Tak lama setelah memasang tenda, rombongan Imam Husain as didatangi seribu pasukan kuda yang dipimpin oleh Hur bin Yazid Arrayahi. Pasukan yang tampak siap berperang itu berjajar di depan Imam Husain dan para sahabatnya yang juga siap bertempur dengan mengikatkan sarung pedang masing-masing dipinggang.
Gurun
sahara semakin memanas. Matahari memanggang setiap kepala. Imam Husain
dan para sahabatnya memerintahkan para pengikutnya supaya air yang
masih tersisa diminum dan minumkan kepada kuda-kuda mereka. Hingga
tengah hari itu suasana yang masih relatif tenang. Begitu waktu solat
dhuhur tiba, Imam memerintah seorang pengikutnya yang bernama Hajjaj bin
Masruq al-Ja'fi untuk mengumandang azan. Seusai azan, beliau berdiri
di depan pasukan Hur untuk menyampaikan suatu kata kepada mereka yang
beliau pandang sebagai orang-orang Kufah tersebut.
"Hai
orang-orang!" Seru Imam Husain setelah menyatakan pujian kepada Allah
dan salawat kepada rasul-Nya. "Aku tidaklah kepada kalian kecuali
setelah aku didatangi surat-surat dari kalian. Kalian, orang-orang
Kufah, telah mengundangku. Kalian memintaku datang karena kalian merasa
tidak memiliki pemimpin, dan agar kemudian membimbing kalian kepada
jalan yang benar. Oleh sebab inilah aku pun bergerak ke arah kalian.
Kini aku telah datang. Jika kalian masih berpegang pada janji kalian,
maka aku akan menetap bersama kalian. Jika tidak, maka aku akan kembali
ke negeriku."
Rombongan
pasukan berkuda yang diajak bicara oleh Imam Husain as itu terdiam
seribu basa. Tak ada seorang yang angkat bicara. Beliau kemudian
memerintahkan muazzin tadi untuk mengumandangkan iqamah setelah meminta
Hur supaya menunaikan solat bersama pasukannya sebagai Imam Husain as
juga solat bersama para pengikut setianya. Uniknya, Hur menolak solat
sendiri. Dia meminta solat berjamaah di belakang beliau. Kedua
rombongan kemudian bergabung dalam solat dhuhur berjamaah yang dipimpin
Imam Husain as.
Seusai
solat, kedua rombongan itu kembali ke perkemahan masing-masing.
Beberapa lama kemudian kedua rombongan ini bergabung kembali untuk
menunaikan solat asar berjemaah dipimpin oleh Imam Husain as. Seusai
solat asar, beliau mengutarakan khutbah yang diawali dengan pujian
kepada Allah dan disusul dengan pernyataan sebagai berikut:
"Amma
bakdu. Hai orang-orang, sesungguhnya kalian pasti akan diridhai Allah
jika kalian memang bertakwa dan mengerti siapakah yang layak memegang
hak (untuk memimpin umat), dan (ketahuilah) bahwa kami, Ahlul Bait
Muhammad saww, adalah orang lebih layak memimpin kalian daripada mereka
yang mengaku layak tetapi sebenarnya tidak memiliki kelayakan dan
mereka yang telah menggerakkan kezaliman dan rasa permusuhan (terhadap
kami). Jika kalian tidak mengerti hal ini dan hanya memahami kebencian
kepada kami, tidak mengetahui hak kami, dan kata-kata kalian sekarang
sudah tidak seperti yang kalian katakan dalam surat-surat kalian yang
telah datang menyerbuku bersama para utusan kalian, maka aku akan pergi
meninggalkan kalian."
Hur menjawab: "Aku tidak tahu menahu tentang surat-surat yang engkau katakan itu."
Imam
Husain as memerintahkan Aqabah bin Sam'an untuk mengambil surat-surat
itu supaya diperlihatkan kepada Hur. Setelah melihat surat-surat itu,
Hur mengatakan: "Aku bukan bagian dari mereka yang mengirim surat-surat
itu kepadamu. Aku hanya diperintahkan untuk menyosong balatentaramu
dan menggiringmu hingga kamu menyerah di depan Ubaidillah bin Ziyad."
Kata-kata
Hur rupanya tak diduga sebelumnya oleh Imam Husain as. Kata-kata ini
mengundang kegeraman beliau. Beliau memerintahkan para pengikutnya
untuk membongkar kembali tenda-tenda yang terpasang kemudian bergerak
lagi sambil mengendarai kuda-kuda mereka. Perintah Imam Husain as pun
mereka laksanakan. Namun begitu hendak bergerak, jalan rombongan Imam
Husain as dihadang oleh pasukan Hur.
"Semoga kematianmu menimpa ibu, hai Hur, apa yang kamu inginkan dari kami?" Seru Imam Husain as gusar.
"Engkau
menyebut-nyebut ibumu, seandainya bukan engkau, aku pasti juga
mengucapkan kata-kata yang sama, tapi aku tahu ibumu adalah wanita yang
sangat patut dimuliakan." Kata Hur.
"Lantas apa maumu?" Tanya Imam lagi.
"Aku ingin kamu bersamaku untuk datang kepada Ibnu Ziyad."
"Aku tidak akan pernah bersamamu."
"Aku
ditugaskan supaya tidak melepaskanmu kecuali setelah kamu aku bawa ke
Kufah dan aku serahkan kepada Ibnu Ziyad. Wahai Husain, demi Allah,
jagalah jiwamu, aku yakin engkau akan terbunuh jika kamu berperang."
"Apakah
kamu hendak menakut-nakuti dengan kematian, dan apakah urusan kalian
akan selesai jika aku terbunuh?! Aku akan pergi dan kematian bukanlah
sesuatu yang hina bagi seorang ksatria apabila kebenaran sudah
diniatkan, perang dilakukan demi Islam, jiwa dikorbankan di atas jalan
orang-orang yang salih, dan diri terpisah dari orang-orang yang celaka
dan para pendurhaka."
Kata-kata
Imam Husain ini mulai menyentuh hati Hur. Hur mendekati Imam Husain as
sambil memerintahkan pasukan bergerak mengikuti perjalanan beliau.
Selama perjalanan terjadi dialog antara beliau dan Hur hingga ketika
sampai di lembah Baidhah beliau mengatakan: "Kalau kamu hendak
berperang denganku maka aku siap berduel denganmu."
Hur
menjawab: "Aku tidak ditugaskan berperang denganmu. Aku hanya
ditugaskan menyerahkan dirimu kepada Darul Imarah. Jika engkau tidak
berkenan ikut aku ke Kufah, maka silahkan engkau kembali ke Madinah
atau kota lain agar aku bisa bebas dari beban tanggungjawabku. Kalau
tidak, maka aku akan menuliskan surat kepada Ibnu Ziyad agar dia
menentukan apa yang harus aku lakukan."
Di lembah ini semua rombongan berhenti, dan keduanya pun kembali ke perkemahan masing-masing.
Sakinah
puteri Imam Husain mengisahkan: "Dari dalam tenda aku mendengar suara
seseorang tersedu menangis sehingga aku keluar tanpa sepengetahuan
siapapun. Aku mendatangi ayahku, dan ternyata ayahkulah yang menangis
di depan para sahabatnya. Kepada mereka ayahku berkata: 'Kalian telah
keluar bersamaku, dan kalian berpikir aku pergi kepada suatu umat yang
akan membaiatku dengan lisan dan hati yang tulus. Namun umat itu
sekarang sudah berubah, setan telah memperdayai mereka, mereka
melupakan Allah, yang terpikir di benak mereka sekarang terbunuhnya aku
dan orang-orang yang bersamaku untuk berjihad di jalanku serta
tertawannya kaum wanita dan anak-anakku.Yang aku khawatirkan sekarang
ialah jangan-jangan kalian tidak tahu apakah akibat dari apa yang kita
lakukan ini.
Oleh
sebab itu, sekarang aku bebaskan kalian untuk pergi mengurungkan
perjalanan ini jika kalian kecewa terhadap perjalanan ini. Sedangkan
untuk kalian yang masih ingin siap berkorban bersamaku, ketahuilah
bahwa penderitaan ini akan diganti kelak dengan gemerlapnya surga.
Ketahuilah bahwa kakekku Rasulullah pernah bersabda:
"Puteraku
Husain akan terbunuh di padang Karbala dalam keadaan terasing seorang
diri. Barangsiapa yang menolongnya, maka dia telah menolongku, dan
barangsiapa yang menolongku, maka dia menolong putera keturunan Husain
yaitu Al-Qaim dari keluarga Muhammad, dan barang siapa yang menolong
kami, maka pada hari kiamat nanti dia akan dimasukkan ke dalam
golonganku.'"
Sakinah
melanjutkan, "Demi Allah, setelah mendengar pernyataan itu, para
pengikut beliau banyak yang memisahkan diri sehingga tinggal sekitar
70-an orang. Aku mendatangi ayahku dengan hati yang sangat kesal dan
kecewa. Aku rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya, namun akhirnya
hanya bisa menengadahkan wajahku ke langit sambil berdoa: Ya Allah,
sesungguhnya mereka telah menyia-nyiakan kami, maka sia-siakanlah
mereka. Janganlah Engkau gemakan suara mereka ke langit, janganlah
Engkau anugerahi mereka tempat dan kehormatan di muka bumi, timpakanlah
kepada mereka kemiskinan hingga di liang lahat, jangan Engkau curahkan
kepada mereka syafaat kakek kami pada hari kiamat. Kabulkan doa orang
yang suci dari noda dan dosa."
Sehari
kemudian, seorang pengendara onta dari Kufah datang menghadap Hur
sambil menyerahkan surat balasan dari Ubaidillah yang memerintahkan
supaya bersikap keras dan angkuh kepada Imam Husain as dan menggiring
beliau ke padang sahara yang tandus hingga Ubaidilah mengirim
balatentara bantuan. Hur memberitahu Imam Husain as isi surat ini.
Mendengar
pernyataan yang tertera dalam surat Ubaidillah, seorang sahabat Imam
Husain as yang bernama Yazid bin Muhajir Al-Kindi berseru kepada utusan
Ibnu Ziyad: "Semoga ibumu meratapi kematianmu, betapa celakanya isi
surat yang kamu bawa itu!"
Utusan itu menjawab: "Aku mematuhi perintah imamku. Apa saja yang diperintahkannya akan aku laksanakan."
Muhajir berseru lagi: "Kamu telah durhaka kepada Tuhanmu, karenanya api jahanam layak membakarmu."
Salah
seorang sahabat Imam Husain lainnya ikut menimpali. "Wahai putera
Rasul!" Seru sahabat bernama Zuhair bin AlQein itu. "Izinkan aku
berperang sekarang juga dengan orang-orang ini sampai mereka tak
berkutik."
Imam menjawab: "Aku tidak berniat memulai perang, aku ingin menuntaskan hujjahku kepada mereka."
Sahabat
Imam Husain lainnya, Birrin bin Khudair ikut berseru: "Demi Allah, kami
akan berjihad membelamu walaupun tubuh kami akan tercincang."
Imam
Husain as kemudian menyampaikan khutbahnya yang dikenal dengan khutbah
Al-Gharra'ii untuk menjelaskan tujuan-tujuan beliau. Dalam khutbah ini,
setelah memanjatkan puji syukur kepada Allah, Imam Husain berkata:
"Sesungguhnya
Rasulullah pernah bersabda: ‘Barangsiapa mendapati penguasa zalim yang
menghalalkan apa yang diharamkan Allah, melanggar janjinya, menentang
sunnah Rasulullah, memperlakukan hamba-hamba Allah dengan dosa dan
aniaya, tetapi dia tidak menentangnya dengan tindakan maupun kata-kata,
maka Allah berhak memasukannya ke (neraka) tempat orang zalim itu
disemayamkan."
Beberapa
lama kemudian, kedua rombongan Imam Husain dan Hur bergerak. Ketika
tiba di suatu gurun sahara bernama Nainawa, Imam Husain as meminta
supaya berhenti, tetapi Hur menolaknya. Hur berkata: "Aku tidak
mengizinkanmu berhenti di sini, sebab utusan sang Amir datang untuk
mengawasi keadaan. Karenanya, di depan utusan itu mau tidak mau aku
harus melaksanakan segala perintahnya."
Kedua
pasukan hak dan pasukan batil bergerak lagi hingga sampai di suatu
daerah bernama Karbala pada tanggal 2 Muharram 61 Hijriah, sebuah
daerah yang dialiri sungai Eufrat.