Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI. Show all posts
Showing posts with label ABNS SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI. Show all posts

Sekilas Sejarah Masuknya Filsafat ke Dunia Islam


Semasa dengan dinamika di Barat (pada abad 6 M), di belahan lain dunia terjadi peristiwa sejarah paling besar: Jazirah Arab menyaksikan kelahiran, perjuangan, dan hijrah Nabi Besar Islam, semoga Allah mencurahkan salawat dan salam kepada beliau dan keluarganya. Beliau mengumandangkan pesan petunjuk Ilahi kepada telinga kesadaran alam. Sebagai langkah awal, beliau menyeru manusia untuk menuntut pengetahuan dan menghargai setinggi-tingginya kegiatan membaca, menulis, dan belajar. Ini dapat diamati dari ayat pertama yang diturunkan Allah kepada beliau, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta… Yang mengajari manusia dengan pena ….” (QS. AI-‘Alaq [96]: 1-4).

Nabi SAW membangun peradaban paling agung dan kebudayaan paling tinggi. Beliau mendorong kuat umatnya agar memperoleh ilmu dan kebijaksanaan dari buaian ibu hingga liang lahad (min al-mahd ilā al-lahd), dari daerah bumi terdekat hingga negeri terjauh (sekalipun ke negeri Cina, wa law bi al-shīn), dan dengan ongkos berapa pun (meskipun dengan mengorbankan darah dan menyelami samudera, wa law bi safk al-muhaj wa khawdh al-lujaj).

Benih kebudayaan Islam yang disemai oleh tangan tangguh utusan Allah tumbuh rindang dan berbuah lebat berkat pancaran wahyu Ilahi dan persentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Islam menyerap bahan mentah pemikiran manusia sesuai ukuran-ukuran sahih Ilahi dan mengolah bahan-bahan mentah itu dalam mesin kritik membangun agar menjadi unsur-unsur berguna. Dan dalam waktu singkat, Islam telah berimbas pada seluruh kebudayaan dunia.

Berkat seruan Nabi SAW dan para penerusnya yang suci, kaum Muslimin mulai mempelajari beragam bidang pengetahuan dan menerjemahkan warisan ilmu Yunani, Roma, dan Persia ke dalam bahasa Arab. Mereka menyerap unsur-unsur yang berguna dan menyempurnakannya dengan hasil-hasil penelitian mereka sendiri. Dan di sebagian besar bidang, mereka berhasil menyumbangkan pelbagai temuan seperti: aljabar, trigonometri, astronomi, ilmu perspektif, fisika, dan kimia.

Faktor penting lain dalam perkembangan kebudayaan Islam adalah politik. Rezim Umayah dan Abbasiyah yang secara tidak sah menduduki kursi pemerintahan Islam merasakan kebutuhan yang sangat mendesak akan basis sosial dalam masyarakat Islam. Sebaliknya, musuh kedua rezim ini, yakni ahl al-bayt ‘keluarga’ Nabi SAW, semoga segenap keberkahan Allah tercurah bagi mereka, sebagai wali sah seluruh kaum Muslimin, merupakan sumber ilmu pengetahuan dan pemegang kunci khazanah wahyu Ilahi. Rezim berkuasa tidak punya cara untuk menarik orang berpihak pada mereka kecuali dengan mengancam dan menyuap. Maka dari itu, mereka berupaya memegahkan rezim mereka dengan mengumpulkan para sarjana dan pakar serta membekali mereka dengan aneka ilmu Yunani, Romawi dan Persia agar mereka dapat mengimbangi pengaruh dan posisi pengetahuan ahl al-bayt.

Dengan cara ini, pelbagai pemikiran filsafat dan bermacam jenis ilmu pengetahuan dan seni, dengan beragam motivasi lawan dan kawan, menyerbu dunia Islam. Lalu, kaum Muslimin pun mulai meneliti, mengadopsi, dan mengkritisi arus pengetahuan asing ini. Tokoh-tokoh cemerlang bermunculan di bidang-bidang sains dan filsafat; masing-masing mereka tak henti-hentinya berjerih-payah hingga melahirkan berbagai bidang ilmu dan semakin memperkaya peradaban Islam.

Di antara tokoh-tokoh cemerlang itu adalah para pakar teologi dan akidah Islam. Mereka mengkaji dan menyanggah masalah-masalah filsafat ketuhanan dari pelbagai sudut pandang, kendati upaya kritik dari sebagian mereka kerap berlebihan. Namun demikian, semua upaya mengkritik, mencari-cari kesalahan, mengajukan pertanyaan dan sanggahan memaksa sebagian besar pemikir dan filosof Islam lainnya untuk bekerja lebih keras dan, tentu saja, berdampak pada semakin kayanya khazanah pemikiran intelektual dan filosofis.


Perkembangan Filsafat di Era Islam

Seiring dengan meluasnya wilayah pemerintahan Islam dan kecenderungan pelbagai kalangan kepada agama kehidupan ini, banyak pusat penelitian dunia masuk dalam wilayah Islam, sehingga berlangsung ekstensif interaksi pemikiran di antara para sarjana dan pertukaran karya ilmiah di antara pelbagai perpustakaan dunia dalam skala besar dan penerjemahan dari beragam bahasa (India, Persia, Yunani, Latin, Suryani, Ibrani, dan sebagainya) ke dalam bahasa Arab yang, secara de facto, telah menjadi bahasa internasional umat Islam. Inilah yang lantas mempercepat laju perkembangan filsafat, beragam sains dan bidang-bidang seni. Sekian banyak buku dari para filosof Yunani dan Aleksandria serta dari pusat-pusat bereputasi ilmu pengetahuan dialihkan ke bahasa Arab.

Pada mulanya, ketiadaan bahasa bersama, ketakseragaman peristilahan teknis para penerjemah, dan inkoherensi antara asas-asas filsafat Timur dan Barat telah menyukarkan tugas pengajaran filsafat dan mempersulit agenda-agenda penelitian serta pemilihan asas-asas filsafat ini. Tetapi, tidak terlalu lama keadaan itu berlangsung hingga muncullah jenius-jenius seperti: Abu Nashr Al-Farabi (872-950) dan Ibn Sina (980-1037), yang mampu menyerap keseluruhan pemikiran filsafat zaman itu dengan kerja keras dan ketekunan tinggi. Dengan bakat alami, mereka yang tercerahkan oleh sinar wahyu dan penjelasan para Imam lalu melaksanakan penelitian dan pemilahan pemikiran filsafat, kemudian mempresentasikan sebuah sistem filsafat yang utuh. Selain memuat gagasan-gagasan Plato, Aristoteles, pemikiran Neo-Platonik dari Aleksandria, dan gagasan-gagasan para mistikus (‘urafā’) Timur, sistem ini juga memuat pemikiran-pemikiran baru dan, karena itu, berhasil menonjolkan keunggulannya di atas semua sistem filsafat Timur maupun Barat. Meskipun demikian, bagian terbesar dari sistem ini berasal dari Aristoteles, sehingga warna Aristotelian dan peripatetismenya pun cukup dominan.

Selanjutnya, sistem filsafat ini bergilir hingga jadi sorotan kritis para pemikir sebesar Muhammad Ghazali (1058-1111), Abu Al-Barakat Baghdadi (1080-1164) dan Fakhr Al-Din Razi (1149-1209). Di sisi lain, dengan memanfaatkan karya-karya para filosof Iran Kuno dan membandingkannya dengan karya-karya Plato, kalangan Stoik dan Neo-Platonik, Syihab Al-Din Suhrawardi (1155-1191) mendirikan aliran filsafat baru yang dikenal dengan nama Hikmat Al-Isyrāq ‘Kebijaksanaan Pencerahan’ (Iluminationism), yang warna Platoniknya lebih pekat lagi. Dengan demikian, terbuka sebuah pangkalan baru bagi pergumulan, perkembangan dan pematangan ide-ide filosofis.

Berabad-abad kemudian, filosof-filosof besar seperti: Khwajeh Nashiruddin Al-Thusi (1201-1274), Muhaqqiq Al-Dawwani (1427-1502), Sayyid Shadr Al-Din Al-Dasytaki (w. 1497), Syaikh Baha’i (1547-1621) dan Mir Muhammad Damad (w. 1631), berhasil memperkaya filsafat Islam dengan curahan gagasan cemerlang mereka. Sampai tiba peran Shadruddin Al-Syirazi (1572-1640), atau Mulla Sadra, memperkenalkan sistem filsafat baru dan unik yang, dengan kejeniusan dan inovasinya, menggabungkan elemen-elemen komplementer dalam filsafat Masyya’iyah (Peripatetisme), filsafat Isyraqiyah (Pencerahan) dan penyingkapan-penyingkapan hati (‘irfānī) arif-sufi, di samping beragam ide yang mendalam serta gagasan yang bernilai. Ia menyebut sistemnya dengan Al-Hikmat Al-Muta‘āliyah ‘Kebijaksanaan Utama’.

Sumber: Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Amuzeh-e Falsafeh, Pelajaran 1.

(Study-Syiah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sekilas Filsafat Modern


Selain merupakan gejala kejiwaan yang menyakitkan, keadaan ragu-ragu juga melahirkan kerugian spiritual dan material yang tidak kecil bagi masyarakat. Dengan mengingkari nilai pengetahuan, harapan akan kemajuan ilmu pengetahuan tak dapat lagi dibangun, ruang nilai-nilai moral dan peran krusialnya dalam masyarakat tak lagi tersisa, demikian pula basis intelektual agama terbongkar habis. Justru pukulan terbesar mengarah pada dogma-dogma agama yang, pada dasarnya, tidak berhubungan dengan hal-hal indrawi dan material. Ketika paham skeptisisme merambat ke kalbu masyarakat, keyakinan akan masalah-masalah metafisis dan nonmaterial tentunya menjadi paling rentan terguncang.

Maka dari itu, skeptisisme merupakan wabah sangat berbahaya dan mengancam hancur seluruh aspek kehidupan masyarakat. Seiring dengan penyebaran wabah ini, tidak ada sistem etika, politik, dan agama yang dapat bertahan sehingga, dengan begitu, akan tersedia dalih pembenaran untuk segala macam tindak kejahatan, ketidakadilan, dan penindasan. Atas dasar itu, perjuangan melawan skeptisisme adalah tugas semua sarjana dan filosof, sekaligus merupakan tanggung jawab para pemuka agama. Para pendidik, politisi, reformis sosial perlu bekerja keras melawan wabah yang sama.

Pada abad 17, pelbagai aktivitas digalang selain untuk membenahi kerusakan-kerusakan akibat Renaisans, juga untuk mengatasi bahaya-bahaya skeptisisme. Kalangan Gereja cenderung, galibnya, memutus keterikatan agama Kristen pada akal dan ilmu pengetahuan dan, sebagai gantinya, memperkuat ajaran-ajaran agama melalui hati dan iman (faith). Di sisi lain, para filosof dan cendekiawan berupaya menemukan basis pengetahuan dan nilai yang kokoh, sehingga betapapun guncangan intelektual dan gelombang krisis sosial tidak dapat menghancurkannya.

Usaha terpenting dalam membebaskan diri dari skeptisisme dan menghidupkan kembali filsafat pada periode ini ialah apa yang dilakukan oleh Rene Descartes (1596-1650), filosof Perancis yang digelari sebagai bapak Filsafat Modern. Setelah lama merenung dan meneliti, ia muncul dengan sebuah pijakan untuk mengukuhkan kuda-kuda pemikiran filsafat. Pijakan fundamental Descartes dapat diringkaskan dalam pernyataan terkenalnya: “Aku ragu, maka aku ada”, atau “Aku berpikir, maka aku ada” (cogito ergo sum), yakni bagaimanapun orang itu meragukan keberadaan segala sesuatu, ia tidak akan pernah meragukan keberadaan dirinya sendiri. Mengingat keraguan apa pun tidak bermakna tanpa peragu, maka keberadaan manusia peragu dan pemikir adalah sesuatu yang tak bisa diragukan. Kemudian Descartes merumuskan kaidah-kaidah berpikir yang serupa dengan hukun-hukum matematika untuk memecahkan masalah-masalah filsafat.

Pada zaman kekacauan intelektual itu, pemikiran dan gagasan Descartes telah menjadi sumber ketenteraman bagi banyak cendekia. Sejumlah pemikir besar lain seperti: Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Nicolas Malebranche (1638-1715), juga berupaya memperkukuh tonggak filsafat modern.

Bagaimanapun, upaya-upaya ini sulit untuk dinyatakan berhasil menelurkan sistem filsafat yang utuh, koheren dan memiliki asas-asas pasti dan kokoh. Di sisi lain, perhatian sebagian besar cendekiawan telah beralih pada ilmu-ilmu empiris; banyak dari mereka yang tidak berminat meneliti isu-isu filsafat dan metafisika. Karena itu, di Eropa sulit dijumpai sistem filsafat yang kuat, kukuh, dan tangguh. Dan, meskipun sewaktu-waktu ada kumpulan gagasan yang ditawarkan sebagai aliran filsafat yang unik dan, pada batas tertentu, agaknya mampu menghimpun penganut, namun juga sampai detik ini tidak ada yang benar-benar sanggup berdiri kokoh, mantap secara permanen.


Prinsipalitas Pengalaman dan Skeptisisme Modern

Tatkala filsafat rasional di benua Eropa sedang kembali bangkit dan akal mulai dipulihkan kembali posisinya dalam memahami kebenaran, muncul kecenderungan lain di Inggris yang dibangun di atas prinsipalitas (ashalah) indra dan pengalaman. Aliran ini dikenal sebagai empirisisme.

Bibit-bibit kecenderungan ini sebenarnya berawal pada akhir Abad Pertengahan di tangan William asal Ockham (1285-1347), filosof Inggris, pelopor aliran Nominalisme yang, sebetulnya, menyangkal prinsipalitas akal. Pada abad 16, Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobbes (1588-1679) yang juga berkebangsaan Inggris, sama-sama meletakkan pijakan mereka di atas prinsipalitas indra dan pengalaman. Tetapi, nama-nama yang kelak dikenal sebagai filosof Empiris adalah tiga filosof Inggris: John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), dan David Hume (1711-1776). Tiga nama ini membincangkan isu-isu pengetahuan sejak akhir abad 17 sampai sekitar satu abad setelahnya. Di samping menyanggah pandangan-pandangan Descartes ihwal “pengetahuan fitri” (al-ma‘rifat fitriyyah/innate knowledge), mereka juga meyakini sumber semua pengetahuan adalah indra dan pengalaman.

Di antara tiga filosof Inggris yang disebut belakangan, Locke adalah yang paling moderat dan agak rasionalis. Sementara Berkeley terang-terangan mendukung prinsipalitas nama atau Nominalisme, tetapi (mungkin secara tak-sadar) ia berpegang pada hukum sebab-akibat yang merupakan prinsip rasional, selain juga memegang pandangan-pandangan yang tidak sejalan dengan prinsipalitas indra dan pengalaman. Akan halnya Hume sepenuhnya setia pada prinsipalitas indra dan pengalaman serta konsisten di atas pelbagai implikasinya, termasuk pada keraguan terhadap metafisika dan bahkan terhadap hakikat gejala alam. Dan begitulah awal mula terbentuknya fase ketiga skeptisisme dalam sejarah filsafat Barat.


Filsafat Kritis Kant

Pemikiran Hume merupakan salah satu fondasi yang membentuk pijakan ide-ide filosofis Immanuel Kant (1724-1804). Dalam testimoninya sendiri, dia menegaskan, “Dialah Hume yang membangunkanku dari tidur dogmatisme.” Kant terutama sangat terpuaskan dengan penjelasan Hume ihwal prinsip kausalitas yang menyatakan bahwa pengalaman tidak bisa membuktikan hubungan niscaya antara sebab dan akibat.

Untuk waktu sangat lama, Kant merenungi masalah-masalah filsafat dan menulis sekian banyak esai dan buku. Dia mengajukan sistem filsafat yang unik dan, dibandingkan dengan sistem sejenisnya, lebih teguh dan lebih bisa diterima. Tetapi, pada akhirnya, dia sampai pada kesimpulan bahwa akal teoretis tidak mampu memecahkan masalah-masalah metafisika dan bahwa kaidah-kaidah rasional kehilangan nilai ilmiah.

Secara tersurat Kant menyatakan bahwa masalah-masalah seperti: keberadaan Tuhan, keabadian ruh, dan kehendak-bebas (free-will), tidak bisa dituntaskan dengan pembuktian rasional, tetapi keyakinan dan keimanan pada masalah-masalah ini merupakan konsekuensi dari penerimaan suatu sistem etika. Dengan kata lain, semua prinsip-prinsip yang diterima dalam etika melalui akal praktis merupakan penggugah keimanan pada Tuhan dan Hari Kebangkitan, bukan sebaliknya. Atas dasar itu, Kant mesti dianggap sebagai orang yang menghidupkan kembali nilai-nilai etika yang, setelah era Renaisans, telah sedemikian mengalami guncangan hingga runtuh dan nyaris lenyap. Tetapi, di sisi lain, ia juga mesti digolongkan sebagai salah satu aktor penghancuran dasar-dasar filsafat metafisika.

Sumber: Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Amuzesh-e Falsafeh, pelajaran 2.

(Study-Syiah/Berbagai-Sumber-lain/ABNS)

Sekilas Sejarah Awal Filsafat


Awal-mula Pemikiran Filsafat

Pemikiran, seiring dengan penciptaan manusia, sama-sama melampaui perjalanan sejarah; di mana pun manusia hidup, pemikiran merupakan ciri yang tak terpisahkan dari dirinya dan, di mana pun kakinya menjejak, pemikiran dan penalaran senantiasa menyertainya.

Tidak ada informasi pasti dan data akurat mengenai pemikiran tak tertulis manusia kecuali dugaan para arkeolog yang didasarkan pada peninggalan-peninggalan sepanjang temuan mereka. Bagaimanapun, penulisan pemikiran terjadi jauh setelah kafilah sejarah peradaban manusia berjalan dan, tentu saja, lebih lambat dari saat bahasa tulisan ditemukan.

Dibanding yang lain, pemikiran manusia tentang keberadaan (wujūd), awal dan akhirnya berjalan-berkelindan, pada mulanya, dengan keyakinan agama. Karena itu, dapat dikatakan bahwa pemikiran filosofis paling kuno harus diselidiki dalam pemikiran keagamaan Timur.

Para sejarawan filsafat percaya bahwa bunga-rampai pemikiran paling kuno yang murni atau sebagian besarnya filosofis berasal dari kalangan bijak-bestari Yunani, kira-kira enam abad sebelum kelahiran Isa Al-Masih a.s. Para sejarawan itu juga menyebutkan nama-nama mereka yang berupaya mengenal keberadaan, permulaan dan keberakhiran alam raya. Dalam menafsirkan kemunculan dan perubahan pelbagai realitas, mereka merumuskan beragam pandangan yang kadangkala bertentangan. Pada saat bersamaan, mereka tidak menutup-nutupi fakta bahwa butir-butir pemikiran mereka lebih-kurang dipengaruhi oleh kepercayaan agama dan kebudayaan Timur.

Alhasil, atmosfer Yunani yang terbuka untuk dialog dan kritik pada masa itu memuluskan landasan bagi perkembangan dan kemajuan pemikiran filosofis. Kawasan itu pun berubah menjadi basis pelatihan filsafat.

Adalah wajar pemikiran awal filosofis tidak begitu teratur sistematis; masalah-masalah penelitian tidak terklasifikasi dengan tepat, sehingga nama, judul dan metode pun tidak terletakkan untuk tiap-tiap kategori masalah. Pendek kata, semua pemikiran disebut saja sebagai ilmu, kebijaksanaan (al-hikmah) atau pengetahuan (al-ma‘rifah) dan sebagainya.


Kemunculan Sofisme dan Skeptisisme

Pada abad 5 sebelum Masehi, dilaporkan adanya sekelompok sarjana yang, dalam bahasa Yunani, dikenal dengan nama ‘sofis’ yang berarti orang bijak atau cendekiawan. Akan tetapi, biarpun menguasai luas ilmu pengetahuan pada masanya, mereka tidak meyakini adanya kebenaran-kebenaran pasti, bahkan menafikan keberadaan sesuatu yang benar-benar diketahui secara pasti.

Menurut laporan para sejarawan filsafat, mereka ini adalah pengajar-pengajar profesional dalam seni retorika dan debat. Melatih para pengacara untuk terampil di pengadilan adalah pekerjaan mereka yang sangat diminati pada waktu itu. Profesi ini menuntut para pengacara untuk sanggup mengukuhkan sembarang klaim dan menolak segala klaim tandingan. Bergumul dengan profesi mengajar yang tercemari falasi (mughālatah/fallacy) lambat-laun menyebabkan mereka berpola-pikir menolak mentah-mentah kebenaran di luar pikiran manusia.

Barangkali Anda pernah mendengar cerita seseorang yang bercanda mengatakan bahwa di rumah si fulan ada gula-gula yang dibagikan secara gratis. Dengan segala kepolosan, orang-orang bergegas menuju rumah si fulan dan berkerumun di halamannya. Sedikit demi sedikit, si pembuat berita pun mulai ragu hingga khawatir akan kehilangan kesempatan mendapat gula-gula gratis, maka dia segera ikut berbaris bersama kerumunan orang-orang itu.

Nada-nadanya, para sofis juga bernasib serupa dengan orang di atas. Dengan mengajarkan metode-metode yang sarat modus falasi demi meneguhkan atau menyangkal suatu klaim, perlahan-lahan muncul suatu aliran pemikiran pada diri mereka sendiri bahwa, pada dasarnya, nilai benar dan salah itu bergantung pada pikiran hingga, pada konklusinya, tidak ada kebenaran di luar pikiran manusia.

Nama ‘sofis’, yang semula berarti orang bijak dan sarjana, lantaran terlanjur disematkan pada orang-orang seperti di atas, keruan saja kehilangan makna dasarnya dan lambat-laun dipakai sebagai simbol serta isyarat bagi pola-pikir dan penalaran menyesatkan. Dari nama inilah kata Arab sūfastiy dan safsatah diserap.


Masa Pertumbuhan Filsafat

Sarjana paling masyhur yang berdiri menentang kaum sofis dan menyanggah gagasan-gagasan mereka adalah Socrates (470-399 SM). Dialah orang yang menyebut dirinya dengan nama philosophus ‘pencinta kebijaksanaan’. Nama ini lantas di-Arab-kan menjadi faylasūf dan, darinya pula, kata falsafah diserap.

Para sejarawan filsafat menyebutkan dua motif Socrates memilih nama tersebut: kerendahan pribadinya yang selalu mengakui kebodohan diri sendiri, dan sindiran sinis terhadap para sofis yang menyebut diri mereka orang bijak. Dengan memilih nama ini, tampaknya Socrates hendak memahamkan mereka, “Anda yang aktif berdebat, berdiskusi dan mengajar demi tujuan material dan politik tidaklah layak menyandang gelar ‘orang bijak’. Bahkan, saya yang menolak gagasan-gagasan Anda dengan argumen-argumen yang kokoh tidak merasa layak menyandang gelar itu, tetapi saya hanya menamakan diri sebagai pencinta kebijaksanaan.”
Setelah Socrates, muridnya yang selama bertahun-tahun berguru padanya, Plato (428-347 SM), berupaya memantapkan prinsip-prinsip filsafat. Kemudian Aristoteles (385-322 SM), murid Plato, membawa filsafat hingga ke puncak perkembangannya, memformalkan prinsip-prinsip berpikir dan bernalar dalam bentuk ilmu logika, sekaligus merumuskan perangkap-perangkap pikiran dalam bab falasi.

Sejak Socrates menyebut dirinya sebagai filosof, istilah filsafat digunakan sebagai lawan dari sophistry (ke-sofis-an), dan memuat seluruh ilmu hakiki (real sciences) seperti: fisika, kimia, kedokteran, astronomi, matematika, dan teologi. Hanya ilmu-ilmu yang berbasis konvensi seperti: sintaksis (nahwu) dan morfologi (sharaf), berada di luar wilayah filsafat.

Atas dasar itu, filsafat dianggap sebagai kata umum untuk seluruh ilmu hakiki dan dibagi menjadi dua kelompok umum: ilmu teoretis dan ilmu praktis. Ilmu-ilmu teoretis meliputi ilmu-ilmu fisika, matematika, dan metafisika. Ilmu-ilmu fisika pada gilirannya meliputi kosmogoni, mineralogi, botani, dan zoologi; matematika meliputi aritmetika, geometri, astronomi, dan musik. Metafisika dibagi menjadi dua kelompok: masalah-masalah umum seputar keberadaan (wujūd/existence) dan teologi. Ilmu-ilmu praktis bercabang tiga: etika atau akhlak, ekonomi rumah, dan politik.


Akhir Filsafat Yunani

Setelah masa Plato dan Aristoteles, berlalulah satu kurun panjang dimana murid-murid kedua tokoh ini aktif mengoleksi, menyistematisasi dan mengomentari pendapat-pendapat kedua guru mereka. Murid-murid ini agaknya mampu mempertahankan ramainya pasar filsafat, Namun, tidak lama berselang, keramaian itu berganti dengan kemandekan; kegairahannya berangsur hilang dari peredaran. Di Yunani, tinggal segelintir pelanggan yang berminat membeli produk-produk ilmu pengetahuan. Guru-guru seni dan ilmu pengetahuan berpindah ke dan menetap di Aleksandria, karam dalam penelitian dan pendidikan. Kota ini terus menjadi pusat ilmu dan filsafat sampai abad 4 setelah Masehi.

Akan tetapi, tatkala Kekaisaran Romawi memeluk agama Kristen dan menyebar-luaskan doktrin Gereja sebagai keyakinan dan ajaran resmi, mereka mulai menentang suasana bebas pemikiran dan ilmu pengetahuan. Sampai akhirnya Justinian, Kaisar Romawi Timur, pada 529 M, menerbitkan perintah menutup seluruh universitas dan sekolah di Athena dan Aleksandria. Para sarjana lalu berlarian karena takut dan mengungsi menyelamatkan diri ke pelbagai kota dan negeri lain. Dan dengan begitu, cahaya obor ilmu dan filsafat padam di wilayah Kekaisaran Romawi.

Sumber: Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Amuzeh-e Falsafeh, Pelajaran 1.

(Study-Syiah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Teori Kausalitas Baqir Al Shadr


Oleh: Syilvia Yani

Adalah fakta yang nyata bahwa filsafat Islam merupakan hasil kreasi atau ijtihad kaum Muslimin. Bermacam tradisi dan kebudayaan bangsa memiliki kontribusi atas pengembangan dan pengkayaan filsafat Islam. Peradaban Islam pada masa puncaknya bukan hanya tidak memblokir arus ilmu pengetahuan, tapi juga mengamini dan mendukungnya. Dan jauh dari menentang filsafat, ia disambut dan dipeluk dengan rentangan tangan terbuka. Islam menyambut berbagai macam opini dan pandangan dari setiap sudut dan warna. Islam mengajak manusia untuk mengobservasi dan merenungi misteri, menantang diskusi dan penelitian serta membuka kebebasan berpikir.

Salah satu issu besar dalam tradisi filsafat Islam yang hangat diperdebatkan filosof Muslim adalah seputar kausalitas. Kausalitas merupakan salah satu persoalan fundamental dalam filsafat. Pada abad pertengahan, para filosof Muslim disibukkan perdebatan yang produktif tentang kausalitas yang dipandang semata-mata dari perspektif filsafat dan teologi Islam. Puncak perdebatan yang produktif tersebut ditandai saling silang pendapat dan tuduh menuduh antar filosof, seperti Al-Ghazali dengan kitabnya al tahāfut al falāsifah yang segera dibantah oleh Ibnu Rusyd dengan kitabnya tahāfut al tahāfut. Al-Ghazali mendebat (menyanggah) pandangan para filosof (Al-Farabi dan Ibnu Sina) yang berpendapat bahwa ada hukum kepastian (dharūry) antara sebab dan akibat dalam peristiwa-peristiwa alami. Al-Ghazali berargumen bahwa hubungan sebab dan akibat tidak bersifat kepastian karena Allah Swt. adalah Pencipta segala yang ada termasuk peristiwa yang berada diluar kebiasaan. Sebab itu, Allah Swt. adalah sebab lain dibalik peristiwa-peristiwa alami yang merupakan rahasia tersembunyi, yang justru merupakan sebab hakiki. [1]

Al-Ghazali kemudian mengaitkan persoalan kausalitas yang dipegangi filosof dengan mu’jizat para nabi. Menurutnya padangan filosof itu dapat mempengaruhi keimanan seseorang terhadap mu’jizat para nabi, mu’jizat yang diartikannya sebagai hal yang menyimpang dari kebiasaan alam akan dilemahkan oleh pandangan kausalitas yang menyatakan bahwa setiap peristiwa alami mesti mempunyai sebab yang pasti dalam alam itu sendiri. Karena itu, Al-Ghazali menolak pandangan bahwa hubungan-hubungan kausalitas sebagai hubungan-hubungan di antara objek-objek alamiah itu sendiri, dan objek-objek itu berada di luar dan tidak tergantung dari kehendak Allah Swt. Allah Swt. adalah Pencipta segala yang wujud termasuk peristiwa yang berada di luar kebiasaan. Dengan gagasannya ini, Al-Ghazali menegaskan keyakinan teologis Islam dengan mengatasi perdebatan tentang kausalitas yang alamiah dengan mengedepankan kemahakuasaan Allah Swt.

Menurut Ibnu Rusyd bahwa sanggahan Al-Ghazali yang menyatakan tidak adanya hubungan kemestian antara sebab dan akibat merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan hati nurani mereka. [2] Namun begitu, Ibnu Rusyd mengakui bahwa persoalan ini sangat pelik dan untuk memecahkannya membutuhkan renungan mendalam. Menjawab kekhawatiran Al-Ghazali di atas, Ibnu Rusyd secara sederhana menjalaskan bahwa pendirian para filosof tentang kausalitas tidak akan merusak keimanan seseorang terhadap mu’jizat para nabi. Ia kemudian merumuskan dua macam mu’jizat, yakni mu’jizat al barrāniy dan mu’jizat al jawwāniy.[3] Pada zaman modern sampai saat ini, pandangan, pemikiran dan pengetahuan manusia tentang kausalitas menjadi salah satu faktor dasar penentu perkembangan kemajuan sains dan teknologi. Ditangan sains dan teknologi, perdebatan tentang kausalitas menjadi bersifat materialistik dan dialektik. Kausalitas menjadi sebatas objektivitas persepsi inderawi yang bersifat mekanik dan statis. Karena itu, kausalitas kehilangan aspek spiritual atau ke-Tuhan-annya. Faktor perkembangan ini menyebabkan pendangkalan dan penyelewengan dalam kesadaran bahwa kausalitas adalah bagian dari hukum-hukum kekuasaan Tuhan menjadi lingkaran sempit sekularitas dunia inderawi manusia modern. Penyelewengan ini pulalah yang menyebabkan terperangkapnya manusia modern dalam berbagai penderitaan psikis dan spiritual yang berujung pada kerusakan lingkungan dan alam.

Segera muncul pemikir-pemikir, khususnya di kalangan Islam, yang mengkritik secara tajam pandangan materialistik dan dialektik dalam sains modern tersebut terhadap prinsip kausalitas. Dalam bahasan inilah dijumpai urgensi pemikiran seorang Muhammad Baqir Ash – Shadr, tokoh yang menjadi fokus penelitian makalah ini. Secara khusus dalam pemikiran dan karya-karyanya, ia mengarahkan kiritk terhadap kepicikan pandangan sains modern tersebut, tetapi secara strategis memberi warna dan pembaharuan tertentu paham keagamaan Islam kontemporer dengan penekanan pada pentingnya logika, perlunya kausalitas dan peran pemikiran filosofis dan teologis dalam menundukkan kekacauan sekularisme dan agnotisisme.

Muhammad Baqir Ash-Shadr adalah sedikit dari tokoh-tokoh Islam yang mampu berbicara dengan fasihnya pemikiran-pemikiran Barat. Kesan apalogi yang selama ini melekat pada pemikir Islam, ia tepis dengan kejernihan dan kecerdasan pemikirannya. Ia begitu akrab dengan karya-karya pemikir Islam klasik maupun modern, tapi ia juga paham pemikiran-pemikiran Barat yang berkembang. Dalam karyanya yang terkenal yaitu Falsatuna dan Iqtishaduna ia dengan fasihnya mengutarakan kritik-kritik terhadap pemikiran Barat seperti Karl Marx, Descartes, John Locke dan lain-lain.[4]

Falsafatuna dan Iqtishaduna telah mencuatkan Mehammad Baqir Shadr sebagai teoritisi kebangkitan Islam terkemuka. Sistem filsafat dan ekonomi alternatif ini disempurnakan melalui masyarakat dan lembaga. Dalam Falsafatuna dan Iqtishaduna, Baqir Shadr ingin menyajikan kritik yang serius terhadap aliran marxisme dan kapitalisme. Buku ini baik dari segi sturuktur maupun metodologi, tak diragukan lagi inilah sumbangsih paling serius dan paling banyak disaluti di bidang ini.[5]

Muhammad Baqir As-Sayyid Haidar Ibn Ismail Ash-Shadr, seorang sarjana, ulama, guru dan tokoh politik, lahir di Kazimain, Baghdad, Irak pada 25 DzulQaâdah 1350H/1 Maret 1931 M dari keluarga religius. Pada usia empat tahun, Muhammad Baqir Ash-Shadr kehilangan ayahnya, dan kemudian diasuh oleh ibunya yang religius dan kakak laki-lakinya, Isma’il, yang juga seorang mujtahid kenamaan di Irak. Muhammad Baqir Ash-Shadr menunjukkan tanda-tanda kejeniusan sejak usia kanak-kanak. Pada usia sepuluh tahun, dia berceramah tentang sejarah Islam, dan juga tentang beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Dia mampu menangkap isu-isu teologis yang sulit dan bahkan tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika usia sebelas tahun, dia mengambil studi logika, dan menulis sebuah buku yang mengkritik para filosof.[6]

Pada usia tiga belas tahun, kakaknya mengajarkan kepadanya Ushul ilm al-fiqh ( asas-asas ilmu tentang prinsip-prinsip hukum Islam yang terdiri atas Al-Qurâ’an, Hadis, Ijmaâ dan Qiyas ). Pada usia sekitar enam belas tahun, dia pergi ke Najaf untuk menuntut pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu-ilmu Islami. Sekitar empat tahun kemudian, dia menulis sebuah ensiklopedi tentang Ushul, Ghayat Al-Fikr fi Al-Ushūl (pemikiran puncak dalam Ushul). Muhammad Baqir Ash-Shadr menjadi seorang mujtahid pada usia tiga puluh tahun.

Sebagai salah seorang pemikir yang paling terkemuka, Muhammad Baqir Ash-Shadr melambangkan kebangkitan intelektual yang berlangsung di Najaf antara 1950-1980. Ciri lain yang mencolok dari kebangkitan itu adalah dimensi politiknya, dan saling pengaruh antara apa yang terjadi di lorong gelap dan sekolah tinggi berdebu Najaf, dan Timur-Tengah pada umumnya. Peristiwa pengeksekusian Shadr bersama saudara perempuannya yang bernama Bint Al-Huda pada 8 April 1980, barangkali ini merupakan titik puncak tantangan terhadap Islam di Irak. Dengan meninggalnya Shadr, Irak kehilangan aktivis Islamnya yang paling penting.[7]

Tapi ketenaran Shadr justru setelah ia dihukum gantung oleh pemerintahan Irak. Reputasi Shadr semenjak itu diakui di berbagai kalangan masyarakat. Namanya telah melintasi Mediterania, ke Eropa dan Amerika Serikat. Pada 1981, Hanna Batatu, dalam sebuah artikel di Middle East Journal di Washington, menunjukkan pada orang-orang pentingnya Shadr bagi gerakan bawah tanah Syi’ah di Irak. Pada 1984, Istishaduna diterjemahkan sebagian ke dalam bahasa Jerman, disertai mukadimah panjang mengenal alim Syi’ah ini oleh seorang orientalis muda Jerman. Jadi tidak mungkin lagi mengabaikan nilai penting Muhammad Baqir Ash-Shadr dalam kebangkitan berbagai gerakan politk Islam, di Irak, di dunia Syiâah dan di dunia Muslim pada umumnya.

Secara etimologi kata kausalitas dalam bahasa inggris: causality, berarti “hubungan sebab dan akibat”.[8] Dalam bahasa Arab disebut “as-sabab” yang mengandung makna sebagai segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada sesuatu yang lain.[9] Orang-orang Arab Aqhah (yang masih murni bahasanya) menggunakan istilah as-sabab dengan pengertian tersebut. Dalam bait syairnya, Juhair bertutur demikian: “Siapa yang takut pada sebab kematian, ia akan menemuinya juga. Meski dia menemukan jalan ke langit melalui tangga”.

Pengertian di atas sama dengan apa yang tercantum di dalam al-Quran, yakni segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada sesuatu yang lain. Allah SWT berfirman artinya: “Atau apakah bagi mereka kerajaan langit dan bumi dan yang ada di antara keduanya? (Jika ada), hendaklah mereka menaiki tangga-tangga (ke langit”). (QS. Shad [38]: 10)

Allah SWT juga berfirman di dalam al-Quran artinya: “Fir’aun berkata, “Hammân, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, sehingga aku dapat melihat Tuhan Mûsâ. Sesungguhnya aku menganggap dia sebagai seorang pendusta.” Demikian, di hadapan Fir’aun, keburukan perbuatannya dipandang baik, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar). Tipudaya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian”. (QS al-Mu’min [40]: 36-37)

Dengan demikian, hal-hal yang menjadi perantara untuk sampai pada sesuatu disebut sebab, seperti zina, misalnya, (menjadi sebab murka Allah, karena zina bisa mengantarkan terhadap murka Allah), dan contoh lainnya. Begtu juga dalam istilah ahli ushul fikih, kata sabab (sebab) mempunyai arti yang sama. Mereka telah mendefinisikan sebab sebagai sifat nyata yang ditunjukkan oleh dalil sam’î (naqlî) bahwa sifat tersebut merupakan pemberitahuan adanya hukum, bukan pemberitahuan disyariatkannya hukum.[10]

Juga dikatakan bahwa sebab adalah sesuatu yang pasti mendatangkan akibat. Tidak adanya sebab, pasti tidak akan mendatangkan akibat. Keberadaan akad syar’î, misalnya, menjadi sebab kebolehan untuk mengambil manfaat atau sebab adanya peralihan kepemilikan; nishâb menjadi sebab bagi kewajiban membayar zakat; dan sebagainya. Jadi, sebab adalah segala sesuatu yang mengantarkan pada sesuatu yang lain. Makna tersebut telah digunakan oleh orang-orang Arab, al-Quran, para ulama, dan para fuqahâ.

Dengan demikian, perantara yang dapat mengantarkan sesuatu pada sesuatu yang lain disebut sebab, sedangkan sesuatu yang lain tersebut disebut akibat. Kaidah Kausalitas adalah upaya untuk mengaitkan sebab dengan akibatnya. Kausalitas merupakan landasan dalam menjalankan berbagai aktivitas (qâ’idah ‘amaliyyah) dan meraih berbagai tujuan. Dengan memenuhi tuntutan kaidah ini, suatu aktivitas dapat terlaksana, bagaimanapun keadaannya; baik mudah ataupun sulit. Dengan memenuhi tuntutan kaidah ini pula, tujuan suatu aktivitas akan dapat diraih, bagaimanapun keadannya; baik dekat ataupun jauh.

Seiring dengan itu, dalam Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus dijelaskan hukum kausalitas ialah sesuatu yang menunjukkan kaitan genetik niscaya antara gejala-gejala. Satu gejala tersebut disebut sebab yang menentukan yang lainnya yang disebut akibat atau konsekwensi [11]. Dalam bahasa sederhana hukum kausalitas dapat kita artikan sebagai sebuah hukum sebab-akibat.

Dalam periode perkembangan sejarah pemikiran Islam, pembicaraan hukum kausalitas ini sangat terkait erat dengan teori yang membicarakan masalah proses penciptaan alam, fenomena-fenomena yang berhubungan manusia dan alam serta berlanjut dengan lahirnya teori sains dan ilmu pengetahuan dalam islam.

Seperti disinggung di pendahuluan, diantara tokoh yang sangat populer dalam membicarakan masalah kausalitas ini dalam sejarah pemikiran Islam pada zaman kalsik adalah Al-Ghazali melalui karyanya Tahafut Al-Falasifah. Al-Ghazali mempermasalahkan apakah hukum kausalitas ini adalah sebuah hal yang pasti dan sebuah keniscayaan? Hal ini dilandasinya pada konsep bahwa Allah adalah pencipta segala yang ada, termasuk peristiwa yang berada diluar kebiasaan yang disebut mu’jizat. Menurut al-Ghazali hubungan antara sebab dan akibat tidaklah bersifat dharury atau kemestian.

Dalam pengertian keduanya tidak merupakan hubungan yang mesti berlaku, tetapi keduanya masing-masing mempuanyai individualitasnya sendiri. Sebagai contoh kertas tidak mesti terbakar oleh api dan basah oleh air, semua ini hanya adat kebiasaan alam bukan suatu kemestian. Karena terjadinya sesuatu dialam ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata.[12] Dapat diperkirakan pemikiran al-Ghazali tidak bisa kita lepaskan dari paham teologi Asy’ari yang tekenal dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dan dapat juga kita pahami bahwa al-Ghazali ingin mempertahankan akidah umat islam agar tidak terjebak pada paham kausalitas yang menurut filosof tedahulu terkesan menafikan adanya penyebab utama dari hukum sebab akibat ini yaitu Allah.

Terkait dengan teori al-Ghazali ini pada sejarah pemikiran Islam terdapat bantahan oleh Ibn Rusyd dalam karyanya Tahafut al Tahafut yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang pasti antara sebab dan akibat. Pendapat Al-Ghazali yang menyatakan tidak adanya sebuah kemestian atau pengingkaran akan adanya sebab yang melahirkan akan adanya musabab atau akibat merupakan pernyataan yang tida logis.[13] Selanjutnya Ibn Rusyd menyatakan bahwa pada suatu benda yang terdapat dalam alam ini mempunyai sifat dan zat tertentu yang di sebut dengan sifat zatiah. Bahwa untuk terwujudnya segala sesuatu kemestian mesti ada daya atau kekuatan yang ada sebelumnya. Seperti api mempunyai sifat zatiah membakar sedangkn air mempunyai zatiah membasahi. Sifat zatiyah inilah yang membedakan antara api dan air.[14]

Dilihat dari substansinya, perdebatan prinsip kausalitas dalam pemikiran filsafat Islam bertujuan untuk membuktikan adanya Allah swt. sebagai penyebab utama yang tidak bersebab. Tujuan-tujuan inilah yang menyebabkan diskursus kausalitas dalam filsafat Islam menjadi teori-teori yang spekulatif. Sifat spekulatif demikian menjadi sumber utama kritik kaum materialisme. Tidak dapat disangkal bahwa kausalitas materialisme telah memberikan sumbangsih pada perkembangan ilmu pengetahuan modern yang bersumber pada eksplorasi alam materi. Meskipun demikian, seperti akan dilihat dalam uraian berikut, menurut Shadr pendekatan logika dan filsafat spekulatif sangat diperlukan dalam memahami prinsip kausalitas agar manusia tidak terjerumus pada paham materialisme yang membawa kepada paham ateisme, karena menafikan adanya penyebab utama yaitu Allah swt yang menyebabkan terjadinya sebab akibat.

Dalam karayanya falsafatuna Muhammad Baqir Ash Shadar mengkritisi apa yang telah diungkapkan oleh kaum empiris dan materialis tentang konsep kausalitas, yang menyatakakan bahwa prinsip-prinsip kausalitas dalam kehidupan manusia di dunia ini, telah terbentuk dalam sebuah proposisi primer yaitu dalam bentuk mempertanyakan segala sesuatu yang terkait dengan fenomena alam di sekitarnya. Sebagai contoh manusia selalu mempertanyakan mengapa sebuah peristiwa itu terjadi? Serta sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut? terutama terhadap hal-hal yang bisa ditangkap oleh panca indra manusia. Dan menafikan adanya sebab yang lain di luar sebab itu apabila ia tidak menemukan apa yang menjadi sebab terhadap wujud tersebut, dan tidak yakin akan adanya sebab yang tidak diketahui yang melahirkan peristiwa tersebut.

Terkait dengan prinsip-prinsip kausalitas yang diungkapkan oleh kaum empiris dan matrealis Ash Sadr mengawali kritikannya dengan memakai beberapa argumen yang dipakai mereka yaitu: pertama, mengenai pembuktian realitas objektif persepsi indrawi, kedua, semua teori dan hukum ilmiah yang berdasarkan pada eksperimen, ketiga, kemungkinan penyimpulan-penyimpulannya dalam bidang filsafat maupun ilmu.

[1] Kausalitas dan objektivitas pembuktian persepsi indrawi

Menurut Ash Shadr pertama, persepsi indrawi tidak mengungkapkan adanya realitas objektif. Karena ia adalah konsepsi dan bukan tugas konsepsi untuk memberikan jawaban yang benar, kedua, mengetahui adanya realita alam secara global adalah suatu ketetapan yang niscaya lagi primer yang tidak membutuhkan bukti yakni tidak perlu tahu terlebih dahulu. Dan inilah yang memisahkan antara idealisme dan realisme. Mengetahui suatu realitas objektif persepsi indrawi ini dan itu dapat terjadi dengan berdasarkan prinsip kausalitas.

Sebagai contoh: ketika manusia dalam keadaan sakit, ia dapat mengindrai hal-hal tertentu, atau membayangkan hal-hal tertentu, atau membayangkan bahwa ia melihat hal itu tanpa mengetahui realitas objektif yang melahirkan persepsi indrawi itu.


[2] Kausalitas dan teori-teori ilmiah

Teori-teori ilmiah, dalam berbagai lapangan eksperimen dan observasinal, menurut Ash Shadr secara umum pada dasarnya bergantung pada prinsip-prinsip dasar hukum kausalitas. Ada beberapa bentuk hukum kausalitas diantaranya:
[1] Prinsip kausalitas yang menyatakan bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab.
[2] Hukum keniscayaan yang menyatakan bahwa setiap sebab niscaya melahirkan akibat alamiahnya dan bahwa tidak mungkin akibat terpisah dari sebabnya.
[3] Hukum keselarasan antara sebab dan akibat yang menyatakan bahwa setiap himpunan alam yang secara esensial mesti selaras, mesti pula selaras dengan sebab dan akibatnya.

Dalam ketiga komponen teori ilmiah dan kausalitas ini menurut Sadr tidak bisa dipisahkan karena sangat erat kaitannya satu sama lain. dalam mengungkapkan teori ilmiah yang berhubungan dengan eksperimen ilmu pengetahuan alam, karena para ilmuan menafikan adanya sebuah kebetulan dan hanya mempercayai hukum sebab akibat yang sangat mendukung argumentasi mereka secara general. Oleh karena itu ilmu pengetahuan secara umum menganggap prinsip kausalitas dan kedua hukumnya berkaitan erat yaitu berupa hukum keniscayaan dan hukum keselarasan. Dan dapat diterima sebagai kebenaran-kebenaran yang secara mendasar dan menerimanya sebelum teori dan hukum eksperimental terhadap ilmu-ilmu pengetahuan.[15]

sebagai contoh sadr mengambil teori eksperimen seorang ilmuan terhadap roda-roda mobil kayu dimana di antara roda-roda itu kerangka-kerangka besi yang lebih kecil dibandingkan bila dalam keadaan panas. Dan bila didinginkan kerangka-kerangka besi itu akan mengerut dan akan mengetup diroda-roda kayu. sadr menganggap bahwa para ilmuan ini telah berkali-kali menguji eksperimenya yang pada akhir eksperimennya tidak akan bisa lepas dari pertanyaan selama anda tidak mencakup segala benda tertentu, maka bagaimana bisa anda mempercayai bahwa kerangka-kerangka besi lain yang tidak anda uji itu juga bisa memuai karena panas? Jawaban satu-satunya atas pertanyaan tersebut adalah prinsip dan hukum-hukum kausalitas, akal yang tidak mau menerima keserampangan dan kebetulan.

Tetapi menerangkan alam semesta berdasarkan kausalitas dan hukum-hukumnya. Termasuk hukum keselarasan dan keniscayaan, mendapati dan eksperimen-eksperimen yang terbatas, dari contoh ini telah jelas alasan untuk menerima teori umum yang menyataka: benda-benda di alam bisa memuai karena panas, artinya ilmuan hanya mengambil kesimpulan secara umum dari beberapa benda yang bisa memuai karena panas seperti besi dan benda jenis logam lainnya, karena ada zat yang menyelaraskan antara zat panas dan besi. Dengan catatan tidak semua benda bisa memuai karena panas seperti kayu.


[3] Kausalitas dan inferensia

Ketika kita ingin memberikan sebuah pembuktian terhadap suatu eksperimen, menurut Shadr baik dengan cara filsafat maupun melalui teori empiris pada dasarnya kita hanya berusaha agar bukti tersebut menjadi sebab diketahuinya suatu kebenaran itu. kalau tidak dengan prinsip kausalitas itu, tentulah kita tidak mendapatkan hal ini. jadi setiap pemaparan sangat bergantung pada diterimanya prinsip kausalitas. Bahkan penolakan terhadap prinsip kausalitas yang telah di utarakan oleh para filosof dan ilmuan juga berdasarkan prinsip kausalitas.

Dari uraian diatas sadr menyimpulkan:
[1] Menurutnya prinsip kausalitas tidak mungkin dibuktikan dan dipaparkan secara empirik. Karena indra tidak mendapatkan sifat objektif.
[2] Prinsip kausalitas bukanlah teori ilmiah eksperimental, tetapi ia adalah hukum filsafat rasional di atas eksperimen. Karena semua teori ilmiah tergantung pada prinsip kausalitas.
[3] Prinsip kausalitas tidak mungkin ditolak dengan hujah apapun karena setiap usaha seperti ini justru menyebabkan pengakuan tehadap prinsip kausalitas ini.

Selanjutnya hal yang sangat penting dalam karyanya falsafatuna Shadr memaparkan empat teori penting yang berhubungan dengan prinsip kausalitas untuk menepis pemahaman kaum empiris dan matrealis yang menafikan adanya sebab utama dari sebab-sebab yang ada didunia ini yaitu Allah. Teori ini diawali shadr dengan mempertanyakan: Mengapa segala sesuatu butuh sebab-sebab?[16]


Teori pertama: Teori Wujud (eksistensi)

Teori ini menyatakan bahwa agar wujud itu maujud ia membutuhkan sebab. Kebutuhan itu adalah esensial bagi wujud. Karena itu tidaklah mungkin kita mengkonsepsikan wujud yang bebas dari kebutuhan tersebut, karena kebutuhan tersebut adalah misteri yang tersembunyi didalam kemaujudan terdalam wujud. Akibatnya adalah bahwa setiap wujud adalah bersebab.


Teori kedua: Teori penciptaan

Yaitu teori yang menganggap bahwa butuhnya segala sesuatu akan sebabnya itu bersandarkan pada penciptaan hal-hal itu. ledakan, gerakan dan panas misalnya menuntut adanya sebab semua itu adalah hal-hal yang terjadi (ada) sesudah tidak ada. Jadi pemaujudannya yang membutuhkan sebab dan yang merupakan pendorong utama yang membuat kita melontarkan pertanyaan: “mengapa ia ada”? berkenaan dengan setiap realitas yang ada bersama kita di dalam alam semesta ini. berdasarkan teori tersebut prinsip kausalitas menjadi terbatas pada peristiwa-peristiwa tertentu, jika sesuatu itu maujud secara terus menerus dan permanen dan tidak mengada sesudah tidak ada, maka padanya tidak akan terdapat kebutuhan akan sebab dan tidak akan masuk kedalam alam khas kausalitas.

Teori ini berlebihan dalam membatasi kaualitas dan ia tidak memiliki pembenaran dari segala filsafat. Karena pengadaan hangat itu membutuhkan sebab, maka memperpanjang hangat itu (terus-menerus) tidak cukup untuk membebaskannya dari kebutuhan ini. karena pemanjangannya akan menjadikan kita mempertanyakan lagi sebabnya, sejauh manapun proses perpanjangan itu.


Teori ketiga: Teori Kemungkinan Esensial dan Kemungkinan Eksistensial

Dua teori ini menyatakan bahwa yang membuat sesuatu membutuhkan sebab adalah kemungkinan. Namun masing-masing teori itu memiliki pahamnya sendiri-sendiri tentang kemungkinan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan antara keduanya itu adalah manifestasi perbedaan filisofis yang sangat dalam sekitar esensi dan wujud. Dalam teori ketiga ini Sadr mengutip pendapat filosof Islam Sadruddin Asy-Syirazi yang menyatakan, tidak ada keraguan bahwa kausalitas adalah hubungan antara dua wujud yaitu sebab dan akibat. Dia adalah semacam hubungan antara dua hal. Hubungan itu memiliki beberapa macam dan corak. Hal ini dicontohkan: pelukis berhubungan dengan kanvas yang ia melukis diatasnya. Penulis berhubungan dengan pena yang ia menulis dengannya. Pembaca berhubungan dengan buku yang dibacanya.


Teori keempat: Fluktuasi Antara Prinsip Kontradiksi dan Kausalitas

Dengan teori ini Shadr bermaksud menjelasnya bahwa setiap fenomena di alam semesta bisa dijelaskan tanpa melibatkan sebab-sebab yang lebih tinggi, misalnya intervensi Tuhan.[17] Kehidupan dan sejarah, seperti dikatakan Shadr tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari ketidak pastian antara kontradiksi-kontradiksi dialektika. Sebagai dialektika ia menekankan bahwa pertumbuhan dan perkembangan timbul dari kontradiksi-kontradiksi dalam (internal). Sebagai contoh, adanya kontradiksi-kontradiksi internal di dalam maujud terdalam fenomena sosial adalah cukup untuk perkembangan fenomena itu dalam gerak yang dinamik.

Beberapa aspek dari pemikiran Shadr tentang kausalitas yang menarik disimak antara lain kontribusinya dalam memberi warna pada pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Tidak mengikuti para filosof Islam klasik, penjelasan Shadr tentang kausalitas tidak hanyut dalam ranah teologik dan metafisik, tetapi lebih dekat pada realitas sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Ia mengkritik pendirian empirisme dan materialisme dalam prinsip kausalitas dengan mengatakan bahwa inderawi saja tidak cukup untuk mengungkapkan adanya realitas objektif.

Dalam hal pembaharuan pemikiran Islam, Shadr mengemukakan kritiknya dengan mangatakan, yang salah satunya, bahwa dalam fenomena-fenomena di alam semesta intervensi Tuhan tidak berlaku secara mutlak. Hal itu karena secara kausalitas dapat dijelaskan perkembangan dan pertumbuhan timbul dari adanya kontradiksi-kontradiksi dialektis dalam proses alamiah. Semua itu, dimaksudkan bukan hanya dalam rangka merespon perkembangan pemikiran manusia dalam sains tetapi berperan memberikan kiritik-kritik terhadap jalannya sains yang cenderung lari dari kenyataan metafisik.


Referensi:

[1] Al-Ghazali, Tahafut Al Falasifah Kerancuan Para Filosuf, diterjemahkan dari judul asli Tahafut al-Falasifah oleh Ahmadie Thaha, (Jakarta: Panjimas, 1986), h. 199; lihat juga Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: PT: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 174
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Ibid, h. 232
[3] Mu’jizat al barraniy adalah mu’jizat yang diberikan kepada seorang nabi, tetapi tidak sesuai dengan risalah kenabiannya. Mu’jizat jenis ini boleh jadi pada suatu waktu akan dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan dapat mengungkapnya, ia tidak lagi dipandang sebagai mu’jizat. Mu’jizat al jawwaniy adalah mu’jizat yang diberikan kepada seorang nabi yang sesuai dengan risalah kenabiannya. Mu’jizat jenis inilah mu’jizat yang sesungguhnya, karena tidak akan dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan manapun dan kapanpun. Ibid, h. 237
[4] Chibli Mallat, Menyegarkan Islam: Kajian Konprehensif Pertama Atas Hidup Dan Karya Muhammad Baqir Ash Shadr, terj, dari judul asli: The Renewal Of Islamic law, (Bandung: Mizan, 2001),h.26
[5] Ibid, 27
[6] Muhammad Baqir Ash Shadr, Falsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash Shadr Terhadap Berbagai Aliran Filsafat Dunia, terj, (Bandung: Mizan, 1993), h. 11
[7] Ibid, h.12
[8] John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 103
[9] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 161
[10] Samir ‘Azzam, Kaidah Kausalitas dan Peranannya dalam Kehidupan Muslim, artikel internet
[11] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Agama:1996), h. 399
[12] Sirajuddin Zar,op.cit., h. 175
[13] Ibid,h. 232
[14] Ibid, h. 233
[15] Muhammad Baqir Ash Sadr, Falsafatuna, op.cit.,h.211
[16] Ibid, h. 216
[17] Ibid, h. 221

(Teras-Erwin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ilmu Kimia Menurut Kajian Sayyid Mujtaba Rukni Musawi Lari


Di masa silam, Jabir ibn Haiyan, murid Imam Ja’far ash-Sadiq (juga pernah menjadi guru dari Imam Hanafi dan Imam Malik — Penerjemah), telah diakui dunia sebagai “Bapak Ilmu Kimia”. Pengaruhnya dalam perkembangan ilmu kimia Barat sangat besar dan berakar. Ratusan karyanya masih lestari; dan tentang dia, Sayyid Hibbat-ud-Din Syahristani Kadhemain — seorang Menteri Pendidikan Irak di era kekuasaan sebelum Saddam Husein — menulis: “Saya telah melihat 50 karya kuno Jabir ibn Haiyan yang semuanya didedikasikan untuk gurunya, Imam Ja’far. Lebih 500 karyanya telah dicetak dan sebagian bisa didapatkan di antara literatur-literatur bernilai tinggi yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Paris dan Berlin. Di kalangan kaum terpelajar Eropa, Jabir diberi julukan penghormatan: ‘Profesor Bijak’, dan telah diatributkan kepadanya untuk penemuan 19 unsur kimia dengan berat jenis serta sifat-sifat lainnya. Jabir mengatakan bahwa semua itu dapat dilacak pada partikel dasar sederhana yang tersusun dari muatan listrik dan atom (unit materi terkecil yang tak dapat dibagi). Ini sangat mendekati teori atom modern”.

Pencampuran atau pemaduan materi-materi berwarna, ekstraksi mineral dan logam, pembuatan baja, dan penyamakan kulit merupakan sebagian dari teknik-teknik industri yang pertama kali dipelopori oleh para ilmuwan Muslim. Misalnya saja, mereka memproduksi asam nitrat, asam sulfur, gliserin nitrat, asam hidrokhlorik, kalium (potassium), aqua ammonia, sal ammoniac, nitrat perak, khlorida sulfur, kalium nitrat, alkohol, alkali (nama “alkohol” dan “alkali” masih tetap dipertahankan dari nama Arab-nya), orpiment [trisulfida arsenik berwarna kuning. Nama arsenik diambil dari bahasa Persia “zar” = gold (emas), dengan kata sifat “zarnî” = golden, yang kemudian di-Arab-kan dengan kata depan “al” sehingga menjadi “al-zernî” (dilafalkan “azzerni”)].

Kemudian, istilah ini diadobsi dalam bahasa Yunani menjadi “arsenikon” yang berarti “jantan”, karena warna emas dianggap memiliki hubungan dengan matahari sebagai simbol kejantanan]. Satu lagi, “borax” juga diambil dari kata Arab “bûraq”.

Terakhir, teknik distilasi, evaporasi, sublimasi, dan penggunaan sodium, karbon, potassium carbonate, khlorida, dan ammonium, semuanya sangat lazim digunakan pada masa kekuasaan para khalifah Abbasiah (pernah berkuasa di Spanyol — Pen).

(Jurnal-Parlemen-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Iran akan Larang Penjualan Produk Apple

Foto: INT

Apple terancam menghadapi larangan di Iran, jika tidak mendaftar secara resmi di dalam negeri.

Lebih dari 40 juta orang di Iran menggunakan smartphone. Angka ini termasuk beberapa juta iPhone yang diselundupkan ke negara itu.

Seorang pejabat dari kantor anti-penyelundupan mengatakan tidak ada pembatasan hukum untuk Apple untuk mendaftarkan toko di Iran.

"Jika Apple tidak mendaftarkan perwakilan resmi di Iran dalam beberapa hari ke depan, semua iPhone akan dikumpulkan dari pasar," kata direktur kantor anti-penyelundupan Iran, dikutip Tasnim News Agency.

Pernyataan itu menambahkan bahwa jika Apple tidak menanggapinya, perangkat yang tidak terdaftar tidak dapat digunakan.

Menanggapi kabar itu, beberapa aktivis IT telah mengkritik keputusan untuk melarang iPhone, meskipun proyek itu menerima lampu hijau dari operator seluler, dan serikat penjual ponsel di Iran.

"Mengumpulkan sejumlah besar ini iPhone tidak akan mudah," kata kepala serikat IT Teheran, menyatakan kekhawatiran bahwa database telekomunikasi bisa diretas menyusul langkah tersebut.

Appel awalnya mulai menjual Mac dan perangkat iOS di Iran tahun 2013, setelah pemerintah AS mengambil tindakan untuk meringankan sanksi yang melarang perusahaan menjual gadget elektronik selama lebih dari dua dekade.

(Tasnim/Rakyatku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Samsung Meluncurkan Kampanye Ramadhan


Perusahaan Samsung meluncurkan kampenye “Jagalah Keelokan Ramadhan” di sosial media.

Menurut laporan IQNA seperti dikutip dari al-Bawaba, Samsung dengan meluncurkan kampanye tersebut hendak memperlihatkan keindahan dan kegemilangan saat-saat bulan Ramadhan dengan galeri-galeri indah kamera perusahaan ini dan memindahkannya ke generasi mendatang.

Fadi Abu Shamat, ketua marketing aliansi pengecer perusahaan Samsung mengatakan, bulan Ramadhan senantiasa dirayakan di kalangan masyarakat Timur Tengah sebagai bulan berkumpulnya keluarga dan mereka merayakannya.

"Dengan bertolak bahwa dunia kita berubah, kami hendak merayakan dan bergembira dengan metode perubahan ini,” imbuhnya.

Abu Shamat menegaskan, kampenye ini adalah sebuah kampanye cerita, yang memuat semua pesan-pesan instan aspek sosial, refleksi dan perayaan bulan suci Ramadhan dan mendakwahkannya.

Ia mengintroduksikan, kampanye ini berupaya mencatat pelbagai pengalaman pada bulan Ramadhan dan mengetengahkannya kepada masyarakat dunia.

Semua masyarakat Timur Tengah dapat bergabung dengan kampanye ini dengan cara mengikuti hastagh (#KeepRamadanShining) di sosmed dan mengupload galeri-galerinya tentang bulan suci Ramadhan.

(IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mulla Sadra, Mutiara Gemilang di Angkasa Filsafat dan Irfan


Shiraz adalah kota bersejarah Iran dan terletak di wilayah Pars. Di masa Mulla Sadra, pemerintah Iran berada di bawah kekuasaan imperium Safavi yang secara resmi mengakui kemerdekaan wilayah Pars dan salah satu menterinya adalah ayah Mulla Sadra.

Ayah Mulla Sadra -Khajah Ibrahim Qiwami- seorang negarawan yang cerdas dan mukmin. Meski kaya dan memiliki kedudukannya terhormat, namun ia tidak memiliki keturunan. Baru setelah berdoa selama bertahun-tahun dia dikaruniai seorang putra yang diberi nama Muhammad (Sadruddin) dan sehari-hari dipanggil Sadra, setelah dia dewasa kemudian diberi gelar mulla yang berarti ilmuwan besar lalu digabungkan dengan nama kecilnya menjadi Mulla Sadra.

Sadruddin Muhammad (Sadra), merupakan anak tunggal seorang menteri raja yang menguasai wilayah luas Pars, hidup di lingkungan religius dan terhormat. Biasanya untuk anak-anak yang tinggal di lingkungan istana pada saat itu mereka diajar oleh guru privat di rumah mereka sendiri. Sadra seorang anak yang cerdas, bersemangat dan rajin belajar, dalam waktu yang singkat dia menguasai seluruh pelajaran yang diajarkan seperti, literatur Persia, Arab, kesenian dan kaligrafi indah. Pelajaran-pelajaran lain yang juga diperlajari misalnya, fiqih, logika dan filsafat, namun Sadra yang kala itu belum baligh lebih condong ke filsafat dan khususnya dalam bidang irfan. Hal ini dapat dilihat dari catatannya yang banyak tertulis syair-syair irfani berbahasa parsi dari Jalaluddin Maulawi, Araqi dan Attar.

Pada masa kanak-kanak, Mulla Sadra bersama ayahnya pergi ke kota Qazvin dan di sana dia mempelajari semua ilmu dasar dan menengah. Dia dengan cepat mencapai jenjang lebih tinggi melampaui teman-teman seusianya. Pada masa muda, Mulla Sadra bertemu dengan Syeikh Bahai yang menjadi peletak batu pondasi kepribadian ilmiah dan akhlak Mulla Sadra. Syeihk Bahai bukan hanya menguasai ilmu-ilmu Islam khususnya fiqih, hadis, tafsir al-Quran, epistemologi dan irfan, melainkan juga sangat menguasai bidang astronomi, matematika, arsitektur, kedokteran dan teknik.

Penyempurna bangunan spiritual guru besar ini adalah Sayid Amir Mohammad Baqir bin Shamsuddin, atau yang dikenal dengan Mirdamad. Mirdamad adalah salah seorang jenius pada masa itu yang menguasai seluruh ilmu yang berkembang saat itu, akan tetapi lingkup pelajarannya difokuskan pada ilmu fikih, hadis dan filsafat. Mulla Sadra mengambil banyak pelajaran filsafat dan irfan dari gurunya Mirdamad.

Menyusul berpindahnya ibukota Dinasti Safavi dari Qazvin ke Ishfahan pada tahun 1006 H atau 1598 M, Sheikh Bahauddin dan Mirdamad beserta semua muridnya hijrah ke kota tersebut dan melanjutkan pelajaran mereka di sana. Mulla Sadra juga mengikuti mereka ke Isfahan selama beberapa waktu kemudian dia kembali ke kotanya Shiraz. Akan tetapi para pesaingnya yang di saat sisi merasa posisi sosial mereka terancam atau merasa harus mempertahankan ideologi mereka atau bahkan karena rasa iri, bersikap buruk terhadap Mulla Sadra serta mengolok pandangan baru dan berbagai terobosan baru Mulla Sadra.

Perilaku tersebut tidak sesuai dengan jiwa lembut Mulla Sadra, oleh karen itu dengan kecewa dia meninggalkan Shiraz dan berhijrah menuju kota Qom serta tinggal di sebuah desa bernama Kahak. Selama beberapa waktu dia meninggalkan dunia ilmiah serta menyibukkan diri beribadah, berpuasa dan membersihkan diri. Dalam waktu cepat dia mencapai derajat spiritualitas yang tinggi. Masa itu adalah masa keemasan Mulla Sadra di mana dia telah mencapai derajat kasyaf dan syuhud alam ghaib. Pada masa itu pula dia memahami seluruh hakikat filsafat bukan pada otak melainkan dengan mata hati, dan oleh karena itu dia melakukan penyempurnaan pandangan filsafatnya.

Pada masa itu pula Mulla Sadra menulis berbagai kitab terkenalnya atau menulis artikel untuk menjawab pada filsuf di masanya. Mulla Sadra kemudian mendidik banyak murid besar. Dua dari murid terkenalnya adalah Fayyad Lahiji dan Allamah Feiz Khashani, yang keduanya berperan besar dalam menyebarkan pandangan Mulla Sadra.

Mulla Sadra seorang filsuf yang sederajat dengan filsuf Abu Nasir Farabi, Ibnu Sina, Sheikh Isyraq Suhrawardi, Nasiruddin Thusi, Ibnu Rushd, Ibnu Miskawai dan lain-lain. Juga penafsir serta penyempurna filsafat-filsafat Islam sebelumnya, dalam ilmu Irfan dia sederajat dengan para tokoh seperti Ibnu Arabi.

Sheikh Muhammad Husain Garawi Isfahani berkata tentang Mulla Sadra, "Jika ada orang yang mengetahui sempurna rahasia kitab Asfar maka saya akan berguru kepadanya walaupun ke negeri Cina."

Sadr al-Mutaallihin adalah penulis handal di bidang filsafat Islam. Banyak karya tulisannya yang dinilai sangat lembut serta sempurna dalam kefasihan dan balaghah. Karya-karya Mulla Sadra tercatat mencapai lebih dari 40 judul buku dan beberapa surat, semuanya berbahasa Arab (yang menjadi bahasa resmi pusat-pusat ilmiah kala itu). Semua karya peninggalannya memiliki susunan yang jelas, fasih dan berirama yang sangat memudahkan siapapun untuk mempelajari filsafat dan irfan. Di antara karya filsafat Mulla Sadra, sebagian memiliki karakteristik irfan yang lebih kental sementara di sebagian lainnya memiliki aspek argumentatif yang lebih kuat. Meski demikian, cita rasa irfan tetap dapat dirasakan di setiap sudut karyanya.

Termasuk di antara kriteria sangat penting dalam karya-karya Mulla Sadra adalah keberhasilannya dalam menyesuaikan berbagai teori, penjelasan syariat serta argumentasi filosofis, sehingga dia tidak akan mengemukakan pendapatnya secara pasti sebelum bersandarkan pada ayat-ayat al-Quran atau hadis dari pada imam maksum as. Dia selalu berbangga bahwa tidak ada orang yang dapat mengungkap rahasia-rahasia al-Quran dan Sunnah Maksumin seperti yang dilakukannya. Seluruh karya filsafat Mulla Sadra dipenuhi dengan ayat-ayat al-Quran dan riwayat sementara tafsirnya penuh dengan perspektif irfan dan logis.

Sadr al-Mutaallihin memiliki kemahiran tinggi dalam memahami lahiriyah dan rahasia al-Quran dan hadis. Dia juga meninggalkan banyak karya di bidang tafsir al-Quran dan hadis. Mulla Sadra menafsirkan sejumlah surat dalam al-Quran yang hingga kini dinilai sebagai penafsiran al-Quran terbaik dari sudut pandang filosofis.

Sebagian bukunya adalah buku pelajaran dan sesuai untuk memberikan bimbingan filsafat tahap mukaddimah, serta penyempurnaan jenjang filsafat dan irfan yang lebih tinggi yang diberi nama Hikmah Mutaaliyah. Sebagian lainnya juga sangat istimewa untuk menjelaskan dan membuktikan pandangannya.

Ada pula beberapa buku Mulla Sadra di bidang akhlak dan hubungan manusia. Mulla Sadra juga memperkenalkan diri sebagai muhaddits atau pakar hadis dan riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw dan para imam maksumin, yaitu buku penjelasan dari kitab hadis terkenal al-Kaafi, karya Kulaini.

Al-Hikmah al-Mutaaliyah fi al-Asfar al-Arba'ah al-Aqliyah, adalah karya paling tersohor Mulla Sadra. Sebuah terobosan yang hanya terdapat dan digunakan di buku penting ini yaitu seluruh pembahasan buku tersebut dibagi menjadi empat tahap perjalanan spiritual irfani di mana setiap tahapnya adalah sebuah perjalanan. Oleh karena itu disebutkan bahwa perjalanan seorang arif pada tahap awal adalah perjalan dari dirinya dan masyarakat menuju Tuhan, pada tahap kedua dan ketiga dari Tuhan menuju Tuhan yang berarti dari Dzat-Nya menuju sifat dan perilaku-Nya, kemudian pada perjalanan tahap terakhir adalah dari Tuhan menuju umat.

Buku tersebut pada hakikatnya adalah ensiklopedia filsafat dan kumpulan berbagai masalah penting filsafat Islam yang mengutip berbagai pendapat para filsuf terdahulu hingga masa Mulla Sadra.

Mulla Sadra telah berkunjung ke Mekkah selama tujuh kali berjalan kaki, dan pada perjalanan ketujuhnya, dia sakit di kota Basrah dan akhirnya meninggal dunia.

(Pars-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pesawat Penumpang Baru Rusia, lebih Murah, Ringan, dan Kuat

Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev menghadiri pameran pesawat jet MC-21 jarak menengah di Irkutsk, Rusia, pada tanggal 8 Juni, 2016. (Foto: Sputnik)

Rusia telah meluncurkan sebuah pesawat penumpang baru yang diklaim lebih murah, lebih ringan, dan lebih kuat daripada rekan-rekan Barat dan domestik.

Irkut Corporation memperkenalkan pesawat jet penumpang MC-21 jarak menengah pada pameran yang dihadiri oleh Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev di Siberia pada hari Rabu (8/6/16).

“Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya benar-benar yakin pesawat ini akan menjadi kebanggaan penerbangan sipil Rusia, dan warga negara kita dan orang-orang asing akan merasa senang dengan pesawat MC-21,” kata Medvedev.

Interior pesawat MC-21 (Foto: Sputnik)

“Ini adalah kemenangan besar bagi industri penerbangan dan bagi Irkut Corporation, para ilmuwan, desainer, insinyur dan pekerja kami,” tambahnya. “Saya yakin ini akan menjadi mesin yang baik, handal dan efisien.”

Selain menyebut pesawat yang “keren”, Medvedev mencatat bahwa penting bagi Rusia untuk tetap berada di puncak sebagai produsen pesawat.

MC-21 yang bermesin ganda ini akan diproduksi dalam tiga versi, dengan kapasitas penumpang 150-211 kursi dengan jarak terbang 5.500 sampai 6.000 kilometer.

Desain yang memanfaatkan material komposit paduan aluminium dan titanium ini, membuatnya lebih ringan dan lebih kuat dari model sebelumnya.

“Pesawat ini tidak terbuat dari logam;.. Terbuat dari bahan komposit yang memungkinkan kita untuk membuat bentuk khusus yang jauh lebih ringan dan kuat sehingga merupakan langkah besar dalam pengembangan industri penerbangan kita,” kata Wakil Direktur Irkut Corporation Vladimir Volkov.


Pesawat yang akan mulai diproduksi

Mesin turbofan PD-14 MC-21 (Foto: Sputnik)

pada tahun 2020 dengan target 20 pesawat per tahun, akan meningkatkan tiga kali lipat menjadi 70 pada 2023.

Terlepas dari menyaingi rekan-rekan yang diproduksi oleh Boeing dan Airbus, MC-21 ditetapkan untuk menggantikan pesawat domestik pendahulunya.[]

(Sputnik/Mahdi-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ternyata Sidharta Buddha Gautama Adalah Seorang Muslim


OLEH ARIS FOURTOFOUR

SATURDAY, JULY 4, 2015
Bagikan :
Ini adalah info mencengangkan bagi umat Budha, ternyata Sidharta Buddha Gautama adalah seorang muslim. Apakah betul demikian? Banyak berbagai sumber yang mengatakan Sidharta Buddha Gautama adalah seorang muslim, padahal yang diketahui adalah Sidharta Buddha Gautama merupakan sosok yang selalu disembah oleh seluruh umat Budha. Berikut beberapa penjelasannya.

Fakta Yang Menyatakan Ternyata Sidharta Buddha Gautama Adalah Seorang Muslim
Sebelum membahasnya lebih dalam, terlebih dahulu perlu diketahui siapakah Sidharta Gautama? Banyak cerita yang berkembang tentang asal usul sosok ini. Diantaranya adalah:

1. Sidharta Gautama adalah anak dari pasangan Raja Suddhodana keturunan dari kaum Sakyas dan Permaisuri Maha Maya yang merupakan puteri dari Raja Anjana. Dia dilahirkan pada akhir abad ketujuh S.M. (tahun 623 S.M.) di bandar Kapilavastu.
2. Sidharta Gautama di duga kuat sebagai keturunan dari Nabi Sulaiman AS dan Ratu Balqis yang bernama Nabi Zulkifli. Tetapi ada beberapa sumber yang mematahkan dugaan bahwa Sidharta Gautama bukan Nabi Zulkifli. Hal-hal yang menjadi dasar bantahan ini diantaranya adalah:
– Sidharta Gautama dan Zulkifli memiliki nama dan arti yang sangat berbeda. Zulkifli berarti ‘sanggup’ dan dalam bahasa sansekerta tidak mengenal pemakaian huruf ‘Z’.
– Sidharta Gautama dan Zulkifli hidup pada zaman yang berbeda. Sidharta Gautama hidup disekitar tahun 623 SM, sedangkan Zulkifli berada pada tahun 1500 – 1425 SM.
– Semasa hidupnya Nabi Zulkifli di kenal sebagai seorang raja, sedangkan Sidharta Gautama malah meninggalkan kehidupan mewahnya dan memilih belajar untuk hidup sederhana.
– Perbedaan makna Nabi dan Budha. Dalam Islam, Nabi mengandung arti orang yang telah dipilih Allah untuk menerima wahyu dari Nya dan wajib menyampaikannya kepada orang lain. Sedangkan Buddha berarti orang yang tercerahkan dan di dalam ajaran Buddha setiap orang dapat menjadi seorang Buddha.
– Sidharta Gautama tidak menyembah siapapun dan mengajarkan untuk mengakhiri penderitaan serta mencapai pencerahan melalui dharma yaitu melakukan perbuatan baik, tidak berbuat jahat, dan melakukan meditasi untuk mendamaikan jiwa.
3. Sidharta Gautama diduga sebagai Nabi Idris AS. Ada beberapa kesamaan diantara keduanya sehingga disimpulkan bahwa mereka adalah satu. Berikut landasan dugaan Sidharta Gautama adalah Nabi Idris AS:
1. Memiliki kesamaan yaitu berdakwah kepada orang-orang jahiliyah
2. Keduanya sama-sama melakukan pertapaan atau menyepi untuk mendapatkan pencerahan
3. Ada hadist yang meriwayatkan bahawa ada seorang Nabi dari keturunan seorang raja
4. Buddha membawa kabar tentang Nabi Muhammad.

Itulah beberapa pendapat tentang asal usul Sidharta Gautama yang telah dilansir dari berbagai sumber. Ada fakta-fakta yang terdapat dalam ajaran Buddha yang menguatkan bahwa Sidharta Gautama adalah seorang Muslim karena ajaran Buddha tersebut sama dengan ajaran Islam. Fakta-fakta tersebut adalah Buddha mengajarkan kepada seluruh umatnya untuk tidak memakan daging binatang yang mati secara sendirinya dan memerintahkan untuk menyembelihnya, dan didalam teks Kalachakra memuat tentang penjelasan keyakinan umat Islam yaitu:
1. Para Thirtika Tayi melakukan penghormatan sebanyak 5 kali yang berarti dalam ajaran Islam adalah sholat 5 waktu yaitu shubuh, dhuhur, ashar, maghrib, dan isya’.
2. Tidak diperkenankan untuk membuat patung-patung karena dapat dianggap berhala atau dalam Islam berarti musyrik
3. Saling menghormati karena memiliki derajat yang sama
4. Menjaga etika dalam kehidupan bermasyarakat
5. Adanya satu perlindungan Tuhan dengan ciri Tamas (Allah) yang secara langsung menandaskan bahwa Allah berada pada tingkat tertinggi Dewa.

Itulah beberapa fakta yang melandasi bahwa ternyata Sidharta Buddha Gautama adalah seorang muslim.
___________________________________

“KEMBALI KE ILMU PENGETAHUAN SUCI TRADISIONAL DAN KEARIFAN ABADI (PERENNIALISM)” Untuk Menyelesaikan Krisis Multidimensi Manusia Modern


Pengantar

Dalam essay ini, saya ingin mencoba untuk mengetahui beberapa penjelasan singkat yang menjadi saran atau resep dari cara pandang alternatif untuk mengatasi krisis multidimensi manusia modern yang telah disebabkan oleh pandangan dunia materialistik-sekuler dalam modernisme-materialisme, yaitu dengan menghidupkan kembali Traditional Sacred Science, atau kearifan tradisional yang sakral/suci yang merupakan Sophia Perennialism atau Kearifan dan Kebijaksanaan Abadi yang dibawa oleh para Nabi Allah dan orang-orang suci (para filosof-irfani dan para wali dan panditha-pujangga) sepanjang sejarah umat manusia.


Filsafat dan Tradisi Kenabian

Era Globalisasi saat ini telah menggiring banyak bangsa dan kelompok warga dunia untuk menerima begitu saja nilai-nilai pandangan dunia dan budaya serta gaya hidup dari negara-bangsa pemenang Perang Dunia II (Barat: Amerika & Eropa) yang ditunjang oleh perkembangan sains dan teknologi.

Namun kemilau kemajuan material dan kesejahteraan ekonomi yang dijanjikan oleh peradaban moderen Barat, ternyata semakin terbukti rapuh dan mengabaikan kesejahteraan bersama lahir dan batin, serta melukai keadilan sosial. Gerakan massal protes sosial “Occupy Wall Street” dan “99% fight to 1 %”, [3] yang saat ini semakin menggelora di seantero kota-kota besar di Amerika dan Eropa, serta revolusi di beberapa negera Timur Tengah dan Afrika, menjadi bukti kepalsuan dan kegagalan filsafat ideologi materialisme-kapitalisme-individualisme yang sekular dan antrophosentrik bahkan anti Tuhan YME dan anti tradisi agama-agama dan budaya lokal.

Krisis multi-dimensional (ipoleksosbudhankamnas) yang diakibatkan oleh filsafat Barat Moderenisme itu, akhirnya mulai menyadarkan minoritas cendikiawan dan tokoh Barat, untuk berpaling dan menoleh kepada warisan kearifan lokal Timur dan agama-agama Timur. Bahkan, sebagai suatu contoh, Prof.Dr, George Mc. Lean, seorang akademisi filsafat dari Chatolik Washington University USA, pada tahun 2009, pernah sengaja berusaha keras membawa rombongan para pemikir dari Barat, untuk bekerja sama dengan para ilmuwan dan sarjana filsafat-budaya di Indonesia (termasuk saya) mengali kearifan Timur Nusantara dengan menyelengarakan National Research Seminars di 10 Universitas di Pulau Jawa tentang “Philosophy Emerging from Culture”[4].

Sebagai salah satu unsur terbesar penyusun Budaya Nusantara, Sejarah & Budaya Sunda mendapat porsi perhatian yang penting dari para sarjana dan cendikiawan nasional dan dunia. Negeri Indonesia, pada dekade belakangan ini menjadi perhatian dunia, antara lain karena publikasi penelitian beberapa sarjana tingkat dunia semisal Prof.Dr. Arisyio Nunes Dos Santos yang mempublikasikan hasil penelitiannya selama 30 tahun dan menulis buku berjudul: Atlantis, The Lost Continent Finnally Found, The Definitive Location of Plato’s Lost Civilization, yang terbit tahun 2005, (terjemahan Indonesianya diterbitkan oleh Ufuk Jakarta tahun 2010, berjudul yang sama, dengan tambahan anak judul: “Indonesia ternyata Tempat Lahir Peradaban Dunia.”


Indonesia ternyata Tempat Lahir dan Sumber Peradaban Dunia.

Teori dan Hipotesis Prof. Santos yang sangat kontroversial dan menyentak kesadaran publik dunia itu tak urung juga menyentak kesadaran sebagian rakyat Indonesia, yang selama ini sebagian besarnya seperti terjangkiti penyakit mental rendah diri dan kurang percaya diri bahkan “tidak tahu diri.” Padahal ternyata Indonesia bukanlah negara pinggiran, terkebelakang dan pariah. Ternyata Indonesia memiliki warisan sejarah peradaban kuno yang unggul dan cemerlang.

Sentakan kesadaran itu bertambah lagi frekuensinya setelah Prof.Dr. Stephen James Oppenheimer, dokter ahli Human Genom (Genetika & DNA) dari Oxford University, London, Inggris, mempublikasikan hasil penelitian DNA-nya selama 20 tahun lebih di Indonesia & Asia Tenggara serta Papua Nugini.

Buku Oppenheimer berjudul: Eden in The East, The Drowned Continent in South East Asia, menyimpulan teorinya bahwa Asia Tenggara atau tepatnya Paparan Benua Sunda (Sunda Land) adalah lokasi “Syurga Adn” (Eden)-nya keluarga “Manusia Pertama“ Nabi Adam as. & Siti Hawa, tempat lahirnya peradaban umat manusia sedunia, pada kurun waktu 80.000 – 6.000 tahun yang lalu. Induk Peradaban di Nusantara yang unggul itu menjadi inspirator yang melahirkan peradaban-peradaban dunia lainnya seperti Sumeria, Mohenjodaro-Harrapa-India, Mesir, Indian Maya & Aztek di benua Amerika Selatan, Yunani dan Eropa serta Persia. Namun kemudian Induk Peradaban di Nusantara itu musnah terkena bencana banjir besar kolosal global 3 kali pada sekitar 12.000 – 6.000 tahun yang lalu, yang salah satunya, menurut Oppenheimer terkait dengan legenda/mitos banjir besar Nabi Nuh as. Mitos dan legenda banjir besar itu ternyata ada (banyak yang mirip) dan hidup ceritanya di beberapa sejarah peradaban besar lainnya, seperti Sumeria, India, Mesir, Yunani, Eropa dan penduduk asli Amerika (indian Maya & Aztek, dll.) yang terekam pada kitab-kitab /inskripsi sucinya, prasasti dan artefak tinggalan budaya mereka.

Prof. Santos sampai pada kesimpulan peenelitiannya bahwa Peradaban Atlantis yang hilang, yang diceritakan Plato (427-347 SM) dalam bukunya Critias dan Timeaus, itu, dia temukan tenyata berlokasi di Nusantara/Indonesia (Sunda Land). Kesimpulan atau teorinya ini begitu diyakini oleh Santos dan para pengikutnya, karena detail-detail 32 ciri geografis-ekologis dan ciri-ciri sosio-antropologis-budaya yang diceritakan oleh Plato itu, 100% terpenuhi di Nusantara (Sunda Land), berbeda dengan 10 lokasi lainnya yang menjadi objek studi banding Santos, seperti: Pulau Thera/Creta di Yunani, Inca di Peru, Indian Maya di Mexico, Pulau tenggelam di Samudra Atlantik, Benua Antartika, Skandinavia di Laut Utara, Troy (Hisarlik), Celtiberia, Afria Barat Daya (Selat Giblartar/Spanyol) danTartasos, yang sangat kecil presentasi keberadaan ciri-ciri tersebut. Santos juga banyak mendapat petunjuk tentang lokasi Atlantis tersbut dari berbagai mitos, legenda dan informasi kitab-kitab suci Hindu-Budha (India), inskripsi di situs arkeologis Mesir, Sumeria, dll.

Temuan-temua ilmiah dan historis dari kedua sarjana kelas dunia tersebut, semakin meyakinkan lagi, karena kemudian, banyak sarjana, sejarawan, budayawan-filosof dan peneliti lain yang menemukan banyak fakta dan bukti-bukti lain yang memperkuat teorinya Santos maupun Oppenheimer, baik dari dalam negeri Indonesia sendiri maupun dari luar negeri. Dari University of Canterbury, Christchurch, New Zealand, Dr. Edwina Palmer menemukan banyak ternyata bangsa Jepang itu berasal dari Sundaland. Dia menulis 2 artikel ilmiah hasil penelitiannya yang berjudul: “Out of Sunda? Provenance of the Jomom Japanese” dan “Out of Sundaland: The Provenance of Selected Japanese Myths”. [5] Begitu pula, ada para peneliti dari Korea yang yakin bahwa nenek moyang bangsa Korea berasal dari lembah Pasemah, Pagar Alam, Sumatra Selatan, sebagaimana yang dikatakan oleh arkeolog Indonesia yang bergabung dengan para peneliti dari Korea tersebut: Dr. Retno Purwanti, dari Balai Arkeologi Palembang.[6] Bahkan Oppenheimer pu dengan tak ragu-ragu mengatakan dalam wawancaranya dengan Majalah Tempo edisi Bahasa Inggris edisi 8 Febuary 2011, bahwa “Southeast Asia is The Source of Western Civilization”.

Dari dalam negeri, sampai kini telah bermunculan kelompok swadaya masyarakat dan para aktifis pencinta dan peneliti sejarah Peradaban Nusantara dan budaya etnis Nusantara, yang kemudian menemukan beberapa petunjuk dari berbagai situs purbakala yang kemungkinan besar terkait dengan sejarah Induk Peradaban di Nusantara kuno, yang bisa membuktikan keberadaan peradaban Lemuria maupun Atlantis di Nusantara. Misalnya kelompok Turangga Seta (TS) atau Greget Nuswantoro (GN), yang mengklaim menemukan petunjuk tersebut di relief dan bangunan Candi Cetho & Candi Sukuh di Gunung Lawu, Surakarta; Candi Penataran di Blitar, lalu mempublikasikan lewat berbagai media. Dari petunjuk itu TS/GN lalu menemukan keberadaan bukit yang diduga Piramida yang ditimbun di Bukit Lalakon, Soreang-Cililin, Bandung, Juga Bukit Piramida Sadahurip di desa Pangatikan, Sukawening Garut.

Penemuan dan penelitian TS itu kemudian ditindaklanjuti oleh beberapa kelompok peneliti swasta/LSM seperti Grup Atlantis Indonesia dan Great Pandora Nuswantara (di mana saya aktif sebagai pembinanya), bahkan juga oleh Lembaga semi pemerintah, seperti Team Survey Penelitian Bencana Katastropik Purba dari Staf Khusus Kepresidenan RI (SBY), yang dipimpin oleh Andi Arif. Temuan-temuan Team pimpinan Andi Arif ini, bahkan lebih spektakuler lagi, karena didukung oleh biaya yang cukup, peralatan teknologi dan para ahli yang kompeten yang dihimpunnya.[7] Team Andi Arif ini mengumumkan telah menemukan lagi 3 Piramida atau Candi Punden Berundak di Garut, dan telah menemukan beberapa situs yang diduga Piramida Klotok di Jawa Tengah dan di Jawa Timur, serta situs bekas kota tenggelam di Laut Selatan Provinsi Banten (berita tentang hal ini dapat dilihat di Blog Bayt al-Hikmah Institute atau Blog Atlantis Sunda yang saya kelola), atau di berbagai media online lainnya.

Berbagai kelompok pegiat dan peneliti sejarah budaya dan Peradaban Nusantara Kuno ini, pun tumbuh semakin banyak, dan semakin aktif kegiatannya. Termasuk Kelompok peneliti dari Australia yang dipimpin oleh Hans Berekoven dengan Kapal beradar sonar bawah laut bernama Southern Sun, Atlantis Sunda Archaelogical Research Project yang telah berusaha mengajak LIPI dan Bakorsurtanal untuk meneliti sisa-sisa keberadaan Atlantis/lemuria di Perairan Laut Jawa dan sekitarnya.


Temuan Jejak Sejarah Para Nabi Allah di Nusantara dan Agama-agama Dunia.

Dari sisi lain, yaitu dimensi kajian sejarah filsafat, ilmu kebahasaan dan sejarah agama-agama, saya sendiri telah menemukan banyak sumber informasi yang memperkuat keyakinan bahwa Peradaban Atlantis dan Lemuria (yang lebih dahulu eksis) di Nusantara dan wilayah sekitarnya { dari Madagaskar-pantai Afrika Timur, sampai ke Pulau Easter/Rapanui di Samudra Pasifik Timur, Dari New Zealand di selatan sampai Hawai (Hawa Iki/Jawa Iki) di Utara Pasifik}. Peradaban Atlantis dan Lemuria itu identik atau paralel dengan sebaran ras dan bahasa Austronesia, sebagaimana yang diteliti oleh Prof.Dr. Sangkot Marzuki, direktur lembaga Eikjman Institute, bersama sekitar 98 ilmuwan Asia lainnya yang bergabung dalam the Pan-Asia Single Nucleotide Polymorphism Consortium under the Auspices of The Human Genome Organization (Mapping Human Genetic Dicersity in Asia).

Peradaban Austronesia atau Sunda Land, atau Lemuria dan Atlantis, atau Kerajaan Rama & Alengkapura di Nusantara, itu saya temukan (hipotesisnya) sebagai tempat persemaian peradaban umat manusia dan tempat lahir agama-agama dunia yang terkait dengan sejarah para Rasul Allah SWT, sejak Nabi Adam as, Nabi Syist, Idris as (Hermes Trimegistus), Nabi Nuh as, sampai Nabi Ibrahim as (Abraham/Brahman). Kesamaan inti ajaran agama Sunda Wiwitan, Kejawen, Hindu, Budha, Yahudi, Kristen dan Islam. Bahkan ada temuan informasi yang mungkin masih sulit diterima oleh kebanyakan umat Islam awam, bahwa ternyata, Agama Sunda Wiwitan, Kejawen, atau Kaharingan dari Kalimantan, serta Hindu, Budha, Taoisme itu pada awalnya berkarakter Tauhid (Monotheis) sebagaimana yang dimiliki agama terakhir: Islam. Ini misalnya terlihat pada tulisan Dr. Zakir Abdul Karim Naik: Kesamaan antara Hindu dan Islam[8], Juga hal ini saya tulis dalam buku Peradaban Atlantis Nusantara di Bab 11 Warisan Filosofis dan Spiritual Atlantis: Konteks Keindonesia (p.339-356), dan Bab 12: Dari Kebijaksanaan Abadi (Perennial Wisdom) untuk Dialog Antar Peradaban: Sebuah Perspektif Islam (p.357-468). Ini semakin memperkuat landasan dan latar belakang kenapa muncul motto “Bhineka Tunggal Ika” dalam lambang negara kita Garuda Pancasila. Dalam sumber aslinya motto Bhineka Tunggal Ika itu berlanjut dengan kalimat: Tan Hanna Dharma Mangrwa, yang artinya: “Tak ada Kebenaran (al-Haqq) yang mendua.”

Hubungan Sunda dengan Nabi Ibrahim as.

Lutfia Az-Zahra, di Grup Atlantis Indonesia menulis:

Di dalam Mitologi Jawa diceritakan bahwa salah satu leluhur Bangsa Sunda (Jawa) adalah Batara Brahma atau Sri Maharaja Sunda, yang bermukim di Gunung Mahera.

Selain itu, nama Batara Brahma, juga terdapat di dalam Silsilah Babad Tanah Jawi. Di dalam Silsilah itu, bermula dari Nabi Adam yang berputera Nabi Syits, kemudian Nabi Syits menurunkan Sang Hyang Nur Cahya, yang menurunkan Sang Hyang Nur Rasa. Sang Hyang Nur Rasa kemudian menurunkan Sang Hyang Wenang, yang menurunkan Sang Hyang Tunggal. Dan Sang Hyang Tunggal, kemudian menurunkan Batara Guru, yang menurunkan Batara Brahma.

Berdasarkan pemahaman dari naskah-naskah kuno bangsa Jawa, Batara Brahma merupakan leluhur dari raja-raja di tanah Jawa/Sundaland/ Nusantara.


Bani Jawi Keturunan Nabi Ibrahim

Orang orang Arab menyebut penduduk Nusantara sebagai “Bani Jawi”

Di dalam Kitab ‘al-Kamil fi al-Tarikh‘ tulisan Ibnu Athir, menyatakan bahwa Bani Jawi (yang di dalamnya termasuk Bangsa Sunda, Jawa, Melayu Sumatera, Bugis… dsb), adalah keturunan Nabi Ibrahim.

Bani Jawi sebagai keturunan Nabi Ibrahim, semakin nyata, ketika baru-baru ini, dari penelitian seorang Profesor Universiti Kebangsaaan Malaysia (UKM), diperoleh data bahwa, di dalam darah DNA Melayu, terdapat 27% Variant Mediterranaen (yang merupakan DNA bangsa-bangsa EURO-Semitik).

Variant Mediterranaen sendiri terdapat juga di dalam DNA keturunan Nabi Ibrahim yang lain, seperti pada bangsa Arab dan Bani Israil.

Sekilas dari beberapa pernyataan di atas, sepertinya terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Akan tetapi, setelah melalui penyelusuran yang lebih mendalam, diperoleh fakta, bahwa Brahmayang terdapat di dalam Metologi Jawa indentik dengan Nabi Ibrahim.


Brahma adalah Nabi Ibrahim

Mitos atau Legenda, terkadang merupakan peristiwa sejarah. Akan tetapi, peristiwa tersebut menjadi kabur, ketika kejadiannya di lebih-lebihkan dari kenyataan yang ada.

Mitos Brahma sebagai leluhur bangsa-bangsa di Nusantara, boleh jadi merupakan peristiwa sejarah, yakni mengenai kedatangan Nabi Ibrahim untuk berdakwah, dimana kemudian beliau beristeri Siti Qanturah (Qatura/Keturah), yang kelak akan menjadi leluhur Bani Jawi (Melayu Deutro).

Dan kita telah sama pahami bahwa, Nabi Ibrahim berasal dari bangsa ‘Ibriyah, kata ‘Ibriyah berasal dari ‘ain, ba, ra atau ‘abara yang berarti menyeberang. Nama Ibra-him (alif ba ra-ha ya mim), merupakan asal dari nama Brahma (ba ra-ha mim).

Beberapa fakta yang menunjukkan bahwa Brahma yang terdapat di dalam Mitologi Jawa adalah Nabi Ibrahim, di antaranya :

1. Nabi Ibrahim memiliki isteri bernama Sara, sementara Brahma pasangannya bernama Saraswati.

2. Nabi Ibrahim hampir mengorbankan anak sulungnya yang bernama Ismail, sementara Brahma terhadap anak sulungnya yang bernama Atharva (Muhammad in Parsi, Hindoo and Buddhist, tulisan A.H. Vidyarthi dan U. Ali)…

3. Brahma adalah perlambang Monotheisme, yaitu keyakinan kepada Tuhan Yang Esa (Brahman), sementara Nabi Ibrahim adalah Rasul yang mengajarkan ke-ESA-an ALLAH.

Ajaran Monotheisme di dalam Kitab Veda, antara lain :

Yajurveda Ch. 32 V. 3 menyatakan bahwa tidak ada rupa bagi Tuhan, Dia tidak pernah dilahirkan, Dia yg berhak disembah

Yajurveda Ch. 40 V. 8 menyatakan bahwa Tuhan tidak berbentuk dan dia suci

Atharvaveda Bk. 20 Hymn 58 V. 3 menyatakan bahwa sungguh Tuhan itu Maha Besar

Yajurveda Ch. 32 V. 3 menyatakan bahwa tidak ada rupa bagi Tuhan

Rigveda Bk. 1 Hymn 1 V. 1 menyebutkan : kami tidak menyembah kecuali Tuhan yg satu

Rigveda Bk. 6 Hymn 45 V. 6 menyebutkan “sembahlah Dia saja, Tuhan yang sesungguhnya”

Dalam Brahama Sutra disebutkan : “Hanya ada satu Tuhan, tidak ada yg kedua. Tuhan tidak berbilang sama sekali”.

Sumber : http://religiku.wordpress.com/2007/09/10/hindu-dan-islam-ternyata-sama/


Ajaran Monotheisme di dalam Veda, pada mulanya berasal dari Brahma (Nabi Ibrahim). Jadimakna awal dari Brahma bukanlah Pencipta, melainkan pembawa ajaran dari yang Maha Pencipta.

4. Nabi Ibrahim mendirikan Baitullah (Ka’bah) di Bakkah (Makkah), sementara Brahmamembangun rumah Tuhan, agar Tuhan di ingat di sana (Muhammad in Parsi, Hindoo and Buddhist, tulisan A.H. Vidyarthi dan U. Ali).

Bahkan secara rinci, kitab Veda menceritakan tentang bangunan tersebut :

Tempat kediaman malaikat ini, mempunyai delapan putaran dan sembilan pintu… (Atharva Veda 10:2:31)

Kitab Veda memberi gambaran sebenarnya tentang Ka’bah yang didirikan Nabi Ibrahim.

Makna delapan putaran adalah delapan garis alami yang mengitari wilayah Bakkah, diantara perbukitan, yaitu Jabl Khalij, Jabl Kaikan, Jabl Hindi, Jabl Lala, Jabl Kada, Jabl Hadida, Jabl Abi Qabes dan Jabl Umar.

Sementara sembilan pintu terdiri dari : Bab Ibrahim, Bab al Vida, Bab al Safa, Bab Ali, Bab Abbas, Bab al Nabi, Bab al Salam, Bab al Ziarat dan Bab al Haram.


Seyyed Hossein Nasr ketika ia menulis dalam pengantarnya tentang hubungan antara Filsafat dan Kenabian emngatakan: “Dalam iklim budaya saat ini di Barat serta bagian lain dari dunia yang dipengaruhi oleh modernisme dan postmodernisme, filsafat dan kenabian dipandang sebagai dua hal yang sangat berbeda, dan di mata banyak orang, pendekatannya dianggap bertentangan dengan pemahaman tentang sifat realitas.

Bagaimanapun, sepertinya tidak begitu dalam kasus berbagai peradaban tradisional sebelum munculnya dunia modern. Bahkan hari ini, juga tidak terjadi sejauh pandangan dunia tradisional telah bertahan. Dengan istilah “kenabian/nubuwah” bukan berarti kita mampu meramalkan masa depan, tetapi kenabian membawa pesan dari perintah dari yang lebih tinggi atau lebih dalam realitas “kenabiannya” yang jelas, sebagaimana dalam dunia Mesir kuno, Yunani klasik, dan Hindu, jika tidak hanya berbicara tentang Monoteisme Abrahamik di mana peran kenabian jadi pusatnya.

Jika kita tidak membatasi pemahaman kita tentang kenabian kepada tampilan Ibrahimik itu saja, kita bisa melihat adanya kenabian dalam iklim keagamaan yang sangat beragam di hampir semua peradaban yang tidak hanya dari makna hukum, etika dan spiritual, tetapi juga dari satu sapiensial (kebijaksanaan-kearifan) yang bersangkutan dengan pengetahuan.

Kita melihat kenyataan ini dalam dunia Resi di India dan Dukun agama (Shamans) dalam perdukunan yang beragam sebagaimana keberadaan iatromantis (Nabi-Penyembuh) di dalam agama Yunani dan Taoisme yang abadi, dalam penerangan Buddha dan kemudian di dalam master Zen Buddha yang memiliki pengalaman pencahayaan/pencerahan atau satori, serta para nabi dari agama-agama Iran seperti Zoroaster dan tentu saja para nabi Abrahamik. Akibatnya dalam semua dunia ini, kapanpun dan di manapun filsafat dalam arti universal telah berkembang, telah berhubungan dengan kenabian dalam berbagai cara.”[1]

Bahkan jika kita membatasi definisi Filsafat dengan aktivitas intelektual di Yunani kuno, yang pemahaman sejarah Barat modern anggap sebagai tempat asal mula spekulasi filosofis, hubungan antara filsafat dan kenabian dapat dilihat menjadi sangat dekat pada saat asal-usul paling awal filsafat Yunani. Kami juga menyadari bahwa kerenggangan hanya terjadi kemudian, tapi tidak dipisahkan satu sama lain pada awal tradisi filsafat Yunani. Mari kita hanya mempertimbangkan tiga tokoh yang paling penting pada asal spekulasi filsafat Yunani. Pythagoras, yang dikatakan telah menciptakan istilah Filsafat, itu tentu bukan filsuf biasa seperti Descartes atau Kant. Dia dikatakan telah memiliki kekuatan kenabian yang luar biasa dan dirinya seperti seorang nabi yang mendirikan sebuah komunitas religius baru.[2] Kaum Muslim sebenarnya menyebutnya monoteis (muwahhid) dan beberapa menyebutnya sebagai seorang nabi.

Orang yang sering disebut “Bapak logika Barat dan Filsafat“ adalah Parmenides, yang biasanya ditampilkan sebagai rasionalis, yang kebetulan telah menulis sebuah puisi berkualitas biasa-biasa saja. Tapi sebagaimana hasil studi baru-baru ini, Peter Kingsley secara brilian telah jelas menunjukkan, jauh dari menjadi rasionalis dalam pengertian modern, ia telah terbenam dalam dunia kenabian dalam arti agama Yunani dan merupakan seorang pelihat yang visioner.[3] Dalam puisinya, yang berisi pesan-pesan filosofis, Parmenides telah terpimpin ke dunia lain oleh Putri Matahari yang datang dari Istana Cahaya (Mansion of Light) yang terletak di tingkat eksistensi yang terjauh.[4] Jawaban untuk Pertanyaan bagaimana perjalanan ini berlangsung adalah “inkubasi”, “sebuah praktek spiritual yang terkenal dalam agama Yunani, di mana seseorang akan diam beristirahat sepenuhnya, sampai jiwanya akan dibawa ke tingkat realitas yang lebih tinggi, dan misteri keberadaan akan terungkap.

Dengan demikian Parmenides melakukan perjalanan batin sampai ia bertemu “para dewa/malaikat Tuhan” yang mengajarkan segala yang penting, yaitu, mengajarkan kepadanya apa yang dianggap menjadi puncak asal spekulasi filsafat Yunani. Sungguh luar biasa bahwa ketika “Dewa” menemui Parmenides, Dewa menyebut dia sebagai Kouros, artinya anak muda. Fakta ini luar biasa dan menarik karena dalam tradisi Islam istilah yang sangat tepat untuk ksatria spiritual (Futuwwah dalam bahasa Arab, dan jawãnmardi di bahasa Persia) dikaitkan dengan kata untuk pemuda (FATA / Jawan), dan ksatria spiritual ini dikatakan telah ada sebelum Islam dan telah diberi kehidupan baru dalam Islam di mana sumbernya dikaitkan dengan ‘Ali bin Abi Thalib [5], yang menerima Islamnya dari Nabi dan di mana hal itu diintegrasikan ke dalam tasawuf. Selain itu, Syaidina Ali telah dikaitkan oleh sumber-sumber Islam tradisional dengan pendirian metafisika Islam. [6]

Sosok lain Yunani yang diberi gelar kouros adalah Epimenides dari pulau Kreta yang juga berangkat ke dunia lain, di mana ia bertemu Keadilan dan yang membawa kembali hukum ke dunia ini. Seperti Parmenides, ia juga menulis puisi. Sekarang Epimenides dikenal sebagai nabi-penyembuh atau iatromantis yang kepadanya semuanya telah terungkap melalui inkubasi (Meditasi/uzlah) pada saat ia berbaring tak bergerak di sebuah gua selama bertahun-tahun.[7] Parmenides terkait dengan tradisi ini. Perjalanan Iatromantis ke dunia lain seperti dukun shamans dan tidak hanya mereka telah mampu menggambarkan perjalanannya, tetapi juga menggunakan bahasa sedemikian rupa untuk membuat perjalanan ini mungkin bagi orang yang lainnya untuk memahaminya. Mereka menggunakan mantra/doa-doa dalam puisi mereka yang kita juga lihat di karya-karya Parmenides. Mereka juga memperkenalkan cerita dan legenda Timur bahkan sejauh Tibet dan India, yang sangat menarik karena komunitas Parmenides di Anatolia di Italia selatan itu sendiri dipuji berasal dari Timur di mana dewa Apollo telah mengadakan penghargaan khusus sebagai model ilahi dari iatromantis yang ia terinspirasi sebagai nabi untuk menulis puisi hipnotis yang berisi pengetahuan tentang realitas.


Catatan Kaki:
[1] Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from its Origin to the Present, State University of New York Press, 2006
[2] Kita harus ingat bahwa Pythagoras mendirikan sebuah masyarakat religious di Croton yang berpusat di sekitar Apollo, dam dia menyediakan peraturan kehidupan seperti para Nabi lain para pendiri agama-agama. Lihatlah Kenneth S. Guthrie, kompilasi dan terjemahan., The Pythagorean Sourcebook and Library, (Grand Rapids, MI: Phanes, 1987); khususnya lihatlah “The Life of Pythagoras” oleh lamblichus.pp.57ff. di mana di sana bahkan ada perbandingan bahwa Pythagoras sebagai makhluk ilahiyah dan diidentifikasikan sebagai Dewa Apollo itu sendiri (p.80). Lihat juga misalnya karya agunhg Peter Kingsley, Ancient Philosophy, Mystery and Magic (Oxford: Clarendon, 1995), yang terkait dengan baiuk Pythagoras maupun Empedocles
[3] Lihat Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom (Inverness, CA: The Golden Sufi Center, 1999); and Reality, (Inverness, CA: The Golden Sufi Center, 2004). Untuk kutipan berikutnya yang akan diambil dari Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom, and Peter Kingsley, Reality
[4] Dalam apa yang diikuti tentang Parmenides, Seyyed Hossein Nasr telah menunjukkan dalam karya Kingsley, Reality. Pp. 31ff
[5] Lihat Seyyed Hossein “Spiritual Chivalry”, in ed. S.H. Nasr, Islamic Spirituality, Vol. 2 (New York: Crossroad, 1991), pp.304-15.
[6] Lihat juga: ‘Allamah Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’I, Ali wa al-Hikmat al-ilahiyyah, in his Majmu a-yi rasa’il, Syayyid Hadi Khusrawshahi (ed). (Tehran: Daftar-i- Nashr-I farhang-I Islami, 1370, A.H. [solar], pp. 191ff
[7] Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom, p.33
___________________________________


Penggalian arkeologis dalam beberapa dekade terakhir di Velia di Italia selatan, yang merupakan rumah Parmenides, telah mengungkapkan prasasti yang menghubungkan secara langsung ke Apollo dan iatromantis. Sebagaimana Kingsley tulis, “Kami sedang dipertunjukkan bahwa Parmenides sebagai anak dewa Apollo, yang bersekutu dengan tokoh-tokoh puisi iatromantis misterius, yang ahli dalam penggunaan puisi incantory dan untuk membuat perjalanan ke dalam dunia.”[8]

Jika kita ingat bahwa, bila berbicara secara esoteric: “Apollo bukanlah dewa Cahaya tetapi Cahaya Tuhan itu sendiri”[9], menjadi jelas seberapa dalam filsafat, sebagai mana diuraikan oleh Pastor Yunani Parmenides, terkait tentang saat asal usulnya dengan kenabian bahkan yang dipahami dalam terminology (Nabi) Ibrahimik, dengan tidak mengabaikan makna batin kenabian yang segera kita akan bahas. Sebuah tradisi dari para imam penyembuh telah diciptakan dalam pelayanan Apollo Oulios (Apollo Sang Penyembuh), dan dikatakan bahwa Parmenides adalah pendirinya. Sangat menarik untuk dicatat bahwa meskipun aspek-aspek ajaran Parmenides kemudian dilupakan di Barat, mereka masih diingat justru dalam kalangan filsafat Islam, di mana sejarawan Muslim yang tergabung dalam filsafat, tidak hanya Islam, tetapi juga filsafat Yunani, erat dengan kenabian[10].

Kita harus ingat di sini terkenal diktum Arab: “yanba ‘al-Hikmah min Mishkat al-nubuwwah”, yaitu “filsafat/hikmah muncul dari ceruk kenabian”


Menarik untuk dicatat bahwa guru Parmenides jelas miskin dan bahwa apa yang diajarkannya di atas segalanya kepada murid-muridnya adalah keheningan (nyepi) atau hesychia. Ini sangat penting bahwa figur yang kemudian seperti Plato, berusaha untuk memahami Parmenides yang menggunakan istilah hesychia lebih daripada kata orang lain untuk menggambarkan pemahaman berikutnya terhadap realitas. “Bagi Parmenides, melalui keheningan itu kita datang sampai ke keheningan. Melalui keheningan kita mengerti keheningan. Melalui praktek keheningan kita datang untuk mengalami realitas yang ada di luar dunia indra ini.[11] “Sekali lagi itu adalah kepentingan yang luar biasa untuk mengingat penggunaan hesychia terkait dengan diwujudkan oleh ajaran esoterik dari Gereja Ortodoks, ajaran yang tujuannya adalah pencapaian kesucian dan gnosis/irfan.

Dalam puisi Parmenides dia diberitahu secara eksplisit oleh para dewa (Tuhan YME) untuk mengambil apa yang dia telah pelajari, untuk diajarkan kembali ke dunia dan menjadi utusan-Nya. Kingsley membuat jelas apa artinya istilah utusan dalam konteks ini. “Ada satu nama tertentu yang menggambarkan dengan baik jenis utusan Parmenides yang menemukan dirinya menjadi: nabi (prophets). Arti sebenarnya dari kata ‘nabi’ tidak ada hubungannya dengan kemampuan melihat (peramal) ke masa depan. Istilah itu hanya berarti seseorang yang tugasnya adalah untuk berbicara atas nama suatu “kekuatan besar, seseorang atau sesuatu yang lain.”[12] “Fungsi kenabian” Parmenides ini termasuk tidak hanya menjadi seorang filsuf, penyair, dan penyembuh tetapi juga, seperti Epimenides, seorang pembawa sistem hukum.

Hubungan antara Parmenides dan kenabian, bagaimanapun, tidak terutama hanya dalam hubungan sosial, hukum, dan eksoteris, tapi lebih dalam, yang memulai dan esoteris. Puisinya, jika dipahami dengan benar, itu sendiri merupakan inisiasi ke dunia lain, dan “semua tanda-tanda bahwa hanya orang bodoh akan memilih untuk melewatkan, adalah bahwa ini adalah teks untuk inisiasi (bai’at).”[13] Dalam hal ini ia bergabung dengan Pythagoras dan Empedocles yang filsafatnya juga ditujukan hanya untuk mereka yang mampu menerima pesannya dan berbicara dengan benar secara dimensi esoteris (batiniah) ketimbang dimensi eksoteris (syariah-lahiriyah) dari agama Yunani, yang membutuhkan inisiasi untuk pemahaman penuh. Sungguh luar biasa lagi dalam pertanyaan ini, bagaimana filsafat Islam menyerupai begitu banyak visi dan pemikiran filosofis figur tokoh-tokoh pra-Socrates seperti Pythagoras, Parmenides, dan Empedocles, yang semuanya sangat dihormati oleh para filosof Islam, terutama dari mazhab Isyraqi (illuminationist/Pencerahan bathin).


Menjumpai sosok misterius Empedocles, sekali lagi kita melihat seorang filsuf yang juga seorang penyair serta penyembuh dan yang dianggap oleh banyak orang juga sebagai seorang nabi. “Selain sebagai seorang dukun (Sorcerer), dan penyair, ia juga seorang nabi dan penyembuh. Salah satu nabi-penyembuh yang saya telah bicarakan tentangnya.”[14] Empedocles juga menulis tentang kosmologi dan ilmu alam seperti fisika, tetapi bahkan dalam hal ini domain karya-karya ini tidak ditulisnya hanya untuk sekedar memberikan fakta-fakta, tetapi “untuk menyelamatkan jiwa manusia”[15], sangat mirip dengan kosmologi sejumlah filsuf Islam, termasuk Suhrawardi dan bahkan Ibnu Sina dalam bukunya Visionary resital.[16] Apa yang penting adalah menyadari sebagian besar dari semua bahwa Empedocles melihat dirinya sebagai seorang nabi dan puisinya sebagai karya esoteris (kebatinan/ruhaniyah).

Menarik untuk menyebutkan bahwa ketiga tokoh tersebut yang datang pada asal-usul tradisi filsafat Yunani juga adalah penyair/sastrawan. Ini merupakan karakteristik dari banyak filosof yang berkembang selama berabad-abad di bawah sinaran matahari kenabian. Kita hanya butuh untuk ingat bahwa para bijak Hindu kuno juga penyair/sastrawan dan juga para bapak pemikiran filsafat Hindu dalam arti tradisional atau banyak orang bijak Cina yang menyatakan ekspresi dirinya dalam bentuk puisi. Dalam dunia monoteisme Nabi Ibrahim, hal ini harus terlihat di antara sejumlah filsuf Yahudi dan Kristen, tetapi lagi-lagi ini dapat ditemukan terutama di kalangan filsuf Islam seperti Ibnu Sina, Nasir-I Khusraw, Umar Khayyam, dan Suhrawardi sampai ke Afdal al-Din Kasyani, Mir Damad, dan Mulla Sadra sampai ke Haji Mulla Hadi Sabziwari, yang hidup pada abad ketiga belas masehi.[17]

Ibnu Sina (Avvecina)

Nasir Khusraw

Dalam dunia di mana kita hidup saat ini, filsafat telah direduksi menjadi hanya sekedar rasionalisme atau terlebih menjadi irrationalism dan di mana tidak hanya esoterisme, tetapi bahkan agama itu sendiri itu ditolak atau dipinggirkan, interpretasi yang diberikan tentang para pendiri Filsafat Barat tersebut di atas akan ditolak dalam banyak kalangan, dan hubungan antara filsafat dan kenabian pada umumnya dan filsafat, puisi dan esoterisme pada khususnya akan dihentikan atau dianggap sebagai konsekuensi yang kecil saja.

Mulla Hadi Sabzivari

Umar Khayam

Shukrawardi

Mulla Sadra

Mir Damad

Tapi anehnya pembaca Barat, hubungan antara filsafat, kenabian, dan esoterisme, justru ditegaskan oleh sejumlah sarjana Barat kontemporer, yang ditemukan menjadi pusat tradisi filsafat Islam, yang dengannya sebagian besar dari buku-buku SH Nasr ini akan peduli. Kami telah menyertakan pembahasan tokoh-tokoh Yunani di sini untuk menunjukkan bahwa hubungan antara filsafat dan kenabian, meskipun terputus ke tingkat yang semakin besar di Barat dari akhir Abad Pertengahan dan seterusnya, adalah sangat penting, tidak hanya untuk pemahaman Filsafat Islam, tetapi juga untuk pemahaman yang lebih mendalam tentang asal-usul filsafat Barat itu sendiri, asal-usul bahwa filsafat Barat telah berbagi saham dengan filsafat Islam, tetapi dapat dipahami dengan cara yang sangat berbeda oleh dua arus pemikiran filsafat Barat yang datang kemudian, yang semakin besar menjauhkan diri dari filsafat perennial dan dari teologi Kristen.

Tentu saja ada mode-mode dan derajat kenabian yang berbeda, sebuah fakta bahwa jika seseorang menyadarinya, ketika mempelajari berbagai tradisi agama dan bahkan jika seseorang membatasi diri untuk tradisi tunggal, seperti yang kita lihat dalam Yudaisme dan Islam di mana peran kenabian Yunus atau Daniel tidak sama seperti yang dilakukan Musa atau Nabi Islam (Muhammad SAW). Namun ada unsur-unsur umum dalam berbagai pemahaman kenabian sejauh tantangan yang dimiliki filsafat yang bersangkutan. Pertama-tama kenabian menyiratkan tingkatan realitas, apakah ini dipertimbangkan sebagai hirarki objektif atau subyektif. Jika hanya menjadi ada satu tingkat realitas obyektif yang terkait dengan dunia jasmani dan subyektif dengan kesadaran biasa, kami menganggapnya sebagai satu-satunya bentuk kesadaran yang sah dan diterima, kenabian sebagai fungsi membawa pesan dari dunia lain atau tingkat Kesadaran lain, akan menjadi tidak berarti karena akan ada dunia lain atau tingkat kesadaran, dan suatu klaim bahwa keberadaan mereka akan ditolak dan dianggap sebagai halusinasi subyektif. Seperti pada kenyataannya dengan kasus saintisme modern dan pandangan umum desakralisasi dunia, yang keduanya mengecualikan perspektif Realitas transenden mereka dan tingkat yang lebih tinggi dari keberadaan (eksistensi) vis-à-vis dunia ini serta Diri imanen dan tingkat kesadaran yang lebih dalam dari yang biasa-biasa saja.

Tetapi dalam dunia di mana semua realitas kenabian telah dijalankan dengan satu atau lain cara, penerimaan tingkat yang lebih tinggi dari realitas dan/atau level kesadaran yang lebih dalam yang telah diambil untuk diberikan sebagai cara yang benar untuk memahami sifat dari realitas total di mana manusia hidup.[18] Diformulasikan dengan cara ini, pernyataan ini termasuk monoteisme Ibrahim bersama dengan agama-agama India, Taoisme dan Konghucu serta agama kuno Mediterania dan Iran, dan Shamanisme bersama dengan Buddhisme, yang menekankan tingkat kesadaran daripada derajat eksistensi objektif.

Di dalam dunia ini, di mana semua kenabian merupakan realitas utama, yang menciptakan konsekuensi, yang dengannya filsafat harus berurusan. Kenabian memberikan ajaran moral dan hukum, etika, politik, dan hukum bagi masyarakat, sehingga filsafat harus mempertimbangkannya. Selain itu, klaim kenabian memberikan pengetahuan tentang hakikat realitas, termasuk pengetahuan tentang Asal atau Sumber dari segala sesuatu, dari penciptaan kosmos dan strukturnya atau kosmogoni dan kosmologi, sifat jiwa manusia, yang akan mencakup apa yang tepat harus disebut “Pneumatology” dan psikologi tradisional dan akhir segala hal, hal akhirat atau eskatologi. Buah dari kenabian adalah pengetahuan tentang semua aspek utama dari realitas yang dialami atau spekulasi tentang manusia, termasuk sifat ruang dan waktu, bentuk dan substansi, hukum sebab-akibat/kausalitas, takdir, dan berbagai masalah lain yang dengannya filsafat secara umum juga bersangkutan.

Selain itu, bentuk-bentuk tertentu dari kenabian harus dilakukan dengan pengetahuan batin, dengan esoteris dan mistiskal, dengan visi tingkat lain dari realitas yang tidak dimaksudkan untuk masyarakat umum yang luas. Kita telah melihat hubungan asal-usul filsafat Yunani dengan dimensi esoteris agama Yunani, dan kita dapat menemukan banyak contoh lain dalam tradisi-tradisi lain, termasuk tradisi agama Buddha dan khususnya Islam, di mana filsafat menjadi terkait lebih dalam di abad kemudian dengan dimensi batin wahyu Quran. Hubungan antara filsafat dan esoterisme, yang merupakan dimensi kenabian sebagaimana didefinisikan di sini dalam arti universal, juga memiliki sejarah panjang di Barat yang berlangsung sampai gerakan Romantic Jerman.

Dari abad ketujuh belas dan seterusnya, filsafat Barat merasa dipaksa untuk berfilsafat tentang gambaran dunia yang dilukis oleh ilmu pengetahuan modern dan menjadi lebih merupakan hamba ilmu pengetahuan modern terutama dengan pemikiran Emanuel Kant, dan mencapai banyak puncaknya pada abad kedua puluh dengan filsafat Anglo-Saxon, yang lebih sedikit terikat daripada jejak logika pada pandangan dunia ilmiah.

Dalam cara yang serupa, di berbagai dunia tradisional di mana realitas kenabian dan wahyu adalah menjadi pusatnya, apakah perwujudan dari kenabian ini telah menjadi kitab suci atau bentuk lain dari pesan yang dibawa dari surga atau utusan Tuhan sebagai mana dalam kasus para avatar Hindu, Buddha, atau Kristus, filsafat tidak punya pilihan selain untuk mengambil realitas sentral ini menjadi pertimbangannya. Filsafat harus berfilsafat tentang sesuatu, dan di dunia tradisional tersebut bahwa sesuatu selalu mencakup realitas yang terungkap melalui kenabian, yang berkisar dalam bentuk dari iluminasi dari rhesi Hindu dan Buddha, seperti Tuhan Allah berbicara kepada Nabi Musa di Gunung Sinai atau malaikat Jibril yang mewahyukankan Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW.

Dalam dunia tradisional pertanyaan tersebut, filsafat belum menjadi sesederhana teologi, karena beberapa orang telah berpendapat begitu, kecuali satu batasan definisi positivistik filsafat modern, jika dalam kenyataannya tidak ada filsafat non-Barat atau dalam hal ini filsafat Barat abad pertengahan, yang tidak membicarakannya.

Tetapi jika kita menerima definisi filsafat yang diberikan oleh orang yang dikatakan pertama kali telah menggunakan istilah itu yaitu Pythagoras – dan melihatnya sebagai cinta (philo) kepada Shopia (kebenaran), atau jika kita menerima menurut definisi Plato filsafat sebagai “praktek persiapan kematian” yang menurut filosofinya meliputi aktivitas intelektual dan latihan rohani, maka pasti ada banyak mazhab filsafat di berbagai dunia tradisional, beberapa yang masih ada sampai sekarang, hanya dalam bentuk lisan sebagai salah satunya yaitu tradisi pribumi Australia (aborigin) dan penduduk asli Amerika (indian),[19] sementara yang lain telah menghasilkan volume tulisan-tulisan filosofis selama berabad-abad.

Bahkan jika ada orang yang memutuskan untuk hanya berurusan dengan karya-karya filsafat tertulis, orang bisa menulis volume tentang subjek filsafat di tanah kenabian yang berurusan dengan Tao dan tradisi filsafat Konfusianisme Cina, dengan orang-orang Tibet dan Buddhisme Mahayana termasuk mazhab-mazhab Jepang, semua yang memiliki karakteristik khusus mereka sendiri, dan tentu saja dengan tradisi filsafat yang sangat kaya dari Hindu India.

Kita juga bisa beralih ke dunia tradisi agama Ibrahimik dan menulis tentang mazhab filsafat Yahudi, Kristen dan Islam dari perspektif kegiatan filosofis dalam dunia yang didominasi oleh kenabian. Juga tak satu pun menemukan perawatan semacam ini benar-benar lengkap paralel untuk tiga adik tradisi-agama Ibrahimik, meskipun terkenal kesamaan, karena sementara konsepsi kenabian Yahudi dan Islam dan kitab sucinya yang berdekatan, namun bahwa Kekristenan agak berbeda, di mana pendiri agamanya (Yesus) dipandang sebagai inkarnasi dari Keilahian, berbeda dalam banyak hal baik dari materi Yahudi dan pandangan Islam. Perbedaan ini sangat penting secara filosofis seperti yang kita lihat dalam perlakuan filosofis inkarnasi dalam filsafat Kristen dan “filsafat kenabian” dalam konteks Islamnya. [20]

Untuk memberikan argumen mengapa kita perlu untuk mencari saran atau resep alternatif untuk memecahkan masalah dan krisis modernisme, saya menemukan beberapa artikel yang baik dan jelas dari situs The Center of Science Sacred (http://www.centerforsacredsciences.org) di bawah ini :


Mengapa Kita Perlu Pandangan Dunia yang Baru?


Ketika astronom Polandia Nicholas Copernicus, hampir lima ratus tahun yang lalu, mengusulkan bahwa matahari-lah, dan bukan bumi, yang menjadi pusat alam (tata surya), ia memulai sebuah revolusi ilmiah yang telah mengubah kehidupan manusia dengan cara yang dramatis dan belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk satu hal, ilmu pengetahuan dan teknologi (sains-tek) baru yang dilahirkan ini mungkin telah membuat perbaikan yang cepat dalam bidang-bidang seperti pertanian, manufaktur, obat-obatan, perjalanan, komunikasi dan pendidikan, yang kesemuanya telah memperbaiki standar hidup untuk sebagian besar populasi dunia. Namun, karena seperti yang mungkin menyambut perkembangan ini, hal ini tidak datang tanpa harga. Seiring dengan manfaatnya yang tidak dapat dipungkiri, sains-teknologi ini telah juga membawa di belakangnya sejumlah masalah yang tidak terduga. Kelebihan dan kepadatan penduduk, pencemaran lingkungan, degradasi ekologi (menurunnya kualitas lungkungan), pemanasan global, dan penemuan senjata pemusnah massal, semuanya telah mengancam kita dengan bencana yang jauh bisa lebih besar daripada apa pun akibat perkembangan ilmu pengetahuan yang telah begitu jauh terjadi. [21]

Bagaimanapun yang lebih mengkhawatirkan, adalah kenyataan bahwa meskipun solusi teknologi bagi banyak masalah-masalah ini sudah diketahui, tampaknya kita semakin tidak mampu mempersiapkan diri untuk melaksanakannya. Kelumpuhan psiko-spiritual ini menjadi poin kolektif kami, yang lebih halus namun kita harus tidak/kurang serius membayarnya dengan harga mahal, karena sains-teknologi dengan tidak perlu diragukan lagi, telah merusak keimanan seperti – hilangnya bantalan moral dan spiritual.

Sebenarnya, kerugian ini tidak datang begitu banyak dari sains per-se (yang, tegasnya, hanyalah merupakan metode), tapi dari kita telah menerima pandangan dunia materialisme-nya yang menjadi basis sains-teknologi. Masalah pada pandangan dunia materialisme ini adalah bahwa banyak penjelasan tentang bagaimana kosmos bekerja, bertentangan penjelasannya dengan yang pandangan-dunia agamis yang lebih tua, yang telah memberikan panduan moral dan spiritual bagi sebagian besar sejarah umat manusia. Apalagi, mengingat keberhasilan yang tampak dari penjelasan materialis itu telah menjadi lebih mengeras dan sulit bagi orang yang terdidik untuk menganggap serius setiap penjelasan keagamaan. Apakah para petani modern, misalnya, akan mengandalkan doa-doa dan mantera, daripada pupuk untuk meningkatkan hasil panen? Apakah ibu-ibu modern akan memilih ritual perdukunan tinimbang obat antibiotik untuk mengobati infeksi anaknya?

Perbedaan antara penjelasan yang ditemukan di dalam pandangan-dunia materialis ini dengan pandangan-dunia agamis mungkin tidak dengan sendirinya menjadi masalah, jika bukan karena fakta bahwa fungsi penting dari setiap pandangan dunia adalah untuk memberi pengikutnya pertimbangan internal yang koheren dan konsisten tentang realitas. Akibatnya, bila kita mempertanyakan satu aspek dari pandangan dunia tentu menimbulkan pertanyaan terhadap semua aspek lainnya juga. Dalam merusak penjelasan agama tentang cara kerja kosmos (alam Semesta), pandangan dunia materialisme juga menggerogoti nilai-nilai moral dan spiritual agama-agama tradisional yang telah mapan. Dan, yang membuat keadaan menjadi lebih buruk, karena pandangan dunia materialisme tidak mengakui dimensi spiritual dari kosmos, maka pada dasarnya tidak mampu memasok nilai-nilai spiritual dan moral itu sendiri.

Akibatnya, hari ini banyak orang (terutama di Barat) yang telah meninggalkan pandangan-dunia agama mereka sama sekali dan hidup dalam kekosongan moral dan spiritual. Orang lain telah menyerah kepada sejenis ‘skizofrenia filosofis’ di mana mereka bergantung pada pandangan dunia materialisme untuk pelaksanaan urusan praktis mereka, sementara mencari pandangan dunia agama yang bertentangan untuk membimbing kehidupan rohani mereka.

Pertanyaannya, kemudian, secara alami muncul: “Apakah mungkin untuk menciptakan pandangan dunia baru yang dapat menjelaskan dengan baik keberhasilan ilmu pengetahuan modern sambil mempertahankan nilai-nilai fundamental moral dan spiritual? Sebelum menjawab pertanyaan penting ini, bagaimanapun, kita pertama harus jelas mengenai apa pengertian pandangan dunia itu.
Definisi Pandangan Dunia (Worldview)

Secara ringkas, pandangan dunia adalah sebuah konsep yang koheren, yang disepakati tentang peta kosmos. Secara lebih spesifik, pandangan dunia dapat memasok suatu komunitas tertentu dengan:
1. asumsi dasar tentang apa yang nyata dan apa yang tidak nyata, dan kriteria untuk membedakan apa yang benar dari apa yang salah;
2. terminologi untuk membahas asumsi-asumsi dasar dan kriteria tersebut, dan untuk menarik kesimpulan logis darinya;
3. nilai-nilai yang memberikan bimbingan moral dan spiritual bagi tindakan-tindakan kita;
4. contoh-contoh historis yang berfungsi sebagai model peran tentang bagaimana asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai bisa berhasil digunakan dalam rangka untuk memberikan makna hidup kita dan koherensinya.

Apakah kita menyadarinya atau tidak akan hal itu, semua kita memiliki pandangan dunia. Sebagian besar dari kita menerima pandangan dunia kita dari masyarakat di mana kita dilahirkan dan tetap berkomitmen untuk itu sepanjang hidup kita. Beberapa dari kita, bagaimanapun juga, menghadapi situasi atau memiliki pengalaman yang tidak dapat dijelaskan dengan pandangan dunia yang kita warisi tersebut. Ini biasanya berupa endapan krisis kepercayaan yang dapat diselesaikan dalam satu dari dua cara: entah kita sampai pada pemahaman yang lebih dalam tentang pandangan dunia yang kita warisi, yang menunjukkan bagaimana dapat menjelaskan situasi anomali (keanehan) atau pengalaman, atau kita mengubahnya dengan pandangan dunia lain, yang dianut oleh sebuah komunitas yang berbeda, yang telah memiliki penjelasan built-in untuk anomali yang kita temui.

Kadang-kadang seluruh anggota komunitas akan menghadapi anomali yang tidak dapat dijelaskan oleh pandangan dunia yang ada. Ketika ini terjadi, masyarakat secara keseluruhan memasuki masa krisis. Orang-orang di masyarakat mulai kehilangan indera arah. Mereka tidak lagi merasa jelas tentang apa yang mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukannya. Pada titik ini, anggota kaum intelektual masyarakat mulai mencari pandangan dunia baru. Jika mereka gagal untuk menemukannya, masyarakat akhirnya akan hanyut ke sejenis disintegrasi (perpecahan) yang digambarkan oleh Yeats sebagai: “Hal-hal yang berantakan, pusat tidak bisa menahannya; anarki dilepaskan atas dunia.” Konflik antara pandangan dunia ilmu pengetahuan materialisme dan pandangan-dunia agama tradisional telah membawa umat manusia hanya kepada krisis seperti itu, dan krisis ini hanya bisa diselesaikan melalui penciptaan pandangan dunia baru.

Kami, penulis buku ini dan beberapa sarjana yang ada di Center for Sacred Sciences, percaya adalah sangat mungkin untuk menciptakan pandangan dunia baru di mana kebenaran sains dan agama dipandang sebagai cara yang cocok (kompatibel) dalam melihat Realitas dasar yang sama. Ada beberapa alasan mengapa kami percaya hal ini mungkin:

Sebuah Pandangan Dunia Baru

Beberapa ilmuwan di Center for Sacred Sciences (Pusat Ilmu Suci), sama seperti kami, percaya adalah mungkin untuk menciptakan sebuah pandangan dunia baru di mana kebenaran sains dan agama dipandang sebagai cara yang kompatibel (cocok satu sama lain) dalam melihat Realitas dasar yang sama.[22] Ada beberapa alasan mengapa kami percaya hal ini mungkin:

Fisika Modern Bertentangan Materialisme

Alasan pertama adalah bahwa munculnya fisika kuantum pada kuartal pertama abad kedua puluh telah memberikan gambaran bahwa pandangan dunia materialisme ilmiah tidak dapat lagi dipertahankan. Asumsi dasar dari pandangan dunia materialisme adalah bahwa benda-benda fisik ada secara independen dari kesadaran, yang dianggap sebagai epiphenomenon hanya proses fisik yang terjadi di otak. Menurut fisika kuantum, bagaimanapun, ini tidak benar. Benda-benda tidak ada dalam cara yang pasti terlepas dari kesadaran subjek yang mengamati mereka. Kedua aspek realitas kesadaran dan kesadaran-benda tidak dapat dipisahkan.[23] Dengan demikian, bukti ilmu itu sendiri bertentangan dengan perhitungan murni materialistik alam semesta. Akibatnya, ilmu pengetahuan telah harus meninggalkan pandangan dunia materialism-nya dan saat ini sedang mencari beberapa penjelasan lain untuk hasil temuannya.

Ini tidak berarti bahwa ilmu pengetahuan saat ini telah memberikan bukti untuk pandangan dunia spiritual, sebagaimana beberapa pemikir modern secara prematur menyimpulkannya. Bagaimanapun ini berarti bahwa materialisme adalah tidak pernah dapat lagi memberikan dasar yang kuat untuk ilmu pengetahuan. Dengan demikian, suatu hambatan yang besar untuk setiap pemulihan hubungan antara sains dan agama telah efektif telah dihapus.

Kesepakatan Perjanjian di antara Para Mistikus

Alasan kedua kita percaya adalah mungkin untuk menciptakan pandangan dunia yang komprehensif berasal dari perkembangan modern dalam pemahaman kita tentang perbedaan antara tradisi-tradisi keagamaan. Seringkali konsep agama sendiri telah bertentangan dengan satu sama lain, masing-masing mengklaim bahwa pandangan dunia tertentu sendiri adalah satu-satunya yang sah. Tapi situasi ini, juga telah berubah. Selama beberapa dekade terakhir para ulama-ilmuwan dan para penerjemah telah menyediakan sebuah badan pengetahuan yang semakin besar dari teks asli kitab suci yang diambil dari semua tradisi agama besar di dunia. Dari perspektif global yang diberikan oleh studi perbandingan teks-teks ini, kita sekarang dapat mulai melihat bahwa, sementara para filsuf dan teolog dari berbagai tradisi ini masih memiliki banyak perbedaan pendapat tentang Nature of Ultimate Reality, hal ini tidak terjadi dengan mistik (dunia kebatinan/ruhaniyah/spiritualitas). Sebaliknya, kesaksian mereka menunjukkan tingkat kesepakatan yang sangat tinggi. Antara lain, mereka semua bersikeras bahwa Nature of Ultimate Reality bisa langsung direalisasikan meskipun Gnosis (Ma’rifat/Pencerahan) yang melampaui segala pandangan dunia, bahkan dari orang-orang tradisi mereka sendiri. Jika kita mengambil Realisasi mistis ini atau Gnosis untuk membentuk wawasan inti yang memunculkan berbagai tradisi agama, maka semua yang diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara ilmu pengetahuan dan agama adalah untuk membuat sambungan antara sains dan mistisisme (Irfan).
Hubungan antara Sains dan Mistisisme (Irfan)

Pada kenyataannya, ada dua koneksi antara sains dan mistisisme. Yang pertama, berkaitan dengan kesamaan dalam metodologi mereka. Sama seperti para para ilmuwan mempertahankan bahwa kebenaran teori mereka dapat diverifikasi (diuji kebenarannya) oleh siapa saja yang melakukan pengamatan yang tepat dan eksperimen, para mistikus juga mempertahankan bahwa Kebenaran ajaran mereka dapat diverifikasi oleh siapa saja yang bersedia untuk melakukan disiplin dan praktek spiritual yang sesuai. Dengan demikian, perbedaan antara ilmu pengetahuan dan agama tidak (karena banyak orang mengira) bahwa salah satu bergantung pada penyelidikan empiris dan yang lainnya pada keyakinan yang membuta. Sebaliknya, perbedaan terletak pada domain yang akan diselidiki dan jenis kebenaran yang akan diverifikasi.

Gambar 1: Diagram Hubungan antara Science and Mysticism


Sementara para ilmuwan memfokuskan investigasi mereka pada perilaku objek dalam kesadaran, para mistikus berkonsentrasi pada kesadaran subjek – ‘diri’ atau ‘aku’ yang kepada siapa objek itu tampil. Dan sementara para ilmuwan berusaha untuk mengembangkan teori-teori yang lebih halus dan komprehensif tentang bagaimana realitas bekerja, para mistikus berusaha untuk Mewujudkan Kebenaran tentang alam fundamental yang terletak di luar jangkauan teori apapun. Perlu dicatat bahwa, jauh dari menempatkan sains dan mistisisme dalam konflik, perbedaan-perbedaan antara domain masing-masing dan apa fungsi sebenarnya yang membuat kompatibilitasnya menjadi mungkin.

Tidak hanya ilmu pengetahuan dan mistisisme memiliki metodologi yang paralel/sejajar, tetapi mistik benar-benar dapat memberikan pemahaman spiritual/filosofis yang koheren tentang bagaimana ilmu pengetahuan bekerja. Salah satu ajaran penting yang disepakati oleh para mistikus dari semua tradisi menyangkut hubungan antara kesadaran dan objek-nya hubungan yang sangat terletak di jantung dari krisis filosofis dalam fisika modern (seperti yang telah kita lihat). Apa yang para mistikus klaim bahwa perbedaan antara subjek pada kesadaran dan benda-benda yang timbul dalam kesadaran adalah imajiner. Pada kenyataannya, Kesadaran (tentang Allah, Brahman, Pikiran-Buddha, atau Tao) merupakan lahan dasar yang tak berbentuk (Formless Ground) dari mana semua bentuk timbul sebagai tak terpisahkan sebagai gelombang yang timbul dari lautan yang tunggal. Dengan demikian, ajaran-ajaran mistisisme mengambil tepat di mana teori-teori ilmiah modern telah meninggalkannya. Dan itu ada di sini, pada saat ini antara dua domain mereka, bahwa kontinuitas sebenarnya antara ilmu pengetahuan dan mistisisme mulai menampakkan dirinya. (lihat dan renungkan kembali diagram hubungan sains dan mistisisme di atas).

Setelah ini dipahami, masalah membangun pandangan dunia baru pada dasarnya bermuara untuk formulasi pertanyaan: “Dapatkah kontinuitas (keberlangsungan) antara ajaran-ajaran mistisisme dan teori-teori ilmiah dinyatakan dalam bahasa ketat tunggal yang dipahami oleh keduanya?
Peran Matematika

Hal ini membawa pada alasan terakhir untuk kita percaya bahwa pandangan dunia baru adalah sangat mungkin. Sudah ada bahasa yang dapat mengekspresikan kesinambungan antara sains dan mistisisme. Bahkan, bahasa ini pada awalnya dikembangkan untuk tujuan ini oleh keturunan mistikus Yunani kuno yang dimulai dengan Pythagoras dan Plato. Dan, meskipun sebagian besar telah kehilangan pandangan tentang asal-usul mistik sendiri, hari ini diakui sebagai bahasa universal ilmu pengetahuan modern. Kami, tentu saja, mengacu pada bahasa matematika.

Terlepas dari kenyataan bahwa kekuatan sains mengagumkan justru berasal dari kemampuannya untuk menyatakan hubungan matematis antara fenomena fisik, pertanyaan yang dimiliki ilmuwan yang paling bingung sendiri adalah: Mengapa karya ini, mengapa alam semesta ini obyektif begitu sempurna mematuhi persamaan matematik yang berasal dari pikiran subjektif ? Hebatnya, jika klaim mistik adalah benar – bahwa perbedaan antara kesadaran dan benda-benda adalah imajiner – maka pertanyaan yang mendalam ini memiliki jawaban yang radikal meskipun sederhana: Matematika tidak menggambarkan dunia objek yang ada secara independen; namun menciptakan benda-benda ini dengan tindakan imajinasi dalam Kesadaran itu.

Bahkan, proses ini telah diberikan formulasi matematis yang eksplisit. Dalam karya yang berpengaruh: Law of Forms (1969), matematikawan G. Spencer-Brown menunjukkan bagaimana, mulai dari kekosongan yang tak berbentuk, tindakan sederhana membuat perbedaan secara alami dapat menimbulkan hukum yang paling primitif yang mendasari logika dan aritmatika. Sekarang, jika kita mengambil kekosongan (suwung) ini adalah bahwa Kesadaran tak berbentuk yang disaksikan oleh kaum mistik, bahasa pembedaan ini dapat memberikan ekspresi matematika yang tepat untuk beberapa ajaran mistik tertinggi (misalnya, seperti yang digambarkan di Thomas McFarlane “The Play of Distinction“). Terlebih lagi, pekerjaan berikutnya oleh Jack Engstrom, Louis Kauffman, Jeffrey James, dan Thomas McFarlane membawa kita percaya bahwa untuk seluruh tubuh matematika yang dipekerjakan oleh ilmu pengetahuan modern dapat ditelusuri kembali dari undang-undang tentang bentuk (laws of forms) di garis yang tak terputus antara bentuk yang sama dan Void (kekosongan) yang dari mereka muncul.

Jika ini terbukti menjadi kasus, maka kedua temuan ilmu pengetahuan modern serta ajaran-ajaran mistik telah akan dibawa ke dalam lingkup bahasa yang umum untuk semacam pandangan dunia baru yang hanya kita miliki dalam pikiran. Dalam pandangan dunia seperti kebenaran ilmu pengetahuan akan terlihat mengalir mulus dari dalam Realitas Kebenaran yang lebih disadari oleh para mistikus dari semua tradisi keagamaan, sedangkan tradisi-tradisi itu sendiri akan dipandang sebagai berbagai cabang dari Tradisi Besar yang tunggal yang telah menghiasi kemanusiaan dengan moral yang sangat diperlukan dan bimbingan rohani sejak fajar kerberadaan spesies kita.

Membantu untuk membangun dan mengembangkan cara pandangan dunia seperti ini adalah salah satu tujuan utama Pusat Ilmu Suci didirikan. Mereka tidak berada di bawah ilusi bahwa pandangan dunia baru dapat sepenuhnya dibangun atau disebarluaskan dalam semalam. Pemenuhan visi seperti itu adalah tugas sejarah yang mungkin memakan waktu beberapa generasi untuk menyelesaikan. [24]
Tradisionalisme, Filsafat Perennial, dan Studi Islam

Salah satu aspek yang paling dikenal dari penolakan terhadap modernisme Barat telah terjadi di pinggiran pertemuan peradaban Eropa dengan Islam. Meskipun para ilmuwan sosial yang bekerja dalam studi Timur Tengah telah merasa aman mampu mengabaikan Filsafat perennial/abadi dan eksponen Tradisi, para spesialis dalam studi agama tiba-tiba memiliki lebih banyak eksposur pengungkapan ke mazhab pemikiran post-modern ini. [25]

The Journal of the American Academy of Religion telah menampilkan artikel tentang eksponen Perennialism,[26] dan Konsultasi Esotericism dan Perennialism (dengan organisasi saudaranya, Academy Hermetik) yang telah selama beberapa tahun menyelenggarakan panel makalah pada konferensi tahunan AAR. Asal-usul filosofi ini dapat dicari dalam posisi tradisionalis yang dikembangkan oleh sejumlah pemikir ultramontane Katolik Perancis abad kesembilan belas, terutama Joseph de Maistre (w. 1821), L. de Bonald (w. 1840), dan FR de Lammenais (w. 1854). Tradisionalisme pada dasarnya merupakan filsafat sejarah yang menentang rasionalisme para filsuf Pencerahan, dan tradisi yang terlalu ditinggikan (terutama gereja Katolik) ke posisi otoritas ilahi dan mutlak. Jadi ini adalah oposisi ekstrem dari beberapa tradisionalis kepada modernisme sehingga mereka dikucilkan pada tahun 1855 untuk penolakan mereka terhadap akal (reason).

Namun kritik tradisionalis kepada modernisme masih memegang daya banding, dan kemudian diadopsi oleh anggota okultisme dan esoteris bawah tanah Perancis pada pergantian abad. Adalah gagasan penting dari tradisi, yang bahkan untuk Lammenais termasuk wahyu primitif atau primordial yang tidak terbatas pada agama Kristen (ini nanti akan muncul kembali sebagai monoteisme primitif Wilhelm Schmidt). Tradisi suci bisa diberi nomor dalam bentuk jamak, dan dengan demikian semua agama itu harus dianggap sebagai manifestasi dari Filsafat Perennial yang satu dan abadi (frase “filsafat perennial” dari karya Latin Philosophia perennis oleh sarjana Renaissance Augustinus Steuchus, ditulis dalam tahun 1540, dan itu kemudian dijemput oleh Leibniz, tapi tidak halnya dengan implikasi ekumenis yang luas seperti dalam Tradisionalisme kontemporer).

Apa yang sangat relevan untuk studi Islam adalah bahwa, meskipun penghormatan teoretis mereka untuk Katolikisme, sebagian besar penganut Filsafat perennial/abadi lebih tertarik dengan Islam, meskipun ada beberapa yang lebih erat terkait dengan Buddhisme (Marco Pallis, AK Coomaraswamy) atau Taoisme (de Pourvourville). Apa daya tarik tradisionalisme, dan mengapa mayoritas tradisionalis menemukan Islam menjadi tradisi suci tunggal yang memenuhi aspirasi mereka?

Ketidakpuasan terhadap ekses dari Pencerahan Eropa dan modernisme tampaknya menjadi alasan utama. Abad kesembilan belas melahirkan sejumlah keturunan ideologis yang memiliki pengaruh yang sangat buruk: nasionalisme pseudo-agama, keyakinan positivistik dalam ilmu pengetahuan, rasisme dan evolusionisme sebagai alasan untuk imperialisme yang tak terkendali, erosi peran publik agama. Terhadap usaha Promethean ini yang kaum Perennialists bertahan lebih dari manusia yang punya otoritas wahyu primordial, gnosis ilahiyah disesuaikan untuk memberi rahmat kepada keadaan yang berbeda dalam bentuk agama, dan pandangan sejarah devolutionistic yang melihat modernitas sebagai pemberontakan yang direndahkan dan setan terhadap realitas.

Dengan tempat ini dalam pikiran, kita dapat melihat bagaimana Islam sebagai tradisi suci secara alami akan menempati posisi sentral. Penekanan teologis persatuan Islam, konsep historiografi Islam sebagai wahyu terakhir dalam urutan turunnya kenabian, dan posisi oposisi dari negara-negara Islam sebagai blok terbesar mengalami kolonisasi Eropa, semuanya membuat sudut pandang alami tradisionalis Islam untuk mencari afiliasi otentik. Kristen telah babak belur terlalu parah dan rusak untuk melayani sebagai tempat berlindung (ultra-Katolik Rama Coomaraswamy menganggap kepausan saat ini tidak sah karena telah meninggalkannya ritual abad pertengahan). Hal ini tidak mudah untuk mengkonversi ke agama Hindu, Yahudi ortodoks, atau tradisi suku, dan agama Buddha mungkin bukan pilihan yang valid di Barat. Yang tampaknya meninggalkan Islam.

Kaum Tradisionalis yang berpindah agama ke Islam, beberapa di antaranya berafiliasi dengan tarekat Sufi Alawi-Shadhili, termasuk pelukis Swedia Ivan Aguéli (`Abd al-Hadi, d. 1917), esotericists Perancis: Leon Champrenaud (`Abd al-Haqq) dan René Guenon (‘Abd al-Wahid Yahya, d. 1951 di Kairo), dan rekan Guenon yang orang Swiss, Titus Burckhardt dan Frithjof Schuon (Isa Nur al-Din, sekarang tinggal di Bloomington, Indiana). Terjemahan dari teks-teks mistik Islam mereka (terutama dari mazhab Ibn `Arabi) dan serangkaian buku tentang Islam dan agama menemukan pembaca yang menerimanya. Jurnal Perancis, Études Traditionnelles, dan imbangannya yang berbahasa Inggris, Tommorow, yang kemudian dinamai Studies in Comparative Religion mempopulerkan pandangan mazhab ini, perwakilan koleksi esai ditemukan dalam The Sword of Gnosis (1974), yang diedit oleh Jacob Needleman. Perspektif tradisionalis kini dibagi bersama terutama oleh sejumlah kecil intelektual tapi berpengaruh, pada sebagian besar Muslim di Eropa dan Amerika, tetapi semakin juga di negara lain seperti Pakistan, Indonesia dan Malaysia. Buku-bukunya yang dikaji semuanya ditulis oleh penulis Muslim yang tradisionalis, penganut Filsafat perennial/abadi dalam arti hanya menjelaskan, meskipun masing-masing memiliki penekanan khusus dan sudut pandangnya sendiri.

King of the Castle karya Charles Le Gai Eaton adalah ulangan dari karya yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1977, dengan kata pengantar singkat baru yang mengomentari karakter pribadi dari buku dan asal usulnya dari karya yang lebih tua disebut The Riches Vein (1947). Tujuannya adalah “untuk mewartakan keanehan zaman modern dan membuka kedok pretensinya”. Judul ironisnya menggambarkan situasi manusia modern dalam hal permainan satu-upmanship anak-anak. Dalam serangkaian delapan esai seperti bab (tidak ada indeks), Eaton berturut-turut mengambil topik masyarakat, ekonomi, antropologi filosofis, dan agama. Lebih bersedia memberikan komentar secara langsung sebagai konservatif politik daripada tradisionalis lainnya, Eaton dikutip telah melihat totalitarianisme (baik Nazi dan Komunis) sebagai produk modernitas anti-tradisional yang paling khas.

Serangan terhadap pejabat birokrasi dibenarkan oleh kebangkitan nostalgia kemerdekaan pengusaha kecil dan petani (di sini konservatif Katolik Gustave Thibon disebut dalam faksi yang mendukung). Gayanya intens, dramatis, dan ironis verging pada sarkasme ketika modernitas ditujukan (yaitu, sebagian besar waktu). Otoritas spiritual seperti Al-Qur’an dan kata-kata Rumi yang sering dikutip, dan banyak analogi dan anekdot yang digunakan sebagai kaitan untuk menggantung argumen. Tujuan utamanya, bagaimanapun, tidak menganjurkan mistik, tetapi untuk menanamkan doktrin yang akan memperkuat daya tahan seseorang terhadap kekuatan korosif modernitas; ini merupakan khotbah yang diperpanjang, dari posisi Islam universal, memperjuangkan peran agama yang kesepian di zaman yang jahat.

Martin Lings yang dikenal sebagai Islamicists dalam studi kaligrafi Al Qur’an, untuk biografi Sufi Aljazair Syaikh Ahmad al-`Alawi (A Sufi Saint of the Twentieth Century), dan untuk biografi Nabi Muhammad. Sebelumnya sebagai seorang kurator naskah Oriental di British Museum, ia juga menulis tentang Shakespeare dan mata pelajaran lain. Buku kecil ini adalah kumpulan dari sepuluh esai tentang simbolisme dalam berbagai tradisi agama. Bab pertama, “What is Symbolism?” menggunakan contoh-contoh Al-Qur’an untuk mendefinisikan simbol sebagai refleksi dari realitas yang lebih tinggi dalam gambar yang mengungkapkan hubungan antara mikrokosmos ke makrokosmos; pengetahuan tentang hubungan ini, diperoleh melalui kitab suci dan ritual tradisional, yang diperlukan untuk mengatasi jatuh dari kesempurnaan manusia primordial. Esai berikutnya mencerminkan relatif tentang pentingnya simbol seperti benteng batu bentrok yang menghalangi jalan ke dunia spiritual (“The Decisive Boundary”), polaritas (“The Simbolism of Pairs), trinitas (“The Symbolism of the Triad of Primary Colours“), Raja-Paus/King-Pontiff (“The Archetypes of Devotional Homage“), dan liturgi suci (“The Language of the Gods“). Topik yang lebih khusus dipertimbangkan dalam “The Quranic Simbolisme of Water“, “The Symbolism of the Luminaries in Old Lithuanian Songs“, “The Seven Deadly Sins” dan “The Symbolism of the Mosque and the Cathedral.” Metode analisis yang digunakan adalah komparatif, mengikuti Coomaraswamy dalam menggunakan beberapa contoh dari tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda dan mengurangi mereka untuk makna metafisik tunggal. Lings percaya diri untuk menggunakan satu tradisi untuk menjelaskan yang lain, misalnya, Brahma, Siwa, dan Wisnu menjelaskan Trinitas Kristen, sedangkan Injil Yohanes menggambarkan karakter Nabi Muhammad. Buku ini adalah contoh yang baik dari program penafsiran dari metafisika tradisionalis sebagai disistematis-kan oleh Schuon.

Karya Seyyed Hossein Nasr Traditional Islam and the Modern World (Tradisional Islam dan Dunia Modern) adalah kumpulan dari delapan belas esai yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1987, yang membela Islam tradisional terhadap kedua modernisme (apakah Eropa atau Islam) dan yang bertentangannya: fundamentalisme (ekstrimisme-radikalisme, pent). Nasr, yang terkenal karena banyak studi ilmu pengetahuan Islamnya, budaya, dan spiritualitas, di sini menyinggung beragam subjek dalam upaya untuk memperbaiki, tidak hanya distorsi standar Orientalisme, tetapi juga salah tafsir yang berasal dari jurnalisme politik, Marxisme, dan apa yang disebut “kebangkitan kembali Islam.”

Bagian pertama, “Facets of the Islamic Tradition” (Wajah Tradisi Islam), membahas jihad, etos kerja, dan hubungan pria-wanita untuk menunjukkan gagasan tradisi sebagai wahyu suci yang mencakup segalanya melalui sejarah dan alam. Bangunan eksplisit Filsafat perennial/abadi ini menurut Guenon dan Schuon, bagian ini khusus mengikat touchstones/tombol sentuh Tradisi Islam: istilah din dan sunnah, koleksi hadits standar (baik Sunni dan Shi`i), dan tasawuf Safawi Iran. Pada saat yang sama, mungkin akan dikatakan bahwa abstraksi sangat neologisme tertentu yang digunakan di sini (misalnya, “Islamicity/keislaman“, “Syariat“), dan ketegangan sintetis transendensi sejarah seperti antara Sunni dan Syiah, titik arah alam baru-baru ini dan sifat retrospektif pertahanan tradisi.

Bagian II, “Traditional Islam and Modernism,” menggali lebih lanjut tetang kontras antara kurangnya prinsip-prinsip antropomorfik modern dan keutuhan dan karakteristik transendensi dari sikap tradisional. Kritik Nasr tentang sifat modernistik (terutama pengurangan politik agama kepada ideologi dan etika) sering cerdik dan mengungkapkan.

Bagian III, “Tradition and Modernism—tensions in Various Cultural Domains” (Ketegangan Tradisi dan Modernisme di Berbagai Wilayah Budaya,)” membangun kritik modernisme kumulatif dengan tujuh esai yang segera memanggil intelektual Muslim untuk peduli kepada penderitaan mereka. Area utama yang dibahas di sini adalah pendidikan, filsafat, dan arsitektur, dalam semua yang, menurut pendapat Nasr pengaruh Barat secara sistematis telah mengikis dasar asli Islam di sebagian besar negara-negara Muslim.

Bagian IV, “Western Interpreters of the Islamic Tradition (Penafsir Barat atas Tradisi Islam)” memberikan kesaksian hangat tentang sedikit sarjana Eropa yang telah melampaui Orientalisme dengan keterlibatan pribadi yang intens dengan Islam. Seorang Katolik (Louis Massignon), seorang Protestan (Henry Corbin), dan Muslim (Titus Burckhardt) telah ditampilkan sebagai pengingat bahwa mungkin telah terjadi pertemuan spiritual asli dengan Islam pada bagian dari intelektual Barat yang belum menyerah pada sekularisme dan modernisme. Bagian penutup “Postscript” menambahkan mesianisme ke daftar tanggapan Muslim terhadap modernisme, dan memberikan refleksi akhir tentang pentingnya modernisme itu sendiri, berbagai tren yang biasa disatukan sebagai “fundamentalisme”, dan wakil-wakil yang tersisa dari Islam tradisional. Nasr berbicara dengan penuh semangat tapi ironisnya abai dari kebutuhan untuk dimensi intelektual terhadap kritik modernisme. Buku ini mungkin adalah contoh terbaru terbaik dari perspektif tradisionalis Islam.

Volume yang disunting oleh Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality Manifestation adalah pasangan dari Islamic Spirituality Foundation. Kedua volume tentang Islam ini telah berusaha untuk menghindari historisisme dan skeptisisme rasionalistik, yang keduanya kecenderungan yang digambarkan sebagai asing bagi Islam.

Sebagai bagian dari seri Spiritualitas Dunia, buku ini memperlakukan tasawuf sebagai aspek batin atau spiritual Islam, dan editor menggambarkan koleksi ini dari artikel sebagai upaya pertama untuk memperlakukan tasawuf dalam skala global. Seperti dalam volume pertama, penulis artikel terpisah ini adalah sebagian besar umat Islam (termasuk sejumlah tradisionalis).

Pendahuluan dan Prelude tentang Tarekat Sufi ini adalah kontribusi oleh Nasr, yang diikuti oleh dua puluh lima esai tentang topik yang terpisah.

Bagian Satu, “Spiritualitas Islam yang diwujudkan dalam tasawuf di dalam Ruang dan Waktu,” berisi lima belas esai tentang sufi tertentu, mazhab, dan daerah.

Bagian Kedua, “Sastra Islam sebagai Cermin Spiritualitas Islam,” memiliki enam esai tentang sastra Islam dalam bahasa Arab, Persia, Turki, Indo-Muslim, Melayu, dan literatur Afrika.

Bagian Ketiga, “Pesan Spiritual Seni dan Pemikiran Islam”, memiliki empat esai umum topik khusus tentang teologi dan filsafat, ilmu yang tersembunyi, musik dan tari, dan seni. Sayangnya tidak ada daftar ilustrasi selain dari kredit judul untuk tujuh belas foto yang direproduksi di sini. Dalam jumlah ruang terbatas yang tersedia, maka hal tersebut pasti memerlukan tinjauan singkat dan ringkasan yang akan membantu terutama untuk siswa dalam mencari orientasi pertama bibliografi topik tertentu.

Sejumlah sarjana terkemuka penulis dalam studi tasawuf (yaitu KA Nizami, A. Schimmel, J. Nurbaksh) yang memiliki presentasi padat terpaksa membuatvpenjelasan penuh rincian di tempat lain. Namun, beberapa artikel singkat dan sepintas yang mengecewakan, sejauh menjadi tidak lebih dari daftar nama; yang sangat tidak memadai adalah artikel tentang sastra Sufi Arab, subjek yang berteriak untuk perlakuan penuh.

Menurut Carl W. Ernst artikel yang paling sukses adalah oleh William Chittick tentang Ibn `Arabi dan Rumi, yang merupakan esai programatik oleh Nasr tentang “Teologi, Filsafat, dan Spiritualitas,” dan survei yang dilakukan oleh Jean-Louis Michon tentang “Tarian Suci dan Musik dalam Islam”. Karena tidak semua kontributor berbagi perspektif filosofis yang sama, kita tidak mendapatkan dari sebuah volume pandangan Perennialist atau tasawuf yang jelas dan seragam

Apa arti penting dari mazhab tradisionalis untuk studi Islam? Penolakan mereka terhadap historisisme menimbulkan kesulitan bagi sebagian besar ahli tentang Islam, apakah dia humanis atau ilmuwan sosial. Jika premis dari Filsafat Perennial kebobolan, maka banyak aparat keulamaan/kesarjanaan modern, yang mengakui produk Pencerahan, telah dihukum.

Sketsa yang diberikan di atas mencoba untuk menguraikan latar belakang intelektual tradisionalisme sebagai respon terhadap modernisme Eropa; penempatan sejarah ironisnya membuat Tradisionalisme tidak tradisional atau khas Islam.

Sebelum krisis budaya tertentu yang disebabkan oleh modernisme, itu tidak perlu dan tidak mungkin untuk merumuskan pembelaan tradisi seperti itu. Namun kita juga dapat melihat mengapa Filsafat perennial/abadiakan menjadi pilihan yang menarik bagi para pemikir Muslim dalam mencari posisi yang melawan imperialisme budaya Barat yang sekuler.

Jika pemikir Muslim menerima alasan otonom pencerahan Eropa, tidak ada lagi ruang untuk transendensi, maupun pembenaran intelektual untuk Muslim sisanya. Tradisionalisme, kemudian, adalah kritik teologis terhadap modernisme yang telah menemukan titik kumpul alami dalam tradisi yang paling terancam oleh Barat, yaitu Islam. Modernisme ditantang di berbagai bidang. Penegasan perlunya doktrin suci dan Tradisi, bagaimanapun, terus terang otoriter, dan itu hanya akan menarik bagi minoritas; sementara saingannya fundamentalis yang berusaha untuk mencari pengikut massal, Tradisionalisme akan terus menjadi pilihan intelektual untuk beberapa Muslim (dan non-Muslim) dalam dunia post-modern.

Dalam bukunya What is Tradition, S.H. Nasr menjelaskan hubungan antara tradisi dan agama dari perspektif filsafat perennial yang dapat diringkas sebagai berikut: Sifat tradisi adalah merangkul semua, dan agama terletak pada asal-usul tradisi tersebut. Dipahami dalam pengertian agama ini adalah apa yang mengikat manusia dengan Tuhan dan pada saat yang sama mengikat orang-orang satu sama lain. Agama Hindu dan Buddha Dharma, al-din al-Islam, Taoist Tao, dan sejenisnya erat terkait dengan makna dari tradisi panjang tersebut, tapi tidak identik dengan itu, walaupun tentu saja dunia atau peradaban yang diciptakan oleh Hindu, Buddha, Taoisme, Yahudi, Kristen, Islam, atau dalam hal ini agama otentik lainnya, adalah dunia tradisional (SH Nasr 1989 hal.67). Dari perspektif itu, tradisi karena itu bertentangan prinsip modernisme. Ini ingin membunuh dunia modern dalam rangka menciptakan sesuatu normal (Needleman (end) 1974). Tujuannya bukan untuk menghancurkan apa yang positif dari modernism, tetapi untuk menghapus selubung ketidaktahuan modernism yang memungkinkan ilusi muncul sebagai nyata, negatif positif dan palsu sebagai benar (SH Nasr 1989).


Filsafat Perennial: Filsafat yang Abadi

The philosophia perennis atau Filsafat perennial/abadi menegaskan bahwa wawasan langsung ke dalam sifat dari Realitas adalah kemungkinan universal manusia – apakah itu bisa diperoleh setelah latihan disiplin spiritual dan studi kitab suci tertentu, atau melalui sepenuhnya pengalaman pencerahan menjadi persatuan tak terduga dengan Tuhan atau the Ultimate. Hasil dari kesadaran tersebut adalah keyakinan bahwa kita telah berasal dari Satu Sumber tunggal dan proses pembangunan spiritual kita itu selesai dan disempurnakan ketika kita kembali kepada Yang Satu itu.

Menyebut perennial ini adalah untuk mengatakan bahwa wawasan semacam itu muncul kembali dalam waktu dan tempat yang beragam, yang tidak terbatas pada budaya khusus, kelas, atau masyarakat tertentu. Dalam kata-kata yang lebih formal, filosofi ini telah digambarkan sebagai “metafisika yang mengakui Realitas illahiyah di balik segala dunia benda, jiwa dan pikiran; psikologi yang menemukan dalam diri seseorang yang identik dengan Realitas illahiyah dan etika yang menempatkan tujuan akhir [seseorang] dalam pengetahuan tentang latar Imanen (yang mencakup/meliputi) dan Transenden (yang luhur) dari segala sesuatu. “

Dalam kata lain, istilah philosophia perennis dimaksudkan untuk menggambarkan filosofi yang telah dirumuskan oleh orang-orang yang telah mengalami penyatuan (Itihad /manunggaling) langsung dengan Allah atau The Ultimate. Betapapun singkatnya, pengalaman itu mengubah pemikiran orang yang mengalaminya, sehingga mereka tidak pernah sama lagi. Penyataan pengalaman tersebut, dapat ditangkap, namun tampak samar-samar dalam simbol-simbol yang disediakan oleh bahasa manusia atau apapun ekspresi yang artistik, namun sering kali diulang selama berabad-abad oleh orang-orang dari semua ras, jenis kelamin, budaya dan keyakinan agama, yang terbuka kepada Perennial Philosophy.

Lebih dari setengah abad yang lalu, Aldous Huxley memberikan judul ini kepada sebuah antologi yang ia edit. Dalam jenis pengalaman yang berpusat padanya, apakah yang disebut yang kuno atau primordial atau mistis, selubung materialitas adalah pinjaman dan kepastian yang keliru yang akan terhalau.

Untuk para pembaca, antologi Huxley mungkin dapat memvalidasi dan memverifikasi saat di mana self-knowledge seseorang merasa bergerak melampaui keterbatasan diri dari sekedar “a foul stinking lump of himself, (sebuah benjolan bau busuk dari dirinya sendiri),” sebagai mana teks Inggris klasik tentang instruksi spiritual, The Cloud of Unknowing telah menggambarkannya. Apakah teks-teks seperti instruksi spiritual dan pengalaman mistik tradisional ini masih bernilai saat ini? Filsafat Perennial merespon dengan tegas, Ya !

Salah satu cara untuk mengungkapkan wawasan sentral dari Filsafat perennial/abadi adalah dengan kalimat That Thou Art, yang diambil dari bahasa Sansekerta dari kitab Upanishad kuno. Ungkapan ini mengajarkan bahwa Diri abadi yang imanen diwujudkan menjadi satu dengan Prinsip Absolute/Mutlak dari semua Eksistensi, dan bahwa takdir sejati manusia adalah untuk menemukan fakta ini untuk diri mereka sendiri, untuk mengetahui Siapa dan Apakah mereka sebenarnya. Di antara ekspresi hidup lain dari pandangan ini adalah:
1. BYAZID OF BISTUM: “Saya pergi dari Tuhan Allah kepada Tuhan Allah, sampai mereka menangisi saya dari dalam diri saya,” O Dia – Aku”!
2. ST. CATHERINE OF GENOA: “Saya adalah (bagian dari) Tuhan Allah, juga saya tak mengenali yang lain kecuali Tuhan Allah sendiri.”
3. YUNG-CHIA-TA-SHIH: “Cahaya batin adalah di luar dari pujian dan sikap menyalahkan, seperti ruang, itu tidak mengenal batas, bahkan di sini, di dalam diri kita, pernah mempertahankan ketenangan dan kepenuhannya, hanya ketika Anda memburunya, Anda kehilangan itu. Anda tidak dapat memegang itu, tapi pada saat yang sama, Anda tidak bisa menyingkirkan itu. “
4. MEISTER ECKHART:. “Semakin Tuhan ada dalam segala hal, semakin Dia berada di luar mereka, semakin Dia berada di dalam, semakin tanpanya. Hanya yang transenden, yang lainnya yang lengkap, dapatkah menjadi yang imanen tanpa mengubah oleh yang menjadi di dalamnya yang berdiam.”
Dan apakah itu yang Engkau dapat menemukan dirinya untuk menjadi?
5. RUYSBROECK: “Dalam Realitas Kemenyatuan yang dikenal dengan mistik … kita tidak bisa berbicara makhluk apapun lagi, melainkan hanya dari satu Being (Keberadaan) … Ada kita semua adalah Satu sebelum penciptaan kita, karena ini adalah esensi-super kita. “
6. ST. BERNARD: “Siapakah Tuhan Allah? Saya bisa memikirkan tidak ada jawaban yang lebih baik daripada siapa Dia. Tidak ada yang lebih sesuai dengan kekekalan sebagaimana Tuhan Allah. Jika Anda sebut Allah itu baik, atau Maha Besar, atau Maha memberkati atau Maha Bijaksana, atau apa pun semacam ini.., itu termasuk dalam kata-kata ini, yaitu, Dia lah. “


Bagaimana seseorang dapat mencapai kepastian batin itu?

Filsafat Perennial menawarkan jawaban yang tampaknya paradoks. Hambatan bagi pengetahuan Kemenyatuan (Unitive) itu adalah kesadaran obsesif menjadi diri yang terpisah.Yang dilampirkan kepada aku, saya atau milik saya, tidak termasuk pengetahuan unitive tentang Allah.
1. WILLIAM LAW: “Manusia tidak berada di neraka karena Allah marah dengan mereka … mereka berdiri di bagian kedaaan perpecahan dan pemisahan dengan gerakan mereka sendiri, yang mereka telah membuatnya untuk diri mereka sendiri.
2. ST. JOHNTHE CROSS: “Jiwa yang masih melekat pada apa pun, betapapun banyaknya kebaikan yang mungkin ada di dalamnya, tidak akan sampai pada kebebasan kesatuan ilahiyah … yang diselenggarakan oleh ikatan kasih sayang manusiawi, … betapapun mereka mungkin sedikit, kita tidak bisa, selagi masih ada, membuat jalan kita kepada Tuhan Allah. “
3. ALDOUS HUXLEY: “Kita melewati dari waktu kepada keabadian ketika mengidentifikasi dengan spirit/semangat dan melewati lagi dari keabadian kepada waktu ketika kita memilih untuk mengidentifikasi dengan tubuh.”
Bantuan apa yang tersedia?
4. PHILO DARI ALEKSANDRIA: “Mereka berada di jalan kebenaran yang memahami Tuhan Allah dengan cara yang ilahi, diterangi oleh Cahaya (Cahaya di atas Cahaya.)”
Kapan tersedia? Pertimbangkan afirmasi berikut ini:
5. JOEL GOLDSMITH:. “Saya dalam persatuan dengan Kecerdasan Ilahiyah masa lalu, masa kini dan masa depan. Tidak ada rahasia spiritual yang tersembunyi dari saya … Ada Being yang Transendental ini dalam diri saya, yang adalah saya dan yang saya memiliki akses Itu selamanya …. Kesadaran ilahiyah yang tak terbatas dari Tuhan Allah, Kesadaran dari masa lalu, dan masa sekarang dan masa depan, adalah kesadaran saya saat ini. “
6. ALDOUS HUXLEY:.. “Kita berada di dalam sebuah proses menyapu kembali menuju titik yang sesuai dengan tempat awal di kebinatangan kita, tapi ada ketidaksamaan di atasnya. Sekali lagi kita hidup tinggal di saat itu. Kehidupan sekarang dari makhluk yang cintanya telah mengusir rasa takut, visi telah mengambil tempat harapan duniawi, dan mementingkan diri sendiri telah menghentikan egoisme positif dari puasnya kenangan dan egoisme negatif penyesalan.”
“Saat ini adalah satu-satunya singkapan melalui mana jiwa bisa lewat dari waktu ke dalam kekekalan, di mana karunia kasih bisa lulus dari keabadian ke dalam jiwa, dan di mana cinta dapat lulus dari satu jiwa pada waktunya untuk jiwa lain dalam waktu.

Lebih dari dua puluh lima abad telah berlalu sejak apa yang telah disebut Filsafat perennial/abadi pertama kali berkomitmen untuk ditulis; dan dalam perjalanannya berabad-abad telah menemukan ekspresi, kadang bersifat parsial, kadang lengkap, kadang dalam bentuk ini, kadang dalam hal itu, lagi dan lagi. Dalam tradisi kenabian Vedanta dan Ibrani, dalam Tao The King and Dialog Plato, dalam kitab Injil menurut St John dan teologi Mahayana, dalam Plotinus dan Aeropagite, di antara para Sufi Muslim Persia dan mistikus Kristen Abad Pertengahan dan Renaissance, Filsafat perennial/abadi telah dibicarakan hampir dalam semua bahasa di Asia dan Eropa, dan telah membuat penggunaan istilah dan tradisi dari setiap salah satu agama yang lebih tinggi. Tetapi di bawah semua kebingungan ini dalam tradisi lisan dan mitos, dari sejarah lokal dan doktrin partikularistik, tetap ada Faktor umum Tertinggi yang merupakan Filsafat perennial/abadi dalam apa yang kimiawi-nya disebut dalam keadaan murni. Kemurnian akhir ini tidak pernah, tentu saja, akan dapat diungkapkan oleh pernyataan lisan filsafat, bagaimana pun pernyataan ini tak-dogmatis, namun sengaja sinkretis. Kenyataan bahwa itu ditetapkan pada waktu tertentu oleh seorang penulis tertentu, menggunakan ini atau bahasa itu, secara otomatis membebankan bias sosiologis dan pribadi tertentu pada doktrinnya begitu dirumuskan. Ini hanyalah tindakan kontemplasi ketika kata-kata dan bahkan kepribadian yang melampaui, bahwa dalam keadaan murni Filsafat perennial/abadi sebenarnya dapat diketahui. Catatan yang ditinggalkan oleh orang-orang yang telah dikenal dengan cara ini membuatnya sangat jelas bahwa mereka semua, apakah Hindu, Buddha, Yahudi, Tao, Kristen, atau Islam, sedang berusaha untuk menggambarkan Fakta dasarnya sama yang tak terlukiskan.

Tulisan suci asli dari kebanyakan agama adalah puitis dan tidak sistematis. Teologi, yang umumnya mengambil bentuk sebuah komentar yang menalar perumpamaan dan kata-kata mutiara dari kitab suci, cenderung membuat penampilan pada tahap berikutnya dari sejarah agama. Bhagavad Gita menempati sebuah posisi perantara antara Kitab Suci dan teologi; karena itu menggabungkan kualitas puitis yang pertama dengan methode yang jelas yang kedua. Buku yang dapat dijelaskan, yang ditulis Ananda K. Coomaraswamy dalam bukunya yang Mengagumkan: Hindu dan Budha , “Sebagai sebuah ringkasan dari seluruh doktrin Veda yang dapat ditemukan dalam Veda sebelumnya, dalam Brahmana dan Upanishad, dan karena itu menjadi dasar dari semua perkembangan yang kemudian, yang dapat dianggap sebagai fokus dari semua agama India”, yang juga merupakan salah satu ringkasan paling jelas dan paling komprehensif dari Filsafat Perennial yang pernah telah dibuat. Oleh karena itu nilainya itu bertahan, tidak hanya untuk orang India, tetapi untuk seluruh umat manusia.

Pada intinya dari Filsafat perennial/abadi kita menemukan empat doktrin fundamental.

Pertama: dunia fenomenal materi dan kesadaran individual – dunia benda dan hewan dan manusia dan bahkan para dewa – adalah manifestasi dari Latar Ilahiyah di mana semua realitas parsial memiliki keberadaan mereka, dan bila terlepas dari-NYA, mereka akan tidak ada (tidak eksis).

Kedua: manusia mampu tidak hanya dapat mengetahui tentang Latar Ilahiyahnya dengan penalaran; mereka juga dapat menyadari keberadaan-Nya oleh intuisi langsung, yang lebih unggul dari penalaran diskursif. Pengetahuan langsung ini menyatukan yang mengetahui dengan apa yang diketahui.

Ketiga: manusia memiliki sifat alami ganda, ego fenomenal dan Diri yang abadi, yang merupakan batiniah manusia, semangat (spirit/ruh), percikan keilahian dalam jiwa. Hal ini dimungkinkan bagi seorang manusia, jika ia menginginkan, untuk mengidentifikasi dirinya dengan Semangat (Spirit/Ruh), dan oleh karena itu dengan Latar Ilahiyah, yang merupakan sifat yang sama atau mirip dengan Semangat (Spirit/Ruh),.

Keempat: kehidupan manusia di bumi hanya memiliki satu ujung dan tujuan: untuk mengidentifikasi dirinya dengan Diri abadinya dan sebagainya untuk datang ke pengetahuan kemenyatuan (unitive/itihad) dengan Latar Ilahiyah.

Dalam agama Hindu yang doktrin pertamanya dari empat doktrin yang dinyatakan dalam istilah yang paling kategoris. Landasan/Latar Ilahiyah/Ketuhanan adalah Brahman, Tuhan Yang Maha Pencipta, Yang Maha mempertahankan dan mengubah aspek yang diwujudkan trinitas Hindu. Sebuah hirarki manifestasi yang menghubungkan benda mati dengan manusia, dewa, para dewa tinggi, dan Ketuhanan yang tak dapat dibedakan dari luar.

Dalam Landasan/Latar Ketuhanan Mahayana Buddhisme disebut Pikiran atau Cahaya Kesunyian Murni, tempat para dewa tertinggi telah diambil oleh Dhyani-Buddha.

Konsepsi serupa yang cocok sempurna dengan Kristen dan kenyataannya telah dihibur, secara eksplisit maupun implisit, oleh banyak mistik Katolik dan Protestan, ketika merumuskan filsafat agar sesuai fakta yang diamati oleh intuisi super-rasional. Jadi, bagi Eckhart dan Ruysbroeck, ada ruang dalam tanpa dasar (Abyss) Ketuhanan yang mendasari Trinitas, seperti Brahman mendasari Brahma, Wisnu dan Siwa. Suso bahkan telah meninggalkan diagram gambar dari hubungan kehidupan antara Ketuhanan, Trinitas Tuhan dan Makhluk. Dalam gambaran yang sangat memancing rasa ingin tahu dan menarik ini, rantai manifestasi menghubungkan simbol misterius Latar Ilahiyah dengan tiga Pribadi Tritunggal, dan Tritunggal pada gilirannya terhubung dalam skala yang turun dengan malaikat dan manusia. Yang Terakhir ini, seperti gambaran jelas menunjukkan, dapat membuat salah satu dari dua pilihan. Mereka dapat baik menjalani kehidupan manusia lahiriah, kehidupan kedirian yang separatis; dalam hal ini mereka hilang (karena, dalam kata-kata dari Theologia Germanica, “tidak ada yang terbakar di neraka tapi akibat diri sendiri”). Atau mereka dapat mengidentifikasi diri mereka dengan batiniah manusia, dalam hal ini menjadi mungkin bagi mereka, seperti Suso tunjukkan, untuk naik lagi, melalui pengetahuan unitive, kepada Trinitas dan bahkan, di luar Trinity mereka, dengan Ultimate Unity (Kemenyatuan Mutlak) dari Ground/ Latar Ilahiyah.

Dalam tradisi Islam rasionalisasi seperti pengalaman mistik langsung ini akan menjadi berbahaya bagi kaum unortodoks. Namun demikian, kita memiliki kesan, pada saat membaca teks-teks sufi tertentu, bahwa yang penulis mereka lakukan adalah benar, memunculkan al–haqq, the Real, sebagai Latar/Landasan Ilahiyah atau Kesatuan/Keesaan Allah (Tauhidullah), yang mendasari aspek aktif dan pribadi Ketuhanan.

Doktrin kedua dari Filsafat perennial/abadi – adalah bahwa mungkin untuk mengetahui latar Ilahi oleh intuisi langsung yang lebih tinggi daripada penalaran diskursif – yang dapat ditemukan dalam semua agama besar dunia. Seorang filsuf yang puas hanya untuk mengetahui tentang Realitas utama – secara teoritis dan melalui desas-desus – dibandingkan dengan Buddha dengan laki-laki gembala sapi lain. Mohammad bahkan menggunakan metafora lumbung rumahan. Baginya filsuf yang belum menyadari metafisika adalah seperti keledai yang hanya membawa beban buku. Para guru Kristen, Hindu, guru Tao tidak kurang tegas menulis tentang pretensi absurd bila hanya belajar dari penalaran analitik. Dalam kata-kata Buku Doa Anglikan, kehidupan kekal kita, sekarang dan selanjutnya, “berdiri dalam pengetahuan tentang Allah”; dan pengetahuan ini tidak diskursif, tetapi “di dalam hati”, intuisi supra-rasional, langsung, sintetis dan abadi .

Doktrin ketiga Perennial Philosophy, bahwa yang menegaskan sifat ganda manusia, jika mendasar dalam semua agama yang lebih tinggi. Pengetahuan unitive (kemenyatuan/Manunggaling) Latar/Landasan Ilahiyah sebagai kondisi yang diperlukannya, telah siap untuk pengorbanan diri dan amal baik. Hanya dengan cara pengorbanan diri dan amal baik yang bisa membersihkan kita dari kejahatan, kebodohan dan ketidaktahuan yang merupakan hal yang kita sebut kepribadian kita, dan yang mencegah kita dari menyadari percikan keilahian yang menerangi batiniah manusia, tapi percikan dalam ini mirip dengan latar Ilahiyah. Dengan mengidentifikasi diri dengan yang pertama kita bisa datang ke pengetahuan unitive kedua. Fakta-fakta empiris dari kehidupan spiritual ini telah dirasionalisasikan dalam berbagai teologi dari berbagai agama. Hindu secara kategoris menegaskan bahwa Engkau Itu – bahwa berdiamnya Atman sama dengan Brahman. Untuk Kristen ortodoks tidak ada identitas antara percikan Tuhan dan Tuhan. Penyatuan jiwa manusia dengan Tuhan terjadi – penyatuan begitu lengkap sehingga kata pendewaan diterapkan untuk itu; tetapi bukan penyatuan identik substantial/zat. Menurut teologi Kristen, orang suci (santo) adalah” didewakan”, bukan karena Atman adalah Brahman, tetapi karena Tuhan Allah telah berasimilasi pada jiwa manusia yang dimurnikan ke substansi ilahiyah dengan tindakan karunia kasih Nya. Teologi Islam tampaknya membuat perbedaan serupa. Sufi, Mansur al-Hallaj, yang dieksekusi karena memberikan kata-kata “Persatuan” dan “Penuhanan” yang makna literalnya sama dengan yang ada dalam tradisi Hindu. Untuk tujuan kita ini, bagaimanapun, fakta penting adalah bahwa kata-kata ini benar-benar digunakan oleh orang Kristen dan Muslim pengikut Muhammad atau Mohamedan untuk menggambarkan fakta-fakta empiris realisasi metafisika dengan cara langsung, intuisi super-rasional .

Dalam kaitan dengan tujuan akhir manusia, semua agama yang lebih tinggi dalam perjanjian lengkap. Tujuan hidup manusia adalah penemuan kebenaran, pengetahuan unitive Ketuhanan. Sejauh mana pengetahuan unitive ini dicapai di bumi akan menentukan sejauh mana itu akan dinikmati di akhirat. Kontemplasi kebenaran adalah tujuan akhir, tindakan adalah alat. Di India, di Cina, di Yunani kuno, di Eropa Kristen, hal ini dianggap sebagai bagian yang paling jelas dan aksiomatik dari ortodoksi. Penemuan mesin uap yang dihasilkan revolusi industri, tidak hanya dalam teknik industri, tetapi juga jauh lebih signifikan dalam filsafat. Karena mesin bisa dibuat semakin lebih maju dan lebih efisien, orang Barat kemudian percaya bahwa manusia dan masyarakat secara otomatis akan mendaftarkan perbaikan moral dan spiritual yang sesuai. Perhatian dan kesetiaan datang yang harus dibayar, bukan untuk keabadian, tapi untuk masa depan utopis datang dianggap sebagai lebih penting bahwa keadaan pikiran tentang keadaan eksternal, dan akhir kehidupan manusia dianggap tindakan, dengan kontemplasi sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu. Doktrin-doktrin palsu dan historis, yang menyimpang dan sesat kini secara sistematis diajarkan di sekolah-sekolah kita dan diulang, hari demi hari, oleh para penulis naskah iklan anonim yang, lebih dari guru-guru lain, memberikan orang dewasa Eropa dan Amerika dengan filosofi pada saat mereka ini hidup. Dan propaganda ini telah begitu efektif sehingga bahkan orang Kristen yang mengaku menerima ajaran sesat tanpa bertanya dan cukup sadar lengkap ketidakcocokan dengan agama mereka sendiri atau orang lain.

Keempat doktrin yang merupakan Filsafat perennial/abadi dalam bentuk minimal dan dasar. Seorang manusia yang dapat mempraktekkan apa yang orang India menyebutnya Jnana yoga (disiplin diskriminasi metafisik antara yang nyata dan tampak) tak meminta apa-apa lagi. Hipotesis yang bekerja sederhana ini sudah cukup untuk tujuan-Nya. Tapi diskriminasi tersebut sangat sulit dan hampir tidak dapat dipraktekkan, pada setiap tingkat pada tahap awal kehidupan spiritual, kecuali oleh orang yang diberkahi dengan jenis tertentu dari konstitusi mental. Itulah sebabnya sebagian besar pernyataan dari Filsafat Perennial/abadi telah memasukkan doktrin lain, menegaskan keberadaan satu atau lebih adalah reinkarnasi manusia dari Latar (Ground) Ilahiyah, yang oleh mediasi dan rahmat penyembah dibantu untuk mencapai tujuannya – bahwa pengetahuan unitive Ketuhanan, manusia dan kebahagiaan yang hidup yang kekal. Bhagavad Gita adalah salah satu pernyataan seperti itu. Di sini, Krishna adalah inkarnasi Latar Ilahi dalam bentuk manusia. Demikian pula, dalam teologi Kristen dan Buddha, Yesus dan Gautama adalah inkarnasi keilahian. Namun, sementara di dalam Hindu dan Buddha lebih dari satu Inkarnasi Ketuhanan adalah mungkin (dan dianggap sebenarnya telah terjadi), bagi orang Kristen telah ada dan bisa hanya satu.

Sebuah Inkarnasi dari Ketuhanan dan, pada tingkat lebih rendah, setiap saint (wali) yang teosentris, bijak atau nabi adalah manusia yang tahu siapa dia dan karena itu dia dapat secara efektif mengingatkan manusia lain dari apa yang telah membiarkan diri mereka lupa: yaitu, bahwa jika mereka memilih untuk menjadi apa yang mereka sudah berpotensi, mereka juga bisa selamanya bersatu dengan Ground/Latar Ilahiyah.

Ibadah dari Inkarnasi dan perenungan sifat-sifat-Nya yang bagi kebanyakan pria dan wanita adalah persiapan terbaik untuk pengetahuan unitive Ketuhanan. Namun apakah pengetahuan itu sendiri dapat dicapai dengan cara ini adalah pertanyaan lain. Banyak penganut mistik Katolik telah membenarkan bahwa, pada tahap tertentu dari doa kontemplatif, di mana, menurut para teolog paling otoritatif, kesempurnaan kehidupan Kristen akhirnya terdiri, perlu untuk mengesampingkan semua pikiran dari Inkarnasi sebagai hal yang mengganggu dari pengetahuan yang lebih tinggi itu yang telah menjelma. Dari fakta ini telah muncul kesalahpahaman di banyak intelektual dan sejumlah kesulitan. Di sini, misalnya, adalah apa yang Abbot Josh Chapman tulis dalam salah satu Surat Spiritual mengagumkan-nya: “Masalah rekonsiliasi (bukan hanya menyatukan) mistisisme dengan agama Kristen lebih sulit. The Abbot (Abbot Marmion) mengatakan bahwa St Yohanes of The Cross adalah seperti penuh spons kekristenan. Anda dapat menekan semuanya, dan teori mistis tetap penuh. Akibatnya, selama lima belas tahun atau lebih, aku benci St Yohanes of Th Cross dan memanggilnya sebagai seorang Buddhis. Aku mencintai St Teresa, dan membaca-nya berulang-ulang, pertama Dia seorang Kristen, hanya secara sekunder seorang mistik. Kemudian saya menemukan bahwa saya telah menyia-nyiakan lima belas tahun, sejauh doa khawatir. “Namun, ia menyimpulkan, meskipun dari karakter “Buddhis”, praktik mistisisme (atau, untuk memasukkannya ke dalam istilah lain, realisasi Filsafat perennial/abadi) membuat orang Kristen jadi yang baik. Dia mungkin telah menambahkan bahwa hal itu juga membuat umat Hindu yang baik, Buddha yang baik, Tao yang baik, Muslim yang baik dan Yahudi yang baik.

Solusi untuk masalah Abbot Chapman harus dicari dalam domain, bukan filsafat, tetapi psikologi. Manusia tidak dilahirkan identik. Ada banyak temperamen dan konstitusi yang berbeda; dan dalam setiap kelas psiko-fisik seseorang dapat menemukan orang-orang pada tahap perkembangan spiritual yang berbeda. Bentuk ibadah dan disiplin spiritual yang mungkin berharga untuk satu individu mungkin tidak berguna atau bahkan positif berbahaya bagi yang lain yang memiliki kelas yang berbeda dan berdiri, dalam kelas itu, pada tingkat lebih rendah atau lebih tinggi dari perkembangan. Semua ini jelas diatur dalam Gita, di mana fakta-fakta psikologis terkait dengan kosmologi umum melalui dalil dari Gunas.

Krishna, yang ada di sini adalah potongan mulut/lisan Hindu dalam segala manifestasinya, sangat alamiah menemukan bahwa manusia yang berbeda harus memiliki metode yang berbeda dan bahkan tampaknya obyek ibadah berbeda. Semua jalan menuju Roma – asalkan, tentu saja, bahwa itu adalah Roma dan bukan kota lain yang wisatawan benar-benar ingin mencapainya. Sikap serupa amal inklusivitas, agak mengejutkan dalam Islam, dengan indah dinyatakan dalam perumpamaan Musa dan penggembala hewan, diberitahu oleh Jalaluddin Rumi dalam buku kedua dari Masnawi. Dan lebih eksklusif dalam tradisi Kristen masalah dari temperamen dan tingkat pembangunan ini telah diselidiki dalam hubungannya dengan cara Maria dan cara Martha pada umumnya dan khususnya untuk panggilan dan pengabdian pribadi individu .

Kami sekarang harus mempertimbangkan prasyarat etis dari Filsafat Perennialism-abadi. “Kebenaran”, kata St. Thomas Aquinas, “adalah akhir final untuk seluruh alam semesta, dan kontemplasi kebenaran adalah pekerjaan utama dari kebijaksanaan.” Kebajikan moral, katanya di tempat lain, milik kontemplasi, memang tidak esensial dasarnya, tetapi sebagai predisposisi/pendahuluan yang diperlukan. Kebajikan, dengan kata lain, bukanlah akhir, tetapi sarana yang sangat diperlukan untuk pengetahuan tentang realitas ilahiyah. Shankara, komentator tentang Gita, yang terbesar dari India, memegang doktrin yang sama. Tindakan yang benar adalah cara untuk pengetahuan; untuk itu memurnikan pikiran, dan itu hanya untuk memurnikan pikiran dari egoisme bahwa intuisi Latar Ilahiyah bisa datang.

Pengorbanan diri, menurut Gita , dapat dicapai dengan praktek dua kebajikan – cinta inklusif bagi semua dan ketidak-melekatan (non–attachment), yang terakhir adalah hal yang sama seperti yang “ketidakpedulian yang suci”, di mana St Francois de Sales tidak pernah lelah bersikeras. “Dia yang mengacu setiap tindakan kepada Tuhan Allah”, tulis Camus, meringkas ajaran tuan gurunya”, dan tidak memiliki tujuan menyimpan kemuliaan-Nya, yang akan menemukan sisanya di mana-mana, bahkan di tengah-tengah keributan paling kejam. “Selama kita berlatih ketidakpedulian suci ini ke hasil dari tindakan”, tidak ada pekerjaan yang sah yang akan memisahkan kita dari Tuhan Allah; Sebaliknya, hal itu dapat kita jadikan sarana penyatuan yang lebih dekat. “Di sini kata ‘halal’ memasok kualifikasi yang diperlukan untuk pengajaran yang, tanpa itu, tidak lengkap dan bahkan berpotensi berbahaya. Beberapa tindakan pada hakekatnya adalah jahat atau tidak; dan tidak adanya niat baik, tidak ada kesadaran yang menawarkan mereka kepada Allah, tidak ada penolakan dari buah dapat mengubah karakter dasar mereka. Ketidakpedulian Kudus membutuhkan untuk diajarkan dalam hubungannya tidak hanya dengan satu set perintah yang melarang kejahatan, tetapi juga dengan konsepsi yang jelas tentang apa yang di Delapan Jalan Buddha disebut sebagai “mata pencaharian yang benar.” Dengan demikian untuk Buddhis, penghidupan benar tidak sesuai dengan pembuatan senjata mematikan dan minuman keras; bagi orang Kristen abad pertengahan, dengan pengambilan bunga rente dan dengan berbagai praktek monopoli yang sejak datangnya dianggap sebagai bisnis yang sah baik. John Woolman, Quaker Amerika, memberikan contoh yang paling mencerahkan dari cara di mana seorang manusia bisa hidup di dunia, saat berlatih ketidak-melekatan (non-attachment) sempurna dan tersisa sangat sensitif terhadap klaim penghidupan yang benar. Jadi, meskipun itu akan menjadi menguntungkan dan sempurna halal baginya untuk melihat gula India Barat dan rum kepada pelanggan yang datang ke tokonya, Woolman menahan diri dari melakukannya, karena hal-hal ini adalah produk dari tenaga kerja budak. Demikian pula, ketika ia berada di Inggris, itu akan menjadi baik halal dan nyaman bagi dia untuk bepergian dengan pemanggul kursi/kereta. Namun demikian, ia lebih suka untuk membuat perjalanannya dengan berjalan kaki. Mengapa? Karena kenyamanan perjalanan cepat hanya bisa dibeli dengan mengorbankan kekejaman besar untuk kuda dan kondisi kerja yang paling mengerikan untuk anak laki-laki-pemanggul. Di mata Woolman itu, sistem transportasi seperti itu adalah intrinsik yang tidak diinginkan, dan tidak ada jumlah pribadi non-ikatan bisa membuat apa-apa, tapi tidak diinginkan. Jadi dia memanggul sendiri ranselnya dan berjalan.

Di halaman-halaman sebelumnya Huston Smith telah mencoba untuk menunjukkan bahwa Filsafat perennial/abadi dan prasyarat etika yang merupakan Faktor umum tertinggi, hadir dalam semua agama besar di dunia. Untuk menegaskan kebenaran ini tidak pernah lebih penting daripada imperatif pada saat ini. Tidak pernah akan ada perdamaian abadi kecuali dan sampai manusia datang untuk menerima filsafat hidup yang lebih memadai untuk fakta kosmik dan psikologis ini, daripada pemberhalaan gila terhadap iklan nasionalisme dan iman apokaliptik manusia dalam Kemajuan menuju Yerusalem Baru yang mekanik. Semua elemen dari filosofi ini hadir, seperti telah kita lihat, dalam agama-agama tradisional. Namun dalam situasi yang ada tidak ada kesempatan sedikit pun bahwa salah satu agama-agama tradisional akan memperoleh penerimaan universal. Orang Eropa dan Amerika akan melihat tidak ada alasan untuk diubah menjadi Hindu, misalnya, atau Buddhisme.

Dan orang-orang Asia tidak dapat diharapkan untuk meninggalkan tradisi mereka sendiri untuk tulus untuk mengaku Kristen, yang oleh kaum imperialis yang selama empat ratus tahun dan lebih, telah secara sistematis diserang, dieksploitasi, dan ditindas, dan sekarang berusaha untuk menyelesaikan penghentian karya perusakan oleh “upaya mendidik” mereka. Tapi bahagianya masih ada Faktor umum tertinggi dari semua agama dalam pandangan Filsafat Perennial yang selalu dan di mana-mana menjadi sistem metafisik para nabi, orang-orang suci/kudus dan orang bijak. Hal ini sangat mungkin bagi orang untuk tetap menjadi Kristen yang baik, Hindu, Budha, atau Muslim yang baik dan walau belum bersatu dalam perjanjian penuh pada ajaran-ajaran dasar Perennial Philosophy.

Bhagavad Gita mungkin adalah pernyataan kitab suci yang paling sistematis dari Filsafat perennial/abadi ke sebuah dunia saat perang, sebuah dunia yang, karena tidak memiliki prasyarat intelektual dan spiritual untuk perdamaian, hanya bisa berharap untuk menambal semacam gencatan senjata bersenjata yang genting, ia berdiri menunjuk, jelas dan jelas-jelas, satu-satunya jalan untuk melarikan diri dari kebutuhan diri dikenakan penghancuran diri. Untuk alasan ini kami harus berterima kasih kepada Swami Prabhavananda dan Mr. Isherwood karena telah memberi kita versi baru dari buku ini – versi yang dapat dibaca, tidak hanya tanpa rasa sakit kusamnya estetika yang diakibatkan oleh terlalu banyak terjemahan bahasa Inggris dari bahasa Sansekerta, tapi secara positif dengan kenikmatan.


Inti Mistik Tradisi Agama Besar


Enam agama besar telah membentuk peradaban utama yang ada saat ini: ketiga agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam) dan tiga agama Timur (Hindu, Buddha, dan Taoisme/ Konghucu). Agama-agama ini tampaknya cukup bertentangan satu sama lain ketika kita lihat dari luar, atau dari bentuk eksoteris mereka. Tidak hanya apakah mereka memiliki ritual, doa dan ajaran yang berbeda tetapi dalam banyak kasus doktrin mereka yang paling mendasar tentang sifat Realitas tampaknya bertentangan satu sama lain. Misalnya, Yudaisme menagatakan: “Jangan ada Allah lain selain Aku” tampaknya berdiri bertentangan secara langsung dengan penyembahan orang Hindu terhadap tiga juta dewa. Ketuhanan Tritunggal Kekristenan kontras tajam dengan Jalan Taoisme yang tak berbentuk, sementara prinsip utama Islam: “Tidak ada tuhan selain Allah”, muncul benar-benar bertentangan dengan desakan Buddhisme bahwa tidak ada Tuhan sama sekali. [27]

Jika kita menggali lebih dalam, bagaimanapun, kami menemukan dalam masing-masing tradisi agama itu, aspek batin atau esoteris, aliran ajaran yang diberikan oleh kaum mistik – orang pria dan wanita mereka yang mengklaim telah memiliki Realisasi langsung, atau Gnosis (Makrifat), dari Alam Realitas Mutlak. Apalagi jika kita membandingkan kesaksian mistik ini tentang Sifat Realitas ini, kami menemukan bahwa, meskipun ada pemisahan luas dalam waktu, tempat, bahasa, dan budaya, mereka sangat mirip – begitu banyak sehingga banyak sarjana telah datang untuk melihat mereka sebagai ajaran yang merupakan filsafat abadi tunggal yang, seperti beberapa bunga tak tertahankan, terus mekar lagi dan lagi dalam jiwa manusia.

Salah satu tujuan utama dari Pusat Ilmu Suci (Center for Sacred Sciences) adalah untuk melestarikan dan mempromosikan ajaran mistik ini dan untuk menunjukkan secara tepat apa yang mereka memiliki kesamaan. Di sini, misalnya, sembilan point disepakati oleh mistikus dari semua tradisi besar, bersama-sama dengan contoh kutipan yang menunjukkan Kesepakatan ini.

1. Semua mistikus setuju bahwa Ultimate Reality (Realitas Mutlak) – apakah itu disebut Allah, Brahman, sifat-Buddha, En-Sof, Tuhan, atau Tao – tidak bisa dipahami sepenuhnya oleh pikiran manusia atau dinyatakan dalam kata-kata. (Bahkan, arti kata mistik berhubungan dengan kata bisu, yang keduanya berasal dari akar kata mustes Yunani, yang berarti “tutup-mulut.”)

“Tao yang dapat diberi nama bukanlah Tao yang sejati.” – Lao Tzu (Tao)

“Roh tertinggi adalah tak dapat diukur, tidak dapat dipahami, di luar konsepsi, tidak pernah dilahirkan, di luar penalaran, di luar pikiran.” – Upanishad (Hindu)

“Kata dan kalimat yang diproduksi oleh hukum sebab-akibat dan saling mengkondisikan – mereka tidak bisa mengungkapkan Realitas tertinggi.” – Lankavatara Sutra (Buddha)

“Salah satu yang yang melampaui semua pikiran, tidak dapat dibayangkan oleh semua pikiran.” – Dionysius, anggota majelis Areopagus (Kristen)

“Kaum Gnostik (Arifin) tahu, tapi apa yang mereka ketahui tidak bisa dikomunikasikan. Hal ini tidak dalam kuasa para pemilik maqom (kedudukan) paling menyenangkan ini … untuk membentuk kata yang akan menunjukkan apa yang mereka ketahui.” – Ibn ‘ Arabi ( Muslim )

2. Alasan Realitas Mutlak tidak dapat ditangkap oleh pikiran atau dikomunikasikan dengan kata adalah bahwa pikiran dan kata-kata, menurut definisi, membuat perbedaan dan, karenanya, merupakan dualitas. Bahkan tindakan sederhana penamaan sesuatu menciptakan dualitas karena membedakan hal yang diberi nama dari semua hal lain yang tersisa, yang tidak disebutkan namanya. Namun, para mistikus dari semua tradisi besar setuju bahwa segala perbedaan adalah khayalan dan bahwa Alam Ultimate Reality adalah non-ganda.

“Pada dasarnya hal-hal, tidaklah dua tapi satu. Semua dualitas adalah yang secara palsu dibayangkan.” – Lankavatara Sutra (Buddha)

“Tidak peduli apa seorang manusia tertipu mungkin berpikir bahwa dia memahami, dia benar-benar melihat Brahman dan tidak lain selain Brahman. … Alam semesta ini, yang ditumpangkan pada Brahman, tidak lain hanyalah sebuah nama.” – Shankara (Hindu)

“Jika kita akan melihat hal-hal yang benar-benar, mereka adalah asing untuk kebaikan, kebenaran dan segala sesuatu yang mentolerir perbedaan apapun. Mereka adalah kawan karib dari Yang Satu, yang telanjang dari apapun keragaman dan perbedaan.” Meister Eckhart – (Kristen)

“Kesatuan yang ada, di sisi lain dari deskripsi dan keadaan. Tidak ada sesuatu tapi dualitas memasuki lapangan permainan kata-kata itu.” – Rumi (Muslim)

“Segala sesuatu yang Ada adalah sebagai Satu; Perbedaan antara “hidup” dan “mati”, “tanah” dan “laut”, telah kehilangan maknanya. – Master Hasid Anonim (Yahudi)

3. Meskipun mistik tidak dapat mendefinisikan Realitas Mutlak dalam kata-kata, mereka masih menggunakan kata-kata untuk menunjuk kepada Hal yang melampaui kata-kata. Misalnya, semua mistikus setuju bahwa, sementara Realitas Mutlak itu merupakan sifat sejati dari segala sesuatu, dalam dirinya sendiri Hal ini adalah bukan.

“Neti neti” (bukan ini, bukan itu) – Upanishad (Hindu)

“Kekosongan (shunyata) … adalah sifat utama dari segala sesuatu yang ada.” – Lama Yeshe (Buddha)

“Makhluk-makhluk segudang di dunia yang lahir dari sesuatu, dan sesuatu dari bukan apa-apa.” – Lao Tzu (Tao)

“Ini adalah dalam kecerdasan kita, jiwa dan tubuh, di surga, di bumi, dan sementara tetap sama dalam Dirinya sendiri, Hal ini sekaligus dalam, di sekitar dan di atas dunia, langit-super, esensi-super, sebuah matahari, bintang, api, air, semangat, embun, awan, batu, batu, semua itu adalah; semua hal ini bukanlah apa-apa. – Dionysius, anggota majelis Areopagus (Kristen)

“Dia tidak disertai dengan keapaan, kami juga tidak menganggap hal itu kepada-Nya. Negasi dari kekosongan dari-Nya merupakan salah satu sifat penting-Nya. – Ibn ‘Arabi (Muslim)

“Tuhan Allah yang tersembunyi, menjadi yang terdalam Being-Ketuhanan sehingga untuk membicarakan-NYA, kita tidak memiliki kualitas atau atribut. – Gerson Scholem (Yahudi)

4. Meskipun mistik mengatakan Realitas Mutlak bukanlah suatu hal, mereka juga setuju bahwa kekosongan ini atau ke-bukan-apa-apa-an adalah vakum belaka. Hal ini bersinar dengan terang Roh Murni, Kesadaran Primordial, Pikiran Buddha, atau Kesadaran Diri

“Dia adalah Abadi di antara hal-hal yang berlalu, Kesadaran murni makhluk yang sadar.” – Upanishad (Hindu)

“Semua Buddha dan semua makhluk hidup tidak lain adalah Satu Pikiran, selainnya yang tidak ada.” Huang Po – (Buddha)

“Lampu di mana jiwa diterangi, agar dapat melihat dan benar-benar memahami segala sesuatu … adalah Tuhan Allah sendiri.” – St . Augustine (Kristen)

“Dia adalah roh kosmos, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, serta tangan-Nya. Melalui Dia kosmos mendengar, melalui Dia itu melihat, melalui Dia itu berbicara, melalui Dia itu menggenggam, melalui Dia berjalan.” – Ibn ‘Arabi (Muslim)

“Pikiran ini berasal dari sumber yang luhur dan benar-benar bersatu di atas; itu terbagi hanya karena masuk ke dalam alam semesta perbedaan.” – Menahem Nahum (Yahudi)

5. Kaum Mistik dari semua tradisi juga setuju bahwa ketika perbedaan yang diciptakan oleh imajinasi diambil untuk menjadi nyata – khususnya perbedaan antara ‘subyek’ dan ‘obyek‘ , ‘aku’ dan ‘lainnya’, ‘diri’ dan ‘dunia‘ – kita kehilangan pandangan Sifat Mutlak dari Realitas dan jatuh ke dalam delusi/khayalan. Ini adalah penyebab semua penderitaan kita.

“Disfungsi mendasar pikiran kita mengambil bentuk pemisahan antara saya dan yang lainnya. Kita secara palsu berpegang pada “Aku” yang merupakan lampiran cangkokan diri sendiri pada saat yang sama seperti yang kita pahami dari “yang lain” yang merupakan dasar dari penghindaran.” – Bokar Rinpoche (Buddha)

“Selama rasa “aku” dan “milikku” tetap ada, terikat menjadi kesedihan dan inginkan dalam kehidupan individu. – Anandamayi Ma (Hindu)

“Setiap orang memiliki banyak alasan untuk kesedihan tapi dia sendiri memahami alasan universal yang mendalam bagi kesedihan yang dia alami.” –Cloud of Unknowing (Kristen)

“Selama Anda adalah ‘kamu’, Anda akan sengsara dan miskin.” – Javad Nurbaksh (Muslim)

“Bagaimana bisa setiap kapal (kendaraaan) yang terbatas berharap untuk mengandung Tuhan yang tak berujung? Oleh karena itu, melihat diri Anda sebagai bukan apa-apa; satu-satunya yang merasa bukan apa-apa dapat berisi kepenuhan Kehadiran.” – Menahem Nahum (Yahudi

6. Fakta bahwa perbedaan pada akhirnya tidak berarti nyata, bahwa kita bukan diri yang benar-benar terpisah. Dalam Realitas, semua mistikus menyatakan, Alam Sejati kita adalah Tuhan Allah, Brahman, Buddha – Nature, Tao, atau Kesadaran itu

“Jati Diri kita yang Sangat adalah Buddha, dan terpisah dari alam ini tidak ada yang lain selain Buddha.” – Hui-Neng (Buddha)

“Setelah meninggalkan ke samping Hidup dan Kematian, sekarang ia benar-benar dengan Transmutasi universal.” – Kuo Hsiang (Tao)

“Allah adalah Diri sendiri Seseorang, nafas-nafas dari seseorang yang bernafas, kehidupan dari hidup seseorang, Atman.” – Anandamayi Ma (Hindu)

“Beberapa orang sederhana berpikir bahwa mereka akan melihat Tuhan Allah seolah-olah Dia sedang berdiri di sana dan mereka di sini. Hal ini tidak begitu. Tuhan dan saya, kita adalah satu.” Meister Eckhart – (Kristen)

“Engkau adalah Dia, tanpa salah satu dari keterbatasan ini. Kemudian jika kamu mengetahui keberadaan-Mu sendiri dengan demikian, maka engkau tahu Tuhan Allah; dan jika tidak, maka tidak.” – Ibn ‘Arabi (Muslim)

“Untuk saat ini ia tidak lagi dipisahkan dari Tuan Guru, dan lihatlah dia tuannya dan Gurunya dia.” – Abraham Abulafia (Yahudi)

7. Meskipun kebenaran identitas seseorang dengan Realitas Mutlak tidak dapat ditangkap oleh pikiran, semua mistikus bersaksi bahwa Hal ini dapat Direalisasikan/Diwujudkan atau Dikenali melalui Kebangkitan Makrifat/Gnostik (Pencerahan) yang olehnya – pikiran melewati berpikir sama sekali .

“Saatnya akan datang ketika pikiran Anda tiba-tiba akan berhenti seperti tikus tua yang menemukan dirinya di dalam cul-de-sac. Kemudian akan ada orang terjun ke hal yang tidak diketahui dengan teriakan, “Ah, ini!” – Yun Man – (Buddha)

“Ketika cermin dari pikiran saya menjadi jelas … saya melihat bahwa Tuhan Allah tidak lain dari pada saya dan pengetahuan non-dualistik ini benar-benar menghancurkan semua pikiran dari “kamu” dan “Saya”. Aku datang untuk mengetahui bahwa seluruh dunia ini tidak berbeda dari Tuhan Allah. – Lalleshwari (Hindu)

“Di sini, menyangkal semua bahwa pikiran dapat mengandungnya, dibungkus sepenuhnya dalam hal yang tak berwujud dan tak terlihat, ia milik sepenuhnya Dia yang kepadaNya, orang yang berada di luar segalanya. Di sini yang tidak diri sendiri maupun orang lain, seseorang sangat disatukan oleh ketidaktahuan yang tidak aktif sama sekali dari semua pengetahuan, dan tahu di luar pikiran dengan tak mengetahui apa-apa. – Dionysius, anggota majelis Areopagus (Kristen)

“Dia hanya melihat Tuhan sebagai apa yang ia lihat, mengamati pelihat untuk menjadi sama dengan yang terlihat. Ini cukup, dan Tuhan Allah adalah pemberi rahmat, Panduan.”- Ibn ‘Arabi (Muslim)

“Hal ini dengan turun ke kedalaman diri sendiri bahwa manusia mengembara melalui semua dimensi dunia; dalam dirinya sendiri ia mengangkat hambatan yang memisahkan satu lingkungan dari yang lain; dalam diri sendiri, akhirnya , ia melampaui batas-batas nalar dan pada akhir dari jalan, tanpa, seolah-olah, satu langkah di luar dirinya, ia menemukan bahwa Tuhan Allah adalah ‘semuanya’ dan ada ‘apa-apa kecuali dia’.” – Gerson Scholem (Yahudi)

8. Semua mistikus setuju bahwa mewujudkan Identitas kita dengan Realitas Mutlak ini membawa kebebasan dari penderitaan dan kematian .

“Ketika seorang manusia mengenal Tuhan Allah, ia bebas: kesedihannya berakhir, dan kelahiran dan kematian tidak ada lagi.” – Upanishad (Hindu)

“Apa itu penderitaan? Apa itu kematian? Pada kenyataannya, mereka tidak memiliki eksistensi apapun. Mereka muncul dalam kerangka manifestasi yang dihasilkan oleh pikiran yang terbungkus dalam sebuah ilusi. … Dalam kekosongan pikiran, tidak ada kematian. Tidak ada yang meninggal. Tidak ada penderitaan dan tidak takut.” – Bokar Rinpoche (Buddha)

“Ketika penangkapan palsu dinegasikan … dari jantung hati yang tercerahkan, maka “kematian akan ditelan selamanya dan Allah akan menghapus air mata dari setiap wajah.” – Abraham Abulafia (Yahudi)

“Tiba-tiba saya menyadari … ” itu benar-benar seperti ini, pada kenyataannya tidak ada satu hal! ” Dengan pikiran tunggal ini, semua belitan yang rusak. Tiba-tiba, seolah-olah beban seratus pound jatuh ke tanah dalam sekejap. Seolah-olah kilat telah menembus tubuh dan menembus kecerdasan.”- Kao – P’an – Lung (Konghucu)

“Manusia ini tinggal di satu Cahaya dengan Allah, dan karena itu tidak ada dalam dirinya baik penderitaan atau berlalunya waktu, tapi keabadian yang tak berubah.” Meister Eckhart – (Kristen)

“Aku telah diselamatkan dari ego dan kehendak-diri, hidup atau mati, apa penderitaan! Tapi hidup atau mati, saya tidak punya tanah air selain Karunia Allah.” – Rumi (Muslim)

9. Akhirnya, mistikus dari semua tradisi setuju bahwa ajaran mereka tentang Sifat Realitas Mutlak tidak harus diambil pada keimanan itu sendiri. Sama seperti teori-teori ilmiah yang dapat diverifikasi oleh siapa saja yang bersedia untuk melakukan eksperimen yang tepat, ajaran-ajaran mistis dapat diverifikasi oleh siapa saja yang bersedia untuk terlibat dalam praktek-praktek spiritual yang tepat dan disiplin. (Ini, kebetulan, adalah mengapa kita di Pusat percaya ajaran dan praktik mistis yang dikatakan benar merupakan ilmu pengetahuan yang kudus.)

“Mereka yang mempraktekkan tahu apakah realisasi dapat dicapai atau tidak, sama seperti mereka yang minum air tahu apakah itu panas atau dingin.“ – Dogen (Buddha)

“Kebenaran murni Atma , yang terkubur di bawah dunia Maya dan efek Maya, dapat dicapai dengan meditasi, kontemplasi dan disiplin spiritual lainnya seperti orang berpengetahuan Brahman mungkin meresepkan.” – Shankara (Hindu)

“Jika Anda tidak mencuci batu dan pasir, bagaimana Anda dapat memilih emas? Turunkan kepala dan masuklah ke dalam lubang terbuka membosankan yang non-reifikasi, hati-hati mencari jantung langit dan bumi dengan tekad kuat. Tiba-tiba, Anda akan melihat hal yang asli!” – Liu I- ming (Tao)

“Para patriarkh membuka saluran pikiran di dunia, mengajarkan semua orang yang datang ke dunia bagaimana menggali dalam diri mereka musim semi air kehidupan, untuk bersatu dengan sumber mereka, akar kehidupan mereka.” – Menahem Nahum (Yahudi)

“Jalan orang sufi adalah cara dari gnosis (Irfan) yang tepat dari Tuhan Allah, dan pengetahuan tentang cara-cara beragam pelatihan diri yang diperlukan untuk Arif bi Allah (Mengenal Allah)” – ‘Abd al-Wahab Sya’rani (Muslim)

“Jika Anda mengikuti ajaran saya, maka Anda benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan datang ke sebuah Makrifat (Gnosis) dari kebenaran , dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” – Yesus dari Nazaret (Kristen)


Apakah Fisika Quantum dan Spiritualitas terkait ?

Sangatlah berharga untuk mendiskusikan pertanyaan tentang fisika kuantum dan spiritualitas bersama-sama, untuk melihat hubungan antara mereka dari sudut pandang Gereja Baru dan juga dari perspektif Filsafat Islam. Ada alasan mendesak untuk mendiskusikan link ini, karena ada orang yang ingin mengidentifikasi hal-hal ini. Ada perasaan yang meluas bahwa entah bagaimana mereka terhubung, tetapi di beberapa ‘zaman baru’ orang ingin mengatakan bahwa fisika kuantum mengatakan pada kita tentang spiritualitas. Kita tahu dari Swedenborg Scientific Association bahwa ada sambungan yang tidak begitu sederhana, jadi kita perlu memahami lebih terinci apa yang sedang terjadi.


Quantum Fisika dan Dualisme Gelombang-partikel

Untuk meninjau di mana fisika kuantum datang, Ian Thompson akan mengingatkan Anda yang telah mengambil kursus fisika di mana fisika kuantum telah diperkenalkan, dari beberapa masalah yang kita miliki.[28] Salah satu masalah adalah bahwa partikel yang ditemukan dalam fisika modern tidak hanya benjolan kecil yang melakukan perjalanan keliling, tapi berperilaku sebagai gelombang. Elektron, yang kita anggap sebagai contoh utama dari sebuah partikel kecil, dapat tersebar dengan pola interferensi: difraksi/terpecah melalui celah, di sudut-sudut, atau dari kristal. Mereka dapat tercermin sebagai sebuah gelombang. Selain itu, gelombang ini adalah gelombang probabilitas, jadi kami tidak mengatakan bahwa elektron pasti berada di satu tempat, tetapi bahwa ia memiliki tempat atau terdistribusi probabilitasnya. Bentuk distribusi ini dapat bekerja secara akurat dalam fisika kuantum, yang membuat prediksi yang sangat tepat. Tapi hanya probabilitas yang diperkirakan: fisika tidak memberitahu kita persisnya di mana partikel tersebut. Ini adalah salah satu teka-teki: untuk memahami mengapa dan bagaimana partikel berperilaku sebagai gelombang.

Sisi lain dari koin adalah bahwa gelombang-gelombang, gelombang cahaya misalnya, di mana warna-warni dijelaskan oleh panjang gelombang osilasi, yang berperilaku seperti partikel. Ini adalah cara yang fisika kuantum dimulai. Max Planck, lebih dari 100 tahun yang lalu, menunjukkan bahwa dia bisa memecahkan beberapa masalah mendasar dalam fisika dengan mengasumsikan bahwa gelombang cahaya tidak hanya gelombang osilasi halus seperti diungkap Faraday, Maxwell dan lain-lain telah berpikir, tapi datang dalam gumpalan energi yang disebutnya quanta. Kata ‘kuanta’ berasal dari ‘menghitung’.

Partikel kecil di alam bukan sedikit benda padat atau sel darah dengan tepian yang kaku, cara Newton, Boyle dan Locke di abad ke-17. Mereka lebih seperti awan kecenderungan atau kecenderungan. Bentuk awan ini bekerja dengan sangat akurat dalam mekanika kuantum (bentuk ini adalah apa yang digambarkan fungsi gelombang), tetapi mereka tidak hanya tinggal tersebar seperti awan karena mereka entah bagaimana masih mempertahankan kesatuan. Jadi kita perlu penjelasan sistematis bagaimana awan atau bidang menyebar namun hanya bertindak dengan cara tunggal yang bersatu untuk memberikan satu hasil. Masalah seleksi ini adalah masalah pengukuran yang fisika kuantum telah mencoba untuk memecahkannya selama bertahun-tahun: untuk memahami bagaimana hal-hal yang tersebar, dan berperilaku seperti gelombang sementara mereka tersebar, maka dapat bertindak hanya dengan cara tunggal dengan respon tunggal.

Kombinasi dari kedua masalah yang muncul dalam fisika kuantum disebut masalah Dualitas gelombang-partikel. Tugas yang fisikawan kuantum sekarang miliki adalah mencoba untuk memahami hubungan antara kedua fitur fisika kuantum itu. Ian Thompson tidak akan menjelaskan lebih banyak tentang rincian fisika, tetapi akan kembali ke beberapa hal secara umum di bawah ini. Kita perlu bertanya apa yang sebenarnya terjadi di alam: apa yang fisika kuantum katakan kepada kita?
Membentuk hubungan dengan Swedenborg

Cara yang Ian Thompson ingin mencoba untuk menjawab pertanyaan ini, adalah dengan menggunakan beberapa ide dari Swedenborg.[29] Ini bukan cara Thompson biasanya memperkenalkan fisika kuantum, tapi mengandalkan pada kenyataan bahwa Anda mungkin sudah memiliki beberapa ide-ide ini. Tujuan dasar Thompson adalah untuk menarik beberapa korespondensi antara spiritualitas dan fisika kuantum: bukan identitas, tapi korespondensi. Dengan demikian, Anda yang tahu Swedenborg dapat menggunakan korespondensi ini untuk memahami fisika kuantum,[30] dan mereka yang tahu fisika kuantum dapat melihat koneksi terbalik juga.

Gelombang yang menyebar-keluar tersebut, yang saya akan sarankan di bawah ini, sebelum kita putuskan akan lakukan apa. Bayangkan bahwa kita sedang berpikir untuk melakukan hal yang berbeda. Dalam pikiran kita, kita kemungkinan menghibur. Itulah fungsi dari pemahaman kita: adalah berpikir tentang hal-hal sebelum kita melakukannya. Kami menghibur ‘atau mempertimbangkan kemungkinan – sehingga pola gelombang dalam fisika adalah ‘seperti’ kita ketika kita menghibur beberapa probabilitas. Dengan demikian, ada sesuatu yang ‘sesuai’ antara gelombang dan pemahaman. Selain itu, kondisi fisik lebih seperti yang kita pikirkan, daripada hasil yang sudah selesai. Awalnya, fisikawan berpikir bahwa semua elektron dan atom berada dalam posisi yang sangat tepat: yaitu, seolah-olah kami sudah membuat pikiran kita apa yang harus dilakukan. Tapi kita tahu dari Swedenborg bahwa kami hanya mendapatkan hasil yang tepat pada akhir proses yang melibatkan niat, dan pemahaman, kemudian memutuskan untuk bertindak dalam beberapa cara dialami. Aku akan memperluas lebih rinci di bawah, tapi apa yang saya ingin menunjukkan adalah bahwa fitur fisika kuantum ini sesuai dengan proses dalam pikiran kita. Ada hubungan korespondensi, seperti yang kita alami harapkan setelah Swedenborg. Paragraf terakhir ini adalah preview dari bagian sisa pembicaraan ini. Mungkin Anda tidak mengerti sekarang, tapi saya ingin memberikan beberapa ide untuk membantu saat aku melanjutkan..


Masalah Seleksi Dalam Fisika Kuantum

Salah satu masalah besar dalam fisika adalah bahwa fungsi gelombang yang menyebar memiliki bentuk yang memenuhi persamaan terkenal, tetapi masih belum jelas, seperti yang saya katakan, kapan dan bagaimana fisika mendapatkan hanya satu hasil yang sebenarnya. Elektron mungkin memiliki fungsi gelombang tersebar di seluruh ruangan, misalnya, namun jika Anda memiliki detektor di dalam ruangan, hanya salah satu dari mereka, secara acak, akan mendeteksi elektron. Dalam fisika kuantum, kita tidak memiliki alasan bagus mengapa elektron hanya dapat ditemukan dalam satu detektor dan entah bagaimana tidak dalam mereka semua. Jadi ada banyak diskusi dalam 70 tahun terakhir tentang bagaimana dalam fisika teori standar dengan gelombang hanya mengarah ke satu hasil. Hal ini telah menimbulkan banyak sekali ide-ide alternatif, dan ini tercantum dalam Gambar 3 di bawah ini: cara yang disarankan untuk mendapatkan satu aktualitas yang pasti

Gambar 3: Sarana yang disarankan untuk mendapat suatu aktualitas tertentu

1. Only an appearance Everett[1],
2. Occurs to a good approximation Decoherence theory,
3. Classical apparatus N. Bohr,
4. Experimenter looks W. Heisenberg,
5. Effect of consciousness E. Wigner[2],
6. Consciousness creates an actual result H. Stapp[3],
7. Consciousness produces nature S. Malin[4],
8. Spirit produces nature E. Swedenborg,
9. Nature is essentially spiritual ‘New Age’,
10. Nature and spirit are identical C.J.S. Clarke[5],
11. Quantum physics shows us religious roots E.H. Walker[6]

Catatan Kaki:
[1] See Bryce S DeWitt, R Neill Graham eds The many-worlds Interpretation of Quantum Mechanics, Princeton University Press, 1973.
[2] E. Wigner, ‘Remarks on the Mind-Body Question’, pp. 284 – 302 in The Scientist Speculates, I.J. Good (ed) Basic Books, N.Y., 1962
[3] H. Stapp, Mind, Matter and Quantum Mechanics, Springer-Verlag, 1993, see also http://www-physics.lbl.gov/~stapp/stappfiles.html
[4] S. Malin, Nature Loves to Hide, Oxford, 2001.
[5] C.J.S. Clarke, Reality Through the Looking Glass. Floris, 1995.
[6] E.H. Walker, The Physics of Consciousness: The Quantum Mind and the Meaning of Life, Perseus, 2000.

Bagi Anda yang telah membaca beberapa fisika populer akan mengenali beberapa alternatif ini, dan mereka semua dirancang untuk menjawab masalah pengukuran yang sama. Saran pertama disebut penafsiran banyak-dunia Everett, di mana tidak ada pilihan nyata, tapi semua alternatif terjadi saat yang sama, misalnya dalam beberapa set semesta paralel. Teori kedua ‘decoherence’ mengatakan bahwa itu benar-benar seperti itu, tapi itu tampaknya pendekatan yang baik seolah-olah hanya satu hasil terjadi. Niels Bohr pikir itu adalah fakta bahwa peralatan eksperimen adalah ‘klasik’, dengan tidak ada perilaku gelombang, yang memunculkan hasil tertentu. Kita sekarang tahu bahwa fisika kuantum berlaku untuk aparat eksperimental juga, sehingga tidak benar-benar memecahkan masalah. Werner Heisenberg, Eugene Wigner dan Henry Stapp pada gilirannya telah memperkenalkan spekulasi bahwa seleksi adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan kesadaran atau pikiran, dan ini telah melahirkan aliran seluruh saran di mana kesadaran (atau sesuatu) telah menjadi lebih dan lebih terlibat dalam mencoba untuk memecahkan masalah fisika kuantum.

Wigner dalam sebuah makalah dari 40 tahun yang lalu menyarankan bahwa itu adalah kesadaran dari ilmuwan yang mengamati, dan gagasan ini telah dilakukan oleh Stapp, yang mengatakan bahwa kesadaran sebenarnya terlibat dalam otak. Stapp percaya bahwa karena otak kuantum memiliki banyak hal alternatif yang bisa terjadi, kesadaran memilih salah satu dari hasil ini untuk menghasilkan hasil. Saya telah terdaftar alternatif lain di sini, yang bisa semakin lebih ‘jalan keluar’. Beberapa dari ide-ide kita bisa membayangkan menjadi benar, misalnya bahwa ‘roh menghasilkan alam’, tetapi beberapa orang telah pergi lebih jauh dari itu, dan mengatakan bahwa alam entah bagaimana dasarnya spiritual – yang terhubung dengan, atau sama dengan, spiritual. Orang lain telah melanjutkan tema ini untuk mengatakan bahwa fisika kuantum adalah cara belajar tentang spiritualitas, cara untuk mendapatkan kembali spiritualitas kita. Ada sejumlah besar kemungkinan solusi di sini yang mencoba untuk memecahkan masalah yang sama: bagaimana sesuatu yang dijelaskan oleh gelombang dapat menghasilkan hasil yang pasti. Masalahnya mulai dari kenyataan bahwa ketika fisikawan berpikir tentang alam, mereka hanya memiliki dua ide dalam pikiran: mereka bisa memikirkan gelombang atau partikel.[37] Kesulitannya adalah bahwa benda yang fisika kuantum mengatakan kepada kita berada di alam bukan hanya gelombang, dan bukan hanya partikel, sehingga tantangannya adalah untuk menemukan pemahaman baru dan gambar baru.

Sebagai mana ide-ide yang lebih ekstrim di atas, ada ide-ide lebih lanjut yang telah diusulkan. James Jeans[38], fisikawan matematika, menulis sekitar 60 tahun yang lalu bahwa “fungsi gelombang terlihat seperti bukan sesuatu yang padat dan substansial, tetapi lebih mirip sebuah ide”. Beberapa (misalnya Zohar[39]) telah mengambil ini berarti bahwa fisika kuantum mengatakan pada kita tentang ide-ide. Lainnya, membahas identitas roh dan alam yang diduga/diharapkan, telah mencoba untuk bekerja keluar berbagai cara untuk memahami mengapa mereka tampil berbeda. Mereka telah mengatakan bahwa mungkin roh dan alam adalah nilai yang berbeda dari energi, frekuensi yang berbeda, dimensi yang berbeda, dan/atau ‘kehalusan’ berbeda dari material. Mereka dari kita dengan latar belakang dari Swedenborg akan mengakui bahwa menunjukkan ‘dimensi yang berbeda’ di sini adalah mencoba untuk menggunakan analogi spasial (berpikir dari ide-ide ruang) untuk membedakan pikiran dari alam. Ketika orang mencoba berbicara tentang ‘frekuensi yang berbeda’, mereka menggunakan analogi sementara untuk berpikir tentang perbedaan ini. Tapi kita tahu dari Swedenborg bahwa kita tidak dapat benar-benar menggunakan salah satu dari jenis-jenis analogi.

Dari Swedenborg kita berpikir kita tahu mana dari semua ide di atas masuk akal, yaitu, yang dari mereka mungkin benar. Mari kita menunjukkan mana yang ini yang mungkin, sebelum membahas mana yang benar. Kita tahu bahwa memilih untuk melakukan satu hal tertentu tidak dapat hanya sebuah ilusi, karena kalau tidak akan membuat olok-olok mencoba untuk menata hidup seseorang. Kita tahu bahwa hasil tertentu dipilih, sehingga dapat benar-benar hanya menjadi pendekatan yang baik bahwa pilihan memang terjadi. Kita tahu bahwa kesadaran mungkin terlibat. Hal ini tidak mengesampingkan, karena kita tahu dari Swedenborg spirit/jiwa yang menghasilkan alam, dan mungkin kesadaran itu, sebagai bagian dari roh, yang terlibat. Tapi kita tahu bahwa ketiga ide terakhir (9-11) tidak mungkin benar, karena kita tahu bahwa ada perbedaan penting antara alam dan roh, yang berarti bahwa kita harus menemukan berbagai jenis hubungan antara fisika kuantum dan spiritualitas yang bukan hanya identitas. Harus ada jenis lain dari koneksi. Dari ide set berikutnya kita tahu bahwa perbedaan berdasarkan waktu atau dimensi tidak mungkin benar. Kita tahu bahwa perbedaan sejati tidak didasarkan pada ‘kehalusan’ atau ‘kehalusan’: Swedenborg memiliki komentar untuk membuat tentang itu. Mungkin benar bahwa fungsi gelombang tampak seperti ide, tapi itu hanya berlaku jika kita mengambil kata ‘seperti’ untuk merujuk kepada korespondensi daripada menjadi hanya sama.


Beberapa Tingkat

Semua di atas adalah pengenalan yang sangat singkat dan tentu sepintas bagaimana kita dapat menggunakan Swedenborg untuk memahami fisika modern. Saya akan membahas adanya ‘beberapa tingkat generatif’ atau ‘tingkatan diskrit’. Swedenborg membuat upaya besar untuk membedakan discrete dari tingkat kontinyu dan apa yang saya ingin tunjukkan adalah bahwa ada tingkatan discrete dalam alam, yaitu, dalam fisika kuantum. Ini akan membantu kita untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam fisika. Lebih jauh lagi, tingkat diskrit dalam alam akan sesuai dengan tingkat diskrit lain yang kita ketahui tentang dalamnya proses spiritual. Dengan demikian, kita memiliki struktur triadic ini dalam alam, serta dalam spiritual, dan ini dihubungkan oleh korespondensi. Ini adalah tema keseluruhan untuk apa yang berikut.

Jika kita simpulkan apa yang Swedenborg memberitahu kita tentang bagaimana roh dan alam digabungkan, dan jika kita melihat apa yang Swedenborg katakan setelah ia diberitahu apa yang sebenarnya terjadi, bukan apa yang ia mencoba menebak di tahun-tahun sebelumnya, yang cukup berbeda, maka kita melihat bahwa ia kemudian dalam hidupnya belajar bahwa roh merupakan sarana penting dalam penciptaan alam. Alam tidak diciptakan langsung dari Infinite, tetapi diciptakan melalui roh. Dia datang untuk melihat bahwa dunia alami adalah efek akhir dari penyebab yang bekerja di dunia rohani, yang memanifestasikan dirinya dalam beberapa bentuk cinta. Jadi, sebagai akibatnya, pola cinta à kebijaksanaan à efek adalah pola yang bisa kita coba gunakan untuk memahami apa yang terjadi dalam fisika kuantum.

Pola ini dapat diringkas dalam banyak cara: cinta à kebijaksanaan à efek; atau jiwa à pikiran à tubuh, sebagai pola triadic yang sama. Swedenborg memberi kita alasan yang cukup untuk menunjukkan bahwa ini diulang dalam jiwa: kita memiliki langit, spiritual dan spiritual-alami. Hal ini diulang dalam pikiran: kita memiliki interior yang rasional, suatu alam eksterior, dan pikiran sensorik. Jadi pertanyaannya adalah, ini juga diulang dalam dunia alam?

Swedenborg memiliki berbagai hal untuk mengatakan tentang derajat di dunia alam (lihat artikel misalnya Hugo Lj. Odhner[40]). Ketika Swedenborg mulai, ia memiliki cukup ide-ide yang berbeda yang bervariasi dari buku ke buku. Saya akan berbicara tentang ‘eter’, yang adalah sesuatu yang ia berubah pikiran beberapa kali, juga menyangkut bagaimana mereka berhubungan dengan dunia spiritual[41]. Jika kita membaca dari Pengadilan Terakhir (Akhirat) / Last Judgement (Posthumous).

“Tiga atmosfir alam yang timbul dari matahari dunia adalah eter murni, yang bersifat universal, dari yang semua gravitasi; eter tengah, yang membentuk pusaran di sekitar planet, yang merupakan bulan dan satelit, yang merupakan magnet; dan eter utama yang udara. “

Di sinilah ia berbicara tentang tiga derajat di alam. Hari-hari ini, kita tidak percaya pada ‘ether’, tapi pertanyaannya adalah apakah kita dapat menafsirkan apa yang dia katakan tentang ether murni, ether menengah, dan ether utama dalam sedemikian rupa cara sehingga masuk akal. Saya akan berasumsi bahwa ketiga kata sifat mengacu pada berbagai jenis ether. Dia mungkin tidak tahu dari sudut pandang ilmiah apa yang mereka, tetapi mereka pasti tampak tiga hal yang berbeda, dan tentu saja bukan tiga Vacuums[42] yang berbeda. Tapi apakah kita mengenali pola ini? Apakah masuk akal bagi kita? Kita harus memungkinkan beberapa fleksibilitas dalam penafsiran apa yang dimaksud dengan eter, tetapi ia tidak memberitahu kita apa saja fungsi dari ketiga eter. Dia memberitahu kita bahwa yang pertama adalah melakukan dengan gravitasi, yang di tengah adalah dengan melakukan magnetisme, dan yang terakhir adalah dengan melakukan hal-hal material. Apakah gambaran itu masuk akal?

Mari kita mencoba dan bekerja apa tiga derajat di alam mungkin, jika kita menggunakan prinsip-prinsip Gereja Baru untuk bekerja keluar dari apriori derajat apa yang mungkin diharapkan terdiri darinya. Dari korespondensi dari alam dengan tiga derajat dalam spiritual, maka dalam alam harus ada (a) cara menerima dalam tubuh niat roh/spirit, selanjutnya harus ada (b) propagasi penyebab dalam alam, dan harus ada (c) cara untuk menghasilkan efek di alam. Kita dapat menganggap ini sebagai tujuan, penyebab, dan efek, semua di alam. Ini adalah apa yang kita harapkan untuk melihat dari sudut pandang Swedenborg. Apakah ada cara untuk melihat alam yang kita ketahui dari ilmu pengetahuan, di mana kita melihat ketiga derajat?

Dalam fisika modern kita tidak tahu apa-apa tentang tujuan; bahkan kita sengaja menolak untuk mempertimbangkan tujuan dalam fisika, sebagai aturan. Tapi kita tahu banyak tentang penyebaran penyebab dalam fisika: fisika itulah yang sangat baik. Ini memberitahu kita bagaimana penyebab merambat melalui urutan dan berbagai perubahan yang dihasilkan. Dan dalam fisika kita tahu sedikit tentang beberapa efek. Bahkan, ironi adalah bahwa seluruh urusan yang saya bicarakan sebelumnya, untuk mendapatkan hasil yang pasti dalam fisika kuantum, adalah justru karena fisika tidak cukup tahu tentang efek yang sebenarnya. Jadi jelas bahwa fisika kontemporer tahu banyak tentang propagasi penyebab, dan ia tahu hampir semuanya tentang produksi efek, meskipun masih ada sesuatu yang hilang dari apa yang fisika kuantum mengatakan tentang efek akhir. Jadi, jika Swedenborg memiliki cahaya untuk dilemparkan pada apa tiga derajat adalah, ini akan membantu mengisi kekosongan yang penting, kesenjangan nyata dalam fisika kuantum, yang merupakan produksi efek.


Energi

Jika kita melihat fisika, dan berapa fisika menganggap sebagai bagian dari pemahaman yang berada di pusat, gagasan penting dalam fisika adalah energi. Energi adalah tema yang melewati fisika kontemporer. Ini berbicara tentang energi potensial, energi kinetik dan sekitar: energi kinetik adalah energi yang berkaitan dengan gerak, dan energi potensial adalah dengan melakukan apa yang akan terjadi jika keadaan benar. Dalam fisika klasik kita bisa pergi jauh dengan mengetahui tentang konservasi energi (serta kekekalan momentum, momentum sudut dll). Energi dalam fisika kuantum, total energi kinetik dan potensial, diubah menjadi apa yang disebut operator Hamiltonian (biasanya disingkat H). Saya hanya akan mengatakan bahwa operator ini masuk ke dalam persamaan gelombang Schrödinger, yang mengatur semua bentuk gelombang kuantum. Dengan demikian menghasilkan semua bidang probabilitas, dan karenanya semua evolusi waktu. Semua dinamika dalam fisika kuantum ditentukan dengan mengetahui apa keadaan awal, dan apa operator Hamiltonian adalah. Jadi, energi dalam beberapa bentuk sangat penting dalam kedua fisika klasik dan kuantum.

Dengan demikian, setiap kali saya lakukan fisika kuantum sebagai bagian dari pekerjaan saya di bidang fisika nuklir, saya pertama kali mencoba dan menemukan Hamilton, maka saya memecahkan persamaan Schrödinger

HY (x, t) = i ¶ Y (x, t) / ¶ t.

Di sini, Hamilton H adalah operator yang bekerja pada fungsi gelombang yang memberitahu kita bagaimana perubahan fungsi gelombang, dengan cara derivatif dari fungsi gelombang terhadap waktu di sisi kanan persamaan. Dengan cara ini, Hamiltonian menentukan semua dinamika, seperti yang kita dapat memecahkan persamaan ini untuk menemukan fungsi gelombang di segala tempat x dan waktu t ke masa depan.

Persamaan sentral dalam fisika kuantum adalah persamaan dari bentuk ini (mungkin Schrödinger atau persamaan Dirac), yang selalu memiliki turunan waktu yang mengisahkan bagaimana fungsi gelombang bervariasi dengan waktu. Selanjutnya, setelah kita memiliki fungsi gelombang ini, kita dapat menemukan probabilitas dengan mengambil modulus persegi | Y (x, t) | 2. Pertanyaannya sekarang, apakah kita melihat tiga serangkai akhir à sebab à efek dalam struktur ini? Saya baru saja menggambarkan struktur fisika kuantum sebagai setiap fisikawan atom, setiap fisikawan nuklir mempraktekkan itu. Apakah kita melihat triad di sana? Saya menyatakan bahwa yang kita lakukan, jika kita melihat dengan benar

Gambar 2: Korespondensi Quantum dan Proses Mental

END                                 CAUSE                            EFFECT



Tiga Derajat Quantum

Ian Thompson mengklaim bahwa bahwa ada tiga hal. Untuk membantu Anda memahami, di bagian bawah Gambar 2, Ian Thompson telah menarik korespondensi untuk apa yang ada dalam pikiran mereka. Bagi Anda yang tahu fisika kuantum dapat melihat di bagian atas, dan mereka yang tahu Swedenborg dapat melihat di bagian bawah, dan kemudian saya ingin membuat sambungan antara. Dia mengatakan “Jika Anda tahu satu, hubungan ini akan membantu Anda memahami yang lain”. Dengan demikian, tampak lagi di fisika kuantum, kita memiliki Hamiltonian yang harus dilakukan dengan total energi, yang entah bagaimana aktif, karena operator yang beroperasi pada fungsi gelombang dan mengubahnya. Persamaan Schrödinger adalah aturan untuk bagaimana operator Hamilton menghasilkan apa yang kita sebut ‘kecenderungan gelombang’: fungsi gelombang yang merupakan bentuk kecenderungan atau kecenderungan untuk tindakan: gelombang probabilitas. Kemudian fungsi gelombang ini (pada kenyataannya modulus kuadrat-nya) memberikan probabilitas untuk hasil yang berbeda. Ini adalah struktur fisika kuantum, dan dalam struktur ini kita sekarang melihat jenis yang sama struktur derajat triadic yang kita miliki dalam pikiran kita. Di bagian bawah dari Gambar 2 adalah triad sangat sederhana dari psikologi. Jika kita melihat hanya dalam pikiran eksternal kita, maka kita punya niat, berpikir tentang rencana, baik yang mengarah ke tindakan. Ini adalah triad yang sesuai dengan proses dalam fisika kuantum (tentu saja, bukan triad yang sama). Dari Swedenborg kita tahu tentang: cinta -> kebijaksanaan -> penggunaan (atau kasih sayang -> pemahaman -> keputusan, atau langit -> spiritual -> alam ) dan kita miliki dalam korespondensi umum untuk semua triad tersebut. Kita tahu bahwa pola yang sama berulang dalam keseluruhan, dan dalam setiap bagian. Saya berbicara tentang setiap proses tunggal untuk setiap partikel tunggal dalam fisika kuantum: setiap kali setiap hal terkecil berevolusi dalam waktu, kita melihat pola triadic yang sama.

Kita melihat bahwa ada korespondensi antara energi dan niat. Hal ini sangat populer hari ini untuk menggunakan energi dalam cara yang sangat umum untuk mengacu pada semua niat dalam pikiran kita dan dalam roh kita: kita berbicara tentang energi mental, dan tentang energi spiritual. Banyak orang bingung ini: mereka conflate energi spiritual dengan energi fisik, mengatakan bahwa ini hanyalah berbagai jenis energi. Di sini kita dapat melihat bahwa mereka berhubungan satu sama lain. Swedenborg akan menggunakan ‘panas’ dan ‘cahaya’, dan saya berpikir bahwa kata ‘energi’ adalah interpretasi umum yang baik tentang makna ‘panas’ atau kalor. Di tengah atas kita memiliki gelombang atau struktur lapangan, di mana Swedenborg mengacu pada cahaya, tapi gelombang ini adalah gelombang energi, yang menyebar keluar dan mencoba untuk melakukan sesuatu. Kita tahu bahwa cahaya adalah suatu bentuk energi, sementara Swedenborg mengatakan ‘kebijaksanaan adalah bentuk cinta’ atau ‘niat mengambil bentuk dalam pemahaman’. Ada banyak kesamaan dalam struktur logis dari kalimat yang menghubungkan dua ini pertama derajat.

Bagi Anda yang bertanya-tanya bagaimana fisika kuantum berbeda dari fisika yang kita tahu, Ian Thompson hanya akan memberikan demonstrasi singkat tentang bagaimana ini membuat perbedaan. Bayangkan seseorang roller-skating di sebuah ruang berongga. Dalam fisika klasik ada batas, tidak terduga disebut ‘titik balik klasik’, di mana energi kinetik habis, karena energi telah semua berubah menjadi energi potensial. Dalam teori kuantum, sebaliknya, tidak ada batas yang tajam, karena semuanya didasarkan pada kecenderungan, dan tidak hanya ditentukan dan kaku. Jika ini adalah sebuah elektron dalam atom, kemudian muncul dengan probabilitas kecil bahkan dalam apa yang disebut ‘ wilayah klasik terlarang ‘. Hal ini sangat penting dalam fisika kuantum, dan menimbulkan apa yang dalam pikiran saya adalah menarik tentang proses kuantum. Hal ini penting untuk memahami hal-hal seperti transistor, di mana terowongan elektron melalui lapisan sangat tipis, karena jika Anda memiliki dip lain di sisi kanan maka mereka bisa masuk. Hal yang sama muncul dengan peluruhan radioaktif, karena proton atau partikel alfa di dalam nukleus besar memiliki hambatan besar yang berhenti itu keluar, tapi masih bisa keluar terowongan dengan probabilitas sangat kecil dan karena itu Anda mendapatkan seumur hidup yang sangat panjang, seperti ribuan jutaan tahun, tetapi masih keluar akhirnya. Itulah salah satu perbedaan antara fisika klasik dan kuantum, karena ada kecenderungan dan bukan hanya keras dan cepat batas. Fakta memiliki kecenderungan berkaitan dengan apa yang Swedenborg memberitahu kita tentang niat, atau conatus, yang menghasilkan hasil tanpa sambungan tetap antara mereka.

Apa yang Ian Thompson telah berikan sejauh ini adalah ringkasan singkat dari korespondensi antara energi dan gelombang fisika kuantum, dan niat dan pikiran atau pemahaman dalam pikiran. Kami benar-benar harus menarik pikiran di atas derajat fisik, jadi niat, pemahaman dan efek menghasilkan, dan sesuai dengan, energi dan gelombang bentuk.

Teori Bidang Quantum

Dalam fisika kuantum, rumus Hamiltonian mulai terdiri dari energi kinetik dan potensial. Sekarang pertanyaannya adalah, dari mana Hamiltonian berasal? Ian Thompson akan mencoba dan menjelaskan apa yang disebut teori medan kuantum. Anda mungkin tidak mengikuti rincian, tetapi penting untuk argumen Thompson bahwa fisika telah menemukan lebih dari apa yang, sehingga untuk berbicara, adalah ‘di belakang’ Hamiltonian. Ketika fisika kuantum dimulai 70 tahun yang lalu, fisikawan harus menciptakan Hamiltonian. Ada berbagai petunjuk dan trik, dan jika hasilnya keluar yang tepat Anda tahu bahwa Anda berhasil. Namun, dalam kenyataannya, ada beberapa fisika di balik itu. Kita sekarang tahu bahwa energi potensial dari bagian Hamiltonian bukan hanya sewenang-wenang, tapi datang tentang dari apa yang disebut proses virtual. Kita tahu bahwa kekuatan elektromagnetik antara dua partikel bermuatan tidak hanya diberikan oleh persamaan Maxwell, tetapi diberikan oleh ‘ virtual foton ‘ atau ‘ sinar gamma ‘ yang dipertukarkan. Daya tarik nuklir antara dua proton, atau antara proton dan neutron tidak hanya sewenang-wenang, tetapi diberikan oleh pertukaran quark dan gluon. Quark tertarik satu sama lain dengan bertukar gluon. Jadi ada sesuatu yang terjadi di ‘balik layar’ dari apa yang telah dijelaskan sejauh ini, yang menghasilkan Hamiltonian. Apa peristiwa ini? Selain itu, energi kinetik, yang adalah melakukan dengan massa, dikatakan oleh fisikawan harus ‘berpakaian’ oleh proses virtual. Ini berarti, misalnya, bahwa elektron telanjang memiliki awan foton yang pergi bersama dengan itu, karena terus-menerus memancarkan dan menerima foton, dan foton ini memberikan kontribusi massa melalui energi mereka sendiri. Jadi, bahkan massa dan energi kinetik bukan hal yang diberikan langsung, tetapi juga diproduksi dari balik layar, dan muncul di Hamiltonian yang mengandung energi kinetik dan potensial bersama-sama.

Gambar 3: Kekuatan dari pertukaran partikel virtual


Ian Thompson hanya akan menyebutkan apa yang beberapa dari proses-proses virtual, seperti yang digambarkan dalam Gambar 3 Ini adalah fisika yang telah ditemukan dalam 50 tahun terakhir: bahwa interaksi elektromagnetik antara partikel bermuatan adalah dengan pertukaran foton; kekuatan nuklir antara proton dan neutron adalah dengan pertukaran gluon a; interaksi lemah adalah dengan pertukaran ‘vektor meson berat’ disebut Z dan partikel W. Dalam fisika kita mengatakan bahwa ada empat jenis interaksi sama sekali. Ada tiga ini di sini: elektromagnetisme, kekuatan nuklir dan lemah; dan yang keempat adalah gravitasi. Sejauh Ian Thompson belum mengatakan banyak tentang gravitasi, tapi akan datang kembali nanti. Titik ia ingin membuat adalah bahwa semua hal-hal ini terjadi di belakang layar, dan fisikawan mengatakan bahwa ini adalah partikel virtual. Mereka tidak benar-benar terjadi, tapi semacam ‘hampir’ terjadi. Kemudian ada tantangan untuk kita untuk memahami apa yang di bumi yang terjadi? Cara saya ingin Anda berpikir tentang hal ini, adalah bahwa proses virtual adalah sarana yang rencana diproduksi. Ingat Ian Thompson mengatakan bahwa kita punya niat, memahami dan efek. Pemahaman ini memiliki semua rencana ini, tetapi pertanyaannya adalah: bagaimana rencana ini berhasil? Pasti ada sesuatu untuk membantu ini harus dikerjakan. Dari Swedenborg kita tahu bahwa semua pikiran dengan hal ini bekerja berasal dari tingkat sebelumnya. Kita tahu bahwa masuknya dari langit sangat penting bagi kita untuk berpikir, bahkan mendapatkan pemahaman kita bekerja, dan untuk mengoperasikan rencana kami. Jadi, apa yang saya usulkan untuk membantu kita untuk memahami proses virtual, adalah bahwa ada lapisan lain dari tiga (triadic) tahap seperti pada Gambar 4.

Gambar 4: Triad dari proses virtual menghasilkan proses yang sebenarnya


Tidak semua dari Anda akan mengerti apa yang dimaksud fisikawan dengan teori medan, tapi apa yang Ian Thompson ingin tunjukkan adalah bahwa, dengan melihat kelompok-kelompok triadic dan mendalilkan kelompok lain sebelumnya, kita mendapatkan beberapa ide yang membantu kita untuk memahami fisika kuantum. Lapisan sebelum ini menjelaskan proses virtual, atau energi potensial, dan lapisan bawah adalah apa yang ia harus memulai dengan, yang berkaitan dengan energi, kecenderungan dan peristiwa aktual. Intinya adalah bahwa layer baru ini memiliki tingkat proses otonomi sendiri, di mana peristiwa virtual yang dihasilkan oleh medan kuantum virtual, mulai off dengan apa yang dalam fisika disebut ‘lapangan/medan Lagrangian’. Kami tidak benar-benar tahu di mana Lagrangian berasal dari, sehingga sekali lagi kita memiliki masalah yang sama, tapi setidaknya kita dapat melihat bahwa proses virtual membantu mempersiapkan energi kinetik dan potensial, dan karenanya membantu mempersiapkan kecenderungan. Perhatikan bahwa ada proses virtual muncul bahkan jika tidak ada yang benar-benar terjadi. Bahkan jika Anda mengambil ruang di ruangan ini antara atom-atom, masih ada proses virtual terjadi. Para fisikawan mengatakan bahwa ada ‘energi titik nol’, dan bahwa ada ‘vakum fisik’ yang terdiri dari fluktuasi dari energi titik nol. Apa yang mereka menyiratkan adalah bahwa ada bidang virtual meskipun mungkin tidak ada bidang partikel, dan bahwa bidang virtual menghasilkan efek terukur.

Ian Thompson inginkan sekarang untuk mengidentifikasi dua lapisan ini dengan ‘udara’ lapisan dan ‘ether tengah’ lapisan Swedenborg seperti yang ditunjukkan pada gambar, karena ether tengahnya adalah salah satu katanya dikaitkan dengan planet dan mereka magnet. Swedenborg tahu tentang magnetisme, dan ia tahu tentang planet. Fungsi utama dari peristiwa virtual adalah produksi tarik elektrostatik & tolakan, dan gaya magnet, antara partikel bermuatan. Kita sekarang tahu bahwa magnet tidak ada dengan sendirinya, dan selalu dikombinasikan dengan elektrostatika: kita berbicara tentang elektro-magnet. Jadi kita menafsirkan ‘magnet’ Swedenborg seperti itu yang kita tahu itu bersatu, yaitu elektromagnetisme. Ini terlihat seperti eter tengah. Hal ini dalam urutan yang benar, dan memiliki struktur internal yang benar, dari sudut pandang Swedenborg. Kami memiliki pola yang sama: sebuah prinsip akan menyebabkan dan kemudian ke efek. Kita tidak tahu di mana prinsip berasal, tapi kita bisa melihat bahwa itu adalah prinsip. Ini adalah prinsip bahwa fisikawan telah digunakan sampai saat ini sebagai titik awal untuk menggambarkan teori medan kuantum. Mereka mulai dengan menuliskan Lagrangian, dan melihat semua istilah dalam Lagrangian, untuk bekerja semua proses virtual mungkin. Mereka bekerja satu langkah dan dua langkah proses untuk peristiwa virtual, menggunakan teori misalnya gangguan. Kemudian mereka bekerja di luar energi potensial dan kinetik, dan melanjutkan dengan Hamiltonian dan gelombang fungsi dll Ini semua hanya menjelaskan dengan cara sederhana fisikawan apa yang hari ini. Sebuah gambar ini (tanpa kata-kata ‘ether tengah’ atau ‘udara’, tentu saja) akan menyenangkan untuk rekan-rekan saya di tempat kerja (saya telah mencobanya pada mereka[43]), sehingga sangat masuk akal dari sudut pandang fisika. Satu-satunya hal yang mereka temukan sedikit aneh adalah bahwa ada perintah tegas ini. Tidak ada semacam memberi dan menerima, tidak ada interaksi timbal balik: Saya selalu tertarik panah ‘memproduksi’ seperti ke kanan atau ke bawah, sehingga seluruh bisnis adalah bahwa masuknya: masuknya bersyarat. Apa yang Anda butuhkan untuk menerima masuknya adalah sesuatu yang saya tidak punya waktu untuk berbicara tentang: yang benar-benar bicara lain[44]. Setidaknya dari Swedenborg kita tahu bahwa ada perintah seperti itu.


Gravitasi

Kami memiliki ether tengah, dan kami memiliki udara, jadi bagaimana dengan gravitasi? Itu adalah hal yang hilang di sana. Mari kita simpulkan apa yang kita ketahui tentang gravitasi, sangat singkat. Teori gravitasi terbaik adalah Teori Umum Relativitas Einstein. Hal ini masih teori terbaik: tidak ada orang yang menyangkal hal itu. Fisikawan tidak senang dengan hal itu, karena alasan-alasan yang akan saya jelaskan, tetapi masih teori terbaik. Dalam teori ini, ruang dan waktu ‘melengkung’ oleh gravitasi, sesuai dengan distribusi materi. Saya tidak akan menuliskan persamaan Einstein, tetapi ide dasarnya adalah bahwa kelengkungan ruang-waktu disebabkan oleh massa dan energi di ruang-waktu. Tidak ada menyebutkan probabilitas, sehingga lagi teori klasik. Hasil ini adalah bahwa pertanyaan gravitasi kuantum hangat dibicarakan: pertanyaan tentang bagaimana untuk menggabungkan probabilitas dengan ide ruang-waktu melengkung. Ada sering berdiskusi tentang bagaimana kita mungkin bisa di gravitasi kuantum kombinasi seperti itu. Sebagai contoh, jika ruang dan waktu yang entah bagaimana probabilistically dihasilkan, maka bagaimana Anda berbicara tentang probabilitas, jika kita tidak memiliki distribusi ruang yang memiliki probabilitas?

Harus ada ‘ alternatif ‘ dari beberapa jenis ! Saya berharap bahwa jika kita memiliki wawasan tentang masalah ini gravitasi kuantum dari Swedenborg, maka kita akan dapat melemparkan beberapa cahaya pada masalah-masalah mendasar .

Menurut Swedenborg, jika kita berada di dunia spiritual, kita tahu bahwa ruang dan waktu dalam dunia spiritual sangat fleksibel, mari kita bicara seperti itu. Ruang tergantung pada kondisi mental dan keadaan rohani kita. Kita tahu bahwa jika cinta dua orang adalah sama, maka mereka berdekatan di dunia spiritual. Kita tahu bahwa Matahar, negara Tuhan di langit, sangat berbeda dari negara malaikat yang muncul di jarak yang sangat besar dari mereka, menyinari mereka. Kita juga tahu bahwa waktu adalah sangat fleksibel dalam dunia spiritual. Tampaknya menjadi aturan yang, jika seseorang meminta Anda untuk melakukan sesuatu, dan Anda mengatakan bahwa Anda akan melakukannya segera tetapi Anda ingin melakukan banyak hal lain terlebih dahulu, Anda selalu memiliki ‘waktu’ untuk pengalihan untuk melakukan apapun lain yang Anda ingin lakukan, dan kemudian kembali ke apa yang orang meminta Anda untuk melakukannya. Tidak ada waktu jam di dunia spiritual: hanya ada suksesi negara. Anda selalu dapat memiliki banyak suksesi negara dari satu jenis antara negara berturut-turut sesuatu yang lain, dan tidak ada tingkat yang sama dari suksesi di bagian yang berbeda. Sekali lagi, kita melihat bahwa ruang dan waktu bervariasi sesuai dengan cinta.

Sekarang Ian Thompson akan menyajikan beberapa ide yang tidak benar-benar sebuah teori, tapi satu upaya unified melihat apa yang sedang terjadi, sehingga kita dapat mulai melihat korespondensi. Menurut Swedenborg, mencintai secara dinamis menghasilkan geometri ruang dan waktu yang kita miliki di dunia spiritual. Tapi kita tahu bahwa mencintai sesuai dengan energi, jadi mari kita mengambil kalimat ini dan menerjemahkannya dengan korespondensi ke dalam fisika. Kami berakhir dengan pernyataan, bahwa energi secara dinamis menghasilkan geometri ruang dan waktu di dunia fisik. Ini adalah persis apa kata Relativitas Umum. Kami tidak benar-benar memahami hubungan antara cinta dan energi, atau bagaimana tepatnya ini bekerja, tapi kita bisa melihat awal dari beberapa ide yang mungkin di masa depan menghasilkan beberapa wawasan. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan kami udara dan eter menengah perlu diperluas untuk mencakup apa yang saya sebut sebelumnya ‘formatif’ derajat. Hal ini sangat spekulatif: Saya menggunakan ide dari korespondensi dari Swedenborg untuk mengisi kekosongan .

1. General Principle 2. Formative Fields 3. Form Space-time Forming Principle ‘Universal Ether’
4. Lagrangian 5. Virtual Fields 6. Virtual Events Virtual Cause ‘Middle Ether’
7. ‘Active Energy’ 8. Propensity Fields 9. Actual Selections Actual Effect ‘Air’
Principle Cause Effect




Gambar 5: Sebuah triad formatif pada baris pertama , untuk menghasilkan proses virtual

Sembilan lapisan yang telah saya diarsir (huruf warna Merah) pada Gambar 5 terdiri pertama dari bawah enam yang telah saya bicarakan sebelumnya: pilihan aktual, kecenderungan medan dan energi; kemudian di atas ini: peristiwa virtual, bidang virtual dan Lagrangian tersebut (apapun itu!). Lalu, saya katakan, kita akan mengharapkan beberapa lapisan atas ini, sehingga lapisan ini baru bertindak sebagai prinsip dalam tiga serangkai prinsip -> sebab -> akibat dalam arah vertikal. Karena semuanya datang dalam triad, kita tidak bisa memiliki hanya enam: kita harus memiliki sembilan (kekuatan dari tiga). Jadi sepertinya bahwa harus ada beberapa prinsip umum di awal, kemudian beberapa bidang formatif di tengah atas, dan pengaruh medan formatif harus menghasilkan ruang-waktu. Harus ada, di bagian atas, menjadi lapisan sebelum ini baru yang dilakukan adalah dengan melakukan gravitasi . Kami tidak benar-benar tahu apa-apa tentang hal ini, dan, pada kenyataannya, jika semua ahli fisika yang kita tahu berpikir tentang gravitasi kuantum bisa memikirkan sesuatu yang berguna, maka kita mungkin memiliki sesuatu untuk dikatakan. Sebaliknya, jika dari Swedenborg kami mengerti korespondensi kami dengan baik, kami juga mungkin memiliki sesuatu untuk dikatakan.

Tantangannya adalah untuk mendapatkan ide-ide kami dari sumber yang berbeda untuk bertemu bersam : kita mencoba menghubungkan langit dan bumi di sini , untuk melihat bagaimana mereka bergabung. Yang baru adalah bahwa lapisan ini sebelum baru adalah seperti apa Swedenborg katakan adalah eter pertama, yang berhubungan dengan gravitasi. Sepertinya di sini kita memiliki eter pertama eter tengah dan udara: ini tampaknya masuk akal selama kita membiarkan diri kita untuk menafsirkan Swedenborg Swedenborg berusaha mengatakan apa yang ia tahu benar dalam kata-kata yang ia telah tersedia baginya. Dia harus menggunakan kata-kata yang ada di sana; dia bisa menyarankan hal-hal, tapi ada banyak hal yang dia tidak tahu Ada banyak hal yang dia tidak tahu, tapi yang sekarang kita tahu untuk menjadi penting, seperti oksigen di udara, jadi kami harus bekerja dengan tepat apa hal-hal ini bahwa ia tidak memberitahu kami.

Dalam contoh ini kita telah menerapkan prinsip-prinsip umum yang diambil dari ide-ide Swedenborg untuk menafsirkan kembali rincian referensi ke alam. Kita lihat, misalnya, pola umum yang sama secara vertikal dan horizontal. Dalam arah vertikal, kita melihat prinsip, sebab dan akibat, atau cinta, kebijaksanaan dan menggunakan, atau niat, pemahaman dan efek, mana korespondensi kita pilih. Dan kemudian ada pola yang sama di setiap arah horisontal 1 à 3 , 4à 6 dan 7 à 9 . Keseluruhan Masuknya harus datang di urutan 1 à 9 : ini harus menjadi cara bahwa dunia diproduksi. Tingkat ini semua di alam, dan tidak terdiri dari apapun mental. Ini adalah derajat diskrit, semua di alam.


Pandangan Parsial

Kita bisa menjelaskan bagaimana bisa ada pandangan parsial. Triad terakhir adalah energi -> gelombang -> event, yang sesuai dengan kemauan, pikiran dan tindakan, tetapi tidak identik dengan itu. Tetapi banyak orang melihat korespondensi, dan merasakan korespondensi ini, sehingga banyak dari mereka telah dibangun ke dalam bahasa sehari-hari. Insight, kehangatan, dll. adalah kata-kata yang sering digunakan. Peran energi dalam tubuh sesuai dengan peran cinta dalam roh. Kita bisa menyebutnya panas, atau energi generatif, tapi apa pun itu, itu adalah sesuatu yang pada awal yang sesuai dengan sisi cinta. Peran gelombang di dunia sesuai dengan kebijaksanaan dalam roh. Gelombang di dunia bisa menjadi gelombang cahaya, dan kita mengatakan bahwa kebijaksanaan sesuai dengan cahaya. Peran peristiwa tindakan sesuai dengan keputusan dalam roh, yang merupakan efek pada akhir fisik. Fisika kuantum masih belum yakin tentang efek ini, seperti yang saya katakan di awal, sehingga masih ada urusan yang belum selesai dalam fisika tentang apa efek ini dan apa yang benar-benar menghasilkan mereka. Orang sering conflate energi dalam tubuh dengan kasih dalam roh dengan mengatakan bahwa ada energi spiritual dalam diri kita, dan berbicara tentang aura sebagai gelombang yang dapat mereka lihat di sekitar orang. Mungkin mereka bisa, tetapi ini tidak gelombang dalam arti fisik normal.

Selain itu, banyak dari orang-orang yang saya sebutkan sebelumnya yang mencoba untuk memahami fisika kuantum dibangun pada kenyataan bahwa ada korespondensi antara peristiwa fisik dan keputusan spiritual, dengan berspekulasi bahwa peristiwa rohani adalah keputusan yang sebenarnya. Beberapa itu benar, karena mereka tampaknya sesuai, dan karena itu kita akan mengharapkan hubungan kausal, karena korespondensi timbul dari masuknya kausal. Saya telah mengatakan bahwa fisika terdiri dari efek yang berasal dari kekuatan dan ladang dan kemudian energi, dan beberapa orang berpikir itu karena energi ini sangat berbeda dari materi di dunia fisik, mungkin energi harus menjadi lama dicari ‘roh’. Namun, hanya memberitahu kita sesuatu yang sesuai dengan semangat. Orang lain telah melihat lapisan akhir ini energi, kecenderungan dan peristiwa, dan telah melihat kembali ke proses virtual. Mereka melihat bahwa proses virtual di sini bahkan jika tidak ada yang benar-benar terjadi, dan dengan demikian berspekulasi bahwa mungkin inilah proses virtual yang sesuai dengan roh, atau roh. Jadi kita bahkan mendapatkan dokumen-dokumen “Apakah Foton Virtual Dasar Pembawa Kesadaran”[45]. Saya menggunakan proposal ini untuk menunjukkan jenis pandangan parsial, atau conflation dari korespondensi yang sering terjadi. Saya harus membaca untuk Anda yang kedua untuk kalimat terakhir “arena kemahahadiran foton maya, maka akhirnya bahwa seluruh alam semesta harus embued (menyatu?) dengan subjektivitas”. Inilah yang terjadi jika Anda tidak membedakan satu derajat sebelum di alam dari derajat sebelum nyata yang berada di spiritual. Mereka berhubungan satu sama lain tetapi mereka tidak sama. Seluruh pembicaraan saya adalah tentang fisika kuantum dan spiritualitas: ada korespondensi antara mereka, tetapi mereka tidak sama.

Sekarang saya akan membahas beberapa konsekuensi dari ide-ide di atas. Pertimbangkan gagasan bahwa pilihan aktual fisik penting, karena hasil akhir atau ‘bottom line’. Dunia spiritual seluruh menghasilkan dunia spiritual eksternal, dan kemudian semua gelar ini di alam, dan hal terakhir yang menghasilkan adalah pilihan yang sebenarnya satu hasil tertentu di tempat lain. Itulah yang fisika kuantum tidak benar mengerti, tetapi kita tahu bahwa itu harus ada. Kita tahu bahwa tindakan akhir atau akhir dari roh berada dalam pikiran sensual. Bahwa apa yang Swedenborg memberitahu kita, sedangkan psikolog akan mengatakan bahwa adalah pikiran sensori-motor yang sedikit lebih akurat karena itu adalah tindakan, bukan hanya sensasi, yang signifikan. Dan kita tahu, dari apa yang saya baru saja dijelaskan, bahwa tindakan terakhir di dunia adalah peristiwa aktual: pemilihan salah satu hasil tertentu yang berbeda dari yang lain. Dengan demikian, dua hal – pikiran sensori -motor dan peristiwa aktual-tampaknya berhubungan satu sama lain. Jadi Heisenberg, Wigner, Stapp dan lain-lain, bahkan Paul Davies, berpikir bahwa ada hubungan antara pengamat dan pemilihan peristiwa aktual. Kita sekarang melihat bahwa mereka berhubungan satu sama lain, dan salah satu dari mereka harus menyebabkan yang lain. Ada sesuatu tentang pikiran sensori -motor lapisan terluar dari pikiran eksternal, sesuai dengan yang operasinya harus dalam beberapa cara terhubung ke pemilihan hasil fisik tertentu. Hal ini menjelaskan sebagian bagaimana dunia alam mengakhiri dunia spiritual. Hal ini dalam dunia alam yang kita benar-benar membangun sebuah fundasi yang tetap, karena peristiwa-peristiwa aktual yang merupakan bottom line, merupakan pilihan yang pasti untuk satu cara atau yang lain. Swedenborg mengatakan bahwa dunia alam berakhir dan berisi: bahwa itu adalah containant untuk kehidupan rohani dan tindakan. Cinta yang tetap bersama kami harus mencintai yang menghasilkan peristiwa aktual dalam kehidupan kita. Ini pada dasarnya apa yang Swedenborg katakan kepada kita.

Keseluruhan Gambar

Ini semua bagian dari sebuah cerita yang lebih besar, tentu saja: pada dasarnya kita tahu bahwa ada pikiran interior, pikiran eksterior, dan dunia alam. Apa yang saya telah berbicara tentang adalah sembilan derajat di dunia alam yang ditunjukkan pada kolom paling kanan dari Gambar 6. Dalam kolom ini, kita memiliki alam, di kolom tengah kita memiliki pikiran, di mana kita memiliki sensual (atau sensori motor) pikiran, eksternal rasional (atau ilmiah), dan rasional internal yang yang dihasilkan setelah reformasi. Di sebelah kiri, kita memiliki pola yang sama lagi, di langit. Ini adalah langit spiritual. Semua pembicaraan sejauh ini baru saja menggambarkan sembilan derajat (sebuah ennead) dalam dunia alam, dan tentu saja seluruh skema lagi dengan ennead (satu set sembilan kali lipat). Swedenborg masuk ke dalam rinci tentang apa yang terjadi dalam internal rasional yang…, dan proses panjang digambarkan dalam Kitab Kejadian adalah perkembangan dari Abraham sampai dengan Joseph dan seterusnya, yang mengatakan kepada kita rincian regenerasi rasional internal.
Interior Mind/Spirit
(love)
Exterior Mind (understanding)
Natural World
(effects)
Celestial Internal Rational Formative level
1. 2. 3.
Spiritual
Scientific
(External Rational)
Virtual Causes
4. Lagrangian 5. Virtual Field 6. Virtual Event
Spiritual-Natural Sensual Actual Effects
7. Energy 8. Tendency 9. Selection

Gambar 6: derajat Spiritual dan Mental dalam kaitannya dengan alam.

Kami belum tahu rincian derajat 1, 2 dan 3 yang membentuk apa yang disebut Swedenborg sebagai yang ‘ Ether Universal ‘ .

Seperti tabel ini derajat diskrit tidak benar-benar menjelaskan penyebab dan alasan merek , tetapi memberikan klasifikasi umum. Klasifikasi ini memungkinkan kita untuk masuk akal ketika fisika kuantum mengatakan kepada kita bahwa hal-hal di dunia ini tersebar bidang yang bertindak dengan cara bersatu untuk memberikan satu hasil yang sebenarnya. Ini karena itulah cara kita. Ketika manusia berpikir, kita memiliki niat yang berpikir tentang berbagai kemungkinan, dan kemudian bekerja pada salah satu dari mereka. Itulah apa hidup ini, dan apa yang kita lihat adalah bahwa alam fisik tidak berbeda. Hal ini tidak sadar akan dirinya sendiri dengan cara yang sama, tapi mengandung jenis yang sama proses, fungsi yang sama. Ada kesamaan fungsi, dan ini membantu kita untuk memahami fisika kuantum. Sebelumnya cocok alami untuk fisik, dan kita melihat bagaimana derajat ini semua bergabung bersama-sama.

Jadi, dalam kesimpulan, kita melihat bahwa ada korespondensi menyeluruh (korespondensi secara rinci serta keseluruhan struktur) antara fungsi di alam kuantum dan fungsi dalam pikiran internal dan eksternal. Tidak ada suatu persamaan substansi, tetapi pola fungsional di alam adalah sama dengan pola fungsional dalam pikiran internal dan lagi sebagai sama dengan pola fungsional dalam pikiran eksternal. Oleh karena itu, jika kita menaruh semua foto-foto bersama, kita belajar lebih banyak tentang ala , serta belajar lebih banyak tentang spirit.[46] Oleh karena itu, Ian Thompson berharap, bahwa kita mendapatkan gambaran yang lebih baik dari masing-masing, serta hubungan antara mereka.

11. Spiritualitas, Kesadaran dan Quantum Physic

Perkembangan baru dalam upaya ilmiah manusia modern saat ini memiliki mendapatkan kemajuan penting dan signifikan dalam pandangan inti dari ajaran agama di bidang fisika baru terutama di Quantum Physic Teori sebanyak apa yang rumit dalam sub bab sebelumnya

Wacana, penjelasan, deskripsi dan argumen tentang hubungan antara Quantum Fisika dan Spiritualitas (kesadaran), sangat menarik disajikan dalam film semi – dokumenter berjudul What the Bleep Do We Know ? (juga ditulis Apa tнe # $ * ! Dө ωΣ ( k ) πow ! ? dan Apa # $ * ! Apakah Kita Tahu!?). Ini adalah sebuah film tahun 2004 yang menggabungkan gaya wawancara dokumenter animasi grafis komputer, dan narasi yang mengemukakan hubungan spiritual antara fisika kuantum dan kesadaran. Plot mengikuti kisah seorang fotografer yang tuli; saat ia bertemu hambatan emosional dan eksistensial dalam hidupnya, dia datang untuk mempertimbangkan gagasan bahwa kesadaran individu dan kelompok dapat mempengaruhi dunia material. Pengalamannya yang ditawarkan oleh para pembuat film sebagai ilustrasi tesis film tentang fisika kuantum dan kesadaran. sinematik ini dirilis 2004 dari film ini diikuti oleh substansial yang berubah, versi DVD yang diperpanjang pada tahun 2006 .

Bleep dilahirkan dan produksinya didanai oleh William Arntz, yang ikut menyutradarai film bersama dengan Betsy Chasse dan Mark Vicente: semua orang-orang ini adalah mahasiswa Sekolah Pencerahan Ramtha[47]. Sebuah anggaran yang cukup rendah untuk produksi independen, itu dipromosikan menggunakan metode viral marketing dan dibuka di bioskop rumah seni di Amerika Serikat bagian barat, memenangkan beberapa penghargaan film independen sebelum dijemput oleh distributor utama [2] dan akhirnya laku lebih dari $ 10.000.000.[48] [49]

Film ini telah dikritik karena dianggap keliru dalam menyajikan ilmu pengetahuan [50] [51] [52] [53], yang mengandung pseudosains [54] [55], dan telah digambarkan sebagai mistisisme kuantum [56] .


Synopsis Film

Difilmkan di Portland, Oregon, What the Bleep Do We Know menyajikan sudut pandang alam semesta fisik dan kehidupan manusia di dalamnya, dengan koneksi kepada neuroscience dan fisika kuantum. Beberapa ide dibahas dalam film ini adalah :
1. alam semesta ini terbaik dilihat sebagai dibangun dari pemikiran (atau ide) daripada dari substansi .
2. “ruang kosong ” sebenarnya tidak kosong .
3. Materi tidak solid. Elektron terdorong masuk dan keluar dari keberadaan dan tidak diketahui di mana mereka menghilang untuk apa .
4. Keyakinan tentang siapa seseorang dan apa yang nyata dibentuk oleh diri sendiri dan realitas seseorang.
5. Peptides yang diproduksi di otak dapat menyebabkan reaksi tubuh terhadap emosi .

Di segmen narasi film, Marlee Matlin menggambarkan Amanda, seorang fotografer tuli yang bertindak sebagai pemirsa avatar pada saat ia mengalami hidupnya dari perspektif baru yang mengejutkan dan berbeda.

Di segmen dokumenter film, yang diwawancarai membahas akar dan makna dari pengalaman Amanda. Komentar fokus terutama pada satu tema: Kita menciptakan realitas kita sendiri. Direktur, William Arntz, telah menjelaskan What the Bleep sebagai film untuk “metafisik kiri. “[57] ​​

Produksi

Film ini mencakup lebih dari tiga ratus efek visual jumlah shot yang sangat besar untuk sebuah film independen, film yang dibiayai swasta. Kendala anggaran yang membutuhkan upaya internasional. Pekerjaan terpecah antara yang berbasis di Toronto Mr X Inc, Lost Boys Studios di Vancouver, dan Efek Visual Atom di Cape Town, Afrika Selatan. [11] Tim efek visual, yang dipimpin oleh pengawas efek visual Evan Jacobs, bekerja sama dengan pembuat film untuk membuat metafora visual yang akan menangkap esensi dari mata pelajaran teknis film dengan perhatian terhadap detail estetika. [11] [58]

Pernikahan yang difilmkan ini di Gereja Katolik St Patrick, yang dibangun pada tahun 1888 dan terletak di barat laut Portland. St Patrick bukanlah sebuah paroki Polandia, seperti yang ditunjukkan dalam film; secara historis telah menyediakan layanan untuk jemaat terutama Irlandia. Beberapa wawancara yang difilmkan di University of Washington di Seattle. Paling menonjol, grand tangga dan ruang baca dari Suzzallo Library, quad, dan bagian depan dari Denny Balai digunakan sebagai lokasi wawancara.

Menurut Publishers Weekly, film itu salah satu hits sleeper 2004, sebagai “Kata-kata mulut dan pemasaran strategis yang disimpannya di bioskop selama satu tahun penuh.” Artikel tersebut menyatakan bahwa pendapatan kotor melebihi $ 10 juta, yang disebut sebagai tidak buruk untuk sebuah film dokumenter dengan anggaran rendah, dan bahwa rilis DVD mencapai bahkan sukses lebih signifikan dengan lebih dari satu juta unit dikapalkan dalam enam bulan pertama setelah rilis pada bulan Maret tahun 2005.[59]

Dalam artikel Publishers Weekly, humas of New Page Books Linda Rienecker mengatakan bahwa ia melihat kesuksesan film sebagai bagian dari fenomena yang lebih luas, yang menyatakan “Sebagian besar penduduk mencari koneksi spiritual, dan mereka memiliki seluruh dunia untuk memilihnya dari sekarang”. Penulis Barrie Dolnick menambahkan bahwa “orang tidak ingin belajar bagaimana untuk melakukan satu hal . Mereka akan mengambil sedikit Buddhisme sedikit veganism , sedikit astrologi … Mereka datang ke pasar yang lapar untuk arahan, tetapi mereka tidak ingin beberapa orang yang mengaku memiliki semua jawaban. mereka ingin saran, bukan formula. “Artikel yang sama mengutip Bill Pfau, Advertising Manager Tradisi batin, yang mengatakan “Semakin banyak ide-ide dari masyarakat New Age telah menjadi diterima ke mainstream.”

Kritikus film menawarkan tinjauan yang beragam seperti yang terlihat di situs review film Rotten Tomatoes, di mana ia diklasifikasikan sebagai “Rotten“, dengan nilai rata-rata 4.6/10 berdasarkan 74 ulasan [60]. Dalam ulasannya film , Dave Kehr dari New York Times menggambarkan “transisi dari mekanika kuantum untuk terapi kognitif ” sebagai “masuk akal”, tetapi juga menyatakan bahwa “lompatan berikutnya – dari terapi kognitif menjadi besar, keyakinan kabur spiritual — tidak secara efektif dilaksanakan. Tiba-tiba orang-orang yang berbicara tentang partikel subatomik yang menyinggung alam semesta alternatif dan kekuatan kosmik, yang semuanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembuatan karakter Ms Matlin yang merasa lebih baik tentang pahanya.”[61]

Reaksi Masyarakat New Age (Zaman Baru)

What the Bleep Do We Know? telah digambarkan sebagai “semacam jawaban New Age kepada The Passion of the Christ dan film lain yang mematuhi ajaran agama tradisional.” [10] Ia menawarkan spiritualitas alternatif bila dilihat karakteristik filosofi New Age, termasuk kritik dari nilai-nilai moral agama tradisional. Film ini diterima dengan baik di festival film di mana penganut New Age adalah demografis yang kuat, misalnya Sedona, Arizona.[62] [63]
Reaksi Kalangan Akademik

Beberapa ilmuwan yang telah meninjau What the Bleep Do We Know? telah menjelaskan pernyataan yang berbeda yang dibuat dalam film sebagai pseudosains[64]. Di antara konsep-konsep dalam film yang telah ditantang adalah pernyataan bahwa molekul air bisa dipengaruhi oleh pikiran (seperti yang dipopulerkan oleh Masaru Emoto[65]), bahwa meditasi dapat mengurangi tingkat kejahatan kekerasan,[66] dan bahwa fisika kuantum menyiratkan bahwa “kesadaran adalah dasar dari semua yang ada.” Film ini juga dibahas dalam sebuah surat yang diterbitkan dalam jurnal Physics Todays yang menantang bagaimana fisika yang diajarkan, mengatakan pengajaran gagal untuk “mengekspos misteri fisika yang telah mengalami [dan] mengungkapkan batas-batas pemahaman kita.” Dalam surat tersebut, para penulis menulis “film ini menggambarkan prinsip ketidakpastian dengan bola basket memantul yang berada di beberapa tempat sekaligus. Tidak ada yang salah dengan itu. Ini diakui sebagai pedagogis berlebihan. Tapi film ini secara bertahap bergerak ke ‘wawasan’ kuantum yang memimpin wanita untuk membuang obat antidepresan dia, untuk penyaluran kuantum Ramth, dewa Atlantis 35.000 tahun, dan omong kosong yang lebih besar. “ia pergi dengan mengatakan bahwa” Kebanyakan orang awam tidak bisa mengatakan di mana ujung fisika kuantum dan omong kosong kuantum dimulai, dan banyak hal yang rentan untuk menjadi sesat,” dan bahwa “seorang mahasiswa fisika mungkin tidak dapat meyakinkan menghadapi ekstrapolasi mekanika kuantum yang tak dibenarkan,” kelemahan yang penulis atributkan kepada pengajaran mekanika kuantum, saat di mana “kita diam-diam menyangkal misteri fisika yang telah ditemukan.”[67]

Richard Dawkins, seorang evolusionis Baru – Darwin, menyatakan bahwa “para penulis tampak ragu-ragu apakah tema mereka adalah teori kuantum atau kesadaran. Keduanya memang misterius, dan misteri asli mereka perlu tidak ada hype dengan mana film ini tanpa henti dan ribut menggempur kita” menyimpulkan bahwa film ini adalah “omong kosong”. Profesor Clive Greated menulis bahwa “berpikir tentang neurologi dan kecanduan akan dibahas dalam beberapa detail tapi, sayangnya, referensi awal dalam film fisika kuantum inib tidak ditindaklanjuti, mengarah ke pesan yang membingungkan”. Meskipun memberi peringatan, ia menyarankan agar orang-orang melihat film, menyatakan, “Saya berharap ini berkembang menjadi sebuah film kultus di Inggris seperti yang telah di Amerika Serikat. Sains dan teknik yang penting untuk masa depan kita, dan apa pun yang melibatkan masyarakat hanya dapat menjadi hal yang baik.” Simon Singh menyebutnya pseudosains dan mengatakan saran “bahwa jika mengamati perubahan struktur molekul air, dan jika kita adalah 90% air, maka dengan mengamati diri kita dapat mengubah pada tingkat dasar melalui hukum fisika kuantum ” adalah ” omong kosong konyol.” Menurut João Magueijo, profesor fisika teoritis di Imperial College, film sengaja salah mengutip ilmu pengetahuan. [6 ] Ulasan The American Chemical Society mengkritik film sebagai “docudrama ilmuan”, mengatakan “Di antara pernyataan yang lebih aneh adalah bahwa orang dapat melakukan perjalanan mundur dalam waktu, dan materi yang benar-benar berpikir. “

bahwa Tema sentral film ini – mekanika kuantum, menunjukkan bahwa pengamat sadar dapat mempengaruhi realitas fisik juga telah dibantah oleh Bernie Hobbs, seorang penulis ilmu pengetahuan dengan ABC Sains online. Hobbs menjelaskan, “Efek pengamat fisika kuantum bukan tentang orang atau realitas. Ini berasal dari Prinsip Ketidakpastian Heisenberg, dan ini tentang keterbatasan yang mencoba untuk mengukur posisi dan momentum dari partikel subatomik … ini hanya berlaku untuk sub-partikel – atom – . . batu tidak perlu Anda bertemu itu ada , ini ada partikel sub – atom yang membentuk atom yang membentuk batu itu ada juga”. Hobbs juga membahas percobaan Hagelin dengan Meditasi Transendental dan tingkat Washington DC kejahatan kekerasan, mengatakan bahwa “jumlah pembunuhan benar-benar pergi. “Hobbs juga membantah penggunaan film dari mitos sepuluh persen”.

David Albert, seorang ahli fisika yang muncul dalam film tersebut, menuduh para pembuat film selektif mengedit wawancara untuk membuatnya tampak bahwa ia mendukung tesis film bahwa mekanika kuantum terkait dengan kesadaran. Dia mengatakan dia “sangat simpatik terhadap upaya menghubungkan mekanika kuantum dengan kesadaran. “

Dalam film itu, selama diskusi tentang pengaruh pengalaman persepsi, Candace Pert mencatat cerita, yang katanya dia percaya adalah benar, penduduk asli Amerika tidak mampu melihat kapal Columbus karena mereka berada di luar pengalaman mereka. Menurut sebuah artikel di Fortean Times, oleh David Hambling, asal-usul cerita ini mungkin melibatkan pelayaran dari Kapten James Cook, bukan Columbus, dan akun yang berkaitan dengan sejarawan Robert Hughes yang mengatakan kapal Cook adalah” … kompleks dan asing untuk menentang pemahaman pribumi”. Hambling mengatakan ada kemungkinan bahwa kedua akun Hughes dan kisah yang diceritakan oleh Pert sebagai sikap berlebihan dari catatan yang ditinggalkan oleh Captain Cook dan ahli botani Joseph Banks. Sejarawan percaya bahwa penduduk asli Amerika cenderung melihat kapal-kapal tetapi mengabaikan mereka sebagai berpose tidak bahaya[68].

Skeptis seperti James Randi menggambarkan film itu sebagai “docudrama fantasi” dan “Sebuah contoh maraknya pelecehan oleh penipu dan sekte.” [69] Komite untuk Skeptical Inquiry menolak sebagai “campur aduk semua jenis omong kosong gila,” di mana “ilmu [adalah] terdistorsi dan sensasional.”[70] Pengulas BBC menggambarkannya sebagai “sebuah film dokumenter ditujukan untuk benar-benar mudah tertipu.”[71]

Wartawan John Gorenfeld, menulis di Salon, mencatat bahwa film tiga direktur adalah mahasiswa Sekolah Pencerahan Ramtha, yang ia gambarkan sebagai telah disebut “kultus.”[72]


Adaptasi Buku dan Sekuel Film

Pada pertengahan 2005 , para pembuat film bekerja dengan HCI Books untuk memperluas tema film dalam sebuah buku berjudul What the Bleep Do We Know ! ? – Menemukan Kemungkinan Realitas Endless Sehari-hari Anda. HCI presiden, Peter Vegso, menyatakan dalam kaitannya dengan perusahaannya yang menerbitkan buku, ia percaya bahwa “What the Bleep adalah lompatan kuantum dalam dunia New Age, “dan” dengan mengawinkan ilmu pengetahuan dan spiritualitas, itu adalah dasar pemikiran masa depan. ” [4]

Pada tanggal 1 Agustus, 2006 What The BLEEP – Down the Rabbit Hole, Quantum Edition multi- disc DVD set dirilis , mengandung dua versi diperpanjang What the Bleep Do We Know, dengan lebih dari 15 jam dari material pada 6 DVD sisi! ? .


Individu Menarik dalam Film ini

Film ini menampilkan beberapa orang yang diwawancarai untuk bagian dokumenter, termasuk:
Amit Goswami , yang muncul dalam majalah What is, menulis buku The Self- Aware Universe: How Consciousness Creates the Material World (ISBN 0-87477-798-4 ), telah bekerja dengan Deepak Chopra dan digunakan oleh Institut Ilmu Noetic [ 23 ]
1. John Hagelin, seorang fisikawan di Maharishi University of Management , direktur MUM Institute for Science, Teknolog, dan Kebijakan Publik, dan tiga kali calon presiden dari Partai Meditasi Transendental -linked Natural Law. [24]
2. Stuart Hameroff, ahli anestesi, penulis, dan direktur dari Pusat Studi Kesadaran di Universitas Arizona, yang bekerja dengan Roger Penrose, pada teori kuantum spekulatif kesadaran,
3. JZ Knight, seorang guru spiritual yang juga diidentifikasi dalam bagian narasi sebagai semangat “Ramtha” bahwa Knight diduga menyalurkan (Channeling)
4. Andrew Newberg B., asisten profesor radiologi di Rumah Sakit Universitas Pennsylvania, dan dokter di kedokteran nuklir, yang ikut menulis buku, Why God Won’t Go Away: Brain Science & the Biology of Belief (ISBN 0-345-44034 – X),
5. Candace Pert, seorang neuroscientist, yang menemukan situs ikatan selular untuk endorfin di otak, dan pada tahun 1977 menulis buku Molecules of Emotion.
6. Fred Alan Wolf, seorang fisikawan independen, yang baru-baru ini menulis The Yoga of Time Travel: How the Mind Can Defeat Time, [25] dan ditampilkan dalam film dokumenter Spirit Space.
7. David Alber, seorang filsuf fisika dan profesor di Columbia University, yang menurut sebuah artikel Popular Science, adalah” marah pada produk akhir, “karena para pembuat film mewawancarainya tentang mekanika kuantum yang tidak terkait dengan kesadaran atau spiritualitas, dan kemudian diedit materi sedemikian rupa bahwa ia merasa salah mengartikan pandangannya. [17]

Orang lain yang diwawancarai dalam film ini termasuk Joe Dispenza, chiropractor, penulis, dan pemuja Ramtha Sekolah Pencerahan; [26] Michael Ledwith, penulis dan mantan profesor teologi di National University of Ireland, Maynooth; Daniel Monti, dokter dan direktur Program Pengobatan Pikiran – Tubuh di Thomas Jefferson University; Jeffrey Satinover, psikiater, penulis dan profesor; dan William Tiller, Profesor Emeritus of Material Science and Engineering di Stanford University, dan dipekerjakan oleh Institut of Noetic Science. [23]

Catatan Kaki:
[1] Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from its Origin to the Present, State University of New York Press, 2006
[2] Kita harus ingat bahwa Pythagoras mendirikan sebuah masyarakat religious di Croton yang berpusat di sekitar Apollo, dam dia menyediakan peraturan kehidupan seperti para Nabi lain para pendiri agama-agama. Lihatlah Kenneth S. Guthrie, kompilasi dan terjemahan., The Pythagorean Sourcebook and Library, (Grand Rapids, MI: Phanes, 1987); khususnya lihatlah “The Life of Pythagoras” oleh lamblichus.pp.57ff. di mana di sana bahkan ada perbandingan bahwa Pythagoras sebagai makhluk ilahiyah dan diidentifikasikan sebagai Dewa Apollo itu sendiri (p.80). Lihat juga misalnya karya agunhg Peter Kingsley, Ancient Philosophy, Mystery and Magic (Oxford: Clarendon, 1995), yang terkait dengan baiuk Pythagoras maupun Empedocles
[3] Lihat Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom (Inverness, CA: The Golden Sufi Center, 1999); and Reality, (Inverness, CA: The Golden Sufi Center, 2004). Untuk kutipan berikutnya yang akan diambil dari Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom, and Peter Kingsley, Reality
[4] Dalam apa yang diikuti tentang Parmenides, Seyyed Hossein Nasr telah menunjukkan dalam karya Kingsley, Reality. Pp. 31ff
[5] Lihat Seyyed Hossein “Spiritual Chivalry”, in ed. S.H. Nasr, Islamic Spirituality, Vol. 2 (New York: Crossroad, 1991), pp.304-15
[6] Lihat juga: ‘Allamah Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’I, Ali wa al-Hikmat al-ilahiyyah, in his Majmu a-yi rasa’il, Syayyid Hadi Khusrawshahi (ed). (Tehran: Daftar-i- Nashr-I farhang-I Islami, 1370, A.H. [solar], pp. 191ff
[7] Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom, p.33
[8] Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom p.40
[9] Martin Lings, The Secret of Shakespeare (New York: Inner Traditions International, 1984), p. 18
[10] Di dalam teks Islami, Nabi Idris atau Ukhnukh (Enoch), yang diidentikkan dengan Hermes, telah diberi gelar Abu al-Hukama,atau Bapak Para Filosof,. Lihat “Hermes and Hermetic Writing in the Islamic World” in Nasr, Islamic Life anf Thought , (Chicago: ABC International Group, 2001), pp.102-19
[11] Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom.,p.46
[12] Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom.p.87
[13] Peter Kingsley, In the Dark Places of Wisdom p.62
[14] Ibid., p.320. See also Kingsley, Ancient Philosophy, Mysticism, and Magic, in Passim.
[15] Kingsley, Reality, P.323
[16] See, S.H. Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), Chapter 15, “Nature and The Visionary Recitals,” pp.263-74
[17] Lihat Huston Smith, Forgotten Truth (San Fransico: Harper, 1992), especially chapter 3, “Levels of Selfhood,” pp.60-95; also Rene Guenon, The Multiple States of being, Trans. Joscelyn Godwin (Burdett, NY: Larson, 1984).
[18] Lihat Huston Smith, Forgotten Truth (San Francisco: Harper, 1992), especially chapter 3, “Levels of Reality,” pp. 34-59; and Chapter 4, “Levels of Selfhood,” pp.60-95; also Rene Guenon, The Multiple Stages of Being, Trans. Joscelyn Godwin (Burdett, NY: Larson, 1986).
[19] Kita hanya perlu membaca tentang ajaran besar tokoh bijaksana Sioux Elk Hitam untuk menyadari filosofi yang mendalam apa yang ada meskipun secara lisan antara orang-orang untuk siapa kenabian adalah realitas pusat kehidupan spiritual mereka. Lihat Joseph E. Browrn, The Pipe Suci (New York: Pengguin Metaphysical Library, 1986).
[20] Henry Corbin telah sangat peduli dengan issue ini dalam banyak karyanya yang kita akan beralih kemudian setelah volume ini.
[21] An New Worldview, http://www.centerfor sacredsciences.org, accessed at October 2010
[22] Dalam Pandangan dunia Islami kita percaya bahwa alam semesta, manusia dan Tuhan adalah dalam SATU REALITAS (In Islamic worldview we believe that universe, man and God are in One Reality). Inilah konsep “Wahdat al-Wujud” dalam konsep ‘Arabi, or konsep “Al-Shalat al-Wujud” dalam istilah Mulla Sadra
[23] Dalam ajaran Mulla Sadra, ini diterangkan dengan konsep “Itihad baina Aqil wa Ma’qul”
[24] Resources and Link’s: As a starting point for further research on mysticism, science, and worldviews, we recommend the following resource: CSS Resources: Holos: Forum for a New Worldview: Holos Journal published by the Center for Sacred Sciences; Articles : Science and Mysticism in the 20th Century by Joel, Questioning the Scientific Worldview by Tom McFarlane, The Illusion of Materialism by Tom McFarlane Other Resources Books: The Need for a Sacred Science by Seyyed Hossein Nasr, The Structure of Scientific Revolutions by Thomas Kuhn, A Study of History by Arnold Toynbee, The Passion of the Western Mind by Richard Tarnas, The Social Construction of Reality by Peter Berger, Laws of Form by G. Spencer-Brown Audio: Religious Diversity in America by Huston Smith and Diana Eck. A thirty-minute ReadAudio stream of a presentation sponsored by the Cambridge Forum a few weeks after 9/11/01. In the first half, Prof. Smith contrasts the traditional religious worldview with the modern materialistic worldview. In the second half, Prof. Eck discusses the present state of religious diversity in America and the different ways of dealing with these differences among us; Websites: The Center for Integral Science: (http://www.intergralscience.org), Laws of Form (http://www.lawsofform.org),
[25] Sub Judul ini adalah Article dari Carl W. Ernst, University of North Carolina at Chapel Hill Middle East Studies Association Bulletin vol. 28, no. 2 (December 1994), pp. 176-81. Based on references bellows; Gai Eaton. King of the Castle: Choice and Responsibility in the Modern World. 216 pages. 2nd ed., Cambridge: The Islamic Texts Society, 1990 [1977]; Martin Lings. Symbol & Archetype: A Study of the Meaning of Existence. viii + 141 pages. Index. Cambridge: Quinta Essentia, 1991. ISBN 1-870196-04-X, 1-870196-05-8 paperback; Seyyed Hossein Nasr. Traditional Islam and the Modern World. London: Kegan Paul International, 1990; Seyyed Hossein Nasr, ed. Islamic Spirituality: Manifestations. World Spirituality, An Encyclopedic History of the Religious Quest, vol. 20. xxviii + 548 pages. Preface to the Series by Ewert Cousins, Introduction, Bibliography, Contributors, Photographic Credits, Index of Names. New York: The Crossroad Publishing Company, 1991. ISBN 0-8245-0768-1.
[26] Huston Smith, “Is there a Perennial Philosophy?”, JAAR LV (1987):553-66; James S. Cutsinger, “The Knowledge that Wounds Our Nature: The Message of Frithjof Schuon,” JAAR LX (1992):465-92.
[27] http://www.centerforsacredsciences.org/traditions.html
[28] This Article adopted from a talk given by Ian Thompson, Physics Department, and University of Surrey, U.K. to the Swedenborg Scientific Association, 20 April 2002. Quoted From http://www.ianthompson.org/papers/Thompson_Article–New_Philosophy_July-December_2002.pdf, accessed at August.., 2010
[29] Emanuel Swedenborg (1688-1772) was a Swedish philosopher and scientist who, at 56, had a spiritual awakening and wrote numerous books on his theological views and related topics. He advocated a version of Christianity where works count as much as faith, with the trinity existing in Jesus, instead of three separate entities. Swedenborg derived inspiration from dreams and visions, and claimed to be able to visit heaven and hell at will. His works were widely read after his death and highly regarded by poets, writers and mystics such as Blake, Baudelaire, Strindberg, Balzac, Yeats, Jung, and William James. The following electronic texts have been converted automatically for sacred-texts by a volunteer. Swedenborg’s writings are indexed by paragraph number. Each of the texts have been arbitrarily separated into 50-paragraph files. (http://www.sacred-texts.com/swd/index.htm).
See also: http://en.wikipedia.org/wiki/The_New_Church, http://en.wikipedia.org/wiki/Emanuel_Swedenborg
[30] Mesmer, Swedenborg and Quantum Physics In the late twentieth century, Mesmer, Swedenborg and Quantum Physics converge in the New Age by Catherine L. Albanese, This article is excerpted, with adaptations, from her essay “The Magical Staff: Quantum Healing in the New Age” and reprinted from Perspectives on the New Age edited by James R. Lewis and J. Gordon Melton by permission of the State University of New York Press. © 1992.
http://gvanv.com/compass/arch/v1402/albanese.html
[31] See Bryce S DeWitt, R Neill Graham eds The many-worlds Interpretation of Quantum Mechanics, Princeton University Press, 1973.
[32] E. Wigner, ‘Remarks on the Mind-Body Question’, pp. 284 – 302 in The Scientist Speculates, I.J. Good (ed) Basic Books, N.Y., 1962
[33] H. Stapp, Mind, Matter and Quantum Mechanics, Springer-Verlag, 1993, see also http://www-physics.lbl.gov/~stapp/stappfiles.html
[34] S. Malin, Nature Loves to Hide, Oxford, 2001.
[35] C.J.S. Clarke, Reality Through the Looking Glass. Floris, 1995.
[36] E.H. Walker, The Physics of Consciousness: The Quantum Mind and the Meaning of Life, Perseus, 2000.
[37] In the last two decades, physics has explored the possibility of strings or branes in place of particles. These extensions to one or two dimensional objects do not solve the selection problem
[38] James Jeans, The Mysterious Universe, Macmillan, 1930.
[39] Danah Zohar, The Quantum Self, Bloomsbury, 1990
[40] Hugo Lj. Odhner, The Transition from Human to Divine Philosophy, The New Philosophy 77 (1974) 43, available at www.swedenborgdigitallibrary.org/SR/hlo74.htm
[41] Odhner, ibid
[42] Ian Thompson have heard about the possible replacement of the word ‘ether’ by ‘vacuum’, but that would make a nonsense of this paragraph. If you replace the appearances of ‘ether’ here by the word ‘vacuum’, you get something very strange
[43] The slides for Ian Thompson talk Physics of the wave function are at www.generativescience.org/talks/wfdesc/index.htm
[44] For a preliminary discussion, see I.J. Thompson, The Consistency of Physical Law With Divine Immanence, Science & Christian Belief, 5 (1993) 1936, http://www.theisticscience.org/theology/pldi.html
[45] H. Romijn, Are Virtual Photons the Elementary Carriers of Consciousness, J. Consc. Stud. 9 (2002) 61
[46] This is part of what Leon James and I call “Theistic Science”: see www.TheisticScience.org
[47] Yahr, Harriette (Sept. 9, 2004). “Let’s get metaphysical“. Salon.com. Retrieved 2008-02-21
[48] Tom Huston, “Taking the Quantum Leap… Too Far?“, What is Enlightenment? Magazine. Retrieved January 25, 2008.
[49] http://www.einsteinyear.org/bleep/ einstein year, What the Bleep do we Know. Retrieved December 28, 2007.
[50] Ron Hogan (9/5/2005). “New Age: What the Bleep? Categories conflate, confound, connect”. Publishers Weekly. Retrieved 2007-12-28
[51] Kuttner, Fred; Rosenblum, Bruce (November 2006). “Teaching physics mysteries versus pseudoscience”. Physics Today (American Institute of Physics) 59 (11): 14. doi:10.1063/ 1.2435631.}
[52] “The minds boggle”. The Guardian Unlimited
[53] Wilson, Elizabeth (2005-01-13). “What the Bleep Do We Know?!”. American Chemical Society. Retrieved 2007-12-19.
[54] Kuttner, Fred; Rosenblum, Bruce (November 2006). “Teaching physics mysteries versus pseudoscience”. Physics Today (American Institute of Physics) 59 (11): 14. doi: 10.1063/1.2435631.}
[55] “The minds boggle”. The Guardian Unlimited
[56] “The minds boggle”. The Guardian Unlimited
[57] Kehr, Dave. “‘Bleep’ Film Challenges Traditional Religion, Attracts Following”. beliefnet.com. Retrieved 2007-12-30.
[58] “Cinefex article detailing the visual effects for the film”.
[59] Ron Hogan (9/5/2005). “New Age: What the Bleep? Categories conflate, confound, connect”. Publishers Weekly. Retrieved 2007-12-28.
[60] Ron Hogan (9/5/2005). “New Age: What the Bleep? Categories conflate, confound, connect”. Publishers Weekly. Retrieved 2007-12-28.
[61] Kehr, Dave (2004-09-10). “A Lesson in Harnessing Good Vibes”. New York Times. Retrieved 2008-01-06.
[62] Kehr, Dave. “‘Bleep’ Film Challenges Traditional Religion, Attracts Following”. beliefnet.com. Retrieved 2007-12-30.
[63] Sedona Film Festival
[64] [64] Mone, Gregory (October 2004). “Cult Science Dressing Up Mysticism as Quantum Physics”. Popular Science. Retrieved 2008-02-17.
[65] http://www.einsteinyear.org/bleep/ einstein year, What the Bleep do we Know. Retrieved December 28, 2007.
[66] Wilson, Elizabeth (2005-01-13). “What the Bleep Do We Know?!”. American Chemical Society. Retrieved 2007-12-19.
[67] Kuttner, Fred; Rosenblum, Bruce (November 2006). “Teaching physics mysteries versus pseudoscience”. Physics Today (American Institute of Physics) 59 (11): 14. doi:10.1063/ 1.2435631.}
[68] Fortean Times
[69] 2004 Pigasus awards James Randi Educational Foundation
[70] Review by Eric Scerri of the Committee for Skeptical Inquiry
[71] Review at BBC Movies
[72] Gorenfeld, John (2004-09-16). “”Bleep” of faith”. Salon. Retrieved 2006-11-29.
___________________________________

TASAWUF SEBAGAI MODUS EPISTEMOLOGY

Untuk menindaklanjuti dengan lebih kongkrit apa yang sudah kita bahas dalam bab-bab sebelumya tentang krisis problematik modernism, struktur ilmu pengetahuan dan peradaban sekular materialistiknya, maka layaklah kini kita melihat pandangan dunia (world views) dan paradigma sains dunia Timur yang spiritualis sebagai alternative pencerahan dan solusi atas krisis dunia Barat, sebagaimana yang telah disarankan oleh Seyyed Hosein Nasr.

Sekarang sudah banyak manusia tercerahkan dan sampai pada kesadaran baru bahwa realitas alam semesta dan semua makhluk alam semesta dan pembukaan rahasianya tidak hanya dapat dijelajahi oleh metode ilmiah yang rasional-empiris- positivis atau modern saja, tetapi juga dengan disiplin intelektual dan spiritualitas dengan berhubungan dengan mistik. Dalam dunia Islam, mistisisme ini adalah cara esoteris yang disebut dengan tasawuf. Ini adalah inti ajaran agama Islam, yang memiliki hubungan yang signifikan dengan semua mistisisme dalam agama-agama besar dunia, seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya.

Sejauh ini, sebagian besar dari kita memahami tasawuf hanya sebagai sarana manusia pendekatan kepada Allah melalui pertobatan, zikir, ikhlas, kepertapaan-zuhud, dll. Tasawuf lebih dicari dan dimaksudkan untuk hanya mencari ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan sejati individu manusia, di tengah perjuangan hidup duniawi tidak selalu dalam arah ini.

Pendapat di atas tidak sepenuhnya salah, tapi mungkin kurang tepat atau kurang komprehensif. Ada aspek lain yang sangat penting dari tasawuf, yang menjadi fondasi dasar bagi setiap upaya untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, amal untuk setiap pencari kebenaran dan kesempurnaan diri dan kehidupan.

Sebuah aspek penting dari tasawuf karena merupakan salah satu pilar utama epistemologi Islam. Aspek epistemologi Islam, yang sangat penting kita kaji sebagai moda alternatif di era modern ini, di mana kebanyakan manusia didominasi oleh hegemoni paradigma ilmu empirisme-positivistik dan budaya Barat materialistis sekuler.

Dominasi ilmu pengetahuan dan budaya Barat materialisme, sekularisme telah terbukti pada akhirnya lebih merusak daripada konstruktif bagi kehidupan kemanusiaan – serta sering dikritik oleh beberapa sarjana Barat baru-baru ini (misalnya Anthony Giddens & Fritjof Capra). Sarjana Muslim tentu lebih banyak yang yang mengkritik paradigma budaya Barat tersebut..

Sebelum kita membahas lebih lanjut masalah ini lebih lanjut, mari kita memahami dua konsep penting dalam penelitian kami saat ini, yaitu: 1). Sufisme / Irfan, 2). Epistemologi .

1 . Memahami Tasawuf ( Sufisme/Tasawuf /Irfan)

Istilah Tashawwuf (Sufism), secara harfiyah berasal dari kata shuf (bulu domba/wol), istilah berarti mereka yang memakai pakaian dari wol kasar, sebagai simbol kehidupan yang keras (zuhud kepertapaan) yang jauh dari kesenangan duniawi. Jadi istilah mistisisme hanyalah simbol metaforis untuk sebuah konsep asketisme (imamat atau kerahiban) dan gnosis (irfan).

Konsep mistisisme setara dengan istilah lain yang memiliki makna yang sama yaitu ‘Irfan (gnosis). Istilah Irfan – serta istilah ma’rifah yang berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Arab – secara harfiah berarti ilmu pengetahuan. Artinya khususnya adalah pengetahuan tertentu yang diperoleh tidak melalui indera dan pengalaman (yang positivisme-empirisme dan eksperimen), atau dengan rasio atau cerita orang lain, tetapi melalui diri menyaksikan pengungkapan spiritual dan batin (Ilmu Hudhuri/Presential Knowledge). Kemudian fakta tersebut digeneralisasikan menjadi suatu proposisi yang bisa menjelaskan makna bukti dan pengungkapan, antara lain melalui argumen rasional (misalnya dalam filsafat iluminasi (Isyraqiyah). Ini disebut Irfan (mistisisme teoritis/ Irfan Nadzari/ Ilmu Husuli). Dan karena saksi dan pengungkapan yang dicapai melalui latihan disiplin spiritual khusus (riyadah) dan perjalanan spiritual perilaku tertentu (pelancongan) maka yang terakhir ini disebut Irfan ‘Amali (praktek sufisme/tashawwuf).

Tasawuf adalah lebih tepat untuk menyebutnya sebagai irfan praktis (Irfan Amali), sedangkan istilah Irfan adalah untuk yang teoritis. Aspek sisi tasawuf sebagai sarana mencapai ma’rifah (ilmu pengetahuan sejati dari semua sifat kebenaran dan kesempurnaan: Allah) atau epistemologi tashawuf / Irfan inilah yang akan menjadi fokus kajian kita kali ini.

Epistemologi

Salah satu pilar dari 3 pilar utama filsafat adalah epistemologi, di samping ontologi dan aksiologi.

Istilah Epistemologi berasal dari bahasa Yunani: ‘episteme’ dan ‘logos’. Episteme memiliki makna ‘ilmu’ atau ‘kebenaran dan ‘logos’ berarti ‘berpikir’, ‘kata-kata’ atau ‘teori’. Epistemologi berbicara tentang: sifat pengetahuan/sifat, asal atau sumber pengetahuan, validitas (keabsahan), dan bagaimana untuk memperoleh pengetahuan dan batas-batas ilmu pengetahuan.

Epistemologi juga dapat didefinisikan sebagai “teori pengetahuan”, atau juga disebut filsafat ilmu (Philosophy of Sciences). Setidaknya, filsafat ilmu dan epistemologi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena filosofi dasar ilmu pengetahuan itu sendiri pada epistemologi, terutama pada validitas (reliability & validitas) ilmu (validitas ilmiah).

Validitas ilmu pengetahuan, berdasarkan paradigma ilmu pengetahuan Barat, hanyalah berisi 3 konsep teori kebenaran, yaitu: korespondensi, koherensi dan pragmatisme. Korespondensi adalah hubungan antara gagasan yang membutuhkan sesuai dengan kenyataan (fakta) di alam semesta, kebenarannya adalah empiris-induktif; koherensi membutuhkan kompatibilitas antara berbagai pernyataan logis (argumen), kebenarannya adalah formal rasional-deduktif, sedangkan pragmatisme adalah membutuhkan instrumental atau kegunaan dari kriteria, kebenarannya adalah fungsional.

Paradigma korespondensi menghasilkan semua ilmu empiris seperti fisika, kimia, biologi & sosiologi; paradigma koherensi menghasilkan ilmu-ilmu abstrak seperti matematika dan logika; adalah pragmatisme menghasilkan ilmu terapan seperti kedokteran.

Jadi epistemologi adalah penting karena merupakan dasar bagi filsafat ilmu, khususnya dalam membedakan mana pengetahuan ilmiah (ilmiah-empiris) dan mana yang ‘tidak ilmiah’ (pengetahuan sehari-hari).

Pentingnya Epistemologi Islami

Berdasarkan pendahuluan di atas, di sinilah kita menemukan masalah akut, ketika filsafat pengetahuan Barat hanya menganggap absah (valid) ilmu pengetahuan yang semata-mata didapat berdasarkan metode dan bersifat induktif-empiris, rational-deduktif dan pragmatis, serta menafikan atau menolak ilmu pengetahuan non-empiris & non-positivisme, yaitu ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu ketuhanan (divine knowledge dan, atau Kitab Suci Allah SWT).

Paradigma materialistik-mekanistik yang berdasarkan metode Cartesian dan Newtonian (hipotesis deduktif-eksperimental-induktif) telah menyebabkan reduksi atas kenyataan hanya menjadi sekedar fakta-fakta materialisme-reduksionistik. Paradigma ini menyebar dan mempengaruhi berbagai cabang disiplin ilmu-ilmu lainnya, sehingga kehidupan, bahkan kesadaran manusia, direduksi hanya menjadi gerak-gerik material belaka. Misalnya, Adam Smith dalam bidang ekonomi berbicara tentang prinsip ‘mekanisme pasar’; Charles Darwin dalam Biologi berbicara tentang ‘mekanisme evolusi’, dan Sigmund Freud dalam psikologi berbicara tentang ‘mekanisme pertahanan diri/psikis’. Paradigma mekanistik-materialistik telah mendepak Tuhan dari wacana keilmuan dan mempromosikan sekularisme.

Armahedi Mahzar mengatakan, bahwa paradigma Cartesian-Newtonian tersebut, walaupun seolah telah sukses meningkatkan kesejahteraan material umat manusia, namun akhirnya menggiring umat manusia ke dalam kubangan krisis multidimensional dalam kehidupannya, seperti penghancuran massal umat manusia oleh militer akibat penggunaan senjata militer nuklir, kimia, biologis; kerusakan lingkungan hidup oleh polusi, degradasi, exploitation-depletion (eksploitasi sampai habis menipisnya Sumber Daya Alam); fragmentasi sosial yang disebabkan oleh industrialisasi, urbanisasi, fragmentasi & konflik sosial akut, keterasingan psikologis manusia dari hal yang alami, sosial dan tehnikal.

Namun demikian, dalam perkembangan terakhirnya, science sendiri telah membuktikan kerapuhan paradigma materialistik-mekanistik tersebut di awal abad 20 lalu. Terutama dalam perkembangan ilmu fisika, biologi, astronomi, dll.

Di sinilah terlihat bertapa pentingnya epistemology Islam, di mana konsep kebenaran ilmu pengetahuan tidak hanya berdasarkan 3 prinsip: korespondensi, koherensi dan pragmatisme saja, tapi juga ditambah hal hal yang bersifat spiritual-ilahiyah. Artinya sumber ilmu pengetahuan, selain mungkin didapat melalui akal rasional, dan empiris inderawi (observasi) juga niscaya didapatkan dan diperkuat melalui petunjuk wahyu (kitab suci), pelajaran sejarah, latihan-latihan ruhani, penyaksian dan penyingkapan ruhaniyah. Seperti kata Jalaludin Rumi, seorang sufi agung dari Turki, kaki rasionalisme semata adalah kaki kayu yang rapuh untuk meraih ilmu pengetahuan dan kebenaran.

Dalam pandangan tasawuf (Irfan), Ilmu adalah salah satu nama Allah (Asma al-Husna), Menurut Nabi SAW, Ilmu adalah cahaya (nur) Alllah. Cahaya Ilahi tersebut hanya akan dapat diserap dan dipantulkan dengan sebaik-baiknya, bila ‘lensa’ dan ‘cermin’ akal & qolbu manusia yang mencari dan menerimanya cukup bening, bersih (suci) dari kotoran-kotoran dan penyakit hati. Dalam al-Qur’an ada sebuah ayat yang bercerita bahwa bila manusia hamba-hamba Tuhan sudah bertaqwa kepada-Nya, maka Dia (Tuhan) akan menjadi tangannya ketika dia (hamba-Nya) bekerja, akan menjadi matanya ketika dia melihat, dan menjadi telinganya ketika dia mendengar (QS. …: ……….). Inilah ayat yang menjadi landasan apa yang disebut dengan ilmu huduri (presensial knowledge) atau ilmu yang dihadirkan secara langsung oleh Tuhan kepada qalbu (hati & akal) manusia tanpa perantaraan konsep ataupun proposisi-prosisi inderawi. Ilmu huduri adalah sejenis ilmu yang dicerap melalui intuisi dan kebeningan hati dan kejernihan akal. Ilmu huduri inilah yang menjadi basis utama yang mendasari dan melengkapi apa yang didapat melalui usaha manusiawi yaitu ilmu raihan (ilmu husuli/aquired knowledge).

Dari sisi ontology, manusia yang mencintai dan dicintai Tuhan akan bersatu, dalam artian manusia tersebut telah menyerap (men-down load) sifat-sifat dan perbuatan Tuhan ke dalam kehidupan pribadinya. Ego pribadinya telah lebur (fana) ke dalam ‘Samudra Ilahiyah’. Yang Ada (Existence) hanyalah Dia Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa. Apa yang tampak dari perilaku dan ucapan serta sikap-sikap hidupnya adalah hanya Tajaliyat al-Ilahi (manifestasi Ketuhanan) atau penampakan sifat-sifat dan kehendak Tuhan. Dia menjadi Khalifatullah fi al-Ardh (wakil/mandataris Tuhan Allah di muka bumi). Inilah yang saya pahami tentang faham Wahdah al-Wujud menurut Ibn Arabi, atau Al-Salat al-Wujud (Principality of Existence) menurut Mulla Sadra, dalam kitabnya Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi Asyfar al Ar’baah al Aqliyah, atau ‘manungaling kawula-Gusti’ dalam tradisi Suluk Islam Kejawen (ajaran Syeikh Siti Jenar dan murid-muridnya: Panembahan Panggung/Pengging, Ki Ageng Selo, dll. pada masa awal kerajaan Mataram Islam di Jawa/Mas akhir Kerajaan Majapahit ?)

Perlu ditegaskan di sini, dalam sudut pandang Filsafat Islam yang saya pahami, kajian Ontology tidak dapat terpisah, dan selalu berjalin kelindan, dengan epistemology dan aksiology secara intergratif-komprehensif-holistik. Epistemology Islam terbangun dari basis ontologis Tauhidi dan memandu atau mewarnai aksiologinya (ilmu terapan/practical sciences).

Eksistensi kemanusiaan manusia akan semakin menyempurna bersamaan prosesnya dengan perkembangan dan pertambahan ilmu pengetahuan yang dicerapnya dari Alam semesta dan dari Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Antara terminology ‘alam’, ilmu, dan al-‘Alim (Tuhan Yang Maha Mengetahui segala sesuatu), adalah satu akar kata, yang berunsur huruf ‘alif, lam dan mim. Alam adalah ibarat laboratorium dan buku mega-super ensiklopedia yang mempertunjukan tanda-tanda kebesaran Tuhan dan keluasan Ilmu-Nya (“Akan Aku tunjukkan kepadamu tanda-tanda (kebesaran kekuasaan)-KU, pada ufuk/horizon semesta dan di dalam dirimu, sehingga jelaslah bagimu bahwa Aku adalah kebenaran/ Al-Haq”, QS. … : ….. )

Tasawuf atau Irfan sebagai sarana pensucian jiwa dan akal manusia, adalah salah satu pilar utama yang mendampingi rasionalitas untuk meraih kejernihan ilmu pengetahuan, hakikat kebenaran dan kesempurnaaan-kesejahteraaan hidup manusia. Antara aktifitas Fikir dan Zikir harus berjalan seimbang, sinergis, holistik dan integral dalam kehidupan umat manusia secara umum khususnya untuk kaum Muslim, kalau hendak mewujudkan missi suci Ilahiyah menjadi Rahmatan lil ‘Alamin. Wallahu ‘Alam.

*** 

Pentingnya Ilmu Suci Tradisional Dan Kearifan Abadi (Perennialism) Dalam Mengatasi Krisis Modernisme

Krisis multidimensi yang dihadapi oleh manusia modern terutama didorong oleh modernisme yang ditandai dengan dominasi pandangan dunia (world view) materialisme (mekanika Newton klasik dan paradigma positivisme dalam ilmu) yang menolak realitas spiritual, dan mengabaikan peran semua ilmu pengetahuan tradisional suci transendental dan kebijaksanaan abadi. Manusia modern telah mengklaim kedaulatan mereka sebagai manusia independen dan sudah lupa kepada inti dari realitas spiritual diri mereka sebagai makhluk dan mandataris/khalifah Tuhan Allah di muka bumi. Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, masalah ini bencana adalah antropo-entris humanisme ( yaitu, ilmu kemanusiaaan yang menjadikan manusia sebagai pusat dan sumber dari segalanya dan segala keberadaan hal lainnya, termasuk anggapan bahwa tuhan adalah ciptaan pikiran manusiawi ala Freud). Humanisme modern model inilah yang telah menjadikan krisis eksistensial di mana manusia menempatkan diri di tepi roda Keberadaannya sendiri.

Dominasi pandangan dunia materialistik Ini dari abad keenam belas sampai abad kedua puluh telah menghadapi banyak kritik baru dan kritik oleh Seyyed Hossein Nasr serta kritik yang telah dijelaskan oleh Armahedi Mahzar dan banyak cendikiawan lainnya.

Aliran “The New Left” (Kiri Baru) yang dipelopori oleh tokoh-tokoh mazhab Frankfurt melengkapi kejatuhan rasionalitas modernisme. Melalui analisis filosofis – sosiologis dan psikoanalisis, mereka mengekspos perilaku masyarakat modern seperti keserakahan alam irasionalitas, konsumerisme, tirani, hegemoni, fasisme, tribalisme, Horkheimer mengatakan bahwa kebebasan individu pada saat ini adalah palsu, karena kebebasan hanya membayangkan sementara pada kenyataannya individu yang secara tidak sadar diperbudak oleh masyarakat yang didorong oleh kekuatan pasar dan modal. Individu dan masyarakat modern telah didorong oleh tangan kapitalisme-konsumeris yang disebut dengan “kekuatan impersonal” seperti dunia periklanan dan hiburan, dan pasar raya (mall), dan pasar modal. “Kekuatan impersonal ” itu siang-malam menarik dan seolah menjanjikan semua harapan. Orang-orang modern terpesona dengan slogan iklan-iklan dan hiburan, membuat mereka bersedia untuk memberikan diri mereka diperbudak oleh “kekuatan impersonal”. Manusia modern telah menjadi robot dan sekrup kecil mesin sosial sehingga tidak bisa lagi berpikir jernih memilih apa yang benar-benar baik baginya, berdasarkan sifat kesadaran .

Akibatnya, proyek pembebasan manusia, yang diprakarsai oleh renaissance Eropa abad ke 17 , reformasi, dan Aufklarung telah gagal, karena manusia modern telah dibelenggu oleh mitos-mitos baru, berhala baru, ilusi baru, takhayul baru.

Namun, pada akhirnya, pandangan dunia materialis juga telah dipalsukan oleh penemuan dan pengembangan teori Fisika Baru, khususnya oleh Fisika Quantum yang membuktikan bahwa substansial dan esensi dari alam semesta bukanlah partikel materi belaka seperti atom, neutron dan elektron, bahkan quark & gluon, sebagaimana asumsi yang sebelum dipercaya, tetapi terkait dengan Kesadaran besar, informasi dan Spiritualitas.

Makna dan pentingnya spiritualitas yang berhubungan dengan ilmu-ilmu suci tradisional dan agama-agama mistik. Hal ini juga menyediakan bukti-bukti penting dari kebijaksanaan abadi (Perennial Wisdom) sebagai prestasi besar agama-agama mistik. Dalam Pemikiran Seyyed Hossein Nasr, Islam (dalam arti sebenarnya dan inti dari ajarannya, yang dapat yang selaras dengan semua ajaran esoteris agama-agama lain) adalah solusi sempurna untuk pemulihan penderitaan manusia modern.

Di sisi lain, pendekatan esoteris atau metafisik transendental dan Islam mistisisme (Burhan, Qur’an dan Irfan) di dalam kitab al-Hikmah al-Muta’aliyyah fi al Asfrah al-Arba’ah karya Mulla Sadra adalah pendekatan yang terbaik sebagai cara alternatif untuk merekonstruksi paradigma holistik baru untuk pemulihan kesalahan-penafsiran dan kesalahan-penerapan Islam oleh kaum extremis kekerasan fundamentalisme-literalis dan radikalis”terorisme”. Yang menariknya, seperti yang akan dibahasaa di dalam bab-bab selanjutnya, apa yang menjadi pemikiran para sarjana dan cendikiawan Muslim dunia maupun para Cendikiawan Barat yang tercerahkan ini, ternyata sejalan atau bahkan sudah menjadi pemikiran dan kearifan lokal serta tradisi pemikian para Begawan dan pujangga Nusantara turun-temurun sejak berpuluh abad yang lalu.

___________________________________

Catatan Penting:

“Peradaban Austronesia atau Sunda Land, atau Lemuria dan Atlantis, atau Kerajaan Rama & Alengkapura di Nusantara, itu saya temukan (hipotesisnya) sebagai tempat persemaian peradaban umat manusia dan tempat lahir agama-agama dunia yang terkait dengan sejarah para Rasul Allah SWT, sejak Nabi Adam as, Nabi Syist, Idris as (Hermes Trimegistus), Nabi Nuh as, sampai Nabi Ibrahim as (Abraham/Brahman). Kesamaan inti ajaran agama Sunda Wiwitan, Kejawen, Hindu, Budha, Yahudi, Kristen dan Islam. Bahkan ada temuan informasi yang mungkin masih sulit diterima oleh kebanyakan umat Islam awam, bahwa ternyata, Agama Sunda Wiwitan, Kejawen, atau Kaharingan dari Kalimantan, serta Hindu, Budha, Taoisme itu pada awalnya berkarakter Tauhid (Monotheis) sebagaimana yang dimiliki agama terakhir: Islam. Ini misalnya terlihat pada tulisan Dr. Zakir Abdul Karim Naik: Kesamaan antara Hindu dan Islam[8], Juga hal ini saya tulis dalam buku Peradaban Atlantis Nusantara di Bab 11Warisan Filosofis dan Spiritual Atlantis: Konteks Keindonesia (p.339-356), dan Bab 12: Dari Kebijaksanaan Abadi (Perennial Wisdom) untuk Dialog Antar Peradaban: Sebuah Perspektif Islam (p.357-468). Ini semakin memperkuat landasan dan latar belakang kenapa muncul motto “Bhineka Tunggal Ika” dalam lambang negara kita Garuda Pancasila. Dalam sumber aslinya motto Bhineka Tunggal Ika itu berlanjut dengan kalimat: Tan Hanna Dharma Mangrwa, yang artinya: “Tak ada Kebenaran (al-Haqq) yang mendua.”

(Ahmad-Samantho/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS) 

Terkait Berita: