Pesan Rahbar

Home » » Hadis Silsilah Dzahab (Mata Rantai Emasi)

Hadis Silsilah Dzahab (Mata Rantai Emasi)

Written By Unknown on Sunday 21 December 2014 | 21:16:00


Pada tanggla 17 atau 19 bulan Safar Imam Ridha as mencapai kesyahidannya. Beliau meninggal dunia di tangan seorang penguasa Abbasiyah yang bernama Al-Makmun (semoga laknat Allah selalu menimpanya). Al-Makmun telah meracuni Imam as dengan buah anggur atau delima. Kemudian Imam meninggal dengan teraniaya, teracuni dan terasing. Tiada kekuatan selain kekuatan Allah swt yang Mahaagung. Suatu saat akan terbongkar  orang-orang yang telah berbuat kekejian.

Kali ini yang akan kita bicarakan tentang Imam kita Ali Al-Ridha as adalah berkenaan dengan hadis yang terkenal yaitu hadis mata rantai emas.

Ketika Al-Makmun mengundang Imam as dari Madinah, yaitu kota kakeknya Al-Musthafa saw, untuk mengangkatnya menjadi putra mahkota dinasti Abbasiyah, Imam pun pergi dan melewati sebuah kota yang bernama Naishabur. Beliau ingin keluar dan pergi dari kota itu dan menuju ke istana Al-Makmun. Maka saat itu berkumpullah para perawi hadis. Mereka berkata kepada Imam as: “Wahai putra Rasulullah, engkau akan meninggalkan kami. Mengapa engkau tidak meninggalkan hadis yang kami bisa memanfaatkannya darimu?” Imam menjawab: “Aku telah mendengar ayahku Musa bin Ja’far as berkata: “Aku telah mendengar ayahku Ja’far bin Muhammad berkata: “Aku telah mendengar ayahku Ali bin Husain as berkata: “Aku telah mendengar ayahku Husain bin Ali as berkata: “Aku telah mendengar dari Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib as berkata: “Aku telah mendengar dari Nabi Saw berkata: “Aku telah mendengar Allah swt berfirman: “Kalimat tauhid (la ilaha illallah) adalah bentengku, barangsiapa yang masuk ke dalam bentengku maka ia akan aman dari siksaku.”  Ketika Imam as menyampaikan hadis ini, beliau berada dalam tandu yang berada di atas punggung unta. Pada saat untanya berjalan beberapa langkah, beliau mengeluarkan kepalanya seraya berkata: “Itu semua tentunya dengan syarat-syaratnya. Dan aku merupakan salah satu syaratnya.”

Arti dari hadis ini adalah bahwasannya Imam as termasuk di dalam syarat-syarat tersebut. Dengan pengertian yang lebih jelas adalah keyakinan kita terhadap para Imam Ahlulbait as bahwa mereka adalah hujjah -hujjah  Allah swt di muka bumi ini yang kita wajib mentaatinya. Kita juga wajib mengambil berbagai ilmu agama dari mereka. Inilah makna dari hadis Ast-Tsaqalain (dua pusaka) yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda: “Sesungguhnya aku telah tinggalkan pada kalian dua pusaka. Jika kalian berpegang dengan keduanya niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu al-Quran dan Ahlulbaitku. Keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya menemuiku di telaga Al-Hauzh”.

Imam Ali bin Musa As

Ali bin Musa al-Ridha
Example alt text
DeskripsiImam Ali bin Musa al-Ridha As
PosisiImam Kedelepan Syiah
NamaAli
JulukanAbu al-Hasan (al-Tsani)
GelarRidha, Shabir, Wafi, Radhi
Tanggal Lahir11 Dzulkadah 148 H
Tempat LahirMadinah
Tanggal WafatAkhir Shafar 203 H
Nama AyahMusa bin Ja’far al-Kazhim
Nama IbuTaktam (Ummul Banin)
Masa Hidup55 Tahun
Tempat DikuburkanMasyhad, Iran
Istri (istri)Sabikah
Anak (anak)Muhammad, Ja’far, Abu Muhammad Hasan, Ibrahim

Abu al-Hasan bin Musa al-Ridha (Bahasa Arab:أبو الحسن علي بن موسى الرضا) adalah Imam Kedelapan mazhab Syiah Dua Belas Imam (148-203 H). Gelar yang paling populer yang melekat pada dirinya adalah Ridha sehingga ia lebih dikenal sebagai Imam Ridha. Julukannya adalah Abul Hasan. Tempat kelahirannya adalah kota Madinah kemudian dipanggil secara paksa oleh Makmun Abbasi ke Khurasan dan dijadikan sebagai wali ahd (baca: putra mahkota) atas desakan Makmun Abbasi.

Imam Ridha As dalam perjalanannya menuju Khurasan dari kota Madinah menyampaikan hadis yang terkenal yaitu silsilah al-dzahab (mata rantai emas) di kota Naisyabur. Di samping itu, dalam lembar sejarah tercatat dan masyhur bahwa Makmun menyelenggarakan beberapa acara debat antara Imam Ridha As dan pembesar agama dan mazhab lainnya. Masa imamah Imam Ridha As berlangsung selama 20 tahun dan wafat di Thus. Makmun dinilai sebagai orang yang bertanggung jawab atas meninggalnya Imam Ridha As.

Pusaranya terletak di Masyhad dan menjadi tempat ziarah jutaan kaum Muslimin dari pelbagai penjuru dunia. [1]

Garis Keturunan, Julukan dan Gelar

Garis keturunan Imam Ridha As adalah sebagai berikut: Ali bin Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (Madinah 148-Thus 203 H). [2] Syaikh Shaduq berkata, “Ibunda Imam Ridha As adalah seorang budak wanita yang bernama Taktam. Nama ini disematkan padanya tatkala Imam Musa al-Kazhim menjadi tuannya. [3] Tatkala Imam Ridha As lahir, Imam Musa menamai Taktam dengan nama Thahirah. [4] Syaikh Shaduq mencatat, “Sebagian orang meriwayatkan bahwa nama ibunda Imam Ridha As adalah Sakan Nubiyah demikian juga dinamai dengan Arwi, Najmah, Samanah. Julukannya adalah Ummul Banin. [5]

Sang Penjamin Rusa, karya Mahmud Farsyiyan
 
Lughat Name Dekhada menulis, “Ibunda (Imam Ridha As) adalah seorang kaniz saleha dan bertakwa bernama Najmah yang dibeli oleh Hamidah ibunda Imam Musa Kazhim dan menghadiahkannya kepada putranya (Imam Musa). Setelah kelahiran Imam Ridha, Najmah diberi nama sebagai Thahirah.” [6] Disebutkan bahwa ibunda Imam Ridah merupakan warga kota Nubah. [7] Julukan: Abul Hasan. Menurut sebagian literatur gelar Imam Ridha As adalah: Shabir, Radhi, Wafi dan yang paling populer adalah Ridha. [8]

Kelahiran dan Wafat

Diriwayatkan bahwa Imam Ridha As lahir pada hari Kamis atau Jumat, tepatnya Dzul Hijjah atau Dzul Qaidah atau Rabi’ al-Awwal tahun 148 H atau 153 H. [9] Kulaini mengutip bahwa tahun kelahiran Imam Ridha As jatuh pada tahun 148 H. [10] Pendapat kebanyakan ulama dan sejarawan juga demikian. [11] Syahidnya diberitakan pada hari Jumat atau Senin akhir bulan Shafar yaitu 17, atau 21 Ramadhan atau 18 Jumadi al-Ula atau 23 Dzul Qaidah atau akhirnya pada tahun 202 atau 203 atau 206 H.[12] Kulaini menyebutkan hari wafat Imam Ridha pada bulan Shafar tahun 203 H ketika menginjak usia 55 tahun.[13]

Sesuai dengan pendapat kebanyakan ulama dan sejarawan tahun syahidnya Imam Ridha adalah pada tahun 203 H. [14] Thabarsi mengutip bahwa hari wafat Imam Ridha As jatuh pada akhir bulan Shafar.[15] Terkait dengan usia Imam Ridha, mengingat terdapat perbedaan tahun kelahiran dan wafatnya, sehingga disebutkan usianya berjarak antara usia 47 sampai 57 tahun.[16] Sesuai dengan pendapat mayoritas ulama yang disebutkan terkait dengan hari kelahiran dan wafatnya, usia Imam Ridha As adalah 55 tahun.


Istri-istri dan Anak-anak Imam Ridha As

Imam Ridha memiliki istri bernama Sabikah[17] yang disebut wanita yang memiliki keturunan dari Mariah istri Rasulullah Saw. [18] Di samping Sabikah, dalam sebagian literatur sejarah, disebutkan beberapa istri lain Imam Ridha As. Makmun melamar Imam Ridha As untuk putrinya Ummu Habib dan Imam Ridha As menerima pinangan itu. Thabari menyebut pernikahan ini pada peristiwa-peristiwa tahun 202 H.[19]

Disebutkan bahwa tujuan Makmun menikahkan putrinya dengan Imam Ridha As adalah untuk kian mendekat kepada Imam Ridha dan memiliki jalur ke rumahnya guna memperoleh informasi lebih jauh terkait dengan agenda-agenda Imam Ridha As. [20] Yafi’i menilai nama putri Makmun itu sebagai Ummu Habibah dan menikahkannya dengan Imam Ridha As. [21] Suyuthi juga mengutip pernikahan putri Makmun dengan Imam Ridha As tanpa menyebutkan nama putri Makmun itu.[22]


Anak-anak
Terdapat perbedaan pendapat terkait dengan jumlah dan nama anak-anak Imam Ridha As. Sebagian menulis bahwa Imam Ridha As memiliki lima putra dan seorang putri dengan nama-nama Muhammad Qani’, Hasan, Ja’far, Ibrahim, Husain dan Aisyah. [23]Sibth bin Jauzi mengutip bahwa Imam Ridha As memiliki empat putra dengan nama-nama, Muhammad (Abu Ja’far Tsani), Ja’far, Abu Muhammad Hasan, Ibrahim, dan seorang putri tanpa menyebutkan nama putri ini. [24]Disebutkan bahwa seorang anak Imam Ridha yang berusia dua tahun atau kurang dari dua tahun dikuburkan di Qazwin yaitu Imam Zadeh Husain yang kini terdapat di kota Qazwin dan Imam Ridha As sendiri pernah mengunjungi kota ini pada tahun 193 H. [25] Syaikh Mufid hanya mengakui Muhammad bin Ali sebagai anak dari Imam Ridha As. [26] Ibnu Syahr Asyub dan Thabarsi juga berpendapat yang sama. [27] Sebagian lainnya menyebutkan bahwa Imam Ridha As memiliki seorang putri bernama Fatimah. [28]

Imamah

Masa imamahnya paska ayahandanya berlangsung selama 20 tahun (183-203 H) yang bertepatan dengan masa khilafah Harun al-Rasyid, Muhammad Amin (3 tahun 25 hari), Ibrahim bin Mahdi yang lebih dikenal sebagai Ibnu Syiklah (14 hari), kemudian kembali Muhammad Amin (1 tahun dan 7 bulan), Makmun (20 tahun dimana 5 tahun akhir usia Imam Ridha [198 hingga 203 H] bertepatan dengan pemerintahan Makmun). [29]


Dalil-dalil Imamah

Sebagian orang yang mengutip hadis-hadis dari Imam Musa bin Ja’far As atas imamah putranya Ali bin Musa al-Ridha adalah: Daud bin Katsir al-Riqqi, Muhammad bin Ishaq bin Ammar, Ali bin Yaqthin, Na’im al-Qabusi, al-Husain bin al-Mukhtar, Ziyad bin Marwan, al-Makhzumi, Daud bin Sulaiman, Nashr bin Qabus, Daud bin Zarbi, Yazid bin Sillith dan Muhammad bin Sanan.[30] Sebagai kelanjutan dari artikel ini kami akan sebutkan sebagian hadis yang berkenaan dengan imamah Imam Ridha As.

Daud bin Katsir al-Riqqi berkata bahwa saya bertanya kepada Imam Musa As: “Siapa gerangan imam kami setelah Anda?” Imam Musa Kazhim, dalam menjawab pertanyaan ini seraya menunjuk kepada putranya Abul Hasan (Imam Ridha As), bersabda, “Inilah imam kalian selepasku.” [31]

Muhammad bin Ishaq bin Ammar bertanya kepada Imam Musa As, “Apakah Anda tidak memimbing saya dari siapa saya harus mempelajari urusan agamaku?” “(Dari) Putraku ini Ali.” Jawab Imam Musa Kazhim As. [32]

Di samping banyak dalil riwayat, akseptablitas Imam Ridha As di kalangan Syiah dan keunggulan ilmu dan akhlaknya menetapkan bahwa imamah layak untuk disandang olehnya meski masalah imamah pada akhir-akhir hidup Imam Musa bin Ja’far cukup pelik dan sulit namun kebanyakan sahabat Imam Kazhim As menerima bahwa Imam Ridha As adalah pelanjut dan khalifah mereka yang ditunjuk dari sisi Imam Musa Kazhim As.[33]


Perjalanan ke Khurasan

Disebutkan bahwa hijrah Imam Ridha As dari Madinah ke Marw terjadi pada tahun 200 H. [34] Penulis buku Hayāt Fikri wa Siyāsi Imāmān Syiah berkata, “Imam Ridha hingga tahun 201 berada di Madinah dan pada bulan Ramadhan tahun tersebut tiba di Marw.” . [35]

Dalam Tārikh Ya’qubi tertulis bahwa Makmun membawa Imam Ridha As dari Madinah ke Khurasan. Orang yang ditugasi untuk mengantar Imam Ridha As dari Madinah ke Khurasan adalah Raja bin Abi Dhahak kerabat Fadhl bin Sahal. Mereka membawa Imam Ridha As melalui Bashrah hingga sampai di Marw. [36]

Jalur yang dipilih oleh Makmun untuk ditempuh oleh Imam Ridha As sampai di Marw adalah jalur yang telah ditentukan supaya Imam Ridha tidak melewati perkampungan Syiah. Makmun menghindari hal itu terjadi sehingga ia menginstruksikan supaya Imam Ridha tidak dibawa melalui Kufah dan harus lewat Basrah, Khuzistan, Fars hingga Naisyabur.[37]

Jalur yang dilalui oleh Imam Ridha As sesuai dengan buku Athlās Syiah adalah sebagai berikut: Madinah, Naqrah, Husjah, Nabbaj, Hafr Abu Musa, Basrah, Ahwaz, Bahbahan, Isthkhar, Abrquh, Dahsyir (Farasyah), Yazd, Kharaniq, Ribath Pusytbam, Naisyabur, Qadamgah, Dahsurkh, Thus, Sarkhus, Marw. [38]

Hadis Mata Rantai Emas

Peristiwa yang paling penting dan terdokumentasi paling baik dari jalur ini adalah penyampaian hadis makruf Silsilah al-Dzahab (Mata Rantai Emas) oleh Imam Ridha di kota Nasiyabur. [39]

Syaikh Mufid berkata, “Makmun mengundang sekelompok orang dari keluarga Abu Thalib dari Madinah di antaranya adalah Imam Ridha As.” Berbeda dengan Ya’qubi, ia menganggap bahwa utusan Makmun itu adalah Jaludi dan katanya ia membawa Imam Ridha ke hadapan Makmun melalui Basrah. Ia menempatkan mereka di sebuah rumah dan Imam Ridha As di tempat lain dengan penuh penghormatan dan takzim. [40]

Serambi Dar al-Hujjah Haram Radhawi

Wilāyah Ahd Makmun

Setelah Imam Ridha As berdiam di Marw, Makmun mengutus seseorang ke kediaman Imam Ridha As dan menyampaikan bahwa dirinya ingin lengser dari khilafah dan menyerahkan urusan khilafah ini kepada Imam Ridha. Imam Ridha As dimintai pendapat tentang hal ini. Imam dengan tegas menolak usulan Makmun. Setelah itu, Makmun meminta supaya wilāyah ahd ini diserahkan kepadanya usai diterima oleh Imam Ridha. Imam Ridha As tetap menolak dengan tegas.

Di sini Makmun meminta Imam Ridha As untuk datang ke rumahnya. Imam Ridha As datang ke kediaman Makmun dimana tiada orang selain Makmun, Imam Ridha dan Fadhl bin Shal Dzu al-Riyāsatain (orang yang merangkap dua jabatan militer dan sipil). “Saya ingin menyerahkan urusan kaum Muslimin kepada Anda dan dan melepaskan diriku dari tanggung-jawab dengan menyerahkannya kepada Anda.” Ujar Makmun. “Wahai Amiral Mukminin! Demi Allah! Demi Allah! Saya tidak kuasa memikul beban ini dan juga tidak memiliki kemampuan untuk hal itu.” Jawab Imam Ridha As.

“Saya akan serahkan urusan wilāyah ahd kepada Anda setelahku.” Tawar Makmun lagi. “Maafkanlah saya dari urusan ini wahai Amiral Mukminin.” Tegas Imam Ridha As. "Umar bin Khattab membuat syura beranggotakan enam orang untuk memilih khalifah. Di antara mereka terdapat datukmu, Amirul Mukminin, 'Ali bin Abi Thalib. Umar mensyaratkan bahwa siapa yang menentang keputusan syura harus dipenggal kepalanya. Jadi, tidak ada jalan lain kecuali menerima apa yang saya tawarkan kepada Anda.” Ujar Makmun dengan nada mengancam.
"Aku akan setuju dengan apa yang engkau tawarkan kepadaku, dengan syarat bahwa aku tidak memerintah, tidak memberikan komando, tidak membuat keputusan-keputusan hukum, tidak menjadi hakim, tidak menunjuk, tidak memecat, tidak mengganti apa yang kini sudah ada." Pungkas Imam Ridha As. Makmun menerima semua syarat yang diajukan oleh Imam Ridha As.[41]
Dengan demikian, Makmun pada hari Senin, 7 Ramadhan 201 H memberikan baiat kepada putra makhota setelahnya dan memakaikan pakaian hijau kepada masyarakat sebagai ganti pakaian hitam (pakaian yang dikenakan oleh Abu Muslim Khurasani dan pengikutnya yang boleh jadi mengikuti bendera Rasulullah Saw atau sebagai tanda duka cita para syahid Ahlulbait Rasulullah Saw). [42]
Makmun menuliskan instruksi ini di seluruh penjuru kota dan meminta warga masyarakat untuk berbaiat kepada Imam Ridha As serta membacakan namanya di mimbar-mimbar khutbah. Di samping itu, Makmun mencetak koin Dinar dan Dirham dengan nama Imam Ridha As. Seluruh masyarakat mengikuti titah ini kecuali seseorang yang enggan mengenakan pakaian hijau yaitu Ismail bin Ja’far bin Sulaiman bin Ali Hasyimi. [43]
Makmun dengan mengundang para orator, penyair menyelenggarakan pesta untuk acara penyematan putra makhota ini di antara penyair yang diundang itu adalah Da’bal bin Ali Khuzai yang mendapatkan hadiah dari Imam Ridha As. [44]
Makmun mengirimkan instruksi baiat kepada Imam Ridha ke Mekah dengan kurir Isa Jaludi. Pada waktu itu, Gubernur Mekah adalah Ibrahim bin Musa bin Ja’far. Ia sendiri menyebut dirinya sebagai Makmun namun tatkala Jaludi datang dengan syiar hijau dan baiat Imam Ridha, Ibrahim bergegas menjemputnya dan warga kota Mekah berbaiat kepada Imam Ridha As serta mengenakan pakaian hijau. [45]


Analisa Penyerahan Wilayah Ahd

Makmun menyerahkan urusan pemerintahan provinsi Irak kepada Hasan bin Sahl dan ia sendiri berdiam di Marw. Sekelompok Alawi dengan tekad merebut khilafah mengobarkan api pemberontakan. Sangat banyak rakyat Irak yang menyatakan baiat dan memilih patuh kepada kelompok Alawi karena mereka tidak puas dengan pola pemerintahan Hasan bin Sahl. Mendengarkan hal ini Makmun sangat gundah dan risau. Ia kemudian berunding dengan Fadhl bin Sahl Dzu al-Riyāsatain. Akhirnya mereka memutuskan untuk menjadikan Imam Ridha As sebagai wali ahd (penerus khilafah) sehingga boleh jadi dengan cara seperti ini ia tetap dapat menjinakkan para sayid dan menjadikan mereka patuh kepada Makmun.[46]
Wilāyah ahd merupakan salah satu masalah penting pada kehidupan politik Imam Ridha As. Untuk mengkaji secara utuh peristiwa wali ahd Imam Ridha ini hendaknya kita harus meneliti sejarah Islam dan sejarah para khalifah Bani Umayah serta proses bagaimana Bani Abbasiyah dapat sampai ke singgasan khilafah.
Kondisi umum negeri-negeri di bawah pemerintahan Islam hingga tahun 203 H (tahun wafatnya Imam Ridha As) secara global adalah seperti berikut: Para khalifah dinasti Umawi secara umum adalah orang-orang zalim dan khilafah dalam pandangan mereka tidak lain adalah memerintah.
Satu-satunya khalifah Bani Umayah yang tidak berpandangan seperti ini adalah Umar bin Abdulaziz yang pemerintahannya juga tidak berlangsung lama. Sebagai hasilnya kejahatan para khalifah ini memunculkan pemberontakan dan kekacauan pemerintahan Bani Umayah dari segala sisi. Pemberontakan ini sangat kental bernuansa dan berwarna mazhab.
Kaum Muslimin berharap dapat menghidupkan ajaran Islam dan para pengikut agama-agama lain yang hidup di negeri-negeri Islam menaruh asa kepada keluarga Ali As yang mereka sebut sebagai Ahlulbait untuk dapat menegakkan keadilan dan persamaan. Bani Abbasiyah memanfaatkan harapan umat Islam dan umat agama-agama lain ini untuk kepentingannya sendiri. Pertama-tama klaim yang dilontarkan adalah bahwa mereka datang untuk menyelamatkan umat dari kejahatan Bani Umayah. Namun kebangkitan mereka yang diisi dengan propaganda demi kepentingan Ahlulbait dilakukan dalam beberapa tahapan:
  1. Ajakan Bani Abbasiyah demi Bani Alawi.
  2. Seruan kepada Ahlulbait dan Itrah..
  3. Seruan kepada Imam Ridha dan Kerelaan Ahlubait As.
  4. Klaim warisan khilafah untuk diri sendiri.[47]
Bani Abbasiyah karena dengan dengan tipuan ingin mengukuhkan khilafah untuk keluarganya, mereka menginjak-injak segala janji yang telah disampaikan kepada masyarakat khususnya komunitas Alawi. Bahkan mereka memperlakukan Bani Alawi secara biadab. Dengan segala alasan, masing-masing dari Bani Alawi ini dimanapun mereka temukan pasti mereka siksa dan penjarakan bahkan dibunuh. Pada akhirnya perilaku pengecut yang dilakukan oleh Bani Abasiyah kepada anak keturunan para pamannya sendiri yaitu Bani Abu Thalib membuat masyarakat terpukul. Karena itu, di mana-mana bermunculan pelbagai pemberontakan melawan pemerintah.

Pada masa Makmun keonaran dan pemberontakan merajalela melebihi waktu yang sebelumnya. Pemberontakan-pemberontakan para pendukung Alawi terjadi kebanyakan provinsi dan kota. Makmun sadar bahwa untuk menyelesaikan persoalan ini ia harus melakukan beberapa hal. Di antaranya adalah sebagai berikut:
  1. Meredam pelbagai pemberontakan Bani Alawi.
  2. Memperoleh pengakuan dari Bani Alawi bahwa pemerintahan Bani Abbasiyah itu adalah legal.
  3. Melenyapkan kecintaan, pujian dan penghormatan masyarakat yang kian hari kian bertambah kepada Bani Alawi. Untuk melenyapkan perasaan yang mendalam di tengah masyarakat ini dengan menyebarkan syak wasangka dan keraguan di tengah Bani Alawi. [48] Khususnya terkait dengan Imam Ridha, ia mengatakan bahwa ia ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa Imam Ridha tidak layak dalam urusan khilafah dan pemerintahan.
Makmun tatkala dipanggil menghadap oleh Hamid bin Marwan dan sebagian Bani Abbasiyah ihwal mengapa ia menyerahkan urusan putra mahkota kepada Imam Ridha As, ia menjawab, “Orang ini luput dari pengamatan kita. Ia menyeru masyarakat untuk mengikutinya. Karena itu saya ingin ia menjadi putra mahkota kita sehingga masyarakat dapat kita tarik semakin dekat kepada kita dan semua keuntungannya untuk kita.” Imam Ridha As menyadari sepenuhnya niat Makmun ini. Ia berkata kepada Makmun, “Engkau ingin supaya orang-orang berkata, ‘Ali bin Musa cinta dunia dan kekuasaan, bahkan dunia ini yang cinta kepadanya. Tidakkah kalian lihat karena loba terhadap khilafah, ia menerima wilayah ahd.” [49]
Imam Ridha dalam menjawab pertanyaan orang-orang yang bertanya mengapa ia menerima wilayah ahdi itu, “Saya ditekan dan terpaksa harus menerima urusan ini.” [50]
Syarat-syarat yang diajukan oleh Imam Ridha As untuk menerima wilāyah ahd pada hakikatnya adalah berlepas diri dari keikutsertaan Makmun dalam pemerintahan, karena Imam Ridha menyatakan dengan syarat bahwa Aku tidak memerintah, tidak memberikan komando, tidak membuat keputusan-keputusan hukum, tidak menjadi hakim, tidak menunjuk, tidak memecat, tidak mengganti apa yang kini sudah ada." Dengan seluruh syarat ini, tidak lama berselang Bani Abbasiyah di Baghdad akan bangkit melawan Makmun dan berbaiat dengan Ibrahim Mahdi. Dari sisi lain, Bani Alawi tahu bahwa Makmun melakukan hal ini tidak didasari oleh iman kemudian mereka bangkit lagi memberontak dan Makmun tidak memiliki pilihan lain kecuali melenyapkan Imam Ridha As. [51]

Majelis Debat

Setelah membawa Imam Ridha ke Moro, Makmun mengadakan beberapa pertemuan ilmiah dengan menghadirkan ulama dari beberapa mazhab dan agama. Dalam beberapa pertemuan ini, berlangsung perdebatan antara Imam Ridha As dan ulama lainnya yang secara umum berkisar tentang masalah-masalah ideologi dan fikih. Sebagian dari debat ini disebutkan oleh Thabarsi dalam Ihtijāj. [52] Sebagian dari debat (atau ihtijajāj) adalah: [53]
  • Debat tentang masalah Tauhid dan Keadilan
  • Debat tentang masalah Imamah
  • Debat dengan Marwazi
  • Debat dengan Abi Qurah
  • Debat dengan Ahlulkitab (Jatsliq)
  • Debat dengan Ahlulkitab (Ra’s al-Jalut)
  • Debat dengan Zoroaster
  • Debat dengan pimpinan Shabaiyyah


Sebuah Analisa atas Acara Debat

Makmun dengan menyeret Imam Ridha As dalam acara debat bermaksud ingin menghilangkan anggapan dan gambaran masyarakat tentang para imam Ahlulbait sebagai pemilik ilmu khusus misalnya (ilmu ladunni). Syaikh Shaduq dalam hal ini menulis, “Makmun mendudukan ulama level atas dari setiap firkah yang ada untuk berhadap-hadapan (berdebat) dengan Imam Ridha As sehingga dengan demikian ia dapat membuat pamor Imam Ridha As jatuh dengan perantara ulama tersebut. Hal ini dilakukan Makmun karena sifat hasud terhadap imam, kedudukan ilmu dan sosial imam di tengah masyarakat. Namun tiada satu pun dari ulama yang mampu menandingi imam kecuali mengakui keutamaan dan argumen yang disuguhkan Imam Ridha As yang membuat mereka tertegun dan menerimanya.” [54]
Buntut dari acara debat ini memunculkan banyak persoalan bagi Makmun. Tatkala ia mengetahui akibat buruk dari pengadaan acaara-acara seperti ini maka ia segera mengambil langkah membatasi gerak Imam Ridha As. Diriwayatkan dari Abdus Salam Harawi bahwa ia mengabarkan kepada Makmun, “Imam Ridha As mengadakan pelajaran-pelajaran teologis sehingga membuat orang-orang menjadi kagum kepadanya.” Makmun menugaskan Muhammad bin Amru Thusi untuk menghalau masyarakat supaya tidak menghadiri majelis tersebut. Kemudian Imam mengutuk Makmun atas perbuatan ini.[55]


Salat Id

Imam Ridha As

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Allah akan seluruh nikmat-Nya yang telah dicurahkan atas kalian. Janganlah kalian menyingkirkan kenikmatan itu dari diri kalian dengan bermaksiat kepada-Nya. Ketahuilah! Setelah iman kepada Allah dan Rasul-Nya dan pengakuan atas hak-hak para wali Allah dari keluarga Muhammad saw., sesungguhnya kalian semua belum bersyukur kepada Allah dengan sesuatu yang lebih dicintai daripada menolong saudara-saudaramu seiman dalam urusan dunia mereka. Semua ini adalah jembatan bagi kalian untuk menuju surga-surga Tuhan mereka. Sesungguhnya orang yang telah melakukan demikian termasuk hamba-hamba Allah yang istimewa”
Al-Durr Al-Nazhîm, hlm. 215.
Usai dibaiat sebagai calon pengganti khalifah (pada 7 Ramadhan 201). Setelah beberapa hari, tibalah hari pertama dari bulan Syawal, yaitu Hari Raya Idul Fitri. Satu hari sebelumnya, Makmun meminta Imam Ridha As untuk menjadi imam shalat Id. Namun Imam Ridha As berdasarkan syarat-syarat yang telah disepakati sebelumnya menolak untuk menjadi imam salat Id. Makmun mendesak dan Imam Ridha As mau tak mau menerima dan berkata, “Kalau begitu saya akan menunaikan salat (Id) sebagaimana Rasulullah Saw.” Orang-orang menantikan keluarnya Imam Ridha As laksana menantikan para khalifah dengan adab dan perayaan tertentu namun tercengang melihat berjalan dengan kaki telanjang sembari berkata takbir. Para pemimpin lasykar yang mengenakan pakaian resmi dan biasanya perayaan berlaku seperti ini, dengan melihat kondisi yang ada, turun dari kuda-kuda mereka dan melepaskan sepatu-sepatunya mengikuti imam sambil menangis dan membaca takbir. Setiap langkah yang diayunkan oleh Imam Ridha diiringi dengan tiga kali ucapan takbir. Disebutkan bahwa Fadhl berkata kepada Makmun, “Apabila Imam Ridha seperti ini sampai di tempat salat, maka orang-orang akan semakin banyak berkerumun dan mengaguminya. Lebih baik Anda memintanya untuk kembali.” Makmun segera mengutus seseorang dan meminta Imam Ridha As untuk kembali. Lalu Imam Ridha As meminta sepatunya kemudian memasangnya lalu menaiki kendaraan dan kembali.[56]

Masalah Kesyahidan

Haram Imam Ridha As

Sebagaimana yang disebutkan dalam Tarikh Ya’qubi, Makmun pada tahun 202 H bertolak ke Irak melalui Moro. Bersamanya ikut wali ahd-nya Imam Ridha As dan perdana menteri Fadhl bin Sahl Dzu al-Riyasatain. [57]
Tatkala tiba di Thus, Imam Ridha As wafat di sebuah desa yang bernama Nuqan pada awal tahun 203 H. Penyakit yang dideritanya hanya berlangsung tiga hari akibat dari racun dari buah delima yang diberikan oleh Ali bin Hisyam. Makmun menunjukkan perasaan berduka atas kepergian Imam Ridha As. Ya’qubi melanjutkan, “Diberitakan Abu al-Hasan bin Abi Ibad dan berkata, “Saya melihat Makmun mengenakan jubah putih dan berjalan kaki dan berkata, ‘Wahai Abal Hasan! Setelahmu siapa yang saya harus andalkan?’” Makmun tinggal selama tiga hari berada di samping kuburan Imam Ridha As dan setiap harinya orang-orang membawakan sepotong roti dan sedikit garam untuknya. Makanannya hanyalah itu. Kemudian pada hari keempat ia kembali.” [58]
Syaikh Mufid menukil dari Abdullah bin Basyir bahwa Makmun menugaskan dirinya untuk tidak memotong kuku sehingga lebih panjang dari ukuran rata-rata orang kemudian ia diberikan sesuatu serupa asam India sehingga tercampur bak adonan di tangannya. Kemudian Makmun pergi ke hadapan Imam Ridha As dan memanggil Abdullah lalu memintanya untuk mengambilkan air delima dengan tangannya lalu disajikan untuk Imam Ridha As. Dan hal inilah yang menjadi penyebab wafatnya Imam Ridha As setelah dua hari berselang. [59]
Shaduq mengutip sebuah riwayat yang kandungannya sama dengan riwayat di atas namun yang disebutkan adalah racun pada anggur dan pada sebagian lainnya disebutkan pada anggur dan juga pada delima. [60] Ja’far Murtadha Husaini menyebutkan enam pendapat terkait dengan penyebab wafatnya Imam Ridha As.[61]
Ibnu Hibban salah seorang ahli hadis dan rijal abad keempat Hijriah, di bawah nama Ali bin Musa al-Ridha, menulis, “Ali bin Musa al-Ridha wafat lantaran racun yang diberikan Makmun. Peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu tahun 203 H.[62]
Setelah syahidnya Imam Ridha As, Makmun mengebumikannya di rumah Hamid bin Qahthabah Thai (Buq’ah Haruniyah) di desa Sanabad.[63]
Dewasa ini desa itu menjadi Haram Radhawi di Iran dan tepatnya di kota Masyad Muqaddas.

Analisa Mengapa Makmun Membunuh Imam Ridha

Salah satu sebab mengapa Makmun memutuskan untuk membunuh Imam Ridha As disebutkan karena kemenangan Imam Ridha As atas berbagai ulama dalam pelbagai majelis debat.[64] Sebab lainnya disebutkan karena kepergian Imam Ridha As untuk menjadi imam pada salat Id. Karena sambutan hangat kerumunan orang banyak atas kedatangan Imam Ridha pada acara pelaksanaan salat Id sebagaimana yang telah disebutkan di atas, Makmun merasakan adanya bahaya atas peristiwa ini dan kemudian ia berpikir bahwa keberadaan Imam Ridha As tidak hanya menyembuhkan lukanya bahkan semakin menyudutkan dan menyulitkan Makmun karena dapat memprovokasi masyarakat untuk melawannya. Karena itu ia memasang mata-mata untuk mengawasi gerak-gerik Imam Ridha As jangan sampai menyusun agenda untuk melawan Makmun.[65] Imam Ridha As sama sekali tidak takut kepada Makmun dan acapkali jawaban-jawaban yang diberikan Imam Ridha As membuat Makmun gundah dan sedih. Kondisi ini telah membuat Makmun murka dan semakin besar kusumatnya kepada Imam Ridha meski tidak ditampakkan. [66]
Diriwayatkan bahwa Makmun bergembira pada salah satu penaklukan militer, Imam Ridha As berkata kepadanya, “Wahai Amiral Mukminin! Takutlah kepada Allah akan umat Muhamad Saw dan apa yang diamanahkan Allah Swt kepadamu. Engkau telah menyia-nyiakan urusan kaum Muslimin...” [67]

Karya-karya Yang Disandarkan kepada Imam Ridha As

 Kitab Uyun Akhbar al-Ridha As

Sebagian penulis selain mengutip hadis-hadis dan riwayat-riwayat dari Imam Ridha As atau jawaban yang diterima oleh orang-orang yang merujuk pada Imam Ridha As untuk memahami persoalan-persoalan kelimuan dan ajaran Islam (misalnya buku ‘Uyūn Akhbār al-Ridhā yang banyak mengutip masalah-masalah seperti ini), juga menyebutkan beberapa karya yang validitas penyandaran ini memerlukan dalil-dalil yang memadai dan penyandaran-penyandaran sebagian dari karya-karya itu kepada Imam Ridha As belum dapat dibuktikan. Di antara karya itu dalah buku al-Fiqh al-Radhawi namun sejumlah periset dari kalangan ulama menolak bahwa buku ini ditulis oleh Imam Ridha As. [68]

Karya lainnya yang disandarkan kepada Imam Ridha As adalah Risalah Dzahabiyyah dalam masalah kedokteran. Disebutkan bahwa Imam Ridha As mengirimkan risalah ini kurang lebih pada tahun 201 H untuk Makmun dan Makmun untuk menunjukkan betapa pentingnya resep-resep itu ia menulisnya dengan tinta emas dan kemudian disimpan di perpustakaan Darul Hikmah sehingga dengan demikian risalah tersebut dinamai sebagai Risalah Dzahabiyah. Banyak ulama yang telah menulis syarah dan memberikan ulasan atas buku ini. [69]
Karya lainnya yang disandarkan kepada Imam Ridha As adalah buku Shahifah al-Ridha dalam masalah Fikih yang belum lagi dapat dibuktikan penyandarannya menurut ulama.[70]
Buku lainnya yang disandarkan kepada Imam Ridah As adalah Mahdh al-Islām wa Syarā’i al-Din namun nampkanya tidak dapat diyakini bahwa buku ini adalah karya Imam Ridha As. [71]

Para Sahabat

Sebagian penulis menyebutkan bahwa terdapat 367 orang dalam senarai sahabat dan perawi hadis Imam Ridha As. [72] Sebagian sahabat Imam Ridha As adalah sebagai berikut:
  • Yunus bin Abdurrahman
  • Muwaffaq (pelayan Imam Ridha)
  • Ali bin Mahziyar
  • Shafwan bin Yahya
  • Muhammad bin Sanan
  • Zakariyah bin Adam
  • Rayyan bin Shalt
  • Da’bal bin Ali

Tuturan Pembesar Sunni ihwal Imam Ridha As

Dar al-Huffazh, Haram Radhawi

Ibnu Hajar: “Ridha memiliki keturunan mulia dan merupakan seorang ahli ilmu dan keutamaan.” [73]
Yafi’i: “Imam Ridha dipandang besar dan berasal keturunan pembesar nan mulia. Abul Hasan Ali bin Musa al-Kazhim in Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainul Abidin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, salah seorang imam dari dua belas imam. Ia banyak memiliki keutamaan dan para pengikut mazhab Imamiyah disandarkan kepadanya.” [74]
Ibnu Hibban menulis: “Kuburannya (kuburan Imam Ridha As) di Sanabad di luar Nuqan di samping kuburan Harun Rasyid menjadi tempat ziarah dan saya berulang kali telah berziarah ke kuburannya. Ketika saya di Thus dan setiap kali menghadapi persoalan saya berziarah ke pusara Ali bin Musa al-Ridha dan memohon kepada Allah Swt supaya menghilangkan persoalan itu untukku maka Allah Swt mengabulkan doaku dan persoalan yang saya hadapi selesai. Hal ini berulang kali telah saya alami. Semoga Allah Swt mematikan kita dengan kecintaan kepada Mustafa dan Ahlulbaitnya As.” [75]
Ibnu Najjar Baghdadi berkata, “Ia memiliki kedudukan dalam bidang ilmu dan agama sehingga pada usia dua puluhan tahun memberikan fatwa di masjid Rasulullah Saw.” [76]

Telaah Lebih Jauh

  • Shaduq, ‘Uyūn Akhbār al-Ridhā As, Terjemahan Ali Akbar Ghaffari, Tehran, Nasyr Shaduq 1373 S.
  • Fadhlullah Muhammad Jawad, Tahlili az Zendegāni Imām Ridhā As, Terjemahan Muhammas Shadiq Arif, Mashyad, Astan Quds Radhawi, Bunyad, Pazyuhesy Islami, 1377 S.
  • Ja’fariyan Rasul, Hayāt wa Fikr wa Siyāsi Imāman Syiah As, Qum, Ansariyan, 1381 S.

Lihat Juga

Catatan Kaki:

  1. Jump up Dakhil, hlm. 76-77, 1429 H.
  2. Jump up Al-Mufid, hlm. 447, 1428 H.
  3. Jump up Shaduq, jld. 1, hlm. 26, 1373 S.
  4. Jump up Shaduq, jld. 1, hlm. 27, 1373 S.
  5. Jump up Shaduq, jld. 1, hlm. 30-31, 1373 S.
  6. Jump up Dekhada, jld. 8, hlm. 12109, Madkhal Ridha.
  7. Jump up Ja’fariyan, hlm. 425, 1381 S.
  8. Jump up Al-Amin, Al-Sayid Muhsin, A’yān al-Syiah, jld. 2, hlm. 545, Dar al-Ta’aruf lil Mathbu’at, Beirut, 1418 H.
  9. Jump up Fadhlullah, hlm. 43, 1377 S.
  10. Jump up Al-Kulaini, hlm. 486, 1363 S.
  11. Jump up Al-‘Amili, hlm. 168, 1430 H.
  12. Jump up Fadhlullah, hlm. 43, 1377 S.
  13. Jump up Al-Kulaini, jld. 1, hlm. 486, 1363 S.
  14. Jump up Al-‘Amili, hlm. 169, 1430 H.
  15. Jump up Al-Thabarsi, hlm. 41, 1417 H.
  16. Jump up Silahkan lihat, al-Qarasyi, jld. 2, hlm. 503-504.
  17. Jump up Al-Thabarsi, hlm. 91, 1417 H.
  18. Jump up Al-Kulaini, Al-Kafi, Editor Muhammad Akhundi, jld. 1, hlm. 492, tanpa tahun.
  19. Jump up Al-Thabari, Muhammad bin Jarir, al-Tārikh, jld. 7, hlm. 149, Muassasah Al-A’lami lil Mathbu’at, Beirut, Tanpa Tahun (Software Maktabah Ahlulbait, Edisi 2).
  20. Jump up Al-Qarasyi, jld. 2, hlm. 408, 1429 H.
  21. Jump up Yafi’i, jld. 2, hlm. 10, 1417 H.
  22. Jump up Al-Suyuthi, hlm. 307, Tanpa Tahun.
  23. Jump up Fadhlullah, Muhammad Jawad, Op cit, hlm. 44.
  24. Jump up Al-Jauzi, hlm. 123, tanpa tahun.
  25. Jump up Ja’fariyan, hlm. 426, 1381 S.
  26. Jump up Al-Mufid, Op cit, hlm. 464.
  27. Jump up Fadhlullah, Muhammad Jawad, Op cit, hlm. 44.
  28. Jump up Qummi, 1725-1726, 1379 S.
  29. Jump up Al-Thabarsi, jld. 2, hlm. 41-42, 1417 H.
  30. Jump up Al-Mufid, hlm. 448.
  31. Jump up Al-Mufid, hlm. 448.
  32. Jump up Al-Mufid, hlm. 448; Terkait dengan beberapa hadis lainnya dalam hal ini silahkan lihat, Al-Mufid, hlm. 448-451.
  33. Jump up Ja’fariyan, hlm. 427, 1381 S.
  34. Jump up Irfan Manesy, hlm. 18, 1374 S.
  35. Jump up Ja’fariyan, hlm. 426, 1381 S.
  36. Jump up Ya’qubi, jld. 2, hlm. 465, 1378 S.
  37. Jump up Muthahari, jld. 18, hlm. 124, 1381 S.
  38. Jump up Ja’fariyan, hlm. 95, 1387 S.
  39. Jump up Fadhlullah, hlm. 133, 1377 S.
  40. Jump up Al-Mufid, Op cit, hlm. 455.
  41. Jump up Al-Mufid, Op cit, hlm. 455-456.
  42. Jump up Dairah al-Ma’arif Tasyayyu’, jld. 1, hlm. 439-440, 1366 S.
  43. Jump up Ya’qubi, Op cit, hlm. 465.
  44. Jump up Dairah al-Ma’arif Tasyayyu’, jld. 1, hlm. 439-440, 1366 S.
  45. Jump up Ya’qubi, Op cit, hlm. 466.
  46. Jump up Dekhada, jld. 8, 12109, madkhal Ridha, 1377 S.
  47. Jump up Husaini, Ja’far Murtadha, hlm. 20, 1381 S.
  48. Jump up Husaini, Ja’far Murtadha, hlm. 127, 1381 S.
  49. Jump up Shaduq, jld. 2, hlm. 314-315, 1373 S.
  50. Jump up Silahkan lihat, Shaduq, jld. 2, hlm-hlm. 309, 312-313, 1373 S.
  51. Jump up Zendegani Siyasi Hasytumin Imam, Ja’far Murtadha Husaini, terjemahan Khalil Khaliliyan; sesuai dengan nukilan dari Dekhada, jld. 8, hlm-hlm. 12110-12111, 1377 S.
  52. Jump up Ja’fariyan, hlm. 442, 1381 S.
  53. Jump up Silahkan lihat, al-Thabarsi, jld. 2, hlm. 396 dan seterusnya, 1403 H.
  54. Jump up ‘Uyūn Akhbār al-Ridhā, jld. 1, hlm. 152, sesuai nukilan dari Ja’fariyan, hlm. 442.
  55. Jump up Ja’fariyan, hlm. 443-442, 1381 S.
  56. Jump up Ja’fariyan, hlm. 443-444, 1381 S.
  57. Jump up Ya’qubi, Op cit, hlm. 469.
  58. Jump up Ibid, hlm. 471.
  59. Jump up Al-Mufid, Op cit, hlm. 464.
  60. Jump up Silahkan lihat, Shaduq, jld. 2, hlm-hlm. 592-602.
  61. Jump up Silahkan lihat, Husaini, Ja’far Murtadha, hlm-hlm. 202-212.
  62. Jump up Ibnu Hibban, jld. 8, hlm. 456-457, 1402 H; Ja’fariyan, hlm. 460, 1376 S.
  63. Jump up Al-Mufid, Op cit, hlm. 464.
  64. Jump up Ja’fariyan, hlm. 443, 1376 S.
  65. Jump up Ibid, hlm. 444.
  66. Jump up Ibid, hlm. 444-445.
  67. Jump up Al-‘Athardi, hlm. 84-85, 1413 H.
  68. Jump up Fadhlullah, hlm. 187, 1377 S.
  69. Jump up Ibid, hlm-hlm. 191-196.
  70. Jump up Ibid, hlm. 196.
  71. Jump up Ibid, hlm. 197-198.
  72. Jump up Silahkan lihat, al-Qarasyi, 1429 H/2008 M.
  73. Jump up ‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jld. 7, hlm. 389.
  74. Jump up Yafi’i, jld. 2, hlm. 10, 1417 H.
  75. Jump up Ibnu Hibban, jld. 8, hlm. 457, 1402 H.
  76. Jump up Ibnu Najjar, terkait dengan Tārikh Baghdād, jld. 4, hlm. 135.

Daftar Pustaka:

  • Ibnu Habban, Al-Tsiqāt, jld. 8, Matbha’at Majlis Dairah al-Ma’arif al-Utsmaniyah bi Haidar Abad, India, 1402 H.
  • Al-Suyuthi, Jalaluddin, Tārikh al-Khulafā, Riset oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, tanpa tempat, tanpa tahun.
  • Al-‘Amili, al-Sayid Ja’far Murtadha, al-Hayāt al-Siyāsiyah lil Imām al-Ridhā As: Dirāsah wa Tahlil, Al-Markaz al-Islamiyah lid Dirasah, Beirut, 1430 H.
  • Al-Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu’man, al-Irsyād fi Ma’rifat Hujajilllah ‘ala al-‘Ibād, Qum, 1428 H.
  • Dāirah al-Ma’ārif Tasyayyu’, jld. 1, Bunyad Islami, Tehran, 1366 S.
  • Dakhil, Ali Muhammad Ali, Aimmatuna: Sirah al-Aimmah al-Itsnā ‘Asyar, jld. 2, Muassasah Dar al-Kitab al-Islami, 1429 H/2008 M.
  • ’Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jld. 7, Dar Shadir, Beirut.
  • ’Uyūn Akhbār al-Ridhā As, Terjemahan Ali Akbar Ghaffari, jld. 2, Nasyr Shaduq, Tehran, 1373 S.
  • Al-Thabarsi, al-Fadhl bin Hasan, I’lām al-Warā bi A’lām al-Hudā, jld, 2, Muassasah Alu al-Bait li Ihya al-Turats, Qum, 1417 H.
  • Al-Thabarsi, Abi Manshur Ahmad bin Ali bin Abi Thalib, al-Ihtijāj, Annotasi oleh Al-Sayid Muhammad Baqir al-Musawi al-Khurasan, Sa’id, Masyhad, 1403 H.
  • Fadhlullah, Muhammad Jawad, Tahlili az Zendagāni Imām Ridhā As, Terjemahan Muhammad Shadiq Arif, Bunyad Pazyuhesy-ha Islami, Mashyad, 1377 S.
  • Husaini, Ja’far Murtadha, Zendegi Siyāsi Hasytumin Imām, Terjemahan Sayid Khalil Khaliliyan, Daftar Nasyr Farhang Islami, Tehran, 1381 S.
  • Rasul Ja’fariyan, Athlas Syi’ah, Sāzemān Jegrofiyah Niru-hā Musallah, Tehran, 1387 S.
  • Rasul Ja’fariyan, Hayāt Fikri wa Siyāsi Imāmān Syiah Alaihim al-Salām, Ansariyan, Qum, 1381 S.
  • Al-Jauzi, Yusuf bin Abdullah, Tadzkirah al-Khawwāsh min al-Ummah fi Dzikr Khasāish al-Aimmah, Mansyurat al-Syarif al-Radhi, Qum, tanpa tahun.
  • Dekhada, Ali Akbar, Lughat Nāme Dekhādā, jld. 8, cetakan 10, Danesygah Tehran, Tehran, 1377 S.
  • Al-Qarasyi, Baqir Syarif, Hayāt al-Imām Ali bin Musā al-Ridhā: Dirasah wa Tahlil, jld. 2, Mehr Deldar, 1429 H/2008 M.
  • Irfan Manesy, Jalil, Jugrafiyah Tārikhi Hijrat Imām Ridhā Alaihi al-Salām az Madinah tā Moro, Astan Quds Radhawi, Bunyad Pazyuhesy Islami, Masyhad, 1374 S.
  • Al-‘Atharidi, Musnad al-Imām al-Ridhā, jld. 1, Dar al-Shafwah, Beirut, 1413 H/1993 M.
  • Qummi, Syaikh Abbas, Muntaha al-Āmāl, Riset oleh Nasir Baqiri Bidhindi, Dalil, Qum, 1379 S.
  • Al-Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, al-Kāfi, jld. 1, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari, cetakan kelima, 1363 S.
  • Al-Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, al-Kāfi, jld. 1, Editor Muhammad Akhundi dan Ali Akbar Ghaffari,, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, tanpa tahun.
  • Muthahhari, Murtadha, Majmu’ah Ātsār, jld. 18, Shadra, Tehran:Qum, 1381 S.
  • Ya’qubi, Ahmad bin Abi Ya’qub, Tārikh Ya’qubi, jld. 2, terjemahan Muhammad Ibrahim Ayati, Ilmi wa Farhanggi, Tehran, 1378 S.
  • Yafi’i, Abdullah bin As’ad, Mir’ah al-Jinān wa ‘Ibrah al-Yaqdhān fi Ma’rifat ma Yu’tabar min Hawādits al-Zamān, jld. 2, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 1417 H.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: