أبا حنيفة ومالك كانا تلميذين للإمام الصادق وكان أبو حنيفة كثيرا ما يقول لولا السنتان لهلك النعمان
Abu Hanifah dan Malik adalah murid dari Imam Shadiq dan Abu Hanifah biasa mengatakan : “Tanpa dua tahun al-Nu’man akan binasa” (Nazarat fi al Kutub al Khalidah halaman 182.)
Dalam Minhaj al-Syariah al-Islamiah j. 3 h.114:
وأخذ عنه أيضا الإٌمام أبو حنيفة في الكوفة ، وقال ما رأبت أفقه من جعفر بن محمد الصادق
“Begitu juga Imam Abu Hanifah dibawah pengajaran (Imam Shadiq) di Kufah, dan ia (Abu Hanifah) berakata :’Aku tidak pernah melihat sorang yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad al Shadiq”.
Ulama Sunni Syaikh Ibn Talha As-Syafi’i dalam Matalib al Sual halaman 218:
واستفاد من الإمام الصادق جماعة من أعيان الأئمة وأعلامهم مثل مالك بن أنس وأبو حنيفة
“Banyak ulama yang mengambil manfaat dari Imam Ash-Shadiq seperti Malik bin Anas dan Abu Hanifah”.
Pada masa itu, pengetahuan Islam menyebar dan pelajar mengambil manfaat dari ajaran ulama dengan perbedaan pandangan yang jauh dan luas. Abu Hanifah termasuk yang mengambil pelajaran dari Imam Ja’far Ash-Shadiq (as) walaupun sekitar dua tahun sebagaimana yang di ucapkannya. Jika kita belajar fiqih atau ilmu agama lainnya dibawah guru dengan keyakinan yang berbeda untuk diri sendiri maka itu TIDAK secara otomatis berarti kita harus merubah keyakinan kita. Oleh sebab itu jika ada krtitik terhadap Abu Hanifah, terkait tentang pandangan-pandangannya tidaklah berpengaruh terhadap Imam Ja’far (as) yang mana Imam Abu Hanifah sempat dua tahun belajar kepadanya.
Oknum Ulama sering mengatakan bahwa mazhab Islam yang benar adalah empat mazhab ahlu sunnah, selain dari mazhab tersebut sesat, tidak boleh di ikuti, dan lain-lain. Jika kita perhatikan beberapa Imam Mazhab tersebut sering kali mengkritik pedas ulama mazhab lainnya. Abu Hanifah adalah salah satu Imam Mazhab Sunni yang sering di kritik pedas oleh Imam Mazhab Sunni lainnya.
Abu Hanifah Dalam Pandangan Imam Ahmad Bin Hanbal.
Tarikh Baghdad (13/454) :
أخبرنا الحسن بن الحسن بن المنذر القاضي والحسن بن أبي بكر البزاز قالا أخبرنا محمد بن عبد الله الشافعي سمعت إبراهيم بن إسحاق الحربي قال سمعت احمد بن حنبل وسئل عن مالك فقال حديث صحيح ورأي ضعيف وسئل عن الأوزاعي فقال حديث ضعيف ورأي ضعيف وسئل عن أبي حنيفة فقال لا رأي ولا حديث وسئل عن الشافعي فقال حديث صحيح وراي صحيح
Ishaq bin Harby berkata : “Aku mendengar, Ahmad bin Hanbal ditanya mengenai Imam Malik. Jawabannya; ‘Hadisnya Shahih tapi pendapatnya Lemah (dhaif). Lalu ia ditanya mengenai Awzai, ia menjawab; ‘Hadis dan pendapatnya keduanya Dhaif, lalu ia ditanya tentang Abu Hanifah, ia menjawab; ‘Tdk Hadis dan tidak Pendapatanya (tidak ada nilainya), lalu ia ditanya tentang Imam Syafi’i, jawabannya; “Hadis dan pendapatnya shahih”.
Tarikh Baghdad (15/ 569) :
أخبرنا بن رزق حدثنا احمد بن سلمان الفقيه المعروف بالنجاد حدثنا عبد الله بن احمد بن حنبل حدثنا مهنى بن يحيى قال سمعت احمد بن حنبل يقول ما قول أبي حنيفة والبعر عندي إلا سواء
Ahmad bin Hanbal berkata : “Menurutku pendapat Abu Hanifah sama dengan kotoran kambing”.
Keterangan :
SANADNYA KEPADA MUHANNA ADALAH SHAHIH,MUHANNA ADALAH SEORANG TSIQOH DAN SANGAT TEGUH BERPEGANG PADA SUNNAH,TAMPAKNYA ABDULLAH (PUTRA AHMAD BIN HAMBAL) TIDAK MENDENGAR DARI AYANYA DAN IA MENGAMBIL DARI MUHANNA. (catatn kaki Tarikh Baghdad j. 15/569).
Ulama kontemporer Sunni, Hasan As-Saqqaf mencatat dalam Al Salafya al Wahabiah, hal. 73 :
فالحنابلة يرون أن الإمام أبو حنيفة من أئمة الضلال
“Hanbaliyah menyakini bahwa Imam Abu Hanifah adalah Imam kesesatan.”.
Tarikh Baghdad (13/416) :
http://islamport.com/d/1/trj/1/108/1614.html
أخبرنا بن رزق أخبرنا بن سلم حدثنا الأبار حدثنا أبو الأزهري النيسابوري حدثنا حبيب كاتب مالك بن أنس عن مالك بن أنس قال كانت فتنة أبي حنيفة أضر على هذه الأمة من فتنة إبليس
Malik bin Anas berkata : “Fitnah Abu Hanifah lebih berbahaya bagi umat dari pada Fitnah Iblis”
Tarikh Baghdad (13/415) :
http://islamport.com/d/1/trj/1/108/1614.html
أخبرنا بن الفضل أخبرنا عبيد الله بن جعفر بن درستويه حدثنا يعقوب بن سفيان حدثني الحسن بن الصباح حدثنا إسحاق بن إبراهيم الحنيني قال قال مالك ما ولد في الإسلام مولود أضر على أهل الإسلام من أبي حنيفة
“Malik berkata : Tidak seorangpun lahir dalam islam yang lebih berbahaya dari Abu Hanifah”
Abu Hanifah Dalam Pandangan Imam Syafi’i.
Tarikh Baghdad (15/ 567) :
وقال أيضا حدثنا أبي حدثنا هارون بن سعيد الأيلي قال سمعت الشافعي يقول ما أعلم أحدا وضع الكتاب أدل على عوار قوله من أبي حنيفة
Syafi’i berkata : “Saya tidak tahu siapa yang menulis sebuah kitab yang membuktikan kesalahannya sendiri kecuali Abu Hanifah”.
Halaman yang sama :
أخبرنا احمد بن محمد العتيقي والحسن بن جعفر السلماسي والحسن بن علي الجوهري قالوا أخبرنا علي بن عبد العزيز البرذعي أخبرنا أبو محمد عبد الرحمن بن أبي حاتم أخبرنا محمد بن عبد الله بن عبد الحكم قال قال لي محمد بن إدريس الشافعي نظرت في كتب لأصحاب أبي حنيفة فإذا فيها مائة وثلاثون ورقة فعددت منها ثمانين ورقة خلاف الكتاب والسنة
Berkata Muhammad bin Idris As-Syafi’i : “Aku melihat kitab sahabat-sahabat Abu Hanifah dan itu terdiri dari 130 halaman, aku menemukan di dalamnya 80 halaman yang bertentangan dengan Al Kitab (al Qur’an) dan Sunnah”.
Tarikh Baghdad (15/549) :
- وقال الشافعي شر عليهم من أبي حنيفة
“Syafi’i mengatakan kepada mereka kejahatan Abu Hanifah”.
Imam Subki mencatat pernyataan Imam Syafi’i dalam Tabaqat al-Shafi’iyah al-Kubra, j.2 h.94 :
وكذلك وجدت كتاب أبى حنيفة إنما يقولون كتاب الله وسنة نبيه وإنما هم مخالفون له
“Aku telah melihat kitab Abu Hanifah dan mereka mengklaim bahwa apapun yang mereka katakan ada dalam Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya, dan sebenarnya mereka menentangnya. (bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah).
Dari semua itu maka terlihat jelas bahwa tidak ada kewajiban bagi siapapun untuk mengikuti salah satu dari empat Mazhab Sunni, karena jika kebenaran ada pada keempat mazhab tersebut, mengapa salah satu Imam Mazhab dari empat mazhab tersebut dikritik pedas oleh Imam Mazhab lainnya..? Lalu pandangan yang mana yang harus diikuti.? toh kedua Imam Mazhab Sunni tersebut jelas-jelas mengatakan bahwa Abu Hanifah yg merupakan salah satu dari Imam Mazhab sunni tersebut merupakan seorang Imam kesesatan, pendapatnya tidak ada artinya, fitnahnya lebih berbahaya daripada fitnah iblis, dll (sebagaimana yang tercantum dalam Tarikh Baghdad diatas) ?
Pada intinya silahkan bagi anda untuk mengikuti mazhab manapun yang anda yakini, tidak ada monopoli dalam bermazhab, yang jelas kewajibannya adalah mengikuti Tsaqalain : Kitabullah dan Ahlul Bait.
Aku Berpikir, Aku Syiah.
Memang Tuhan sudah menakdirkan manusia mana yang berakhir
dengan husnul khatimah dan mana yang berakhir dengan buruk. Namun, manusia
dikaruniai akal untuk membantu mereka menemukan bimbingan cahaya ajaran Islam
dan menghindari jalan kesesatan. Sekali mereka menemukan cahaya Islam, bukan
berarti manusia tidak perlu lagi menggunakan akal mereka. Akal tetap diperlukan
bagi manusia dalam membantu tetap konsisten menjalani praktek amalan beribadah
sehari-hari. Dengan demikian manusia dapat terhindar dari tipu muslihat dan
talbis setan baik dari golongan jin maupun manusia berjenggot yang menggoda.
Lihat bagaimana jalan hidup sang master al-Ghazaly dalam
menemukan metode tepat untuk menggapai Tuhan. Ia menapaki jalan aliran batiniyah,
fikih, kalam, dan filsafat. Beliau mempelajari masing-masing aliran tersebut
dan memahami kekurangan masing-masing sehingga puncaknya beliau menemukan jalan
tasawuf yang mengobati kehausan jiwanya. Sikap inilah yang seharusnya dijalani
setiap muslim dalam penggembaraan agamanya. Sikap logis dan kritis terhadap
amalan ajaran agamanya tanpa meninggalkan pedoman sucinya.
Aku terlahir Sunni dan bangga telah menjadi bagian dari
Sunni, dan aku bukan, naudzubillah, kelompok Islam yang dengan mudah
mengkafirkan dan meyesatkan sesama
muslim lainnya, kelompok turunan dari Khawarij pasukan Dajjal LA sebagaimana
disabdakan Nabi Muhammad saww dan Imam Ali as. Kesunnianku tak diragukan lagi
dengan biasanya aku bertabarruk, tawasul dan sebagainya yang galib ditradisikan
Sunni/NU Indonesia. Pertama kali aku berkenalan dengan yang namanya Syiah
secara objektif adalah dari buku al-Murajaat yang dipinjam kakak saya dari
kampus. Sebuah buku besar yang tidak hanya secara fisik tapi juga secara
psikologis mampu menggerakkan jiwa untuk bersikap kritis dan logis terhadap apa
yang kita anut.
Ada beberapa poin dasar yang bisa dikatakan keliru dalam
pandangan Sunni secara umum, dan itu tidak hanya menjangkit di kalangan awam
saja namun juga di tingkat ulama pemberi pencerahan umat. Beberapa poin inilah
yang menyebabkan aku tidak lagi merasa menjadi bagian dari sunni tulen atau deles
dalam bahasa saya. Kalau dalam standar takfiri mungkin aku sudah dikategorikan
sebagai rafidhah ekstrim, boleh dibunuh, :) mengutip sabda Imam Husein as: “Jika tubuh dirancang untuk berakhir,
kenapa harus takut kehilangan”.
Pertama; hadis wasiat Nabi Muhammad saww. Biasanya di
Sunni yang terdengar adalah riwayat “berpegangteguhlah pada al-Quran dan
Sunnahku”. Hampir semua sunni pasti akan menganggap hadis ini yang benar dan tidak
ada hadis lain selain ini. Adapun hadis “berpegangteguhlah pada al-Quran dan
Ahlu baitku” adalah hadis lemah
dan
tidak diajarkan dalam dunia akademis. Bahkan KH. AN pengasuh bahsul
masail di
majalah AULA terbitan Maret 2012 yang membahas tentang Kontoversi Pusaka
Islam, Mana yang Benar?, majalahnya umat Sunni Indonesia pun keliru
ketika ada pertanyaan
tentang hadis wasiat atau yang biasa disebut hadis tsaqalain. Beliau
gegabah
dengan mengatakan kalau hadis “berpegangteguhlah pada al-Quran dan ahli
baitku”
sebagai hadis lemah dan tidak ada dalam kitab standar hadis Sunni yang
enam dan
mensahihkan hadis “berpeganglah pada al-Quran dan sunnahku”.
Aku bertaruh di antara kedua hadis tersebut pasti hadis “berpegangteguhlah
pada al-Quran dan ahli baitku” yang sahih. Bahkan seorang blogger wahabi AJ saja
mengakui bahwa hadis berpegangteguhlah pada al-Quran dan sunnahku adalah hadis
dhaif dengan seluruh jalannya. Kedua hadis tersebut jika ditakhrij dengan
standar yang paling ketat pun niscaya yang sahih adalah hadis
“berpegangteguhlah pada al-Quran dan ahli baitku”. Jika ini adalah kebenaran
seharusnya umat Islam mengikuti wasiat tersebut, bukannya menutupinya,
pura-pura tidak tahu, bahkan mengabaikannya karena hanya akan memberikan
justifikasi atas benarnya madzhab Syiah. “Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Sikap lain yang saya rasakan tentang terlalu cenderungnya
mereka akan kesunniannya adalah sekalipun mereka mensahihkan “berpegangteguhlah
pada al-Quran dan ahli baitku” namun mereka menafsirkan bahwa kepada ahli bait
Nabi saww kita harus menghormati hak-hak mereka, menyayangi mereka, dll. Alangkah
naifnya, ketika mereka tidak sadar kedhaifan hadis “berpegangteguhlah pada
al-Quran dan sunnahku” mereka berkoar-koar tentang berpegang teguh dan
menjadikan rujukan keduanya. Namun ketika tahu bahwa rujukan mereka bukanlah
sebuah hadis yang tidak dapat dijadikan
landasan hidup, mereka menafsirkan secara berbeda. Padahal secara tekstual
lafal keduanya sama hanya berbeda dalam poin kedua, yaitu Ahli bait Nabi saww
atau Sunnah Nabi saww. Seharusnya umat Islam mengikuti sahabat Hudzaifah bin
Yamani yang mewasiatkan kedua putranya untuk selalu mengikuti Ali as.
Kedua; siapakah ahlul bait Nabi Muhammad saww yang harus
kita ikuti itu? Kita tidak perlu melihat KTP untuk mengetahui tersebut, toh
zaman itu tidak ada KTP. Hehe. Orang Arab mana yang tidak tahu suku Quraisy
dengan Bani Hasyimnya. Orang Arab mana yang tidak kenal dengan Nabi saww yang
dijuluki al-Amin. Hampir semua orang Arab pasti mengenalnya termasuk dengan
istri dan keluarga besarnya dan semuanya pasti tahu itu termasuk keluarga ahli
bait Nabi saww. Namun yang dikhususkan untuk diikuti adalah ahli bait yang
dijelaskan dalam potongan ayat terakhir surah al-Ahzab ayat 33. Kenapa harus ada
pembedaan, toh mereka semua adalah ahli bait Nabi saww? Jika anda disuruh
memilih pemimpin, apakah anda memilih tokoh yang terbaik, biasa atau tokoh yang
buruk. Inilah alasan Syiah memilih Imam Ali, Sayyidah Fatimah, Imam Hasan, Imam
Husein as. Karena merekalah yang terpilih dalam potongan ayat terakhir surah
al-Ahzab 33. Dalam riwayat sahih manapun baik di kitab Sunni maupun Syiah,
potongan ayat tersebut turun pada kelima pribadi tersebut, yang di kalangan
habaib dikenal dengan ahlul kisa’. Kenapa para istri Nabi saww tidak dimasukkan
dalam ayat tersebut? Pertanyaan tersebut juga pernah ditanyakan oleh istri Nabi
saww, Ummu Salamah yang pada waktu turunnya ayat tersebut berada di rumahnya. Nabi
saww tidak memasukkan beliau dalam selimut, beliau hanya mendoakannya dengan
kebaikan. Jika riwayat sahih asbab nuzul ayat tersebut jelas khusus menyebutkan
kelima pribadi tersebut tanpa memasukkan istri Nabi saww, kenapa harus mengeneralisasi
pada semua ahli bait Nabi saww tanpa ada dalil yang menguatkan hal tersebut? Disinilah
akar kesalahpahaman antara Sunni dan Syiah.
Seandainya Sunni memahami alur pikir Syiah ini niscaya
mereka memaklumi kenapa Syiah getol membela Imam Ali, Sayyidah Fatimah, dan dua
cucu Nabi saww daripada yang lainnya ketika terjadi konflik, baik dengan
sahabat maupun istri Nabi saww. Berbeda dengan cara pandang Sunni yang menganggap
semua sahabat adil, mereka umat terbaik, dan sebagainya. Ketika para sahabat
saling caci maki, berperang bagaimana sikap Sunni? Kami harus diam, tidak boleh
membicarakan mereka, mereka semua berijtihad dan baik yang benar maupun salah mendapat
pahala, biarkan yang sudah terjadi berlalu, bahkan adapula yang mengatakan
jangan ceritakan sejarah kelam para sahabat. Jika demikian apa gunanya
sejarah?!
Ketiga; masalah keadilan sahabat. Memang ada beberapa
pengertian tentang apa itu keadilan sahabat, mulai dari yang ekstrim sampai
yang rendah. Namun yang pasti dalam standar Sunni pengertian keadilan sahabat
adalah seluruh sahabat dapat diterima riwayatnya dalam menyampaikan sabda Nabi
saww. Allah swt memerintahkan umat Islam untuk selalu memperhatikan sejarah,
terutama sejarah umat dan generasi terdahulu. Memperhatikan sejarah bukan dalam
arti pasif, diam dan biarkan berlalu namun aktif dengan memilah mana sejarah
yang patut kita teladani dan ambil pelajaran dan mana yang harus kita jauhi.
Bagi saya baik Sunni dan Syiah berhak mendapatkan
kenikmatan surgawi kelak. Mereka lahir
sebagai korban sejarah yang harus disikapi dengan arif dan bijaksana, bukan
dengan saling menyalahkan. Sebenarnya beberapa persoalan yang laris manis
sebagai bahan adu domba Sunni dan Syiah hanyalah masalah-masalah sepele namun
besar bagi orang kebanyakan bahkan tokoh NU sekelas Ust. IR, seperti pemikiran generalisasi
yang menyamakan semua orang hanya dengan pendapat aneh dan salah beberapa
oknum, perbedaan pemahaman tentang istilah suatu kelompok dan persoalan fikhiyah
yang bisa didamaikan secara ilmiah dan akal terbuka. Sebagai contoh tentang
nikah Mut’ah, Sunni bersikeras nikah mut’ah itu haram setelah dihalalkan Nabi
saww. Namun dalam prakteknya bahkan setelah Nabi saww, Abu Bakr, Umar, Utsman,
dan Ali wafat pun nikah mut’ah masih dipraktekkan dan dihalalkan sebagian umat
Islam, dalam hal ini adalah para tokoh Sunni dan ini direkam dalam kitab-kitab
Sunni. Nikah Mut’ah merupakan salah satu dari beberapa masalah fikhiyah yang
tidak perlu jadi bahan pertengkaran antar umat sebagaimana sebagian ulama Sunni
menghalalkan nabidz yang memabukkan. Jika anda mempelajari fikih, anda akan
menemukan hampir semua madzhab fikih mempunyai beberapa produk hukum fikih yang
“aneh” yang bisa dijadikan dasar saling salah-menyalahkan dan
sesat-menyesatkan.
Shahih Hadis Tsaqalain Dalam Mazhab Syi’ah.
Salah satu syubhat yang sering dilontarkan
oleh para pembenci Syi’ah adalah tuduhan bahwa Syi’ah menjadikan hujjah
hadis Tsaqalain dengan mengambil dari kitab Ahlus Sunnah karena Syi’ah
tidak memiliki hadis Tsaqalain yang shahih dalam kitab mereka.
Setelah kami membaca kitab-kitab hadis
mazhab Syi’ah maka bisa dipastikan bahwa tuduhan tersebut tidak benar,
Syi’ah tidak menjadikan hadis Ahlus Sunnah sebagai pegangan mereka dan
sebaliknya Ahlus Sunnah juga tidak menjadikan hadis Syi’ah sebagai
pegangan mereka. Kedua mazhab masing-masing memiliki hujjah dari
hadis-hadis dalam kitab pegangan mereka sendiri.
Tulisan ini hanya menyajikan informasi
kepada para pembaca bahwa faktanya, Syi’ah juga memiliki hadis Tsaqalain
yang shahih [sesuai dengan standar ilmu hadis Syi’ah] dalam kitab hadis
mereka.
.
Riwayat Pertama:
حدثنا محمد بن الحسن بن أحمد بن الوليد رضي الله عنه قال حدثنا محمد بن الحسن الصفار، عن محمد بن الحسين بن أبي الخطاب، ويعقوب بن يزيد جميعا، عن محمد بن أبي عمير، عن عبد الله بن سنان، عن معروف بن خربوذ، عن أبي الطفيل عامر بن واثلة، عن حذيفة بن أسيد الغفاري قال لما رجع رسول الله صلى الله عليه وآله من حجة الوداع ونحن معه أقبل حتى انتهى إلى الجحفة فأمر أصحابه بالنزول فنزل القوم منازلهم، ثم نودي بالصلاة فصلى بأصحابه ركعتين، ثم أقبل بوجهه إليهم فقال لهم إنه قد نبأني اللطيف الخبير أني ميت وأنكم ميتون، وكأني قد دعيت فأجبت وأني مسؤول عما أرسلت به إليكم، وعما خلفت فيكم من كتاب الله وحجته وأنكم مسؤولون، فما أنتم قائلون لربكم؟ قالوا: نقول: قد بلغت ونصحت وجاهدت فجزاك الله عنا أفضل الجزاء ثم قال لهم: ألستم تشهدون أن لا إله إلا الله وأني رسول الله إليكم وأن الجنة حق؟ وأن النار حق؟ وأن البعث بعد الموت حق؟ فقالوا: نشهد بذلك، قال: اللهم اشهد على ما يقولون، ألا وإني أشهدكم أني أشهد أن الله مولاي، وأنا مولى كل مسلم، وأنا أولى بالمؤمنين من أنفسهم، فهل تقرون لي بذلك، وتشهدون لي به؟ فقالوا: نعم نشهد لك بذلك، فقال: ألا من كنت مولاه فإن عليا مولاه وهو هذا، ثم أخذ بيد علي عليه السلام فرفعها مع يده حتى بدت آباطهما: ثم: قال: اللهم وال من والاه، وعاد من عاداه، وانصر من نصره واخذل من خذله، ألا وإني فرطكم وأنتم واردون علي الحوض، حوضي غدا وهو حوض عرضه ما بين بصرى وصنعاء فيه أقداح من فضة عدد نجوم السماء، ألا وإني سائلكم غدا ماذا صنعتم فيما أشهدت الله به عليكم في يومكم هذا إذا وردتم علي حوضي، وماذا صنعتم بالثقلين من بعدي فانظروا كيف تكونون خلفتموني فيهما حين تلقوني؟ قالوا: وما هذان الثقلان يا رسول الله؟ قال: أما الثقل الأكبر فكتاب الله عز وجل، سبب ممدود من الله ومني في أيديكم، طرفه بيد الله والطرف الآخر بأيديكم، فيه علم ما مضى وما بقي إلى أن تقوم الساعة، وأما الثقل الأصغر فهو حليف القرآن وهو علي بن أبي طالب وعترته عليهم السلام، وإنهما لن يفترقا حتى يردا علي الحوض قال معروف بن خربوذ: فعرضت هذا الكلام على أبي جعفر عليه السلام فقال: صدق أبو الطفيل رحمه الله هذا الكلام وجدناه في كتاب علي عليه السلام وعرفناه
Telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Hasan bin Ahmad bin Waliid [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar dari Muhammad
bin Husain Abil Khaththaab dan Ya’qub bin Yaziid keduanya dari Muhammad
bin Abi ‘Umair dari ‘Abdullah bin Sinaan dari Ma’ruf bin Kharrabudz dari
Abu Thufail ‘Aamir bin Watsilah dari Hudzaifah bin Usaid Al Ghifariy
yang berkata ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] kembali
dari Haji Wada dan kami bersama Beliau, hingga sampailah kami di Juhfah,
Beliau memerintahkan para sahabatnya untuk bersitirahat, maka merekapun
beristirahat. Kemudian diserukan untuk shalat maka Beliau shalat dengan
para sahabatnya dua rakaat, Kemudian Beliau menghadapkan wajahnya
kepada mereka dan berkata bahwasanya Dia yang Maha Halus dan Maha
Mengetahui memberitakan kepadaku bahwa aku akan segera wafat dan kalian
juga akan wafat, seolah aku akan dipanggil dan aku akan menjawabnya, dan
aku akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang aku diutus kepada kalian dan apa yang aku tinggalkan kepada kalian dari Kitab Allah dan Hujjah-nya dan
kalian juga akan diminta pertanggungjawaban, maka apa yang akan kalian
katakan kepada Rabb kalian?. Mereka berkata “kami akan mengatakan
sungguh Engkau telah menyampaikan, memberi nasehat dan telah berusaha
dengan sungguh-sungguh, maka semoga Allah SWT memberikan ganjaran dengan
ganjaran yang paling baik”. Kemudian Beliau berkata “bukankah kalian
bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Aku adalah Rasulullah yang
diutus kepada kalian, bahwa surga itu benar, neraka itu benar, dan hari
kebangkitan itu benar?. Mereka berkata “sungguh kami bersaksi akan hal
itu”. Beliau berkata “Ya Allah saksikanlah apa yang mereka katakan, dan
aku meminta kesaksian kalian bahwasanya aku bersaksi Allah adalah
maulaku, dan aku adalah maula bagi setiap muslim, dan aku yang paling
berhak atas kaum mu’minin dibanding diri mereka sendiri, apa kalian
menerima dan menyaksikan?. Mereka berkata “benar kami bersaksi akan hal
itu”. Beliau berkata “maka barang siapa yang menganggap aku sebagai
Maulanya maka Aliy adalah maulanya, dan inilah dia, kemudian Beliau
mengambil tangan Aliy dan mengangkatnya bersama tangan Beliau hingga
nampak ketiak keduanya, kemudian Beliau berkata “Ya Allah dukunglah
siapa yang mendukungnya dan musuhilah siapa yang memusuhinya, tolonglah
siapa yang menolongnya dan tinggalkanlah siapa yang meninggalkannya. Aku
akan meninggalkan kalian dan kalian akan dikembalikan kepadaku di Al
Haudh, Al Haudhku yang luasnya terbentang antara Basra dan Shan’a yang
didalamnya terdapat gelas-gelas dari perak sebanyak bintang-bintang di
langit, aku akan menanyakan kepada kalian apa yang kalian lakukan
mengenai perkara yang aku telah bersaksi atas kalian pada hari ini,
ketika kalian dikembalikan kepadaku di Al Haudh nanti, dan aku
akan menanyakan kepada kalian apa yang kalian lakukan dengan Ats
Tsaqalain sepeninggalku maka perhatikanlah bagaimana kalian
memperlakukan keduanya ketika aku telah pergi. Mereka berkata “apakah Tsaqalain itu wahai Rasulullah?”. Beliau berkata “Tsaqal Al Akbar
yaitu Kitab Allah ‘azza wajalla yaitu Tali yang terbentang dari Allah
dan dariku di tangan kalian, ujung yang satu di Tangan Allah dan ujung
yang lain ada di tangan kalian, di dalamnya terkandung ilmu mengenai
perkara yang lalu dan perkara yang akan datang hingga hari kiamat. Dan Tsaqal Al Asghar
adalah Haliif [sekutu] Al Qur’an dan ia adalah Aliy bin Abi Thalib dan
keturunan-nya [‘alaihimus salaam], keduanya tidak akan berpisah sampai
kembali kepadaku di Al Haudh. Ma’ruf bin Kharrabudz berkata aku
memberitahukan hadis ini kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam] maka Beliau
berkata “benar Abu Thufail, rahmat Allah atasnya, perkataan ini kami
temukan dalam kitab Aliy [‘alaihis salaam] dan kami mengenalnya” [Al
Khishaal Syaikh Ash Shaduuq hal 65-67 no 98].
Riwayat Syaikh Ash Shaduq di atas sanadnya
shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan
mengenai para perawinya.
-
Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Walid adalah Syaikh Qum, faqih mereka, yang terdahulu dan terkemuka, seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 383 no 1042].
-
Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar ia terkemuka di Qum, tsiqat, agung kedudukannya [Rijal An Najasyiy hal 354 no 948].
-
Muhammad bin Husain bin Abil Khaththaab seorang yang mulia, agung kedudukannya, banyak memiliki riwayat, tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 334 no 897].
-
Ya’qub bin Yazid bin Hammaad Al Anbariy seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 450 no 1215].
-
Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
-
‘Abdullah bin Sinaan seorang yang tsiqat jaliil tidak ada celaan sedikitpun terhadapnya, ia meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 214 no 558].
-
Ma’ruf bin Kharrabudz, Al Kasyiy menyebutkan bahwa ia termasuk ashabul ijma’ [enam orang yang paling faqih] diantara para fuqaha dari kalangan sahabat Abu Ja’far [‘alaihis salaam] dan Abu Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal Al Kasyiy 2/507]. Al Majlisiy menyatakan Ma’ruf bin Kharrabudz tsiqat [Al Wajiizah no 1897].
Abu Thufail dan Hudzaifah keduanya adalah
sahabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan disini tidak perlu
kami nukil keterangan tentang keduanya karena sudah cukup telah shahih
sanadnya hingga Abu Ja’far yang menegaskan keshahihan hadis tersebut.
.
Riwayat Kedua:
Diriwayatkan dalam kitab Al Kafiy hadis
yang panjang tentang khutbah Jum’at Imam Abu Ja’far, dan di dalamnya
terdapat keterangan hadis Tsaqalain, Imam Abu Ja’far berkata:
وقد بلغ رسول الله (صلى الله عليه وآله) الذي ارسل به فألزموا وصيته وما ترك فيكم من بعده من الثقلين كتاب الله وأهل بيته اللذين لا يضل من تمسك بهما ولا يهتدي من تركهما،
Dan sungguh Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wa ‘alihi] telah menyampaikan apa yang Beliau diutus dengannya
maka berpegang teguhlah kalian dengan wasiat Beliau yaitu apa yang
ditinggalkan kepada kalian sepeninggalnya dari Ats Tsaqalain yaitu Kitab
Allah dan Ahlul Baitnya dimana tidak akan tersesat siapa yang berpegang
teguh pada keduanya dan tidak akan mendapat petunjuk bagi siapa yang
meninggalkan keduanya [Al Kafiy Al Kulainiy 3/423].
Sanad lengkap riwayat panjang yang kami
kutip hanya mengenai hadis Tsaqalain di atas telah disebutkan Al
Kulainiy dengan sanad berikut:
محمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد، عن الحسين بن سعيد، عن النضر بن سويد، عن يحيى الحلبي، عن بريد بن معاوية، عن محمد بن مسلم، عن أبي جعفر في خطبة يوم الجمعة
Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin
Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Nadhr bin Suwaid dari Yahya Al
Halabiy dari Buraid bin Mu’awiyah dari Muhammad bin Muslim dari Abu
Ja’far tentang khutbah pada hari Jum’at…[Al Kafiy Al Kulainiy 3/422].
Riwayat Al Kulainiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya.
-
Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946]
-
Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
-
Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355]
-
Nadhr bin Suwaid seorang yang tsiqat dan shahih al hadis [Rijal An Najasyiy hal 427 no 1147]
-
Yahya bin ‘Imran bin ‘Aliy Al Halabiy seorang yang tsiqat tsiqat shahih al hadis [Rijal An Najasyiy hal 444 no 1199]
-
Buraid bin Mu’awiyah meriwayatkan dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] dan Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam], seorang yang tsiqat faqiih [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 81-82]
-
Muhammad bin Muslim bin Rabah termasuk orang yang paling terpercaya [Rijal An Najasyiy hal 323-324 no 882]
Diriwayatkan oleh Syaikh Ath Thuusiy sebuah
riwayat dimana salah seorang Syaikh yang sudah tua datang ke hadapan
Imam Abu ‘Abdullah dan dalam riwayat tersebut terdapat penggalan
perkataan pujian Imam Abu ‘Abdullah kepada Syaikh tersebut.
فقال له أبو عبد الله (عليه السلام): يا شيخ، إن رسول الله (صلى الله عليه وآله) قال: إني تارك فيكم الثقلين ما إن تمسكتم بهما لن تضلوا: كتاب الله المنزل، وعترتي أهل بيتي، تجئ وأنت معنا يوم القيامة
Maka Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam]
berkata kepadanya “wahai Syaikh, sesungguhnya Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] bersabda “aku tinggalkan kepada kalian Ats Tsaqalain
[dua perkara berat] yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya
maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah dan Itrah-ku Ahlul
Bait-ku, datanglah dan engkau bersama kami pada hari kiamat…[Al Amaliy
Syaikh Ath Thuusiy hal 162].
Sanad lengkap riwayat Syaikh Ath Thuusiy di
atas [dimana kami hanya menukil penggalan hadis Tsaqalain saja] adalah
sebagai berikut:
حدثنا محمد بن محمد، قال حدثنا أبو القاسم جعفر بن محمد بن قولويه (رحمه الله)، قال حدثني أبي، قال حدثني سعد بن عبد الله، عن أحمد بن محمد ابن عيسى، عن الحسن بن محبوب الزراد، عن أبي محمد الأنصاري، عن معاوية بن وهب، قال كنت جالسا عند جعفر بن محمد (عليهما السلام) إذ جاء شيخ قد انحنى من الكبر
Telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Qaasim
Ja’far bin Muhammad bin Quluwaih [rahimahullah] yang berkata telah
menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepadaku
Sa’d bin ‘Abdullah dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa dari Hasan bin
Mahbuub Az Zaraad dari Abu Muhammad Al Anshariy dari Mu’awiyah bin Wahb
yang berkata “aku dahulu pernah duduk di sisi Ja’far bin Muhammad
[‘alaihimas salaam] ketika datang seorang Syaikh yang bungkuk karena
usianya yang sudah tua……[Al Amaliy Syaikh Ath Thuusiy hal 161].
Riwayat Syaikh Ath Thuusiy di atas sanadnya
hasan berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan
mengenai para perawinya.
-
Muhammad bin Muhammad adalah Muhammad bin Muhammad bin Nu’man Syaikh Mufid, ia termasuk diantara guru-guru Syi’ah yang mulia dan pemimpin mereka, dan orang yang paling terpercaya di zamannya, dan paling alim diantara mereka [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 248 no 46].
-
Abul Qaasim Ja’far bin Muhammad bin Quluwaih Al Qummiy termasuk orang yang tsiqat dan mulia dalam hadis dan faqih [Rijal An Najasyiy hal 123 no 318].
-
Muhammad bin Quluwaih ayahnya Abul Qaasim Ja’far bin Muhammad bin Quluwaih seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 570].
-
Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135].
-
Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351].
-
Hasan bin Mahbuub seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354].
-
Abu Muhammad Al Anshariy dia seorang yang khair [Wasa’il Syi’ah Al Hurr Al Amiliy 20/381 no 1389].
-
Mu’awiyah bin Wahb Al Bajalliy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy 412 no 1097].
Semua para perawi sanad di atas adalah
perawi tsiqat kecuali Abu Muhammad Al Anshariy dan dia termasuk perawi
yang mamduh. Pujian terhadapnya telah disebutkan oleh riwayat Al
Kulainiy dalam Al Kafiy.
أبو علي الأشعري، عن محمد بن عبد الجبار، عن أبي محمد الأنصاري – قال: وكان خيرا
Abu ‘Aliy Al Asy’ariy dari Muhammad bin
‘Abdul Jabbaar dari Abi Muhammad Al Anshariy, [Muhammad bin ‘Abdul
Jabbaar] berkata dia seorang yang khair…[Al Kafiy Al Kulainiy 3/127]
Abu ‘Aliy Al Asy’ariy
adalah Ahmad bin Idris seorang yang tsiqat faqih banyak meriwayatkan
hadis dan shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228] dan Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 391].
.
Riwayat Keempat:
Dalam kitab Al Kafiy terdapat riwayat dari
Abu ‘Abdullah mengenai siapa yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam Al
Qur’anul Karim dan dalam riwayat tersebut terdapat penggalan hadis
Tsaqalain, Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] berkata:
فقال رسول الله صلى الله عليه وآله: في علي: من كنت مولاه، فعلي مولاه، وقال صلى الله عليه وآله أوصيكم بكتاب الله وأهل بيتي، فإني سألت الله عز وجل أن لا يفرق بينهما حتى يوردهما علي الحوض، فأعطاني ذلك وقال لا تعلموهم فهم أعلم منكم، وقال: إنهم لن يخرجوكم من باب هدى، ولن يدخلوكم في باب ضلالة
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa
‘alihi] telah berkata tentang Aliy “barang siapa yang Aku maulanya maka
Aliy adalah maulanya” dan Beliau [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi]
bersabda “aku wasiatkan kepada kalian dengan Kitab Allah dan Ahlul
Baitku, aku telah meminta kepada Allah ‘azza wajalla bahwa tidak akan
memisahkan keduanya hingga keduanya kembali ke Al Haudh maka Allah
mengabulkannya. Beliau berkata “jangan mengajari mereka karena mereka
lebih alim [tahu] dari kalian”. Beliau berkata “sesungguhnya mereka
tidak akan mengeluarkan kalian dari pintu petunjuk dan tidak akan
memasukkan kalian ke dalam pintu kesesatan”…[Al Kafiy Al Kulainiy 1/288].
Riwayat Al Kafiy di atas disebutkan dengan dua jalan sanad. Adapun sanad yang shahih adalah sanad berikut:
محمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد بن عيسى، عن محمد بن خالد والحسين بن سعيد عن النضر بن سويد، عن يحيى بن عمران الحلبي، عن أيوب بن الحر وعمران بن علي الحلبي، عن أبي بصير عن أبي عبد الله عليه السلام مثل ذلك
Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin
Muhammad bin Iisa dari Muhammad bin Khalid dan Husain bin Sa’iid dari
Nadhr bin Suwaid dari Yahya bin ‘Imraan Al Halabiy dari Ayuub bin Al
Hurr dan ‘Imran bin Aliy Al Halabiy dari Abi Bashiir dari Abu ‘Abdullah
[‘alaihissalam] seperti di atas [Al Kafiy Al Kulainiy 1/288].
Sanad riwayat Al Kafiy di atas kedudukannya
shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan
mengenai para perawinya.
-
Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946]
-
Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
-
Muhammad bin Khalid dikatakan Najasyiy bahwa ia dhaif dalam hadis [Rijal An Najasyiy hal 335 no 898] tetapi ia dinyatakan tsiqat oleh Syaikh Ath Thuusiy [Rijal Ath Thuusiy hal 363]. Dan dalam sanad ini ia telah dikuatkan oleh Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355]
-
Nadhr bin Suwaid seorang yang tsiqat dan shahih al hadis [Rijal An Najasyiy hal 427 no 1147]
-
Yahya bin ‘Imran bin ‘Aliy Al Halabiy seorang yang tsiqat tsiqat shahih al hadis [Rijal An Najasyiy hal 444 no 1199]
-
Ayub bin Al Hurr seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 103 no 256] dan dalam sanad ini ia dikuatkan oleh ‘Imran bin ‘Aliy Al Halabiy seorang yang tsiqat sebagaimana disebutkan Najasyiy dalam biografi Ahmad bin ‘Umar bin Abi Syu’bah Al Halabiy [Rijal An Najasyiy hal 98 no 245]
-
Abu Bashiir adalah Abu Bashiir Al Asdiy Yahya bin Qasim seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 441 no 1187]
Riwayat Kelima:
حدثنا أحمد بن زياد بن جعفر الهمداني رضي الله عنه قال حدثنا علي بن إبراهيم بن هاشم، عن أبيه، عن محمد بن أبي عمير، عن غياث بن إبراهيم، عن الصادق جعفر ابن محمد، عن أبيه محمد بن علي، عن أبيه علي بن الحسين، عن أبيه الحسين عليهم السلام قال سئل أمير المؤمنين عليه السلام عن معنى قول رسول الله صلى الله عليه وآله ” إني مخلف فيكم الثقلين كتاب الله، وعترتي ” من العترة؟ فقال: أنا، والحسن، والحسين، والأئمة التسعة من ولد الحسين تاسعهم مهديهم وقائمهم، لا يفارقون كتاب الله ولا يفارقهم حتى يردوا على رسول الله صلى الله عليه وآله حوضه
Telah menceritakan kepada kami Ahmad
bin Ziyaad bin Ja’far Al Hamdaaniy [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah
menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ibrahim bin Haasyim dari Ayahnya
dari Muhammad bin Abi ‘Umair dari Ghiyaats bin Ibrahiim dari Ash Shaadiq
Ja’far bin Muhammad dari Ayahnya Muhammad bin Aliy dari Ayahnya Aliy
bin Husain dari Ayahnya Husain bin Aliy [‘alaihimus salaam] yang berkata
Amirul Mukminin pernah ditanya tentang makna perkataan Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] “aku
tinggalkan untuk kalian Ats Tsaqalain yaitu Kitab Allah dan Itrah-ku”,
siapakah itrah-nya?. Beliau berkata “Aku, Hasan, Husain dan kesembilan
Imam dari keturunan Husain, dan yang kesembilan dari mereka adalah Mahdi
dan Qa’im mereka, mereka tidak akan berpisah dari Kitab Allah dan Kitab
Allah tidak akan berpisah dari mereka, sampai semuanya kembali kepada
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] di Al Haudh-nya [Ma’aaniy Al Akhbar Syaikh Ash Shaduuq hal 90-91 no 4].
Riwayat Syaikh Ash Shaduq di atas sanadnya
shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan
mengenai para perawinya.
-
Ahmad bin Ziyaad bin Ja’far Al Hamdaaniy, ia seorang yang tsiqat fadhl sebagaimana yang dinyatakan Syaikh Shaduq [Kamal Ad Diin Syaikh Shaduq hal 369]
-
Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
-
Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
-
Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]
-
Ghiyaats bin Ibrahiim At Tamimiy seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari ‘Abu Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 305 no 833]
Kesimpulan:
Tidak diragukan bahwa hadis Tsaqalain
kedudukannya shahih dalam mazhab Syi’ah sama seperti halnya kedudukan
hadis Tsaqalain shahih dalam mazhab Ahlus Sunnah. Hanya saja perbedaan
antara kedua mazhab tersebut adalah dalam Kitab Syi’ah disebutkan dengan
dalil yang shahih bahwa Ahlul Bait yang dimaksud adalah Aliy, Hasan,
dan Husain serta Sembilan Imam dari keturunan Husain sedangkan dalam
mazhab Ahlus Sunnah tidak terdapat hadis yang menyebutkan demikian.
Hadis Tsaqalain; Peninggalan Rasulullah SAW adalah Al Quran dan Ahlul Bait as
Sebelum Junjungan kita yang
mulia Al Imam Rasulullah SAW (Shalawat dan salam kepada Beliau SAW dan
Keluarga suciNya as) berpulang ke rahmatullah, Beliau SAW telah berpesan
kepada umatnya agar tidak sesat dengan berpegang teguh kepada dua
peninggalannya atau Ats Tsaqalain yaitu Kitabullah Al Quranul Karim dan
Itraty Ahlul Bait Rasul as. Seraya Beliau SAW juga mengingatkan kepada
umatnya bahwa Al Quranul Karim dan Itraty Ahlul Bait Rasul as akan
selalu bersama dan tidak akan berpisah sampai hari kiamat dan bertemu
Rasulullah SAW di Telaga Kautsar Al Haudh.
Peninggalan Rasulullah SAW itu
telah diriwayatkan dalam banyak hadis dengan sanad yang berbeda dan
shahih dalam kitab-kitab hadis. Diantara kitab-kitab hadis itu adalah
Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi, Sunan Tirmidzi, Musnad Abu Ya’la, Musnad
Al Bazzar, Mu’jam At Thabrani, Musnad Ahmad bin Hanbal, Shahih Ibnu
Khuzaimah, Mustadrak Ash Shahihain, Majma Az Zawaid Al Haitsami, Jami’As
Saghir As Suyuthi dan Al Kanz al Ummal. Dalam Tulisan ini akan
dituliskan beberapa hadis Tsaqalain yang shahih dalam Shahih Muslim,
Mustadrak Ash Shahihain, Sunan Tirmidzi dan Musnad Ahmad bin Hanbal.
1. Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahih Muslim juz II hal 279 bab Fadhail Ali.
Muslim meriwayatkan telah
menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Shuja’ bin Makhlad dari
Ulayyah yang berkata Zuhair berkata telah menceritakan kepada kami
Ismail bin Ibrahim dari Abu Hayyan dari Yazid bin Hayyan yang berkata
”Aku, Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim pergi menemui Zaid bin
Arqam. Setelah kami duduk bersamanya berkata Husain kepada Zaid ”Wahai
Zaid sungguh engkau telah mendapat banyak kebaikan. Engkau telah melihat
Rasulullah SAW, mendengarkan hadisnya, berperang bersamanya dan shalat
di belakangnya. Sungguh engkau mendapat banyak kebaikan wahai Zaid. Coba
ceritakan kepadaku apa yang kamu dengar dari Rasulullah SAW. Berkata
Zaid “Hai anak saudaraku, aku sudah tua, ajalku hampir tiba, dan aku
sudah lupa akan sebagian yang aku dapat dari Rasulullah SAW. Apa yang
kuceritakan kepadamu terimalah,dan apa yang tidak kusampaikan janganlah
kamu memaksaku untuk memberikannya.
Lalu
Zaid berkata ”pada suatu hari Rasulullah SAW berdiri di hadapan kami di
sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum seraya berpidato, maka Beliau
SAW memanjatkan puja dan puji atas Allah SWT, menyampaikan nasehat dan
peringatan. Kemudian Beliau SAW bersabda “Ketahuilah wahai manusia
sesungguhnya aku hanya seorang manusia. Aku merasa bahwa utusan Tuhanku
(malaikat maut) akan segera datang dan Aku akan memenuhi panggilan itu.
Dan Aku tinggalkan padamu dua pusaka (Ats-Tsaqalain). Yang pertama
Kitabullah (Al-Quran) di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya,maka
berpegang teguhlah dengan Kitabullah”. Kemudian Beliau melanjutkan, “dan
Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku,
kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan
kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku”
Lalu Husain bertanya kepada Zaid
”Hai Zaid siapa gerangan Ahlul Bait itu? Tidakkah istri-istri Nabi
termasuk Ahlul Bait? Jawabnya “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait.
Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak
diperkenankan menerima sedekah setelah wafat Nabi SAW”, Husain bertanya
“Siapa mereka?”.Jawab Zaid ”Mereka adalah Keluarga Ali, Keluarga Aqil,
Keluarga Ja’far dan Keluarga Ibnu Abbes”. Apakah mereka semua diharamkan
menerima sedekah (zakat)?” tanya Husain; “Ya”, jawabnya.
Hadis di atas terdapat dalam
Shahih Muslim, perlu dinyatakan bahwa yang menjadi pesan Rasulullah SAW
itu adalah sampai perkataan “kuperingatkan kalian kepada Allah akan
Ahlul Bait-Ku” sedangkan yang selanjutnya adalah percakapan Husain dan
Zaid perihal Siapa Ahlul Bait. Yang menarik bahwa dalam Shahih Muslim di
bab yang sama Fadhail Ali, Muslim juga meriwayatkan hadis Tsaqalain
yang lain dari Zaid bin Arqam dengan tambahan percakapan yang menyatakan
bahwa Istri-istri Nabi tidak termasuk Ahlul Bait, berikut kutipannya
“Kami berkata “Siapa Ahlul Bait?
Apakah istri-istri Nabi? Kemudian Zaid menjawab ”Tidak, Demi Allah,
seorang wanita (istri) hidup dengan suaminya dalam masa tertentu jika
suaminya menceraikannya dia akan kembali ke orang tua dan kaumnya. Ahlul
Bait Nabi adalah keturunannya yang diharamkan untuk menerima sedekah”.
2. Hadis shahih dalam Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148.
Al Hakim meriwayatkan telah
menceritakan kepada kami seorang faqih dari Ray Abu Bakar Muhammad bin
Husain bin Muslim, yang mendengar dari Muhammad bin Ayub yang mendengar
dari Yahya bin Mughirah al Sa’di yang mendengar dari Jarir bin Abdul
Hamid dari Hasan bin Abdullah An Nakha’i dari Muslim bin Shubayh dari
Zaid bin Arqam yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda. “Kutinggalkan
kepadamu dua peninggalan (Ats Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu.
Sesungguhnya keduanya tak akan berpisah, sampai keduanya kembali
kepadaKu di Al Haudh“.
Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim.
3. Hadis shahih dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 109.
Al Hakim meriwayatkan telah
menceritakan kepada kami Abu Husain Muhammad bin Ahmad bin Tamim Al
Hanzali di Baghdad yang mendengar dari Abu Qallabah Abdul Malik bin
Muhammad Ar Raqqasyi yang mendengar dari Yahya bin Hammad; juga telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Balawaih dan Abu Bakar
Ahmad bin Ja’far Al Bazzaz, yang keduanya mendengar dari Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal yang mendengar dari ayahnya yang mendengar dari Yahya
bin Hammad; dan juga telah menceritakan kepada kami Faqih dari Bukhara
Abu Nasr Ahmad bin Suhayl yang mendengar dari Hafiz Baghdad Shalih bin
Muhammad yang mendengar dari Khallaf bin Salim Al Makhrami yang
mendengar dari Yahya bin Hammad yang mendengar dari Abu Awanah dari
Sulaiman Al A’masy yang berkata telah mendengar dari Habib bin Abi
Tsabit dari Abu Tufail dari Zaid bin Arqam ra yang berkata:
“Rasulullah SAW ketika dalam
perjalanan kembali dari haji wada berhenti di Ghadir Khum dan
memerintahkan untuk membersihkan tanah di bawah pohon-pohon. Kemudian
Beliau SAW bersabda” Kurasa seakan-akan aku segera akan dipanggil
(Allah), dan segera pula memenuhi panggilan itu, Maka sesungguhnya aku
meninggalkan kepadamu Ats Tsaqalain(dua peninggalan yang berat). Yang
satu lebih besar (lebih agung) dari yang kedua : Yaitu kitab Allah dan
Ittrahku. Jagalah Baik-baik dan berhati-hatilah dalam perlakuanmu
tehadap kedua peninggalanKu itu, sebab Keduanya takkan berpisah sehingga
berkumpul kembali denganKu di Al Haudh. Kemudian Beliau SAW berkata
lagi: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla adalah maulaku, dan aku adalah
maula setiap Mu’min. Lalu Beliau SAW mengangkat tangan Ali Bin Abi
Thalib sambil bersabda : Barangsiapa yang menganggap aku sebagai
maulanya, maka dia ini (Ali bin Abni Thalib) adalah juga maula baginya.
Ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang
memusuhinya“.
Al Hakim telah menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.
4. Hadis shahih dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 110.
Al Hakim meriwayatkan telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq dan Da’laj bin Ahmad Al
Sijzi yang keduanya mendengar dari Muhammad bin Ayub yang mendengar dari
Azraq bin Ali yang mendengar dari Hasan bin Ibrahim Al Kirmani yang
mendengar dari Muhammad bin Salamah bin Kuhail dari Ayahnya dari Abu
Tufail dari Ibnu Wathilah yang mendengar dari Zaid bin Arqam ra yang
berkata “Rasulullah SAW berhenti di suatu tempat di antara Mekkah dan
Madinah di dekat pohon-pohon yang teduh dan orang-orang membersihkan
tanah di bawah pohon-pohon tersebut. Kemudian Rasulullah SAW mendirikan
shalat, setelah itu Beliau SAW berbicara kepada orang-orang. Beliau
memuji dan mengagungkan Allah SWT, memberikan nasehat dan mengingatkan
kami. Kemudian Beliau SAW berkata” Wahai manusia, Aku tinggalkan
kepadamu dua hal atau perkara, yang apabila kamu mengikuti dan berpegang
teguh pada keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah (Al
Quranul Karim) dan Ahlul BaitKu, ItrahKu. Kemudian Beliau SAW berkata
tiga kali “Bukankah Aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin
dibanding diri mereka sendiri.. Orang-orang menjawab “Ya”. Kemudian
Rasulullah SAW berkata” Barangsiapa yang menganggap aku sebagai
maulanya, maka Ali adalah juga maulanya.
Al Hakim telah menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.
5. Hadis dalam Musnad Ahmad jilid V hal 189.
Abdullah meriwayatkan dari
Ayahnya,dari Ahmad Zubairi dari Syarik dari Rukayn dari Qasim bin Hishan
dari Zaid bin Tsabit ra, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda
“Sesungguhnya Aku meninggalkan dua khalifah bagimu, Kitabullah dan Ahlul
BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang ke telaga
Al Haudh bersama-sama”.
Hadis di atas diriwayatkan dari
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, keduanya
sudah dikenal tsiqat di kalangan ulama, Ahmad Zubairi. Beliau adalah
Muhammad bin Abdullah Abu Ahmad Al Zubairi Al Habbal telah dinyatakan
tsiqat oleh Yahya bin Muin dan Al Ajili.
Syarik bin Abdullah bin Sinan
adalah salah satu Rijal Muslim, Yahya bin Main berkata “Syuraik itu
jujur dan tsiqat”. Ahmad bin Hanbal dan Ajili menyatakan Syuraik tsiqat.
Ibnu Ya’qub bin Syaiban berkata” Syuraik jujur dan tsiqat tapi jelek
hafalannya”. Ibnu Abi Hatim berkata” hadis Syuraik dapat dijadikan
hujjah”. Ibnu Saad berkata” Syuraik tsiqat, terpercaya tapi sering
salah”.An Nasai berkata ”tak ada yang perlu dirisaukan dengannya”. Ahmad
bin Adiy berkata “kebanyakan hadis Syuraik adalah shahih”.(Mizan Al
Itidal adz Dzahabi jilid 2 hal 270 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar
jilid 4 hal 333).
Rukayn (Raqin) bin Rabi’Abul
Rabi’ Al Fazari adalah perawi yang tsiqat .Beliau dinyatakan tsiqat oleh
Ahmad bin Hanbal, An Nasai, Yahya bin Main, Ibnu Hajar dan juga
dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dalam kitab Ats Tsiqat Ibnu Hibban.
Qasim bin Hishan adalah perawi
yang tsiqah. Ahmad bin Saleh menyatakan Qasim tsiqah. Ibnu Hibban
menyatakan bahwa Qasim termasuk dalam kelompok tabiin yang tsiqah. Dalam
Majma Az Zawaid ,Al Haitsami menyatakan tsiqah kepada Qasim bin Hishan.
Adz Dzahabi dan Al Munziri menukil dari Bukhari bahwa hadis Qasim itu
mungkar dan tidak shahih. Tetapi Hal ini telah dibantah oleh Ahmad
Syakir dalam Musnad Ahmad jilid V,beliau berkata”Saya tidak mengerti apa
sumber penukilan Al Munziri dari Bukhari tentang Qasim bin Hishan itu.
Sebab dalam Tarikh Al Kabir Bukhari tidak menjelaskan biografi Qasim
demikian juga dalam kitab Adh Dhu’afa. Saya khawatir bahwa Al Munziri
berkhayal dengan menisbatkan hal itu kepada Al Bukhari”. Oleh karena itu
Syaikh Ahmad Syakir menguatkannya sebagai seorang yang tsiqah dalam
Syarh Musnad Ahmad.
Jadi hadis dalam Musnad Ahmad diatas adalah hadis yang shahih karena telah diriwayatkan oleh perawi-perawi yang dikenal tsiqah.
6. Hadis dalam Musnad Ahmad jilid V hal 181-182.
Riwayat dari Abdullah dari
Ayahnya dari Aswad bin ‘Amir, dari Syarik dari Rukayn dari Qasim bin
Hishan, dari Zaid bin Tsabit, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda”Sesungguhnya Aku meninggalkan dua khalifah bagimu Kitabullah,
tali panjang yang terentang antara langit dan bumi atau diantara langit
dan bumi dan Itrati Ahlul BaitKu. Dan Keduanya tidak akan terpisah
sampai datang ke telaga Al Haudh”
Hadis di atas diriwayatkan dari
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, Semua
perawi hadis Musnad Ahmad di atas telah dijelaskan sebelumnya kecuali
Aswad bin Amir Shadhan Al Wasithi. Beliau adalah salah satu Rijal atau
perawi Bukhari Muslim. Al Qaisarani telah menyebutkannya di antara
perawi-perawi Bukhari Muslim dalam kitabnya Al Jam’u Baina Rijalisy
Syaikhain. Selain itu Aswad bin Amir dinyatakan tsiqat oleh Ali bin Al
Madini, Ibnu Hajar, As Suyuthi dan juga disebutkan oleh Ibnu Hibban
dalam Kitabnya Ats Tsiqat Ibnu Hibban. Oleh karena itu hadis Musnad
Ahmad di atas sanadnya shahih.
7. Hadis dalam Sunan Tirmidzi jilid 5 halaman 662 – 663.
At Tirmidzi meriwayatkan telah
bercerita kepada kami Ali bin Mundzir al-Kufi, telah bercerita kepada
kami Muhammad bin Fudhail, telah bercerita kepada kami Al-A’masy, dari
‘Athiyyah, dari Abi Sa’id dan Al-A’masy, dari Habib bin Abi Tsabit, dari
Zaid bin Arqam yang berkata, ‘Rasulullah saw telah bersabda,
‘Sesungguhnya aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang
teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yang
mana yang satunya lebih besar dari yang lainnya, yaitu Kitab Allah, yang
merupakan tali penghubung antara langit dan bumi, dan ‘itrah Ahlul
BaitKu. Keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga datang menemuiku di
telaga. Maka perhatikanlah aku dengan apa yang kamu laksanakan kepadaku
dalam keduanya”.
Dalam Tahdzib at Tahdzib jilid 7
hal 386 dan Mizan Al I’tidal jilid 3 hal 157, Ali bin Mundzir telah
dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama seperti Ibnu Abi Hatim,Ibnu
Namir,Imam Sha’sha’i dan lain-lain,walaupun Ali bin Mundzir dikenal
sebagai seorang syiah. Mengenai hal ini Mahmud Az Za’by dalam bukunya
Sunni yang Sunni hal 71 menyatakan tentang Ali bin Mundzir ini “para
ulama telah menyatakan ketsiqatan Ali bin Mundzir. Padahal mereka tahu
bahwa Ali adalah syiah. Ini harus dipahami bahwa syiah yang dimaksud
disini adalah syiah yang tidak merusak sifat keadilan perawi dengan
catatan tidak berlebih-lebihan. Artinya ia hanya berpihak kepada Ali bin
Abu Thalib dalam pertikaiannya melawan Muawiyah. Tidak lebih dari itu.
Inilah pengertian tasyayyu menurut ulama sunni. Karena itu Ashabus Sunan
meriwayatkan dan berhujjah dengan hadis Ali bin Mundzir”.
Muhammad bin Fudhail,dalam Hadi
As Sari jilid 2 hal 210,Tahdzib at Tahdzib jilid 9 hal 405 dan Mizan al
Itidal jilid 4 hal 9 didapat keterangan tentang beliau. Ahmad berkata”Ia
berpihak kepada Ali, tasyayyu. Hadisnya baik” Yahya bin Muin menyatakan
Muhammad bin Fudhail adalah tsiqat. Abu Zara’ah berkata”ia jujur dan
ahli Ilmu”.Menurut Abu Hatim,Muhammad bin Fudhail adalah seorang
guru.Nasai tidak melihat sesuatu yang membahayakan dalam hadis Muhammad
bin Fudhail. Menurut Abu Dawud ia seorang syiah yang militan. Ibnu
Hibban menyebutkan dia didalam Ats Tsiqat seraya berkata”Ibnu Fudhail
pendukung Ali yang berlebih-lebihan”Ibnu Saad berkata”Ia tsiqat,jujur
dan banyak memiliki hadis.Ia pendukung Ali”. Menurut Ajli,Ibnu Fudhail
orang kufah yang tsiqat tetapi syiah. Ali bin al Madini memandang
Muhammad bin Fudhail sangat tsiqat dalam hadis. Daruquthni juga
menyatakan Muhammad bin Fudhail sangat tsiqat dalam hadis.
Al A’masy atau Sulaiman bin
Muhran Al Kahili Al Kufi Al A’masy adalah perawi Kutub As Sittah yang
terkenal tsiqat dan ulama hadis sepakat tentang keadilan dan ketsiqatan
Beliau..(Mizan Al Itidal adz Dzahabi jilid 2 hal 224 dan Tahdzib At
Tahdzib Ibnu Hajar jilid 4 hal 222).Dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas
A’masy telah meriwayatkan melalui dua jalur yaitu dari Athiyyah dari Abu
Said dan dari Habib bin Abi Tsabit dari Zaid bin Arqam.
Athiyyah bin Sa’ad al Junadah Al
Awfi adalah tabiin yang dikenal dhaif. Menurut Adz Dzahabi Athiyyah
adalah seorang tabiin yang dikenal dhaif ,Abu Hatim berkata hadisnya
dhaif tapi bisa didaftar atau ditulis, An Nasai juga menyatakan Athiyyah
termasuk kelompok orang yang dhaif, Abu Zara’ah juga memandangnya
lemah. Menurut Abu Dawud Athiyyah tidak bisa dijadikan sandaran atau
pegangan.Menurut Al Saji hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah,Ia
mengutamakan Ali ra dari semua sahabat Nabi yang lain. Salim Al Muradi
menyatakan bahwa Athiyyah adalah seorang syiah. Abu Ahmad bin Adi
berkata walaupun ia dhaif tetapi hadisnya dapat ditulis. Kebanyakan
ulama memang memandang Athiyyah dhaif tetapi Ibnu Saad memandang
Athiyyah tsiqat,dan berkata insya Allah ia mempunyai banyak hadis yang
baik,sebagian orang tidak memandang hadisnya sebagai hujjah. Yahya bin
Main ditanya tentang hadis Athiyyah ,ia menjawab “Bagus”.(Mizan Al
‘Itidal jilid 3 hal 79).
Habib bin Abi Tsabit Al Asadi Al
Kahlili adalah Rijal Bukhari dan Muslim dan para ulama hadis telah
sepakat akan keadilan dan ketsiqatan beliau, walaupun beliau juga
dikenal sebagai mudallis (Tahdzib At Tahdzib jilid 2 hal 178). Jadi dari
dua jalan dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas, sanad Athiyyah semua
perawinya tsiqat selain Athiyyah yang dikenal dhaif walaupun Beliau di
ta’dilkan oleh Ibnu Saad dan Ibnu Main. Sedangkan sanad Habib semua
perawinya tsiqat tetapi dalam hadis di atas A’masy dan Habib
meriwayatkan dengan lafal ‘an (mu’an ‘an) padahal keduanya dikenal
mudallis. Walaupun begitu banyak hal yang menguatkan sanad Habib ini
sehingga hadisnya dinyatakan shahih yaitu
* Dalam kitab Mustadrak As
Shahihain Al Hakim, Juz III hal 109 terdapat hadis tsaqalain yang
menyatakan bahwa A’masy mendengar langsung dari Habib.(lihat hadis no 3
di atas). Sulaiman Al A’masy yang berkata telah mendengar dari Habib bin
Abi Tsabit dari Abu Tufail dari Zaid bin Arqam ra. Dan hadis ini telah
dinyatakan shahih oleh Al Hakim.
*
Syaikh Ahmad Syakir telah menshahihkan cukup banyak hadis dengan
lafal’an dalam Musnad Ahmad salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan
dengan lafal ‘an oleh A’masyi dan Habib(A’masy dari Habib dari…salah
seorang sahabat).
* Hadis Sunan
Tirmidzi ini telah dinyatakan hasan gharib oleh At Tirmidzi dan telah
dinyatakan shahih oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan
Turmudzi dan juga telah dinyatakan shahih oleh Hasan As Saqqaf dalam
Shahih Sifat Shalat An Nabiy.
Semua hadis di atas menyatakan
dengan jelas bahwa apa yang merupakan peninggalan Rasulullah SAW yang
disebut Ats Tsaqalain (dua peninggalan) itu adalah Al Quran dan Ahlul
Bait as. Sebagian orang ada yang menyatakan bahwa hadis itu tidak
mengharuskan untuk berpegang teguh kepada Al Quran dan Ahlul Bait
melainkan hanya berpegang teguh kepada Al Quran sedangkan tentang Ahlul
Bait hadis itu mengingatkan bahwa kita harus menjaga hak-hak Ahlul Bait,
mencintai dan menghormati Mereka. Sebagian orang tersebut telah
berdalil dengan hadis Tsaqalain Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi dan
Musnad Ahmad yang memiliki redaksi kuperingatkan kalian akan Ahlul
BaitKu, dan menyatakan bahwa dalam hadis tersebut tidak terdapat
indikasi untuk berpegang teguh pada Ahlul Bait.
Terhadap pernyataan ini kami
tidak sependapat dan dengan jelas kami menyatakan bahwa pendapat itu
adalah tidak benar. Tentu saja sebagai seorang Muslim kita harus
mencintai dan menghormati serta menjaga hak-hak Ahlul Bait tetapi hadis
Tsaqalain jelas menyatakan keharusan berpegang teguh kepada Ahlul Bait
dan hal ini telah ditetapkan dengan hadis-hadis yang shahih. Dalam hadis
Tsaqalain Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi dan Musnad Ahmad yang memiliki
redaksi kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, juga tidak terdapat
kata-kata yang menyatakan bahwa yang dimaksud itu adalah menjaga hak-hak
Ahlul Bait, mencintai dan menghormati Mereka. Justru semua hadis ini
harus dikumpulkan dengan hadis Tsaqalain yang lain yang memiliki redaksi
berpegang teguh kepada Ahlul Bait atau redaksi Al Quran dan Ahlul Bait
selalu bersama dan tidak akan berpisah. Dengan mengumpulkan semua hadis
itu dapat diketahui bahwa peringatan Rasulullah SAW dalam kata-kata
kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, tersebut adalah keharusan
berpegang teguh kepada Ahlul Bait as.
Sebagian orang yang kami maksud
(Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As Sunnah dan Ali As Salus dalam Imamah Wal
Khilafah). telah menyatakan bahwa hadis–hadis yang memiliki redaksi
berpegang teguh kepada Ahlul Bait atau redaksi Al Quran dan Ahlul Bait
selalu bersama dan tidak akan berpisah adalah tidak shahih. Kami dengan
jelas menyatakan bahwa hal ini tidaklah benar karena hadis tersebut
adalah hadis yang shahih seperti yang telah kami nyatakan di atas dan
cukup banyak ulama yang telah menguatkan kebenarannya. Cukuplah disini
dinyatakan pendapat Syaikh Nashirudin Al Albani yang telah menyatakan
shahihnya hadis Tsaqalain tersebut dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi,
Shahih Jami’ As Saghir dan Silsilah Al Hadits Al Shahihah .
Bahwa Rasulullah SAW bersabda
“Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika
kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah
dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi
dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya
Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761).
Analisis Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”
Al Quranul Karim dan Sunnah
Rasulullah SAW adalah landasan dan sumber syariat Islam. Hal ini
merupakan kebenaran yang sifatnya pasti dan diyakini oleh umat Islam.
Banyak ayat Al Quran yang memerintahkan umat Islam untuk berpegang teguh
dengan Sunnah Rasulullah SAW, diantaranya:
Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah .Sesungguhnya Allah sangat
keras hukumanNya. (QS ; Al Hasyr 7).
Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang berharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (QS ; Al Ahzab 21).
Barang siapa yang mentaati Rasul
itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah .Dan barang siapa yang
berpaling (dari ketaatan itu) maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka. (QS ; An Nisa 80).
Sesungguhnya jawaban orang-orang
mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan RasulNya agar Rasul
menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan “kami mendengar dan
kami patuh”. Dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. Dan
barangsiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya dan takut kepada Allah
dan bertakwa kepadaNya maka mereka adalah orang-orang yang mendapat
kemenangan. (QS ; An Nur 51-52).
Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu Ketetapan , akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat
yang nyata. (QS ; Al Ahzab 36).
Jadi Sunnah Rasulullah SAW
merupakan salah satu pedoman bagi umat islam di seluruh dunia.
Berdasarkan ayat-ayat Al Quran di atas sudah cukup rasanya untuk
membuktikan kebenaran hal ini. Tulisan ini akan membahas hadis
“Kitabullah wa Sunnaty” yang sering dijadikan dasar bahwa kita harus
berpedoman kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW yaitu:
Bahwa Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang
jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya
yaitu Kitabullah dan SunahKu. Keduanya tidak akan berpisah hingga
menemuiKu di Al Haudh.”.
Hadis “Kitabullah Wa Sunnaty”
ini adalah hadis masyhur yang sering sekali didengar oleh umat Islam
sehingga tidak jarang banyak yang beranggapan bahwa hadis ini adalah
benar dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Pada dasarnya kita umat Islam
harus berpegang teguh kepada Al Quran dan As Sunnah yang merupakan dua
landasan utama dalam agama Islam. Banyak dalil dalil shahih yang
menganjurkan kita agar berpegang kepada As Sunnah baik dari Al Quran
(seperti yang sudah disebutkan) ataupun dari hadis-hadis yang shahih.
Sayangnya hadis”Kitabullah Wa Sunnaty” yang seringkali dijadikan dasar
dalam masalah ini adalah hadis yang tidak shahih atau dhaif. Berikut
adalah analisis terhadap sanad hadis ini.
Analisis Sumber Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”
ini tidak terdapat dalam kitab hadis Kutub As Sittah (Shahih Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan An Nasa’i, Sunan Abu Dawud, dan
Sunan Tirmidzi). Sumber dari Hadis ini adalah Al Muwatta Imam Malik,
Mustadrak Ash Shahihain Al Hakim, At Tamhid Syarh Al Muwatta Ibnu Abdil
Barr, Sunan Baihaqi, Sunan Daruquthni, dan Jami’ As Saghir As Suyuthi.
Selain itu hadis ini juga ditemukan dalam kitab-kitab karya Ulama
seperti , Al Khatib dalam Al Faqih Al Mutafaqqih, Shawaiq Al Muhriqah
Ibnu Hajar, Sirah Ibnu Hisyam, Al Ilma ‘ila Ma’rifah Usul Ar Riwayah wa
Taqyid As Sima’ karya Qadhi Iyadh, Al Ihkam Ibnu Hazm dan Tarikh At
Thabari. Dari semua sumber itu ternyata hadis ini diriwayatkan dengan 4
jalur sanad yaitu dari Ibnu Abbas ra, Abu Hurairah ra, Amr bin Awf ra,
dan Abu Said Al Khudri ra. Terdapat juga beberapa hadis yang
diriwayatkan secara mursal (terputus sanadnya), mengenai hadis mursal
ini sudah jelas kedhaifannya.
Hadis ini terbagi menjadi dua yaitu:
1. Hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang mursal.
2. Hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang muttasil atau bersambung.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Secara Mursal.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”
yang diriwayatkan secara mursal ini terdapat dalam kitab Al Muwatta,
Sirah Ibnu Hisyam, Sunan Baihaqi, Shawaiq Al Muhriqah, dan Tarikh At
Thabari. Berikut adalah contoh hadisnya.
Dalam Al Muwatta jilid I hal 899 no 3:
Bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Wahai Sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa
yang jika kamu berpegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat
selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunah RasulNya”.
Dalam Al Muwatta hadis ini
diriwayatkan Imam Malik tanpa sanad. Malik bin Anas adalah generasi
tabiit tabiin yang lahir antara tahun 91H-97H. Jadi paling tidak ada dua
perawi yang tidak disebutkan di antara Malik bin Anas dan Rasulullah
SAW. Berdasarkan hal ini maka dapat dinyatakan bahwa hadis ini dhaif
karena terputus sanadnya.
Dalam Sunan Baihaqi terdapat beberapa hadis mursal mengenai hal ini, diantaranya:
Al Baihaqi dengan sanad dari
Urwah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda pada haji wada: “ Sesungguhnya Aku
telah meninggalkan sesuatu bagimu yang apabila berpegang teguh
kepadanya maka kamu tidak akan sesat selamanya yaitu dua perkara Kitab
Allah dan Sunnah NabiMu, Wahai umat manusia dengarkanlah olehmu apa yang
aku sampaikan kepadamu, maka hiduplah kamu dengan berpegang kepadanya”.
Selain pada Sunan Baihaqi, hadis
Urwah ini juga terdapat dalam Miftah Al Jannah hal 29 karya As Suyuthi.
Urwah bin Zubair adalah dari generasi tabiin yang lahir tahun 22H, jadi
Urwah belum lahir saat Nabi SAW melakukan haji wada oleh karena itu
hadis di atas terputus, dan ada satu orang perawi yang tidak disebutkan,
bisa dari golongan sahabat dan bisa juga dari golongan tabiin.
Singkatnya hadis ini dhaif karena terputus sanadnya.
Al Baihaqi dengan sanad dari
Ibnu Wahb yang berkata: “Aku telah mendengar Malik bin Anas mengatakan
berpegang teguhlah pada sabda Rasulullah SAW pada waktu haji wada yang
berbunyi ‘Dua hal Aku tinggalkan bagimu dimana kamu tidak akan sesat
selama berpegang kepada keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunah NabiNya”.
Hadis ini tidak berbeda dengan hadis Al Muwatta, karena Malik bin Anas tidak bertemu Rasulullah SAW jadi hadis ini juga dhaif.
Dalam Sirah Ibnu Hisyam jilid 4
hal 185 hadis ini diriwayatkan dari Ibnu Ishaq yang berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda pada haji wada…..,Disini Ibnu Ishaq tidak
menyebutkan sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW oleh karena itu
hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam Tarikh At Thabari jilid 2
hal 205 hadis ini juga diriwayatkan secara mursal melalui Ibnu Ishaq
dari Abdullah bin Abi Najih. Jadi kedua hadis ini dhaif. Mungkin ada
yang beranggapan karena Sirah Ibnu Hisyam dari Ibnu Ishaq sudah menjadi
kitab Sirah yang jadi pegangan oleh jumhur ulama maka adanya hadis itu
dalam Sirah Ibnu Hisyam sudah cukup menjadi bukti kebenarannya. Jawaban
kami adalah benar bahwa Sirah Ibnu Hisyam menjadi pegangan oleh jumhur
ulama, tetapi dalam kitab ini hadis tersebut terputus sanadnya jadi
tentu saja dalam hal ini hadis tersebut tidak bisa dijadikan hujjah.
Sebuah Pembelaan dan Kritik.
Hafiz Firdaus dalam bukunya
Kaidah Memahami Hadis-hadis yang Bercanggah telah membahas hadis dalam
Al Muwatta dan menanggapi pernyataan Syaikh Hasan As Saqqaf dalam
karyanya Shahih Sifat shalat An Nabiy (dalam kitab ini As Saqqaf telah
menyatakan hadis Kitab Allah dan SunahKu ini sebagai hadis yang dhaif ).
Sebelumnya berikut akan dituliskan pendapat Hafiz Firdaus tersebut.
Bahwa Rasulullah bersabda: “wahai
sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang
jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya
yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya”
Hadis ini sahih: Dikeluarkan
oleh Malik bin Anas dalam al-Muwattha’ – no: 1619 (Kitab al-Jami’, Bab
Larangan memastikan Takdir). Berkata Malik apabila mengemukakan riwayat
ini: Balghni………bererti “disampaikan kepada aku” (atau dari sudut catatan
anak murid beliau sendiri: Dari Malik, disampaikan kepadanya………).
Perkataan seperti ini memang khas di zaman awal Islam (sebelum 200H)
menandakan bahawa seseorang itu telah menerima sesebuah hadis daripada
sejumlah tabi’in, dari sejumlah sahabat dari jalan-jalan yang banyak
sehingga tidak perlu disertakan sanadnya. Lebih lanjut lihat Qadi ‘Iyadh
Tartib al-Madarik, jld 1, ms 136; Ibn ‘Abd al-Barr al Tamhid, jld 1, ms
34; al-Zarqani Syarh al Muwattha’, jld 4, ms 307 dan Hassath binti ‘Abd
al-’Aziz Sagheir Hadis Mursal baina Maqbul wa Mardud, jld 2, ms
456-470.
Hasan ‘Ali al-Saqqaf
dalam bukunya Shalat Bersama Nabi SAW (edisi terj. dari Sahih Sifat
Solat Nabi), ms 269-275 berkata bahwa hadis ini sebenarnya adalah
maudhu’. Isnadnya memiliki perawi yang dituduh pendusta manakala
maksudnya tidak disokongi oleh mana-mana dalil lain. Beliau menulis:
Sebenarnya hadis yang tsabit dan sahih adalah hadis yang berakhir dengan
“wa ahli baiti” (sepertimana Khutbah C – penulis). Sedangkan yang
berakhir dengan kata-kata “wa sunnati” (sepertimana Khutbah B) adalah
batil dari sisi matan dan sanadnya.
Nampaknya
al-Saqqaf telah terburu-buru dalam penilaian ini kerana beliau hanya
menyimak beberapa jalan periwayatan dan meninggalkan yang selainnya,
terutamanya apa yang terkandung dalam kitab-kitab Musannaf, Mu’jam dan
Tarikh (Sejarah). Yang lebih berat adalah beliau telah menepikan begitu
sahaja riwayat yang dibawa oleh Malik di dalam kitab al-Muwattha’nya
atas alasan ianya adalah tanpa sanad padahal yang benar al-Saqqaf tidak
mengenali kaedah-kaedah periwayatan hadis yang khas di sisi Malik bin
Anas dan tokoh-tokoh hadis di zamannya.
Kritik kami adalah sebagai
berikut, tentang kata-kata hadis riwayat Al Muwatta adalah shahih karena
pernyataan Balghni atau “disampaikan kepada aku” dalam hadis riwayat
Imam Malik ini adalah khas di zaman awal Islam (sebelum 200H) menandakan
bahwa seseorang itu telah menerima sesebuah hadis daripada sejumlah
tabi’in, dari sejumlah sahabat dari jalan-jalan yang banyak sehingga
tidak perlu disertakan sanadnya. Maka Kami katakan, Kaidah periwayatan
hadis dengan pernyataan Balghni atau “disampaikan kepadaku” memang
terdapat di zaman Imam Malik. Hal ini juga dapat dilihat dalam Kutub As
Sunnah Dirasah Watsiqiyyah oleh Rif’at Fauzi Abdul Muthallib hal 20,
terdapat kata kata Hasan Al Bashri
“Jika empat shahabat berkumpul
untuk periwayatan sebuah hadis maka saya tidak menyebut lagi nama
shahabat”.Ia juga pernah berkata”Jika aku berkata hadatsana maka hadis
itu saya terima dari fulan seorang tetapi bila aku berkata qala
Rasulullah SAW maka hadis itu saya dengar dari 70 orang shahabat atau
lebih”.
Tetapi adalah tidak benar
mendakwa suatu hadis sebagai shahih hanya dengan pernyataan “balghni”.
Hal ini jelas bertentangan dengan kaidah jumhur ulama tentang
persyaratan hadis shahih seperti yang tercantum dalam Muqaddimah Ibnu
Shalah fi Ulumul Hadis yaitu:
Hadis shahih adalah Hadis yang
muttashil (bersambung sanadnya) disampaikan oleh setiap perawi yang
adil(terpercaya) lagi dhabit sampai akhir sanadnya dan hadis itu harus
bebas dari syadz dan Illat.
Dengan kaidah Inilah as Saqqaf
telah menepikan hadis al Muwatta tersebut karena memang hadis tersebut
tidak ada sanadnya. Yang aneh justru pernyataan Hafiz yang menyalahkan
As Saqqaf dengan kata-kata padahal yang benar al-Saqqaf tidak mengenali
kaedah-kaedah periwayatan hadis yang khas di sisi Malik bin Anas dan
tokoh-tokoh hadis di zamannya.
Pernyataan Hafiz di atas
menunjukan bahwa Malik bin Anas dan tokoh hadis zamannya (sekitar
93H-179H) jika meriwayatkan hadis dengan pernyataan telah disampaikan
kepadaku bahwa Rasulullah SAW atau Qala Rasulullah SAW tanpa menyebutkan
sanadnya maka hadis tersebut adalah shahih. Pernyataan ini jelas aneh
dan bertentangan dengan kaidah jumhur ulama hadis. Sekali lagi hadis itu
mursal atau terputus dan hadis mursal tidak bisa dijadikan hujjah
karena kemungkinan dhaifnya. Karena bisa jadi perawi yang terputus itu
adalah seorang tabiin yang bisa jadi dhaif atau tsiqat, jika tabiin itu
tsiqatpun dia kemungkinan mendengar dari tabiin lain yang bisa jadi
dhaif atau tsiqat dan seterusnya kemungkinan seperti itu tidak akan
habis-habis. Sungguh sangat tidak mungkin mendakwa hadis mursal sebagai
shahih “Hanya karena terdapat dalam Al Muwatta Imam Malik”.
Hal
yang kami jelaskan itu juga terdapat dalam Ilmu Mushthalah Hadis oleh A
Qadir Hassan hal 109 yang mengutip pernyataan Ibnu Hajar yang
menunjukkan tidak boleh menjadikan hadis mursal sebagai hujjah, Ibnu
Hajar berkata:
”Boleh jadi yang gugur itu
shahabat tetapi boleh jadi juga seorang tabiin .Kalau kita berpegang
bahwa yang gugur itu seorang tabiin boleh jadi tabiin itu seorang yang
lemah tetapi boleh jadi seorang kepercayaan. Kalau kita andaikan dia
seorang kepercayaan maka boleh jadi pula ia menerima riwayat itu dari
seorang shahabat, tetapi boleh juga dari seorang tabiin lain”.
Lihat baik-baik walaupun yang
meriwayatkan hadis mursal itu adalah tabiin tetap saja dinyatakan dhaif
apalagi Malik bin Anas yang seorang tabiit tabiin maka akan jauh lebih
banyak kemungkinan dhaifnya. Pernyataan yang benar tentang hadis mursal
Al Muwatta adalah hadis tersebut shahih jika terdapat hadis lain yang
bersambung dan shahih sanadnya yang menguatkan hadis mursal tersebut di
kitab-kitab lain. Jadi adalah kekeliruan menjadikan hadis mursal shahih
hanya karena terdapat dalam Al Muwatta..
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Dengan Sanad Yang Bersambung.
Telah dinyatakan sebelumnya
bahwa dari sumber-sumber yang ada ternyata ada 4 jalan sanad hadis
“Kitab Allah dan SunahKu”. 4 jalan sanad itu adalah:
1. Jalur Ibnu Abbas ra.
2. Jalur Abu Hurairah ra.
3. Jalur Amr bin Awf ra.
4. Jalur Abu Said Al Khudri ra.
Jalan Sanad Ibnu Abbas
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”
dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas dapat ditemukan dalam Kitab Al
Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93 dan Sunan Baihaqi juz 10 hal 4 yang
pada dasarnya juga mengutip dari Al Mustadrak. Dalam kitab-kitab ini
sanad hadis itu dari jalan Ibnu Abi Uwais dari Ayahnya dari Tsaur bin
Zaid Al Daily dari Ikrimah dari Ibnu Abbas.
bahwa Rasulullah SAW bersabda
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu
apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat
selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah RasulNya”.
Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena terdapat kelemahan pada dua orang perawinya yaitu Ibnu Abi Uwais dan Ayahnya.
1. Ibnu Abi Uwais.
* Dalam kitab Tahdzib Al Kamal
karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 mengenai biografi
Ibnu Abi Uwais terdapat perkataan orang yang mencelanya, diantaranya
Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya
itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais
dan ayahnya suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis atau
mukhallith dan suka berbohong. Menurut Abu Hatim Ibnu Abi Uwais itu
mahalluhu ash shidq atau tempat kejujuran tetapi dia terbukti lengah. An
Nasa’i menilai Ibnu Abi Uwais dhaif dan tidak tsiqah. Menurut Abu Al
Qasim Al Alkaiy “An Nasa’i sangat jelek menilainya (Ibnu Abi Uwais)
sampai ke derajat matruk(ditinggalkan hadisnya)”. Ahmad bin Ady berkata
“Ibnu Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya Malik beberapa hadis
gharib yang tidak diikuti oleh seorangpun.”
*
Dalam Muqaddimah Al Fath Al Bary halaman 391 terbitan Dar Al Ma’rifah,
Al Hafiz Ibnu Hajar mengenai Ibnu Abi Uwais berkata ”Atas dasar itu
hadis dia (Ibnu Abi Uwais) tidak dapat dijadikan hujjah selain yang
terdapat dalam As Shahih karena celaan yang dilakukan Imam Nasa’i dan
lain-lain”.
* Dalam Fath Al Mulk
Al Aly halaman 15, Al Hafiz Sayyid Ahmad bin Shiddiq mengatakan “berkata
Salamah bin Syabib Aku pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan
“mungkin aku membuat hadis untuk penduduk madinah jika mereka
berselisih pendapat mengenai sesuatu di antara mereka”.
Jadi Ibnu Abi Uwais adalah
perawi yang tertuduh dhaif, tidak tsiqat, pembohong, matruk dan dituduh
suka membuat hadis. Ada sebagian orang yang membela Ibnu Abi Uwais
dengan mengatakan bahwa dia adalah salah satu Rijal atau perawi Shahih
Bukhari oleh karena itu hadisnya bisa dijadikan hujjah. Pernyataan ini
jelas tertolak karena Bukhari memang berhujjah dengan hadis Ismail bin
Abi Uwais tetapi telah dipastikan bahwa Ibnu Abi Uwais adalah perawi
Bukhari yang diperselisihkan oleh para ulama hadis. Seperti penjelasan
di atas terdapat jarh atau celaan yang jelas oleh ulama hadis seperti
Yahya bin Mu’in, An Nasa’i dan lain-lain. Dalam prinsip Ilmu Jarh wat
Ta’dil celaan yang jelas didahulukan dari pujian(ta’dil). Oleh karenanya
hadis Ibnu Abi Uwais tidak bisa dijadikan hujjah. Mengenai hadis
Bukhari dari Ibnu Abi Uwais, hadis-hadis tersebut memiliki mutaba’ah
atau pendukung dari riwayat-riwayat lain sehingga hadis tersebut tetap
dinyatakan shahih. Lihat penjelasan Al Hafiz Ibnu Hajar dalam Al Fath Al
Bary Syarh Shahih Bukhari, Beliau mengatakan bahwa hadis Ibnu Abi Uwais
selain dalam As Shahih(Bukhari dan Muslim) tidak bisa dijadikan hujjah.
Dan hadis yang dibicarakan ini tidak terdapat dalam kedua kitab Shahih
tersebut, hadis ini terdapat dalam Mustadrak dan Sunan Baihaqi.
2. Abu Uwais.
* Dalam kitab Al Jarh Wa At
Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim jilid V hal 92, Ibnu Abi Hatim menukil dari
ayahnya Abu Hatim Ar Razy yang berkata mengenai Abu Uwais “Ditulis
hadisnya tetapi tidak dapat dijadikan hujjah dan dia tidak kuat”. Ibnu
Abi Hatim menukil dari Yahya bin Mu’in yang berkata “Abu Uwais tidak
tsiqah”.
* Dalam kitab Tahdzib Al
Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 Berkata
Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu
keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais dan
ayahnya(Abu Uwais) suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis
atau mukhallith dan suka berbohong.
Dalam Al Mustadrak jilid I hal
93, Al Hakim tidak menshahihkan hadis ini. Beliau mendiamkannya dan
mencari syahid atau penguat bagi hadis tersebut, Beliau berkata ”Saya
telah menemukan syahid atau saksi penguat bagi hadis tersebut dari hadis
Abu Hurairah ra”. Mengenai hadis Abu Hurairah ra ini akan dibahas
nanti, yang penting dari pernyataan itu secara tidak langsung Al Hakim
mengakui kedhaifan hadis Ibnu Abbas tersebut oleh karena itu beliau
mencari syahid penguat untuk hadis tersebut .Setelah melihat kedudukan
kedua perawi hadis Ibnu Abbas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
hadis ”Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas
adalah dhaif.
Jalan Sanad Abu Hurairah ra.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”
dengan jalan sanad Abu Hurairah ra terdapat dalam Al Mustadrak Al Hakim
jilid I hal 93, Sunan Al Kubra Baihaqi juz 10, Sunan Daruquthni IV hal
245, Jami’ As Saghir As Suyuthi(no 3923), Al Khatib dalam Al Faqih Al
Mutafaqqih jilid I hal 94, At Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr, dan
Al Ihkam VI hal 243 Ibnu Hazm.
Jalan
sanad hadis Abu Hurairah ra adalah sebagi berikut, diriwayatkan melalui
Al Dhaby yang berkata telah menghadiskan kepada kami Shalih bin Musa At
Thalhy dari Abdul Aziz bin Rafi’dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada
kamu sekalian dua perkara yang jika kamu pegang teguh pasti kamu
sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan
SunahKu.Keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiKu di Al Haudh”.
Hadis di atas adalah hadis yang
dhaif karena dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak bisa dijadikan
hujjah yaitu Shalih bin Musa At Thalhy.
* Dalam Kitab Tahdzib Al Kamal (
XIII hal 96) berkata Yahya bin Muin bahwa riwayat hadis Shalih bin Musa
bukan apa-apa. Abu Hatim Ar Razy berkata hadis Shalih bin Musa dhaif.
Imam Nasa’i berkata hadis Shalih bin Musa tidak perlu ditulis dan dia
itu matruk al hadis(ditinggalkan hadisnya).
*
Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqalany dalam kitabnya Tahdzib At Tahdzib IV
hal 355 menyebutkan Ibnu Hibban berkata bahwa Shalih bin Musa
meriwayatkan dari tsiqat apa yang tidak menyerupai hadis itsbat(yang
kuat) sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut
ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak dapat dipakai
untuk berhujjah. Abu Nu’aim berkata Shalih bin Musa itu matruk Al Hadis
sering meriwayatkan hadis mungkar.
*
Dalam At Taqrib (Tarjamah :2891) Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqallany
menyatakan bahwa Shalih bin Musa adalah perawi yang matruk(harus
ditinggalkan).
* Al Dzahaby dalam Al Kasyif (2412) menyebutkan bahwa Shalih bin Musa itu wahin (lemah).
*
Dalam Al Qaulul Fashl jilid 2 hal 306 Sayyid Alwi bin Thahir ketika
mengomentari Shalih bin Musa, beliau menyatakan bahwa Imam Bukhari
berkata”Shalih bin Musa adalah perawi yang membawa hadis-hadis mungkar”.
Kalau melihat jarh atau celaan
para ulama terhadap Shalih bin Musa tersebut maka dapat dinyatakan bahwa
hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan sanad dari Abu Hurairah ra di
atas adalah hadis yang dhaif. Adalah hal yang aneh ternyata As Suyuthi
dalam Jami’ As Saghir menyatakan hadis tersebut hasan, Al Hafiz Al
Manawi menshahihkannya dalam Faidhul Qhadir Syarah Al Jami’Ash Shaghir
dan Al Albani juga telah memasukkan hadis ini dalam Shahih Jami’ As
Saghir. Begitu pula yang dinyatakan oleh Al Khatib dan Ibnu Hazm.
Menurut kami penshahihan hadis tersebut tidak benar karena dalam sanad
hadis tersebut terdapat cacat yang jelas pada perawinya, Bagaimana
mungkin hadis tersebut shahih jika dalam sanadnya terdapat perawi yang
matruk, mungkar al hadis dan tidak bisa dijadikan hujjah. Nyata sekali
bahwa ulama-ulama yang menshahihkan hadis ini telah bertindak
longgar(tasahul) dalam masalah ini.
Mengapa para ulama itu bersikap
tasahul dalam penetapan kedudukan hadis ini?. Hal ini mungkin karena
matan hadis tersebut adalah hal yang tidak perlu dipermasalahkan lagi.
Tetapi menurut kami matan hadis tersebut yang benar dan shahih adalah
dengan matan hadis yang sama redaksinya hanya perbedaan pada “Kitab
Allah dan SunahKu” menjadi “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu”. Hadis
dengan matan seperti ini salah satunya terdapat dalam Shahih Sunan
Tirmidzi no 3786 & 3788 yang dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani
dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Kalau dibandingkan antara hadis ini dengan
hadis Abu Hurairah ra di atas dapat dipastikan bahwa hadis Shahih Sunan
Tirmidzi ini jauh lebih shahih kedudukannya karena semua perawinya
tsiqat. Sedangkan hadis Abu Hurairah ra di atas terdapat cacat pada
salah satu perawinya yaitu Shalih bin Musa At Thalhy.
Adz Dzahabi dalam Al Mizan Al
I’tidal jilid II hal 302 berkata bahwa hadis Shalih bin Musa tersebut
termasuk dari kemunkaran yang dilakukannya. Selain itu hadis riwayat Abu
Hurairah ini dinyatakan dhaif oleh Hasan As Saqqaf dalam Shahih Sifat
Shalat An Nabiy setelah beliau mengkritik Shalih bin Musa salah satu
perawi hadis tersebut. Jadi pendapat yang benar dalam masalah ini adalah
hadis riwayat Abu Hurairah tersebut adalah dhaif sedangkan pernyataan
As Suyuthi, Al Manawi, Al Albani dan yang lain bahwa hadis tersebut
shahih adalah keliru karena dalam rangkaian sanadnya terdapat perawi
yang sangat jelas cacatnya sehingga tidak mungkin bisa dikatakan shahih.
Jalan Sanad Amr bin Awf ra.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”
dengan jalan sanad dari Amr bin Awf terdapat dalam kitab At Tamhid XXIV
hal 331 Ibnu Abdil Barr. Telah menghadiskan kepada kami Abdurrahman bin
Yahya, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Ahmad bin Sa’id, dia
berkata telahmenghadiskan kepada kami Muhammad bin Ibrahim Al Daibaly,
dia berkata telah menghadiskan kepada kami Ali bin Zaid Al Faridhy, dia
berkata telah menghadiskan kepada kami Al Haniny dari Katsir bin
Abdullah bin Amr bin Awf dari ayahnya dari kakeknya.
Bahwa Rasulullah bersabda “wahai
sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang
jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya
yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya.
Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena dalam sanadnya terdapat cacat pada perawinya yaitu Katsir bin Abdullah .
* Dalam Mizan Al Itidal
(biografi Katsir bin Abdullah no 6943) karya Adz Dzahabi terdapat celaan
pada Katsir bin Abdullah. Menurut Daruquthni Katsir bin Abdullah adalah
matruk al hadis(ditinggalkan hadisnya). Abu Hatim menilai Katsir bin
Abdullah tidak kuat. An Nasa’i menilai Katsir bin Abdullah tidak tsiqah.
* Dalam At Taqrib at Tahdzib, Ibnu Hajar menyatakan Katsir bin Abdullah dhaif.
* Dalam Al Kasyf Adz Dzahaby menilai Katsir bin Abdullah wahin(lemah).
*
Dalam Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 hal 221, Ibnu Hibban berkata
tentang Katsir bin Abdullah “Hadisnya sangat mungkar” dan “Dia
meriwayatkan hadis-hadis palsu dari ayahnya dari kakeknya yang tidak
pantas disebutkan dalam kitab-kitab maupun periwayatan”
* Dalam Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 hal 221, Yahya bin Main berkata “Katsir lemah hadisnya”
* Dalam Kitab Al Jarh Wat Ta’dil biografi no 858, Abu Zur’ah berkata “Hadisnya tidak ada apa-apanya, dia tidak kuat hafalannya”.
*
Dalam Adh Dhu’afa Al Kabir Al Uqaili (no 1555), Mutharrif bin Abdillah
berkata tentang Katsir “Dia orang yang banyak permusuhannya dan tidak
seorangpun sahabat kami yang mengambil hadis darinya”.
*
Dalam Al Kamil Fi Dhu’afa Ar Rijal karya Ibnu Adi juz 6 hal 63, Ibnu
Adi berkata perihal Katsir “Dan kebanyakan hadis yang diriwayatkannya
tidak bisa dijadikan pegangan”.
*
Dalam Al Kamil Fi Dhu’afa Ar Rijal karya Ibnu Adi juz 6 hal 63, Abu
Khaitsamah berkata “Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku : jangan
sedikitpun engkau meriwayatkan hadis dari Katsir bin Abdullah”.
*
Dalam Ad Dhu’afa Wal Matrukin Ibnu Jauzi juz III hal 24 terdapat
perkataan Imam Syafii perihal Katsir bin Abdullah “Katsir bin Abdullah
Al Muzanni adalah satu pilar dari berbagai pilar kedustaan”
Jadi hadis Amr bin Awf ini
sangat jelas kedhaifannya karena dalam sanadnya terdapat perawi yang
matruk, dhaif atau tidak tsiqah dan pendusta.
Jalur Abu Said Al Khudri ra.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”
dengan jalan sanad dari Abu Said Al Khudri ra terdapat dalam Al Faqih Al
Mutafaqqih jilid I hal 94 karya Al Khatib Baghdadi dan Al Ilma ‘ila
Ma’rifah Usul Ar Riwayah wa Taqyid As Sima’ karya Qadhi Iyadh dengan
sanad dari Saif bin Umar dari Ibnu Ishaq Al Asadi dari Shabbat bin
Muhammad dari Abu Hazm dari Abu Said Al Khudri ra.
Dalam rangkaian perawi ini terdapat perawi yang benar-benar dhaif yaitu Saif bin Umar At Tamimi.
* Dalam Mizan Al I’tidal no 3637 Yahya bin Mu’in berkata “Saif daif dan riwayatnya tidak kuat”.
* Dalam Ad Dhu’afa Al Matrukin no 256, An Nasa’i mengatakan kalau Saif bin Umar adalah dhaif.
*
Dalam Al Majruhin no 443 Ibnu Hibban mengatakan Saif merujukkan
hadis-hadis palsu pada perawi yang tsabit, ia seorang yang tertuduh
zindiq dan seorang pemalsu hadis.
*
Dalam Ad Dhu’afa Abu Nu’aim no 95, Abu Nu’aim mengatakan kalau Saif bin
Umar adalah orang yang tertuduh zindiq, riwayatnya jatuh dan bukan
apa-apanya.
*
Dalam Tahzib At Tahzib juz 4 no 517 Abu Dawud berkata kalau Saif bukan
apa-apa, Abu Hatim berkata “ia matruk”, Ad Daruquthni menyatakannya
dhaif dan matruk. Al Hakim mengatakan kalau Saif tertuduh zindiq dan
riwayatnya jatuh. Ibnu Adi mengatakan kalau hadisnya dikenal munkar dan
tidak diikuti seorangpun.
Jadi jelas sekali kalau hadis
Abu Said Al Khudri ra ini adalah hadis yang dhaif karena kedudukan Saif
bin Umar yang dhaif di mata para ulama.
Hadis Tersebut Dhaif.
Dari semua pembahasan di atas
dapat disimpulkan bahwa hadis “Kitab Allah dan SunahKu” ini adalah hadis
yang dhaif. Sebelum mengakhiri tulisan ini akan dibahas terlebih dahulu
pernyataan Ali As Salus dalam Al Imamah wal Khilafah yang menyatakan
shahihnya hadis “Kitab Allah Dan SunahKu”.
Ali
As Salus menyatakan bahwa hadis riwayat Imam Malik adalah shahih
Walaupun dalam Al Muwatta hadis ini mursal. Beliau menyatakan bahwa
hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Hurairah yang telah dishahihkan oleh
As Suyuthi,Al Manawi dan Al Albani. Selain itu hadis mursal dalam Al
Muwatta adalah shahih menurutnya dengan mengutip pernyataan Ibnu Abdil
Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah shahih
dan pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al Muwatta
memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam kitab-kitab
lain.
Tanggapan Terhadap Ali As Salus.
Pernyataan pertama bahwa hadis
Malik bin Anas dalam Al Muwatta adalah shahih walaupun mursal adalah
tidak benar. Hal ini telah dijelaskan dalam tanggapan kami terhadap
Hafiz Firdaus bahwa hadis mursal tidak bisa langsung dinyatakan shahih
kecuali terdapat hadis shahih(bersambung sanadnya) lain yang
menguatkannya. Dan kenyataannya hadis yang jadi penguat hadis mursal Al
Muwatta ini adalah tidak shahih. Pernyataan Selanjutnya Ali As Salus
bahwa hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Hurairah ra adalah tidak tepat
karena seperti yang sudah dijelaskan, dalam sanad hadis Abu Hurairah ra
ada Shalih bin Musa yang tidak dapat dijadikan hujjah.
Ali As Salus menyatakan bahwa hadis mursal Al Muwatta shahih berdasarkan:
* Pernyataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah shahih dan
* Pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al Muwatta
memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam kitab-kitab
lain.
Mengenai pernyataan Ibnu Abdil
Barr tersebut, jelas itu adalah pendapatnya sendiri dan mengenai hadis
“Kitab Allah dan SunahKu” yang mursal dalam Al Muwatta Ibnu Abdil Barr
telah mencari sanad hadis ini dan memuatnya dalam kitabnya At Tamhid dan
Beliau menshahihkannya. Setelah dilihat ternyata hadis dalam At Tamhid
tersebut tidaklah shahih karena cacat yang jelas pada perawinya.
Begitu pula pernyataan As
Suyuthi yang dikutip Ali As Salus di atas itu adalah pendapat Beliau
sendiri dan As Suyuthi telah menjadikan hadis Abu Hurairah ra sebagai
syahid atau pendukung hadis mursal Al Muwatta seperti yang Beliau
nyatakan dalam Jami’ As Saghir dan Beliau menyatakan hadis tersebut
hasan. Setelah ditelaah ternyata hadis Abu Hurairah ra itu adalah dhaif.
Jadi Kesimpulannya tetap saja hadis “Kitab Allah dan SunahKu” adalah
hadis yang dhaif.
Salah
satu bukti bahwa tidak semua hadis mursal Al Muwatta shahih adalah apa
yang dikemukakan oleh Syaikh Al Albani dalam Silisilatul Al Hadits Adh
Dhaifah Wal Maudhuah hadis no 908.
Nabi Isa pernah
bersabda”Janganlah kalian banyak bicara tanpa menyebut Allah karena hati
kalian akan mengeras.Hati yang keras jauh dari Allah namun kalian tidak
mengetahuinya.Dan janganlah kalian mengamati dosa-dosa orang lain
seolah-olah kalian Tuhan,akan tetapi amatilah dosa-dosa kalian seolah
kalian itu hamba.Sesungguhnya Setiap manusia itu diuji dan selamat maka
kasihanilah orang-orang yang tengah tertimpa malapetaka dan bertahmidlah
kepada Allah atas keselamatan kalian”.
Riwayat ini dikemukakan Imam
Malik dalam Al Muwatta jilid II hal 986 tanpa sanad yang pasti tetapi
Imam Malik menempatkannya dalam deretan riwayat–riwayat yang
muttashil(bersambung) atau marfu’ sanadnya sampai ke Rasulullah SAW.
Syaikh Al Albani berkata tentang hadis ini:
”sekali lagi saya tegaskan
memarfu’kan riwayat ini sampai kepada Nabi adalah kesalahan yang
menyesatkan dan tidak ayal lagi merupakan kedustaan yang nyata-nyata
dinisbatkan kepada Beliau padahal Beliau terbebas darinya”.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa
Syaikh Al Albani tidaklah langsung menyatakan bahwa hadis ini shahih
hanya karena Imam Malik menempatkannya dalam deretan riwayat–riwayat
yang muttashil atau marfu’ sanadnya sampai ke Rasulullah SAW. Justru
Syaikh Al Albani menyatakan bahwa memarfu’kan hadis ini adalah kedustaan
atau kesalahan yang menyesatkan karena berdasarkan penelitian beliau
tidak ada sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW mengenai hadis
ini.
Yang Aneh adalah pernyataan Ali
As Salus dalam Imamah Wal Khilafah yang menyatakan bahwa hadis dengan
matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” adalah dhaif dan yang shahih
adalah hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”. Hal ini jelas
sangat tidak benar karena hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”
sanad-sanadnya tidak shahih seperti yang sudah dijelaskan dalam
pembahasan di atas. Sedangkan hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah
Ahlul BaitKu” adalah hadis yang diriwayatkan banyak shahabat dan
sanadnya jauh lebih kuat dari hadis dengan matan “Kitab Allah dan
SunahKu”.
Jadi kalau hadis dengan matan
“Kitab Allah dan SunahKu” dinyatakan shahih maka hadis dengan matan
“Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” akan jadi jauh lebih shahih. Ali As
Salus dalam Imamah wal Khilafah telah membandingkan kedua hadis
tersebut dengan metode yang tidak berimbang. Untuk hadis dengan matan
“Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” beliau mengkritik habis-habisan
bahkan dengan kritik yang tidak benar sedangkan untuk hadis dengan matan
“Kitab Allah dan SunahKu” beliau bertindak longgar(tasahul) dan
berhujjah dengan pernyataan ulama lain yang juga telah memudahkan dalam
penshahihan hadis tersebut.
Salam Damai.
Post a Comment
mohon gunakan email