Pesan Rahbar

Home » , , , , , , , » Tidak ada kewajiban bagi siapapun untuk mengikuti salah satu dari empat Mazhab Sunni, karena jika kebenaran ada pada keempat mazhab tersebut, mengapa salah satu Imam Mazhab dari empat mazhab tersebut dikritik pedas oleh Imam Mazhab lainnya..? Lalu pandangan yang mana yang harus diikuti.?

Tidak ada kewajiban bagi siapapun untuk mengikuti salah satu dari empat Mazhab Sunni, karena jika kebenaran ada pada keempat mazhab tersebut, mengapa salah satu Imam Mazhab dari empat mazhab tersebut dikritik pedas oleh Imam Mazhab lainnya..? Lalu pandangan yang mana yang harus diikuti.?

Written By Unknown on Friday 11 July 2014 | 22:28:00



tidak ada kewajiban bagi siapapun untuk mengikuti salah satu dari empat Mazhab Sunni, karena jika kebenaran ada pada keempat mazhab tersebut, mengapa salah satu Imam Mazhab dari empat mazhab tersebut dikritik pedas oleh Imam Mazhab lainnya..? Lalu pandangan yang mana yang harus diikuti.? toh kedua Imam Mazhab Sunni tersebut jelas-jelas mengatakan bahwa Abu Hanifah yg merupakan salah satu dari Imam Mazhab sunni tersebut merupakan seorang Imam kesesatan, pendapatnya tidak ada artinya, fitnahnya lebih berbahaya daripada fitnah iblis, dll (sebagaimana yang tercantum dalam Tarikh Baghdad diatas) ? Pada intinya silahkan bagi anda untuk mengikuti mazhab manapun yang anda yakini, tidak ada monopoli dalam bermazhab, yang jelas kewajibannya adalah mengikuti Tsaqalain : Kitabullah dan Ahlul Bait.
 
Abu Hanifah dikenal sebagai ulama dari salah satu empat Mazhab Sunni yang sempat belajar kepada Imam Ja’far Shadiq (as). Salah satu ucapannya yang terkenal adalah :

أبا حنيفة ومالك كانا تلميذين للإمام الصادق وكان أبو حنيفة كثيرا ما يقول لولا السنتان لهلك النعمان
Abu Hanifah dan Malik adalah murid dari Imam Shadiq dan Abu Hanifah biasa mengatakan : “Tanpa dua tahun al-Nu’man akan binasa” (Nazarat fi al Kutub al Khalidah halaman 182.)

Dalam Minhaj al-Syariah al-Islamiah j. 3 h.114:

وأخذ عنه أيضا الإٌمام أبو حنيفة في الكوفة ، وقال ما رأبت أفقه من جعفر بن محمد الصادق
“Begitu juga Imam Abu Hanifah dibawah pengajaran (Imam Shadiq) di Kufah, dan ia (Abu Hanifah) berakata :’Aku tidak pernah melihat sorang yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad al Shadiq”.

Ulama Sunni Syaikh Ibn Talha As-Syafi’i dalam Matalib al Sual halaman 218:

واستفاد من الإمام الصادق جماعة من أعيان الأئمة وأعلامهم مثل مالك بن أنس وأبو حنيفة
“Banyak ulama yang mengambil manfaat dari Imam Ash-Shadiq seperti Malik bin Anas dan Abu Hanifah”.

Pada masa itu, pengetahuan Islam menyebar dan pelajar mengambil manfaat dari ajaran ulama dengan perbedaan pandangan yang jauh dan luas. Abu Hanifah termasuk yang mengambil pelajaran dari Imam Ja’far Ash-Shadiq (as) walaupun sekitar dua tahun sebagaimana yang di ucapkannya. Jika kita belajar fiqih atau ilmu agama lainnya dibawah guru dengan keyakinan yang berbeda untuk diri sendiri maka itu TIDAK secara otomatis berarti kita harus merubah keyakinan kita. Oleh sebab itu jika ada krtitik terhadap Abu Hanifah, terkait tentang pandangan-pandangannya tidaklah berpengaruh terhadap Imam Ja’far (as) yang mana Imam Abu Hanifah sempat dua tahun belajar kepadanya.

Oknum Ulama sering mengatakan bahwa mazhab Islam yang benar adalah empat mazhab ahlu sunnah, selain dari mazhab tersebut sesat, tidak boleh di ikuti, dan lain-lain. Jika kita perhatikan beberapa Imam Mazhab tersebut sering kali mengkritik pedas ulama mazhab lainnya. Abu Hanifah adalah salah satu Imam Mazhab Sunni yang sering di kritik pedas oleh Imam Mazhab Sunni lainnya.

Abu Hanifah Dalam Pandangan Imam Ahmad Bin Hanbal.

Tarikh Baghdad (13/454) :

أخبرنا الحسن بن الحسن بن المنذر القاضي والحسن بن أبي بكر البزاز قالا أخبرنا محمد بن عبد الله الشافعي سمعت إبراهيم بن إسحاق الحربي قال سمعت احمد بن حنبل وسئل عن مالك فقال حديث صحيح ورأي ضعيف وسئل عن الأوزاعي فقال حديث ضعيف ورأي ضعيف وسئل عن أبي حنيفة فقال لا رأي ولا حديث وسئل عن الشافعي فقال حديث صحيح وراي صحيح
Ishaq bin Harby berkata : “Aku mendengar, Ahmad bin Hanbal ditanya mengenai Imam Malik. Jawabannya; ‘Hadisnya Shahih tapi pendapatnya Lemah (dhaif). Lalu ia ditanya mengenai Awzai, ia menjawab; ‘Hadis dan pendapatnya keduanya Dhaif, lalu ia ditanya tentang Abu Hanifah, ia menjawab; ‘Tdk Hadis dan tidak Pendapatanya (tidak ada nilainya), lalu ia ditanya tentang Imam Syafi’i, jawabannya; “Hadis dan pendapatnya shahih”.

Tarikh Baghdad (15/ 569) :

أخبرنا بن رزق حدثنا احمد بن سلمان الفقيه المعروف بالنجاد حدثنا عبد الله بن احمد بن حنبل حدثنا مهنى بن يحيى قال سمعت احمد بن حنبل يقول ما قول أبي حنيفة والبعر عندي إلا سواء

Ahmad bin Hanbal berkata : “Menurutku pendapat Abu Hanifah sama dengan kotoran kambing”.

Keterangan :
SANADNYA KEPADA MUHANNA ADALAH SHAHIH,MUHANNA ADALAH SEORANG TSIQOH DAN SANGAT TEGUH BERPEGANG PADA SUNNAH,TAMPAKNYA ABDULLAH (PUTRA AHMAD BIN HAMBAL) TIDAK MENDENGAR DARI AYANYA DAN IA MENGAMBIL DARI MUHANNA. (catatn kaki Tarikh Baghdad j. 15/569).

Ulama kontemporer Sunni, Hasan As-Saqqaf mencatat dalam Al Salafya al Wahabiah, hal. 73 :

فالحنابلة يرون أن الإمام أبو حنيفة من أئمة الضلال
“Hanbaliyah menyakini bahwa Imam Abu Hanifah adalah Imam kesesatan.”.

Tarikh Baghdad (13/416) :
http://islamport.com/d/1/trj/1/108/1614.html

أخبرنا بن رزق أخبرنا بن سلم حدثنا الأبار حدثنا أبو الأزهري النيسابوري حدثنا حبيب كاتب مالك بن أنس عن مالك بن أنس قال كانت فتنة أبي حنيفة أضر على هذه الأمة من فتنة إبليس

Malik bin Anas berkata : “Fitnah Abu Hanifah lebih berbahaya bagi umat dari pada Fitnah Iblis”
Tarikh Baghdad (13/415) :
http://islamport.com/d/1/trj/1/108/1614.html

أخبرنا بن الفضل أخبرنا عبيد الله بن جعفر بن درستويه حدثنا يعقوب بن سفيان حدثني الحسن بن الصباح حدثنا إسحاق بن إبراهيم الحنيني قال قال مالك ما ولد في الإسلام مولود أضر على أهل الإسلام من أبي حنيفة
“Malik berkata : Tidak seorangpun lahir dalam islam yang lebih berbahaya dari Abu Hanifah”
Abu Hanifah Dalam Pandangan Imam Syafi’i.

Tarikh Baghdad (15/ 567) :

وقال أيضا حدثنا أبي حدثنا هارون بن سعيد الأيلي قال سمعت الشافعي يقول ما أعلم أحدا وضع الكتاب أدل على عوار قوله من أبي حنيفة
Syafi’i berkata : “Saya tidak tahu siapa yang menulis sebuah kitab yang membuktikan kesalahannya sendiri kecuali Abu Hanifah”.


Halaman yang sama :

أخبرنا احمد بن محمد العتيقي والحسن بن جعفر السلماسي والحسن بن علي الجوهري قالوا أخبرنا علي بن عبد العزيز البرذعي أخبرنا أبو محمد عبد الرحمن بن أبي حاتم أخبرنا محمد بن عبد الله بن عبد الحكم قال قال لي محمد بن إدريس الشافعي نظرت في كتب لأصحاب أبي حنيفة فإذا فيها مائة وثلاثون ورقة فعددت منها ثمانين ورقة خلاف الكتاب والسنة
Berkata Muhammad bin Idris As-Syafi’i : “Aku melihat kitab sahabat-sahabat Abu Hanifah dan itu terdiri dari 130 halaman, aku menemukan di dalamnya 80 halaman yang bertentangan dengan Al Kitab (al Qur’an) dan Sunnah”.


Tarikh Baghdad (15/549) :

- وقال الشافعي شر عليهم من أبي حنيفة
“Syafi’i mengatakan kepada mereka kejahatan Abu Hanifah”.


Imam Subki mencatat pernyataan Imam Syafi’i dalam Tabaqat al-Shafi’iyah al-Kubra, j.2 h.94 :

وكذلك وجدت كتاب أبى حنيفة إنما يقولون كتاب الله وسنة نبيه وإنما هم مخالفون له
“Aku telah melihat kitab Abu Hanifah dan mereka mengklaim bahwa apapun yang mereka katakan ada dalam Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya, dan sebenarnya mereka menentangnya. (bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah).

Dari semua itu maka terlihat jelas bahwa tidak ada kewajiban bagi siapapun untuk mengikuti salah satu dari empat Mazhab Sunni, karena jika kebenaran ada pada keempat mazhab tersebut, mengapa salah satu Imam Mazhab dari empat mazhab tersebut dikritik pedas oleh Imam Mazhab lainnya..? Lalu pandangan yang mana yang harus diikuti.? toh kedua Imam Mazhab Sunni tersebut jelas-jelas mengatakan bahwa Abu Hanifah yg merupakan salah satu dari Imam Mazhab sunni tersebut merupakan seorang Imam kesesatan, pendapatnya tidak ada artinya, fitnahnya lebih berbahaya daripada fitnah iblis, dll (sebagaimana yang tercantum dalam Tarikh Baghdad diatas) ?

Pada intinya silahkan bagi anda untuk mengikuti mazhab manapun yang anda yakini, tidak ada monopoli dalam bermazhab, yang jelas kewajibannya adalah mengikuti Tsaqalain : Kitabullah dan Ahlul Bait.

Aku Berpikir, Aku Syiah.

 
Memang Tuhan sudah menakdirkan manusia mana yang berakhir dengan husnul khatimah dan mana yang berakhir dengan buruk. Namun, manusia dikaruniai akal untuk membantu mereka menemukan bimbingan cahaya ajaran Islam dan menghindari jalan kesesatan. Sekali mereka menemukan cahaya Islam, bukan berarti manusia tidak perlu lagi menggunakan akal mereka. Akal tetap diperlukan bagi manusia dalam membantu tetap konsisten menjalani praktek amalan beribadah sehari-hari. Dengan demikian manusia dapat terhindar dari tipu muslihat dan talbis setan baik dari golongan jin maupun manusia berjenggot yang menggoda. 

Lihat bagaimana jalan hidup sang master al-Ghazaly dalam menemukan metode tepat untuk menggapai Tuhan. Ia menapaki jalan aliran batiniyah, fikih, kalam, dan filsafat. Beliau mempelajari masing-masing aliran tersebut dan memahami kekurangan masing-masing sehingga puncaknya beliau menemukan jalan tasawuf yang mengobati kehausan jiwanya. Sikap inilah yang seharusnya dijalani setiap muslim dalam penggembaraan agamanya. Sikap logis dan kritis terhadap amalan ajaran agamanya tanpa meninggalkan pedoman sucinya. 

Aku terlahir Sunni dan bangga telah menjadi bagian dari Sunni, dan aku bukan, naudzubillah, kelompok Islam yang dengan mudah mengkafirkan dan meyesatkan  sesama muslim lainnya, kelompok turunan dari Khawarij pasukan Dajjal LA sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad saww dan Imam Ali as. Kesunnianku tak diragukan lagi dengan biasanya aku bertabarruk, tawasul dan sebagainya yang galib ditradisikan Sunni/NU Indonesia. Pertama kali aku berkenalan dengan yang namanya Syiah secara objektif adalah dari buku al-Murajaat yang dipinjam kakak saya dari kampus. Sebuah buku besar yang tidak hanya secara fisik tapi juga secara psikologis mampu menggerakkan jiwa untuk bersikap kritis dan logis terhadap apa yang kita anut. 


Ada beberapa poin dasar yang bisa dikatakan keliru dalam pandangan Sunni secara umum, dan itu tidak hanya menjangkit di kalangan awam saja namun juga di tingkat ulama pemberi pencerahan umat. Beberapa poin inilah yang menyebabkan aku tidak lagi merasa menjadi bagian dari sunni tulen atau deles dalam bahasa saya. Kalau dalam standar takfiri mungkin aku sudah dikategorikan sebagai rafidhah ekstrim, boleh dibunuh, :) mengutip sabda Imam Husein as: “Jika tubuh dirancang untuk berakhir, kenapa harus takut kehilangan”.  

Pertama; hadis wasiat Nabi Muhammad saww. Biasanya di Sunni yang terdengar adalah riwayat “berpegangteguhlah pada al-Quran dan Sunnahku”. Hampir semua sunni pasti akan menganggap hadis ini yang benar dan tidak ada hadis lain selain ini. Adapun hadis “berpegangteguhlah pada al-Quran dan Ahlu baitku” adalah hadis  lemah dan tidak diajarkan dalam dunia akademis. Bahkan KH. AN pengasuh bahsul masail di majalah AULA terbitan Maret 2012 yang membahas tentang Kontoversi Pusaka Islam, Mana yang Benar?, majalahnya umat Sunni Indonesia pun keliru ketika ada pertanyaan tentang hadis wasiat atau yang biasa disebut hadis tsaqalain. Beliau gegabah dengan mengatakan kalau hadis “berpegangteguhlah pada al-Quran dan ahli baitku” sebagai hadis lemah dan tidak ada dalam kitab standar hadis Sunni yang enam dan mensahihkan hadis “berpeganglah pada al-Quran dan sunnahku”. 

Aku bertaruh di antara kedua hadis tersebut pasti hadis “berpegangteguhlah pada al-Quran dan ahli baitku” yang sahih. Bahkan seorang blogger wahabi AJ saja mengakui bahwa hadis berpegangteguhlah pada al-Quran dan sunnahku adalah hadis dhaif dengan seluruh jalannya. Kedua hadis tersebut jika ditakhrij dengan standar yang paling ketat pun niscaya yang sahih adalah hadis “berpegangteguhlah pada al-Quran dan ahli baitku”. Jika ini adalah kebenaran seharusnya umat Islam mengikuti wasiat tersebut, bukannya menutupinya, pura-pura tidak tahu, bahkan mengabaikannya karena hanya akan memberikan justifikasi atas benarnya madzhab Syiah. “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. 

Sikap lain yang saya rasakan tentang terlalu cenderungnya mereka akan kesunniannya adalah sekalipun mereka mensahihkan “berpegangteguhlah pada al-Quran dan ahli baitku” namun mereka menafsirkan bahwa kepada ahli bait Nabi saww kita harus menghormati hak-hak mereka, menyayangi mereka, dll. Alangkah naifnya, ketika mereka tidak sadar kedhaifan hadis “berpegangteguhlah pada al-Quran dan sunnahku” mereka berkoar-koar tentang berpegang teguh dan menjadikan rujukan keduanya. Namun ketika tahu bahwa rujukan mereka bukanlah sebuah hadis yang  tidak dapat dijadikan landasan hidup, mereka menafsirkan secara berbeda. Padahal secara tekstual lafal keduanya sama hanya berbeda dalam poin kedua, yaitu Ahli bait Nabi saww atau Sunnah Nabi saww. Seharusnya umat Islam mengikuti sahabat Hudzaifah bin Yamani yang mewasiatkan kedua putranya untuk selalu mengikuti Ali as. 

Kedua; siapakah ahlul bait Nabi Muhammad saww yang harus kita ikuti itu? Kita tidak perlu melihat KTP untuk mengetahui tersebut, toh zaman itu tidak ada KTP. Hehe. Orang Arab mana yang tidak tahu suku Quraisy dengan Bani Hasyimnya. Orang Arab mana yang tidak kenal dengan Nabi saww yang dijuluki al-Amin. Hampir semua orang Arab pasti mengenalnya termasuk dengan istri dan keluarga besarnya dan semuanya pasti tahu itu termasuk keluarga ahli bait Nabi saww. Namun yang dikhususkan untuk diikuti adalah ahli bait yang dijelaskan dalam potongan ayat terakhir surah al-Ahzab ayat 33. Kenapa harus ada pembedaan, toh mereka semua adalah ahli bait Nabi saww? Jika anda disuruh memilih pemimpin, apakah anda memilih tokoh yang terbaik, biasa atau tokoh yang buruk. Inilah alasan Syiah memilih Imam Ali, Sayyidah Fatimah, Imam Hasan, Imam Husein as. Karena merekalah yang terpilih dalam potongan ayat terakhir surah al-Ahzab 33. Dalam riwayat sahih manapun baik di kitab Sunni maupun Syiah, potongan ayat tersebut turun pada kelima pribadi tersebut, yang di kalangan habaib dikenal dengan ahlul kisa’. Kenapa para istri Nabi saww tidak dimasukkan dalam ayat tersebut? Pertanyaan tersebut juga pernah ditanyakan oleh istri Nabi saww, Ummu Salamah yang pada waktu turunnya ayat tersebut berada di rumahnya. Nabi saww tidak memasukkan beliau dalam selimut, beliau hanya mendoakannya dengan kebaikan. Jika riwayat sahih asbab nuzul ayat tersebut jelas khusus menyebutkan kelima pribadi tersebut tanpa memasukkan istri Nabi saww, kenapa harus mengeneralisasi pada semua ahli bait Nabi saww tanpa ada dalil yang menguatkan hal tersebut? Disinilah akar kesalahpahaman antara Sunni dan Syiah.


Seandainya Sunni memahami alur pikir Syiah ini niscaya mereka memaklumi kenapa Syiah getol membela Imam Ali, Sayyidah Fatimah, dan dua cucu Nabi saww daripada yang lainnya ketika terjadi konflik, baik dengan sahabat maupun istri Nabi saww. Berbeda dengan cara pandang Sunni yang menganggap semua sahabat adil, mereka umat terbaik, dan sebagainya. Ketika para sahabat saling caci maki, berperang bagaimana sikap Sunni? Kami harus diam, tidak boleh membicarakan mereka, mereka semua berijtihad dan baik yang benar maupun salah mendapat pahala, biarkan yang sudah terjadi berlalu, bahkan adapula yang mengatakan jangan ceritakan sejarah kelam para sahabat. Jika demikian apa gunanya sejarah?! 

Ketiga; masalah keadilan sahabat. Memang ada beberapa pengertian tentang apa itu keadilan sahabat, mulai dari yang ekstrim sampai yang rendah. Namun yang pasti dalam standar Sunni pengertian keadilan sahabat adalah seluruh sahabat dapat diterima riwayatnya dalam menyampaikan sabda Nabi saww. Allah swt memerintahkan umat Islam untuk selalu memperhatikan sejarah, terutama sejarah umat dan generasi terdahulu. Memperhatikan sejarah bukan dalam arti pasif, diam dan biarkan berlalu namun aktif dengan memilah mana sejarah yang patut kita teladani dan ambil pelajaran dan mana yang harus kita jauhi.

Menyangkut sejarah para sahabat, Sunni dan Syiah memandang berbeda, terutama ahli hadis Sunni. Namun hampir semua pakar sejarah Islam sepakat adanya perselisihan, pertengkaran, caci maki bahkan saling bunuh-membunuh antar sahabat. Bagi Syiah semua sahabat bukanlah malaikat atau manusia yang tidak bisa dikritik apalagi disentuh. Mereka hanyalah manusia biasa yang mempunyai kekurangan dan kelebihan. Syiah memandang lebih baik hanya mengikuti langkah-langkah sahabat yang baik dan track recordnya teruji daripada mengikuti jejak semua sahabat, baik yang baik maupun yang buruk, yang dipuji Allah dan dilaknat Allah. Dan ini adalah sebuah tindakan yang logis daripada pasif dan membiarkan persoalan sahabat menggantung di langit. Seandainya kita hidup di zaman Imam Ali as yang sedang bertarung dengan Aisyah, Khawarij dan Muawiyah kemudian kita memilih non-blok, diam saja dan mengasingkan diri. Apakah itu tindakan yang tepat? Apakah Islam mengajarkan demikian? Jelas tidak. Islam mengajarkan kita untuk hidup bersosial dan untuk selalu mencari kebenaran yang hakiki bukan dengan membenarkan tindakan semua sahabat dan atau membenarkan berlandaskan ketokohan seorang pemimpin. Karena itulah Syiah memilih mengikuti jalur ahlul kisa’, jalur yang benar dalam pertarungan para sahabat dilihat dari semua aspek.


 Bagi saya baik Sunni dan Syiah berhak mendapatkan kenikmatan surgawi  kelak. Mereka lahir sebagai korban sejarah yang harus disikapi dengan arif dan bijaksana, bukan dengan saling menyalahkan. Sebenarnya beberapa persoalan yang laris manis sebagai bahan adu domba Sunni dan Syiah hanyalah masalah-masalah sepele namun besar bagi orang kebanyakan bahkan tokoh NU sekelas Ust. IR, seperti pemikiran generalisasi yang menyamakan semua orang hanya dengan pendapat aneh dan salah beberapa oknum, perbedaan pemahaman tentang istilah suatu kelompok dan persoalan fikhiyah yang bisa didamaikan secara ilmiah dan akal terbuka. Sebagai contoh tentang nikah Mut’ah, Sunni bersikeras nikah mut’ah itu haram setelah dihalalkan Nabi saww. Namun dalam prakteknya bahkan setelah Nabi saww, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali wafat pun nikah mut’ah masih dipraktekkan dan dihalalkan sebagian umat Islam, dalam hal ini adalah para tokoh Sunni dan ini direkam dalam kitab-kitab Sunni. Nikah Mut’ah merupakan salah satu dari beberapa masalah fikhiyah yang tidak perlu jadi bahan pertengkaran antar umat sebagaimana sebagian ulama Sunni menghalalkan nabidz yang memabukkan. Jika anda mempelajari fikih, anda akan menemukan hampir semua madzhab fikih mempunyai beberapa produk hukum fikih yang “aneh” yang bisa dijadikan dasar saling salah-menyalahkan dan sesat-menyesatkan. 

Akhirnya tulisan ini bukanlah ajakan untuk meng-iran-kan Indonesia, mensyiahkan Sunni atau mensunnikan Wahabi tapi mempererat persaudaraan Sunni dan Syiah bahkan Wahabi yang diadu domba Dajjal Zionis dan sebagai ajang  saling tukar pikiran tentang akar persoalan perbedaan Susyi. Titik persatuan dan persaudaraan Islam didapat dengan sikap arif bijaksana bukan dengan sikap merasa benar sendiri. Salam Keselamatan :)

Shahih Hadis Tsaqalain Dalam Mazhab Syi’ah.
Salah satu syubhat yang sering dilontarkan oleh para pembenci Syi’ah adalah tuduhan bahwa Syi’ah menjadikan hujjah hadis Tsaqalain dengan mengambil dari kitab Ahlus Sunnah karena Syi’ah tidak memiliki hadis Tsaqalain yang shahih dalam kitab mereka.

Setelah kami membaca kitab-kitab hadis mazhab Syi’ah maka bisa dipastikan bahwa tuduhan tersebut tidak benar, Syi’ah tidak menjadikan hadis Ahlus Sunnah sebagai pegangan mereka dan sebaliknya Ahlus Sunnah juga tidak menjadikan hadis Syi’ah sebagai pegangan mereka. Kedua mazhab masing-masing memiliki hujjah dari hadis-hadis dalam kitab pegangan mereka sendiri.

Tulisan ini hanya menyajikan informasi kepada para pembaca bahwa faktanya, Syi’ah juga memiliki hadis Tsaqalain yang shahih [sesuai dengan standar ilmu hadis Syi’ah] dalam kitab hadis mereka.
.
Riwayat Pertama:

حدثنا محمد بن الحسن بن أحمد بن الوليد رضي الله عنه قال حدثنا محمد بن الحسن الصفار، عن محمد بن الحسين بن أبي الخطاب، ويعقوب بن يزيد جميعا، عن محمد بن أبي عمير، عن عبد الله بن سنان، عن معروف بن خربوذ، عن أبي الطفيل عامر بن واثلة، عن حذيفة بن أسيد الغفاري قال لما رجع رسول الله صلى الله عليه وآله من حجة الوداع ونحن معه أقبل حتى انتهى إلى الجحفة فأمر أصحابه بالنزول فنزل القوم منازلهم، ثم نودي بالصلاة فصلى بأصحابه ركعتين، ثم أقبل بوجهه إليهم فقال لهم إنه قد نبأني اللطيف الخبير أني ميت وأنكم ميتون، وكأني قد دعيت فأجبت وأني مسؤول عما أرسلت به إليكم، وعما خلفت فيكم من كتاب الله وحجته وأنكم مسؤولون، فما أنتم قائلون لربكم؟ قالوا: نقول: قد بلغت ونصحت وجاهدت فجزاك الله عنا أفضل الجزاء ثم قال لهم: ألستم تشهدون أن لا إله إلا الله وأني رسول الله إليكم وأن الجنة حق؟ وأن النار حق؟ وأن البعث بعد الموت حق؟ فقالوا: نشهد بذلك، قال: اللهم اشهد على ما يقولون، ألا وإني أشهدكم أني أشهد أن الله مولاي، وأنا مولى كل مسلم، وأنا أولى بالمؤمنين من أنفسهم، فهل تقرون لي بذلك، وتشهدون لي به؟ فقالوا: نعم نشهد لك بذلك، فقال: ألا من كنت مولاه فإن عليا مولاه وهو هذا، ثم أخذ بيد علي عليه السلام فرفعها مع يده حتى بدت آباطهما: ثم: قال: اللهم وال من والاه، وعاد من عاداه، وانصر من نصره واخذل من خذله، ألا وإني فرطكم وأنتم واردون علي الحوض، حوضي غدا وهو حوض عرضه ما بين بصرى وصنعاء فيه أقداح من فضة عدد نجوم السماء، ألا وإني سائلكم غدا ماذا صنعتم فيما أشهدت الله به عليكم في يومكم هذا إذا وردتم علي حوضي، وماذا صنعتم بالثقلين من بعدي فانظروا كيف تكونون خلفتموني فيهما حين تلقوني؟ قالوا: وما هذان الثقلان يا رسول الله؟ قال: أما الثقل الأكبر فكتاب الله عز وجل، سبب ممدود من الله ومني في أيديكم، طرفه بيد الله والطرف الآخر بأيديكم، فيه علم ما مضى وما بقي إلى أن تقوم الساعة، وأما الثقل الأصغر فهو حليف القرآن وهو علي بن أبي طالب وعترته عليهم السلام، وإنهما لن يفترقا حتى يردا علي الحوض قال معروف بن خربوذ: فعرضت هذا الكلام على أبي جعفر عليه السلام فقال: صدق أبو الطفيل رحمه الله هذا الكلام وجدناه في كتاب علي عليه السلام وعرفناه

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Waliid [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar dari Muhammad bin Husain Abil Khaththaab dan Ya’qub bin Yaziid keduanya dari Muhammad bin Abi ‘Umair dari ‘Abdullah bin Sinaan dari Ma’ruf bin Kharrabudz dari Abu Thufail ‘Aamir bin Watsilah dari Hudzaifah bin Usaid Al Ghifariy yang berkata ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] kembali dari Haji Wada dan kami bersama Beliau, hingga sampailah kami di Juhfah, Beliau memerintahkan para sahabatnya untuk bersitirahat, maka merekapun beristirahat. Kemudian diserukan untuk shalat maka Beliau shalat dengan para sahabatnya dua rakaat, Kemudian Beliau menghadapkan wajahnya kepada mereka dan berkata bahwasanya Dia yang Maha Halus dan Maha Mengetahui memberitakan kepadaku bahwa aku akan segera wafat dan kalian juga akan wafat, seolah aku akan dipanggil dan aku akan menjawabnya, dan aku akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang aku diutus kepada kalian dan apa yang aku tinggalkan kepada kalian dari Kitab Allah dan Hujjah-nya dan kalian juga akan diminta pertanggungjawaban, maka apa yang akan kalian katakan kepada Rabb kalian?. Mereka berkata “kami akan mengatakan sungguh Engkau telah menyampaikan, memberi nasehat dan telah berusaha dengan sungguh-sungguh, maka semoga Allah SWT memberikan ganjaran dengan ganjaran yang paling baik”. Kemudian Beliau berkata “bukankah kalian bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Aku adalah Rasulullah yang diutus kepada kalian, bahwa surga itu benar, neraka itu benar, dan hari kebangkitan itu benar?. Mereka berkata “sungguh kami bersaksi akan hal itu”. Beliau berkata “Ya Allah saksikanlah apa yang mereka katakan, dan aku meminta kesaksian kalian bahwasanya aku bersaksi Allah adalah maulaku, dan aku adalah maula bagi setiap muslim, dan aku yang paling berhak atas kaum mu’minin dibanding diri mereka sendiri, apa kalian menerima dan menyaksikan?. Mereka berkata “benar kami bersaksi akan hal itu”. Beliau berkata “maka barang siapa yang menganggap aku sebagai Maulanya maka Aliy adalah maulanya, dan inilah dia, kemudian Beliau mengambil tangan Aliy dan mengangkatnya bersama tangan Beliau hingga nampak ketiak keduanya, kemudian Beliau berkata “Ya Allah dukunglah siapa yang mendukungnya dan musuhilah siapa yang memusuhinya, tolonglah siapa yang menolongnya dan tinggalkanlah siapa yang meninggalkannya. Aku akan meninggalkan kalian dan kalian akan dikembalikan kepadaku di Al Haudh, Al Haudhku yang luasnya terbentang antara Basra dan Shan’a yang didalamnya terdapat gelas-gelas dari perak sebanyak bintang-bintang di langit, aku akan menanyakan kepada kalian apa yang kalian lakukan mengenai perkara yang aku telah bersaksi atas kalian pada hari ini, ketika kalian dikembalikan kepadaku di Al Haudh nanti, dan aku akan menanyakan kepada kalian apa yang kalian lakukan dengan Ats Tsaqalain sepeninggalku maka perhatikanlah bagaimana kalian memperlakukan keduanya ketika aku telah pergi. Mereka berkata “apakah Tsaqalain itu wahai Rasulullah?”. Beliau berkata “Tsaqal Al Akbar yaitu Kitab Allah ‘azza wajalla yaitu Tali yang terbentang dari Allah dan dariku di tangan kalian, ujung yang satu di Tangan Allah dan ujung yang lain ada di tangan kalian, di dalamnya terkandung ilmu mengenai perkara yang lalu dan perkara yang akan datang hingga hari kiamat. Dan Tsaqal Al Asghar adalah Haliif [sekutu] Al Qur’an dan ia adalah Aliy bin Abi Thalib dan keturunan-nya [‘alaihimus salaam], keduanya tidak akan berpisah sampai kembali kepadaku di Al Haudh. Ma’ruf bin Kharrabudz berkata aku memberitahukan hadis ini kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam] maka Beliau berkata “benar Abu Thufail, rahmat Allah atasnya, perkataan ini kami temukan dalam kitab Aliy [‘alaihis salaam] dan kami mengenalnya” [Al Khishaal Syaikh Ash Shaduuq hal 65-67 no 98].

Riwayat Syaikh Ash Shaduq di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya.
  1. Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Walid adalah Syaikh Qum, faqih mereka, yang terdahulu dan terkemuka, seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 383 no 1042].
  2. Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar ia terkemuka di Qum, tsiqat, agung kedudukannya [Rijal An Najasyiy hal 354 no 948].
  3. Muhammad bin Husain bin Abil Khaththaab seorang yang mulia, agung kedudukannya, banyak memiliki riwayat, tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 334 no 897].
  4. Ya’qub bin Yazid bin Hammaad Al Anbariy seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 450 no 1215].
  5. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
  6.  ‘Abdullah bin Sinaan seorang yang tsiqat jaliil tidak ada celaan sedikitpun terhadapnya, ia meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 214 no 558].
  7. Ma’ruf bin Kharrabudz, Al Kasyiy menyebutkan bahwa ia termasuk ashabul ijma’ [enam orang yang paling faqih] diantara para fuqaha dari kalangan sahabat Abu Ja’far [‘alaihis salaam] dan Abu Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal Al Kasyiy 2/507]. Al Majlisiy menyatakan Ma’ruf bin Kharrabudz tsiqat [Al Wajiizah no 1897].
Abu Thufail dan Hudzaifah keduanya adalah sahabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan disini tidak perlu kami nukil keterangan tentang keduanya karena sudah cukup telah shahih sanadnya hingga Abu Ja’far yang menegaskan keshahihan hadis tersebut.
.
Riwayat Kedua:
Diriwayatkan dalam kitab Al Kafiy hadis yang panjang tentang khutbah Jum’at Imam Abu Ja’far, dan di dalamnya terdapat keterangan hadis Tsaqalain, Imam Abu Ja’far berkata:

وقد بلغ رسول الله (صلى الله عليه وآله) الذي ارسل به فألزموا وصيته وما ترك فيكم من بعده من الثقلين كتاب الله وأهل بيته اللذين لا يضل من تمسك بهما ولا يهتدي من تركهما،

Dan sungguh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] telah menyampaikan apa yang Beliau diutus dengannya maka berpegang teguhlah kalian dengan wasiat Beliau yaitu apa yang ditinggalkan kepada kalian sepeninggalnya dari Ats Tsaqalain yaitu Kitab Allah dan Ahlul Baitnya dimana tidak akan tersesat siapa yang berpegang teguh pada keduanya dan tidak akan mendapat petunjuk bagi siapa yang meninggalkan keduanya [Al Kafiy Al Kulainiy 3/423].

Sanad lengkap riwayat panjang yang kami kutip hanya mengenai hadis Tsaqalain di atas telah disebutkan Al Kulainiy dengan sanad berikut:

محمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد، عن الحسين بن سعيد، عن النضر بن سويد، عن يحيى الحلبي، عن بريد بن معاوية، عن محمد بن مسلم، عن أبي جعفر في خطبة يوم الجمعة

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Nadhr bin Suwaid dari Yahya Al Halabiy dari Buraid bin Mu’awiyah dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja’far tentang khutbah pada hari Jum’at…[Al Kafiy Al Kulainiy 3/422].

Riwayat Al Kulainiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya.
  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946]
  2. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
  3. Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355]
  4. Nadhr bin Suwaid seorang yang tsiqat dan shahih al hadis [Rijal An Najasyiy hal 427 no 1147]
  5. Yahya bin ‘Imran bin ‘Aliy Al Halabiy seorang yang tsiqat tsiqat shahih al hadis [Rijal An Najasyiy hal 444 no 1199]
  6. Buraid bin Mu’awiyah meriwayatkan dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] dan Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam], seorang yang tsiqat faqiih [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 81-82]
  7. Muhammad bin Muslim bin Rabah termasuk orang yang paling terpercaya [Rijal An Najasyiy hal 323-324 no 882]
Riwayat Ketiga:
Diriwayatkan oleh Syaikh Ath Thuusiy sebuah riwayat dimana salah seorang Syaikh yang sudah tua datang ke hadapan Imam Abu ‘Abdullah dan dalam riwayat tersebut terdapat penggalan perkataan pujian Imam Abu ‘Abdullah kepada Syaikh tersebut.

فقال له أبو عبد الله (عليه السلام): يا شيخ، إن رسول الله (صلى الله عليه وآله) قال: إني تارك فيكم الثقلين ما إن تمسكتم بهما لن تضلوا: كتاب الله المنزل، وعترتي أهل بيتي، تجئ وأنت معنا يوم القيامة

Maka Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] berkata kepadanya “wahai Syaikh, sesungguhnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “aku tinggalkan kepada kalian Ats Tsaqalain [dua perkara berat] yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah dan Itrah-ku Ahlul Bait-ku, datanglah dan engkau bersama kami pada hari kiamat…[Al Amaliy Syaikh Ath Thuusiy hal 162].

Sanad lengkap riwayat Syaikh Ath Thuusiy di atas [dimana kami hanya menukil penggalan hadis Tsaqalain saja] adalah sebagai berikut:

حدثنا محمد بن محمد، قال حدثنا أبو القاسم جعفر بن محمد بن قولويه (رحمه الله)، قال حدثني أبي، قال حدثني سعد بن عبد الله، عن أحمد بن محمد ابن عيسى، عن الحسن بن محبوب الزراد، عن أبي محمد الأنصاري، عن معاوية بن وهب، قال كنت جالسا عند جعفر بن محمد (عليهما السلام) إذ جاء شيخ قد انحنى من الكبر

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Qaasim Ja’far bin Muhammad bin Quluwaih [rahimahullah] yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepadaku Sa’d bin ‘Abdullah dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa dari Hasan bin Mahbuub Az Zaraad dari Abu Muhammad Al Anshariy dari Mu’awiyah bin Wahb yang berkata “aku dahulu pernah duduk di sisi Ja’far bin Muhammad [‘alaihimas salaam] ketika datang seorang Syaikh yang bungkuk karena usianya yang sudah tua……[Al Amaliy Syaikh Ath Thuusiy hal 161].

Riwayat Syaikh Ath Thuusiy di atas sanadnya hasan berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya.
  1. Muhammad bin Muhammad adalah Muhammad bin Muhammad bin Nu’man Syaikh Mufid, ia termasuk diantara guru-guru Syi’ah yang mulia dan pemimpin mereka, dan orang yang paling terpercaya di zamannya, dan paling alim diantara mereka [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 248 no 46].
  2. Abul Qaasim Ja’far bin Muhammad bin Quluwaih Al Qummiy termasuk orang yang tsiqat dan mulia dalam hadis dan faqih [Rijal An Najasyiy hal 123 no 318].
  3. Muhammad bin Quluwaih ayahnya Abul Qaasim Ja’far bin Muhammad bin Quluwaih seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 570].
  4. Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135].
  5. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351].
  6. Hasan bin Mahbuub seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354].
  7. Abu Muhammad Al Anshariy dia seorang yang khair [Wasa’il Syi’ah Al Hurr Al Amiliy 20/381 no 1389].
  8. Mu’awiyah bin Wahb Al Bajalliy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy 412 no 1097].
Semua para perawi sanad di atas adalah perawi tsiqat kecuali Abu Muhammad Al Anshariy dan dia termasuk perawi yang mamduh. Pujian terhadapnya telah disebutkan oleh riwayat Al Kulainiy dalam Al Kafiy.

أبو علي الأشعري، عن محمد بن عبد الجبار، عن أبي محمد الأنصاري – قال: وكان خيرا

Abu ‘Aliy Al Asy’ariy dari Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar dari Abi Muhammad Al Anshariy, [Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar] berkata dia seorang yang khair…[Al Kafiy Al Kulainiy 3/127]
Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah Ahmad bin Idris seorang yang tsiqat faqih banyak meriwayatkan hadis dan shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228] dan Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 391].
.
Riwayat Keempat:
Dalam kitab Al Kafiy terdapat riwayat dari Abu ‘Abdullah mengenai siapa yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam Al Qur’anul Karim dan dalam riwayat tersebut terdapat penggalan hadis Tsaqalain, Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] berkata:

فقال رسول الله صلى الله عليه وآله: في علي: من كنت مولاه، فعلي مولاه، وقال صلى الله عليه وآله أوصيكم بكتاب الله وأهل بيتي، فإني سألت الله عز وجل أن لا يفرق بينهما حتى يوردهما علي الحوض، فأعطاني ذلك وقال لا تعلموهم فهم أعلم منكم، وقال: إنهم لن يخرجوكم من باب هدى، ولن يدخلوكم في باب ضلالة

Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] telah berkata tentang Aliy “barang siapa yang Aku maulanya maka Aliy adalah maulanya” dan Beliau [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] bersabda “aku wasiatkan kepada kalian dengan Kitab Allah dan Ahlul Baitku, aku telah meminta kepada Allah ‘azza wajalla bahwa tidak akan memisahkan keduanya hingga keduanya kembali ke Al Haudh maka Allah mengabulkannya. Beliau berkata “jangan mengajari mereka karena mereka lebih alim [tahu] dari kalian”. Beliau berkata “sesungguhnya mereka tidak akan mengeluarkan kalian dari pintu petunjuk dan tidak akan memasukkan kalian ke dalam pintu kesesatan”…[Al Kafiy Al Kulainiy 1/288].

Riwayat Al Kafiy di atas disebutkan dengan dua jalan sanad. Adapun sanad yang shahih adalah sanad berikut:

محمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد بن عيسى، عن محمد بن خالد والحسين بن سعيد عن النضر بن سويد، عن يحيى بن عمران الحلبي، عن أيوب بن الحر وعمران بن علي الحلبي، عن أبي بصير عن أبي عبد الله عليه السلام مثل ذلك

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa dari Muhammad bin Khalid dan Husain bin Sa’iid dari Nadhr bin Suwaid dari Yahya bin ‘Imraan Al Halabiy dari Ayuub bin Al Hurr dan ‘Imran bin Aliy Al Halabiy dari Abi Bashiir dari Abu ‘Abdullah [‘alaihissalam] seperti di atas [Al Kafiy Al Kulainiy 1/288].

Sanad riwayat Al Kafiy di atas kedudukannya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya.
  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946]
  2. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
  3. Muhammad bin Khalid dikatakan Najasyiy bahwa ia dhaif dalam hadis [Rijal An Najasyiy hal 335 no 898] tetapi ia dinyatakan tsiqat oleh Syaikh Ath Thuusiy [Rijal Ath Thuusiy hal 363]. Dan dalam sanad ini ia telah dikuatkan oleh Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355]
  4. Nadhr bin Suwaid seorang yang tsiqat dan shahih al hadis [Rijal An Najasyiy hal 427 no 1147]
  5. Yahya bin ‘Imran bin ‘Aliy Al Halabiy seorang yang tsiqat tsiqat shahih al hadis [Rijal An Najasyiy hal 444 no 1199]
  6. Ayub bin Al Hurr seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 103 no 256] dan dalam sanad ini ia dikuatkan oleh ‘Imran bin ‘Aliy Al Halabiy seorang yang tsiqat sebagaimana disebutkan Najasyiy dalam biografi Ahmad bin ‘Umar bin Abi Syu’bah Al Halabiy [Rijal An Najasyiy hal 98 no 245]
  7. Abu Bashiir adalah Abu Bashiir Al Asdiy Yahya bin Qasim seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 441 no 1187]
Riwayat Kelima:

حدثنا أحمد بن زياد بن جعفر الهمداني رضي الله عنه قال حدثنا علي بن إبراهيم بن هاشم، عن أبيه، عن محمد بن أبي عمير، عن غياث بن إبراهيم، عن الصادق جعفر ابن محمد، عن أبيه محمد بن علي، عن أبيه علي بن الحسين، عن أبيه الحسين عليهم السلام قال سئل أمير المؤمنين عليه السلام عن معنى قول رسول الله صلى الله عليه وآله ” إني مخلف فيكم الثقلين كتاب الله، وعترتي ” من العترة؟ فقال: أنا، والحسن، والحسين، والأئمة التسعة من ولد الحسين تاسعهم مهديهم وقائمهم، لا يفارقون كتاب الله ولا يفارقهم حتى يردوا على رسول الله صلى الله عليه وآله حوضه

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ziyaad bin Ja’far Al Hamdaaniy [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ibrahim bin Haasyim dari Ayahnya dari Muhammad bin Abi ‘Umair dari Ghiyaats bin Ibrahiim dari Ash Shaadiq Ja’far bin Muhammad dari Ayahnya Muhammad bin Aliy dari Ayahnya Aliy bin Husain dari Ayahnya Husain bin Aliy [‘alaihimus salaam] yang berkata Amirul Mukminin pernah ditanya tentang makna perkataan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] “aku tinggalkan untuk kalian Ats Tsaqalain yaitu Kitab Allah dan Itrah-ku”, siapakah itrah-nya?. Beliau berkata “Aku, Hasan, Husain dan kesembilan Imam dari keturunan Husain, dan yang kesembilan dari mereka adalah Mahdi dan Qa’im mereka, mereka tidak akan berpisah dari Kitab Allah dan Kitab Allah tidak akan berpisah dari mereka, sampai semuanya kembali kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] di Al Haudh-nya [Ma’aaniy Al Akhbar Syaikh Ash Shaduuq hal 90-91 no 4].

Riwayat Syaikh Ash Shaduq di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya.
  1. Ahmad bin Ziyaad bin Ja’far Al Hamdaaniy, ia seorang yang tsiqat fadhl sebagaimana yang dinyatakan Syaikh Shaduq [Kamal Ad Diin Syaikh Shaduq hal 369]
  2. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
  3. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
  4. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]
  5. Ghiyaats bin Ibrahiim At Tamimiy seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari ‘Abu Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 305 no 833]
Kesimpulan:
Tidak diragukan bahwa hadis Tsaqalain kedudukannya shahih dalam mazhab Syi’ah sama seperti halnya kedudukan hadis Tsaqalain shahih dalam mazhab Ahlus Sunnah. Hanya saja perbedaan antara kedua mazhab tersebut adalah dalam Kitab Syi’ah disebutkan dengan dalil yang shahih bahwa Ahlul Bait yang dimaksud adalah Aliy, Hasan, dan Husain serta Sembilan Imam dari keturunan Husain sedangkan dalam mazhab Ahlus Sunnah tidak terdapat hadis yang menyebutkan demikian.

Hadis Tsaqalain; Peninggalan Rasulullah SAW adalah Al Quran dan Ahlul Bait as

Sebelum Junjungan kita yang mulia Al Imam Rasulullah SAW (Shalawat dan salam kepada Beliau SAW dan Keluarga suciNya as) berpulang ke rahmatullah, Beliau SAW telah berpesan kepada umatnya agar tidak sesat dengan berpegang teguh kepada dua peninggalannya atau Ats Tsaqalain yaitu Kitabullah Al Quranul Karim dan Itraty Ahlul Bait Rasul as. Seraya Beliau SAW juga mengingatkan kepada umatnya bahwa Al Quranul Karim dan Itraty Ahlul Bait Rasul as akan selalu bersama dan tidak akan berpisah sampai hari kiamat dan bertemu Rasulullah SAW di Telaga Kautsar Al Haudh.

Peninggalan Rasulullah SAW itu telah diriwayatkan dalam banyak hadis dengan sanad yang berbeda dan shahih dalam kitab-kitab hadis. Diantara kitab-kitab hadis itu adalah Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi, Sunan Tirmidzi, Musnad Abu Ya’la, Musnad Al Bazzar, Mu’jam At Thabrani, Musnad Ahmad bin Hanbal, Shahih Ibnu Khuzaimah, Mustadrak Ash Shahihain, Majma Az Zawaid Al Haitsami, Jami’As Saghir As Suyuthi dan Al Kanz al Ummal. Dalam Tulisan ini akan dituliskan beberapa hadis Tsaqalain yang shahih dalam Shahih Muslim, Mustadrak Ash Shahihain, Sunan Tirmidzi dan Musnad Ahmad bin Hanbal.

1. Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahih Muslim juz II hal 279 bab Fadhail Ali.
Muslim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Shuja’ bin Makhlad dari Ulayyah yang berkata Zuhair berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Abu Hayyan dari Yazid bin Hayyan yang berkata ”Aku, Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim pergi menemui Zaid bin Arqam. Setelah kami duduk bersamanya berkata Husain kepada Zaid ”Wahai Zaid sungguh engkau telah mendapat banyak kebaikan. Engkau telah melihat Rasulullah SAW, mendengarkan hadisnya, berperang bersamanya dan shalat di belakangnya. Sungguh engkau mendapat banyak kebaikan wahai Zaid. Coba ceritakan kepadaku apa yang kamu dengar dari Rasulullah SAW. Berkata Zaid “Hai anak saudaraku, aku sudah tua, ajalku hampir tiba, dan aku sudah lupa akan sebagian yang aku dapat dari Rasulullah SAW. Apa yang kuceritakan kepadamu terimalah,dan apa yang tidak kusampaikan janganlah kamu memaksaku untuk memberikannya.
Lalu Zaid berkata ”pada suatu hari Rasulullah SAW berdiri di hadapan kami di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum seraya berpidato, maka Beliau SAW memanjatkan puja dan puji atas Allah SWT, menyampaikan nasehat dan peringatan. Kemudian Beliau SAW bersabda “Ketahuilah wahai manusia sesungguhnya aku hanya seorang manusia. Aku merasa bahwa utusan Tuhanku (malaikat maut) akan segera datang dan Aku akan memenuhi panggilan itu. Dan Aku tinggalkan padamu dua pusaka (Ats-Tsaqalain). Yang pertama Kitabullah (Al-Quran) di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya,maka berpegang teguhlah dengan Kitabullah”. Kemudian Beliau melanjutkan, “dan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku”

Lalu Husain bertanya kepada Zaid ”Hai Zaid siapa gerangan Ahlul Bait itu? Tidakkah istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait? Jawabnya “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah setelah wafat Nabi SAW”, Husain bertanya “Siapa mereka?”.Jawab Zaid ”Mereka adalah Keluarga Ali, Keluarga Aqil, Keluarga Ja’far dan Keluarga Ibnu Abbes”. Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah (zakat)?” tanya Husain; “Ya”, jawabnya.

Hadis di atas terdapat dalam Shahih Muslim, perlu dinyatakan bahwa yang menjadi pesan Rasulullah SAW itu adalah sampai perkataan “kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku” sedangkan yang selanjutnya adalah percakapan Husain dan Zaid perihal Siapa Ahlul Bait. Yang menarik bahwa dalam Shahih Muslim di bab yang sama Fadhail Ali, Muslim juga meriwayatkan hadis Tsaqalain yang lain dari Zaid bin Arqam dengan tambahan percakapan yang menyatakan bahwa Istri-istri Nabi tidak termasuk Ahlul Bait, berikut kutipannya

“Kami berkata “Siapa Ahlul Bait? Apakah istri-istri Nabi? Kemudian Zaid menjawab ”Tidak, Demi Allah, seorang wanita (istri) hidup dengan suaminya dalam masa tertentu jika suaminya menceraikannya dia akan kembali ke orang tua dan kaumnya. Ahlul Bait Nabi adalah keturunannya yang diharamkan untuk menerima sedekah”.

2. Hadis shahih dalam Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148.
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami seorang faqih dari Ray Abu Bakar Muhammad bin Husain bin Muslim, yang mendengar dari Muhammad bin Ayub yang mendengar dari Yahya bin Mughirah al Sa’di yang mendengar dari Jarir bin Abdul Hamid dari Hasan bin Abdullah An Nakha’i dari Muslim bin Shubayh dari Zaid bin Arqam yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda. “Kutinggalkan kepadamu dua peninggalan (Ats Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu. Sesungguhnya keduanya tak akan berpisah, sampai keduanya kembali kepadaKu di Al Haudh“.

Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim.

3. Hadis shahih dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 109.

Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Abu Husain Muhammad bin Ahmad bin Tamim Al Hanzali di Baghdad yang mendengar dari Abu Qallabah Abdul Malik bin Muhammad Ar Raqqasyi yang mendengar dari Yahya bin Hammad; juga telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Balawaih dan Abu Bakar Ahmad bin Ja’far Al Bazzaz, yang keduanya mendengar dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang mendengar dari ayahnya yang mendengar dari Yahya bin Hammad; dan juga telah menceritakan kepada kami Faqih dari Bukhara Abu Nasr Ahmad bin Suhayl yang mendengar dari Hafiz Baghdad Shalih bin Muhammad yang mendengar dari Khallaf bin Salim Al Makhrami yang mendengar dari Yahya bin Hammad yang mendengar dari Abu Awanah dari Sulaiman Al A’masy yang berkata telah mendengar dari Habib bin Abi Tsabit dari Abu Tufail dari Zaid bin Arqam ra yang berkata:
“Rasulullah SAW ketika dalam perjalanan kembali dari haji wada berhenti di Ghadir Khum dan memerintahkan untuk membersihkan tanah di bawah pohon-pohon. Kemudian Beliau SAW bersabda” Kurasa seakan-akan aku segera akan dipanggil (Allah), dan segera pula memenuhi panggilan itu, Maka sesungguhnya aku meninggalkan kepadamu Ats Tsaqalain(dua peninggalan yang berat). Yang satu lebih besar (lebih agung) dari yang kedua : Yaitu kitab Allah dan Ittrahku. Jagalah Baik-baik dan berhati-hatilah dalam perlakuanmu tehadap kedua peninggalanKu itu, sebab Keduanya takkan berpisah sehingga berkumpul kembali denganKu di Al Haudh. Kemudian Beliau SAW berkata lagi: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla adalah maulaku, dan aku adalah maula setiap Mu’min. Lalu Beliau SAW mengangkat tangan Ali Bin Abi Thalib sambil bersabda : Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka dia ini (Ali bin Abni Thalib) adalah juga maula baginya. Ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya“.

Al Hakim telah menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.

4. Hadis shahih dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 110.
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq dan Da’laj bin Ahmad Al Sijzi yang keduanya mendengar dari Muhammad bin Ayub yang mendengar dari Azraq bin Ali yang mendengar dari Hasan bin Ibrahim Al Kirmani yang mendengar dari Muhammad bin Salamah bin Kuhail dari Ayahnya dari Abu Tufail dari Ibnu Wathilah yang mendengar dari Zaid bin Arqam ra yang berkata “Rasulullah SAW berhenti di suatu tempat di antara Mekkah dan Madinah di dekat pohon-pohon yang teduh dan orang-orang membersihkan tanah di bawah pohon-pohon tersebut. Kemudian Rasulullah SAW mendirikan shalat, setelah itu Beliau SAW berbicara kepada orang-orang. Beliau memuji dan mengagungkan Allah SWT, memberikan nasehat dan mengingatkan kami. Kemudian Beliau SAW berkata” Wahai manusia, Aku tinggalkan kepadamu dua hal atau perkara, yang apabila kamu mengikuti dan berpegang teguh pada keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah (Al Quranul Karim) dan Ahlul BaitKu, ItrahKu. Kemudian Beliau SAW berkata tiga kali “Bukankah Aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri.. Orang-orang menjawab “Ya”. Kemudian Rasulullah SAW berkata” Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah juga maulanya.

Al Hakim telah menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.

5. Hadis dalam Musnad Ahmad jilid V hal 189.
Abdullah meriwayatkan dari Ayahnya,dari Ahmad Zubairi dari Syarik dari Rukayn dari Qasim bin Hishan dari Zaid bin Tsabit ra, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku meninggalkan dua khalifah bagimu, Kitabullah dan Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang ke telaga Al Haudh bersama-sama”.

Hadis di atas diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, keduanya sudah dikenal tsiqat di kalangan ulama, Ahmad Zubairi. Beliau adalah Muhammad bin Abdullah Abu Ahmad Al Zubairi Al Habbal telah dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Muin dan Al Ajili.

Syarik bin Abdullah bin Sinan adalah salah satu Rijal Muslim, Yahya bin Main berkata “Syuraik itu jujur dan tsiqat”. Ahmad bin Hanbal dan Ajili menyatakan Syuraik tsiqat. Ibnu Ya’qub bin Syaiban berkata” Syuraik jujur dan tsiqat tapi jelek hafalannya”. Ibnu Abi Hatim berkata” hadis Syuraik dapat dijadikan hujjah”. Ibnu Saad berkata” Syuraik tsiqat, terpercaya tapi sering salah”.An Nasai berkata ”tak ada yang perlu dirisaukan dengannya”. Ahmad bin Adiy berkata “kebanyakan hadis Syuraik adalah shahih”.(Mizan Al Itidal adz Dzahabi jilid 2 hal 270 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 4 hal 333).

Rukayn (Raqin) bin Rabi’Abul Rabi’ Al Fazari adalah perawi yang tsiqat .Beliau dinyatakan tsiqat oleh Ahmad bin Hanbal, An Nasai, Yahya bin Main, Ibnu Hajar dan juga dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dalam kitab Ats Tsiqat Ibnu Hibban.

Qasim bin Hishan adalah perawi yang tsiqah. Ahmad bin Saleh menyatakan Qasim tsiqah. Ibnu Hibban menyatakan bahwa Qasim termasuk dalam kelompok tabiin yang tsiqah. Dalam Majma Az Zawaid ,Al Haitsami menyatakan tsiqah kepada Qasim bin Hishan. Adz Dzahabi dan Al Munziri menukil dari Bukhari bahwa hadis Qasim itu mungkar dan tidak shahih. Tetapi Hal ini telah dibantah oleh Ahmad Syakir dalam Musnad Ahmad jilid V,beliau berkata”Saya tidak mengerti apa sumber penukilan Al Munziri dari Bukhari tentang Qasim bin Hishan itu. Sebab dalam Tarikh Al Kabir Bukhari tidak menjelaskan biografi Qasim demikian juga dalam kitab Adh Dhu’afa. Saya khawatir bahwa Al Munziri berkhayal dengan menisbatkan hal itu kepada Al Bukhari”. Oleh karena itu Syaikh Ahmad Syakir menguatkannya sebagai seorang yang tsiqah dalam Syarh Musnad Ahmad.

Jadi hadis dalam Musnad Ahmad diatas adalah hadis yang shahih karena telah diriwayatkan oleh perawi-perawi yang dikenal tsiqah.

6. Hadis dalam Musnad Ahmad jilid V hal 181-182.
Riwayat dari Abdullah dari Ayahnya dari Aswad bin ‘Amir, dari Syarik dari Rukayn dari Qasim bin Hishan, dari Zaid bin Tsabit, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Sesungguhnya Aku meninggalkan dua khalifah bagimu Kitabullah, tali panjang yang terentang antara langit dan bumi atau diantara langit dan bumi dan Itrati Ahlul BaitKu. Dan Keduanya tidak akan terpisah sampai datang ke telaga Al Haudh”

Hadis di atas diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, Semua perawi hadis Musnad Ahmad di atas telah dijelaskan sebelumnya kecuali Aswad bin Amir Shadhan Al Wasithi. Beliau adalah salah satu Rijal atau perawi Bukhari Muslim. Al Qaisarani telah menyebutkannya di antara perawi-perawi Bukhari Muslim dalam kitabnya Al Jam’u Baina Rijalisy Syaikhain. Selain itu Aswad bin Amir dinyatakan tsiqat oleh Ali bin Al Madini, Ibnu Hajar, As Suyuthi dan juga disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Kitabnya Ats Tsiqat Ibnu Hibban. Oleh karena itu hadis Musnad Ahmad di atas sanadnya shahih.

7. Hadis dalam Sunan Tirmidzi jilid 5 halaman 662 – 663.
At Tirmidzi meriwayatkan telah bercerita kepada kami Ali bin Mundzir al-Kufi, telah bercerita kepada kami Muhammad bin Fudhail, telah bercerita kepada kami Al-A’masy, dari ‘Athiyyah, dari Abi Sa’id dan Al-A’masy, dari Habib bin Abi Tsabit, dari Zaid bin Arqam yang berkata, ‘Rasulullah saw telah bersabda, ‘Sesungguhnya aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yang mana yang satunya lebih besar dari yang lainnya, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali penghubung antara langit dan bumi, dan ‘itrah Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga datang menemuiku di telaga. Maka perhatikanlah aku dengan apa yang kamu laksanakan kepadaku dalam keduanya”.

Dalam Tahdzib at Tahdzib jilid 7 hal 386 dan Mizan Al I’tidal jilid 3 hal 157, Ali bin Mundzir telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama seperti Ibnu Abi Hatim,Ibnu Namir,Imam Sha’sha’i dan lain-lain,walaupun Ali bin Mundzir dikenal sebagai seorang syiah. Mengenai hal ini Mahmud Az Za’by dalam bukunya Sunni yang Sunni hal 71 menyatakan tentang Ali bin Mundzir ini “para ulama telah menyatakan ketsiqatan Ali bin Mundzir. Padahal mereka tahu bahwa Ali adalah syiah. Ini harus dipahami bahwa syiah yang dimaksud disini adalah syiah yang tidak merusak sifat keadilan perawi dengan catatan tidak berlebih-lebihan. Artinya ia hanya berpihak kepada Ali bin Abu Thalib dalam pertikaiannya melawan Muawiyah. Tidak lebih dari itu. Inilah pengertian tasyayyu menurut ulama sunni. Karena itu Ashabus Sunan meriwayatkan dan berhujjah dengan hadis Ali bin Mundzir”.

Muhammad bin Fudhail,dalam Hadi As Sari jilid 2 hal 210,Tahdzib at Tahdzib jilid 9 hal 405 dan Mizan al Itidal jilid 4 hal 9 didapat keterangan tentang beliau. Ahmad berkata”Ia berpihak kepada Ali, tasyayyu. Hadisnya baik” Yahya bin Muin menyatakan Muhammad bin Fudhail adalah tsiqat. Abu Zara’ah berkata”ia jujur dan ahli Ilmu”.Menurut Abu Hatim,Muhammad bin Fudhail adalah seorang guru.Nasai tidak melihat sesuatu yang membahayakan dalam hadis Muhammad bin Fudhail. Menurut Abu Dawud ia seorang syiah yang militan. Ibnu Hibban menyebutkan dia didalam Ats Tsiqat seraya berkata”Ibnu Fudhail pendukung Ali yang berlebih-lebihan”Ibnu Saad berkata”Ia tsiqat,jujur dan banyak memiliki hadis.Ia pendukung Ali”. Menurut Ajli,Ibnu Fudhail orang kufah yang tsiqat tetapi syiah. Ali bin al Madini memandang Muhammad bin Fudhail sangat tsiqat dalam hadis. Daruquthni juga menyatakan Muhammad bin Fudhail sangat tsiqat dalam hadis.

Al A’masy atau Sulaiman bin Muhran Al Kahili Al Kufi Al A’masy adalah perawi Kutub As Sittah yang terkenal tsiqat dan ulama hadis sepakat tentang keadilan dan ketsiqatan Beliau..(Mizan Al Itidal adz Dzahabi jilid 2 hal 224 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 4 hal 222).Dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas A’masy telah meriwayatkan melalui dua jalur yaitu dari Athiyyah dari Abu Said dan dari Habib bin Abi Tsabit dari Zaid bin Arqam.

Athiyyah bin Sa’ad al Junadah Al Awfi adalah tabiin yang dikenal dhaif. Menurut Adz Dzahabi Athiyyah adalah seorang tabiin yang dikenal dhaif ,Abu Hatim berkata hadisnya dhaif tapi bisa didaftar atau ditulis, An Nasai juga menyatakan Athiyyah termasuk kelompok orang yang dhaif, Abu Zara’ah juga memandangnya lemah. Menurut Abu Dawud Athiyyah tidak bisa dijadikan sandaran atau pegangan.Menurut Al Saji hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah,Ia mengutamakan Ali ra dari semua sahabat Nabi yang lain. Salim Al Muradi menyatakan bahwa Athiyyah adalah seorang syiah. Abu Ahmad bin Adi berkata walaupun ia dhaif tetapi hadisnya dapat ditulis. Kebanyakan ulama memang memandang Athiyyah dhaif tetapi Ibnu Saad memandang Athiyyah tsiqat,dan berkata insya Allah ia mempunyai banyak hadis yang baik,sebagian orang tidak memandang hadisnya sebagai hujjah. Yahya bin Main ditanya tentang hadis Athiyyah ,ia menjawab “Bagus”.(Mizan Al ‘Itidal jilid 3 hal 79).

Habib bin Abi Tsabit Al Asadi Al Kahlili adalah Rijal Bukhari dan Muslim dan para ulama hadis telah sepakat akan keadilan dan ketsiqatan beliau, walaupun beliau juga dikenal sebagai mudallis (Tahdzib At Tahdzib jilid 2 hal 178). Jadi dari dua jalan dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas, sanad Athiyyah semua perawinya tsiqat selain Athiyyah yang dikenal dhaif walaupun Beliau di ta’dilkan oleh Ibnu Saad dan Ibnu Main. Sedangkan sanad Habib semua perawinya tsiqat tetapi dalam hadis di atas A’masy dan Habib meriwayatkan dengan lafal ‘an (mu’an ‘an) padahal keduanya dikenal mudallis. Walaupun begitu banyak hal yang menguatkan sanad Habib ini sehingga hadisnya dinyatakan shahih yaitu

* Dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 109 terdapat hadis tsaqalain yang menyatakan bahwa A’masy mendengar langsung dari Habib.(lihat hadis no 3 di atas). Sulaiman Al A’masy yang berkata telah mendengar dari Habib bin Abi Tsabit dari Abu Tufail dari Zaid bin Arqam ra. Dan hadis ini telah dinyatakan shahih oleh Al Hakim.
* Syaikh Ahmad Syakir telah menshahihkan cukup banyak hadis dengan lafal’an dalam Musnad Ahmad salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan dengan lafal ‘an oleh A’masyi dan Habib(A’masy dari Habib dari…salah seorang sahabat).
* Hadis Sunan Tirmidzi ini telah dinyatakan hasan gharib oleh At Tirmidzi dan telah dinyatakan shahih oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Turmudzi dan juga telah dinyatakan shahih oleh Hasan As Saqqaf dalam Shahih Sifat Shalat An Nabiy.

Semua hadis di atas menyatakan dengan jelas bahwa apa yang merupakan peninggalan Rasulullah SAW yang disebut Ats Tsaqalain (dua peninggalan) itu adalah Al Quran dan Ahlul Bait as. Sebagian orang ada yang menyatakan bahwa hadis itu tidak mengharuskan untuk berpegang teguh kepada Al Quran dan Ahlul Bait melainkan hanya berpegang teguh kepada Al Quran sedangkan tentang Ahlul Bait hadis itu mengingatkan bahwa kita harus menjaga hak-hak Ahlul Bait, mencintai dan menghormati Mereka. Sebagian orang tersebut telah berdalil dengan hadis Tsaqalain Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi dan Musnad Ahmad yang memiliki redaksi kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, dan menyatakan bahwa dalam hadis tersebut tidak terdapat indikasi untuk berpegang teguh pada Ahlul Bait.

Terhadap pernyataan ini kami tidak sependapat dan dengan jelas kami menyatakan bahwa pendapat itu adalah tidak benar. Tentu saja sebagai seorang Muslim kita harus mencintai dan menghormati serta menjaga hak-hak Ahlul Bait tetapi hadis Tsaqalain jelas menyatakan keharusan berpegang teguh kepada Ahlul Bait dan hal ini telah ditetapkan dengan hadis-hadis yang shahih. Dalam hadis Tsaqalain Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi dan Musnad Ahmad yang memiliki redaksi kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, juga tidak terdapat kata-kata yang menyatakan bahwa yang dimaksud itu adalah menjaga hak-hak Ahlul Bait, mencintai dan menghormati Mereka. Justru semua hadis ini harus dikumpulkan dengan hadis Tsaqalain yang lain yang memiliki redaksi berpegang teguh kepada Ahlul Bait atau redaksi Al Quran dan Ahlul Bait selalu bersama dan tidak akan berpisah. Dengan mengumpulkan semua hadis itu dapat diketahui bahwa peringatan Rasulullah SAW dalam kata-kata kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, tersebut adalah keharusan berpegang teguh kepada Ahlul Bait as.

Sebagian orang yang kami maksud (Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As Sunnah dan Ali As Salus dalam Imamah Wal Khilafah). telah menyatakan bahwa hadis–hadis yang memiliki redaksi berpegang teguh kepada Ahlul Bait atau redaksi Al Quran dan Ahlul Bait selalu bersama dan tidak akan berpisah adalah tidak shahih. Kami dengan jelas menyatakan bahwa hal ini tidaklah benar karena hadis tersebut adalah hadis yang shahih seperti yang telah kami nyatakan di atas dan cukup banyak ulama yang telah menguatkan kebenarannya. Cukuplah disini dinyatakan pendapat Syaikh Nashirudin Al Albani yang telah menyatakan shahihnya hadis Tsaqalain tersebut dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi, Shahih Jami’ As Saghir dan Silsilah Al Hadits Al Shahihah .

Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761).

Analisis Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”

Al Quranul Karim dan Sunnah Rasulullah SAW adalah landasan dan sumber syariat Islam. Hal ini merupakan kebenaran yang sifatnya pasti dan diyakini oleh umat Islam. Banyak ayat Al Quran yang memerintahkan umat Islam untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah SAW, diantaranya:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah .Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya. (QS ; Al Hasyr 7).

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang berharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS ; Al Ahzab 21).

Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah .Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu) maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS ; An Nisa 80).

Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan RasulNya agar Rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan “kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepadaNya maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS ; An Nur 51-52).

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu Ketetapan , akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS ; Al Ahzab 36).

Jadi Sunnah Rasulullah SAW merupakan salah satu pedoman bagi umat islam di seluruh dunia. Berdasarkan ayat-ayat Al Quran di atas sudah cukup rasanya untuk membuktikan kebenaran hal ini. Tulisan ini akan membahas hadis “Kitabullah wa Sunnaty” yang sering dijadikan dasar bahwa kita harus berpedoman kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW yaitu:
Bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan SunahKu. Keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiKu di Al Haudh.”.

Hadis “Kitabullah Wa Sunnaty” ini adalah hadis masyhur yang sering sekali didengar oleh umat Islam sehingga tidak jarang banyak yang beranggapan bahwa hadis ini adalah benar dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Pada dasarnya kita umat Islam harus berpegang teguh kepada Al Quran dan As Sunnah yang merupakan dua landasan utama dalam agama Islam. Banyak dalil dalil shahih yang menganjurkan kita agar berpegang kepada As Sunnah baik dari Al Quran (seperti yang sudah disebutkan) ataupun dari hadis-hadis yang shahih. Sayangnya hadis”Kitabullah Wa Sunnaty” yang seringkali dijadikan dasar dalam masalah ini adalah hadis yang tidak shahih atau dhaif. Berikut adalah analisis terhadap sanad hadis ini.

Analisis Sumber Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”.

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” ini tidak terdapat dalam kitab hadis Kutub As Sittah (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan An Nasa’i, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi). Sumber dari Hadis ini adalah Al Muwatta Imam Malik, Mustadrak Ash Shahihain Al Hakim, At Tamhid Syarh Al Muwatta Ibnu Abdil Barr, Sunan Baihaqi, Sunan Daruquthni, dan Jami’ As Saghir As Suyuthi. Selain itu hadis ini juga ditemukan dalam kitab-kitab karya Ulama seperti , Al Khatib dalam Al Faqih Al Mutafaqqih, Shawaiq Al Muhriqah Ibnu Hajar, Sirah Ibnu Hisyam, Al Ilma ‘ila Ma’rifah Usul Ar Riwayah wa Taqyid As Sima’ karya Qadhi Iyadh, Al Ihkam Ibnu Hazm dan Tarikh At Thabari. Dari semua sumber itu ternyata hadis ini diriwayatkan dengan 4 jalur sanad yaitu dari Ibnu Abbas ra, Abu Hurairah ra, Amr bin Awf ra, dan Abu Said Al Khudri ra. Terdapat juga beberapa hadis yang diriwayatkan secara mursal (terputus sanadnya), mengenai hadis mursal ini sudah jelas kedhaifannya.

Hadis ini terbagi menjadi dua yaitu:

1. Hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang mursal.
2. Hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang muttasil atau bersambung.

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Secara Mursal.

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” yang diriwayatkan secara mursal ini terdapat dalam kitab Al Muwatta, Sirah Ibnu Hisyam, Sunan Baihaqi, Shawaiq Al Muhriqah, dan Tarikh At Thabari. Berikut adalah contoh hadisnya.

Dalam Al Muwatta jilid I hal 899 no 3:
Bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Wahai Sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu berpegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunah RasulNya”.

Dalam Al Muwatta hadis ini diriwayatkan Imam Malik tanpa sanad. Malik bin Anas adalah generasi tabiit tabiin yang lahir antara tahun 91H-97H. Jadi paling tidak ada dua perawi yang tidak disebutkan di antara Malik bin Anas dan Rasulullah SAW. Berdasarkan hal ini maka dapat dinyatakan bahwa hadis ini dhaif karena terputus sanadnya.

Dalam Sunan Baihaqi terdapat beberapa hadis mursal mengenai hal ini, diantaranya:
Al Baihaqi dengan sanad dari Urwah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda pada haji wada: “ Sesungguhnya Aku telah meninggalkan sesuatu bagimu yang apabila berpegang teguh kepadanya maka kamu tidak akan sesat selamanya yaitu dua perkara Kitab Allah dan Sunnah NabiMu, Wahai umat manusia dengarkanlah olehmu apa yang aku sampaikan kepadamu, maka hiduplah kamu dengan berpegang kepadanya”.

Selain pada Sunan Baihaqi, hadis Urwah ini juga terdapat dalam Miftah Al Jannah hal 29 karya As Suyuthi. Urwah bin Zubair adalah dari generasi tabiin yang lahir tahun 22H, jadi Urwah belum lahir saat Nabi SAW melakukan haji wada oleh karena itu hadis di atas terputus, dan ada satu orang perawi yang tidak disebutkan, bisa dari golongan sahabat dan bisa juga dari golongan tabiin. Singkatnya hadis ini dhaif karena terputus sanadnya.

Al Baihaqi dengan sanad dari Ibnu Wahb yang berkata: “Aku telah mendengar Malik bin Anas mengatakan berpegang teguhlah pada sabda Rasulullah SAW pada waktu haji wada yang berbunyi ‘Dua hal Aku tinggalkan bagimu dimana kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunah NabiNya”.

Hadis ini tidak berbeda dengan hadis Al Muwatta, karena Malik bin Anas tidak bertemu Rasulullah SAW jadi hadis ini juga dhaif.

Dalam Sirah Ibnu Hisyam jilid 4 hal 185 hadis ini diriwayatkan dari Ibnu Ishaq yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda pada haji wada…..,Disini Ibnu Ishaq tidak menyebutkan sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW oleh karena itu hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam Tarikh At Thabari jilid 2 hal 205 hadis ini juga diriwayatkan secara mursal melalui Ibnu Ishaq dari Abdullah bin Abi Najih. Jadi kedua hadis ini dhaif. Mungkin ada yang beranggapan karena Sirah Ibnu Hisyam dari Ibnu Ishaq sudah menjadi kitab Sirah yang jadi pegangan oleh jumhur ulama maka adanya hadis itu dalam Sirah Ibnu Hisyam sudah cukup menjadi bukti kebenarannya. Jawaban kami adalah benar bahwa Sirah Ibnu Hisyam menjadi pegangan oleh jumhur ulama, tetapi dalam kitab ini hadis tersebut terputus sanadnya jadi tentu saja dalam hal ini hadis tersebut tidak bisa dijadikan hujjah.
Sebuah Pembelaan dan Kritik.

Hafiz Firdaus dalam bukunya Kaidah Memahami Hadis-hadis yang Bercanggah telah membahas hadis dalam Al Muwatta dan menanggapi pernyataan Syaikh Hasan As Saqqaf dalam karyanya Shahih Sifat shalat An Nabiy (dalam kitab ini As Saqqaf telah menyatakan hadis Kitab Allah dan SunahKu ini sebagai hadis yang dhaif ). Sebelumnya berikut akan dituliskan pendapat Hafiz Firdaus tersebut.

Bahwa Rasulullah bersabda: “wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya”

Hadis ini sahih: Dikeluarkan oleh Malik bin Anas dalam al-Muwattha’ – no: 1619 (Kitab al-Jami’, Bab Larangan memastikan Takdir). Berkata Malik apabila mengemukakan riwayat ini: Balghni………bererti “disampaikan kepada aku” (atau dari sudut catatan anak murid beliau sendiri: Dari Malik, disampaikan kepadanya………). Perkataan seperti ini memang khas di zaman awal Islam (sebelum 200H) menandakan bahawa seseorang itu telah menerima sesebuah hadis daripada sejumlah tabi’in, dari sejumlah sahabat dari jalan-jalan yang banyak sehingga tidak perlu disertakan sanadnya. Lebih lanjut lihat Qadi ‘Iyadh Tartib al-Madarik, jld 1, ms 136; Ibn ‘Abd al-Barr al Tamhid, jld 1, ms 34; al-Zarqani Syarh al Muwattha’, jld 4, ms 307 dan Hassath binti ‘Abd al-’Aziz Sagheir Hadis Mursal baina Maqbul wa Mardud, jld 2, ms 456-470.
Hasan ‘Ali al-Saqqaf dalam bukunya Shalat Bersama Nabi SAW (edisi terj. dari Sahih Sifat Solat Nabi), ms 269-275 berkata bahwa hadis ini sebenarnya adalah maudhu’. Isnadnya memiliki perawi yang dituduh pendusta manakala maksudnya tidak disokongi oleh mana-mana dalil lain. Beliau menulis: Sebenarnya hadis yang tsabit dan sahih adalah hadis yang berakhir dengan “wa ahli baiti” (sepertimana Khutbah C – penulis). Sedangkan yang berakhir dengan kata-kata “wa sunnati” (sepertimana Khutbah B) adalah batil dari sisi matan dan sanadnya.
Nampaknya al-Saqqaf telah terburu-buru dalam penilaian ini kerana beliau hanya menyimak beberapa jalan periwayatan dan meninggalkan yang selainnya, terutamanya apa yang terkandung dalam kitab-kitab Musannaf, Mu’jam dan Tarikh (Sejarah). Yang lebih berat adalah beliau telah menepikan begitu sahaja riwayat yang dibawa oleh Malik di dalam kitab al-Muwattha’nya atas alasan ianya adalah tanpa sanad padahal yang benar al-Saqqaf tidak mengenali kaedah-kaedah periwayatan hadis yang khas di sisi Malik bin Anas dan tokoh-tokoh hadis di zamannya.

Kritik kami adalah sebagai berikut, tentang kata-kata hadis riwayat Al Muwatta adalah shahih karena pernyataan Balghni atau “disampaikan kepada aku” dalam hadis riwayat Imam Malik ini adalah khas di zaman awal Islam (sebelum 200H) menandakan bahwa seseorang itu telah menerima sesebuah hadis daripada sejumlah tabi’in, dari sejumlah sahabat dari jalan-jalan yang banyak sehingga tidak perlu disertakan sanadnya. Maka Kami katakan, Kaidah periwayatan hadis dengan pernyataan Balghni atau “disampaikan kepadaku” memang terdapat di zaman Imam Malik. Hal ini juga dapat dilihat dalam Kutub As Sunnah Dirasah Watsiqiyyah oleh Rif’at Fauzi Abdul Muthallib hal 20, terdapat kata kata Hasan Al Bashri

“Jika empat shahabat berkumpul untuk periwayatan sebuah hadis maka saya tidak menyebut lagi nama shahabat”.Ia juga pernah berkata”Jika aku berkata hadatsana maka hadis itu saya terima dari fulan seorang tetapi bila aku berkata qala Rasulullah SAW maka hadis itu saya dengar dari 70 orang shahabat atau lebih”.

Tetapi adalah tidak benar mendakwa suatu hadis sebagai shahih hanya dengan pernyataan “balghni”. Hal ini jelas bertentangan dengan kaidah jumhur ulama tentang persyaratan hadis shahih seperti yang tercantum dalam Muqaddimah Ibnu Shalah fi Ulumul Hadis yaitu:
Hadis shahih adalah Hadis yang muttashil (bersambung sanadnya) disampaikan oleh setiap perawi yang adil(terpercaya) lagi dhabit sampai akhir sanadnya dan hadis itu harus bebas dari syadz dan Illat.

Dengan kaidah Inilah as Saqqaf telah menepikan hadis al Muwatta tersebut karena memang hadis tersebut tidak ada sanadnya. Yang aneh justru pernyataan Hafiz yang menyalahkan As Saqqaf dengan kata-kata padahal yang benar al-Saqqaf tidak mengenali kaedah-kaedah periwayatan hadis yang khas di sisi Malik bin Anas dan tokoh-tokoh hadis di zamannya.

Pernyataan Hafiz di atas menunjukan bahwa Malik bin Anas dan tokoh hadis zamannya (sekitar 93H-179H) jika meriwayatkan hadis dengan pernyataan telah disampaikan kepadaku bahwa Rasulullah SAW atau Qala Rasulullah SAW tanpa menyebutkan sanadnya maka hadis tersebut adalah shahih. Pernyataan ini jelas aneh dan bertentangan dengan kaidah jumhur ulama hadis. Sekali lagi hadis itu mursal atau terputus dan hadis mursal tidak bisa dijadikan hujjah karena kemungkinan dhaifnya. Karena bisa jadi perawi yang terputus itu adalah seorang tabiin yang bisa jadi dhaif atau tsiqat, jika tabiin itu tsiqatpun dia kemungkinan mendengar dari tabiin lain yang bisa jadi dhaif atau tsiqat dan seterusnya kemungkinan seperti itu tidak akan habis-habis. Sungguh sangat tidak mungkin mendakwa hadis mursal sebagai shahih “Hanya karena terdapat dalam Al Muwatta Imam Malik”.

Hal yang kami jelaskan itu juga terdapat dalam Ilmu Mushthalah Hadis oleh A Qadir Hassan hal 109 yang mengutip pernyataan Ibnu Hajar yang menunjukkan tidak boleh menjadikan hadis mursal sebagai hujjah, Ibnu Hajar berkata:
”Boleh jadi yang gugur itu shahabat tetapi boleh jadi juga seorang tabiin .Kalau kita berpegang bahwa yang gugur itu seorang tabiin boleh jadi tabiin itu seorang yang lemah tetapi boleh jadi seorang kepercayaan. Kalau kita andaikan dia seorang kepercayaan maka boleh jadi pula ia menerima riwayat itu dari seorang shahabat, tetapi boleh juga dari seorang tabiin lain”.

Lihat baik-baik walaupun yang meriwayatkan hadis mursal itu adalah tabiin tetap saja dinyatakan dhaif apalagi Malik bin Anas yang seorang tabiit tabiin maka akan jauh lebih banyak kemungkinan dhaifnya. Pernyataan yang benar tentang hadis mursal Al Muwatta adalah hadis tersebut shahih jika terdapat hadis lain yang bersambung dan shahih sanadnya yang menguatkan hadis mursal tersebut di kitab-kitab lain. Jadi adalah kekeliruan menjadikan hadis mursal shahih hanya karena terdapat dalam Al Muwatta..

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Dengan Sanad Yang Bersambung.

Telah dinyatakan sebelumnya bahwa dari sumber-sumber yang ada ternyata ada 4 jalan sanad hadis “Kitab Allah dan SunahKu”. 4 jalan sanad itu adalah:
1. Jalur Ibnu Abbas ra.
2. Jalur Abu Hurairah ra.
3. Jalur Amr bin Awf ra.
4. Jalur Abu Said Al Khudri ra.

Jalan Sanad Ibnu Abbas

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas dapat ditemukan dalam Kitab Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93 dan Sunan Baihaqi juz 10 hal 4 yang pada dasarnya juga mengutip dari Al Mustadrak. Dalam kitab-kitab ini sanad hadis itu dari jalan Ibnu Abi Uwais dari Ayahnya dari Tsaur bin Zaid Al Daily dari Ikrimah dari Ibnu Abbas.

bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah RasulNya”.

Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena terdapat kelemahan pada dua orang perawinya yaitu Ibnu Abi Uwais dan Ayahnya.

1. Ibnu Abi Uwais.
* Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 mengenai biografi Ibnu Abi Uwais terdapat perkataan orang yang mencelanya, diantaranya Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong. Menurut Abu Hatim Ibnu Abi Uwais itu mahalluhu ash shidq atau tempat kejujuran tetapi dia terbukti lengah. An Nasa’i menilai Ibnu Abi Uwais dhaif dan tidak tsiqah. Menurut Abu Al Qasim Al Alkaiy “An Nasa’i sangat jelek menilainya (Ibnu Abi Uwais) sampai ke derajat matruk(ditinggalkan hadisnya)”. Ahmad bin Ady berkata “Ibnu Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya Malik beberapa hadis gharib yang tidak diikuti oleh seorangpun.”
* Dalam Muqaddimah Al Fath Al Bary halaman 391 terbitan Dar Al Ma’rifah, Al Hafiz Ibnu Hajar mengenai Ibnu Abi Uwais berkata ”Atas dasar itu hadis dia (Ibnu Abi Uwais) tidak dapat dijadikan hujjah selain yang terdapat dalam As Shahih karena celaan yang dilakukan Imam Nasa’i dan lain-lain”.
* Dalam Fath Al Mulk Al Aly halaman 15, Al Hafiz Sayyid Ahmad bin Shiddiq mengatakan “berkata Salamah bin Syabib Aku pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan “mungkin aku membuat hadis untuk penduduk madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu di antara mereka”.

Jadi Ibnu Abi Uwais adalah perawi yang tertuduh dhaif, tidak tsiqat, pembohong, matruk dan dituduh suka membuat hadis. Ada sebagian orang yang membela Ibnu Abi Uwais dengan mengatakan bahwa dia adalah salah satu Rijal atau perawi Shahih Bukhari oleh karena itu hadisnya bisa dijadikan hujjah. Pernyataan ini jelas tertolak karena Bukhari memang berhujjah dengan hadis Ismail bin Abi Uwais tetapi telah dipastikan bahwa Ibnu Abi Uwais adalah perawi Bukhari yang diperselisihkan oleh para ulama hadis. Seperti penjelasan di atas terdapat jarh atau celaan yang jelas oleh ulama hadis seperti Yahya bin Mu’in, An Nasa’i dan lain-lain. Dalam prinsip Ilmu Jarh wat Ta’dil celaan yang jelas didahulukan dari pujian(ta’dil). Oleh karenanya hadis Ibnu Abi Uwais tidak bisa dijadikan hujjah. Mengenai hadis Bukhari dari Ibnu Abi Uwais, hadis-hadis tersebut memiliki mutaba’ah atau pendukung dari riwayat-riwayat lain sehingga hadis tersebut tetap dinyatakan shahih. Lihat penjelasan Al Hafiz Ibnu Hajar dalam Al Fath Al Bary Syarh Shahih Bukhari, Beliau mengatakan bahwa hadis Ibnu Abi Uwais selain dalam As Shahih(Bukhari dan Muslim) tidak bisa dijadikan hujjah. Dan hadis yang dibicarakan ini tidak terdapat dalam kedua kitab Shahih tersebut, hadis ini terdapat dalam Mustadrak dan Sunan Baihaqi.

2. Abu Uwais.
* Dalam kitab Al Jarh Wa At Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim jilid V hal 92, Ibnu Abi Hatim menukil dari ayahnya Abu Hatim Ar Razy yang berkata mengenai Abu Uwais “Ditulis hadisnya tetapi tidak dapat dijadikan hujjah dan dia tidak kuat”. Ibnu Abi Hatim menukil dari Yahya bin Mu’in yang berkata “Abu Uwais tidak tsiqah”.
* Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy jilid III hal 127 Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya(Abu Uwais) suka mencuri hadis, suka mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong.

Dalam Al Mustadrak jilid I hal 93, Al Hakim tidak menshahihkan hadis ini. Beliau mendiamkannya dan mencari syahid atau penguat bagi hadis tersebut, Beliau berkata ”Saya telah menemukan syahid atau saksi penguat bagi hadis tersebut dari hadis Abu Hurairah ra”. Mengenai hadis Abu Hurairah ra ini akan dibahas nanti, yang penting dari pernyataan itu secara tidak langsung Al Hakim mengakui kedhaifan hadis Ibnu Abbas tersebut oleh karena itu beliau mencari syahid penguat untuk hadis tersebut .Setelah melihat kedudukan kedua perawi hadis Ibnu Abbas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadis ”Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas adalah dhaif.
Jalan Sanad Abu Hurairah ra.

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad Abu Hurairah ra terdapat dalam Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93, Sunan Al Kubra Baihaqi juz 10, Sunan Daruquthni IV hal 245, Jami’ As Saghir As Suyuthi(no 3923), Al Khatib dalam Al Faqih Al Mutafaqqih jilid I hal 94, At Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr, dan Al Ihkam VI hal 243 Ibnu Hazm.
Jalan sanad hadis Abu Hurairah ra adalah sebagi berikut, diriwayatkan melalui Al Dhaby yang berkata telah menghadiskan kepada kami Shalih bin Musa At Thalhy dari Abdul Aziz bin Rafi’dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan SunahKu.Keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiKu di Al Haudh”.

Hadis di atas adalah hadis yang dhaif karena dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak bisa dijadikan hujjah yaitu Shalih bin Musa At Thalhy.

* Dalam Kitab Tahdzib Al Kamal ( XIII hal 96) berkata Yahya bin Muin bahwa riwayat hadis Shalih bin Musa bukan apa-apa. Abu Hatim Ar Razy berkata hadis Shalih bin Musa dhaif. Imam Nasa’i berkata hadis Shalih bin Musa tidak perlu ditulis dan dia itu matruk al hadis(ditinggalkan hadisnya).
* Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqalany dalam kitabnya Tahdzib At Tahdzib IV hal 355 menyebutkan Ibnu Hibban berkata bahwa Shalih bin Musa meriwayatkan dari tsiqat apa yang tidak menyerupai hadis itsbat(yang kuat) sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak dapat dipakai untuk berhujjah. Abu Nu’aim berkata Shalih bin Musa itu matruk Al Hadis sering meriwayatkan hadis mungkar.
* Dalam At Taqrib (Tarjamah :2891) Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqallany menyatakan bahwa Shalih bin Musa adalah perawi yang matruk(harus ditinggalkan).
* Al Dzahaby dalam Al Kasyif (2412) menyebutkan bahwa Shalih bin Musa itu wahin (lemah).
* Dalam Al Qaulul Fashl jilid 2 hal 306 Sayyid Alwi bin Thahir ketika mengomentari Shalih bin Musa, beliau menyatakan bahwa Imam Bukhari berkata”Shalih bin Musa adalah perawi yang membawa hadis-hadis mungkar”.

Kalau melihat jarh atau celaan para ulama terhadap Shalih bin Musa tersebut maka dapat dinyatakan bahwa hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan sanad dari Abu Hurairah ra di atas adalah hadis yang dhaif. Adalah hal yang aneh ternyata As Suyuthi dalam Jami’ As Saghir menyatakan hadis tersebut hasan, Al Hafiz Al Manawi menshahihkannya dalam Faidhul Qhadir Syarah Al Jami’Ash Shaghir dan Al Albani juga telah memasukkan hadis ini dalam Shahih Jami’ As Saghir. Begitu pula yang dinyatakan oleh Al Khatib dan Ibnu Hazm. Menurut kami penshahihan hadis tersebut tidak benar karena dalam sanad hadis tersebut terdapat cacat yang jelas pada perawinya, Bagaimana mungkin hadis tersebut shahih jika dalam sanadnya terdapat perawi yang matruk, mungkar al hadis dan tidak bisa dijadikan hujjah. Nyata sekali bahwa ulama-ulama yang menshahihkan hadis ini telah bertindak longgar(tasahul) dalam masalah ini.

Mengapa para ulama itu bersikap tasahul dalam penetapan kedudukan hadis ini?. Hal ini mungkin karena matan hadis tersebut adalah hal yang tidak perlu dipermasalahkan lagi. Tetapi menurut kami matan hadis tersebut yang benar dan shahih adalah dengan matan hadis yang sama redaksinya hanya perbedaan pada “Kitab Allah dan SunahKu” menjadi “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu”. Hadis dengan matan seperti ini salah satunya terdapat dalam Shahih Sunan Tirmidzi no 3786 & 3788 yang dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Kalau dibandingkan antara hadis ini dengan hadis Abu Hurairah ra di atas dapat dipastikan bahwa hadis Shahih Sunan Tirmidzi ini jauh lebih shahih kedudukannya karena semua perawinya tsiqat. Sedangkan hadis Abu Hurairah ra di atas terdapat cacat pada salah satu perawinya yaitu Shalih bin Musa At Thalhy.

Adz Dzahabi dalam Al Mizan Al I’tidal jilid II hal 302 berkata bahwa hadis Shalih bin Musa tersebut termasuk dari kemunkaran yang dilakukannya. Selain itu hadis riwayat Abu Hurairah ini dinyatakan dhaif oleh Hasan As Saqqaf dalam Shahih Sifat Shalat An Nabiy setelah beliau mengkritik Shalih bin Musa salah satu perawi hadis tersebut. Jadi pendapat yang benar dalam masalah ini adalah hadis riwayat Abu Hurairah tersebut adalah dhaif sedangkan pernyataan As Suyuthi, Al Manawi, Al Albani dan yang lain bahwa hadis tersebut shahih adalah keliru karena dalam rangkaian sanadnya terdapat perawi yang sangat jelas cacatnya sehingga tidak mungkin bisa dikatakan shahih.

Jalan Sanad Amr bin Awf ra.

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Amr bin Awf terdapat dalam kitab At Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr. Telah menghadiskan kepada kami Abdurrahman bin Yahya, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Ahmad bin Sa’id, dia berkata telahmenghadiskan kepada kami Muhammad bin Ibrahim Al Daibaly, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Ali bin Zaid Al Faridhy, dia berkata telah menghadiskan kepada kami Al Haniny dari Katsir bin Abdullah bin Amr bin Awf dari ayahnya dari kakeknya.

Bahwa Rasulullah bersabda “wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya.

Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena dalam sanadnya terdapat cacat pada perawinya yaitu Katsir bin Abdullah .
* Dalam Mizan Al Itidal (biografi Katsir bin Abdullah no 6943) karya Adz Dzahabi terdapat celaan pada Katsir bin Abdullah. Menurut Daruquthni Katsir bin Abdullah adalah matruk al hadis(ditinggalkan hadisnya). Abu Hatim menilai Katsir bin Abdullah tidak kuat. An Nasa’i menilai Katsir bin Abdullah tidak tsiqah.
* Dalam At Taqrib at Tahdzib, Ibnu Hajar menyatakan Katsir bin Abdullah dhaif.
* Dalam Al Kasyf Adz Dzahaby menilai Katsir bin Abdullah wahin(lemah).
* Dalam Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 hal 221, Ibnu Hibban berkata tentang Katsir bin Abdullah “Hadisnya sangat mungkar” dan “Dia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari ayahnya dari kakeknya yang tidak pantas disebutkan dalam kitab-kitab maupun periwayatan”
* Dalam Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 hal 221, Yahya bin Main berkata “Katsir lemah hadisnya”
* Dalam Kitab Al Jarh Wat Ta’dil biografi no 858, Abu Zur’ah berkata “Hadisnya tidak ada apa-apanya, dia tidak kuat hafalannya”.
* Dalam Adh Dhu’afa Al Kabir Al Uqaili (no 1555), Mutharrif bin Abdillah berkata tentang Katsir “Dia orang yang banyak permusuhannya dan tidak seorangpun sahabat kami yang mengambil hadis darinya”.
* Dalam Al Kamil Fi Dhu’afa Ar Rijal karya Ibnu Adi juz 6 hal 63, Ibnu Adi berkata perihal Katsir “Dan kebanyakan hadis yang diriwayatkannya tidak bisa dijadikan pegangan”.
* Dalam Al Kamil Fi Dhu’afa Ar Rijal karya Ibnu Adi juz 6 hal 63, Abu Khaitsamah berkata “Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku : jangan sedikitpun engkau meriwayatkan hadis dari Katsir bin Abdullah”.
* Dalam Ad Dhu’afa Wal Matrukin Ibnu Jauzi juz III hal 24 terdapat perkataan Imam Syafii perihal Katsir bin Abdullah “Katsir bin Abdullah Al Muzanni adalah satu pilar dari berbagai pilar kedustaan”

Jadi hadis Amr bin Awf ini sangat jelas kedhaifannya karena dalam sanadnya terdapat perawi yang matruk, dhaif atau tidak tsiqah dan pendusta.

Jalur Abu Said Al Khudri ra.

Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Abu Said Al Khudri ra terdapat dalam Al Faqih Al Mutafaqqih jilid I hal 94 karya Al Khatib Baghdadi dan Al Ilma ‘ila Ma’rifah Usul Ar Riwayah wa Taqyid As Sima’ karya Qadhi Iyadh dengan sanad dari Saif bin Umar dari Ibnu Ishaq Al Asadi dari Shabbat bin Muhammad dari Abu Hazm dari Abu Said Al Khudri ra.

Dalam rangkaian perawi ini terdapat perawi yang benar-benar dhaif yaitu Saif bin Umar At Tamimi.
* Dalam Mizan Al I’tidal no 3637 Yahya bin Mu’in berkata “Saif daif dan riwayatnya tidak kuat”.
* Dalam Ad Dhu’afa Al Matrukin no 256, An Nasa’i mengatakan kalau Saif bin Umar adalah dhaif.
* Dalam Al Majruhin no 443 Ibnu Hibban mengatakan Saif merujukkan hadis-hadis palsu pada perawi yang tsabit, ia seorang yang tertuduh zindiq dan seorang pemalsu hadis.
* Dalam Ad Dhu’afa Abu Nu’aim no 95, Abu Nu’aim mengatakan kalau Saif bin Umar adalah orang yang tertuduh zindiq, riwayatnya jatuh dan bukan apa-apanya.
* Dalam Tahzib At Tahzib juz 4 no 517 Abu Dawud berkata kalau Saif bukan apa-apa, Abu Hatim berkata “ia matruk”, Ad Daruquthni menyatakannya dhaif dan matruk. Al Hakim mengatakan kalau Saif tertuduh zindiq dan riwayatnya jatuh. Ibnu Adi mengatakan kalau hadisnya dikenal munkar dan tidak diikuti seorangpun.

Jadi jelas sekali kalau hadis Abu Said Al Khudri ra ini adalah hadis yang dhaif karena kedudukan Saif bin Umar yang dhaif di mata para ulama.

Hadis Tersebut Dhaif.

Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa hadis “Kitab Allah dan SunahKu” ini adalah hadis yang dhaif. Sebelum mengakhiri tulisan ini akan dibahas terlebih dahulu pernyataan Ali As Salus dalam Al Imamah wal Khilafah yang menyatakan shahihnya hadis “Kitab Allah Dan SunahKu”.
Ali As Salus menyatakan bahwa hadis riwayat Imam Malik adalah shahih Walaupun dalam Al Muwatta hadis ini mursal. Beliau menyatakan bahwa hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Hurairah yang telah dishahihkan oleh As Suyuthi,Al Manawi dan Al Albani. Selain itu hadis mursal dalam Al Muwatta adalah shahih menurutnya dengan mengutip pernyataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah shahih dan pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al Muwatta memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam kitab-kitab lain.

Tanggapan Terhadap Ali As Salus.

Pernyataan pertama bahwa hadis Malik bin Anas dalam Al Muwatta adalah shahih walaupun mursal adalah tidak benar. Hal ini telah dijelaskan dalam tanggapan kami terhadap Hafiz Firdaus bahwa hadis mursal tidak bisa langsung dinyatakan shahih kecuali terdapat hadis shahih(bersambung sanadnya) lain yang menguatkannya. Dan kenyataannya hadis yang jadi penguat hadis mursal Al Muwatta ini adalah tidak shahih. Pernyataan Selanjutnya Ali As Salus bahwa hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Hurairah ra adalah tidak tepat karena seperti yang sudah dijelaskan, dalam sanad hadis Abu Hurairah ra ada Shalih bin Musa yang tidak dapat dijadikan hujjah.

Ali As Salus menyatakan bahwa hadis mursal Al Muwatta shahih berdasarkan:
* Pernyataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah shahih dan
* Pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al Muwatta memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam kitab-kitab lain.

Mengenai pernyataan Ibnu Abdil Barr tersebut, jelas itu adalah pendapatnya sendiri dan mengenai hadis “Kitab Allah dan SunahKu” yang mursal dalam Al Muwatta Ibnu Abdil Barr telah mencari sanad hadis ini dan memuatnya dalam kitabnya At Tamhid dan Beliau menshahihkannya. Setelah dilihat ternyata hadis dalam At Tamhid tersebut tidaklah shahih karena cacat yang jelas pada perawinya.

Begitu pula pernyataan As Suyuthi yang dikutip Ali As Salus di atas itu adalah pendapat Beliau sendiri dan As Suyuthi telah menjadikan hadis Abu Hurairah ra sebagai syahid atau pendukung hadis mursal Al Muwatta seperti yang Beliau nyatakan dalam Jami’ As Saghir dan Beliau menyatakan hadis tersebut hasan. Setelah ditelaah ternyata hadis Abu Hurairah ra itu adalah dhaif. Jadi Kesimpulannya tetap saja hadis “Kitab Allah dan SunahKu” adalah hadis yang dhaif.

Salah satu bukti bahwa tidak semua hadis mursal Al Muwatta shahih adalah apa yang dikemukakan oleh Syaikh Al Albani dalam Silisilatul Al Hadits Adh Dhaifah Wal Maudhuah hadis no 908.

Nabi Isa pernah bersabda”Janganlah kalian banyak bicara tanpa menyebut Allah karena hati kalian akan mengeras.Hati yang keras jauh dari Allah namun kalian tidak mengetahuinya.Dan janganlah kalian mengamati dosa-dosa orang lain seolah-olah kalian Tuhan,akan tetapi amatilah dosa-dosa kalian seolah kalian itu hamba.Sesungguhnya Setiap manusia itu diuji dan selamat maka kasihanilah orang-orang yang tengah tertimpa malapetaka dan bertahmidlah kepada Allah atas keselamatan kalian”.

Riwayat ini dikemukakan Imam Malik dalam Al Muwatta jilid II hal 986 tanpa sanad yang pasti tetapi Imam Malik menempatkannya dalam deretan riwayat–riwayat yang muttashil(bersambung) atau marfu’ sanadnya sampai ke Rasulullah SAW.

Syaikh Al Albani berkata tentang hadis ini:
”sekali lagi saya tegaskan memarfu’kan riwayat ini sampai kepada Nabi adalah kesalahan yang menyesatkan dan tidak ayal lagi merupakan kedustaan yang nyata-nyata dinisbatkan kepada Beliau padahal Beliau terbebas darinya”.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa Syaikh Al Albani tidaklah langsung menyatakan bahwa hadis ini shahih hanya karena Imam Malik menempatkannya dalam deretan riwayat–riwayat yang muttashil atau marfu’ sanadnya sampai ke Rasulullah SAW. Justru Syaikh Al Albani menyatakan bahwa memarfu’kan hadis ini adalah kedustaan atau kesalahan yang menyesatkan karena berdasarkan penelitian beliau tidak ada sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW mengenai hadis ini.

Yang Aneh adalah pernyataan Ali As Salus dalam Imamah Wal Khilafah yang menyatakan bahwa hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” adalah dhaif dan yang shahih adalah hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”. Hal ini jelas sangat tidak benar karena hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” sanad-sanadnya tidak shahih seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan di atas. Sedangkan hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” adalah hadis yang diriwayatkan banyak shahabat dan sanadnya jauh lebih kuat dari hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”.

Jadi kalau hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” dinyatakan shahih maka hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” akan jadi jauh lebih shahih. Ali As Salus dalam Imamah wal Khilafah telah membandingkan kedua hadis tersebut dengan metode yang tidak berimbang. Untuk hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” beliau mengkritik habis-habisan bahkan dengan kritik yang tidak benar sedangkan untuk hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” beliau bertindak longgar(tasahul) dan berhujjah dengan pernyataan ulama lain yang juga telah memudahkan dalam penshahihan hadis tersebut.
Salam Damai.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: