait as. Dalam Fiqh Al-Imâm Ja’far diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Ja’far tentang tempat yang boleh dijadikan tempat sujud. Lalu dijawab, “Tidak boleh sujud kecuali di atas ardh (tanah, bumi) atau yang tumbuh di bumi, kecuali yang dimakan atau dipakai.”

Orang itu bertanya apa sebabnya, kemudian Imam menjawab, “Sujud merupakan ketundukan kepada Allah, maka tidaklah layak dilakukan di atas apa yang boleh dimakan dan dipakai, karena anak-anak dunia adalah hamba dari apa yang mereka makan dan mereka pakai, sedangkan sujud adalah dalam rangka beribadah kepada Allah…” Hal ini sesuai dengan perintah Nabi Muhammad dalam Shahîh Al-Bukhârî:

جعلت لي الأرض مسجداً وطهوراً

“Dijadikannya tanah bagiku sebagai tempat sujud dan suci.” Artinya tanah bukan saja mensucikan untuk bertayamum tapi juga sebagai tempat sujud. Dalam segala kondisi Nabi selalu sujud di atas tanah. Pernah ketika terjadi hujan di bulan Ramadan, masjid Nabi yang beratapkan pelepah kurma menjadi becek. Abu Said Al-Khudri dalam riwayat Bukhari berkata, “Aku melihat Rasulullah dikening dan hidungnya terdapat bekas lumpur.”.

Dalam kondisi panas, beberapa sahabat seperti Jabir bin Abdullah Al-Anshari biasanya akan menggenggam dan membolak-balikkan kerikil agar dingin sebelum digunakan untuk sujud. Sedangkan beberapa sahabat yang lain mengadu kepada Nabi, tapi tidak ditanggapi.

عن خباب بن الأرت قال شكونا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم شده الرمضاء في جباهنا وأكفنا فلم يشكنا

Khabab bin Al-Arat berkata, “Kami mengadu kepada Rasulullah saw. tentang sangat panasnya dahi kami (saat sujud), tapi beliau tidak menanggapi pengaduan kami.” (HR. Al-Baihaqi) Tapi ada juga sahabat yang mencari-cari kesempatan untuk sujud di atas kain, tapi ketahuan Rasul, sebagaimana juga diriwayatkan dalam Sunan Al-Baihaqî:

عن عياض بن عبد الله القرشي قال رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا يسجد على كور عمامته فأوما بيده ارفع عمامتك وأومأ إلى جبهته

Iyad bin Abdullah Al-Quraisyi berkata, “Rasulullah saw melihat seseorang sujud di atas lilitan serbannya. Maka beliau memberi isyarat dengan tangannya untuk mengangkat serbannya sambil menunjuk pada dahinya.” Mungkin karena riwayat di atas dan banyak riwayat lainnya sehingga Imam Syafii pun mengatakan bahwa seseorang harus sujud di atas tanah:

وَلَوْ سَجَدَ على رَأْسِهِ ولم يُمِسَّ شيئا من جَبْهَتِهِ الْأَرْضَ لم يَجْزِهِ السُّجُودُ وَإِنْ سَجَدَ على رَأْسِهِ فَمَاسَّ شيئا من جَبْهَتِهِ الْأَرْضَ أَجْزَأَهُ السُّجُودُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

“Apabila seseorang sujud dan dahinya sama sekali tidak menyentuh tanah, maka sujudnya dianggap tidak sah. Tetapi jika seseorang sujud dan bagian dahinya menyentuh tanah (al-ardh), maka sujudnya dianggap cukup dan sah, insya Allah Taala.” (Al-Umm, 1/114).

Artinya, menurut mazhab Imam Syafii seseorang ketika sujud dahinya harus menyentuh tanah. Tapi apakah orang Syiah protes ketika teman-teman bermazhab Syafii sujud di atas sajadah yang terbuat dari kain sintetis? Lalu kenapa ada yang protes (bahkan menyebutnya musyrik) ketika orang Syiah sujud di atas tanah padahal itu sesuai dengan fikih mereka yang diajarkan ahlulbait?!

Meski demikian Rasulullah saw. memberikan keringanan untuk sujud di atas setiap benda yang tumbuh di atas tanah, jika memang cuaca sangat panas atau sangat dingin. Terkadang Rasul menggunakan khumrah (semacam tikar kecil) dan terkadang karena uzur/darurat beliau mengizinkan sahabat untuk menarik serbannya. Artinya selama bisa sujud di atas tanah, maka Rasul melarang (seperti dalam riwayat Al-Baihaqi). Wallahualam.


Turbah Al-Husain

Sebuah blog Muwahiid wordpress menyebut Syiah sebagai penyembah berhala. Hal itu karena mereka tidak memahami dengan benar makna “muslim”. Ketika seseorang bersyahadat dan menjadi muslim, maka yang disembah adalah Allah. Sedangkan syirik adalah menyembah selain Allah. Bagaimana mungkin menjadi musyrik dan menyembah berhala padahal dalam salatnya ia bertakbir, tahmid, tahlil, salawat dan seterusnya? Tentu kalian tidak ingin disebut sebagai penyembah berhala karena sujud di atas kain sajadah, ‘kan?

Turbah hanyalah sebuah lempengan tanah tempat orang-orang Syiah “sujud di atasnya” (masjûd ‘alaih) bukan “sujud kepadanya” (masjûd lahu). Lalu mengapa tanah Karbala atau turbatul Husain yang dipilih?

Pertama, yang diwajibkan adalah sujud di atas tanah atau yang tumbuh dari bumi kecuali yang dapat dimakan atau dipakai. Jadi menurut saya, tidak ada kewajiban untuk sujud di atas tanah Karbala dan sah walau bukan tanah Karbala. Kedua, menjadikan tanah Karbala sebagai turbah tidak berarti tanah Madinah dekat pusara Nabi saw. tidak memiliki keutamaan. Karena masing-masing memiliki keutamaannya sendiri.

Tanah Karbala adalah tempat terbunuhnya cucu Nabi dan keluarganya untuk membela Islam sejati yang hampir musnah. Tanah tersebut telah dibanjiri darah suci para syuhada yang berjuang di jalan Allah. Kaum Syiah akan terus mengingat perjuangan Imam Husain as. Bukankah segala sesuatu yang berkaitan dengan Allah akan memiliki keutamaan? “Kemuliaan suatu tempat terletak pada siapa yang menempatinya,” kata pepatah. Wallahualam.

(Muwahid/Syiah-Ali/Syiah-Jakfari/Eja-Jufri/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: