Setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia se-Dunia. Penetapan tanggal 10 Desember sebagai Hari Hak Asasi Manusia mengacu pada tanggal pengesahan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration on Human Rights) 10 December 1948 at Palais de Chaillot, Paris.Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) sendiri adalah saripati dari pengalaman pahit Perang Dunia kedua dan merepresentasikan ekpsresi global pertama atas hak yang secara inheren melekat pada setiap individu manusia.
DUHAM dirancang oleh John Peters Humphrey (April 30, 1905 – March 14,
1995) seorang pembela hak asasi manusia sekaligus anggota dari Komisi
Hak Asasi Manusia PBB (sejak 2006, Komisi ini menjadi Dewan HAM PBB).
Selain John Humphrey, tokoh-tokoh yang berjasa dalam perumusan DUHAM
adalah Eleanor Roosevelt dari Amerika Serikat, Jacques Maritain dan Rene
Cassin dari Perancis, Charles Malik dari Lebanon, dan PC Chang dari
China.
DUHAM terdiri dari 30 artikel (pasal) yang telah dielaborasi dan diturunkan ke dalam berbagai perjanjian internasional, instrumen-instrumen regional hak asasi manusia, serta konstitusi dan hukum nasional. DUHAM komitmen yang tidak mengikat (non-binding), yang mana penerapannya bergantung pada political will dari negara-negara anggota PBB yang sudah menandatangani dan meratifikasi deklarasi tersebut.
DUHAM beserta Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (the International Covenant on Civil and Political Rights) dan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) yang disahkan tahun 1966 berikut dengan optional protocol-nya kemudian secara informal disebut sebagai International Bill of Human Rights (Hukum HAM Internasional).
Secara sederhana, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki oleh setiap umat manusia sejak terlahir di dunia. Hak tersebut menyatu dalam diri seseorang tanpa mengenal bangsa, warna kulit, agama, afiliasi politik dan lain-lainnya. Semua orang terlahir dengan hak yang sama tanpa pengecualian.
Menurut Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Sementara, Undang-Undang No. 39/1999 tentang HAM menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Meski banyak negara dunia yang membubuhkan tanda tangan di deklarasi dunia HAM, namun sangat disayangkan dalam prakteknya setiap hari kita masih menyaksikan pelanggaran nyata terhadap HAM di seluruh dunia. Hak hidup merupakan hak utama manusia. Kehidupan adalah anugerah Allah Swt yang diberikan kepada manusia dan tidak ada yang berhak mengambilnya dari orang lain. Prinsip ketiga deklarasi dunia HAM menyebutkan, setiap manusia berhak untuk hidup, bebas dan memiliki keamanan individu. Di butir ke 22 juga ditekankan keamanan sosial.
Meski kepemilikan keamanan sebagai salah satu hak yang diakui, namun berbagai berita yang dirilis setiap hari menunjukkan adanya perang dan instabilitas di berbagai belahan dunia. Di kawasan Timur Tengah, Israel merupakan pihak yang paling nyata sebagai penebar kezaliman dan pelanggar hak asasi manusia. Hampir 70 tahun, mesin-mesin pembantai manusia rezim ilegal Israel aktif melakukan kejahatan dan pelanggaran hak dasar warga tertindas Palestina. Rezim Zionis Israel menduduki wilayah Palestina dan memaksa warganya mengungsi serta meninggalkan rumah-rumah mereka.
Sementara itu, kebungkaman dan sikap pasif masyarakat internasional terhadap kejahatan rezim Zionis telah mendorong peningkatan kejahatan tersebut. Kini pemukim Zionis dengan dukungan tentara Israel dengan leluasa melukai atau membantai warga sipil Palestina. Di sisi lain, ribuan warga Palestina yang mendekam di penjara-penjara Israel mendapat perlakuan sadis dan terus disiksa. Bahkan terkadang militer rezim penjajah ini dengan buas melakukan pembantaian massal warga Palestina khususnya di Jalur Gaza.
Adapun Suriah sendiri kondisinya pun tak menentu. Setelah koalisi negara-negara Arab dengan Barat untuk menumbangkan Presiden Bashar al-Assad, karena menentang rezim Zionis Israel, Suriah menjadi pusat kelompok teroris internasional. Kelompok teroris seperti ISIS dan Front al-Nusra di mana warga Eropa yang bergabung dengan mereka jumlahnya pun tidak sedikit, telah melakukan kejahatan paling sadis dan pelanggaran luas HAM di negara ini. Menakut-nakuti warga, melecehkan perempuan dan hak anak-anak, membantai warga tak berdosa, menyembelih orang serta ribuan kejahatan lain yang dewasa ini disebarkan di dunia maya, dengan baik menunjukkan barbarisme dan kebuasan kelompok teroris dukungan Barat ini.
Akibat serangan brutal ISIS di Irak, warga negara ini juga menghadapi beragam kesulitan dan penderitaan. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 21 Juli, ISIS didakwa telah melakukan kejahatan sadis terhadap warga dan kejahatan anti kemanusiaan. Pelecehan dan ragam lain kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak gadis, memaksa anak-anak wajib militer, penculikan, eksekusi, pencurian, perampokan tempat-tempat ibadah atau bersejarah termasuk kekejaman terhadap warga yang dilakukan oleh ISIS.
Navi Pillay, komisaris tinggi Dewan HAM PBB dalam pidatonya menyatakan, “...Setiap hari kami mendapat laporan kejahatan dan kekejaman seperti pelanggaran HAM terhadap anak, perempuan dan warga sipil Irak. Mereka ini tidak mendapat rasa aman. Mereka telah kehilangan mata pencaharian, rumah, pendidikan, kesehatan dan berbagai fasilitas dasar lainnya.”
Kajian historis menunjukkan bahwa pelanggaran HAM tidak pernah berhenti sepanjang zaman, namun mengalami perubahan dan bentuknya semakin beragam. Jika di masa lalu, rezim despotik melanggar hak-hak manusia, maka dewasa ini pemerintah Barat dengan slogan liberalisme dan demokrasi telah memaksa warga kehilangan hak-haknya yang paling dasar sekali pun. Misalnya, meski aksi diskriminasi karena etnis dan warna kulit dilarang, namun kita saat ini menyaksikan bahwa warga kulit hitam Amerika Serikat menjadi mangsa kebencian sosial dan tertuduh utama setiap kejahatan yang belum terbukti.
Peristiwa di kota Ferguson AS, pembunuhan pemuda kulit hitam oleh polisi kulit putih, pengobaran ketakutan serta penebaran ancaman di berbagai media kepada warga kulit hitam serta diskriminasi pekerjaan hanya sekelumit dari kezaliman yang dipaksakan kepada etnis kulit hitam ini. Pembebasan polisi pelaku penembakan pemuda kulit hitam, menunjukkan pelanggaran sistematis hak-hak kaum kulit hitam serta maraknya ketidakadilan di sistem pengadilan Amerika. Isu ini mengindikasikan bahwa harapan penyelidikan yang adil terhadap pengaduan warga kulit hitam terhadap polisi di sistem pengadilan Amerika merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan.
Ini bukan pertama dan terakhir dari kasus diskriminasi luas terhadap warga kulit hitam. Hanya sejak bulan Juli 2014 hingga kini, tercatat empat warga kulit hitam mati di tangan polisi Amerika. Adapun ketidakadilan dan diskriminasi dalam sistem peradilan Amerika yang seharusnya menjadi tempat bernaung warga dalam memulihkan hak-haknya serta menyelidiki pengaduan mereka berubah menjadi sangat mengenaskan. Perilaku keras polisi Amerika dan serangan terhadap demonstran yang membela sesamanya serta membela hak-haknya, dan penangkapan luas mereka merupakan bukti nyata pelanggaran HAM termasuk kebebasan berpendapat dan hak untuk melakukan aksi demo damai.
Pelanggaran hak manusia khususnya kaum imigran, kekerasan terhadap perempuan dan penyelundupan manusia juga sangat marak di Amerika dan Eropa. Misalnya saat ini banyak imigran asing di Inggris yang bekerja sehari penuh dan tanpa gaji yang memadai. Banyak perempuan dan anak-anak yang diselundupkan ke negara ini secara ilegal dan mendapat pelecehan seksual serta penyiksaan fisik oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Di sisi lain, pemerintah Barat yang mengklaim sebagai pelopor kebebasan dan HAM serta senantiasa meneriakkan slogan seperti demokrasi, HAM dan penghormatan terhadap hak-hak warga ternyata berusaha untuk menguasai bangsa lain. Masih segar dalam ingatan kita mengenai agresi militer AS ke Vietnam, Afghanistan dan Irak serta kondisi penjara Guantanamo dan Abu Ghraib. Jika kita ingin mengkaji satu persatu 30 butir deklarasi HAM dan kondisi manusia di dunia terkait hak-hak dikukuhkan bagi mereka, maka akan dibutuhkan waktu yang panjang.
Laporan PBB dan Dewan HAM yang bertanggung jawab menjaga prinsip-prinsip HAM hanya menyebutkan sekelumit dari pelanggaran hak asai manusia yang ada. Filsafat penerapan mekanisme kajian UPR juga dimaksudkan untuk membahas kasus pelanggaran HAM di seluruh negara dunia. Meski hal ini terkadang jauh dari misi HAM yang ada dan menjadi alat permainan politik negara-negara kuat. Negara-negara Barat dan sejumlah negara yang sehaluan dengan mereka tidak pernah diseret ke meja hijau pengadilan internasional untuk diadili karena pelanggaran HAM terhadap hak warganya. Selain itu, tidak pernah ada resolusi yang mengecam mereka.
Baru-baru ini, kita menyaksikan pembebasan penuh diktator terguling Mesir, Hosni Mubarak dari segala tuduhan pelanggaran HAM. Mubarak yang selama tiga dekade kepemimpinannya telah menumpas warganya, bahkan tidak divonis melakukan pembantaian luas terhadap demonstran Mesir saat meletusnya revolusi rakyat di negara ini. Pengadilan yang berafiliasi dengan militer pro Mubarak telah membebaskan mantan diktator Mesir ini. Vonis ini sama halnya guyuran air dingin terhadap cita-cita dan perjuangan revolusioner Mesir yang menuntut kebebasan. Sementara itu, hingga kini belum ada reaksi langsung dari Barat dan lembaga HAM internasional terhadap vonis tak adil tersebut.
Hari ini, 10 Desember yang diperingati sebagai hari HAM sedunia tengah dirayakan di saat aksi pelanggaran hak asasi manusia di seluruh dunia masih terus berlanjut dan bahkan semakin menjadi-jadi. (IRIB Indonesia)
DUHAM terdiri dari 30 artikel (pasal) yang telah dielaborasi dan diturunkan ke dalam berbagai perjanjian internasional, instrumen-instrumen regional hak asasi manusia, serta konstitusi dan hukum nasional. DUHAM komitmen yang tidak mengikat (non-binding), yang mana penerapannya bergantung pada political will dari negara-negara anggota PBB yang sudah menandatangani dan meratifikasi deklarasi tersebut.
DUHAM beserta Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (the International Covenant on Civil and Political Rights) dan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) yang disahkan tahun 1966 berikut dengan optional protocol-nya kemudian secara informal disebut sebagai International Bill of Human Rights (Hukum HAM Internasional).
Secara sederhana, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki oleh setiap umat manusia sejak terlahir di dunia. Hak tersebut menyatu dalam diri seseorang tanpa mengenal bangsa, warna kulit, agama, afiliasi politik dan lain-lainnya. Semua orang terlahir dengan hak yang sama tanpa pengecualian.
Menurut Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Sementara, Undang-Undang No. 39/1999 tentang HAM menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Meski banyak negara dunia yang membubuhkan tanda tangan di deklarasi dunia HAM, namun sangat disayangkan dalam prakteknya setiap hari kita masih menyaksikan pelanggaran nyata terhadap HAM di seluruh dunia. Hak hidup merupakan hak utama manusia. Kehidupan adalah anugerah Allah Swt yang diberikan kepada manusia dan tidak ada yang berhak mengambilnya dari orang lain. Prinsip ketiga deklarasi dunia HAM menyebutkan, setiap manusia berhak untuk hidup, bebas dan memiliki keamanan individu. Di butir ke 22 juga ditekankan keamanan sosial.
Meski kepemilikan keamanan sebagai salah satu hak yang diakui, namun berbagai berita yang dirilis setiap hari menunjukkan adanya perang dan instabilitas di berbagai belahan dunia. Di kawasan Timur Tengah, Israel merupakan pihak yang paling nyata sebagai penebar kezaliman dan pelanggar hak asasi manusia. Hampir 70 tahun, mesin-mesin pembantai manusia rezim ilegal Israel aktif melakukan kejahatan dan pelanggaran hak dasar warga tertindas Palestina. Rezim Zionis Israel menduduki wilayah Palestina dan memaksa warganya mengungsi serta meninggalkan rumah-rumah mereka.
Sementara itu, kebungkaman dan sikap pasif masyarakat internasional terhadap kejahatan rezim Zionis telah mendorong peningkatan kejahatan tersebut. Kini pemukim Zionis dengan dukungan tentara Israel dengan leluasa melukai atau membantai warga sipil Palestina. Di sisi lain, ribuan warga Palestina yang mendekam di penjara-penjara Israel mendapat perlakuan sadis dan terus disiksa. Bahkan terkadang militer rezim penjajah ini dengan buas melakukan pembantaian massal warga Palestina khususnya di Jalur Gaza.
Adapun Suriah sendiri kondisinya pun tak menentu. Setelah koalisi negara-negara Arab dengan Barat untuk menumbangkan Presiden Bashar al-Assad, karena menentang rezim Zionis Israel, Suriah menjadi pusat kelompok teroris internasional. Kelompok teroris seperti ISIS dan Front al-Nusra di mana warga Eropa yang bergabung dengan mereka jumlahnya pun tidak sedikit, telah melakukan kejahatan paling sadis dan pelanggaran luas HAM di negara ini. Menakut-nakuti warga, melecehkan perempuan dan hak anak-anak, membantai warga tak berdosa, menyembelih orang serta ribuan kejahatan lain yang dewasa ini disebarkan di dunia maya, dengan baik menunjukkan barbarisme dan kebuasan kelompok teroris dukungan Barat ini.
Akibat serangan brutal ISIS di Irak, warga negara ini juga menghadapi beragam kesulitan dan penderitaan. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 21 Juli, ISIS didakwa telah melakukan kejahatan sadis terhadap warga dan kejahatan anti kemanusiaan. Pelecehan dan ragam lain kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak gadis, memaksa anak-anak wajib militer, penculikan, eksekusi, pencurian, perampokan tempat-tempat ibadah atau bersejarah termasuk kekejaman terhadap warga yang dilakukan oleh ISIS.
Navi Pillay, komisaris tinggi Dewan HAM PBB dalam pidatonya menyatakan, “...Setiap hari kami mendapat laporan kejahatan dan kekejaman seperti pelanggaran HAM terhadap anak, perempuan dan warga sipil Irak. Mereka ini tidak mendapat rasa aman. Mereka telah kehilangan mata pencaharian, rumah, pendidikan, kesehatan dan berbagai fasilitas dasar lainnya.”
Kajian historis menunjukkan bahwa pelanggaran HAM tidak pernah berhenti sepanjang zaman, namun mengalami perubahan dan bentuknya semakin beragam. Jika di masa lalu, rezim despotik melanggar hak-hak manusia, maka dewasa ini pemerintah Barat dengan slogan liberalisme dan demokrasi telah memaksa warga kehilangan hak-haknya yang paling dasar sekali pun. Misalnya, meski aksi diskriminasi karena etnis dan warna kulit dilarang, namun kita saat ini menyaksikan bahwa warga kulit hitam Amerika Serikat menjadi mangsa kebencian sosial dan tertuduh utama setiap kejahatan yang belum terbukti.
Peristiwa di kota Ferguson AS, pembunuhan pemuda kulit hitam oleh polisi kulit putih, pengobaran ketakutan serta penebaran ancaman di berbagai media kepada warga kulit hitam serta diskriminasi pekerjaan hanya sekelumit dari kezaliman yang dipaksakan kepada etnis kulit hitam ini. Pembebasan polisi pelaku penembakan pemuda kulit hitam, menunjukkan pelanggaran sistematis hak-hak kaum kulit hitam serta maraknya ketidakadilan di sistem pengadilan Amerika. Isu ini mengindikasikan bahwa harapan penyelidikan yang adil terhadap pengaduan warga kulit hitam terhadap polisi di sistem pengadilan Amerika merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan.
Ini bukan pertama dan terakhir dari kasus diskriminasi luas terhadap warga kulit hitam. Hanya sejak bulan Juli 2014 hingga kini, tercatat empat warga kulit hitam mati di tangan polisi Amerika. Adapun ketidakadilan dan diskriminasi dalam sistem peradilan Amerika yang seharusnya menjadi tempat bernaung warga dalam memulihkan hak-haknya serta menyelidiki pengaduan mereka berubah menjadi sangat mengenaskan. Perilaku keras polisi Amerika dan serangan terhadap demonstran yang membela sesamanya serta membela hak-haknya, dan penangkapan luas mereka merupakan bukti nyata pelanggaran HAM termasuk kebebasan berpendapat dan hak untuk melakukan aksi demo damai.
Pelanggaran hak manusia khususnya kaum imigran, kekerasan terhadap perempuan dan penyelundupan manusia juga sangat marak di Amerika dan Eropa. Misalnya saat ini banyak imigran asing di Inggris yang bekerja sehari penuh dan tanpa gaji yang memadai. Banyak perempuan dan anak-anak yang diselundupkan ke negara ini secara ilegal dan mendapat pelecehan seksual serta penyiksaan fisik oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Di sisi lain, pemerintah Barat yang mengklaim sebagai pelopor kebebasan dan HAM serta senantiasa meneriakkan slogan seperti demokrasi, HAM dan penghormatan terhadap hak-hak warga ternyata berusaha untuk menguasai bangsa lain. Masih segar dalam ingatan kita mengenai agresi militer AS ke Vietnam, Afghanistan dan Irak serta kondisi penjara Guantanamo dan Abu Ghraib. Jika kita ingin mengkaji satu persatu 30 butir deklarasi HAM dan kondisi manusia di dunia terkait hak-hak dikukuhkan bagi mereka, maka akan dibutuhkan waktu yang panjang.
Laporan PBB dan Dewan HAM yang bertanggung jawab menjaga prinsip-prinsip HAM hanya menyebutkan sekelumit dari pelanggaran hak asai manusia yang ada. Filsafat penerapan mekanisme kajian UPR juga dimaksudkan untuk membahas kasus pelanggaran HAM di seluruh negara dunia. Meski hal ini terkadang jauh dari misi HAM yang ada dan menjadi alat permainan politik negara-negara kuat. Negara-negara Barat dan sejumlah negara yang sehaluan dengan mereka tidak pernah diseret ke meja hijau pengadilan internasional untuk diadili karena pelanggaran HAM terhadap hak warganya. Selain itu, tidak pernah ada resolusi yang mengecam mereka.
Baru-baru ini, kita menyaksikan pembebasan penuh diktator terguling Mesir, Hosni Mubarak dari segala tuduhan pelanggaran HAM. Mubarak yang selama tiga dekade kepemimpinannya telah menumpas warganya, bahkan tidak divonis melakukan pembantaian luas terhadap demonstran Mesir saat meletusnya revolusi rakyat di negara ini. Pengadilan yang berafiliasi dengan militer pro Mubarak telah membebaskan mantan diktator Mesir ini. Vonis ini sama halnya guyuran air dingin terhadap cita-cita dan perjuangan revolusioner Mesir yang menuntut kebebasan. Sementara itu, hingga kini belum ada reaksi langsung dari Barat dan lembaga HAM internasional terhadap vonis tak adil tersebut.
Hari ini, 10 Desember yang diperingati sebagai hari HAM sedunia tengah dirayakan di saat aksi pelanggaran hak asasi manusia di seluruh dunia masih terus berlanjut dan bahkan semakin menjadi-jadi. (IRIB Indonesia)
Post a Comment
mohon gunakan email