Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS KELUARGA. Show all posts
Showing posts with label ABNS KELUARGA. Show all posts

Tahap-Tahap Perkembangan Keagamaan Pada Anak



“Allah itu dibikin dari apa Bun?” tanya Malik polos. Karena bingung, saya balik bertanya, ”Menurut Aik, Allah dibikin dari apa?” Tanpa ragu, ia menjawab, ”Dari angin Bun”. ”Wow dari angin? Batin saya kaget dengan jawabannya dan balas bertanya, ”Kenapa Allah terbuat dari angin Ik?” “Karena Angin nggak keliatan Bun, Allah juga nggak keliatan,” balas Malik. ‘Hmm…alasannya memang logis’, pikir saya.

Sebulan kemudian, Malik mendengar Lala, kakaknya, menangis sambil berkata betapa sayangnya ia kepada Allah. Malik pun langsung ikut bersuara soal Allah. “Allah ada disini ( sambil menunjuk lantai di sebelah Lala), disini (menunjuk hidungnya sendiri), dan disini (menunjuk pintu). Allah ada di semua,” katanya lucu. Lalu Malik menghampiri saya, ”Allah juga ada disini Bun,” katanya sambil menunjuk bola plastik transparan yang dipegangnya. “Tapi di dalam situ Allah bisa bernapas. ”Saya geli mendengarnya. “Oh menurut Aik begitu ya?” tanya saya. “Iya, Allah ada dimana-mana,” jawabnya yakin.

Suatu hari, Malik marah lantaran suami saya tak berhenti menggelitiki perutnya. ”Sebesar apa marahnya Aik ke ayah? tanya saya. ” Dari Belanda sampe Afrika. Eh, maksud Aik sebesar bumi!” jawab Malik. Tapi Lala membela ayahnya, ”Kalo mbak Lala, sayang sama ayah, sayangnya dari matahari sampai pluto.” Karena masih sangat marah, Malik pun menyahut galak, ”Aik marah sama ayah dari matahari sampai pluto!” Tapi, kalimatnya tak berhenti sampai disitu. Dengan semangat ia pun berkata, ”Dan Aik sayang sama Allah dari matahari sampai pluto!”

Agnes Tri Harjaningrum, seorang ibu rumah tangga menulis kisah keluarganya seperti di atas dalam blognya sebagai kenangan melihat perkembangan riligiusitas (keberagamaan) anak-anaknya. Persoalan ini kelihatannya sederhana, akan tetapi jika kita cermati, kisah nyata yang terjadi di keluarga ibu Agnes memberikan sebuah gambaran umum yang dihadapi oleh setiap orang tua dalam mengikuti perkembangan jiwa beragama anak dalam rentang kehidupannya yang panjang. Karena, usia dini adalah usia emas bagi perkembangan anak, baik perkembangan fisik, emosional, dan intelektualnya, yang akan mengarahkan kehidupannya di masa depan.

Fitrah Beragama

Al-Quran menyebutkan bahwa beragama merupakan fitrah manusia, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. al-Rum: 30).

Rasulullah saaw bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang akan menjadikan ia sebagai yahudi atau nasrani.” Dan Imam Ja’far Shadiq as. menyatakan bahwa fitrah itu berarti tauhid (mengesakan Tuhan), Islam, dan juga ma’rifah (mengenal Tuhan). (Al-Kulaini, Al-Kafi Jilid 2, h. 12-13)

Imam Khumaini dalam buku 40 hadisnya menambahkan bahwa yang dimaksud dengan fitrah Allah yang semua manusia tercipta dengannya adalah kondisi dan kualitas penciptaan manusia. Semua manusia, tanpa terkecuali, tercipta dengan fitrah itu sebagai konsekuensi keberadaannya. Fitrah ini telah terkait erat dengan esensi wujudnya. Fitrah adalah salah satu rahmat Allah Swt. yang khusus dianugerahkan kepada manusia.

Para ahli tafsir menjelaskan bahwa : seluruh manusia memiliki jiwa keberagamaan yang tertanam dalam dan tidak bisa dihilangkan. Maksud dari din (agama) dalam ayat ini bisa berarti sekumpulan ajaran-ajaran dan hukum-hukum pokok Islam, atau kondisi penyerahan diri dan tunduk secara total di hadapan Allah. Alhasil, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa mengenal Tuhan dan meyembahnya adalah hal yang bersifat fitri dan telah dibawa sejak lahir. Jadi, manusia adalah makhluk beragama.

Begitu pula, di alam gaib, sebelum manusia dilahirkan, dalam suatu acara ‘tatap muka’, ia bersaksi akan keberadaan dan keesaan allah. Allah berfirman : “Dan (ingatlah) Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat nanti kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (keesaan Tuhan).’ (Q.S. al-A’raf: 172)

Makna ayat ini berarti bahwa sebelum manusia dilahirkan ke alam dunia, mereka terlebih dahulu dikumpulkan di alam gaib (malakuti) untuk memberikan kesaksian atas keberadaan dan keesaan Allah swt. Kesaksian mereka menjadi mitsaq (perjanjian) langsung dengan Allah swt. yang mengikat hingga sampai hari akhir nanti dan harus dipertanggungjawabkan, dimana manusia tidak dapat mengingkarinya dengan alasan apapun. Ini berarti bahwa setiap orang secara genetik telah cenderung mengakui adanya Tuhan.

Pandangan al-Quran ini diakui oleh banyak ilmuwan yang saat ini. Mereka menyatakan bahwa manusia dilahirkan membawa jiwa keagamaan, dan baru berfungsi kemudian setelah melalui bimbingan dan latihan sesuai dengan tahap perkembangan jiwanya. Will Durant misalnya, mengatakan : “agama merupakan suatu perkara yang alamiah, lahir secara lansung dari kebutuhan dan perasaan instinktif kita” (Religion is a natural matter, born directly of our instinctive needs and feelings). Alexis Carrel menulis : ‘Perasaan beragama terpancar dalam diri manusia sebagai insting dasar. Manusia, sebagaimana ia membutuhkan air bagi kehidupan, begitu pula ia membutuhkan Tuhan” (The mistic sense is the stirring deep within us of a basic instinct. Man, just as he needs water, solikewise needs God).

Sayid Mujtaba Musawi Lari menyebutkan ada empat pembawan dasar manusia, yaitu :
1. Perasaan beragama (religious sense)
2. Kebenaran (truth),
3. Kebaikan (goodness),
4. Keindahan (beauty). (lihat Musawi Lari, Knowing God, h. 20)

Fitrah manusia dibagi dua pada dasarnya di bagi pada dua jenis :
A. Fitrah akal (aqliah) yang merupakan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tanpa dipelajari (badihiyât awwaliyah)
B. Fitrah iman, kecenderungan dan keinginan untuk beribadah dan menyembah Tuhan.

Adapun ciri-ciri fitrah adalah :
1. Fitrah merupakan pemberian Allah dan format penciptaan.
2. Fitrah bersifat universal yakni terdapat pada setiap wujud manusia.
3. Fitrah tidak dapat dilenyapkan (meskipun sering disembunyikan) dan akan senantiasa ada selama manusia hidup.
4. Fitrah tidak diperoleh dari proses belajar, meskipun untuk memperkuat dan mengarahkannya proses pendidikan sangat diperlukan.

Dengan demikian, fitrah mengenal Tuhan dan beragama telah terdapat dalam diri manusia secara langsung yang menjadi model sekaligus modal khusus bagi dirinya, bukan hasil rekayasa budaya dan ilmu. Fitrah tersebut merupakan model penciptaan yang tak bisa diubah dan dihilangkan, walaupun ia dapat ditekan dan disembunyikan. Cahaya keimanan terus membara dalam kalbu umat manusia, karena sumber cahaya yang membara ini adalah fitrah manusia. Terdapat ruang di dalam hati manusia untuk mengenal Tuhan secara sadar dan mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan menggunakan dalil-dalil akal yang argumentatif. ‘Jika akal menemukan Tuhan dengan keteraturan dan pemikiran, maka rasa keberagamaan menemukan Tuhan dengan cinta’, ucap Sayid Mujtaba Musawi Lari. Muhammad Taqi Falsafi menambahkan, “selama di muka bumi masih terdapat manusia, selama masih terdapat fitrah, niscaya cahaya tersebut tak akan pernah padam.” Karena itu jagalah fitrah anak-anak kita dan aktualisasikan dalam kehidupan nyata.

Adapun dalam pandangan para psikolog agama, perkembangan keberagamaan pada anak melalui tiga tahapan penting, yaitu sebagai berikut :
A. The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng). Hal ini ditandai dengan kesenangan anak-anak bercerita hal-hal yang luar biasa seperti kebesaran, kehebatan, dan kekuatan Tuhan. Tidak jarang anak membandingkan Tuhan dengan tokoh-tokoh yang ia kenal seperti Power Rangers.
B. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan). Ini tampak dengan mulai pahamnya anak-anak tersebut tentang wujud Allah swt sebagai sosok yang Maha Besar dan Maha Kuat, serta pencipta. Dari sini anak menyadari bahwa kepatuhan kepada-Nya adalah suatu yang lumrah dan mesti. Inilah yang menyebabkan mereka bergairah mengikuti acara-acara keagamaan.
C. The Individual Stage (Tingkat Individu). Tanda ini terlihat pada sensitivitas keberagamaan anak. Tahap ini dibagi kepada tiga golongan:
1. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif. Anak takut kemurkaan Allah; dan neraka; sedangkan orang baik akan dimasukkah surga, sebuah taman bermain yang indah.
2. Konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pendangan yang bersifat personal (perorangan). Di sini anak ingin meniru Tuhan dan dekat dengan-Nya; Ingin merasakan sentuhan kasih Tuhan dan menampung internalisasi kekuatan Tuhan.
3. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik. Tanda ini tampak pada pengakuan mereka akan pentingnya keadilan. Buruknya perbuatan jahat, sehingga jika melakukannya anak akan gelisah, bingung, sedih, dan juga malu.


Adapun ciri dan sifat keberagamaan pada anak-anak sebagai berikut :
1. Unreflective (tidak mendalam). Ini kentara sekali pada ciri antropomorfisme, yang mengungkapkan Tuhan seperti makhluk lainnya, misalnya punya mata, punya telinga, dan lainnya.
2. Egosentris (Egocentric Orientation). Anak mengharapkan adanya imbalan bagi semua aktivitas yang dilakukannya. Pada sisi lain anak cenderung tidak mau disalahkan, tetapi senang mendapat pujian.
3. Eksperimentasi (Experimentation). Anak mengharapkan pembuktian akan keyakinan yang ada dibenaknya.
4. Inisiatif (Initiative), misalnya ditandai dengan pikiran bahwa ia mudah keluar dari kepungan api neraka, karena pengalamannya setiap berbuat kesalahan tidak mendapatkan azab yang sering ditakut-takutan.
5. Spontanitas (Spontaneity). Misalnya, tampak pada pertanyaan atau jawaban yang dilontarkan anak dengan polosnya. Dia mengemukakan persis seperti apa yang diberitahukan guru atau orang tuanya.
6. Verbalis dan Ritualis, yang diindikasikan dengan hapalan-hapalan yang tanpa makna. Saat ditanyakan “Apakah marah itu perbuatan baik atau buruk?” Mereka menjawab, “Buruk!”. Kemudian saat diajukan proposisi logis, “kalau begitu Allah, dan orang tuanya sering berbuat buruk karena sering marah-marah.” Anak bingung dan gelisah.
7. Imitatif, tampak pada peniruan yang nyata dilakukan anak, seperti berdoa dan salat. Pembiasaan keluarga sangat berpengaruh pada anak, seperti berdoa mau makan, tidur, senang ke mesjid beramai-ramai.
8. Rasa Heran dan Kagum, yaitu ditandai dengan keinginan kuat anak menjadi sakti dan mendapat limpahan kekuatan Tuhan. Mempertanyakan kehebatan dan kebesaran Tuhan yang menjadi pencipta manusia.


Sedangkan alur pembentukan pengetahuan keagamaan anak tersebut terjadi dalam enam tahap, sebagai berikut :
1. Fitrah yang merupakan format khusus penciptaan manusia. Meskipun awalnya tidak mendalam, tetapi menjadi model dan modal yang berharga bagi perkembangan keberagamaan anak.
2. Pengetahuan imajinatif yang membuat anak penuh khayalan-khayalan. Imajinasi ini menjadikan anak manafsirkan secara sendiri akan berbagai informasi yang diterimanya selama ini dari lingkungan sekitarnya.
3. Pencarian dialektik yang dilakukan dengan melemparkan berbagai pertanyaan dan menanggapi secara spontanitas berbagai jawaban yang diberikan untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak.
4. Pencarian maknawiyah yang diindikasikan dengan perilaku religius dan ritual-ritual yang fantastis, penuh eksperimentasi, inisiatif, dan imitative. Pencarian maknawiyah ini memberikan peran penting untuk membentuk sikap dan pandangan anak terhadap agama, karena hal ini berhubungan secara langsung dengan pengalaman dirinya sendiri saat memasuki ranah keberagamaan dengan berbagai ajaran dan ritual-ritualnya.
5. Internalisasi pengetahuan ke dalam pikiran dan benak anak sehingga menjadi bagian dari kehidupan dan keyakinannya. Ini bermanfaat untuk memberikan respon terhadap informasi-informasi baru. Respon ini bisa lahir dalam bentuk kompromi, complaince, atau juga konfrontatif.
6. Keyakinan yang dipegang teguh. Prinsip ini juga berbeda pada tiap anak yang secara sederhana dapat digolongkan kepada dua yaitu keyakinan yang bersifat statis dan keyakinan yang bersifat dinamis. Keyakinan yang statis berarti adalah keyakinan yang tidak berkembang dan sulit menerima informasi baru yang menggugat keyakinannya. Sedangkan keyakinan dinamis merupakan keyakinan yang penuh dengan kreatifitas, selektifitas, dan analisis kritis terhadap informasi-informasi baru yang diterimanya.

Dengan memahami hal-hal di atas semoga para orang tua dapat mendidik jiwa keagamaan anak-anaknya dengan lebih baik. Karena tidak ada bekal yang paling berharga di dunia dan di akhirat bagi anak-anak kita kecuali bekal agama. Dengan bekal agama itulah, anak akan meniti kehidupannya dengan tubuh yang sehat, pikiran yang jernih, sikap yang tulus, dan hati yang suci.

(Liputan-Islam/ABNS)

Peran Orang Tua Dalam Mendidik Anak-anak


Terbukanya potensi tinggi dan teraihnya nilai-nilai moral bergantung pada tarbiah dan pendidikan yang benar. Begitu pula tercapainya kesempurnaan Insani, tak akan tercapai kecuali dengan tarbiah. Tarbiah Islamiah adalah kunci yang membuka pintu-pintu potensi dan kesempurnaan untuk kita dan keluarga kita.

Banyak definisi yang diutarakan mengenai tarbiah. Sebagia menyatakan bahwa tarbiah adalah menyediakan sarana dan pra sarana guna merealisasikan potensi yang dimiliki oleh manusia. Sebagian lain menganggapnya sebagai tutur dan wejangan akhlak yang dapat merubah perilaku kita. Yang lainnya berpendapat tarbiah adalah menjadi “orang yang Rabbani”. Murtadha Muthahari mengatakan bahwa ta’lim dan tarbiah adalah bagaimana membentuk pribadi manusia. Dari semuanya dapat diambil garis merah bahwa ta’lim dan tarbiah adalah pendidikan cara berfikir dan berperilaku.

Langkah terbaik yang dapat ditempuh dalam tarbiah adalah yang berawal dari dalam tubuh keluarga. Sejak dahulu kala keluarga dikenal sebagai yang bertanggung jawab dalam mendidik anak-anak mereka. Anak-anak mulai mendapatkan gambaran dari dunia luar yang serba luas dari keluarga mereka. Di lingkungan keluarga lah anak-anak mengenal adat istiadat, budaya, ritual agama dan tugas-tugas mereka. Anak-anak adalah tanggungan keluarga untuk didik dengan benar. Islam pun menekankan pentingnya hak-hak anak yang dibebankan kepada keluarga. Hak-hak para anak termasuk memenuhi kebutuhan dan menyampaikan mereka kepada kesejahteraan dunia dan kebahagiaan di akherat; yang mana hal itu tidak akan terwujud tanpa tarbiah dan pendidikan.

Diriwayatkan: “Orang yang bahagia adalah orang yang bahagia sejak di perut ibunya dan orang yang celaka adalah orang yang sudah celaka sejak di perut ibunya.” Perut sang ibu adalah dasar kebahagiaan dan kesengsaraan anaknya. Dalam surah Al-Tahrim ayat 6 Allah swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu-batu.”

Diriwayatkan pula pada suatu hari Rasulullah saw sedang lewat dan melihat anak-anak yang sedang bermain. Beliau bersabda: Betapa celaka anak-anak di akhir zaman nanti yang orang tua mereka hanya memikirkan kebahagiaan duniawi anak-anak tanpa memikirkan kebahagiaan ukhrawi mereka. Mereka tidak memikirkan tarbiah yang benar untuk anak-anak mereka. Lalu beliau menambahkan: Aku tidak peduli terhadap mereka, mereka pun juga tidak peduli terhadapku.

Selain itu juga sering ditemukan riwayat yang menerangkan dampak positif anak-anak yan saleh terhadap kebahagiaan ukhrawi orang tua mereka.

Sebagai contoh, Imam Shadiq as meriwayatkan dari Rasulullah saw: Pada suatu hari nabi Isa as melewati pemakaman. Kemudian ia melihat seorang yang telah mati sedang diadzab. Setahun kemudian saat ia melewati tempat yang sama namun ia tidak lagi melihatnya disiksa. Ia bertanya kepada Tuhan ada apa gerangan. Allah Swt menjawab: “Ia memiliki seorang anak yang meratakan jalan dan menghidupi anak yatim.” (Ushul Al-Kafi 6:4). Begitu pula ada hadis dari Rasulullah saw: “Saat seoang lelaki mati maka amalnya juga terputus, kecuali tiga hal: ilmunya yang bermanfaat, sedekah yang terus berlaku dan anak saleh yang mendoakannya.” (Raudhatul Wa’idzin : 34).

Cara bagaimana anak-anak bisa mempelajari kebiasaan-kebiasaan baik adalah dengan memiliki tauladan yang layak. Sebaik-baiknya tauladan mereka adalah keluarga, dan di antara anggota keluarga, ayah dan ibu mereka yang paling berpengaruh. Meskipun semakin mereka besar mereka juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, namun pengaruh keluarga takkan pernah tergantikan, karena sejak tahun-tahun pertama kehidupannya mereka selalu bersama keluarga.

Ya, orang tua memberikan pengaruh terbesar bagi pendidikan anak-anak mereka. Selain orang tua mewariskan genetika dan sifat-sifat mereka, perilaku serta tingkah laku mereka pun dipelajari oleh anak-anak.

Secara kasat mata dapat kita lihat bahwa anak-anak khususnya di akhir tahun kedua dan juga di tahun ketiga, mereka mulai meniru perilaku orang-orang di sekitarnya. Kecintaan mereka terhadap orang tua dan karena kasih sayang dari mereka, membuat anak-anak menjadikan orang tuanya sebagai panutan. Oleh karenanya terbukti pengaruh orang tua dalam pendidikan anak-anak sangat besar sekali. Berbagai penelitian juga membuktikan bahwa sekecil apapun kerusakan sosial berawal dari penyelewengan yang terjadi dalam keluarga.

Islam menekankan proses pembelajaran dengan cara menyaksikan, yang dalam ilmu psikologi disebut dengan Observational Learning.

Masalah berikutnya adalah bahwa tarbiah Islamiah, pendidikan Islamiah, adalah program yang perlu dijalankan secara serius. Sebagaimana program-porgram pendidikan resmi anak-anak kita merupakan program yang serius, begitu juga pendidikan agama mereka. Kita harus mampu menunjukkan keindahan ajaran agamawi ini kepada mereka dan dengan sungguh-sungguh menanamkannya kepada mereka. Mengingat pengaruh budaya non-Islami yang sangat pesat dari berbagai media di tengah-tengah kita.

Jika anak-anak kita mendapatkan pendidikan yang saling bertentangan kandungannya di rumah dengan di sekolah atau lingkungan luar lainnya, bisa jadi hal itu akan menimbulkan gejolak psikis di hati mereka. Namun jika pendidikan Islami yang diberikan oleh keluarga telah tertanam dengan kokoh, maka anak-anak kita akan memiliki prinsip yang kuat dan takkan mudah goyah karena berbagai serangan budaya non-Islami di luar lingkup keluarga.

Dengan demikian, sudah menjadi tugas oran tua untuk membersihkan lingkungan rumah tangga dari berbagai sifat-sifat buruk yang tak Islami. Islam adalah agama pembawa ketentraman, jika dijalankan dan diajarkan dengan baik, orang-orang yang mempelajarinya pun pasti tertarik. Maka dari itu disarankan kepada para oran tua untuk menciptakan rasa menyenangkan pada anak-anak dalam mendidik mereka. Jika demikian mereka akan lebih melekat pada pendidikan yang kita berikan. Cinta dan kasih sayang oran tua pun sangat penting yang tidak boleh dilupakan dalam proses mendidik anak-anak.

(IRIB-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Akalnya Wanita, Kurang ?!


Oleh: Ummu Nargis

Apa maksud dari riwayat yang mengatakan: akalnya wanita setengah dari laki-laki.

Pertanyaan diatas bisa dijawab dari sudut pandang di bawah ini:

1-Saksi perempuan dalam persidangan mesti dua orang , sedangkan laki-laki cukup dengan satu orang saksi. (khutbah-khutbah pendek Imam Ali as. Dalam Nahjul Balagah.)

2-Para ilmuan berhasil menghitung jumlah sel otak dalam manusia. Ternyata jumlah sel otak perempuan 14 miliar, dan jumlah sel otak laki-laki 21 miliar.

3-Berat otak perempuan1.000 gram, dan berat otaknya laki-laki 1.160 gram.(farhangg-e itilaat-e umumi hal 127)

4-Al-quran dalam salah satu ayatnya:” laki-laki adalah pemimpin kaum wanita”. Pengaturan urusan masyarakat seperti pemerintahan, pidana, serta perang, butuh kepada akal yang kuat. Seseorang tidak dibekali oleh hal itu dan sisi perasaan lebih menguasai jiwanya, maka ia tidak bisa menanggung kedudukan tersebut.Oleh karena kaum laki-laki yang memiliki kekuatan akal yang mengalahkan perasaannya, berbeda dengan kaum wanita yang memiliki keadaan yang sebaliknya.(Al-mizan jilid 4, hal 548).

Jika kita telaah Sunnah Nabi saww. Ternyata dalam sepanjang hidupnya beliau tidak pernah menunjuk wanita untuk menjadi pemimpin dari sebuah suku dan tidak mengangkat mereka menjadi seorang hakim dan tidak mengajak mereka dalam berperang (Al-mizan jilid 4, hal 548-549).

Sunnah illahi yang berlaku bahwa perempuan tidak bisa diangkat sebagai nabi atau imam. Dan Nabi saww .sendiri pun tidak menunjuk wanita sebagai pemimpin atau hakim, tidak diikut sertakan di medan perang dan urusan-urusan wanita di tanggung oleh laki-laki.ini semua ada hikmahnya. Apabila Allah swt menyamakan antara akal laki-laki dan wanita, maka Allah swt. Tidak menyerahkan urusan wanita kepada laki-laki dan Allah swt .melakukan hal ini demi terjaganya kelanggengan/keharmonisan keluarga.

Pertama: Allah swt memberikan yang terbaik bagi laki-laki dan wanita. Dalam firmanNya:
“ sesungguhnya kami telah ciptakan manusia dengan sebaik-baiknya bentuk”.

Kedua: perbandingan wanita dengan laki-laki pada hakekatnya:
Di karenakan wanita kekuatan perasaannya jauh lebih besar di banding kekuatan akalnya, oleh karena itu perasaan mereka yang kuat mengurangi keleluasaan akal untuk berpikir. Yang dimaksud Imam Ali as. dalam hadist di atas bukan berarti akal wanita kurang, akan tetapi daya ingat (dzakirah) nya kurang. Oleh karenanya dalil yang dibawakan (dua orang saksi untuk wanita, satu saksi untuk laki-laki) mengarah kepada maksud tersebut .Al-qur’an juga mengisyaratkan hal ini :
“jika tersesat/lupa salah satu dari mereka. Maka salah satu yang lain mengingatkannya”.

(ABNS)

Terkait Berita: