Bagi setiap penganut agama, konsep mesianisme atau ideologi agama yang mengajarkan tentang “the ultimate salvation of human race” (penyelamatan akhir bangsa manusia) dari kenistaan, penindasan dan kehancuran melalui seorang manusia pilihan Tuhan, bukan suatu hal yang aneh dan mengejutkan. Lima agama besar yang mendominasi dunia—termasuk Islam—menyatakan bahwa mereka meyakini konsep mesianisme.
Sedikit
yang kita ketahui bahwa ajaran agama Hindu dan Budha ternyata memiliki
figur mesianistik. Pada salah satu teks kuno India, yaitu Visnu Purana,
disebutkan bahwa di penghujung periode kali Yuga (era terburuk dari
era-era sebelumnya), akan datang seorang kalki atau “Sang Penunggang”
yang merupakan “the tenth avatar” atau inkarnasi kesepuluh dari Wisnu.
Menurut riwayat, Kalki akan datang ke dunia sambil menunggangi seekor
kuda putih dan menggenggam sebilah pedang api untuk menumpas segala
bentuk kejahatan dan mengembalikan nilai-nilai kesucian.
Sedangkan
menurut ajaran Budha, disebutkan bahwa Siddhartha Gautama meramalkan
datangnya seorang Budha yang lain atau the Buddha to come di masa yang
akan datang. Budha yang akan datang ini bernama Mettaya (dalam bahasa
Sansekerta disebut; Maitreya), artinya adalah “cinta”. Menurut riwayat,
Sang Mettaya akan datang untuk menegakkan sebuah kerajaan ideal dimuka
bumi. Sebuah kerajaan yang akan memerintah dengan keadilan dan penuh
kedamaian.
Agama-agama
samawi atau ajaran yang berpangkal kepada figur Ibrahim seperti Yahudi,
Kristen dan Islam juga meyakini akan datangnya seorang Mesiah. Umat
Yahudi, melalui ajaran Tanakh mempercayai akan datangnya seorang Mesiah
Tuhan untuk menegakkan agama, kerajaan Tuhan dan keadilan di muka bumi.
Demikian pula halnya dengan umat Kristen. Dalam ajaran Bibel, mereka
mempercayai kedatangan Yesus yang kedua untuk menegakkan “The Heavenly
Kingdom on earth” atau Kerajaan Surga di bumi dengan kebenaran dan
keadilan.
Umat
Islam melalui ajaran Kitab Suci Al-Qur’an dan hadis-hadis Baginda
Rasulullah saw, juga meyakini akan datangnya seorang manusia yang
bergelar al-Mahdi menjelang akhir zaman untuk menegakkan ajaran Islam
dan kebenaran, menuai kebatilan serta menabur keadilan. Banyak riwayat
hadis-hadis Nabi saw yang telah dicatat oleh para perawi hadis kelas
pertama Suni dan Syiah tentang kedatangan al-Mahdi untuk menyelamatkan
Islam dan pengikutnya dari keterpurukan dan kehancuran.
***
Dalam
ilmu-ilmu keislaman ada sebuah bidang studi perbandingan agama yang
sering disebut dengan ilmu Kristologi. Ilmu ini merupakan studi kristis
para cendikiawan Islam terhadap agama Yahudi dan Kristen. Mereka
mempelajari secara mendalam teks-teks al-Kitab dan hal-hal yang terkait
dengan akidah dua agama tersebut. Kata Kristologi sendiri
tidak memberikan arti bahwa ilmu ini hanya mempelajari agama Kristen
semata-mata, tetapi membahas teologi, filsafat, bahasa dan sejarah
bangsa Israel dan ideologi Yahudi. Dari sisi etimologi, Kristologi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu: “Kristos” dan “Logos”. “Kristos”
berarti yang diurapi atau “Messiah” menurut lisan bangsa Semit,
sedangkan Logos artinya adalah ilmu.
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa salah satu bagian yang tidak terpisahkan
dari Kristologi adalah mempelajari ke-Mesiah-an atau nubuat-nubuat
al-Kitab yang membicarakan tentang figur-figur Mesianistik atau
orang-orang yang diurapi Tuhan. Almarhum Syaikh Ahmad Deedat dan
Profesor Abdul Ahad Dawud merupakan dua pakar dan figur legendaris Islam
dalam bidang Kristologi. Ilmu ini mempelajari nubuat-nubuat penting
yang menyatakan tentang kedatangan Nabi Muhammad saw dalam al-Kitab.
Melalui
pengantar yang singkat ini, kita tidak akan membahas secara
komprehensif nubuat-nubuat mesianistik dalam al-Kitab. Namun, dengan
metode pendekatan yang sama sebagaimana digunakan oleh para Kristolog
Muslim untuk membuktikan kebenaran nubuat-nubuat Nabi Muhammad saw dalam
al-Kitab, kita juga akan mengaplikasikan cara serupa untuk membuktikan
nubuat-nubuat kedatangan Imam al-Mahdi dalam al-Kitab.
Dalam
hal ini, bukan sebuah rahasia bahwa berdasarkan doktrin dan keyakinan
umat Yahudi terhadap al-Kitab, umat Yahudi sendiri sesungguhnya
mempercayai akan munculnya dua figur mesianistik: pertama adalah
kedatangan “Sang Nabi Elia”; sedangkan kedua adalah kedatangan “Sang
Mesiah Tuhan” yang menurut kepercayaan mereka berasal dari suku Yehuda
keturunan Nabi Daud as.
Berkenaan
dengan figur mesianistik pertama atau orang yang disebut dengan “Sang
Nabi Elia”, dijelaskan bahwa dia akan datang sebelum kedatangan “Sang
Mesiah Tuhan”. Hal ini telah dinubuatkan dalam kitab terakhir Perjanjian
Lama yang disebut sebagai Maleakhi atau Malakhai. Ayatnya adalah
sebagai berikut:
Lihat,
Aku menyuruh utusan-Ku, supaya ia mempersiapkan jalan di hadapan-Ku!
Dengan mendadak ADON (Tuan) yang kamu cari itu akan masuk ke bait-Nya! (Maleakhi 3: 1)
Dan pada ayat selanjutnya:
Sesungguhnya Aku akan mengutus Nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari tuhan yang besar dan dahsyat itu. (Maleakhi 4: 5).
Perlu
diketahui terlebih dahulu bahwa berdasarkan catatan historis al-Kitab,
Elia[1] adalah seorang nabi Tuhan yang pernah mengunjungi bangsa Israel
di masa lalu. Dia datang tidak lama setelah terpecahnya kerajaan Israel
Raya menjadi dua wilayah kekuasaan selepas wafatnya Nabi Sulaiman as.
Dua kerajaan itu adalah Kerajaan Yudea di Selatan dengan ibukota bernama
Yerusalem dan Kerajaan Samaria di Utara dengan ibukota bernama Sikhem.
Menurut
al-Kitab, Nabi Elia as adalah nabi Tuhan yang muncul di kerajaan Israel
Utara. Dia berdakwah, menegur para penguasa dan menumpas para penyembah
Baal yang merupakan nabi-nabi palsu yang berkembang luas di wilayah
tersebut. Misi kenabian Elia sarat dengan mukjizat Allah. al-Kitab
meriwayatkan beberapa mukjizatnya yang terbesar, yaitu menahan hujan
hingga dia menghendakinya,[2] Tuhan memberinya makan melalui
burung-burung gagak yang mengantarkan roti kepadanya,[3] menghidupkan
orang mati[4] dan menurunkan api dari langit.[5] Ketika Elia as wafat,
Tuhan mengangkat ruh beserta tubuhnya ke langit, sehingga Elia as tidak
dikuburkan di bumi.[6] Berkaitan dengan nubuat Maleakhi tersebut, dia
menjanjikan bahwa “Sang Nabi Elia” akan muncul untuk yang kedua kalinya
sebelum tibanya Hari Tuhan yang besar dan dahsyat. Maleakhi, Sang
Pemberi nubuat, hidup ratusan tahun setelah periode Nabi Elia as.
Oleh
sebab itu, janji Maleakhi sesungguhnya mengindikasikan kepada nubuat
mesianistik. Sekalipun hidup ratusan tahun setelah Nabi Elia as, tapi
Maleakhi masih tetap menjanjikan datangnya “Sang Nabi Elia” yang kedua
setelah kedatangannya yang pertama di masa lalu.
Figur
mesianistik kedua menurut kepercayaan umat Yahudi adalah Sang Mesiah
Tuhan. Umat Yahudi sangat menghormatinya dan al-Kitab sendiri memang
memberikan kedudukan yang amat tinggi dan terpuji untuknya. Setiap nabi
dan rasul Tuhan yang mengunjungi bangsa Israel selalu mengingatkan
mereka akan kedatangannya di kemudian hari. Menurut al-Kitab, Sang
Mesiah adalah sosok sempurna makhluk Tuhan, pendekar langit sejati,
putra Tuhan (baca: nabi atau rasul) yang sulung; para malaikat dan
penghuni langit kerap memujinya, senyampang penghuni bumi bangga dan
menanti kehadirannya.
Demi
kecintaan Tuhan kepadanya, al-Kitab memberitahukan bahwa Tuhan akan
meremukkan setiap makhluk ciptaan-Nya yang menyombongkan diri di hadapan
Mesiah-Nya. Dalam al-Kitab, Sang Mesiah diberi gelar Adon yang dalam
bahasa Ibrani berarti “Tuan”. Kitab Mazmur mencatat sebuah nubuat agung
tentang Sang Mesiah yang dipanggil oleh Nabi Daud as sebagai “Tuanku”:
Demikianlah firman Tuhan kepada Tuanku: “Duduklah di sebelah kananKu, sampai Kubuat musuh-musuhmu menjadi tumpuan kakimu.” (Mazmur 110:1)
Sedangkan Nabi Yesaya as pada salah satu nubuatnya mengenai Sang Mesiah menyatakan sebagai berikut:
Sebab
seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan
untuk kita, lambang pemerintahan ada diatas bahunya, dan namanya
disebut orang: Penasehat Ajaib, Allah Yang Perkasa, Bapa yang kekal,
Raja Damai. (Yesaya 9: 5)
Nabi Yesaya as juga menubuatkan bahwa Sang Mesiah akan menghancurkan berhala dan mengalahkan para penyembahnya:
Orang-orang
yang percaya kepada patung pahatan akan berpaling ke belakang dan
mendapat malu, yaitu: orang-orang yang berkata kepada patung tuangan:
“kamulah allah kami!”
Nabi
Hagai as dalam sebuah nubuatnya menyatakan bahwa kedatangan Sang
Mesiah akan menggoncangkan segenap bangsa di dunia, lantaran dia akan
mengokohkan Rumah Tuhan serta memberikan damai sejahtera untuk
selama-lamanya:
Aku
akan menggoncangkan segala bangsa, sehingga HIMDAH[7] kepunyaan dari
segala bangsa akan datang mengalir, maka Aku akan memenuhi Rumah ini
dengan kemegahan, …Adapun Rumah ini, kemegahannya yang kemudian akan
melebihi kemegahannya yang semula,…dan ditempat ini Aku akan memberi
damai sejahtera [syalom; atau salam], demikianlah firman Tuhan semesta
alam. (Hagai 28-10)
Demikianlah sekilas ungkapan penghormatan dari al-Kitab kepada Sang Mesiah.
***
Menurut
keyakinan umat Yahudi hingga saat ini, Sang Mesiah yang dijanjikan
dalam al-Kitab itu belum kunjung tiba dan demikian pula halnya dengan
“Sang Nabi Elia”. Konsep ini jelas berbeda dengan ajaran Kristen, karena
komunitas yang meyakini kenabian dan kerasulan Isa as serta Kitab Injil
menyatakan bahwa Yesus adalah Sang Mesiah Tuhan yang pernah dinubuatkan
dalam al-Kitab tersebut.
Kita tentu tidak akan membahas materi di atas secara mendalam. Yang
jelas, selain banyaknya masalah kerancuan pemberitaan Kitab-kitab Injil
Kanonik Kristen saat ini, klaim Kristen yang menyatakan bahwa Yesus
adalah Mesiah keseluruhan umat manusia ternyata telah memunculkan
kontradiksi yang luar biasa dalam konteks pemahaman terhadap sejumlah
nubuat al-Kitab itu sendiri. Kerancuan itu bersumber pada kenyataan
bahwa apabila Yesus adalah Sang Mesiah, maka siapakah “Elia” yang akan
datang itu? Mengenai hal ini, umat Kristen menyatakan bahwa Yohanes
Pembaptis (Yahya as) adalah “Sang Nabi Elia” yang pernah dinubuatkan
oleh Maleakhi.
Namun,
di sinilah letak kerancuan konteks nubuat yang dimaksudkan, mengingat
Injil Yohanes mencatat sebuah dialog yang terjadi antara Yohanes
Pembaptis dengan para Imam Yahudi dan pemuka suku Lewi. Di kala itu,
Yohanes Pembaptis telah diminta untuk bersaksi mengenai siapakah dirinya
yang sebenarnya dan mengapa dia memberitakan Sang Mesiah dan menyatakan
bahwa Kerajaan Surga telah dekat?
Memang
benar, dalam khutbah-khutbahnya di padang berbukit belantara Yudea,
Yohanes selalu mengajak bangsa Israel untuk bertaubat dan mengatakan
bahwa waktu datangnya Kerajaan Surga telah dekat. Di tepi sungai Yordan,
dia membaptis para pengikutnya dengan air sebagai tanda pensucian
rohaniah dan lahiriah mereka. Dia juga mengajak bangsa Israel untuk
mengingat kembali nubuat-nubuat para nabi suci Israel mengenai Sang
Mesiah dan memerintahkan mereka untuk merendahkan diri di hadapan Sang
Tuan pada saat kedatangannya. Pada salah satu ungkapannya yang indah
dalam Injil Lukas, Yohanes Pembaptis mengingatkan bangsa Israel akan
kemuliaan dan keagungan sosok Sang Mesiah dan ajaran yang akan dibawanya
dengan mengatakan:
Aku
membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa daripadaku
akan datang dan membuka tali kasutnya pun aku tidak layak.
Ia akan membaptis kamu dengan roh kudus dan dengan api.
Alat
penampi sudah ditangannya untuk membersihkan tempat pengirikannya dan
untuk mengumpulkan gandumnya ke dalam lumbungnya, tetapi debu jerami itu
akan dibakarnya dalam api yang tidak terpadamkan. (Lukas 3: 16-17)
Akibat
pelbagai pemberitaan yang telah disampaikan oleh Yohanes ini, para imam
Yahudi dan petinggi Lewi mempertanyakan siapakah jatidiri Yohanes
Pembaptis itu sebenarnya. Dialog persaksian Yohanes mengenai dirinya
diriwayatkan sebagai berikut:
Dan
inilah kesaksian Yohanes ketika orang Yahudi dari Yerusalem mengutus
beberapa imam dan orang-orang Lewi kepadanya untuk menanyakan dia:
“siapakah engkau?”
Ia mengaku dan tidak berdusta, katanya: “Aku bukan Mesiah”
Lalu mereka bertanya kepadanya: “kalau begitu, siapakah engkau? Elia?” Dan ia menjawab: “bukan!”
“Engkaukah nabi yang akan datang?” Dan ia menjawab: “bukan!” (Yohanes 1: 19-21)
Kemudian mereka kembali bertanya:
Mereka
bertanya kepadanya, katanya: “Mengapakah engkau membaptis, jikalau
engkau bukan Mesias, bukan Elia, dan bukan nabi yang akan datang?” (Yohanes 1: 25)
Dengan jawaban yang sangat jelas Yohanes menjawab:
Jawabnya:
“Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah
jalan Tuhan! seperti yang telah dikatakan nabi Yesaya.” (Yohanes 1: 23)
Jawaban
Yohanes Pembaptis yang singkat ini ternyata telah dipahami dengan baik
oleh para penanya. Yohanes menjelaskan bahwa dia bukanlah obyek nubuat
atau salah seorang dari yang mereka tanyakan, tetapi dia sama seperti
Yesaya as, yaitu pembawa kabar mengenai figur-figur mesianistik
tersebut.
Yesaya
as adalah salah seorang nabi Tuhan kepada bangsa Israel yang muncul di
Kerajaan Yudea setelah perpecahan terjadi. Dia bernubuat dan menghadapi
para pengingkar ajaran Tuhan. Yesaya as terkenal dengan nubuat-nubuatnya
yang mengagumkan.
Pesan
Yesaya as dan juga Yohanes as kepada bangsa Israel adalah sama, yaitu:
“Luruskanlah jalan Tuhan!”. Pesan ini bukan berarti bangsa Israel
diharuskan untuk membangun sebuah jalan dan meluruskan permukaannya,
tapi merupakan pesan moral dan memiliki efek serta implikasi yang amat
mendalam bagi kehidupan spiritual dan intelektual bangsa Israel. Melalui
dialog yang terjadi antara Yohanes Pembaptis dan para imam Yahudi,
petinggi Lewi dan penganut mazhab Pharisi itu, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan penting berikut. Pertama, pernyataan-pernyataan dari
Yohanes sendiri jelas membantah klaim umat Kristen yang menyebut
Yohanes Pembaptis sebagai figur mesianistik pertama atau “Sang Nabi
Elia” yang dijanjikan, karena Yohanes sendiri telah menafikankannya.
Kedua,
kepercayaan umat Yahudi yang mengatakan bahwa mereka hanya menanti dua
figur mesianistik ternyata tidak sepenuhnya benar, karena bangsa Israel
sesungguhnya menantikan tiga figur mesianistik dan bukan dua!
Figur-figur itu adalah “Sang Nabi Elia”, “Sang Mesiah” dan “Nabi itu”.
Menurut pengakuan Yohanes, dia sama sekali tidak termasuk dalam ketiga
figur tersebut.
Ketiga,
sungguh amat disayangkan bahwa umat Kristen sekarang tidak memelihara
dialog Yohanes dalam bahasa aslinya; yaitu Bahasa Aramaik, karena paling
tidak kita sudah tidak bisa lagi memahami kata-kata Aramaik apa yang
terungkap dalam dialog tersebut. Menurut Bibel versi AV strong, kata
“nabi” yang diucapkan oleh para penanya kepada Yohanes dalam teks Yunani
adalah prophetes. Secara etimologis, kata ini merujuk kepada nabiy’
dalam dialek Ibrani. Padanan contohnya adalah pernyataan yang pernah
diucapkan Musa as ketika dia menjanjikan Sang Mesiah kepada bangsa
Israel dalam Kitab Ulangan:
Seorang
nabi (nabiy’) akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka,
seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia
akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya. (Ulangan 18: 18)
Berkaitan
dengan hal ini, perlu dibuat sebuah pemahaman ringkas bahwa ketika para
imam Yahudi dan petinggi Lewi bertanya kepada Yohanes berkenaan dengan
jatidirinya, sudah pasti pertanyaan itu terkait dengan kedatangan
beberapa orang nabi (pembawa kabar). Namun, yang menjadi pertanyaan
disini adalah: apakah ketiga figur mesianistik yang dijanjikan itu
adalah nabi secara keseluruhannya?
Kitab Maleakhi menjanjikan bahwa figur mesianistik pertama yang akan datang adalah “Nabi Elia”: “Sesungguhnya Aku akan mengutus Nabi Elia”.[8]
Maksudnya, figur pertama yang dijanjikan kepada bangsa Israel adalah
seorang nabi. Para imam Yahudi dan petinggi Lewi yang bertanya kepada
Yohanes jelas mengetahui maksud dari pertanyaan mereka sendiri. Selain
sebagai nabi, “Sang Elia” yang dijanjikan juga adalah seorang utusan
Tuhan, karena ayat di atas jelas menyebutkan bahwa Tuhan akan
“mengutusnya” sebagai “Nabi Elia”.
Adapun
mengenai figur mesianistik kedua atau Sang Mesiah, maka para imam
Yahudi dan petinggi suku Lewi yang mengajukan pertanyaan itu kepada
Yohanes, juga sudah pasti mengetahui bahwa Sang Mesiah adalah seorang
nabi Tuhan, karena dia adalah Tuan, Sultan dan Pangeran bagi semua
utusan Tuhan. Banyak nubuat yang memastikan hal ini. Salah satu
contohnya adalah nubuat dalam Kitab Ulangan yang telah kami sebutkan di
atas.
Namun,
selain Sang Mesiah akan datang sebagai nabi dan utusan Tuhan,
dijelaskan juga bahwa Sang Mesiah adalah Imam Tertinggi segenap makhluk
Tuhan. Maksudnya, Sang Mesiah akan memangku tiga jabatan langit
sekaligus, yaitu: nabi, utusan (rasul) dan imam. Di bawah ini adalah
ayat-ayat al-Kitab yang mengkonfirmasikan hal tersebut.
Pertama, ayat yang menjelaskan mengenai kenabian Sang Mesiah:
Seorang
nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti
engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan
mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya. (Ulangan 18:18)[9].
Kedua, ayat yang menjelaskan bahwa Sang Mesiah adalah seorang utusan atau rasul Tuhan:
Lihat,
Aku menyuruh utusan-Ku, supaya ia mempersiapkan jalan di hadapan-Ku!
Dengan mendadak Tuan [ADON] yang kamu cari itu akan masuk ke bait-Nya!
Utusan10 [MAL’AK] Perjanjian yang kamu kehendaki itu, sesungguhnya, Ia
datang, firman TUHAN semesta alam. (Maleakhi 3: 1).
Bagian ayat pertama yang menyatakan “Lihat, Aku menyuruh utusan-Ku, supaya ia mempersiapkan jalan di hadapan-Ku!”,
menunjukkan atas kedatangan “Sang Nabi Elia” yang akan menjadi figur
mesianistik pertama bangsa Israel. Sedangkan bagian yang menyatakan
tentang kedatangan “Sang Adon” ke Rumah Tuhan secara mendadak
menunjukkan kunjungannya ke Yerusalem pada saat Sang Mesiah menjalankan
misinya yang suci. Adapun mengenai bagian akhir ayat yang mengatakan
“Utusan Perjanjian yang kamu kehendaki itu”, menunjukkan bahwa selain
sebagai seorang nabi, Sang Mesiah juga merupakan seorang utusan Tuhan.
Ketiga, jabatan ketiga Sang Mesiah adalah sebagai Imam Tuhan. Jabatan ini disebutkan dalam Kitab Mazmur berikut ini:
TUHAN telah bersumpah, dan Ia tidak akan menyesal: “Engkau adalah imam untuk selama-lamanya, menurut Melkisedek.” (Mazmur 110: 4).
Kata
imam pada ayat di atas berbeda dengan istilah nabiy’ (nabi) atau mal’ak
(utusan) seperti yang pernah disebutkan ayat-ayat sebelumnya. Dalam
teks Ibraninya, kata yang dipergunakan adalah kohen yang berasal dari
kata kahan yang artinya adalah chief ruler (panglima tertinggi), leader
(imam), prince (pangeran) atau officer (pemangku).
Menurut
al-Kitab, jabatan ini merupakan jabatan tertinggi yang dianugerahkan
Tuhan kepada manusia pilihan-Nya. Dalam Kitab Kejadian disebutkan bahwa
Tuhan telah menganugerahkan jabatan ini kepada Nabi Ibrahim as, Nabi
Ismail as, Nabi Ishak as, Nabi Yusuf as, Nabi Harun as dan keturunan
mereka. Bahkan, dalam al-Kitab, institusi kekohenan menjadi ajaran
puncak dan inti dari konsep kepemimpinan Ilahiah.
Melalui
pemahaman ini, dapat dipastikan bahwa para imam Yahudi dan petinggi
suku Lewi yang menanyakan perihal identitas Yohanes Pembabtis sebenarnya
telah mengetahui setiap pertanyaan yang mereka ajukan, karena pada
hakikatnya mereka hanya mau mengetahui tentang apakah Yohanes termasuk
salah satu dari tiga figur mesianistik yang dijanjikan tersebut.
Berkaitan dengan hal ini, pertanyaan para imam Yahudi dan petinggi suku Lewi yang ketiga, yaitu: “Engkaukah nabi yang akan datang itu?”
menjadi tidak relevan dengan seluruh permasalahan yang ada. Maksudnya,
kata nabi untuk merujuk kepada figur mesianistik ketiga menjadi sesuatu
yang ganjil, jika tidak ingin disebut sebagai mustahil! Ayat dalam Kitab
Maleakhi secara jelas menyebutkan bahwa “Sang Nabi Elia” yang akan
datang sebelum kemunculan Sang Mesiah adalah seorang nabi. Sedangkan
nubuat-nubuat mengenai Sang Mesiah sendiri juga sudah jelas bahwa Sang
Mesiah akan menjadi seorang nabiy’ (nabi), mal’ak (utusan) dan kohen
(imam).
Kecuali
telah terjadi kesalahan penulisan ataupun periwayatan dari penulis
Injil Yohanes, maka tidak ada alasan bagi para imam Yahudi dan petinggi
Lewi untuk seakan-akan mengulang kembali pertanyaan itu kepada Yohanes
Pembabtis untuk merujuk kepada figur-figur yang mereka telah tanyakan
sebelumnya. Alasannya, dua figur mesianistik ini telah ditanyakan
sebelumnya dan Yohanes sendiri telah menegaskan bahwa dia bukan Elia
maupun Mesiah. Lalu, siapakah figur mesianistik ketiga yang mereka
tanyakan itu?
Satu-satunya
jalan untuk menjembatani kerancuan ini adalah asumsi bahwa Yohanes—atau
siapa pun—yang pernah menyalin Injil Kanon keempat ini dari bentuk
aslinya telah salah menuliskan kata yang sebenarnya. Perlu diketahui,
selain kata kohen dapat berarti imam seperti yang diadopsi oleh para
penerjemah al-Kitab dalam bahasa Indonesia, namun al-Kitab sendiri
sebenarnya memiliki padanan kata lain untuk menunjukkan kepada makna
yang serupa. Contohnya pada kisah Nabi Musa as dan Harun as dalam Kitab
Bilangan diceritakan bahwa Tuhan telah memilih duabelas orang pemimpin
bangsa Israel dan memerintahkan Musa as untuk mengangkat mereka:
Setelah
Musa berbicara kepada orang Israel, maka semua pemimpin mereka
memberikan kepadanya satu tongkat dari setiap pemimpin, menurut
suku-suku mereka, dua belas tongkat, dan tongkat Harun ada di antara
tongkat-tongkat itu. (Bilangan 17: 6)
Kata
“pemimpin” pada ayat di atas tidak menggunakan kata kohen untuk
memberikan semacam atribut kepemimpinan terhadap kedua belas orang yang
terpilih itu, tapi al-Kitab menggunakan kata nasiy’ yang cakupan artinya
jauh lebih luas dari makna kohen. Arti kata nasiy’ adalah ketua
(chief), kapten (captain), imam (leader), gubernur (governor), pangeran
(prince) dan penguasa (ruler).
Kesimpulannya,
sangat mungkin bahwa pertanyaan yang diajukan oleh para imam Yahudi dan
petinggi Lewi mengenai figur mesianistik yang ketiga sebenarnya adalah
nasiy’ (imam) dan bukan nabiy’ (nabi) sebagaimana yang dicatat oleh
penulis Injil Yohanes. Salah satu alasannya adalah ketika mereka
bertanya, mereka sesungguhnya tidak meragukan figur-figur mesianistik
tersebut. Mereka hanya bertanya apakah Yohanes termasuk salah satu dari
ketiga figur yang mereka tanyakan. Maksudnya, pertanyaan mereka
bersifat personal dan tidak substansial. Kalimat “Elia” dan “Mesiah”
yang telah mereka ucapkan membuktikan dan menguatkan argumen ini.
Pada
kasus yang berbeda dalam konteks yang sama, Injil Yohanes sendiri
memang mendapat kritik tajam dari para Kristolog Muslim karena dianggap
telah menggunakan kata-kata Yunani yang menyimpang dari teks-teks
aslinya. Kasus penulisan parakletos (artinya: penghibur) dari kata yang
seharusnya adalah periclytos (artinya: terpuji; Arab: AHMAD) merupakan
salah satu contoh penyimpangan tersebut. Dalam hal ini, tentu saja kita
yakin seratus persen bahwa kata yang pernah diucapkan oleh Yesus tentu
saja bukan paracletos maupun periclytos karena dua kalimat ini adalah
bahasa Yunani, sedangkan Yesus sendiri berbicara dengan bahasa Aramaik.
Julukan yang diberikan oleh Yesus kepada salah seorang Hawariy-nya yang
bernama Simon bar Yonas as dengan Keffas menunjukkan bahwa Yesus—seumur
hidupnya—tidak pernah memanggil Simon as dengan sebutan Petros dalam
logat Yunani-nya.
Dengan
paparan ini, terbuka kemungkinan bahwa kata yang diucapkan oleh para
imam Yahudi dan petinggi Lewi yang sebenarnya adalah nasiy’ (imam)
bukan nabiy’ (nabi, pembawa kabar). Hanya saja -baik disengaja maupun
tidak- kata ini diasumsikan oleh penerjemahnya sebagai nabiy’ sehingga
mereka menerjemahkannya menjadi prophetes dalam bahasa Yunaninya. Selain
itu, nubuat-nubuat lain dalam sebagian al-Kitab yang akan diuraikan
setelah ini memang menguatkan pandangan bahwa figur mesianistik ketiga
yang dijanjikan al-Kitab dan yang pernah ditanyakan oleh para imam
Yahudi dan para petinggi Lewi kepada Yohanes Pembaptis adalah (nasiy’)
atau Imam al-Mahdi yang juga dijanjikan oleh Al-Qur’an dan hadis-hadis
Nabi Muhammad saw.
Selain
apa yang telah diuraikan tentang beberapa aspek Kitab Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru menyangkut kedatangan “Sang Nabi Elia” dan “Sang
Mesiah”, kini tiba gilirannya untuk mengetahui apakah al-Kitab sendiri
memang pernah menjanjikan kedatangan seorang nasiy’ yang diurapi Tuhan
tersebut?
***
Ada
sebuah kitab dalam al-Kitab Perjanjian Baru yang penuh dengan
wacana-wacana profetis dan figur-figur mesianistik. Tidak mengherankan
apabila penafsiran kitab ini oleh umat Yahudi dan Kristen sangat tidak
relevan, tidak kontekstual dan tidak obyektif. Kitab yang dimaksudkan
adalah Kitab Wahyu atau Apocalypse. Kata apocalyse berasal dari bahasa
Yunani, yaitu apokalupsis atau apokaluptô yang secara harfiah berarti
wahyu (revelation), tindakan mengungkap (uncover) atau tindakan
menyingkap (reveal). Concise Oxford Dictionary menjelaskan arti
apocalypse sebagai berikut:
1.
Revelation, the last book of the New Testament, recounting a divine
revelation to St. John, 2. A revelation, esp. of the end of the world.
3. a grand or violent event resembling those described in the
Apocalypse. [11].
Di bawah ini adalah beberapa informasi dan sikap yang harus diambil terhadap isi dan kandungan Kitab Wahyu:
Pertama, Kitab Wahyu berbicara mengenai peristiwa-peristiwa yang terkait dengan akhir zaman atau Hari Kiamat.
Kedua,
isi nubuat-nubuat dalam Kitab Wahyu sebenarnya memang tidak terkait
dengan dua figur mesianistik yang pernah disebutkan sebagai “Sang Nabi
Elia” dan “Sang Mesiah”, karena secara keseluruhan Kitab Wahyu
membicarakan mengenai hal-hal sesudah kedatangan mereka dan bukan
sebelum atau pada saat mereka muncul. Lebih jelasnya, topik yang
berkenaan dengan figur manusia yang diurapi Tuhan memang ada dan
dijelaskan, bahkan dalam beberapa tempat, namun semua nubuat tersebut
tidak lagi terkait dengan “Sang Nabi Elia” dan “Sang Mesiah” seperti
yang diuraikan dalam Perjanjian Lama dan sebagaimana yang pernah
dijanjikan oleh Yesus mengenai paracletos (atau periclytos) setelah
dirinya.
Ketiga, isi Kitab Wahyu tidak tersusun secara kronologis tetapi secara tematis.
Keempat,
sekalipun Kitab Wahyu mengandung beberapa pemberitaan yang relevan
dengan pemberitaan Hari Kebangkitan yang pernah disampaikan dalam
hadis-hadis Nabi Muhammad saw dan para imam suci Ahlulbait, namun
sebagai seorang Muslim kita tidak mempercayai adanya kitab Tuhan yang
sepenuhnya utuh seperti pada saat diwahyukan Allah kecuali Al-Qur’an.
Kita yakin seratus persen bahwa hanya Al-Qur’an satu-satunya kitab Tuhan
yang masih murni dan tidak terdistorsi, sedangkan al-Kitab Yahudi dan
Kristen telah bercampur dengan berita-berita palsu dan bohong. Tetapi,
terkait dengan hal itu, kita juga mempercayai bahwa salah satu fungsi
Al-Qur’an yang tidak terpisahkan dari fungsi-fungsi lainnya adalah
“membenarkan” atau meluruskan segala macam bentuk informasi yang telah
menyimpang atau senganja disimpangkan dalam al-Kitab Yahudi dan Kristen.
Kelima, penjelasan dan nubuat Kitab Wahyu secara umum bersifat metaforis, alegoris dan mistis.
Dari
kelima kesimpulan di atas, kesimpulan terakhir perlu diperjelas:
sekalipun isi dan kandungan Kitab Wahyu sarat dengan wacana profetis
yang terkemas dalam bentuk kiasan dan ungkapan metaforis, tetapi bukan
berarti hal itu mustahil untuk diuraikan makna-maknanya secara benar.
Terselimutinya penafsiran Kitab Wahyu dalam kabut misteri yang tak
terpecahkan oleh umat Yahudi dan Kristen bahkan para Kristolog Muslim
sebenarnya disebabkan oleh belum adanya “sandaran atau pijakan” untuk
menafsirkan seluruh nubuat yang dimaksud agar bisa dijustifikasikan
secara rasional dan kontekstual.
Faktor
lainnya, para penafsir tidak jeli menangkap fakta bahwa isi dan
kandungan Kitab Wahyu sebenarnya memang tidak bernubuat tentang kenabian
tapi bernubuat tentang para imam setelah periode Mesiah Tuhan (baca:
Nabi Muhammad saw).
Oleh
sebab itu, sebelum bisa mengurai makna nubuat-nubuat dalam Kitab Wahyu,
faktor pertama yang mesti kita pahami adalah imamah paska wafatnya
Rasulullah saw. Faktor kedua adalah aspek-aspek historis berkenaan
dengan riwayat hidup para imam suci Ahlulbait Nabi as. Faktor terakhir
adalah hadis-hadis kedatangan Imam Mahdi as.
Berkaitan
dengan sejarah Imam Mahdi as disebutkan bahwa menurut hadis-hadis
Rasulullah saw dan para imam suci Ahlulbait as serta beberapa penulis
sejarah Islam Ahlusunah maupun Syiah meriwayatkan bahwa Imam Mahdi as
berasal dari keturunan kesembilan Imam Husein bin Ali as atau Imam
Keduabelas dari keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as. Namanya akan sama
dengan nama Rasulullah saw dan nama ayah beliau sama dengan nama putra
pertama Imam Ali as. Pada bab pertama buku Al-Mahdi al-Mau’ûd
al-Muntazhar karya Syaikh Najmuddin al-Askari disebutkan 26 riwayat dari
jalur Ahlusunah yang menyebutkan bahwa Imam Mahdi as telah dilahirkan
di kota Samarra‘ yang kini menjalani kegaiban hingga saat kemunculannya
nanti.[12]
Menurut
sejarawan Syiah, kelahiran Imam Mahdi as terjadi pada tanggal 15
Syakban 255 H di kota Samarra‘. Dijelaskan bahwa kondisi menjelang
kelahirannya hampir sama dengan yang terjadi pada saat kelahiran Musa
as. Menjelang Musa as dilahirkan, beberapa cenayang bangsa Mesir
meramalkan kelahiran seorang bayi lelaki dari bangsa Israel yang kelak
mampu meruntuhkan Impirium Pharaoh. Kabar itu telah memunculkan
kekhawatiran penguasa Mesir, sehingga menyulut pembantaian terhadap
bayi-bayi lelaki berkebangsaan Israel. Menjelang Imam Mahdi as
dilahirkan, penguasa Dinasti Abbasiyyah, al-Mu’tamid juga sempat
mengalami kehawatiran yang sama. Al-Mu’tamid memerintahkan aparatnya
untuk melacak dan mengawasi setiap kelahiran yang terjadi. Ibunda Imam
Mahdi as, Sayidah Janab Narjis Khatun as, sempat mendapat pengawasan
ketat dari Qadhi Abu Surab yang mendapat perintah langsung dari
al-Mu’tamid untuk mengawasi keluarga Imam Hasan al-Askari as. Akan
tetapi, melalui Pemeliharaan Langit (Divine Protection) dan beberapa
fenomena supranatural yang mengiringi kelahiran beliau; sama seperti
yang pernah dialami Musa as dan ibunya, maka sang ibu dan Imam Mahdi as
yang baru dilahirkan akhirnya terlindungi dari para penguasa yang hendak
mencelakakan mereka. Semenjak kelahirannya hingga balita, pemeliharaan
Imam Mahdi as tetap dirahasiakan dan hanya orang-orang tertentu saja
yang diperkenankan untuk bertemu dengannya. Beliau mengalami dua kali
kegaiban. Pertama terjadi pada 260 H, sedangkan kegaiban kedua dan
disebut sebagai kegaiban akbar (al-ghaybah al-kubrâ) terjadi pada tahun
328 H sampai sekarang.
Mengetahui
berita wafatnya Imam Hasan al-Askari as (ayah Imam Mahdi as) pada 8
Rabiulawal 260 H dan mendengar bahwa upacara penguburannya dipimpin oleh
seorang bocah berusia 4 tahun, al-Mu’tamid menyadari bahwa sang bocah
adalah Imam Mahdi as. Untuk mengkonfirmasikan hal tersebut, dia
memerintahkan para pengawal untuk menangkap ibunda Imam Mahdi as dan
menginterogerasinya. Tetapi, setelah memenjarakan ibunda Imam Mahdi as
selama enam bulan tanpa memperoleh hasil, akhirnya al-Mu’tamid
melepaskannya.
Selain
kisah kelahirannya, Sayidah Narjis Khatun as atau ibunda Imam Mahdi as
juga disebutkan memiliki silsilah keturunan hingga datuknya yang bernama
Simon Keffas atau Santo Petrus. Simon anak Yohanes merupakan pemimpin
Hawariy dari Isa as.[13] Setelah berakhirnya misi kenabian Isa as, dia
mengembalikan posisi kepemimpinan bangsa Israel kepada suku Yusuf.[14]
Menurut kitab-kitab Injil Kanonik, Simon berasal dari Betsaida, sebuah
kota di tepi danau Tiberias, daerah Provinsi Galilea di wilayah suku
Menasye.
Menurut
Kitab Kejadian, setelah Nabi Yakub as wafat, putra Yusuf yang bernama
Manasye, diangkat untuk menjadi pemimpin bangsa Israel dan hal ini terus
berlangsung hingga kedatangan Musa as dan Harun as dari suku Lewi.
Kisah yang disebutkan al-Kitab dan juga Al-Qur’an mengenai mimpi Nabi
Yusuf as tentang sujudnya sebelas bintang, matahari dan bulan
kepadanya[15] jelas mengukuhkan argumen ini. Bahkan, di kemudian hari,
pecahnya Kerajaan Israel paska Nabi Sulaiman as terjadi akibat perebutan
kekuasaan antara suku Yehuda dan suku Yusuf. Hanya saja, yang terlibat
konflik dengan suku Yehuda adalah suku Efraim putra kedua Yusuf as yang
merupakan saudara Manasye.
Berkaitan
dengan sejarah peristiwa kelahiran Imam Mahdi as dan perjuangan sang
Ibu untuk melindungi putranya dari upaya pembunuhan penguasa Dinasti
Abbasiyyah serta asal-usul Sayidah Narjis Khatun as yang sampai kepada
Santo Petrus jelas sangat unik dan luar biasa! Belum pernah ada
kisah-kisah seperti ini dalam ajaran, tradisi maupun sejarah umat Yahudi
atau Nasrani. Ajaran Yahudi bahkan tidak peduli dengan Simon Petrus as
karena dianggap sebagai figur ajaran Kristen. Selain Simon Petrus, Nabi
Yahya as dan Isa as tidak pernah masuk daftar jajaran nabi bangsa
Israel. Umat Yahudi meyakini bahwa Sang Mesiah konon akan berasal dari
suku Yehuda dan tidak akan pernah sudi untuk memberikan porsi keutamaan
itu kepada suku Yusuf!
Dalam
ajaran Kristen juga tidak pernah ada perhatian khusus kepada Simon
Petrus as setelah kewafatannya, kecuali mengabadikan nama beliau untuk
bangunan-bangunan gereja di berbagai tempat di dunia termasuk gedung
Keuskupan yang megah di Vatikan yaitu, St. Peter’s Cathedral atau
Katedral Santo Petrus, dan itu pun baru terjadi pada awal abad kelima
belas Masehi. Peletakan batu pertama untuk membangun Katedral ini
dilakukan oleh Paus Julius dan dibangun selama 120 tahun dari tahun 1506
M hingga 1626 M.
Alhasil,
ajaran Kristen tidak pernah menantikan seorang juru selamat yang ibunya
akan berasal dari keturunan Simon Petrus as, karena dalam Kristen, suku
Yehuda lebih utama daripada suku Yusuf. Selain itu, yang akan datang
menjelang akhir zaman nanti dalam kepercayaan umat Kristen adalah Yesus
Kristus tanpa kehadiran seorang Imam (Paus atau Uskup) atau lainnya
sebagai pendamping Yesus. Dan tidak pernah ada juga riwayat yang
menyatakan bahwa pemimpin mereka akan lahir dari seorang ibu yang
memiliki silsilah sampai kepada Simon Petrus as.
Sehubungan
dengan seluruh uraian mengenai sejarah Imam mahdi as di atas dan
hal-hal yang terkait dengan peristiwa-peristiwa tersebut seperti
kelahirannya, ibunya dan kegaibannya, sebenarnya ada sebuah nubuat yang
perlu dicermati pada pasal 12 dalam Kitab Wahyu. Nubuat itu adalah
sebagai berikut:
Maka
tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan
berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah
mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya.
Ia sedang mengandung dan dalam keluhan dan penderitaannya hendak melahirkan ia berteriak kesakitan.
Maka
tampaklah suatu tanda yang lain di langit; dan lihatlah, seekor naga
merah padam yang besar, berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh, dan di
atas kepalanya ada tujuh mahkota.
Dan
ekornya menyeret sepertiga dari bintang-bintang di langit dan
melemparkannya ke atas bumi. Dan naga itu berdiri di hadapan perempuan
yang hendak melahirkan itu, untuk menelan Anaknya, segera sesudah
perempuan itu melahirkan-Nya.
Maka
ia melahirkan seorang Anak laki-laki, yang akan menggembalakan semua
bangsa dengan gada besi; tiba-tiba Anaknya itu dirampas dan dibawa lari
kepada Allah dan ke takhta-Nya.
Perempuan
itu lari ke padang gurun, di mana telah disediakan suatu tempat baginya
oleh Allah, supaya ia dipelihara di situ seribu dua ratus enam puluh
hari lamanya. (Wahyu 12:1-5).
Seperti
yang pernah dijelaskan sebelumnya bahwa nubuat adalah wacana profetis.
Ia merupakan pemberitahuan tentang kejadian-kejadian tertentu setelah
periode penerimaan nubuat. Pesan atau substansi nubuat itu sendiri
bersifat abstrak dalam bentuk gambaran simbolis dan metaforis. Ditinjau
dari sudut pandang awam, kebanyakan manusia baru menyadari bahwa suatu
nubuat itu telah tergenapi atau terjadi setelah berlalunya peristiwa
yang dinubuatkan. Berkaitan dengan wacana pernubuatan, Al-Qur’an sendiri
memiliki banyak contoh nubuat seperti nubuat Yusuf as mengenai bintang,
matahari dan bulan bersujud kepadanya, mimpi Raja Mesir di zaman Yusuf
as yang melihat tujuh biji gandum dan tujuh ekor sapi kurus dan gemuk
serta mimpi dua orang teman penjara Yusuf as dan masih banyak lagi. Ada
juga nubuat Al-Qur’an yang masih belum terpenuhi atau tergenapi seperti
runtuhnya tembok pembatas dari besi yang dibuat oleh Zulkarnain serta
kemunculan Ya’juj dan Ma’juj yang terkait dengan kemunculan Imam Mahdi
as.
Apa
pun gambaran atau bentuk suatu nubuat pada intinya memang dari seorang
nabi yang bisa dipahami dan bukan sekedar khayalan. Figur-figur abstrak
dalam suatu nubuat dapat diinterpretasikan. Hanya saja, dibutuhkan
pemahaman yang cukup mendalam terhadap nubuat itu sendiri dan apa-apa
yang dinubuatkan. Sehubungan dengan nubuat Kitab Wahyu di atas, ada hal
unik yang tergambarkan, yakni figur seorang ibu yang mengandung dan
tengah menanti kelahiran bayinya serta ancaman dari seekor naga merah
padam yang buas yang hendak memangsa sang bayi, jelas memiliki pesan
profetik yang amat dalam.
Dalam
al-Kitab, sering kali nubuat para nabi perihal penguasa yang membenci
ajaran Tuhan atau dinasti atau kerajaan yang menentang ajaran Tuhan
dengan gambaran-gambaran yang menakutkan. Wacana profetik seperti
gambaran binatang yang menakutkan sesungguhnya merepresentasikan
kerajaan yang besar dengan kekuatan dahsyat dan mengerikan. Kekuatan
mereka seakan-akan mewakili demonic creatures, terror, diabolic powers,
satanic, devilish atau the evil itself. Seluruh kiasan itu mewakili
kekuatan bala tentara iblis dan setan sehingga digambarkan dalam bentuk
metaforis atau simbolis berupa binatang-binatang monster yang
mengerikan. Tanduk biasanya identik dengan raja atau penguasa di
imperium kegelapan (empire of darkness), sedangkan mahkota merupakan
simbol ajaran, kekuasaan atau majesty.
Oleh
sebab itu, gambaran seekor naga merah yang disebutkan Kitab Wahyu jelas
bukan naga sungguhan, karena ungkapan itu adalah metafora untuk
mewakili simbol kekuasaan atau kerajaan bejat tertentu. Sebagai
perbandingan dan untuk memperkaya penjelasan tentang makna nubuat Kitab
Wahyu di atas, kita patut meneliti Kitab Nabi Daniel as yang sarat
dengan wacana-wacana profetis.[16]
***
Dalam
visinya mengenai figur Sang Mesiah di pasal tujuh dan delapan, Daniel
as menyaksikan kemunculan empat ekor binatang monster yang menyeramkan
dari dasar laut berikut segala elemen kekuatan yang termanifestasikan
dalam figur monsteristik tersebut. Namun, malaikat yang menunjukkan visi
itu mengatakan bahwa empat ekor binatang buas yang disaksikan Daniel as
itu sesungguhnya adalah empat kerajaan besar yang mewakili kekuatan
kegelapan atau kaum pagan. Mereka akan berkuasa di bumi secara silih
berganti dan yang terakhir akan muncul sebelum periode kedatangan Sang
Mesiah.
Berkaitan
dengan nubuat Kitab Daniel as dan Kitab Wahyu tersebut, umat Yahudi
mengatakan bahwa kedua nubuat itu menjelaskan tentang kedatangan Sang
Mesiah di akhir zaman. Jadi, nubuat Daniel as dan Kitab Wahyu sama-sama
belum terpenuhi (terjadi) sampai sekarang. Akan tetapi, apabila
dicermati, nubuat yang disampaikan dalam Kitab Wahyu pasal 12 sebenarnya
tidak pernah menceritakan tentang kedatangan figur mesianistik pertama
maupun kedua, karena ketika Daniel as bernubuat mengenai Sang Mesiah dan
penyaksiannya mengenai empat monster itu, Daniel as tidak pernah
menceritakan tentang kemunculan sebuah kerajaan yang digambarkan dengan
sosok naga merah.
Dengan
demikian, selain masih banyak kesalahpahaman di dalam ajaran Yahudi
mengenai Sang Mesiah, interpretasi Yahudi yang mengatakan bahwa nubuat
Daniel as dan Kitab Wahyu belum terpenuhi sebenarnya sangat tidak tepat,
karena keduanya memang tidak saling berhubungan. Maksudnya, nubuat
Daniel as berbicara mengenai satu masalah dan Kitab Wahyu bernubuat
tentang masalah yang lain. Memang benar bahwa nubuat Daniel as dan Kitab
Wahyu sama-sama berbicara mengenai Sang Mesiah, hanya saja mereka bukan
satu figur yang sama.
Dari
sisi penafsiran yang berbeda, nubuat Kitab Wahyu juga mustahil
merepresentasikan Yesus Kristus-nya umat Kristen, karena nubuat ini
muncul setelah Yesus dan bukan sebelumnya.[17] Nubuat ini juga mustahil
berbicara mengenai kedatangan Yesus yang kedua karena Yesus telah
diangkat ke langit, sedangkan kedatangannya akan turun dari langit dan
bukan melalui proses kelahiran sebagaimana dinubuatkan dalam Kitab
Wahyu.
Para
Kristolog Muslim Suni juga tidak pernah menganggap nubuat ini ditujukan
kepada Nabi Muhammad saw. Sungguh tidak mengherankan apabila pembahasan
mengenai nubuat ini sering terlewatkan oleh para Kristolog Muslim dan
dianggap kurang menarik atau bahkan terlalu misterius.
Melalui
penjelasan ini, dapat dipahami mengapa riwayat-riwayat seputar kisah
kelahiran Imam Mahdi as dan perjuangan ibunya yang dicatat oleh kalangan
sejarawan Syiah menjadi data yang menggemparkan! Nubuat Kitab Wahyu
yang menceritakan tentang “seorang perempuan berselubungkan matahari,
dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang
di atas kepalanya” memiliki penafsiran yang sangat dalam. Singkatnya,
gambaran nubuat mengenai “sang perempuan” jelas sekali merujuk kepada
figur ibu Imam Mahdi as yang disebut bahwa ia akan berasal dari
keturunan Simon Petrus as dari suku Yusuf. Sedangkan pernyataan yang
mengatakan “berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan
sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya”, tidak hanya
mengingatkan kita akan mimpi Yusuf as, bahkan hal ini mempunyai
pengertian yang lebih kaya daripada itu! Surah Yusuf yang berada pada
urutan kedua belas dalam susunan Al-Qur’an bercerita tentang mimpi Nabi
Yusuf as sebagai berikut:
(Ingatlah),
ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku
bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya
sujud kepadaku.” (QS. Yusuf: 4)
Ayat
di atas merupakan penjelasan ulang dari Al-Qur’an tentang sejarah
bermulanya kepemimpinan Yusuf dan keturunannya atas bangsa Israel.
Al-Qur’an hanya menyebut sebelas bintang karena Yusuf as dan
keturunannya masih menjadi bintang terbesarnya. Maksudnya, Yusuf as dan
keturunannya masih merupakan imam atau pemimpin untuk kesebelas bintang
lainnya.
Uniknya,
dalam nubuat Kitab Wahyu, angka itu sudah tidak lagi menyebut sebelas
bintang tapi duabelas. Ungkapan ini sesungguhnya mewakili beberapa arti
penting: pertama, pesan nubuat dalam Kitab Wahyu adalah untuk bangsa
Israel dan bukan untuk umat Islam. Nubuat Kitab Wahyu menjelaskan
mengenai asal-usul sang perempuan dari bangsa Israel. Nubuat ini juga
mengkonfirmasikan bahwa ketika sang perempuan itu mengandung anaknya,
imamah bangsa Israel sudah tidak lagi berfungsi. Angka duabelas sangat
jelas memberikan arti bahwa sang perempuan akan hidup bukan pada saat
imamah bangsa Israel masih berjalan, tapi setelah imamah Israel sudah
tidak lagi berfungsi. Ketika imamah bangsa Israel sudah tidak lagi
berfungsi, maka fakta itu hanya mungkin menandakan kepada satu hal bahwa
sang perempuan hidup setelah periode Sang Mesiah, karena sesuai nubuat
al-Kitab sendiri, Sang Mesiah bukan keturunan Bani Israel tapi keturunan
Bani Ismail.
Maksudnya
seperti ini, Kitab Wahyu merupakan salah satu kitab Perjanjian Baru
umat Kristen. Dan menurut ajaran Kristen, Yesus adalah Sang Mesiah.
Tetapi, penelitian kalangan Kristolog Muslim membuktikan bahwa Yesus
bukanlah Sang Mesiah yang dimaksud dalam al-Kitab, karena semua fakta
menunjukkan bahwa Sang Mesiah tersebut adalah Nabi Muhammad saw.
Nubuat-nubuat
dalam Kitab Wahyu merupakan nubuat-nubuat yang diasumsikan oleh
kalangan Kristen sendiri terjadi setelah Yesus dan berdekatan dengan
akhir zaman. Oleh sebab itu, nubuat-nubuat kitab Wahyu tersebut hanya
mungkin terjadi setelah periode Nabi Muhammad saw dan bukan sebelumnya.
Kedua,
Yusuf as dan keturunannya merupakan kelompok putra-putra Nabi Ya’kub as
yang mengawali imamah bangsa Israel sampai dengan periode Nabi Musa as
dan Harun as. Setelah itu imamah bangsa Israel dipegang oleh suku Lewi
melalui keturunan Imam Harun as sampai periode Yesus. Lalu, dengan
berakhirnya kenabian bangsa Israel, maka hal itu juga menandakan
berakhirnya imamah suku Lewi. Oleh sebab itu, Yesus mengembalikan posisi
imamah suku Yusuf atas bangsa Israel melalui Simon Petrus dan
keturunannya sebagai tanda kepada bangsa Israel untuk menantikan
kedatangan “seorang nabi sama seperti aku (Musa)”,[18] yaitu Nabi
Muhammad saw. Setelah Nabi Muhammad saw wafat, imamah dipegang oleh
duabelas orang yang berasal dari Ahlulbait Nabi saw.
Dengan mencermati keterengan-keterangan poin pertama dan kedua, dapat kita ambil konklusi sebagai berikut:
- Sang perempuan pasti berasal dari keturunan suku Yusuf karena simbol-simbol yang disebutkan Kitab Wahyu dan dapat dipastikan juga bahwa dia akan hidup setelah periode Nabi Muhammad saw, karena Nabi Muhammad saw adalah Mesiah yang sesungguhnya.
- Pada perode Nabi Muhammad saw (dan setelahnya), imamah dideklarasikan berjumlah duabelas orang dari Ahlulbait Nabi saw.
- Sang Mesiah adalah figur unversal dan dia membawa ajaran untuk semua bangsa tanpa terkecuali. Dengan demikian, imamah Ahlulbait as setelah periode Nabi Muhammad saw adalah para imam yang mewakili otoritas universal. Mereka (para imam Ahlulbait as) memimpin dan mengeksekusi ajaran Islam kepada semua bangsa tanpa pengecualian.
- Mengingat jumlah para imam adalah duabelas orang dan nubuat Kitab Wahyu terkait dengan kelahiran salah seorang figur imam universal setelah Sang Mesiah (baca: Nabi Muhammad saw), maka sang perempuan itu juga dapat dipastikan merupakan ibu dan istri dari salah seorang imam universal tersebut.
Menurut
Kitab Wahyu, sang perempuan yang untuk memimpin semua bangsa itu adalah
imam terakhir. Kitab Wahyu sendiri setelah itu tidak pernah lagi
menceritakan tentang adanya imam lain yang akan memimpin dunia kecuali
anak dari sang perempuan tersebut. Oleh sebab itu, bayi yang dikandung
oleh sang perempuan ini pastilah imam terakhir atau Imam Kedua belas
setelah Sang Mesiah. Sedangkan ayahnya pastilah imam kesebelas yang
berasal dari keturunan Sang Mesiah.
Ketiga,
ketika terjadinya pernikahan antara Sayidah Narjis Khatun as dan Imam
Hasan al-Askari as, maka hal itu menandakan bahwa imamah dan kerajaan
besar[19] yang dianugerahkan Tuhan kepada keluarga Ibrahim as telah
menyatu. Setiap pembaca al-Kitab—Yahudi maupun Kristen—jelas mengetahui
bagaimana al-Kitab menjelaskan kekuatan, kemuliaan dan keperkasaan Yusuf
dan keturunannya di masa lalu. Doa Ya’qub as dalam al-Kitab kepada
Yusuf as dan keturunannya cukup sebagai bukti di atas:
Yusuf
adalah seperti pohon buah-buahan yang muda, pohon buah-buahan yang muda
pada mata air. Dahan-dahannya naik mengatasi tembok.
Walaupun pemanah-pemanah telah mengusiknya, memanahnya dan menyerbunya,
namun
panahnya tetap kokoh dan lengan tangannya tinggal liat, oleh
pertolongan Yang Mahakuat pelindung Yakub, oleh sebab gembalanya Gunung
Batu Israel,
oleh
Allah ayahmu yang akan menolong engkau, dan oleh Allah Yang Mahakuasa,
yang akan memberkati engkau dengan berkat dari langit di atas, dengan
berkat samudera raya yang letaknya di bawah, dengan berkat buah dada dan
kandungan.
Berkat
ayahmu melebihi berkat gunung-gunung yang sejak dahulu, yakni yang
paling sedap di bukit-bukit yang berabad-abad; semuanya itu akan turun
ke atas kepala Yusuf, ke atas batu kepala orang yang teristimewa di
antara saudara-saudaranya. (Kejadian 49: 22-26)
Keempat,
berita penting untuk dipahami dalam nubuat Kitab Wahyu adalah mengenai
bayi yang dilahirkan sang perempuan. Nubuat Kitab Wahyu mengatakan: “Maka ia melahirkan seorang Anak laki-laki, yang akan menggembalakan semua bangsa dengan gada besi.”
Maksudnya, sang anak akan menggembalakan seluruh bangsa dengan
ketegasan dan kekerasan. Menurut riwayat hadis-hadis disebutkan bahwa
Imam Mahdi as akan bersikap tegas dalam kepemimpinannya. Beliau tidak
kenal kompromi dalam menumpas siapa pun yang menghalangi misinya.
Seluruh
nubuat di atas pasti tidak mungkin menggambarkan figur Nabi Muhammad
saw, karena kemunculan sang anak menurut Kitab Wahyu berdekatan dengan
Hari Kiamat yang mana dia akan berperang melawan Gog dan Magog setelah
penguasaanya atas dunia. Selain itu, nubuat ini tidak mungkin mewakili
figur Yesus umat Kristen yang terkenal lemah lembut dan pemaaf. Nubuat
ini juga tidak mungkin ditafsirkan untuk Mesiah-nya umat Yahudi yang
konon berasal dari keturunan Daud as. Perlu diketahui bahwa figur Mesiah
Daud atau ideologi tentang Davidic Messiah sebenarnya memang suatu
propaganda palsu yang dibuat oleh para pembesar Kerajaan Yudea di masa
lalu untuk melestarikan kekuasaan mereka. al-Kitab sendiri menyatakan
bahwa Sang Mesiah akan datang dari putra Ibrahim as yang dikorbankan,
yaitu Ismail as, tetapi mereka telah mengubahnya menjadi Ishak as supaya
klaim atas kemesiahan dapat diberikan kepada suku Yehuda.
***
Di
luar masalah kecocokan figur, nubuat Kitab Wahyu memang tidak pernah
terkait dengan jabatan kenabian seorang nabi. Artinya, sang anak memang
bukan seorang nabi. Nubuat Kitab Wahyu selalu berbicara mengenai para
imam dan pemerintahan mereka sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat
lanjutannya. Di bawah ini adalah beberapa contohnya:
Dan
Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi
imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di
bumi. (Wahyu 5: 10)
Dan aku mendengar suara yang nyaring di surga berkata: “Sekarang
telah tiba keselamatan dan kuasa dan pemerintahan Allah kita, dan
kekuasaan Dia yang diurapi-Nya, karena telah dilemparkan ke bawah
pendakwa saudara-saudara kita, yang mendakwa mereka siang dan malam di
hadapan Allah kita.” (Wahyu 12:10)
Kata
“imam-imam” pada ayat di atas merupakan terjemahan dari bahasa Yunani
Hiereus (baca: hee-er-yooce’) yang artinya dalam bahasa Inggris adalah
Priest atau High Priest. Kata ini bukan memberikan arti bahwa mereka
adalah pendeta, pastur, paderi, kardinal, uskup, Paus atau lainnya.
Istilah-istilah tersebut sangat asing dan tidak pernah dikenal
sebelumnya dalam ajaran bangsa Israel. Kitab Wahyu adalah kitab yang
berbicara tentang akhir zaman kepada bangsa Israel dan mengikuti
ajaran-ajaran para nabi sebelumnya. Umat Yahudi dan Kristen memang
mengakui bahwa kata “imam-imam” yang dimaksudkan Kitab Wahyu seperti
pada ayat-ayat di atas sebenarnya identik dengan Kohen atau Nuqabâ’
(bentuk jamak dari naqîb) bangsa Israel. Selain hiereus, istilah asing
lainnya untuk Kohen bangsa Israel adalah Sacerdos seperti dalam bahasa
Latin.
Akhirnya,
kecuali mengakui bahwa nubuat Kitab Wahyu memang terkait dengan figur
para imam Ahlulbait Nabi Muhammad saw (termasuk Imam Mahdi as), maka
tidak akan pernah ada satu figur manusia manapun, baik menurut ajaran
Yahudi maupun Kristen, yang dapat memanifestasikan nubuat tersebut.
Bukti lain yang menguatkan bahwa nubuat Kitab Wahyu terkait dengan Imam
Mahdi as adalah bagian akhir ayat yang menyatakan: “Tiba-tiba Anaknya
itu dirampas dan dibawa lari kepada Allah dan ke takhta-Nya”.[20] Kalau
ini tidak berarti untuk kegaiban Imam Mahdi as, maka tidak akan pernah
ada satu interpretasi apapun yang mampu menjelaskan makna sesungguhnya
nubuat ini.
Wacana-wacana
profetik lainnya dalam Kitab Wahyu yang juga menakjubkan adalah nubuat
tentang munculnya kuda-kuda beserta para penunggangnya dengan warna dan
ciri tertentu menjelang era kebangkitan Imam al-Mahdi as. Nubuat-nubuat itu adalah sebagai berikut: pertama, nubuat kemunculan kuda putih:
Dan
aku melihat: sesungguhnya, ada seekor kuda putih dan orang yang
menungganginya memegang sebuah panah dan kepadanya dikaruniakan sebuah
mahkota. Lalu ia maju sebagai pemenang untuk merebut kemenangan. (Wahyu 6: 2 dan 19: 11-16)
Kedua, nubuat kemunculan kuda merah:
Dan
majulah seekor kuda lain, seekor kuda merah padam dan orang yang
menungganginya dikaruniakan kuasa untuk mengambil damai sejahtera21 dari
atas bumi, sehingga mereka saling membunuh, dan kepadanya dikaruniakan
sebilah pedang yang besar. (Wahyu 6:4)
Ketiga, nubuat kemunculan kuda hitam.
Dan aku melihat: sesungguhnya, ada seekor kuda hitam dan orang menungganginya memegang sebuah timbangan di tangannya. (Wahyu 6:5)
Keempat, nubuat kemunculan kuda hijau dan kuning:
Dan
aku melihat: sesungguhnya, ada seekor kuda hijau kuning dan orang yang
menungganginya bernama Maut dan kerajaan maut mengikutinya. Dan kepada
mereka diberikan kuasa atas seperempat dari bumi untuk membunuh dengan
pedang, dan dengan kelaparan dan sampar, dan dengan binatang-binatang
buas yang di bumi. (Wahyu 6: 8)
Seluruh
ayat di atas merupakan sebagian dari gambaran-gambaran nubuat yang
terdapat dalam Kitab Wahyu. Makna kuda pada ayat di atas adalah kiasan
dan bukan sungguhan. Kuda melambangkan gerakan dan mobilisasi. Ia
mewakili kekuatan, kesatuan pasukan, kebisingan dan kegaduhan. Sebelum
era mesin dan teknologi, manusia berperang dengan menunggangi kuda dan
pemimpin pasukan akan selalu membawa bendera yang mewakili kelompok dan
misi perjuangan masing-masing. Gambaran seekor kuda dengan
penunggangnya merepresentasikan pemimpin suatu kelompok pergerakan.
Maksudnya, di belakang sang penunggang itu terdapat sejumlah pengikut
lain yang mendukung pemimpin mereka.
Sedangkan
warna bisa berarti simbol untuk suatu bangsa, kelompok, ideologi,
ajaran, pemikiran atau agama. Apa yang dipegang atau digenggam oleh sang
penunggang merefleksikan tujuan dari pergerakan mereka. Memberikan
interpretasi seperti ini untuk memahami suatu nubuat adalah umum.
Namun, seluruh interpretasi seperti itu hanya menafsirkan semangat dan
bukan gambaran seutuhnya dari nubuat yang dimaksud.
Wacana
profetis yang benar adalah visi dari Tuhan kepada seorang nabi dan
interpretasi yang benar mengenai suatu visi kenabian sebenarnya hanya
bisa dijelaskan secara utuh melalui ilmu dan lisan nabi itu sendiri atau
nabi lainnya. Dengan demikian, apabila nubuat Kitab Wahyu memang
merupakan visi kenabian nabi bangsa Israel mengenai kedatangan Imam
Mahdi as, kejadian-kejadian akhir zaman dan kebangkitan, maka mungkinkah
ada seorang pemberi penjelasan yang lebih akurat dan lebih tepat dari
Al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw serta para imam Ahlulbait?
***
Ada
beberapa riwayat hadis Suni maupun Syiah yang menjelaskan tentang
tanda-tanda akhir zaman. Beberapa hadis menyebutkan bahwa menjelang
akhir zaman nanti akan muncul sejumlah kelompok yang akan membawa
beberapa bendera dengan warna dan ciri tertentu. Bendera itu akan
mewakili ideologi, kepemimpinan, kekuatan dan pergerakan. Hadis-hadis
itu adalah sebagai berikut:
Pertama, hadis-hadis mengenai kemunculan warna putih.
Muhammad bin al-Hanafiyah berkata: “Setelah
keluar bendera hitam kepunyaan Bani Abbas, keluar bendera hitam lain
dari Khurasan. Songkok-songkok mereka hitam dan pakaian-pakaian mereka
putih. Mereka dipimpin oleh seorang lelaki bernama Syu‘aib bin Shaleh
atau Shaleh bin Syu‘aib dari Bani Tamim. Mereka akan mengalahkan
kelompok as-Sufyani, sampai tiba di Baitul Maqdis. Di sana mereka
mengukuhkan kekuasaan al-Mahdi. Gerakan ini dibantu oleh tiga kelompok
dari Syam yang antara hal ini dan penyerahan kekuasaan kepada al-Mahdi
berjarak 72 bulan.”
Kedua, hadis-hadis mengenai kemunculan warna hitam:
Imam al-Baqir as berkata: “Bendera-bendera
hitam akan datang dari Khurasan menuju Kufah. Bila al-Mahdi sudah
keluar, mereka akan mengirimkan seorang utusan untuk membaiatnya.”
Ibnu Hammad meriwayatkan dalam manuskripnya hadis berikut ini:
“Bendera-bendera
hitam akan tiba dari Khurasan menuju Kufah. Manakala al-Mahdi muncul di
Mekah, mereka akan mengirim utusan untuk membaiat al-Mahdi.”
Ketiga, hadis-hadis mengenai kemunculan merah:
Amirul Mukminin as berkata: “Untuk
itu ada tanda-tanda dan petunjuk-petunjuknya… keluarnya Sufyani dengan
membawa bendera merah beserta seorang panglima yang berasal dari Bani
Kalb.”
Dalam hadis lain disebutkan bahwa Arathah bin al-Munzhir berkata:
“Akan
keluar si buruk dan terkutuk itu dari arah al-Mandarun, sebelah timur
Bisan, menunggang kuda merah dan mengenakan mahkota.”
Keempat, hadis-hadis mengenai kemunculan kuning.
Nabi saw bersabda: “Wahai
‘Auf, hitung sampai enam (peristiwa besar) sebelum terjadi Hari Kiamat…
sebuah fitnah di mana tidak ada satu rumah orang Arab melainkan
dimasukinya, lalu genjatan senjata antara kalian dan orang-orang kulit
kuning (bani al-ashfar). Kemudian mereka akan berkhianat dan mendatangi
kalian dengan membawa 80 ghâyah, setiap ghâyah beranggotakan 12.000
(tentara).”
Apabila
mengikuti hadis-hadis tersebut di atas, sebenarnya dapat terlihat jelas
bahwa nubuat-nubuat Kitab Wahyu masih terselemuti makna-makna
metaforis, sedangkan hadis-hadis Nabi sudah memiliki penjelasan yang
lebih spesifik.
***
Untuk
mengakhiri pembahasan mengenai nubuat-nubuat seputar kedatangan Imam
Mahdi as, sebenarnya dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
A. Mesianisme Menurut Ajaran Yahudi.
Kesalahan
terbesar ajaran Yahudi mengenai pemahaman mereka atas konsep Mesiah
sebenarnya terjadi akibat dua hal: pertama, disebabkan oleh kesengajaan
mereka di masa lalu mengubah kisah pengorbanan Ibrahim as dan putranya
yang akan membawa keturunan Mesiah, yaitu: dari yang seharusnya Ismail
as menjadi Ishak as. Hal ini menjadi benang merah seluruh kesalahan
ajaran mereka, dengan menggantikan nama Ismail as menjadi Ishak as, pada
akhirnya generasi-generasi lanjutan bangsa Israel sampai hari ini
sebenarnya menantikan kedatangan figur Mesiah yang memang tidak akan
pernah eksis sama sekali. Runtunan kesalahan itu pun membawa konsekuensi
ideologis atas agama yang mereka yakini. Sedangkan kesalahan kedua
merupakan akibat dari ulah mereka yang pertama tadi, sehingga terjadi
tabrakan figur mesianistik yang akan datang menjelang Hari Kiamat dalam
keyakinan mereka.
Seperti
telah dijelaskan sebelumnya bahwa figur-figur mesianistik yang
seharusnya adalah tiga orang dan bukan dua, yakni “Sang Nabi Elia”,
“Sang Mesiah” dan “Sang Imam akhir zaman”. Umat Yahudi telah menyatukan
figur “Sang Mesiah” dengan “Sang Imam akhir zaman”, sehingga mereka
meyakini dua figur mesianistik saja. Hal ini tidak mengherankan, karena
kedua figur itu secara faktual memang memiliki nama yang sama, yaitu
Muhammad saw (atau Sang Mesiah) dan Muhammad al-Qa’im (atau Imam Mahdi
as).
Sebab
lainnya adalah kesalahan pemahaman mereka akan jabatan masing-masing
figur mesianistik tersebut, yakni Nabi Muhammad saw dan Imam Mahdi as.
Nabi Muhammad saw adalah nabi, rasul dan imam, sedangkan Muhammad
al-Mahdi as hanya seorang imam dari keturunan beliau. Namun, karena umat
Yahudi mengasumsikan bahwa mereka adalah dua figur yang sama, maka
konsekuensinya yang datang nanti adalah satu orang saja, yaitu orang
yang akan menjadi nabi, rasul dan imam sekaligus.
B. Mesianisme menurut Ajaran Kristen.
Kesalahpahaman
Kristen mengenai konsep mesianisme juga mengikuti pola yang sama. Umat
Kristen sebenarnya merupakan victim atau korban dari konflik internal
bangsa Israel mengenai konsep kemesiahan. Ketika Yesus dipaksakan
menjadi Mesiah, maka mereka juga terpaksa harus meng-“Elia”-kan Nabi
Yahya as atau Yohanes Pembaptis. Tanpa mendudukkan Nabi Yahya as sebagai
figur “Sang Nabi Elia”, maka otomatis Yesus juga tidak bisa
di-Mesiah-kan. Ungkapan ‘Kristen Katholik’ secara harfiah berarti mesiah
(Kristos) dan universal (Katholikos), atau ajaran yang meyakini bahwa
Yesus (Nabi Isa as) adalah Mesiah Universal yang pernah dijanjikan Tuhan
kepada bangsa Israel.
Adapun
mengenai kedatangan Yesus yang kedua dari langit menjelang akhir zaman
nanti, sebenarnya merupakan konsekuensi atas logika berpikir yang mereka
gunakan. Memang betul bahwa Mesiah yang terakhir akan datang sebelum
Hari Kiamat, tapi sebenarnya mereka adalah dua figur manusia yang
saling berbeda, termasuk dalam jabatan, tugas dan misi masing-masing.
Ajaran Kristen, sebagaimana halnya Yahudi, meyakini bahwa putra Ibrahim
as yang dikorbankan adalah Ishak as. Sebagai akibatnya, umat Kristen
juga sebenarnya meyakini dua figur mesianistik saja. Perbedaannya,
mereka menganggap bahwa kedatangan Yesus yang pertama telah terjadi dan
tinggal menunggu kedatangannya yang kedua (terakhir) menjelang akhir
zaman. Namun, mereka meyakini bahwa figur mesianistik yang terakhir
nanti adalah orang yang sama atau Yesus Kristus itu sendiri.
Pada
hakikatnya, figur mesianistik yang kedua dan ketiga memang memiliki
nama yang sama, hanya saja mereka bukan satu orang tetapi dua figur
manusia yang berbeda. Lalu, bagaimana dengan riwayat hadis-hadis seputar
kedatangan Isa as pada akhir zaman nanti menurut sumber-sumber otentik
Ahlusunah dan Syiah? Jawabnya: hadis-hadis itu memang benar, bahkan
satu-satunya figur nabi yang digambarkan akan datang menjelang akhir
zaman nanti di dalam Kitab Wahyu adalah Yesus atau Nabi Isa as. Hanya
saja, Mesiah Akhir Zaman yang dimaksudkan bukanlah Yesus atau Nabi Isa
as, melainkan Imam al-Mahdi.
C. Mesianisme Menurut Ajaran Ahlusunah.
Mayoritas
umat Islam di dunia saat ini didominasi oleh penganut ajaran Ahlusunah
atau kelompok Islam yang meyakini bahwa setelah Rasulullah saw wafat,
kepemimpinan setelah beliau dipilih melalui sistem musyawarah atau
konsensus dan bukan berdasarkan nas seperti yang dipahami Syiah
Imamiyah. Artinya, kelompok ini meyakini bahwa kenabian (nubuwwah)
adalah dengan nas tetapi imamah tidak demikian, sehingga mereka boleh
dipilih oleh umat Islam.
Singkatnya,
walaupun penolakan Ahlusunah atas nas-nas imamah terkesan sepele, akan
tetapi ketika mereka menolak duabelas orang imam yang datang dari
Ahlulbait Nabi saw, maka pada akhirnya mereka tidak memiliki satu figur
manusia rujukan atau role-model yang dapat memelihara mereka dari
berbagai macam kesalahan di dalam menginterpretasikan Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah saw. Sungguh tidak mengherankan bahwa sekalipun jumlah
Ahlusunah adalah mayoritas tetapi mereka sendiri terkotak-kotak melalui
beragamnya mazhab akidah dan fikih dimana antara satu mazhab dengan
yang lain tidak sejalan.
Salah
satu kebingungan terbesar di kalangan umat Ahlusunah adalah kerancuan
mereka dalam memahami figur Imam al-Mahdi as. Bahkan, di antara mereka
ada yang menolak hadis-hadis mengenai kedatangannya karena tidak tahu
bagaimana dan dengan cara apa mereka bisa memahami figur tersebut. Hal
ini tidak mengejutkan, karena ketika kenabian Nabi Muhammad saw
dipisahkan dari ajaran imamah yang disampaikannya, maka pijakan
keagamaan dan keyakinan mereka juga pasti mengalami kerancuan
sebagaimana ajaran Yahudi yang terbingungkan dalam memahami Sang Mesiah
Akhir Zaman.
Mayoritas
Ahlusunah yang masih menerima hadis-hadis tentang kedatangan Imam Mahdi
as berusaha untuk mencari-cari makna-makna lain terhadap hadis-hadis
itu. Namun, pemahaman ini pun pada akhirnya dapat dipastikan akan
menyimpang, sehingga tidak aneh apabila sejarah mereka dipenuhi oleh
beberapa figur manusia yang mengaku-aku sebagai al-Mahdi.
Hadis-hadis
Ahlusunah mengenai Imam Mahdi umumnya terbatas dan hanya menyebutkan
bahwa al-Mahdi akan memiliki nama yang sama dengan Nabi Muhammad saw dan
dia akan berasal dari keturunan Sayidah Fatimah as melalui Imam Husein
as. Selain itu, disebutkan juga bahwa al-Mahdi adalah seorang Imam.
Nah,
dengan demikian, untuk menghindari kesalahpahaman di dalam memahami
figur Imam Mahdi as dan tidak terjebak oleh Mahdi-mahdi palsu, buku yang
ada di tangan saudara-saudara sekarang merupakan sebuah karya luar
biasa yang dalam pembahasannya telah mengadopsi dua sumber riwayat,
yaitu Ahlusunah dan Syiah serta mengkompromikannya.
Di
awal pembahasan, penulis akan mengajak kita untuk memahami tanda-tanda
kemunculan Imam Mahdi as sebagaimana yang pernah disampaikan oleh
Rasulullah saw dan para Imam Ahlulbait as. Ketelitian penulis di dalam
menyusun argumen didukung metode pola pikir yang rasional pasti akan
membawa Anda kepada kesadaran akan kebutaan kita selama ini di dalam
memahami hadis-hadis tentang Imam Mahdi as.
Sebagai
catatan, hadis-hadis yang saya telah kutip untuk pembahasan ini adalah
hadis-hadis yang seluruhnya berasal dari buku ini. Wa akhiru da‘wana
‘anil-hamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Wa Shallallahu ‘ala Sayyidina
Muhammadin wa Alihi at-Thayyibin at-Thahirin.
[Catatan:
Untuk meninjau sumber rujukan yang saya gunakan dalam kajian ini,
silahkan anda merujuk kepada pengantar saya selengkapnya di buku “Imam
Mahdi Dari Era Kebangkitan Sampai Kedatangan” karya Prof. Ali Qurani,
Penerbit Misbah, 2004].
Disadur dari Sumber: http://musadiqmarhaban.wordpress.com/