Pesan Rahbar

Home » , , , , » Kisah Karbala: Pertemuan Imam Husain as Dengan Hur bin Yazid Arrayahi

Kisah Karbala: Pertemuan Imam Husain as Dengan Hur bin Yazid Arrayahi

Written By Unknown on Monday 27 October 2014 | 23:11:00


Tak lama setelah memasang tenda, rombongan Imam Husain as didatangi seribu pasukan kuda yang ‎dipimpin oleh Hur bin Yazid Arrayahi. Pasukan yang tampak siap berperang itu berjajar di depan Imam ‎Husain dan para sahabatnya yang juga siap bertempur dengan mengikatkan sarung pedang masing-‎masing dipinggang. ‎
Gurun sahara semakin memanas. Matahari memanggang setiap kepala. Imam Husain dan para ‎sahabatnya memerintahkan para pengikutnya supaya air yang masih tersisa diminum dan minumkan ‎kepada kuda-kuda mereka. Hingga tengah hari itu suasana yang masih relatif tenang. Begitu waktu ‎solat dhuhur tiba, Imam memerintah seorang pengikutnya yang bernama Hajjaj bin Masruq al-Ja'fi ‎untuk mengumandang azan. Seusai azan, beliau berdiri di depan pasukan Hur untuk menyampaikan ‎suatu kata kepada mereka yang beliau pandang sebagai orang-orang Kufah tersebut.‎
"Hai orang-orang!" Seru Imam Husain setelah menyatakan pujian kepada Allah dan salawat kepada ‎rasul-Nya. "Aku tidaklah kepada kalian kecuali setelah aku didatangi surat-surat dari kalian. Kalian, ‎orang-orang Kufah, telah mengundangku. Kalian memintaku datang karena kalian merasa tidak ‎memiliki pemimpin, dan agar kemudian membimbing kalian kepada jalan yang benar. Oleh sebab ‎inilah aku pun bergerak ke arah kalian. Kini aku telah datang. Jika kalian masih berpegang pada janji ‎kalian, maka aku akan menetap bersama kalian. Jika tidak, maka aku akan kembali ke negeriku." ‎
Rombongan pasukan berkuda yang diajak bicara oleh Imam Husain as itu terdiam seribu basa. Tak ada ‎seorang yang angkat bicara. Beliau kemudian memerintahkan muazzin tadi untuk mengumandangkan ‎iqamah setelah meminta Hur supaya menunaikan solat bersama pasukannya sebagai Imam Husain as ‎juga solat bersama para pengikut setianya. Uniknya, Hur menolak solat sendiri. Dia meminta solat ‎berjamaah di belakang beliau. Kedua rombongan kemudian bergabung dalam solat dhuhur berjamaah ‎yang dipimpin Imam Husain as. ‎
Seusai solat, kedua rombongan itu kembali ke perkemahan masing-masing. Beberapa lama kemudian ‎kedua rombongan ini bergabung kembali untuk menunaikan solat asar berjemaah dipimpin oleh Imam ‎Husain as. Seusai solat asar, beliau mengutarakan khutbah yang diawali dengan pujian kepada Allah ‎dan disusul dengan pernyataan sebagai berikut:
‎"Amma bakdu. Hai orang-orang, sesungguhnya kalian pasti akan diridhai Allah jika kalian memang ‎bertakwa dan mengerti siapakah yang layak memegang hak (untuk memimpin umat), dan (ketahuilah) ‎bahwa kami, Ahlul Bait Muhammad saww, adalah orang lebih layak memimpin kalian daripada ‎mereka yang mengaku layak tetapi sebenarnya tidak memiliki kelayakan dan mereka yang telah ‎menggerakkan kezaliman dan rasa permusuhan (terhadap kami). Jika kalian tidak mengerti hal ini dan ‎hanya memahami kebencian kepada kami, tidak mengetahui hak kami, dan kata-kata kalian sekarang ‎sudah tidak seperti yang kalian katakan dalam surat-surat kalian yang telah datang menyerbuku ‎bersama para utusan kalian, maka aku akan pergi meninggalkan kalian."‎
Hur menjawab: "Aku tidak tahu menahu tentang surat-surat yang engkau katakan itu."
Imam Husain as memerintahkan Aqabah bin Sam'an untuk mengambil surat-surat itu supaya ‎diperlihatkan kepada Hur. Setelah melihat surat-surat itu, Hur mengatakan: "Aku bukan bagian dari ‎mereka yang mengirim surat-surat itu kepadamu. Aku hanya diperintahkan untuk menyosong ‎balatentaramu dan menggiringmu hingga kamu menyerah di depan Ubaidillah bin Ziyad."‎
Kata-kata Hur rupanya tak diduga sebelumnya oleh Imam Husain as. Kata-kata ini mengundang ‎kegeraman beliau. Beliau memerintahkan para pengikutnya untuk membongkar kembali tenda-tenda ‎yang terpasang kemudian bergerak lagi sambil mengendarai kuda-kuda mereka. Perintah Imam Husain ‎as pun mereka laksanakan. Namun begitu hendak bergerak, jalan rombongan Imam Husain as dihadang ‎oleh pasukan Hur.‎
‎"Semoga kematianmu menimpa ibu, hai Hur, apa yang kamu inginkan dari kami?" Seru Imam Husain ‎as gusar.‎
‎"Engkau menyebut-nyebut ibumu, seandainya bukan engkau, aku pasti juga mengucapkan kata-kata ‎yang sama, tapi aku tahu ibumu adalah wanita yang sangat patut dimuliakan." Kata Hur.‎
‎"Lantas apa maumu?" Tanya Imam lagi.‎
‎"Aku ingin kamu bersamaku untuk datang kepada Ibnu Ziyad."‎
‎"Aku tidak akan pernah bersamamu."‎
‎"Aku ditugaskan supaya tidak melepaskanmu kecuali setelah kamu aku bawa ke Kufah dan aku ‎serahkan kepada Ibnu Ziyad. Wahai Husain, demi Allah, jagalah jiwamu, aku yakin engkau akan ‎terbunuh jika kamu berperang."‎
‎"Apakah kamu hendak menakut-nakuti dengan kematian, dan apakah urusan kalian akan selesai jika ‎aku terbunuh?! Aku akan pergi dan kematian bukanlah sesuatu yang hina bagi seorang ksatria apabila ‎kebenaran sudah diniatkan, perang dilakukan demi Islam, jiwa dikorbankan di atas jalan orang-orang ‎yang salih, dan diri terpisah dari orang-orang yang celaka dan para pendurhaka."‎
Kata-kata Imam Husain ini mulai menyentuh hati Hur. Hur mendekati Imam Husain as sambil ‎memerintahkan pasukan bergerak mengikuti perjalanan beliau. Selama perjalanan terjadi dialog antara ‎beliau dan Hur hingga ketika sampai di lembah Baidhah beliau mengatakan: "Kalau kamu hendak ‎berperang denganku maka aku siap berduel denganmu."‎
Hur menjawab: "Aku tidak ditugaskan berperang denganmu. Aku hanya ditugaskan menyerahkan ‎dirimu kepada Darul Imarah. Jika engkau tidak berkenan ikut aku ke Kufah, maka silahkan engkau ‎kembali ke Madinah atau kota lain agar aku bisa bebas dari beban tanggungjawabku. Kalau tidak, maka ‎aku akan menuliskan surat kepada Ibnu Ziyad agar dia menentukan apa yang harus aku lakukan."‎
Di lembah ini semua rombongan berhenti, dan keduanya pun kembali ke perkemahan masing-masing.
Sakinah puteri Imam Husain mengisahkan: "Dari dalam tenda aku mendengar suara seseorang tersedu ‎menangis sehingga aku keluar tanpa sepengetahuan siapapun. Aku mendatangi ayahku, dan ternyata ‎ayahkulah yang menangis di depan para sahabatnya. Kepada mereka ayahku berkata: 'Kalian telah ‎keluar bersamaku, dan kalian berpikir aku pergi kepada suatu umat yang akan membaiatku dengan ‎lisan dan hati yang tulus. Namun umat itu sekarang sudah berubah, setan telah memperdayai mereka, ‎mereka melupakan Allah, yang terpikir di benak mereka sekarang terbunuhnya aku dan orang-orang ‎yang bersamaku untuk berjihad di jalanku serta tertawannya kaum wanita dan anak-anakku.Yang aku ‎khawatirkan sekarang ialah jangan-jangan kalian tidak tahu apakah akibat dari apa yang kita lakukan ‎ini. ‎
Oleh sebab itu, sekarang aku bebaskan kalian untuk pergi mengurungkan perjalanan ini jika kalian ‎kecewa terhadap perjalanan ini. Sedangkan untuk kalian yang masih ingin siap berkorban bersamaku, ‎ketahuilah bahwa penderitaan ini akan diganti kelak dengan gemerlapnya surga. Ketahuilah bahwa ‎kakekku Rasulullah pernah bersabda:
‎"Puteraku Husain akan terbunuh di padang Karbala dalam keadaan terasing seorang diri. Barangsiapa ‎yang menolongnya, maka dia telah menolongku, dan barangsiapa yang menolongku, maka dia ‎menolong putera keturunan Husain yaitu Al-Qaim dari keluarga Muhammad, dan barang siapa yang ‎menolong kami, maka pada hari kiamat nanti dia akan dimasukkan ke dalam golonganku.'"‎
Sakinah melanjutkan, "Demi Allah, setelah mendengar pernyataan itu, para pengikut beliau banyak ‎yang memisahkan diri sehingga tinggal sekitar 70-an orang. Aku mendatangi ayahku dengan hati yang ‎sangat kesal dan kecewa. Aku rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya, namun akhirnya hanya bisa ‎menengadahkan wajahku ke langit sambil berdoa: Ya Allah, sesungguhnya mereka telah menyia-‎nyiakan kami, maka sia-siakanlah mereka. Janganlah Engkau gemakan suara mereka ke langit, ‎janganlah Engkau anugerahi mereka tempat dan kehormatan di muka bumi, timpakanlah kepada ‎mereka kemiskinan hingga di liang lahat, jangan Engkau curahkan kepada mereka syafaat kakek kami ‎pada hari kiamat. Kabulkan doa orang yang suci dari noda dan dosa."‎
Sehari kemudian, seorang pengendara onta dari Kufah datang menghadap Hur sambil menyerahkan ‎surat balasan dari Ubaidillah yang memerintahkan supaya bersikap keras dan angkuh kepada Imam ‎Husain as dan menggiring beliau ke padang sahara yang tandus hingga Ubaidilah mengirim balatentara ‎bantuan. Hur memberitahu Imam Husain as isi surat ini.‎
Mendengar pernyataan yang tertera dalam surat Ubaidillah, seorang sahabat Imam Husain as yang ‎bernama Yazid bin Muhajir Al-Kindi berseru kepada utusan Ibnu Ziyad: "Semoga ibumu meratapi ‎kematianmu, betapa celakanya isi surat yang kamu bawa itu!"‎
Utusan itu menjawab: "Aku mematuhi perintah imamku. Apa saja yang diperintahkannya akan aku ‎laksanakan."‎
Muhajir berseru lagi: "Kamu telah durhaka kepada Tuhanmu, karenanya api jahanam layak ‎membakarmu."‎
Salah seorang sahabat Imam Husain lainnya ikut menimpali. "Wahai putera Rasul!" Seru sahabat ‎bernama Zuhair bin AlQein itu. "Izinkan aku berperang sekarang juga dengan orang-orang ini sampai ‎mereka tak berkutik."‎
Imam menjawab: "Aku tidak berniat memulai perang, aku ingin menuntaskan hujjahku kepada ‎mereka."‎
Sahabat Imam Husain lainnya, Birrin bin Khudair ikut berseru: "Demi Allah, kami akan berjihad ‎membelamu walaupun tubuh kami akan tercincang."‎
Imam Husain as kemudian menyampaikan khutbahnya yang dikenal dengan khutbah Al-Gharra'ii ‎untuk menjelaskan tujuan-tujuan beliau. Dalam khutbah ini, setelah memanjatkan puji syukur kepada ‎Allah, Imam Husain berkata: ‎
‎"Sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda: ‘Barangsiapa mendapati penguasa zalim yang ‎menghalalkan apa yang diharamkan Allah, melanggar janjinya, menentang sunnah Rasulullah, ‎memperlakukan hamba-hamba Allah dengan dosa dan aniaya, tetapi dia tidak menentangnya dengan ‎tindakan maupun kata-kata, maka Allah berhak memasukannya ke (neraka) tempat orang zalim itu ‎disemayamkan." ‎
Beberapa lama kemudian, kedua rombongan Imam Husain dan Hur bergerak. Ketika tiba di suatu ‎gurun sahara bernama Nainawa, Imam Husain as meminta supaya berhenti, tetapi Hur menolaknya. ‎Hur berkata: "Aku tidak mengizinkanmu berhenti di sini, sebab utusan sang Amir datang untuk ‎mengawasi keadaan. Karenanya, di depan utusan itu mau tidak mau aku harus melaksanakan segala ‎perintahnya."‎
Kedua pasukan hak dan pasukan batil bergerak lagi hingga sampai di suatu daerah bernama Karbala ‎pada tanggal 2 Muharram 61 Hijriah, sebuah daerah yang dialiri sungai Eufrat.‎
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: