Selain merupakan gejala kejiwaan yang menyakitkan, keadaan ragu-ragu juga melahirkan kerugian spiritual dan material yang tidak kecil bagi masyarakat. Dengan mengingkari nilai pengetahuan, harapan akan kemajuan ilmu pengetahuan tak dapat lagi dibangun, ruang nilai-nilai moral dan peran krusialnya dalam masyarakat tak lagi tersisa, demikian pula basis intelektual agama terbongkar habis. Justru pukulan terbesar mengarah pada dogma-dogma agama yang, pada dasarnya, tidak berhubungan dengan hal-hal indrawi dan material. Ketika paham skeptisisme merambat ke kalbu masyarakat, keyakinan akan masalah-masalah metafisis dan nonmaterial tentunya menjadi paling rentan terguncang.
Maka dari itu, skeptisisme merupakan wabah sangat berbahaya dan mengancam hancur seluruh aspek kehidupan masyarakat. Seiring dengan penyebaran wabah ini, tidak ada sistem etika, politik, dan agama yang dapat bertahan sehingga, dengan begitu, akan tersedia dalih pembenaran untuk segala macam tindak kejahatan, ketidakadilan, dan penindasan. Atas dasar itu, perjuangan melawan skeptisisme adalah tugas semua sarjana dan filosof, sekaligus merupakan tanggung jawab para pemuka agama. Para pendidik, politisi, reformis sosial perlu bekerja keras melawan wabah yang sama.
Pada abad 17, pelbagai aktivitas digalang selain untuk membenahi kerusakan-kerusakan akibat Renaisans, juga untuk mengatasi bahaya-bahaya skeptisisme. Kalangan Gereja cenderung, galibnya, memutus keterikatan agama Kristen pada akal dan ilmu pengetahuan dan, sebagai gantinya, memperkuat ajaran-ajaran agama melalui hati dan iman (faith). Di sisi lain, para filosof dan cendekiawan berupaya menemukan basis pengetahuan dan nilai yang kokoh, sehingga betapapun guncangan intelektual dan gelombang krisis sosial tidak dapat menghancurkannya.
Usaha terpenting dalam membebaskan diri dari skeptisisme dan menghidupkan kembali filsafat pada periode ini ialah apa yang dilakukan oleh Rene Descartes (1596-1650), filosof Perancis yang digelari sebagai bapak Filsafat Modern. Setelah lama merenung dan meneliti, ia muncul dengan sebuah pijakan untuk mengukuhkan kuda-kuda pemikiran filsafat. Pijakan fundamental Descartes dapat diringkaskan dalam pernyataan terkenalnya: “Aku ragu, maka aku ada”, atau “Aku berpikir, maka aku ada” (cogito ergo sum), yakni bagaimanapun orang itu meragukan keberadaan segala sesuatu, ia tidak akan pernah meragukan keberadaan dirinya sendiri. Mengingat keraguan apa pun tidak bermakna tanpa peragu, maka keberadaan manusia peragu dan pemikir adalah sesuatu yang tak bisa diragukan. Kemudian Descartes merumuskan kaidah-kaidah berpikir yang serupa dengan hukun-hukum matematika untuk memecahkan masalah-masalah filsafat.
Pada zaman kekacauan intelektual itu, pemikiran dan gagasan Descartes telah menjadi sumber ketenteraman bagi banyak cendekia. Sejumlah pemikir besar lain seperti: Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Nicolas Malebranche (1638-1715), juga berupaya memperkukuh tonggak filsafat modern.
Bagaimanapun, upaya-upaya ini sulit untuk dinyatakan berhasil menelurkan sistem filsafat yang utuh, koheren dan memiliki asas-asas pasti dan kokoh. Di sisi lain, perhatian sebagian besar cendekiawan telah beralih pada ilmu-ilmu empiris; banyak dari mereka yang tidak berminat meneliti isu-isu filsafat dan metafisika. Karena itu, di Eropa sulit dijumpai sistem filsafat yang kuat, kukuh, dan tangguh. Dan, meskipun sewaktu-waktu ada kumpulan gagasan yang ditawarkan sebagai aliran filsafat yang unik dan, pada batas tertentu, agaknya mampu menghimpun penganut, namun juga sampai detik ini tidak ada yang benar-benar sanggup berdiri kokoh, mantap secara permanen.
Prinsipalitas Pengalaman dan Skeptisisme Modern
Tatkala filsafat rasional di benua Eropa sedang kembali bangkit dan akal mulai dipulihkan kembali posisinya dalam memahami kebenaran, muncul kecenderungan lain di Inggris yang dibangun di atas prinsipalitas (ashalah) indra dan pengalaman. Aliran ini dikenal sebagai empirisisme.
Bibit-bibit kecenderungan ini sebenarnya berawal pada akhir Abad Pertengahan di tangan William asal Ockham (1285-1347), filosof Inggris, pelopor aliran Nominalisme yang, sebetulnya, menyangkal prinsipalitas akal. Pada abad 16, Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobbes (1588-1679) yang juga berkebangsaan Inggris, sama-sama meletakkan pijakan mereka di atas prinsipalitas indra dan pengalaman. Tetapi, nama-nama yang kelak dikenal sebagai filosof Empiris adalah tiga filosof Inggris: John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), dan David Hume (1711-1776). Tiga nama ini membincangkan isu-isu pengetahuan sejak akhir abad 17 sampai sekitar satu abad setelahnya. Di samping menyanggah pandangan-pandangan Descartes ihwal “pengetahuan fitri” (al-ma‘rifat fitriyyah/innate knowledge), mereka juga meyakini sumber semua pengetahuan adalah indra dan pengalaman.
Di antara tiga filosof Inggris yang disebut belakangan, Locke adalah yang paling moderat dan agak rasionalis. Sementara Berkeley terang-terangan mendukung prinsipalitas nama atau Nominalisme, tetapi (mungkin secara tak-sadar) ia berpegang pada hukum sebab-akibat yang merupakan prinsip rasional, selain juga memegang pandangan-pandangan yang tidak sejalan dengan prinsipalitas indra dan pengalaman. Akan halnya Hume sepenuhnya setia pada prinsipalitas indra dan pengalaman serta konsisten di atas pelbagai implikasinya, termasuk pada keraguan terhadap metafisika dan bahkan terhadap hakikat gejala alam. Dan begitulah awal mula terbentuknya fase ketiga skeptisisme dalam sejarah filsafat Barat.
Filsafat Kritis Kant
Pemikiran Hume merupakan salah satu fondasi yang membentuk pijakan ide-ide filosofis Immanuel Kant (1724-1804). Dalam testimoninya sendiri, dia menegaskan, “Dialah Hume yang membangunkanku dari tidur dogmatisme.” Kant terutama sangat terpuaskan dengan penjelasan Hume ihwal prinsip kausalitas yang menyatakan bahwa pengalaman tidak bisa membuktikan hubungan niscaya antara sebab dan akibat.
Untuk waktu sangat lama, Kant merenungi masalah-masalah filsafat dan menulis sekian banyak esai dan buku. Dia mengajukan sistem filsafat yang unik dan, dibandingkan dengan sistem sejenisnya, lebih teguh dan lebih bisa diterima. Tetapi, pada akhirnya, dia sampai pada kesimpulan bahwa akal teoretis tidak mampu memecahkan masalah-masalah metafisika dan bahwa kaidah-kaidah rasional kehilangan nilai ilmiah.
Secara tersurat Kant menyatakan bahwa masalah-masalah seperti: keberadaan Tuhan, keabadian ruh, dan kehendak-bebas (free-will), tidak bisa dituntaskan dengan pembuktian rasional, tetapi keyakinan dan keimanan pada masalah-masalah ini merupakan konsekuensi dari penerimaan suatu sistem etika. Dengan kata lain, semua prinsip-prinsip yang diterima dalam etika melalui akal praktis merupakan penggugah keimanan pada Tuhan dan Hari Kebangkitan, bukan sebaliknya. Atas dasar itu, Kant mesti dianggap sebagai orang yang menghidupkan kembali nilai-nilai etika yang, setelah era Renaisans, telah sedemikian mengalami guncangan hingga runtuh dan nyaris lenyap. Tetapi, di sisi lain, ia juga mesti digolongkan sebagai salah satu aktor penghancuran dasar-dasar filsafat metafisika.
Sumber: Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Amuzesh-e Falsafeh, pelajaran 2.
(Study-Syiah/Berbagai-Sumber-lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email