Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS PEMBAHASAN. Show all posts
Showing posts with label ABNS PEMBAHASAN. Show all posts

Syiah Adalah Pembunuh Al-Husain a.s. (Desas-desus Sejarah). Simak Jawaban Dari Bukti Ini!


Sebagian orang menyembulkan isu bahwa Syiah Ali di Kufah adalah para pembunuh Imam Husain a.s. Muslim Syiah di Kufah saat itu hanya 15% atau sekitar 15 ribu jiwa.

12 ribu dipenjara di tahanan Ibnu Ziyad dan lainnya. Ratusan dieksekusi mati seperti Maytsam at-Tammar dan Hani’ bin ‘Urwah. Sejumlah besar mengungsi ke Mosul dan Khurasan. Sebagian diblokade agar tidak sampai ke Imam Husain a.s.

Orang-orang yang mengundang Imam Husain a.s. lalu membunuhnya bukanlah Muslim Syiah. Mereka mengundang Imam Husain a.s. karena meyakininya sebagai pelanjut khilafah Rasulullah Saw, baik sebagai salah satu sahabat maupun cucu, juga sebagai Imam Maksum yang wajib ditaati.

Sejumlah elit kabilah yang membunuh Imam Husain a.s. adalah para pendukung Bani Umayah sebelum dan setelah peristiwa Asyura, seperti: Umar bin Sa’ad, Hushain bin an-Numair, dan Syabats bin Rab’i.

Celakalah kalian wahai Syiah keluarga Abu Sufyan! Jika kalian tidak beragama dan tidak takut hari Pembalasan, jadilah kalian manusia merdeka di dunia ini!

(Khotbah Imam Husain a.s. kepada pasukan Umar bin Sa’ad di Karbala)

Khotbah ini menegaskan kepada kita, Syiah manakah yang membunuh Imam Husain a.s.

[*]

Hujjah Kebangkitan Imam Husein Melawan Kezaliman Yazid dan Bani Umayah

Berkenaan dengan Tragedi Karbala, pertanyaan utama yang kerap muncul di antaranya adalah: mengapa Imam Husein a.s. bersikeras bangkit melawan Yazid, meski banyak pihak memintanya lebih memilih berbaiat kepada penguasa zalim itu daripada harus melawannya?

Jawaban atas pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Al-Husein saat dihadapkan pada desakan gubernur Madinah yang memintanya untuk berbaiat. Al-Husein tegas mengatakan: “Orang sepertiku tidak akan membaiat orang seperti Yazid.”

Begitupun ketika salah seorang pemuka Arab meminta Al-Husein agar membatalkan perjalanannya menuju Kufah (Irak), berusaha memperingatkan risiko kematian di depan mata, putra Haidar itu justru menjawab, “Risiko ini bukan tidak jelas bagiku, hanya saja mereka tidak akan membiarkanku, ke manapun aku pergi dan di manapun aku berada, mereka akan membunuhku.”

Lebih dari itu, ketika pada malam hari keluar dari Madinah, Al-Husein menyampaikan hadis yang diterimanya dari datuknya Rasulullah SAW dalam mimpinya: “Sesungguhnya Allah menghendaki (yakni, dalam rangka taklif) bahwa aku akan dibunuh”.

Pernyataan senada, juga tak hentinya beliau sampaikan dalam khotbahnya saat bergerak dari Mekah untuk menjawab keinginan orang-orang agar beliau mengurungkan niatnya menuju Kufah.

Untuk menjawab pertanyaan utama: mengapa Imam Husein a.s demikian kukuh dengan pendiriannya? Mungkin kita mesti berupaya memahami posisi beliau sebagai Imam pelanjut Imam Hasan a.s. yang di pundaknya teremban beragam tanggung jawab agama dan kewajiban sosial selaku pemimipin umat.

Dari sudut pandang ini, insya Allah kita akan mulai paham bahwa semua faktor inilah yang sejatinya telah mendorong beliau lebih memilih untuk mengorbankan dirinya ketimbang harus tunduk terhina di hadapan kekuasan Bani Umayah dan penguasa zalim seperti Yazid.

Apa saja hujjah dan faktor-faktor pendorong kebangkitan Al-Husein melawan Yazid? Berikut ini 18 di antaranya.

Pertama: Menunaikan Tanggung Jawab Agama

Kewajiban agama yang diemban oleh Imam Husein a.s. menuntut dirinya untuk bangkit menghadapi kekuasaan Bani Umayah yang telah mengobrak-abrik syariat Allah, melanggar perjanjian, dan menentang sunah Rasulullah SAW.

Kedua: Menunaikan Tanggung Jawab Sosial

Imam Husein a.s. memiliki tanggung jawab sosial di hadapan umat yang dizalimi dan di bawah tekanan Bani Umayah. Dialah yang paling utama untuk memelihara umat dan melawan kezaliman yang terjadi di tengah masyarakat.

Imam Husein a.s. bangkit dengan memikul tanggung jawab yang besar ini, melaksanakan risalah sebagai amanat dengan penuh keikhlasan, dan mengorbankan dirinya, keluarganya dan para sahabatnya demi menegakkan keadilan Islam dan hukum-hukum Al-Qur’an.

Ketiga: Menegakkan Bukti Otoritas (Hujjah)

Imam Husein a.s. menegakkan hujjah dengan memproklamirkan jihad dan perlawanan menghadapi tirani dan gerakan anti-tuhan.

Surat-surat dukungan dan pelbagai utusan dari warga Kufah bertubi-tubi datang kepada Imam Husein a.s. Jika Imam tidak menjawab surat permohonan mereka untuk menyelamatkan mereka dari kezaliman dan tirani Bani Umayah, niscaya Imam akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah.

Keempat: Memelihara Kemurnian Islam

Di antara sebab utama yang melatarbelakangi kebangkitan Imam Husein a.s., adalah memelihara Islam dari bahaya laten kekuasaan Bani Umayah yang berupaya untuk menghapus Islam dan mencerabut Islam dari akar-akarnya.

Yazid secara terang-terangan telah menunjukkan kekufuran dan anti-tuhan dengan kalimatnya, “(Bani) Hasyim telah mempermainkan kekuasaan ini. Sejatinya tidak pernah ada kabar langit yang datang maupun wahyu yang turun.”

Puisi ini telah mengungkap akidah jahiliah yang diimani Yazid. Dia sama sekali tidak beriman dengan wahyu apalagi Al-Qur’an, pembawa risalah wahyu, Muhammad apalagi keluarganya, terlebih surga atau pun neraka.

Kelima: Menjaga Kesejatian Khilafah Kenabian

Hal yang mendorong Imam Husein a.s. melakukan kebangkitan juga untuk menyucikan konsep khilafah Islam dari Bani Umayah yang telah merampasnya secara batil. Khilafah dalam pandangan Bani Umayah tidak seperti yang diinginkan oleh Islam, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh manusia dan menumpas segala sebab kemunduran dan kerusakan di muka bumi.

Imam Husein a.s. memandang bahwa status khilafah yang dibangun datuknya, Rasulullah SAW, telah digantikan oleh para pemabuk dan hamba syahwat. Karena itu, Imam Husein a.s. bangkit untuk mengembalikan khilafah Islam kepada maknanya yang sejati, beresensi cemerlang dan bertujuan mulia.

Keenam: Membebaskan Umat dari Belenggu dan Tipu Daya

Umat Islam di masa Mu’awiyah dan Yazid tidak memiliki kebebasan. Mereka terbelenggu oleh aturan ketat yang penuh tipu daya.

Imam Husein a.s. menerjang medan laga seraya mengorbankan dirinya untuk mendidik kaum Muslimin tentang semangat kemuliaan dan keagungan. Syahidnya Imam Husein a.s. di Karbala adalah titik balik yang mengubah sejarah kehidupan kaum Muslimin.

Ketujuh: Menyelamatkan Ekonomi Umat

Terpuruknya ekonomi umat yang merupakan urat nadi kehidupan sosial dan individu juga menjadi salah satu sebab yang mendorong kebangkitan Imam Husein a.s.

Bani Umayah telah menyalahgunakan harta Baitul Mal. Mu’awiyah rupanya telah mengumumkan kepada kaum Muslimin bahwa Baitul Mal adalah harta Allah, bukan lagi harta kaum Muslimin, sehingga dia merasa lebih berhak atasnya. Karena itu, Imam Husein a.s. bangkit untuk menyelamatkan ekonomi umat dan memperbaiki ketimpangan sosial yang terjadi.

Kedelapan: Melepaskan Umat dari Penindasan Sosial

Di setiap jengkal tanah Islam telah terjadi penindasan. Imam Husein a.s. menerjang medan laga demi membuka jalan kemuliaan dan keagungan kaum Muslimin.

Kesembilan: Membebaskan Muslim Syiah dari Keterpurukan

Operasi penindasan yang dilakukan Bani Umayah terhadap Muslim Syiah juga melatarbelakangi kebangkitan Imam Husein a.s. Beliau bangkit untuk menyelamatkan mereka dari keterpurukan yang berkelanjutan.

Kesepuluh: Melawan Upaya Penghapusan Nama Ahlulbait a.s. dari Tengah Umat

Salah satu sebab utama yang mendorong Imam Husein a.s. bangkit adalah penguasa Bani Umayah telah berupaya keras dalam menghapuskan Ahlulbait a.s. dari ingatan umat Islam dan mencerabut jejak-jejak dan keteladanan Ahlulbait a.s. dari sejarah Islam. Mu’awiyah telah menggunakan metode yang paling buruk dalam memuluskan upaya mereka, seperti memerintahkan para khatib Jumat untuk melaknat Imam Ali bin Abi Thalib a.s. di atas mimbar-mimbar mereka.

Imam Husein a.s. merasa hanya kematian yang dapat membayarnya sehingga dia tidak lagi mendengar caci maki atas ayahnya a.s. di atas mimbar dan menara.

Kesebelas: Menentang Upaya Penghancuran Nilai-nilai Islam

Bani Umayah telah menghancurkan nilai-nilai Islam, sehingga nilai-nilai tersebut hilang dari kehidupan masyarakat Islam.

Kedua belas: Menumpas Kerusakan Moral Masyarakat

Moral masyarakat Islam di bawah kendali Bani Umayah telah merosot. Hal ini meliputi seluruh nilai-nilai Islam. Imam Husein a.s. bangkit untuk menumpas kekeliruan dan penyimpangan yang terjadi di tengah-tengah umat.

Ketiga belas: Mempertahankan Hak-Hak Utama yang Dirampas

Perjuangan Imam Husein a.s. adalah untuk mempertahankan hak-haknya yang dipermaikan dan dirampas oleh Bani Umayah. Hak yang paling utama adalah khilafah, karena Imam Husein a.s. adalah satu-satunya khalifah yang sesuai dengan perjanjian damai antara Imam Hasan a.s. dan Mu’awiyah. Perjanjian ini pun telah dilanggar oleh Mu’awiyah sendiri sebelum wafatnya dengan cara mewasiatkan khalifah untuk putranya, Yazid. Oleh karena itu, membaiat Yazid bertentangan dengan syariat Islam.

Imam Husein a.s. tidak bangkit untuk melawan pemimpin kaum Muslimin sebagaimana dipahami oleh pendukung Bani Umayah bahwa Imam Husein a.s. bangkit untuk merampas kekhalifahan dari Yazid.

Keempat belas: Menegakkan Amar Makruf (Menyeru kepada Kebajikan)

Salah satu sebab paling otoritatif yang mendorong Imam Husein a.s. untuk melakukan kebangkitan adalah menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran. Keduanya adalah sendi-sendi agama Islam. Imam Husein a.s. adalah yang paling utama dalam melakukannya.

Imam Husein a.s. telah menyampaikan hal ini kepada saudaranya, Muhammad bin al-Hanafiyah, “Aku tidak keluar sebagai orang yang angkuh atau sombong; tidak pula sebagai penindas dan perusak. Namun, aku hanyalah bangkit untuk menuntut perbaikan umat datukku. Aku hendak menyeru kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar.”

Kelima belas: Menghentikan Meluasnya Bid’ah

Penguasa Bani Umayah telah menyebarkan pelbagai bid’ah dalam ajaran Islam yang bertujuan menghapus, merusak dan mengalahkan Islam.

Imam Husein a.s. mengisyaratkan hal ini dalam suratnya kepada penduduk Basrah, “Karena sunah telah dihapuskan dan bid’ah justru dihidupkan.”

Imam Husein a.s. bangkit untuk melenyapkan bid’ah jahiliyah yang disemai Bani Umayah, menghidupkan kembali ajaran datuknya Rasulullah SAW yang telah mereka hapuskan dan menyebarkan panji Islam.

Keenam belas: Menunaikan Perintah Nabi

Rasulullah SAW telah mewanti-wanti bahaya yang membinasakan jika Islam jatuh ke tangan Bani Umayah. Untuk memperbarui risalah dan mengabadikan prinsip-prinsip Islam hanyalah dapat diwujudkan dengan jalan pengorbanan putranya, Al-Husein a.s. sebagaimana Rasulullah SAW memerintahkan kepadanya untuk mengorbankan dirinya.

Imam Husein a.s. menyampaikan pesan Rasulullah SAW tersebut saat perjalanan dari Madinah menuju Kufah, “Rasulullah Saw memerintahkanku dan aku pun melaksanakannya.”

Ketujuh belas: Mempertahankan Kemuliaan dan Keagungan

Salah satu sebab terkuat yang mendorong Imam Husein a.s. untuk melakukan kebangkitan adalah demi kemuliaan dan keagungan. Bani Umayah bermaksud menghina dan menundukkan Imam Husein a.s. dengan memaksanya membaiat Yazid, namun beliau a.s. menampiknya agar hidup mulia. Imam Husein a.s. menyampaikannya di hari Asyura, “Ketahuilah bahwa seorang jalang putra jalang telah menyudutkanku dengan dua pilihan, kematian atau kehinaan. Sungguh kami pantang hina! Allah dan Rasul-Nya telah melarang hal itu atas kami. Jejiwa mulia dan para pemilik kehormatan pantang taat kepada kaum durjana dan memilih mati mulia.”

Kedelapan belas: Membongkar Rencana Bani Umayah untuk Membunuh Imam Husein a.s.

Imam Husein a.s. meyakini bahwa Bani Umayah tidak akan membiarkannya hidup sekalipun beliau berdamai dan membaiat mereka. Imam Husein a.s. menegaskannya kepada saudaranya Muhammad bin al-Hanafiyah, “Seandainya aku masuk ke lubang landak, niscaya mereka akan mengeluarkanku bahkan membunuhku.”

Karena itu, Imam Husein a.s. memilih untuk mengangkat senjata dan mati mulia demi mengguncangkan singgasana Bani Umayah dan mengalahkan keangkuhan dan tirani mereka.

Itulah di antara hujjah dan faktor-faktor pendorong utama kebangkitan Imam Husein a.s dalam melawan kezaliman Yazid dan Bani Umayah.

Dan demikianlah Sayyidus-Syuhada Al-Husein telah mengambil keputusan tepat menolak tunduk kepada Yazid dengan risiko kematiannya. Beliau mengutamakan kematian daripada kehidupan dunia. 

Rangkaian kejadian yang menyusul setelahnya membuktikan tepatnya keputusan beliau tersebut. Karena, kesyahidannya yang berlangsung dalam kondisi paling menggetirkan rasa dan dengan cara yang begitu keji, menandaskan ketertindasan dan keberpihakan Ahlulbait Nabi pada kebenaran.

Sejarah mencatat, sepanjang dua belas tahun pascakesyahidannya, berbagai kebangkitan dan perlawanan yang dihadapi penumpasan berdarah datang beruntun, silih berganti.

Sampai akhirnya, rumah kenabian itulah -yang tidak ada orang mengetuk pintunya semasa hidup Al-Husein- menjadi relatif tenang pada masa Imam Muhammad Baqir as, dan mulai kembali dihampiri banjir para pengikut dan pencinta dari berbagai penjuru dunia.

Sejak saat itu, jumlah pengikut Ahlulbait dari hari ke hari terus membesar, menebarkan kebenaran dan kegemilangan mereka di banyak negeri. Semua itu berawal dari kebenaran sekaligus kemazluman Ahlulbait yang dipelopori oleh kebangkitan Imam Al-Husein a.s.

Kini, memperbandingkan kondisi Ahlulbait Nabi SAW dan kadar kepercayaan kepada mereka pada masa hidup Al-Husein dengan kondisi pascakesyahidannya sepanjang empat belas abad yang terus segar dan mengakar kian dalam dari tahun ke tahun, menyingkapkan kebenaran dan ketepatan keputusan beliau.

Capaian gemilang ini mampu diraih, sebagaimana terungkap dalam bait syair yang beliau rangkai –menurut sebagian riwayat- yang mengisyaratkan hal tersebut:

Penyelesaian kami bukanlah kekerdilan

Melainkan cita-cita kami

Dan keunggulan umat setelah kami

Wallahu ‘a’lam bish shawab.

[*]

Sebab-sebab Imam Husain as Tidak Bangkit di Masa Muawiyah

Mungkin sebagian orang bertanya-tanya, kenapa Imam Husain as tidak bangkit di masa Muawiyah, padahal ia juga merupakan penguasa zalim dan penindas umat? Adakah alasan-alasan yang mendasari sikap beliau ini? Tulisan ini mencoba menjelaskan, secara ringkas, alasan-alasan Imam Husain as tidak melakukan revolusi di era Muawiyah.

Satu hal yang mesti dicamkan adalah, tidak bangkitnya Imam Husain as di masa kekuasaan Muawiyah tak berarti beliau bersikap ‘adem ayem’ terhadap ayah Yazid ini. Dalam jangka waktu lima belas tahun masa imamah Imam Husain as (49-60 H), sejarah mencatat sejumlah gesekan antara keduanya.

Sebagian di antaranya bisa kita saksikan dalam surat-surat beliau kepada Muawiyah. Dalam surat-surat itu, Imam as menyinggung kejahatan-kejahatan Muawiyah (seperti membunuh para sahabat besar semisal Hujr bin Uday dan Amr bin Hamq). Beliau menyebut pemerintahan Muawiyah sebagai bencana terbesar bagi muslimin[1] dan dengan cara ini, beliau mempertanyakan legalitas pemerintahannya. Menurut Imam as, jihad melawan Muawiyah sebagai amalan paling utama. Tidak melawan Muawiyah disebut beliau sebagai hal yang mengharuskannya beristighfar kepada Allah.[2]

Adapun sebab Imam Husain as tidak melakukan revolusi menentang Muawiyah berakar pada beberapa hal. Sebagian darinya bisa kita lihat dari ucapan-ucapan Imam as. Sedangkan untuk mengetahui sebab-sebab lainnya, kita harus melakukan sebuah analisis sejarah.
Pertama: Adanya Kesepakatan Damai

Dalam salah satu suratnya kepada Muawiyah, Imam Husain as menyebut dirinya masih menaati isi janji perdamaian Imam Hasan as dengan Muawiyah. Beliau menolak tuduhan bahwa ia melanggar perjanjian itu.[3]

Jika ada yang bertanya: bukankah Muawiyah malah menginjak surat itu dan menganggap dirinya tidak memiliki tanggungan apapun terhadap surat perjanjian itu?[4] Lalu, kenapa Imam Husain as tetap setia dengan isi perjanjian itu, sementara musuh beliau sejak awal tidak menghiraukannya sama sekali?

Pertanyaan ini bisa dijawab dari beberapa sisi:
1. Bila ucapan-ucapan Muawiyah diperhatikan dengan seksama, kita akan melihat bahwa ia tidak pernah menyatakan melanggar perjanjiannya dengan Imam Hasan as secara gamblang. Ia hanya mengatakan,”Aku telah menjanjikan beberapa hal kepada Hasan,” dan mungkin hal-hal yang dijanjikannya itu bukan bagian dari perjanjian sehingga ia tidak melaksanakannya. Sebab itu, ia tidak menganggap dirinya telah melanggar perjanjian damai itu, atau paling tidak, ia bisa mengarang dalih bahwa ia tidak melanggarnya.
2. Figur politis Imam Husain as harus dibedakan dari figur politis Muawiyah, sebagaimana halnya perbedaan ini juga terdapat antara Imam Ali as dan Muawiyah.

Pada prinsipnya, Muawiyah adalah seorang politikus yang bersedia melakukan segala tipu daya demi tujuannya. Sebagian dari muslihatnya bisa dilihat saat ia berhadapan dengan Imam Ali as, seperti dalih menuntut balas darah Utsman, memprovokasi Thalhah dan Zubair, menancapkan Alquran di ujung tombak di perang Shiffin, menyerbu daerah-daerah kekuasaan Imam Ali as, dan lain sebagainya.

Sebaliknya, Imam Husain as adalah seorang pribadi idealis dan fundamentalis yang tidak bersedia menggunakan segala cara demi tujuannya. Beliau bersikap sama seperti ayahnya, yang pernah berkata,”Aku tidak akan menggapai kemenangan dengan perantara kezaliman.”[5]

Sebab itu, wajar bila Imam Husain as tidak melanggar perjanjian yang dilakukan saudaranya dengan Muawiyah, walau Muawiyah telah melanggarnya.

Kita harus melihat kondisi zaman itu dan dampak yang mungkin timbul bila Imam Husain as melanggar perjanjian damai itu. Pada zaman itu, Muawiyah adalah penguasa mutlak umat Islam. Kekuasaannya meliputi berbagai penjuru kawasan Islam, mulai dari Syam, Irak, Hijaz dan Yaman. Di setiap sudut kawasan, para bawahannya melakukan propaganda politiknya dengan giat dan membelanya sepenuh hati.

Di saat pertikaiannya dengan Imam Ali as, Muawiyah mampu menyembunyikan kesalahannya yang menyebabkan Utsman ia terbunuh. Bahkan, ia mengumumkan kepada para penduduk Syam bahwa dirinya adalah satu-satunya penuntut balas darah Utsman. Dalam kondisi semacam ini, jelas dengan mudah ia akan mencitrakan Imam Husain as di mata masyarakat sebagai pembelot dan pelanggar perjanjian bila beliau benar-benar tidak mematuhi kesepakatan damai tersebut.

Walhasil, segala upaya Imam Husain as dan para pengikutnya untuk mengenalkan Muawiyah sebagai pihak yang pertama kali melanggar perjanjian, tidak akan berguna sama sekali.


Kedua: Posisi Muawiyah

Di masa itu, masyarakat, khususnya penduduk Syam, memiliki pendapat positif tentang Muawiyah. Wajar jika hal ini akan menempatkan para penentangnya dalam posisi sulit, karena ia dianggap sebagai seorang sahabat Nabi saw, ipar beliau, dan penulis wahyu. Di mata mereka, Muawiyah adalah orang yang berperan besar dalam penyebaran Islam di kawasan sekitar Syam, khususnya Damaskus.
Selain itu, Muawiyah selalu menonjolkan sisi pengalaman politik dan usianya yang lebih tua dari Imam Hasan dan Husain as. Dalam salah satu suratnya, ia menganggap dua faktor ini sebagai bagian dari sisi kelayakannya menjadi khalifah . Wajar bila ia akan menggunakan keduanya sebagai senjata untuk mengelabui umat sewaktu-waktu ia bertikai dengan Imam Husain as.


Tiga: Politik Muawiyah

Setelah kesepakatan perdamaian dibuat, Muawiyah memanfaatkan setiap peluang untuk memukul Bani Hasyim-khususnya keluarga Ali as-bahkan ia sampai berani meracuni Imam Hasan as . Tentu ia melakukannya sedemikian rupa, sehingga seolah bukan dia yang menjadi aktor intelektual kejahatan-kejahatan itu. Misalnya, ia ‘meminjam’ tangan Ja’dah dalam meracuni Imam Hasan dan menyatakan tidak tahu menahu soal pembunuhan ini. Oleh karena itu, secara lahiriah, sebisa mungkin ia menampakkan penghormatannya kepada mereka, terkhusus Imam Husain as. Salah satu bentuknya berupa hadiah-hadiah bulanan atau tahunan yang dikirimkan Muawiyah kepada pribadi-pribadi seperti Imam Hasan as, Imam Husain as dan Abdullah bin Jafar. Dengan pertimbangan bahwa mereka memiliki hak di Baitul Mal dan juga memiliki alasan untuk menggunakan hadiah-hadiah itu, maka mereka menerima kiriman hadiah-hadiah itu.
Tradisi “penghormatan” ini tetap dipelihara oleh Muawiyah, bahkan menjelang kematiannya, ia berwasiat kepada Yazid untuk tidak membunuh Imam Husain as.

Sebab politik ini sangat jelas, karena dengan kesepakatan damainya, Muawiyah menyelamatkan pemerintahannya dari krisis legalitas dan bisa mengenalkan dirinya kepada masyarakat sebagai khalifah yang sah. Ia tidak ingin citranya ternoda di mata masyarakat karena telah mengotori tangannya dengan darah cucu Nabi saw. Sebaliknya, ia berusaha menampakkan kedekatan dirinya dengan keluarga Nabi saw sehingga ia dapat menjaga citranya.

Menurut pikirannya, dengan cara ini, ia bisa meredam kemungkinan pemberontakan keluarga Nabi saw. Suatu kali, setelah ia memberi hadiah besar kepada Imam Hasan as dan Imam Husain as, demi menunjukkan jasanya, ia berkata,”Ambillah harta ini dan ketahuilah bahwa aku adalah putra Hindun. Demi Allah, sebelumku dan setelahku, tidak akan ada orang yang memberi kalian hadiah semacam ini.”

Demi menunjukkan bahwa hadiah-hadiah itu tidak membuat Ahlulbait berhutang budi, Imam Husain as menjawab,”Demi Allah, tidak ada orang sebelummu atau sesudahmu yang bisa memberikan hadiah seperti ini kepada dua orang yang lebih mulia dan agung dari kami berdua.”

Dari sisi lain, Muawiyah tahu bahwa politik dengan kekerasan akan memberikan hasil yang tidak diinginkan, karena masyarakat akan bersimpati kepada Ahlulbait as dan dalam jangka panjang, akan menyebabkan keruntuhan kekuasaannya. Lebih penting dari itu, di zaman itu, Muawiyah tidak merasakan bahaya serius dari Imam Husain as dan dengan cara ini, ia berupaya mencabut akar-akar bahaya bagi pemerintahannya.

Di lain pihak, Imam Husain as selalu berusaha mempertanyakan keabsahan kekuasaan Muawiyah di setiap kesempatan. Contoh nyatanya adalah surat beliau kepada Muawiyah yang menyebutkan kejahatan dan bidah-bidahnya serta penentangan beliau terhadap kedudukan Yazid sebagai putra mahkota. Tentu Imam as juga mengetahui bahwa bila ia bangkit melawan Muawiyah, dengan melihat opini umum di waktu itu, ia tidak akan mendapat dukungan dari masyarakat dan dengan sarana-sarana propaganda penguasa, mereka akan berada di pihak Muawiyah.

Empat: Kondisi Zaman

Meski sebagian orang-orang Kufah menulis surat kepada Imam Husain as segera setelah Imam Hasan as wafat dan menyatakan kesiapan mereka mendukung beliau, namun dengan melihat faktor-faktor seperti kekuatan pemerintah pusat di Syam, kekuasaan antek Bani Umayah di Kufah, latar belakang penduduk Kufah yang tidak setia terhadap ayah dan saudara beliau, dan citra ‘baik’ Muawiyah di kebanyakan kawasan Islam, Imam Husain as tahu bahwa revolusi yang dilakukannya hanya akan sia-sia. Tiada hasil yang diperoleh kecuali tertumpahnya banyak darah, citra beliau sebagai pembelot, dan kekalahan dirinya sendiri.
Sedangkan ketika beliau melakukan revolusi di zaman Yazid, situasi waktu itu sangat berbeda dan bertolak belakang dengan zaman Muawiyah.

Disadur dari: Porseshha va Pasokhha (vizheye Moharram)


* Referensi: 

[1] Al-Imamah wa as-Siyasah 180/1, “Aku tidak pernah mengenal bencana yang lebih besar bagi muslimin selain pemerintahanmu atas mereka.”

[2] Ibid, “Demi Allah, aku tidak mengetahui amalan yang lebih utama dari berjihad melawanmu. Bila aku melakukannya, maka itu akan mendekatkan diriku kepada Allah. Bila tidak, maka aku harus meminta ampun dari Allah.”

[3] Mausuah Kalimat al-Imam al-Husain 239 “Aku berlindung dari Allah bila aku melanggar perjanjianmu dengan saudaraku Hasan as.”

[4] Al-Irsyad, Mufid 355, “Ketahuilah, sebelum ini aku telah menjanjikan beberapa hal kepada Hasan. Namun, sekarang aku meletakkan semuanya di bawah kakiku dan aku tidak akan melaksanakannya.”

[5] Nahj al-Balaghah, khotbah 126.

(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Dalil-dalil Menangisi Imam Husain Cucunya Rasulullah Saw. Simak Videonya!


Oleh: Ustadz Muhammad Taufiq Ali Yahya

DALIL-DALIL MENANGISI IMAM HUSEIN CUCUNYA RASULULLAH SAW

(Yang terbantai di Padang Karbala pada Hari Asyuro : 10 Muharam tahun 61 H)

Para ulama banyak menggunakan dalil dari Al- Qur’an tentang menangis di antaranya adalah :

Holy Quran 53:59;

------------------

أَفَمِنْ هَٰذَا ٱلْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ

Apakah kalian mengingkari setiap kebenaran sehingga kalian merasa heran dan mengingkari al-Qur'ân? Lalu kalian tertawa sebagai hinaan dan cemoohan--bukan malah menangis seperti yang dilakukan orang-orang yang yakin--dalam keadaan lengah dan sombong)

Apakah kalian heran terhadap pemberitaan tentang perjalanan hidup manusia al-Qu’ran yaitu Rasulullah saw dan Ahlulbaytnya hingga kalian tertawa (mengejeki) dan tidak menangis, karena keterbatasan pengetahuan atau ketidak tahuan.

Pertanyaan dalam ayat ini bernada keras berupa peringatan? Al-Qur’an al-karim dan Rasulullah adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Begitu pula antara Rasulullah saw dan Imam Husein. Karena Rasulullah dalam sabdanya menyebutkan : ”Husein dariku dan aku dari Husein”.

Sesuai dengan hadis Nabi saw : ”Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis”.

Tangisan yang hakiki ini menyebabkan timbulnya rasa khusyuk. Namun hati manusia tidak dapat menjadi khusyuk kalau mereka tidak merasa sedih atas musibah dan kesulitan yang menimpa orang lain. Sehingga menimbulkan kesadaran (kepedulian / peka) yang pada akhirnya berusaha untuk meringankan penderitaan orang lain.

Dibacakan Al-Qur’an juga sama maknanya dibacakan kejadian-kejadian yang menimpa manusia mandatarisnya Al-Qur’an yaitu Rasulullah saw. dan Ahlulbaytnya.

Tangisan juga bermakna istighfar kalau disertai penyesalan terhadap kelalaian dan dosa serta ketidak pedulian.

Holy Quran 44:29;
------------------

فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمُ ٱلسَّمَآءُ وَٱلْأَرْضُ وَمَا كَانُوا۟ مُنظَرِينَ

Langit dan bumi pun tak bersedih ketka mereka ditimpa siksaan itu, karena mereka memang hina. Mereka tidak diberi tenggang waktu untuk dapat bertobat dan untuk dapat menyadari kesalahannya, sebagai bentuk penghinaan terhadap mereka."


Rasulullah saw Menangisi Imam Husein as

Diriwayatkan dari Amiril Mukminin a.s. :”Ketika aku bersama Fatimah, Hasan dan Husein a.s. bertemu Rasulullah saw beliau menangis, kemudian aku bertanya apa yang menyebabkanmu menangis duhai Rasulullah saw beliau menjawab :”Pukulan (pedang) di kepala mu, pukulan yang mengenai pipi Fatimah, racun yang diberikan pada Hasan dan terbunuhnya Husein a.s.


Sayyidah Fathimah as Menangisi Imam Husein as

Diriwayatkan ; ’Ketika Nabi saw memberi kabar kepada putrinya Fathimah a.s. tentang berbagai musibah yang akan menimpa anaknya Husein a.s. hingga terbunuhnya. Fathimah menangis dengan tangisan yang memilukan.

Kemudian bertanya; wahai Ayah, kapan hal itu akan terjadi. Beliau saw menjawab di suatu zaman yang saat itu sudah tidak ada aku dan engkau juga Ali a.s., maka bertambahlah tangisan Fathimah a.s. ​

Kembali Sayyidah Fathimah a.s. bertanya;’ Siapakah nanti yang akan menangisinya dan siapa yang akan mengucapkan belasung kawa atasnya.
Nabi saw menjawab ;’Wahai Fathimah a.s. sesungguhnya wanita ummatku nanti yang akan menangisi wanita ahlu baytku sedangkan yang laki-laki akan menangisi laki-laki ahlu baytku yang selalu mengucapkan berbelasungkawa, (mengadakan acara aza’) setiap tahunnya hal itu akan terus berlangsung setiap generasi demi generasi. Ketika tiba hari kiamat engkau akan memberikan syafaat untuk kaum wanita dan aku akan memberikan syafaat untuk kaum lelaki dan setiap yang menangis atas musibah Husein a.s. aku yang akan mengangkat nya dan memasukkan nya ke surga.

Wahai Fathimah setiap mata akan menangis di hari kiamat kecuali mata yang menangisi musibah al-Husein dia akan tersenyum dengan senyum membahagiakan karena akan mendapat kan kenikmatan-kenikmatan surga. (Al-Bihâr, juz 44, hal 293).


Para Imam Ahlul Bayt as Nenangusi Imam Husein as dan menganjurkan semua pecintanya menangis

Diriwayatkan dari Imam Ridho a.s. :’Kejadian semisal Husein a.s. hendaklah menangislah bagi yang hendak menangis, karena tangisan untuknya akan menggugurkan dosa-dosa besar, kemudian beliau melanjutkan ; ketika bulan Muharom tiba Ayahku tidak kelihatan tertawa seakan ada yang mengalahkannya hingga sepuluh hari, ketika tiba hari kesepuluh, hari musibahnya dan kesedihanya serta tangisannya, inilah hari terbunuhnya Husein a.s. (Wasâil syîah, juz 14, hal. 505).


Alam menangisi Imam Husein as

Pada hari Al-Husain as. terbunuh, langit meneteskan hujan darah sehingga semua orang pada keesokan harinya mendapati apa yang mereka miliki telah dipenuhi oleh darah. Darah itu membekas pada baju-baju mereka beberapa waktu lamanya, hingga akhirnya terkoyak-koyak. Warna merah darah terlihat di langit pada hari itu. Peristiwa tersebut hanya pernah terjadi saat itu saja.

Maqtalu Al-Husain 2 hal. 89, Dzakhairu Al-'Uqba hal. 144, 145 dan 150, Tarikhu Dimasyq -seperti yang disebutkan di muntakhab (ringkasan)nya- 4 hal. 339, Al-Shawaiqu Al-Muhriqah hal. 116 dan 192, Al-Khashaishu Al-Kubra hal. 126, Wasilatu Al-Maal hal. 197, Yanabi'u Al-Mawaddah hal. 320 dan 356, Nuuru Al-Abshar hal. 123, Al-Ithaf bi Hubbi Al-Asyraf hal. 12, Tarikhu Al-Islam 2 hal 349, Tadzkiratu Al-Khawash hal. 284, Nadzmu Durari Al-Simthain hal. 220 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 458-462.

Pada hari Al-Husain as. terbunuh, tak ada satu batupun di dunia yang diangkat kecuali di bawahnya terdapat darah segar mengalir.
Tadzkiratu Al-Khawash hal. 284, Nadzmu Durari Al-Simthain hal. 220, Yanabi'u Al-Mawaddah hal. 320 dan 356, Tarikhu Al-Islam 2 hal. 349, Kifayatu Al-Thalib hal. 295, Al-Ithaf fi Hubbi Al-Asyraf hal. 12, Is'afu Al-Raghibin hal. 215, Al-Shawaiqu Al-Muhriqah hal. 116 dan 192, Miftahu Al-Naja - tulisan tangan -, Tafsir Ibnu Katsir 9 hal. 162, Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 462 dan 481-483.

Ketika kepala Al-Husain as. dibawa ke istana Ubaidillah bin Ziyad, orang ramai melihat dinding-dinding mengalirkan darah segar.

Dzakahiru Al-'Uqbahal. 144, Tarikhu Dimasyq seperti yang disebutkan dalam muntakhab-nya 4 hal. 339, Al-Shawaiqu Al-Muhriqah hal. 192, Wasilatu Al-Maal hal. 197, Yanabi'u Al-Mawaddah hal. 322, dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 463.

Ketika Al-Husain as. terbunuh, selama beberapa hari, lagit memerah bagai segumpal darah.

Al-Mu'jamu Al-Kabirhal. 145, Majma'u Al-Zawaid 9 hal. 196, Al-Khashaishu Al-Kubra 2 hal. 127 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 464.

Ketika Al-Husain as. terbunuh, selama tujuh hari, orang-orang ketika melakukan salat Ashar, mereka melihat matahari berwarna merah darah dari celah-celah tembok. Merekapun menyaksikan bintang-bintang saling bertabrakan satu dengan yang lain.

Al-Mu'jamu Al-Kabirhal. 146, Majma'u Al-Zawaid 9 hal. 197, Tarikhu Al-Islam 2 hal. 348, Siyaru A'lami Al-Nubala' 3 hal. 210, Tarikhu Al-Khulafa' hal. 80, Al-Shawaiqu Al-Muhariqah hal. 192, Is'afu Al-Raghibin hal. 251, dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 465-466.

Ketika Al-Husain as. terbunuh, selama dua atau tiga bulan orang-orang banyak menyaksikan tembok-tembok yang bagai dicat darah, mulai dari waktu salat subuh hingga terbenamnya matahari.

Tadzkiratu Al-Khawashhal. 284, Al-Kamil fi Al-Tarikh 3 hal. 301, Al-Bidayatu wa Al-Nihayah 8 hal. 171, Al-Fushulu Al-Muhimmah hal. 179, Akhbaru Al-Duwal hal. 109 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 466-467.

Ketika Al-Husain as. terbunuh, di sudut-sudut langit terlihat warna warna kemerahan. Warna merah itu menandakan bahwa langit tengah menangis. Sewaktu pasukan musuh membagi-bagikan sejenis tumbuhan berwarna kuning milik Al-Husain as., tumbuhan itu berubah menjadi abu. Dan sewaktu mereka menyembelih seekor unta yang dirampas dari kamp Al-Husain as., mereka menemukan sejenis kayu di dagingnya.

Maqtalu Al-Husain 2 hal. 90, Tarikhu Al-Islam 2 hal. 348, Siyaru A'lami Al-Nubala' 3 hal. 311, Tafsir Ibnu Katsir 9 hal. 162, Tahdzibu Al-Tahdzib 2 hal. 353, Tarikhu Dimasyq 4 hal. 339, Al-Mahasinu wa Al-Masaw.i hal. 62, Tarikhu Al-Khulafa' hal. 80 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 467-469.

Ufuk langit berwarna kemerahan setelah kematian Al-Husain as. yang menampakkan warna darah. Hal itu berlangsung selama enam bulan.

Tarikhu Al-Islam 2 hal. 348, Siyaru A'lami Al-Nubala' 3 hal. 210, Al-Shawaiqu Al-Muhriqah hal. 192, Majma'u Al-Zawaid 9 hal. 197, Tarikhu Al-Khulafa' hal. 80, Mifathu Al-Naja -tulisan tangan-, Yanabi'u Al-Mawaddah hal. 322, Is'afu Al-Raghibin hal. 215 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 469-470.


Simak Videonya:



Rembulan Menangis (Ebiet G ade)

Rembulan menangis
di serambi malam ho
Intan buah hatimu dicabik tangan-tangan serigala

Bintang-bintang muram,
beku dalam luka ho
Untukmu saudaraku kami semua turut berduka

Lolong burung malam di rimba ho
melengking menyayat jiwa

Tangis kami pecah di batu
duka kami remuk di dada

Doa kami bersama-sama untukmu, untukmu

Angin pun menjerit
badai bergemuruh ho

Semuanya marah
hanya iblis terbahak, bersorak

Lolong burung malam di rimba ho
melengking menyayat jiwa

Tangis kami pecah di batu
duka kami remuk di dada

Doa kami bersama-sama untukmu
Lolong burung malam di rimba ho
melengking menyayat jiwa

Tangis kami pecah di batu
duka kami remuk di dada

Doa kami bersama-sama untukmu
untukmu, untukmu, untukmu, untukmu

(Dokumentasi/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Bruce Parker Membedah Secara Ilmiah, Bagaimana Nabi Musa membelah Laut Merah


Kisah Nabi Musa membelah laut mungkin adalah salah satu mukjizat yang paling terkenal. Namun, belakangan ilmuwan mulai mempertanyakan peristiwa yang terjadi di Laut Merah itu.

Melansir Dailymail, seorang pakar kelautan mengaku telah mengetahui ‘rahasia’ terbelahnya Laut Merah, saat Nabi Musa menyelamatkan diri dari kejaran tentara Firaun.

Bruce Parker, profesor tamu di Stevens Institute of Technology, New Jersey, AS, mengklaim Nabi Musa tidak mengandalkan keajaiban dari Tuhan untuk membelah Laut Merah.

Tapi ia mungkin menggunakan pengetahuannya tentang pasang surut saat memimpin kaumnya menyeberangi Laut Merah, untuk menghindari kejaran tentara Firaun.

Mantan kepala ilmuwan National Ocean Service di National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat ini menulis di Wall Street Journal, bahwa Nabi Musa menggunakan pengetahuannya tentang pasang surut untuk memastikan orang-orang yang dibimbingnya bisa menyeberang dengan selamat.

Sebelumnya ada teori yang menyebutkan bahwa terbelahnya Laut Merah akibat Tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi. Hal ini karena sebelum Tsunami terjadi, biasanya perairan pesisir akan surut.

Namun, teori itu dibantah Parker yang menyebutkan bahwa air akan kembali dalam waktu 20 menit.

Waktu sesingkat itu tidak bisa memberikan cukup waktu bagi Nabi Musa untuk menyeberang dasar laut yang kering, yang diduga berada di Teluk Suez yang terletak di ujung utara Laut Merah.

Selain itu, Nabi Musa harus mendapat pemberitahuan lebih dahulu dari Tuhan bahwa akan terjadi gempa bumi dan Tsunami.

Jika terjadi surut di Teluk Suez maka dasar lautnya bisa kering selama berjam-jam. Nabi Musa berkemah di pantai sebelah barat Teluk Suez ketika tentara Firaun terlihat di kejauhan.

Awan debu yang ditimbulkan oleh kereta dan kuda tentara Firaun yang mendekat akan memungkinkan Nabi Musa untuk menghitung waktu kedatangan mereka, kata Parker.

Karena hidup di gurun, Nabi Musa memiliki pengetahuan soal pasang surut Laut Merah dan dengan melihat bulan, ia bisa memprediksi kapan surut akan terjadi.

Pengetahuan ini tidak dimiliki Firaun dan bala tentaranya yang tinggal di sepanjang Sungai Nil, yang terhubung ke Laut Mediterania yang tidak memiliki pasang surut yang unik.

“Mengetahui kapan surut akan terjadi, berapa lama dasar laut akan tetap kering dan kapan air akan naik kembali, Nabi Musa bisa merencanakan pelariannya bersama orang-orang Israel,” tulis Parker.

Saat terjadi pengejaran, bulan purnama muncul secara penuh dan itulah saat surut berada di titik terendah sehingga dasar laut bisa tetap kering selama berjam-jam.

Memberikan waktu yang lama bagi Nabi Musa untuk menyeberang. Jika demikian, maka air pasang akan berada di titik tertingginya sehingga mampu menenggelamkan tentara Firaun.

Untuk melakukan itu semua, Nabi Musa harusnya memiliki perhitungan sempurna.

Parker bukanlah ilmuwan pertama yang mengajukan teori ini untuk menjelaskan keajaiban Laut Merah. Dalam sebuah tulisan yang ditulis oleh seorang sejarawan kuno bernama Artapanus yang hidup antara 80-40 SM mengatakan, “Musa, yang menjadi pejabat negara, menunggu air surut dan memimpin orang-orang menyeberang lautan saat dasarnya kering.”

(Atjeh-Cyber/Islamic-Sources/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Al-Khasf Bil Baidâ Dalam Riwayat Syiah dan Ahlusunnah


Oleh: Hajar Baladastiyan

Abstrak

Al-Khasf di negeri Baidâ, salah satu tanda-tanda pasti akan munculnya Imam Zaman as dan riwayat-riwayat dari Syiah dan Ahlusunnah memberi perhatian khusus terhadap perkara ini dimana sebuah pasukan (Sufyani) dengan jumlah tentara yang sangat banyak setelah berhasil menaklukkan begitu banyak negeri-negeri dan telah menumpahkan darah sedemikian keji dan mengerikan, beranjak menuju Mekah dan Madinah mencari Imam Mahdi as namun akhirnya di negeri bernama Baidâ –antara Mekah dan Madinah– dengan kekuasaan Allah Swt, mereka jatuh dan tertelan oleh bumi.

Kata kunci: al-Khasf, Baidâ, Sufyani, Muncul, Tanda-tanda, Syarat-syarat (kondisi) dan Imam Mahdi as.


Mukadimah

Dalam riwayat-riwayat tentang Mahdawiyat disebutkan tanda-tanda dan ciri-ciri kemunculan (Imam Mahdi as)[1] dari berbagai sudut pandang dan telah diklasifikasikan dimana yang paling penting adalah:
Pembagian tanda-tanda menjadi dua, pasti dan tidak pasti. Yang dimaksud tanda-tanda pasti adalah tanda-tanda yang terealisasinya tanpa ada kait dan syarat, pasti dan niscaya dan jika ada seseorang yang mengklaim bangkit dan munculnya Imam Mahdi as sebelum tanda-tanda pasti itu terjadi, maka klaimnya adalah dusta dan kebohongan belaka. Sesuai beberapa riwayat, tanda-tanda pasti itu ada lima, yaitu:

سمعت أبا عبدألله يقولُ: قَبلَ قيام القائم خمسُ علامات محتومات: اليمانى و السفياني و الصيحة و قتل نفس الزکية و الخسف بالبيداء.[2]

Artinya, “Umar bin Hanzalah meriwayatkan dari Imam Shadiq as, beliau bersabda, “Sebelum al-Qâ’im (Imam Mahdi as) muncul, akan ada lima tanda yang kesemuanya merupakan tanda-tanda dan ciri-ciri pasti: Yamani, Sufyani, Shaihah, pembunuhan Nafs al-Zakiyah, dan tenggelamnya di Baidâ.”

Kebalikan dari tanda-tanda pasti, terdapat tanda-tanda yang tidak pasti dimana yang dimaksud adalah tanda-tanda yang terjadinya terkait dan tergantung pada beberapa perkara dan bisa jadi karena hikmah dan kemaslahatan yang Allah Swt ketahui dan atau karena berkat doa orang-orang, hal itu tidak sampai terjadi dan atau ada semacam penundaan dan pengemudianan padanya. Selain tanda-tanda pasti yang secara gamblang dan jelas diutarakan oleh hadits-hadits, tanda-tanda lain kemunculannya adalah perkara-perkara yang sifatnya tidak pasti. Perlu disebutkan bahwa satu-satunya klasifikasi yang diisyaratkan dalam riwayat-riwayat adalah klasifikasi pasti dan tidak pasti ini saja.

Pembagian berikutnya yang ditinjau dari sisi bentuk tanda-tanda, bisa disebutkan sebagai berikut:
1. Tanda-tanda yang bersifat mukjizat (luar biasa), yang menunjukkan terjadinya peristiwa-peristiwa sebelum munculnya Imam Mahdi as dalam bentuk yang luar biasa, seperti gerhana bulan dan matahari bukan pada waktunya, dan juga suara teriakan besar dari langit.

2. Tanda-tanda natural: tanda-tanda yang terjadi secara natural di beberapa waktu dan kesempatan, seperti kejadian-kejadian sosial, politik dan pertumpahan darah, dan lain-lain, dan tidak dalam bentuk menyerupai mukjizat.

Klasifikasi tanda-tanda dan ciri-ciri masih jauhnya kemunculan Imam Mahdi as dan tanda-tanda dekatnya kemunculan, juga termasuk salah satu klasifikasi berikutnya terkait tanda-tanda ini.


Al-Khasf Bil Baidâ dalam Riwayat Syiah dan Ahlusunnah

Pada tulisan ini akan dikaji tentang Al-Khasf Bil Baidâ dalam riwayat-riwayat Syiah dan Ahlusunnah.

Al-Khasf menurut bahasa berarti karam, merosot dan sembunyi[3] dan Baidâ juga adalah nama sebuah wilayah yang terletak antara Mekah dan Madinah.[4]

Mengenai tanda kemunculan ini, terdapat banyak riwayat-riwayat dalam kitab-kitab Syiah dan Ahlusunnah yang menunjukkan Sufyani dengan pasukannya yang demikian besar, telah menaklukkan banyak kota dan setelah peperangan dan penumpahan darah yang begitu banyak ia berangkat menuju Mekah yang akhirnya dengan sangat menakjubkan karam dan tenggelam ke dalam bumi di wilayah bernama Baidâ (antara Mekah dan Madinah).

Imam Shadiq as tentang kepastian dan keniscayaan Al-Khasf Bil Baidâ, bersabda:

«من المحتوم الذي لابدأن يکون قبل القائم خروج السفياني و خسف بالبيداء…»[5]

Artinya, “Diantara perkara-perkara pasti yang niscaya terjadi sebelum munculnya al-Qâ’im adalah: keluarnya sufyani dan Al-Khasf Bil Baidâ…”.

Dalam referensi-referensi hadits Ahlusunnah juga, khususnya pada kitab Shihâh al-Sittah,[6] telah dijelaskan sejumlah riwayat-riwayat tentang keluarnya Sufyani dan Al-Khasf Bil Baidâ (karam di wilayah Baidâ), diantaranya:

- Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, terdapat banyak riwayat yang menjelaskan tentang peristiwa Al-Khasf Bil Baidâ, dimana diantaranya adalah:

. Rasulullah saw bersabda:

«قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: يَغْزُو جَيَشٌ الْكَعْبَة، فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ»[7]

Artinya, “Sebuah pasukan sedang menuju Mekah, maka ketika sampai ke wilayah Baidâ, bumi langsung menelan mereka semua.”

. Rasulullah saw bersabda:

«قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: يَعُوذُ عَائِذٌ بِالْبَيْتِ فَيُبْعَثُ إِلَيْهِ بَعْثٌ فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ خُسِفَ بِهِمْ»[8]

Artinya, “Seorang lelaki akan berlindung ke Baitullah. Sebuah pasukan akan dikirim kepadanya. Ketika pasukan itu tiba di daerah Baidâ, maka di daerah itulah mereka akan karam dan tenggelam.”

. Rasulullah saw bersabda:

«عَنْ أُمَيَّةَ بْنِ صَفْوَانَ سَمِعَ جَدَّهُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ صَفْوَانَ يَقُولُ أَخْبَرَتْنِى حَفْصَةُ أَنَّهَا سَمِعَتِ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم َقُولُ: لَيَؤُمَّنَّ هَذَا الْبَيْتَ جَيْشٌ يَغْزُونَهُ حَتَّى إِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوْسَطِهِمْ وَيُنَادِى أَوَّلُهُمْ آخِرَهُمْ ثُمَّ يُخْسَفُ بِهِمْ فَلاَ يَبْقَى إِلاَّ الشَّرِيدُ الَّذِى يُخْبِرُ عَنْهُمْ»[9]

Artinya, “Baitullah (Ka’bah) ini telah dijadikan sebuah tempat aman, sehingga sebuah pasukan sedang menuju kepadanya dan tatkala pasukan itu sampai ke daerah bernama Baidâ, mereka karam dan tenggelam di tengah-tengahnya, dan pasukan pertamanya menyeru pasukan lainnya, lalu kemudian mereka tenggelam di sebuah wilayah, jadi tidak seorang pun yang tersisa kecuali sejumlah orang yang nantinya akan menceritakan kisah mereka.”

. Rasulullah saw bersabda:

«عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: سَيَعُوذُ بِهَذَا الْبَيْتِ ـ يَعْنِى الْكَعْبَةَ ـ قَوْمٌ لَيْسَتْ لَهُمْ مَنَعَةٌ وَلاَ عَدَدٌ وَلاَ عُدَّةٌ يُبْعَثُ إِلَيْهِمْ جَيْشٌ حَتَّى إِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ خُسِفَ بِهِمْ»[10]

Artinya, “Dalam waktu dekat sebuah pasukan akan menuju Mekah dimana tidak ada satu pasukan yang mencegah mereka, hingga mereka tiba di sebuah wilayah bernama Baidâ dan kemudian di wilayah itulah mereka tertelan bumi.”

- Dalam Sunan Tirmizi telah disebutkan dan dijelaskan sejumlah hadits tentang al-Khasf, diantaranya:

« عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: فِى هَذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ…»[11]

Artinya, “Di akhir zaman, pada umat ini akan ada yang namanya al-Khasf (tertelan bumi), maskh dan Qazf…”. 

- Abu Daud dalam Sunan-nya menukil riwayat tentang peristiwa karam di daerah Baidâ dari Ummu Salamah yang dia juga menukil dari Rasulullah saw:

«…وَيُبْعَثُ إِلَيْهِ بَعْثٌ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ فَيُخْسَفُ بِهِمْ بِالْبَيْدَاءِ بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ…»[12]

Artinya, “Akan diutus kepadanya sebuah pasukan dari negeri Syam, lalu tenggelam dan tertelan bumi di daerah Baidâ, terletak antara Mekah dan Madinah…”.

- Ibnu Majah dalam kitab Sunan-nya mempunyai beberapa riwayat tentang peristiwa karam dan tenggelam ditelan bumi di wilayah Baidâ, diantaranya ia menukil dari Safiyah dan Safiyah menukil dari Nabi saw:

« عَنْ صَفِيَّةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْتَهِي النَّاسُ عَنْ غَزْوِ هَذَا الْبَيْتِ حَتَّى يَغْزُوَ جَيْشٌ حَتَّى إِذَا كَانُوا بِالْبَيْدَاءِ أَوْ بَيْدَاءَ مِنْ الْأَرْضِ خُسِفَ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ وَلَمْ يَنْجُ أَوْسَطُهُمْ…»[13]

Artinya, “Orang-orang tidak akan lepas dari perang rumah ini (Ka’bah), hingga sebuah pasukan datang menuju ke arahnya. Ketika pasukan ini tiba di daerah Baidâ, seluruhnya (dari awal hingga terakhir mereka) karam dan tenggelam tertelan bumi, dan tengah-tengah mereka pun tidak dapat selamat…”


Beberapa Catatan Penting tentang Al-Khasf Bil Baidâ

Berdasarkan riwayat-riwayat dan referensi-referensi yang ada dari jalur Syiah dan Ahlusunnah mengenai peristiwa al-Khasf (tenggelam tertelan) di wilayah Baidâ, maka ada beberapa poin atau catatan yang bisa dipetik:

Kepastian Al-Khasf Bil Baidâ

Al-Khasf Bil Baidâ merupakan tanda-tanda atau ciri-ciri pasti munculnya Imam Zaman as.

Imam Shadiq as bersabda:

« خمسٌ قبل قيام القائم عليه السلام، اليماني و المنادي ينادي من السماء و خسف البيداء»[14]

Artinya, “Sebelum al-Qâ’im muncul, ada lima tanda-tanda muncul terlebih dahulul: Yamani, Sufyani, seruan dari langit dan tenggelam tertelan di daerah Baidâ…”

Arti Al-Khasf Bil Baidâ dan tempat daerah Baidâ

Al-Khasf berarti karam dan masuk ke bumi.

- Kitab Tâj al-‘Arûs menyebutkan:

« خسف المکان ذهب في الارض … والخسف الحاق الارض الاولي بالثانية»[15]

Artinya, “Khasf Makân masuk ke dalam bumi atau tanah…dan al-Khasf adalah bergabungnya tanah pertama ke tanah kedua…”. 

Baidâ adalah wilayah yang berada di antara Mekah dan Madinah.

- Turaihi menyebutkan:

« البيداء أرض مخصوصة بين مکة و المدينة ..»[16]

Artinya, “Baidâ adalah daerah spesial yang berada diantara Mekah dan Madinah.” 


Pasukan sufyani tiba di wilayah Baidâ

Sebuah pasukan dari Sufyani hendak menangkap Imam Mahdi as yang berada di Madinah, berangkat menuju ke Madinah.

- Imam Baqir as bersabda:

«…و يبعث السفياني بعثا ًالي المدينة..»[17]

Artinya, “…dan Sufyani mengutus sebuah kelompok (pasukan) menuju kota Madinah…”

- Rasulullah saw bersabda:

«قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: يَغْزُو جَيَْشٌ الْكَعْبَة»[18]

Artinya, “Rasulullah saw bersabda, “Sebuah pasukan sedang menuju Ka’bah.”
Pada sebagian riwayat-riwayat, daerah Baidâ juga disebut dengan nama padang sahara putih. Mungkin daerah Baidâ jika dilihat dari lahiriahnya berwarna putih.

- Imam Ali as bersabda:

« وخروج السفياني براية الحمراء…تتوجه الي مکة و المدينة…إذا توسط القاع الابيض خسف بهم..»[19]

Artinya, “Muncul dan keluarnya sufyani disertai dengan sebuah bendera berwarna merah…mereka sedang berangkat menuju Mekah…ketika mereka sampai ke sebuah padang sahara berwarna putih maka disana mereka tenggelam dan tertelan bumi…”. 

Imam Mahdi as berangkat dari Madinah menuju Mekah, tapi pasukan Sufyani tahu informasi keberangkatan Imam Zaman as.

- Imam Baqir as bersabda:

«…فينفر المهدي (عج) منها الي مکة، فيبلغ امير جيش السفياني ان المهدي قد خرج إلي مکة»[20]

Artinya, “…Imam Mahdi as berangkat menuju Mekah dan berita keberangkatan beliau sampai ke telinga pimpinan pasukan sufyani.”

- Rasulullah saw bersabda:

«قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: يَعُوذُ عَائِذٌ بِالْبَيْتِ فَيُبْعَثُ إِلَيْهِ بَعْثٌ»[21]

Artinya, “Rasulullah saw bersabda, “Seorang lelaki akan berlindung ke Baitullah (Ka’bah). Sebuah pasukan diutus kepadanya.” 

Sebuah pasukan sufyani mencari dan mengikuti Imam Zaman as.

- Imam Baqir as bersabda:

«فيبعث جيشا ًعلي اثره، فلايدرکه حتي يدخل مکة خائفاً…»[22]

Artinya, “Lalu sebuah pasukan diutus mencari dan mengikuti Imam Mahdi as, tapi Imam Mahdi as tidak ditemukan hingga beliau masuk ke Mekah dalam kondisi khawatir…”

- Rasulullah saw bersabda:

«…لَيَؤُمَّنَّ هَذَا الْبَيْتَ جَيْشٌ يَغْزُونَهُ حَتَّى إِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ..»[23]

Artinya, “Baitullah (Ka’bah) ini telah dijadikan sebuah tempat aman, sehingga sebuah pasukan sedang menuju kepadanya dan tatkala pasukan itu sampai ke daerah bernama Baidâ, mereka karam dan tenggelam.” 

Pasukan sufyani dengan tujuan hendak menangkap Imam Mahdi as, keluar dari Madinah dan tiba di daerah Baidâ.

- Rasulullah saw bersabda:

«…ثم يخرجون متوجهين إلي مکة حتي إذا کانوا بالبيداء»[24]

Artinya, “…kemudian mereka keluar dari kota itu hendak menuju Mekah, hingga mereka sampai ke sebuah daerah bernama Baidâ.”

Pasukan sufyani ini dipimpin oleh seorang bernama Ghathfani.

- Imam Ali as bersabda:

« …ثم يعود إلي مکة في جيش أميره غطفان»[25]

Artinya, “Sejumlah pasukan sedang menuju Mekah yang dipimpin oleh seorang bernama Ghathfani.” 

Terjadi mukjizat Allah Swt di daerah bernama Baidâ dan pasukan sufyani masuk dan tenggelam tertelan bumi.

- Imam Baqir as bersabda:

«فينزل أمير جيش السفياني، فينادي منادٍ من السماء «يا بيداء أبيدي القوم»، فيخسف بهم.»[26]

Artinya, “Pimpinan pasukan sufyani turun di padang sahara, lalu datang seruan dari langit, “Wahai padang sahara, binasakanlah kaum itu”, kemudian padang sahara pun menelan mereka ke dalam tanah…”

- Rasulullah saw bersabda:

«…فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ »[27]

Artinya, “…maka ketika pasukan ini tiba di daerah Baidâ, seluruhnya (dari awal hingga terakhir mereka) karam dan tenggelam tertelan bumi…”


Nasib orang-orang selamat dari Al-Khasf Bil Baidâ

Seluruh pasukan dan orang-orang sufyani menjadi binasa kecuali dua atau tiga orang.

- Imam Baqir as bersabda:

«…فلا يفلت منهم إلا ثلاثة نفر..»[28]

Artinya, “…tidak ada yang tersisa dari mereka kecuali tiga orang…”

- Rasulullah saw bersabda:

«…فَلاَ يَبْقَى إِلاَّ الشَّرِيدُ الَّذِى يُخْبِرُ عَنْهُمْ»[29]

Artinya, “…jadi tidak seorang pun yang tersisa kecuali sejumlah orang yang nantinya akan menceritakan kisah mereka.”

- Rasulullah saw bersabda:

«…و لا يفلت منهم إلا رجلان…»[30]

Artinya, “…dan tidak ada yang tersisa dari mereka kecuali dua orang laki-laki…” 

Orang-orang yang selamat pun akan mendapat azab Allah Swt dan kepala mereka akan diputar ke belakang.

- Imam Baqir as bersabda:

«…فلا يلفت منهم إلا ثلاثة نفر يحول الله وجوههم الي أقفيتهم»[31]

Artinya, “…tidak ada seorang pun yang tersisa dari mereka kecuali tiga orang dan itupun Allah Swt putar kepalanya menghadap ke belakang.”

- Imam Ali as bersabda:

«فيحول الله وجهيهما إلي القفا …»[32]

Artinya, “Lalu Allah Swt paling muka (kepala) dua orang itu ke arah belakang.” 

Wajah (kepala) dua orang ini karena teriakan yang malaikat Jibril dengungkan pada mereka, terputar ke belakang.

- Imam Ali as bersabda:

«…فيصيح بهما جبرائيل فيحول الله وجهيهما إلي القفاء»[33]

Artinya, “…Malaikat Jibril berteriak keras ke atas mereka berdua kemudian Allah Swt memutar kepala mereka berdua ke arah belakang…” 

Kedua orang itu disebut Basyîr (pemberi berita gembira) dan Nadzîr (pemberi ancaman).

- Imam Ali as bersabda:

«ويکون آخر الجيش رجلان أحدهما بشير و الآخر نذير …»[34]

Artinya, “Dua orang yang tersisa dari pasukan itu, Basyîr (pemberi berita gembira) dan Nadzîr (pemberi ancaman).” 

Basyîr (pemberi berita gembira) dan Nadzîr (pemberi ancaman) berdasarkan sebagian riwayat adalah dari kabilah Kalb dan dan menurut sebagian riwayat lagi, berasal dari kabilah Jahinah.

- Imam Baqir as bersabda:

«…فينزل أمير جيش السفياني البيداء…فيخسف بهم فلايفلت منهم الا ثلاثه نفر… و هم من کلب…»[35]

Artinya, “…pemimpin pasukan sufyani turun di padang sahara…kemudian padang sahara menelan mereka dan tidak seorang pun yang tersisa dari mereka kecuali tiga orang…dan mereka itu berasal dari kabilah Kalb…”.

- Rasulullah saw bersabda:

«حتي اذا کانوا بالبيداء…يخسف الله بهم عندها…و لا يفلت منها إلا رجلان من جهينه»[36]

Artinya, “Ketika mereka berada di wilayah Baidâ…Allah Swt mengubur mereka disana…dan tidak seorang pun yang selamat kecuali dua orang laki-laki dari kabilah Jahinah.” 

Hidupnya dua orang dari pasukan sufyani pada peristiwa al-Khasf bil Baidâ supaya ia mengisahkan peristiwa itu kepada yang lain dan orang-orang masa itu dan generasi selanjutnya bisa mengambil pelajaran darinya sehingga tidak berani menentang dan melawan agama hak.

- Imam Ali as bersabda:

«وخروج السفياني براية حمراء…تتوجه الي مکة و المدينة…ثم يعود إلي مکة في جيش أميره غطفان، إذا توسط القاع الأبيض خسف به فلا ينجو إلا رجلان يحول الله وجهيهما إلي قفاهما ليکونا آية لمن خلفهما»[37]

Artinya, “Sufyani keluar dengan membawa bendera berwarna merah…pasukan mereka bergerak menuju Mekah dan Madinah…pasukan di bawah pimpinan seorang laki-laki bernama Ghatfani bergerak menuju Mekah, di tengah perjalanan mereka tiba di sebuah padang sahara berwarna putih dan disitulah mereka tertelan oleh bumi dan yang tersisa hanya dua orang yang kelak akan menjadi bukti (pelajaran) bagi yang lain dimana kedua orang ini (diazab) dengan wajahnya diputar ke arah belakang.” 

Salah satu dari dua orang yang tersisa di Baidâ (basyîr) pergi menuju Imam Mahdi as dan satunya lagi (nadzîr) berangkat menuju Sufyani guna mengabarkan berita tenggelam dan terkuburnya pasukan itu. Pada riwayat-riwayat yang Imam Shadiq as menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa setelah munculnya (Imam Mahdi as), bersabda:

«…وسيدنا القائم مسند ظهره إلي الکعبة … ثم يقبل إلي القائم رجل وجهه إلي قفاه و قفاه الي صدره … فإذا نحن بملک قد ضرب وجوهنا فصارت الي ورائنا کما تري فقال لأخي: ويلک إمضي إلي الملعون السفياني بدمشق فأنذره بظهور المهدي من آل محمد (صلی الله علیه و آله) و عرفه أن الله قد أهلک جيشه بالبيدا و قال لي يا بشير! إلحق بالمهدي بمکة و بشر بهلاک الظالمين…»[38]

Artinya, “Tuan dan pemimpin kita, al-Qâ’im, bersandar di dinding Ka’bah…kemudian datang seorang lelaki yang wajahnya menghadap ke belakang dan belakang lehernya menghadap ke dadanya….orang itu berkata, kami adalah dua orang dimana seorang malaikat datang ke kami dan dengan sebuah pukulan yang diarahkan ke wajah kami, maka kami pun berubah seperti yang anda saksikan ini. Ia memerintahkan kepada saudaraku untuk pergi ke Damaskus dan menyampaikan ancaman kepada Sufyani kalau ia telah binasa dan Imam Mahdi as juga telah muncul dan berkata kepadaku, “Kamu (yaitu saya) juga harus pergi ke Mekah dan menyampaikan berita gembira tentang kebinasaan orang-orang zalim kepada Imam Mahdi as.”

Sebagian hadits-hadits menakwilkan bahwa ayat 47 dari surah An-Nisâ berbicara tentang dua orang yang tersisa dari peristiwa terkuburnya bala tentara di daerah Baidâ:

«يا أَيُّهَا الَّذينَ أُوتُوا الْكِتابَ آمِنُوا بِما نَزَّلْنا مُصَدِّقاً لِما مَعَكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَطْمِسَ وُجُوهاً فَنَرُدَّها عَلى‏ أَدْبارِها»[39]

Artinya, “Hai orang-orang yang telah diberi al-Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan kitab yang ada padamu sebelum Kami merubah wajah(mu), lalu Kami putarkan ke belakang…”


Wilayah Baidâ adalah kawasan azab

Al-Khasf bil Baidâ akan terjadi atas perintah Allah Swt.

- Imam Ali as bersabda:

«…فخسف الله به..»[40]

Artinya, “Allah Swt akan menenggelamkan dan menguburkannya.” 

Suara yang terdengar dari arah Al-Khasf bil Baidâ adalah suara malaikat Jibril as.

- Huzaifah meriwayatkan dari Nabi saw:

«…بعث الله جبرائيل فيقول: يا جبرائيل إذهب فابدهم…»[41]

Artinya, “Allah Swt mengutus malaikat Jibril dan Dia berfirman, “Wahai Jibril pergilah dan binasakanlah mereka…” 

Malaikat Jibril memukulkan kaki ke tanah lalu dengan kehendak Allah Swt, pasukan itu pun terkubur dan masuk ke dalam tanah.

- Huzaifah meriwayatkan dari Nabi saw:

«فيضربها برجله ضربة يخسف الله بهم عندها..»[42]

Artinya, “Dia (Jibril) memukulkan kaki ke tanah lalu Allah Swt mengubur dan memasukkan pasukan itu ke dalam tanah.” 

Ayat 51 dari surah Sabâ ditakwil membahas peristiwa Al-Khasf bil Baidâ.

- Imam Ali as bersabda:

«…خرج السفياني …و يأتي المدينة بجيش جرار…حتي اذا انتهي الي بيداء المدينة خسف الله به و ذلک قول الله عزوجل في کتابه «و لوتري إذ فزعوا فلا فوت و أخذوا من مکان قريب.»[43]

Artinya, “Sufyani keluar…dan dengan sebuah pasukan besar datang ke Madinah…hingga kemudian tiba di padang sahara Madinah, Allah Swt menenggelamkan dan mengubur mereka ke dalam tanah dan inilah firman Allah Swt yang menyatakan, “Dan jika kamu melihat ketika mereka terperanjat ketakutan; lalu mereka tidak dapat melepaskan diri (dari azab Ilahi) dan mereka ditangkap dari tempat yang dekat.“ 

Pasukan sufyani dari arah langkah kaki, mereka ditelan oleh tanah atau bumi.

- Imam Shadiq as bersabda:

« جيش البيداء يوخذون من تحت اقدامهم…»[44]

Artinya, “Pasukan yang di Baidâ diambil dan ditarik dari arah bawah kaki mereka.” 

Jarak waktu Al-Khasf Bil Baidâ hingga munculnya Imam Mahdi as

Ada banyak riwayat yang mengisyaratkan tentang jarak waktu antara munculnya Imam Mahdi as dan peristiwa Baidâ.

- Imam Baqir as pada sebuah riwayat setelah mengisyaratkan tentang peristiwa Baidâ, bersabda:

«…و القائم يومئذ بمکة قد اسند ظهره الي بيت الحرام…»[45]

Artinya, “Al-Qâ’im (Imam Mahdi as) pada hari itu berada di Mekah dan sedang bersandar di Ka’bah.”


Banyaknya peristiwa Al-Khasf (tenggelam tertelan) di akhir zaman

Al-Khasf (tenggelam tertelan) di wilayah timur dan Al-Khasf (tenggelam tertelan) di jazirah Arab.

- Imam Ali as bersabda:

«عشر قبل الساعة لابد منهما السفياني و…خسف بالمشرق و خسف بالجزيرة العرب..»[46]

Artinya, “Ada sepuluh hal yang pasti terjadi sebelum Kiamat: Sufyani…dan Al-Khasf (tenggelam tertelan) di wilayah timur dan Al-Khasf (tenggelam tertelan) di jazirah Arab, …”. 

Al-Khasf (tenggelam tertelan) di sebuah perkampungan Syam bernama Jabiyah dan sebuah perkampungan lain bernama Harasta dan atau Harasna.

- Imam Baqir as bersabda:

«تخسف قرية من قري الشام تسمي الجابية…»[47]

Artinya, “Sebuah perkampungan makmur di Syam bernama Jabiyah, akan runtuh dan terkubur…”

Imam Baqir as menukil dari Imam Ali as bahwa diantara tanda-tanda kemunculan Imam Mahdi as adalah peristiwa Al-Khasf (tenggelam tertelan) di Harasta.

- Imam as bersabda:

«…فاذا کان ذلک فانظروا خسف قرية من دمشق يقال لها حرستا…»[48]

Artinya, “Waktu peristiwa (zhuhur dan munculnya Imam Mahdi as) ini akan terjadi, maka tunggulah kalian akan peristiwa Al-Khasf (tenggelam tertelan) sebuah perkampungan di Syam bernama Harasta. 

Peristiwa Al-Khasf (tenggelam tertelan) di Baghdad dan Basrah.

- Imam Shadiq as bersabda:

«…يزجر الناس قبل قيام القائم (عج) عن معاصيهم بنار تظهر في السماء…و خسف ببغداد و خسف ببلد البصرة»[49]

Artinya, “Allah Swt sebelum munculnya Imam Mahdi as, akan mengazab orang-orang lantaran dosa-dosanya dengan sebuah api yang datang dari langit… Peristiwa Al-Khasf (tenggelam tertelan) di Baghdad dan di sebuah kota di Basrah.”


Kesimpulan

Peristiwa Al-Khasf (tenggelam tertelan) di wilayah atau kawasan bernama Baidâ, adalah salah satu ciri dan tanda pasti kemunculan Imam Zaman as dimana hal itu mendapat perhatian besar dalam riwayat-riwayat Syiah dan Ahlusunnah, dan telah dijelaskan bahwa pasukan Sufyani, setelah pasukan besarnya berhasil menaklukkan banyak wilayah dan negeri serta telah banyak menumpahkan darah, bergerak menuju Mekah dan mencari Imam Zaman as yang pada akhirnya mereka sampai di sebuah daerah atau kawasan bernama Baidâ (antara Mekah dan Madinah) dan dengan kemukjizatan Ilahi, mereka akan tenggelam terkubur di wilayah itu.


Referensi: 

1. Al-Qur’an al-Karim
2. Ibnu al-Asy’ats al-Sajistani, Sunan Abi Daud, riset dan komentar: Said Muhammad al-Liham, cet. 1, Dâr al-Fikr Liththabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1410 H – 1990 M.
3. Ibnu Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, Beirut, Dâr al-Kitâb al-‘Ilmiyah, 1983 M.
4. Ibnu Hammad, Abu Naim, al-Fitan, cet. 1, Beirut: Nasyr Maktabah al-Shafâ, 1382.
5. Ibnu Manzur, Lisân al-‘Arab, cet. 1, Beirut: Nasyr Dâr al-Turâts al-‘Arabî, 1408 H.
6. Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Dâr Shâdir, Beirut.
7. Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârî, Dâr al-Fikr Liththabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, Beirut, 1401 H – 1981 M.
8. Al-Tirmizi, Sunan al-Tirmidzî, riset dan revisi: Abdurrahman Muhammad Utsman, cet. 2, Dâr al-Fikr Liththabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, Beirut, 1403 H – 1983 M.
9. Al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhain, riset: Isyraf: Yusuf Abdurrahman al-Mar’asyali.
Hairi Yazdi, Syaikh Ali, Ilzâm al-Nâshib, Najaf: Muassasah Haqbîn.
10. Al-Husain bin Hamdan, al-Hidâyah al-Kubrâ, Beirut, Muassasah al-Balâgh, 1411 H.
11. Al-Hamawi, Mu’jam al-Buldân, Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, Beirut, 1399 – 1979 M
12. Huwaizi, Abdul’ali, Nûr al-Tsaqalain, cet. 4, Qom: Muassasah Ismâ’iliyân, 1412 H.
13. Khalil bin Ahmad al-Farahidi, al-‘Ain, riset: Dr. Mahdi al-Makhzami dan Dr. Ibrahim al-Samirani, revisi As’ad al-Thayyib, cet. 1, Intisyârât Uswah, Qom, 1414 H.
14. Zubaidi, Muhammad Murtadha, Tâj al-‘Arûs min Jawâhir al-Qâmûs, cet. 1, Beirut: Nasyr Maktabah al-Hayât, tanpa tahun.
15. Sulaiman, Kamil, Yaum al-Khalâsh fî Zhil al-Qâ’im, cet. 2, Qom: Chap-e Ghadîr, 1383 Syamsi.
16. Suyuti, Jalaluddin, Tafsir Dur al-Mantsûr, cet. 1, Beirut: Nasyr Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiyah, 1421 H.
17. Syaikh Mufid, Abi Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Nu’man, al-Irsyâd, cet. 1, Qom: Nasyr al-Mu’tamar al-‘Âlamî Lialfiyah al-Syaikh al-Mufîd, 1413 H.
18. Shafi, Luthfullah, Muntakhab al-Atsar, cet. 2, Qom: Nasyr Muassasah Sayyidah al-Ma’shumah, 1421 H.
19. Shaduq, Abu Ja’far Ali bin Husain bin Babwaih al-Qumi, Kamâl al-Dîn wa Tamâm al-Ni’mah, penerjemah: Mansur Pahlavan, Qom: Dâr al-Hadîts, 1382 Syamsi.
20. Tabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma’ al-Bayân, cet. 1, Beirut: Nasyr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiyah, 1412 H.
21. Turaihi, Fakhruddin, Majma’ al-Bahrain, cet. 2, Tehran: Nasyr al-Tsaqâfah al-Islâmiyah, 1367 Syamsi.
22. Tusi, Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan, al-Ghaibah, cet. 2, Qom: Muassasah Mu’arrif al-Islâmiyah, cet. 1417 H.
23. Qusyairi Naisaburi, Abul Hasan, Shahîh Muslim, cet. 1, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H.
24. Muttaqi Hindi, Ali, Kanz al-‘Ummâl, Beirut, Nasyr Dâr al-Fikr, tanpa tahun.
25. Majlisi, Muhammad Baqir, Bihâr al-Anwâr, cet. 3, Tehran: Maktabah al-Islâmiyah, 1372 Syamsi.
26. Muhammad bin Hasan Tusi, al-Ghaibah, riset: Syaikh Ibadullah Tehrani dan Syaikh Ali Ahmad Nasih, cet. 2, Qom: Muassasah al-Islâmiyah.
27. Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Mâjah, riset: Muhammad Fuad Abdulbaqi, Beirut: Nasyr Dâr al-Fikr.
28. Makarim Syirazi, Nasir, Tafsir Nemuneh, cet. 18, Tehran: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 1378 Syamsi.
29. Nu’mani, Muhammad bin Ibrahim bin Ja’far, al-Ghaibah, terjemahan Muhammad Jawad Gaffari, Tehran: Nasyr Shadûq, 1376 Syamsi.
30. Nuruddin Ali bin Abi Bakr al-Haitsami, Majma’ al-Zawâ’id wa Manba’ al-Fawâ’id, cet. 3, Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, Beirut, 1402 H.


Catatan Kaki:

[1] Yang dimaksud “Syarat-syarat Munculnya” adalah perkara-perkara yang peristiwa kemunculan bergantung kepadanya. Adapun maksud ‘Alâ’im adalah tanda-tanda munculnya Imam Zaman as yang menjelaskan bahwa peristiwa kemunculan itu sudah dekat. Diantara syarat-syarat munculnya adalah adanya sahabat dan pendukung yang cukup, rela berkorban dan dengan ikhlas serta kesiapan umat. Titik persamaan antara syarat-syarat dengan tanda-tanda muncul, terletak pada bahwa kedua-duanya terjadi sebelum Imam Zaman as muncul. Adapun perbedaan dari keduanya, terletak pada beberapa hal dimana sebagiannya adalah:

a). Perkara zhuhur bergantung secara pasti dan nyata terhadap syarat-syarat, yakni tanpa syarat-syarat itu maka ke-zhuhuran Imam Mahdi as tidak akan terjadi, sementara tanda-tanda zhuhur tidak memiliki hubungan sebab-akibat, dengan itu bisa saja terjadi zhuhur tanpa ada sebagian tanda-tandanya. Oleh itu, tanda-tanda itu dibagi menjadi dua: pasti dan tidak pasti.

b). Tanda-tanda zhuhur, adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi secara tersebar di masa kegaiban dan berakhir sebelum bangkitnya Imam Zaman as, dan tidak mesti ada di satu waktu. Adapun mengenai syarat zhuhur, masing-masing merupakan mukadimah yang saling terkait, semuanya punya hubungan pasti dengan perkara zhuhur dan akan terus ada hingga tiba waktu kemunculan Imam Mahdi as.

c). Bisa dikatakan, tanda-tanda punya sisi penyingkapan tentang zhuhur, dan menunjukan akan dekatnya peristiwa itu dan tugas mereka berakhir tatkala muncul, sementara syarat-syarat zhuhur memiliki pengaruh dan efek dalam mewujudkan kemunculan Imam Mahdi as dan ia harus ada walau pada saat terjadinya zhuhur.

d). Syarat-syarat ada dalam program dan planing Allah Swt, dalam artian bahwa Allah Swt dari sejak awal penciptaan manusia, telah ada syarat-syarat zhuhur, berbeda dengan dengan tanda-tanda zhuhur dimana manfaat pentingnya adalah menginformasikan kepada kaum Muslimin akan dekatnya peristiwa zhuhur.

e). Perbedaan-perbedaan berikutnya antara tanda-tanda dengan syarat-syarat adalah bahwa mengenai tanda-tanda zhuhur, bisa diteliti kalau hingga saat ini sudah berapa banyak tanda-tanda yang telah terjadi, akan tetapi mengenai syarat-syarat zhuhur, hal serupa diatas tidak bisa dilakukan padanya karena sebagian syarat-syarat seperti tersedianya sahabat dan pendukung yang cukup dan betul-betul ikhlas, dan orang-orang ini tidak bisa diidentifikasi lantaran manusia tidak punya pengetahuan tentang batin umat manusia dan jumlah mereka di dunia.

[2] Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain, bin Babwaih Qumi, Kamâl al-Dîn wa Tamâm al-Ni’mah, bab 57, hal. 556, hadits 7; Muhammad bin Hasan Tusi, al-Ghîbah; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, hal. 209, hadits 49.

[3] Al-Khalil al-Farahidi, al-‘Ain, jilid 4, hal. 201, kata Khasafa; Ibnu Manzur, Lisân al-‘Arab, jilid 9, hal. 67, kata Khasafa; Fakhruddin, Turaihi, Majma’ al-Bahrain, jilid 1, hal. 646.

[4] Al-Hamawi, Mu’jam al-Buldân, jilid 1, hal. 523; Muhammad Murtadha Zubaidi, Tâj al-‘Arûs min al-Jawâhir al-Qâmûs, jilid 4, hal. 368.

[5] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 372, hadits 26.

[6] Enam kitab hadits Ahlusunnah, antara lain: sahih Muhammad bin Ismail Bukhari (wafat 194-256 H); sahih Muslim bin Hujjaj Qusyairi (wafat 204-261 H); sunan abi Daud sulaiman bin asy’ats sajistani (202-275 H); sunan muhammad bin Isa Tirmizi (209-279 H); sunan Ahmad bin Syua’ib Nasai (215-303 H); dan sunan Ibnu Majah Qazwini (207 atau 209-273 H) dimana diantara semua ini, kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim memiliki kemuktabaran khusus dan setelah al-Qur’an.

[7] Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâri, jilid 3, hal. 19.

[8] Muslim al-Naisaburi, Shahîh Muslim, jilid 8, hal. 167.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Al-Tirmizi, Sunan al-Tirmidzî, jilid 3, hal. 345, hadits 2280; Ibid, hal. 336, hadits 2309. Juga silahkan merujuk: Musnad Ahmad, Imam Ahmad bin HAnbal, jilid 2, hal. 163; Sunan Ibnu Majah, Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, jilid 2, hal. 1350, hadits 4060 dan 4062; al-Mustadrak, Hakim Naisyaburi, jilid 4, hal. 445; Majma’ al-Zawâ’id, al-Haitsami, jilid 8, hal. 11.

[12] Abu Daud, Sunan Abi Daud, jilid 2, hal. 311, hadits 4286. Juga silahkan merujuk: Kanz al-‘Ummâl, al-Muttaqi al-Hindi, jilid 11, hal. 135, hadits 30932; al-Dur al-Mantsûr, Jalaluddin Suyuti, jilid 6, hal. 58.

[13] Ibnu Majah al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, jilid 2, hal. 1351. Juga silahkan merujuk: Kanz al-‘Ummâl, al-Muttaqi al-Hindi, jilid 12, hal. 207, hadits 34687; al-Dur al-Mantsûr, Jalaluddin Suyuti, jilid 5, hal. 341; Musnad Ahmad, al-Imam Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 337.

[14] Syaikh Saduq, Kamâl al-Dîn wa Tamâm al-Ni’mah, jilid 2, bab 57, hal. 553, hadits 1; Syaikh Tusi, al-Ghaibah, hal. 437.

[15] Muhammad Murtadha Zubaidi, Tâj al-‘Arûs, jilid 6, hal. 84.

[16] Fakhruddin Turaihi, Majma’ al-Bahrain, jilid 1, hal. 269.

[17] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 24, hal. 392, hadits 67.

[18] Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâri, jilid 3, hal. 19.

[19] Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 273, hadits 167; Ali Hairi, Ilzâm al-Nâshib, jilid 2, hal. 119.

[20] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 392, hadits 67.

[21] Muslim Naisaburi, Shahîh Muslim, jilid 8, hal. 167.

[22] Ibid.

[23] Ibid.

[24] Fadhl bin Hasan, Tabarsi, Majma’ al-Bayân, jilid 8, hal. 228; Syaikh Ali al-Huwaizi, Tafsir Nûr al-Tsaqalain, jilid 4, hal. 343; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 186.

[25] Ibid, hal. 273; Ali Hairi, Ilzân al-Nâshib, jilid 2, hal. 119.

[26] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 392, hadits 67.

[27] Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârî, jilid 3, hal. 19.

[28] Ibid.

[29] Ibid.

[30] Fadhl bin Hasan, Tabarsi, Majma’ al-Bayân, jilid 8, hal. 228; Syaikh Ali al-Huwaizi, Tafsir Nûr al-Tsaqalain, jilid 4, hal. 343; Ibnu Hammad, al-Fitan, hal. 425; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 187.

[31] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 392, hadits 67; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 238.

[32] Ali Hairi, Ilzân al-Nâshib, jilid 2, hal. 119.

[33] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 392, hadits 67.

[34] Kamil Sulaiman, Yaum al-Khalâsh, hal. 592.

[35] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 392, hadits 67.

[36] Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 187.

[37] Al-Husain bin Hamdan, al-Hidâyah al-Kubrâ, hal. 398; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 273; Ali Hairi, Ilzâm al-Nâshib, jilid 2, hal. 119.

[38] Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 250; Ali Hairi, Ilzâm al-Nâshib, jilid 2, hal. 10.

[39] Qs. An-Nisâ: 47; Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 392, hadits 67.

[40] Ali Hairi, Ilzâm al-Nâshib, jilid 2, hal. 198; Shafi Gulpaigani, Muntakhab al-Atsar, hal. 565.

[41] Ibnu Jarir al-Tabari, Jâmi’ al-Bayân, jilid 22, hal. 129; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 187; Shafi Gulpaigani, Muntakhab al-Atsar, hal. 565.

[42] Shafi Gulpaigani, Muntakhab al-Atsar, hal. 565.

[43] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 18, hal. 423, hadits 14; Makarim Syirazi dkk, Tafsir Nemuneh, jilid 18, hal. 152.

[44] Al-Syaikh Ali al-Huwaizi, tafsir Nûr al-Tsaqalain, jilid 4, hal. 343; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 86; Kamil Sulaiman, Yaum al-Khalâsh, hal. 451.

[45] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 393, hadits 67; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 238.

[46] Syaikh Tusi, al-Ghaibah, hal. 436; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 209.

[47] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 391, hadits 67; Syaikh Tusi, al-Ghaibah, hal. 442, hadits 434.

[48] Ibid, bab 18, hal. 424, hadits 16; Ibid, hal. 461, hadits 476.

[49] Syaikh Tusi, al-Ghaibah, hal. 461, hadits 476; Abi Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Nu’man, Syaikh al-Mufid, al-Irsyâd fî Ma’rifah Hujajillâh ‘alâ al-‘Ibâd, jilid 2, hal. 378; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 221, hadits 16.

(Shafei-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Perbedaan Mendalam Antara Mazhab Syafi’i Dengan Wahabi


Rektor Universitas Mazâhib Islâmî menuturkan, “Imam Syafi’i punya atensi terhadap masalah takfiri, beliau sendiri menghindarinya dan juga mengingatkan kepada para pengikutnya jangan sampai terjerumus dalam lingkaran kelompok takfiri, dengan itu, beliau coba melakukan pengembangan dan perluasan lingkaran kaum Muslimin. Imam Syafi’i telah mengantarkan umat Islam ke arah umat yang satu dan mencegah dari mengkafirkan sesama kaum Muslimin.”

Menurut laporan bagian Humas Universitas Mazâhib Islâmî, pada hari rabu tanggal 24 mei 2017 telah berlangsung seminar internasional di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Indonesia, dengan tema “Peran Imam Syafi’i Melawan Pemikiran-pemikiran Takfiri”, hasil kerjasama Universitas Mazâhib Islâmî dan Markaz Besar Islam Wilayah Barat Iran.

Rombongan ulama dan pemikir Islam Iran yang terdiri dari Ayatullah Sayid Husaini Shahrudi, pimpinan Markaz Besar Islam Wilayah Barat Iran sekaligus Wakil Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam di provinsi Kurdistan, Hujjatul Islam wal Muslimin Dr. Muhammad Husain Mukhtari, rektor Universitas Mazâhib Islâmî, dan juga Dr. Ibrahimiyan, mantan atase kebudayaan Iran di Indonesia, yang sengaja datang ke Indonesia guna mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh-tokoh agama, pimpinan-pimpinan unversitas dan ulama-ulama Ahlusunnah Indonesia, turut hadir dan menyampaikan pidato dalam seminar “Peran Imam Syafi’i Melawan Pemikiran-pemikiran Takfiri”, yang berlangsung pada hari rabu tanggal 24 mei 2017.


Adapun isi pidato Dr. Mukhtari pada seminar yang bertemakan “Peran Imam Syafi’i Melawan Pemikiran-pemikiran Takfiri” ini sebagai berikut:


Perbedaan Mendalam antara Mazhab Syafi’i dengan Wahabi

Diantara persoalan-persoalan yang saat ini sangat ditekankan oleh kelompok Wahabi adalah mereka berusaha mensosialisasikan pandangan-pandangan tauhid Wahabi dalam frame pemikiran dan konsep tauhid Imam Syafi’i ke dunia Ahlusunnah. Nah, buku-buku itu adalah hasil pemikiran tauhid Muhammad bin Abdul Wahab yang untuk menjelaskannya, mereka coba mencomot bukti-bukti dan referensi-referensi dari berbagai karya-karya ulama dan tokoh mazhab Syafi’i. mereka susun buku itu sedemikian rupa sehingga tatkala seseorang melihatnya maka ia langsung membayangkan bahwa betul-betul akar pemikiran Wahabi dalam masalah tauhid kembali kepada pandangan-pandangan Imam Syafi’i, padahal tidak demikian. Pandangan-pandangan Wahabi dalam masalah tauhid betul-betul berbeda dan berseberangan dengan konsep tauhid Imam Abu Hamid Ghazali syafi’i dan Imam Fakhruddin razi syafi’i, dan kalau memang konsep pemikiran tauhid Wahabi benar-benar sejalan dan sesuai dengan Imam Syafi’i lantas kenapa saat ini ditemukan begitu banyak tesis-tesis dan hasil penelitian yang bertemakan menolak konsep tauhid ulama-ulama Syafi’i di universitas-universitas di Saudi dan sekitar dua puluh risalah penelitian yang ditulis dengan tema menolak Imam Fakhruddin Razi.

Makanya, terdapat perbedaan-perbedaan dan kontradiksi yang begitu jauh antara mazhab Syafi’i dan firqah Wahabi dimana selain masalah diatas, kita akan coba sajikan beberapa perbedaan antara mazhab Syafi’i dan Wahabi berikut ini:

Perlu anda ketahui bahwa perbedaan dan kontradiksi yang ada antara mazhab Syafi’i dan Wahabi, lebih banyak dan bahkan lebih dalam dibanding perbedaan antara mazhab-mazhab lainnya. Ibnu Taimiyah dalam bukunya Ziyârah al-Qubûr terangan-terangan menyebutkan, “Apabila seseorang datang ke kuburun seorang nabi atau seorang saleh dan meminta hajatnya dan seterusnya, maka sungguh itu adalah perbuatan syirik nyata dan orang itu harus bertaubat dan jika tidak maka harus dibunuh.”[1]

Muhammad bin Abdul Wahab lebih ekstrim lagi dibading Ibnu Taimiyah. Ia berkata, “Barang siapa meminta syafaat dari malaikat, nabi-nabi dan wali-wali dan dengan wasilah ini mereka hendak dekat dengan Allah Swt, maka halal darah dan hartanya.”[2]

Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri sekte wahabi, berkata, “Agama dan Islam seseorang sama sekali tidak benar kecuali ia menjauhi orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan cara bertawasul kepada orang-orang saleh dan mengkafirkan mereka.”[3]

Ia juga menyebutkan, “Barang siapa yang membuat perantara antara dia dengan Allah Swt, maka orang itu telah kafir dan murtad serta halal darah dan hartanya.”[4]

Zaini Dahlan, salah satu ulama besar Syafi’i, menuliskan, “Muhammad bin Abdul Wahab adalah orang yang membuat bid’ah ini. Dia menyampaikan khutbah di mesjid Dar’iyah pada hari jumat dan di setiap khutbahnya mengatakan, “Barang siapa yang bertawasul kepada Nabi Muhammad saw maka dia telah kafir.” Saudaranya, Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab, seorang ulama dan ahli ilmu, sangat mengingkarinya dan sama sekali tidak mengikuti satupun bid’ah yang dibuat saudaranya itu. Suatu hari Sulaiman bertanya kepada saudaranya, “Hai Muhammad bin Abdul Wahab, rukun Islam ada berapa?! Ia menjawab, “Ada lima.” Saudaranya berkata, “Tapi kamu menganggap rukun Islam ada enam, dan keenamnya adalah barang siapa yang tidak mengikuti kamu maka orang itu bukan Muslim, jadi rukun yang keenam itu adalah kamu.”[5]

Juga dalam bukunya, al-Fitnah al-Wahhabiyah, telah menukil riwayat berikut dari Sahih Bukhari dan menganalisanya seperti berikut:

Dalam Sahih Bukhari telah diriwayatkan sebuah hadits dari Nabi saw. Beliau bersabda, “Sekelompok manusia akan bangkit dari arah timur dan mereka membaca al-Qur’an tapi mereka tidak dapat mengambil manfaat apa-apa dari al-Qur’an. Kelompok ini telah keluar dari agama layaknya anak panah lepas dari induk panahnya dan juga mereka tidak akan kembali ke agama seperti halnya anak panah tidak akan kembali lagi ke busurnya. Rasulullah saw ditanya, “Apa ciri dari kelompok ini?” Beliau bersabda, “Ia dikenal kepala dibotak atau digundul.”[6]

Zaini Dahlan setelah menukil hadits ini dari Sahih Bukhari, ketika mencocokkannya dengan Wahabi ia berkata, “Jadi ucapan Nabi saw ini yang menganggap bahwa ciri-ciri jelas kelompok ini adalah kepala dibotak atau digundul, jelas-jelas mengisyaratkan kepada kelompok Wahabi karena satu-satunya kelompok yang memerintahkan pengikutnya untuk menggundul kepala dan sifat ini sama sekali tidak ditemukan di satupun aliran-aliran Khawarij dan pembuat bid’ah sebelum Wahabi muncul.”[7]

Juga dalam kitab al-Durar al-Sunniyah Fî Rad ‘alâ al-Wahhabiyah pada lanjutan pembahasan seputar hadits ini menuliskan, “Mereka (kelompok Wahabi) memerintahkan kepada mereka yang mengikutinya untuk menggundul kepala dan mereka tidak akan membiarkannya begitu saja kecuali orang itu menggundul kepalanya, dan ciri khas ini sama sekali tidak pernah ada di mazhab atau aliran manapun sebelum-sebelumnya, jadi bisa disimpulkan bahwa hadits ini secara transparan menjelaskan tentang kelompok Wahabi.”[8]

Samanhudi –seorang ulama besar Syafi’i dan wafat tahun 911 H– punya buku tersendiri bernama Wafâ al-Wafâ yang berisi tentang bolehnya ziarah kubur Nabi saw, tawasul, istigasah dan meminta syafaat Rasulullah saw, mengatakan, “Bahwa Orang-orang bertawasul kepada Nabi saw dan menjadikan beliau sebagai perantara, tidak termasuk perbuatan syirik. Rasulullah saw atas izin Allah Swt, akan menjadi perantara bagi orang-orang dan akan memberi syafaat kepada mereka.”

Sebagaimana halnya Nabi Isa as dengan izin Allah Swt, telah menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang yang buta bawaan serta menghidupkan burung yang terbuat dari tanah liat. Semua itu dilakukan atas izin Allah Swt dan itu bukan perbuatan syirik. Apabila Nabi saw memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, langsung atau melalui perantara dan dengan izin Allah atau dengan memohon kepada Allah Swt.

Beliau menyebutkan bahwa tawasul kepada Nabi saw, pada hakikatnya bertawasul kepada Allah Swt. Meminta kepada Nabi saw sama dengan meminta kepada Allah Swt, karena apa yang dimiliki Nabi saw semuanya berasal dari Allah Swt. Kalau kelompok Wahabi menyamakan tawasul kepada Nabi saw dengan menyembah berhala, maka itu adalah perbuatan yang mencoreng kesucian Nabi saw.


Haram Mengkafirkan dalam Kacamata Imam Syafi’i

Syafi’i mengatakan, “Tidak ada seorang pun ahli kiblat yang boleh dikafirkan kecuali mereka yang meyakini Allah Swt adalah jism dan mengingkari akan ilmu Allah Swt terhadap hal-hal yang paling rinci sekalipun.”[9]

(kitab tauhid) kewajiban-kewajiban paling awal adalah mengenal Allah Swt, meyakini keniscayaan eksistensi-Nya, keesaan-Nya, ke-qadim-an-Nya, ketidakserupaan-Nya, ketidakmiripan-Nya. Allah Swt dengan asma dan sifat-sifat zat-Nya dan ilmu parsial dan universal-Nya terhadap segala perkara, bersifat kekal.

Meyakini bahwa Allah Swt mengutus rasul-rasul-Nya sebagai pembawa berita gembira dan berita ancaman demi menyempurnakan hujah-Nya dan demi memperjelas jalan kebenaran. Beriman kepada qadar, baik dan buruk, manis dan pahitnya, beriman kepada yang gaib dan segala apa yang tidak nampak oleh penglihatan kita dan Allah Swt Yang Maha Benar telah mengabarkan tentang kondisi-kondisi alam barzakh, alam mahsyar, hari pemberian ganjaran pahala dan siksa, Surga dan Neraka. Seseorang tidak boleh mengkafirkan ahli kiblat lantaran ia melakukan sebuah dosa dan menganggapnya kekal di Neraka. Hendaklah kita menghindari pertikaian dan konflik dan menjelaskan ucapan-ucapan benar mereka dengan penuh perasaan. Semoga Allah Swt menempatkan kita dan mereka di Surga-surga-Nya.[10]

Mutawalli mengatakan, “Kalau seorang Muslim berkata, Hai kafir! Tanpa menjelaskannya maka ia telah kafir lantara ia telah menyebut Islam itu kafir. Tekad kuat dan pasti untuk menjadi kafir di masa mendatang menyebabkan kafir pada saat sekarang, begitupula ragu bahwa kedepannya akan kafir atau tidak bisa menyebabkan kafir pada saat ini. Seperti halnya mengatakan, “Apabila harta dan anak saya binasa, saya akan menjadi seorang Yahudi atau Nasrani”. Ia berkata, “rela dengan kekafiran dapat menyebabkan kafir, bahkan jika seorang kafir hendak menjadi seorang Muslim maka akan diminta untuk mentalqinkan kepadanya kalimat tauhid, dan ia tidak melakukan ini atau mengisyaratkan kepadanya supaya tidak masuk Islam dan atau mengisyaratkan kepada seorang Muslim untuk murtad, maka ia telah kafir. Berbeda ketika dikatakan kepada seorang Muslim, “Semoga Allah Swt mencabut iman darinya!” Atau mengatakan kepada seorang kafir, “Semoga Allah Swt tidak menganugerahkan iman kepadanya!” Kedua hal ini tidak termasuk kufur karena bukan misdaq dari senang dan ridha dengan kekufuran, bahkan bentuk laknat kepadanya dan supaya diperparah siksaannya. Tentu Qadhi Husain dalam buku Al-Fatâwâ menyebutkan dalil yang agak lemah dimana barang siapa yang berkata kepada seorang Muslim, “Semoga Allah Swt mencabut imannya!” maka ia telah kafir.[11]

Wallahu A’lam.


Apabila seseorang berkata kepada seorang Muslim, “Kalau seorang Muslim berkata, Hai kafir! Tanpa menjelaskannya maka ia telah kafir lantara ia telah menyebut Islam itu kafir.”[12]

Begitu juga Imam Syafi’i (ra) menyebutkan, “Saya menerima kesaksian seluruh ahli bid’ah kecuali Khaththâbiyah karena mereka membolehkan kesaksian palsu dan bohong terhadap orang-orang yang sepakat dengan mereka.”[13]


Kesimpulan:

Dari materi-materi yang dikaji dan dibahas diatas, telah mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa Imam Syafi’i punya atensi terhadap masalah takfiri, beliau sendiri menghindarinya dan juga mengingatkan kepada para pengikutnya jangan sampai terjerumus dalam lingkaran kelompok takfiri, dengan itu, beliau coba melakukan pengembangan dan perluasan lingkaran kaum Muslimin. Imam Syafi’i telah mengantarkan umat Islam ke arah umat yang satu dan mencegah dari mengkafirkan sesama kaum Muslimin.

Imam Syafi’i juga menjelaskan poin bahwa jangan sekali-kali dan jangan pernah mengkafirkan ahli kiblat, kendati bisa jadi terdapat perbedaan pandangan pada sebagian masalah cabang-cabang (furû’) agama, karena hal yang mengumpulkan dan menyatukan seluruh elemen di bawah payung agama Islam adalah ucapan kalimat syahadatain dan ahli kiblat, dan apabila seseorang punya dua karakter ini maka tidak boleh mengkafirkannya. Sangat jelas Imam Syafi’i menentang kelompok takfiri dan beliau tidak hanya melakukan pembelaan terhadap Ahlulbait as tapi juga terhadap para pengikut Ahlulbait as, beliau melakukan hal yang sama, dan kalau pandangan-pandangan fikih beliau diterapkan maka betapa banyak problem-problem dunia Islam dapat terselesaikan.


Referensi:

1. Ibnu Abi Ya’la, Thabaqât al-Hanâbilah, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H.
2. Ibnu al-Mulqin, Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Ali, al-Tadzkirah fî al-Fiqh al-Syâfi’î Libni al-Mulqin, periset: Muhammad Hasan Ismail, Beirut, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1427 H.
3. Ibnu al-Nadim, Abul Faraj Muhammad bin Ishaq, al-Fahrast, Beirut, Dâr al-Ma’rifah, 1417 H.
4. Abu al-Muzhaffar, Thahir bin Muhammad al-Asfarayaini, al-Tabshîr fî al-Dîn wa Tamyîz al-Firqah al-Nâjiyah ‘an al-Firaq al-Hâlikîn, peneliti: Kamal Yusuf al-Haut, Libanon, ‘âlam al-Kutub, 1403 H.
5. Abi Hanifah, al-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi bin Mah, al-Fiqh al-Akbar (mathbû’ ma’a al-Syarh al-Muyassar ‘alâ al-Fiqhain al-Absath wa al-Akbar al-Mansubain liabî Hanîfah, karya Muhammad bin Abdurrahman al-Khamis), al-‘Imârât al-‘Arabiyah, Maktabah al-Furqân, 1419 H.
6. Al-Adzra’i al-Shalihi, Shadruddin Muhammad bin ‘Alauddin, Syarh al-‘Aqîdah al-Thahâwiyah, periset: Syu’aib al-Arnûth dan Abdullah bin al-Muhsin al-Turki, Beirut, Muassasah al-Risâlah, 1417 H.
7. Al-Azdari, Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan, Jumhuruhu al-Lughah, jilid 2, periset: Ramzi Munir Ba’labaki, Beirut, Dâr al-‘Ilm Lilmayiîn, 1987 M.
8. Al-Baghdadi al-Tamimi, Abdul Qahir bin Thahir, al-Farq baina al-Firaq wa Bayân al-Firqah al-Nâjiyah, Beirut, Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, 1977 M.
9. Al-Turki, Abdullah bin Abdul Muhsin, Mujmal I’tiqâd Aimmah al-Salaf, Kerajaan Arab Saudi: Wizârah al-Syu’ûn al-Islâmiyah wa al-Auqâf wa al-Da’wah wa al-Irsyâd, 1417 H.
10. Jauzi, Jamaluddin Abul Faraj, al-Muntazham fî Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, jilid 6, Beirut, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1412 H.
11. Al-Husaini, Muhammad bin Muhammad, Tâj al-‘Arûs min Jawâhir al-Qamûs, jilid 14, peneliti: oleh sejumlah peneliti, Dâr al-Hidâyah, tanpa tahun.
12. Al-Khathîb al-Baghdadi, Abu Bakar Ahmad bin Ali, Târîkh Baghdâd, jilid 15, peneliti: Dr. Basyar ‘Iwad Ma’ruf, Beirut, Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1422 H.
13. Al-Khamis, Muhammad bin Abdurrahman, Ushûluddîn ‘Inda al-Imâm Abî Hanîfah, Kerajaan Saudi Arabia, Dâr al-Shamî’i, tanpa tahun.
14. Raghib al-Ishfahani, Abul Qasim al-Husain bin Muhammad, Muhâdharât al-Udabâ wa Muhâwarât al-Syu’arâ wa al-Bulaghâ, jilid 2, Beirut, Syirkah Dâr al-Arqam bin Abî al-Arqam, 1420 H.
15. Al-Radhawi, Murtadha, Ârâ ‘Ulamâ al-Muslimîn fî al-Taqiyah wa al-Shahâbah wa Shiyânah al-Qur’ân al-Karîm, Beirut, al-Irsyâd liththabâ’ah wa al-Nasyr, 1411 H.
16. Al-Zuhaili, Wahbah bin Mushthafa, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Damaskus, Dâr al-Fikr, tanpa tahun.
Zaidan, Yusuf, al-Lâhût al-‘Arabî wa Ushûl al-‘Unf al-Dînî, Kairo, Dâr al-Syurûq, 2010 M.
17. Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H.
18. Al-Sya’rani, Abdul Wahab, al-Yawâqît wa al-Jawâhir fî Bayân ‘Aqâ’id al-Akâbir, jilid 1, Beirut, Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, 1418 H.
19. Abdul Wahab Ali Jum’ah Muhammad, al-Madkhal ilâ Dirâsah al-Madzâhib al-Fiqhiyah, Kairo, Dâr al-Salâm, 1422 H.
20. Al-Asqalani, Abul Husain Malathi, al-Tanbîh wa al-Rad ‘alâ Ahl al-Ahwâ wa al-Bid’i, peneliti: Muhammad Zahid bin Hasan al-Kautsari, Mesir, Maktabah al-Azhariyah li al-Turâts, tanpa tahun.
21. Fakhruddin al-Razi, Abu Abdillah Muhammad bin Umar, Mafâtîh al-Ghaib (tafsir al-Kabîr), Beirut, Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, 1420 H.
21. Gurji, Abul Qasim, Târîkh Fiqh wa Fuqahâ, Teheran, Samt, 1421 H.
22. Masykur, Muhammad Jawad, Farhangg-e Firaq Islâmî, Mashad, Astân-e Quds Razavi, 1372 Syamsi.
23. Nu’mani, Syibli, Târîkh-e ‘Ilm-e Kalâm (diterjemahkan oleh Sayid Muhammad Taqi Fakhr Da’i), Teheran, Asâthîr, 1386 Syamsi.
24. Al-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf, Raudhah al-Thâlibîn wa ‘Amduhâ al-Muftîn, peneliti: Zuhair al-Syawisy, al-Maktab al-Islâmî, 1412 H.


Catatan Kaki:

[1] Ziyârah al-Qubûr wa al-Istinjâd bi al-Maqbûr, hal. 156.
[2] Kasyf al-Syubuhât, hal. 58.
[3] Majmû’ah Muallifât Muhammad bin Abdulwahhab, jilid 6, hal. 188.
[4] Majmû’ah Muallifât Muhammad bin Abdulwahhab, jilid 6, hal. 147.
[5] Al-Durar al-Sunniyah fî al-Rad ‘alâ al-Wahhâbiyah, Ahmad Zaini Dahlan, hal. 39.
[6] Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, Dâr al-Fikr, Beirut, 1401 H, jilid 8, hal. 218, Kitab Tauhid, Bab Qirâ’at al-Fâjir wa al-Munâfiq, Ibnu Majah Qazwini, Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, Muhammad Fuad Abdul Baqi (penelitian), Dâr al-Fikr, Beirut, jilid 1, hal. 62, al-Wahhâbiyah, Maktabah al-Haqîqah, Istambul, cetakan baru.
[7] Zaini Dahlan Syafi’i, Al-Durar al-Sunniyah fî al-Rad ‘alâ al-Wahhâbiyah, Maktabah Îsyîq, Istambul, 1396 H, hal. 50; Zaini Dahlan, Fitnah al-Wahhabiyah, cet. 1, hal. 19.
[8] Al-Durar al-Sunniyah fî al-Rad ‘alâ al-Wahhâbiyah, Ahmad Zaini Dahlan, hal. 50.
[9] Syafi’i, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir.
[10] Al-Tadzkirah.
[11] Nawawi, Raudhah al-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, jilid 3.
[12] Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Husaini Hushni Dimasyq Syafi’i, Kifâyah al-Akhyâr fî Hall Ghâyah al-Ikhtishâr, jilid 2.
[13] Majmû’ah Nawawi, jilid 4, hal. 254; Syarh Shahih Muslim, jilid 1, hal. 60; al-Bahr al-Râ’iq, jilid 1, hal. 613; Hâsyiah Rad al-Mukhtâr Ibn ‘Âbidîn, jilid 4, hal. 422.

(Shafei-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: