Oleh: Syaikh Husain Mazhahiri
Sesungguhnya salah satu faktor penolong bagi manusia dalam melakukan “jihad akbar” melawan nafsu ammarah ialah doa. Al-Quran al-Karim memberikan perhatian yang khusus kepada doa, disebabkan doa menciptakan hubungan dengan Allah SWT. Al-Quran Al-Karim juga mengecam orang-orang yang tidak menaruh perhatian terhadap doa.
Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan aku perkenankan bagimu.
Kemudian Allah SWT menambahkan:
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku, mereka akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina. (QS. Al-Mu’min: 60)
Tidak pernah di dalam Al-Quran disebutkan suatu azab seperti penyebutan azab ini. Atau bisa juga kita katakan, bahwa jarang kita melihat suatu ancaman dalam bentuk seperti ini sebagaimana yang ditujukan kepada orang yang meninggalkan doa. Barangsiapa tidak berdoa, lalu dia berputus asa dari doa dan meninggalkan tali di atas punggung unta dalam keadaan yang sensitif ini, maka niscaya Allah memasukkannya ke dalam neraka Jahanam.
Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), “Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadahmu. (tetapi bagaimana kamu beribadah kepada-Nya), padahal sungguh kamu telah mendustakan-Nya. Karena itu kelak azab pasti menimpamu.” (QS. Al-Furqan: 77).
Barangsiapa menjauhkan diri dari berdoa dan memohon kepada Allah Azza Wajalla, maka niscaya Allah SWT akan berlepas tangan darinya dan menyerahkan urusan dirinya kepada-Nya, dan ketika itulah anda dapat menyaksikan betapa dia merugi di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, hadis-hadis menganjurkan kita untuk senantiasa membaca doa Rasulullah SAW di saat kegelapan malam. Yaitu doa yang berbunyi, “Ya Allah, janganlah sekejap pun Engkau serahkan urusan diriku kepadaku.”
Sesungguhnya doa adalah salah satu cabang dari cabang-cabang penyucian dan pembinaan diri. Inilah yang disebutkan oleh Allah SWT setelah Dia bersumpah demi matahari dan cahayanya di pagi hari, kemudian demi bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila ia menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya; kemudian datang ungkapan penyebutan jiwa serta penyempurnaannya, dan pengilhaman jalan kefasikan dan ketakwaan kepda jiwa itu, serta keberuntungan orang yang menyucikan jiwanya dan kerugian orang yang menutupi jiwanya dengan maksiat dan kebodohan, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams : 9-10)
Penyucian jiwa berlangsung dengan doa dan tawassul kepada Allah SWT. Semata-mata doa yang mendidik dan menyucikan jiwa manusia, kata ganti orang pertama (dhamir mutakallim) sebanyak tujuh kali disebutkan pada ayat di bawah ini. Dan ini menunjukkan adanya perhatian yang begitu besar kepada doa. Di dalam surah Al-Baqarah, kita menyaksikan kedekatan Allah Azza Wajalla kepada orang yang berdoa, manakala orang berdoa dan memohon kepada-Nya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka (jawablah), bahwasannya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah : 186)
Ayat yang mulia ini turun ketika sekelompok orang bertanya apakah Tuhan kami itu dekat sehingga kami cukup berbisik (bermunajat) kepada-Nya, atau Dia itu jauh sehingga kami harus menyeruh-Nya?
Maka Allah SWT pun menajawab, bahwa Dia itu dekat dan mengetahui semua keadaan mereka, serta mendengar doa mereka sebagaimana orang yang berdekatan mendengar perkataan temannya. Allah SWT berfirman, “Aku mengabulkan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-ku”, jika dia datang dengan memenuhi syarat-syarat doa dan mengetahui orang yang dia tuju.
Dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. (QS. Qaf : 16)
Ini menunjukkan bahwa Allah SWT jauh lebih mendengar kepada seorang hamba dibandingkan semua orang yang berada dekat dengannya. Di samping itu ayat ini merupakan pendorong kepada kita untuk hanya berdoa dan bertawassul kepada Allah saja, dan tidak meminta kepada yang lain.
Imam Ali berkata, “Amal perbuatan yang paling dicintai oleh Allah Azza Wajalla di muka bumi adalah doa.”
Rasulullah SAW bersabda, “Tuhanku, aku ingin mengetahui siapa di antara hamba-hamba-Mu yang Engkau cintai, sehingga aku bisa mencintainya?”
Maka Allah SWT pun berkata, “Jika Aku melihat seorang hamba-Ku banyak menyebut-ku, maka Aku mendengarkannya dan mencintainya; dan jika aku melihat seorang hamba-Ku tidak menyebut-Ku, maka Aku menghalanginya dan membencinya.”
Berdasarkan penjelasan di atas, maka di dalam pandangan Al-Quran Al-Karim dan riwayat-riwayat yang mu’tabar dari Rasulullah SAW dan para Imam Ahlul Bait, doa lebih utama dan lebih dicintai oleh Allah daripada shalat malam, daripada mengerjakan shalat pada waktunya, dan demikian juga lebih utama daripada jihad. Karena, doa menghubungkan manusia dengan Allah secara langsung, dan menjadikannya tidak bersandar kecuali kepada-Nya. Almarhum al-Kulaini telah menulis kitab doa di dalam al-Kafi, dan mengiringinya dengan riwayat-riwayat yang berbicara tentang keutamaan-keutamaan doa. Demikian juga yang dilakukan oleh ‘Allamah Majlisi tatkala dia menghimpun sejumlah riwayat yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah doa. Kedua kitab ini, bersama dengan kitab Ash-Shahifah as-Sajjadiyyah secara keseluruhan telah membentuk jalan para Imam Ahlul Bait yang suci. Sungguh besar apa yang dikatakan bahwa doa menjadikan manusia mampu membangun dan membersihkan dirinya dari berbagai kotoran dan maksiat. Atau, sebagaimana kata pemimpin Revolusi Islam, ketika membahas tema, “Seorang manusia dapat membangun dirinya dari dua hal; yaitu pertama Al-Quran, dan kedua Doa.
Al-Quran adalah perkataan yang turun dari sisi Zat yang Maha benar, sedangkan doa adalah perkataan seorang manusia kepada Penciptanya. Jadi, kita bisa mengatakan bahwa doa adalah ucapan seorang manusia yang ditujukan kepada Penciptanya, sedangkan Al-Quran adalah perkataan Pencipta terhadap makhluk-Nya. Oleh karena itu, doa adalah salah satu kebanggaan manusia dan selezat-lezatnya kelezatan.
Sesungguhnya manfaat doa banyak sekali, akan tetapi kami tidak akan membahas seluruh manfaatnya. Kami cukupkan untuk membahas dua manfaat darinya saja. Yang pertama, salah satu manfaat doa adalah kebanggaan yang diperoleh seorang hamba dengan bermunajat kepada Tuhannya. Seandainya seorang manusia ditakdirkan dapat bertemu dan berhadapan muka dengan Pemimpin Fulan atau Sultan Fulan, niscaya anda akan melihatnya merasa bangga dengan hal itu di hadapan teman-temannya.
Pada hakikatnya doa adalah kebanggaan seorang hamba di dalam bermunajat kepada tuannya, dan tidak ada kebanggaan yang lebih tinggi daripada seorang manusia dapat bermunajat kepada Tuhannya di tengah malam yang gelap gulita.
Imam Ali Kw berkata, “Barangsiapa yang menyukai bertemu dengan Allah SWT, maka dia akan lupa dengan dunia.”
Doa, artinya kepergian seorang hamba ke rumah Tuannya yang berkali-kali menyerunya, “Kemarilah kepada-Ku”, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan perkenankan bagimu”, dan juga mengancamnya jika dia tidak datang kepada-Nya. Setelah itu Allah SWT berkata, “Aku mengabulkan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.” Artinya , “Berdoalah kepada-Ku, penuhilah perintah-Ku, dan berimanlah kepada-Ku; niscaya aku akan mewujudkan apa-apa yang kau inginkan.”
Jika kebetulan seseorang melihat Imam Ali dalam keadaan pingsan di kegelapan malam yang gelap gulita, niscaya dia menyangka bahwa Imam Ali menjadi demikian karena takut dari neraka Jahannam. Tidak, Ali Kw lebih tinggi daripada yang demikian.
Yang demikian itu tidak lain kecintaan seorang hamba dihadapan Kekasih dan Penciptanya. Demikian juga keadaan Fatimah az-Zahra dihadapan Allah Azza Wajalla, di mana tidak terdengar darinya kecuali suara rintihan, dan tidak terlihat darinya kecuali air mata yang mengalir di pipi. Rasulullah SAW telah bersabda di dalam sebuah hadisnya yang panjang, “… Adapun putriku, Fatimah, adalah penghulu wanita seluruh alam … Manakala dia berdiri di mihrabnya dihadapan Tuhannya—Jalla Jalaluh—maka cahayanya menyinari para malaikat di langit, sebagaimana cahaya bintang menyinari para penduduk bumi. Lalu Allah SWT berkata kepada para malaikat-Nya, ‘Wahai para malaikat, lihatlah hamba-Ku, Fatimah, Penghulu para wanita, tengah berdiri dihadapan-Ku, urat lehernya bergetar karena takut kepada-Ku, dan sungguh dia telah menghadap untuk menyembah-Ku dengan hatinya.”
Imam Ja’far ash-Shadiq berkata. “Dua rakaat pada tengah malam jauh lebih aku sukai dibandingkan dunia dengan segala isinya.”
Imam Ridha berkata, “Ali bin Husain ditanya, ‘Bagaimana orang-orang yang bertahajjud di waktu malam bisa menjadi orang yang paling bagus wajahnya?’ Ali bin Husain menjawab, “Karena mereka berdua-duaan dengan Allah, maka Allah pun memakaikan cahaya-Nya kepada mereka.”
Adapun manfaat yang kedua dari doa adalah terlepasnya orang yang berdoa dari berbagai kesedihan, kemurungan, dan keresahan, yang terkadang bisa mengeruhkan kehidupan seseorang. Dari pandangan kejiwaan, dapat dikatakan bahwa mayoritas keresahan dapat hilang dengan berdoa kepada Allah SWT di tengah malam, disebabkan pada saat itu seorang manusia dapat mengutarakan seluruh keluh kesah yang ada di dalam hatinya kepada Zat yang Maha Esa. Dengan begitu, dia dapat mengurangi beban yang berlebihan dari dalam hatinya, yang pengaruhnya tampak jelas terpantul di dalam akhlak pribadinya, sehingga menjadikannya kelelahan meskipun tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat, dan selalu merasa resah dan tidak tahu apa penyebabnya.
Di samping itu, riwayat-riwayat mengatakan bahwa kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya jauh lebih besar dibandingkan kasih sayang ibu kepada anaknya, “Dia-lah yang dipuji-puji oleh seluruh makhluk ketika mereka butuh dan menghadapi kesulitan, manakala mereka sudah putus pengharapan dari seluruh yang lain selain Dia.”
Tidak mengapa kiranya di sini kita menukil munajat yang biasa dipanjatkan oleh Imam Ali dan oleh para Imam Ahlul Bait sesudahnya, yang diriwayatkan oleh Khalawiyyah, yang terdapat di dalam kitab Mafatih al-Jinan, di bawah judul “Amalan-Amalan bulan Sya’ban” :
Ya Allah, sampaikanlah shalawat dan salam kepada Muhammad dan keluarga Muhammad; dengarkanlah doaku manakala aku berdoa kepada-Mu, dengarkanlah seruanku manakala aku menyeruh-Mu, dan perhatikanlah aku manakala aku bermunajat kepada-Mu. Sungguh, aku telah berlari kepada-Mu, dan kini aku berdiri dihadapan-Mu dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri kepada-Mu, serta mengharapkan ganjaran dari-Mu. Ya Allah, Engkau mengetahui apa yang ada di dalam jiwaku, Engkau mengetahui kebutuhan-kebutuhanku dan Engkau mengetahui apa yang ada di dalam hatiku. Sungguh, tidak tersembunyi dari-Mu tempat kembaliku. Aku tidak ingin menyampaikan ucapan-ucapanku, dan tidak ingin mengutarakan permintaanku, namun aku mengharapkannya untuk hasil akhirku. Sungguh, telah berlalu ketetapan-ketetapan-Mu atas diriku, apa-apa yang akan berlaku hingga akhir umurku, dari hal-hal yang tersembunyi dan kelihatan dari diriku. Di tangan-Mu lah, dan bukan di tangan yang lain, kelebihan, kekurangan, manfaat, dan mudharat diriku.
Ya Allah, jika Engkau mencegahku maka siapakah yang akan memberi rezeki kepadaku, dan jika Engkau menelantarkanku maka siapakah yang akan menolongku.
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kemarahan-Mu, dan dari datangnya kemurkaan-Mu. Ya Allah, jika aku tidak layak mendapat rahmat-Mu, Engkau dapat memberiku dengan luasnya kemurahan-Mu …
Sebagian orang bertanya, “Mengapa doaku tidak diperkenankan, padahal aku berdoa kepada Allah SWT untuk diberi rezeki—misalnya—siang dan malam.”
Di sini, Allamah Thabathaba’i, penulis kitab tafsir al-Mizan mengatakan, “Sesungguhnya doa diperkenankan, namun kebanyakannya tidak sesuai dengan sangkaan kita, melainkan sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Terkadang kita berdoa kepada Allah SWT supaya diberi rezeki yang banyak, atau dikaruniai anak laki-laki. Atau dengan kata lain, kita berdoa sesuai dengan kemauan kita, bukan sesuai dengan kepentingan-kepentingan fitri kita, padahal seharusnya doa sejalan dengan kenyataan, bukan dengan khalayan. Bisa saja harta yang banyak itu akan merusak kita dan menjauhkan kita dari agama, sementara kita tidak mengetahui itu; padahal Allah SWT mengetahui itu. Dan Dia tidak menginginkan sesuatu bagi kita kecuali kebaikan. Allah SWT mengetahui bahwa maslahat si Fulan menuntut dia untuk tetap dalam keadaan fakir dan hidup tanpa harta yang banyak. Allah mengetahui bahwa agamanya akan lebih baik dalam keadaan ini, dibandingkan jika sekiranya dia diberi rezeki yang banyak. Akan tetapi, jika Allah melihat bahwa sekiranya si Fulan diberi anak laki-laki maka agamanya akan menjadi sempurna, atau keadaannya akan menjadi lebih baik, maka pasti Allah pun memberinya anak laki-laki. Al-Quran al-Karim telah menyinggung masalah ini secara ringkas namun penuh manfaat.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal sesuatu itu amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 216)
Pada ayat yang lain Allah SWT juga berfirman dengan makna yang sama:
Mungkin saja kamu tiak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak pada sesuatu itu. (QS. An-Nisa : 19)
Sesuatu yang bukan berada di dalam manfaat kita tidak akan terjadi, lalu kemudian kita pun menyangka bahwa doa yang kita panjatkan tidak memberikan hasil apa-apa.
Apa-apa yang di dalamnya terkandung manfaat bagi kita, maka dengan cepat akan terlaksana setelah doa. Inilah yang ditetapkan oleh Allah SWT atas kita. Dia lebih mengetahui kemaslahatan hamba-hamba-Nya yang tidak mampu mengenal kebaikan. Banyak dari mereka yang berdoa dengan sesuatu yang buruk, tanpa menyadarinya. Akan tetapi Zat yang Maha Kuasa-lah yang menetapkan dan menentukan diperkenankannya doa yang kita panjatkan setiap hari.
Salah satu masalah yang penting di dalam doa ialah tidak adanya pemaksaan terhadap suatu permintaan. Para Imam Ahlul Bait memulai doanya dengan mentauhidkan Allah SWT, menyebutkan sifat-sifat-Nya, dan menyebutkan rahmat dan kasih sayang-Nya yang meliputi segala sesuatu, dan tidaklah mereka menyebut hajat mereka kecuali di akhir doa. Inilah yang dapat kita rasakan pada doa Kumail bin Ziyad, yang terdapat di dalam kitab Mishbah al-Mutahajjad. Doa ini dimulai dengan kata-kata. “Ya Allah, aku bermohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, dengan kekuatan-Mu yang dengannya Engkau taklukkan segala sesuatu, dan yang dengannya menunduk segala sesuatu, dan yang dengannya menunduk segala sesuatu, dan yang dengannya merendah segala sesuatu, dan dengan keagungan-Mu yang mengalahkan segala sesuatu.”
Dan doa ini terus berlanjut dalam bentuk seperti ini, hingga seseorang mengemukakan sebagian besar sifat-sifat dan nama-nama Allah SWT, untuk memberikan perhatian yang besar kepada doa dan Zat yang doa ditujukan kepada-Nya, yang tidak lain adalah Allah Azza Wajalla. Setelah itu barulah orang yang berdoa menyebutkan hajatnya, setelah sebelumnya bersumpah kepada Allah SWT atas nama para nabi dan para rasul-Nya, dan juga Nabi Penutup SAW dan para Imam Ahlul Bait, sehingga orang yang berdoa dapat merasakan kelezatan doa, yang mana Allah SWT senang melihat hamba-Nya dalam keadaan demikian, “Ktakanlah, ‘Tuhanku tidak akan mengindahkan kamu, melainkan kalau ada doamu,’” (QS. Al-Furqan : 77)
Jika Allah SWT tidak memperkenankan doa yang kita panjatkan, maka janganlah kita berputus asa dari rahmat Allah SWT, karena putus asa terkadang bisa sampai kepada batas kekufuran.
Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhya tidak berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang kafir. (QS. Yusuf : 87)
Adapun sebab yang kedua tidak dikabulkannya doa adalah perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah SWT. Dia tidak ubahnya seperti dinding yang menghalangi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa memakan satu suap dari makanan yang haram, maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh malam …”
Betapa indah apa yang disebutkan di dalam doa Kumail bin Ziyad—semoga rahmat Allah tercurah atasnya—di mana di dalam doa itu seorang Muslim mengatakan, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang meruntuhkan penjagaan. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang mendatangkan bencana. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang merusak nikmat. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang merintangi doa. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang menurunkan bencana.”
Juga pada permulaan munajat sya’baniyyah disebukan, “Ya Allah, dengarlah doaku manakala aku berdoa kepada-Mu, dan dengarlah seruanku manakala aku menyeru-Mu.” Arti ungkapan ini ialah, Ya Allah, sukseskanlah aku di dalam menyingkap tabir penghalang yang menghalangi di antara permohonanku dan Engkau, dan di antara aku dan Engkau. Yaitu tidak lain adalah hijab yang dibuat oleh dosa dan maksiat. Inilah yang disebut dengan bab penyerupaan al-ma’qul (sesuatu yang bersifat akli) dengan al-mahsus (sesuatu yang bersifat inderawi).
Atas dasar ini kita dapat mengetahui bahwa terkabulnya sebuah doa mempunyai syarat-syarat tertentu, yang salah satunya adalah menjauhi perbuatan maksiat dan hal-hal yang dibenci oleh Allah SWT. Oleh karena itu, selayaknya kita memulai doa kita dengan tobat dan memohon ampun, supaya kita mampu mengangkat tirai yang menghalangi doa bisa naik ke atas. Tidak mengapa juga kita mengungkapkan tobat pada pertengahan atau akhir doa. Inilah yang dapat kita saksikan di dalam munajat sya’baniyyah, doa makarimul akhlaq, dan doa Kumail.
Jadi, yang menjadi sebab tidak dikabulkannya doa adalah diri kita sendiri, dan juga maksiat serta dosa yang kita lakukan. Kita harus menjauhi semua hal yang diharamkan oleh Allah SWT, baik berupa menyakiti orang lain, makan makanan yang haram, maupun hal-hal yang lain. Imam Muhammad al-Baqir berkata, “Sungguhnya jika seorang laki-laki memperoleh suatu harta yang haram, maka tidak diterima ibadah haji, umrah, dan silaturahmi darinya.”
Walhasil, jika kita ingin doa kita dikabulkan di sisi Allah SWT maka kita harus menjauhi perbuatan dosa dan maksiat, menjaga hak-hak orang lain, tidak bersikap takabur kepada manusia, tidak tertipu harta dan kekayaan yang ada pada kita, dan harus banyak memuji Allah atas besarnya kebaikan yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita, dengan pujian yang memang merupakan hak-Nya. Kita juga harus berpegang teguh kepada apa-apa yang terdapat di dalam kitab-Nya yang mulia, dan kepada apa-apa yang diucapkan Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya, supaya kita dapat menyampaikan doa hingga tingkatan-tingkatan pokoknya, agar diterima dan diridhai oleh Allah SWT.
Adapun sebab ketiga yang menghalangi diperkenankannya doa ialah, apa yang terlintas di dalam hati bertolak belakang dan tidak sesuai dengan kata-kata doa yang sedang kita ucapkan. Amirul Mukminin Ali Kw berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW melihat seorang laki-laki yang mmembelakangi keningnya. Melihat itu Rasulullah SAW bersabda, ‘Barangsiapa yang berusaha mengalahkan Allah maka Allah pasti mengalahkannya, dan barangsiapa yang menipu Allah maka pasti Allah menipunya. Janganlah sama sekali engkau bergeser dari tanah dengan keningmu, dan jangan pula engkau mengubah penciptaanmu.’”
Imam Ali berkata, “Sesungguhnya makhluk yang paling dibenci oleh Allah SWT ialah dua orang laki-laki. Yaitu seorang laki-laki yang Allah serahkan urusan dirinya kepadanya, sehingga dia menyimpang dari jalan Allah SWT, dan tergila-gila dengan bid’ah dan doa yang sesat. Dia menjadi fitnah bagi orang-orang yang terpesona kepadanya, dan menyebabkan orang-orang yang berada di belakangnya tersesat dari petunjuk …”
Barangsiapa hatinya penuh dengan dosa, maka hatinya tidak ubahnya menjadi seperti tempat tidur setan. Dia tidak bisa mengosongkan satu tempat pun di dalam hatinya untuk Tuhan. Mungkin saja seseorang berdoa, sementara hatinya penuh dengan dosa, sehingga doanya pun tidak diperkenankan, disebabkan dirinya penuh dengan maksiat yang mencegah turunnya rahmat Allah kepada dirinya. Adapun hati yang diperuntukkan untuk sesuatu apa pun kecuali untuk perintah-perintah Allah SWT, maka dia dapat mengatakan, “Aku datang ke hadapan Engkau Ya Allah.” Dengan begitu, dia menjadi manusia yang bahagia dengan masuknya cahaya Allah ke dalam hatinya.
Saya memberikan contoh di sini, dengan maksud supaya pmbicaraan saya menjadi jelas. Jika salah seorang dari anda melemparkan wadah ke laut, niscaya dengan cepat anda menyaksikan wadah itu penuh dengan air. Akan tetapi jika dia menutup wadah itu terlebih dahulu dengan penutup yang kuat, lalu kemudian baru melemparkannya ke laut, niscaya anda akan melihat bahwa wadah itu kosong dari air. Dengan kata lain, tidak ada satu tetes air pun masuk ke dalamnya, meskipun wadah itu dibiarkan tetap berada di dalam laut selama setahun penuh. Adakah anda berpikir bahwa penyebab tidak masuknya air ke dalam wadah adalah kikirnya laut dari air, atau penyebabnya adalah penutup kuat yang mencegah masuknya air ke dalam wadah?
Demikian juga halnya anda masuk ke dalam sebuah kamar yang di dalamnya tidak tedapat jendela kecuali hanya satu pintu yang menjadi tempat anda masuk ke dalam kamar itu. Lalu anda mengunci pintu itu. Setelah itu anda menyaksikan bahwa anda tengah berada di dalam kegelapan yang pekat. Apakah ketika itu anda dapat menyalahkan matahari karena tidak memasukkan cahayanya kepada anda?
Jadi, anda harus membuka pintu kamar, dan menjadikannya sebagai jendela. Dengan begitu, baru anda dapat menyaksikan masuknya cahaya matahari kepada anda.
Jadi, kesalahan itu berasal dari kita dan bukan dari air laut atau kamar. Hati yang tidak mengenal kesucian tidak ubahnya seperti kamar yang tidak memiliki jendela.
Dapat juga hasud menjadi salah satu hal yang menghalangi doa. Hasud adalah salah satu faktor yang merusak hati. Karena, hasud adalah pangkal dari sifat-sifat yang buruk, dan buah dari hasud ialah kesengsaraan dunia dan kesengsaraan akhirat. Orang yang hatinya dikuasai oleh hasud, niscaya Allah SWT mencegahnya dari rahmat-Nya dan juga dari dikabulkannya doanya. Amirul Mukminin Ali Kw berkata, “Hasud adalah perangai yang rendah dan musuh negara. Hasud adalah gunting iblis yang paling besar. Hasud merintangi jiwa, hasud adalah seburuk-buruknya penyakit, aib yang paling jelek, dan perasaan yang memberatkan. Tidaklah orang yang hasud dapat terobati kecuali apabila harapannya telah sampai terhadap orang yang dihasudinya.”
Banyak riwayat Ahlul Bait Nabi SAW yang mengatakan bahwa orang yang berdusta manakala dia berdusta, maka keluarlah bau busuk dari mulutnya, dan bau busuk itu terus naik ke langit, sehingga para malaikat terganggu dengan bau busuk itu, dan mereka melaknat si pemiliknya. Apakah mungkin orang seperti ini akan dikabulkan doanya? Sebaliknya, orang yang berpuasa, yang terkadang kita tidak kuat mencium bau mulutnya, mereka mempunyai bau yang harum di alam malakut. Sesungguhnya doa mereka diterima dan dikabulkan, disebabkan kosongnya hati mereka dari maksiat, dan disebabkan keteguhan mereka dalam memegang apa-apa yang terdapat di dalam Kitab Allah SWT dan juga sunah para wali-Nya.
Perlu disebutkan di sini, bahwa usaha untuk berdoa dan memulai dalam masalah ini, tidak sunyi dari pengaruh-pengaruh positif bagi jiwa, dan juga ganjaran—meskipun tanpa disertai dengan pengabulan doa. Karena—secara umum—kata-kata doa dapat melembutkan hati, dan dapat membantu seorang Muslim untuk memahami kalimat-kalimat dan ungkapan-ungkapan yang dia ucapkan tatkala berdoa.
Imam Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq berkata dari kakeknya, Rasulullah SAW yang mengatakan, “Sesungguhnya aku menyukai seorang laki-laki dari kamu, yang jika dia berdiri mengerjakan shalat fardhu dia menghadap Allah dengan hatinya, dan tidak menyibukkan hatinya dengan urusan dunia. Tidaklah seorang Mukmin menghadap Allah dengan hatinya di dalam shalat, kecuali Allah pasti akan mendatanginya dengan wajah-Nya, dan juga mendatanginya dengan hati orang-orang mukmin yang mencintainya, setelah terlebih dahulu Allah Azza Wajalla mencintainya.”
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami taufik dan ketaatan, kejauhan dari maksiat, dan pengabulan doa. Ya Allah, datangilah kami dengan wajah-Mu yang mulia, halangi dari kami kekuatan bala, dan selamatkanlah kami dari bencana yang sekonyong-konyong. Ya Allah, tolonglah kami dari hilangnya kenikmatan dan dari tergelincirnya kaki; singkapkanlah dari kami kesulitan zaman, palingkanlah dari kami penghalang-penghalang urusan, datangkanlah kepada kami tali kelana keselamatan dan bawalah kami kepada tempat kemuliaan. Ya Allah, singkapkanlah bala dan bencana-Mu, wahai Zat yang Maha Pengasih di antara yang pengasih, dengan nama Muhammad dan keluarga Muhammad yang suci.
(Buletin-Mitsal/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)