RABITHAH ALAWIYAH KEMBALI DIAM DIMANA KEGIATAN DAN PROVAKASI KELOMPOK TAKFIR AL-BAYYINAT SUDAH DALAM TAHAP TAK BISA DI TOLERANSI LAGI, APA HARUS MENUNGGU DARAH TERTUMPAH RABITHAH BARU BERSIKAP????? SIKAP DIAM BISA DIARTIKAN MENYETUJUI TINDAK KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA/MAZHAB KHUSUSNYA KEPADA MINORITAS MUSLIM SYI'AH..MAKA BERSIKAPLAH !!!!
*****
Astaghfirullahaladzim…. Beginilah Kelompok Takfir al-Bayyinat dengan penuh semangat terus mengkafirkan Muslim Syi’ah khususnya dari kalangan Alawiyyin, berhati-hatilah dengan mereka
Kaum Muslimin yang mengkritik ajaran syiah adalah pemecah belah umat, agen Zionis, dan kesusupan Wahabi.
KEGIATAN DAN PROVAKASI KELOMPOK TAKFIR AL-BAYYINAT SUDAH DALAM TAHAP TAK BISA DI TOLERANSI LAGI, APA HARUS MENUNGGU DARAH TERTUMPAH RABITHAH BARU BERSIKAP????? SIKAP DIAM BISA DIARTIKAN MENYETUJUI TINDAK KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA/MAZHAB KHUSUSNYA KEPADA MINORITAS MUSLIM SYI’AH..MAKA BERSIKAPLAH !!!!
Pimpinan Yayasan Al Bayyinat Jawa Timur, Habib Ahmad Zein Al Kaff justru menampakkan kewahabian nya dengan membela musuh abadi NU yakni wahabi ! Serigala berbulu domba saja lah yang membela wahabi dengan menyalahkan NU
“Wahabi sama-sama Ahlussunnah, kalau mereka (Syiah) bukan. Kalau wahabi kitab rujukannya sama, rukun Iman, rukun Islamnya juga sama, sedangkan Syiah berbeda, kita hanya berbeda dalam masalah furu’iyah (cabang) dengan Wahabi” tegas Habib Zein dalam konferensi pers setelah acara tabligh akbar bertajuk “Mengokohkan Ahlus Sunnah wal Jamaah di Indonesia”, yang digelar Ahad kemarin (16/9) di masjid Al-Furqan Dewan Dakwah Jakarta.
Habib Zein : Habib yang masuk syiah, jadi mantan Habib.
Pimpinan Al Bayyinat Habib Ahmad Zein Al Kaff
menegaskan bahwasanya jika ada seorang mengaku dari kalangan Habaib,
namun mengaku pula sebagai seorang syiah. Maka, orang tersebut bukanlah
Habib lagi.
“Saya katakan tidak ada Habib yang masuk Syiah, Habib yang masuk
Syiah bukan Habib lagi, tapi (statusnya) sudah mantan Habib. (Dia) bukan
habib lagi,” jelas Habib Zein yan juga pengurus Nahdlatul Ulama Jawa
Timur.komentar :
perkembangan wahabi di Indonesia memang lebih besar dibandingkan perkembangan Syiah di Malaysia, hal ini karena ulama di Malaysia sangat sulit menggadaikan aqidahnya.
Di Malaysia Ulamanya tidak mudah dibeli dengan uang. Wahabi di Indonesia menyebarkan uang bermilyar-milyar dollar untuk menyebarkan ajaran mereka, siang malam orang-orang wahabi mendekati para tokoh seperti MIUMI.
Sehingga banyak tokoh ulama dan Habaib yang mereka adalah Ahlussunnah, tetapi membela wahabi, karena sudah diberangus oleh kebaikan orang-orang wahabi.
Yang diberikan itu bisa tokoh atau organisasinya, hampir semua organisasi di Indonesia dibantu dana oleh wahabi.
Menyikapi tokoh-tokoh NU yang membela wahabi maka mereka telah menyelisihi Gusdur dan Said Aqil Siraj.
Orang NU yang membela wahabi itu telah berkhianat terhadap Kiyai Hasyim Asyari sudah jauh-jauh hari telah mewanti-wanti untuk menjauhi wahabi dalam Qanun azazi NU.
Kita lihat disini Berita terbarunya:
_________________________
MUI Jatim: Syiah Lebih Berbahaya dari ISIS
MUI Jatim: Syiah Lebih Berbahaya dari ISIS
Menanggapi
pernyataan gembong Syiah Indonesia, Jalaludin Rakhmat, pengurus MUI
Jawa Timur dan Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur, Habib Achmad bin
Zein Al-Kaff menyatakan justru keberadaan syiah lebih berbahaya daripada
ISIS di Indonesia.
“Kami Front Anti Aliran Sesat (FAAS) siap menghancurkan Syiah di Indonesia tanpa bantuan ISIS. Sebab Syiah lebih bahaya dari ISIS,” ujar Habib Achmad bin Zein Al-Kaff kepada Kiblat.net, Selasa, (05/08) malam.
Seperti diberitakan Kiblat.net sebelumnya, Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaludin Rakhmat menuding bahwa akar masalah konflik di Indonesia adalah umat Islam ahlussunnah yang anti terhadap syiah. Ia juga menuding MUI dan sejumlah parpol dan ormas Islam membantu ISIS untuk menghancurkan Syiah.
“Kelompok anti-Syiah adalah prospek utama pemicu konflik di Indonesia, dengan membantu ISIS untuk menghancurkan Syiah. Kelompok tersebut seperti MUI, MIUMI, dan orang-orang di PKS tidak menyukai Syiah,” tuding caleg PDI-P yang akan melenggang ke Senayan ini dalam acara bertajuk “ Tolak ISIS, Umat Beragama & Kepercayaan Menolak ISIS di Indonesia yang digelar di Galeri Cafe, Jakarta, Senin, (04/08).
Habib Zein Al-Kaff mengatakan, ketimbang ISIS, masih ada sederet aliran-aliran sesat yang tumbuh subur di Indonesia seperti Syiah, JIL, dan Ahmadiyah yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah.
“Aliran-aliran sesat tumbuh subur di Indonesia karena pemerintah tidak tegas, tapi ISIS lebih mudah dideteksi karena gerakannya jelas, berbeda dengan aliran sesat yang bersifat menyusup memiliki misi dan kekuatan finansial yang cukup besar,” tambahnya.
sumber
“Kami Front Anti Aliran Sesat (FAAS) siap menghancurkan Syiah di Indonesia tanpa bantuan ISIS. Sebab Syiah lebih bahaya dari ISIS,” ujar Habib Achmad bin Zein Al-Kaff kepada Kiblat.net, Selasa, (05/08) malam.
Seperti diberitakan Kiblat.net sebelumnya, Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaludin Rakhmat menuding bahwa akar masalah konflik di Indonesia adalah umat Islam ahlussunnah yang anti terhadap syiah. Ia juga menuding MUI dan sejumlah parpol dan ormas Islam membantu ISIS untuk menghancurkan Syiah.
“Kelompok anti-Syiah adalah prospek utama pemicu konflik di Indonesia, dengan membantu ISIS untuk menghancurkan Syiah. Kelompok tersebut seperti MUI, MIUMI, dan orang-orang di PKS tidak menyukai Syiah,” tuding caleg PDI-P yang akan melenggang ke Senayan ini dalam acara bertajuk “ Tolak ISIS, Umat Beragama & Kepercayaan Menolak ISIS di Indonesia yang digelar di Galeri Cafe, Jakarta, Senin, (04/08).
Habib Zein Al-Kaff mengatakan, ketimbang ISIS, masih ada sederet aliran-aliran sesat yang tumbuh subur di Indonesia seperti Syiah, JIL, dan Ahmadiyah yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah.
“Aliran-aliran sesat tumbuh subur di Indonesia karena pemerintah tidak tegas, tapi ISIS lebih mudah dideteksi karena gerakannya jelas, berbeda dengan aliran sesat yang bersifat menyusup memiliki misi dan kekuatan finansial yang cukup besar,” tambahnya.
sumber
________________________________
Tabligh akbar itu membahas kesesatan Syiah dan menghadirkan salah seorang "ulama" bernama Habib Achmad Zein al-Kaff dan Ketua Forum Anti Syiah Indonesia (FASI) Ir. Andri Kurniawan.
Masih menurut muslimdaily, Habib Zein al-Kaff mengatakan, tak ada habib yang Syiah, dan kalau ada Habib yang menganut aliran Syiah maka ia telah melepaskan kehabibannya.
"Tidak ada Habib yang Syiah, habaib yang Syiah berarti telah melepaskan kehabibannya," kata pemimpin Yayasan Al-Bayyinat Jawa Timur tersebut.
Tentu pernyataan Achmad Zein al-Kaff ini keluar dari kapasitas dirinya dan kapasitas intelektualitas dirinya untuk mengeluarkan nasab seseorang dari wilayah Ke-habib-an.
Di negara-negara dunia, Habib dikenal dengan sayyid, syarif, ayib, atau sidi, dan masyarakat mengenal orang-orang mulia ini dari sisi tinggi ilmu agama dan inteletualitasnya dan terpuji akhlaknya seperti Habib Sholeh bin Muchsin al-Hamid dari Tanggul, Habib Abdurahman al-Alydrus dari Luar Batang, Jakarta Utara, dan Habib Ali al-Habsyi dari Kwitang, Jakarta Pusat. Artinya, sayyid atau habib hanya pantas disandang orang dengan tingkat ketakwaan, kezuhudan, dan keilmuan yang tinggi serta berakhlak mulia, dan siapapun tidak berhak mendongkel nasab Habaib hanya karena berbeda dalam bermazhab.
Dan yang jelas, gelar Habib bukan gelar untuk keturunan Arab yang hanya cakap memakai sorban dan jubah tapi jauh dari akhlak mulia, bukan gelar untuk mereka yang suka memakai kekerasan mengatasnamakan agama, dan bertopeng Ahlu Sunnah untuk menghancurkan keberamagaman seperti Achmad Zein diatas.
Tapi apa kira-kira yang membutakan Achmad Zein? Adakah ini karena Al-Bayyinat sedang mencoba memainkan kartu Saudi, berharap aliran dana dari Bandar bin Sultan yang kerap membayar mahal mereka yang gemar menyembelih pengikut mazhab Islam di luar mazhab resmi kerajaan Saudi Arabia?
Jika Al-Bayyinat dan Achmad Zein mau pasang badan untuk Ahlus Sunah, mana kiranya di antara mazhab Islam lain yang bakal dia pilih dan izinkan untuk hidup di Indonesia? Dan mana mazhab Islam yang bakal dinyatakan haram dan bakal diberangus?[tvshia/islam times]
Pengacaunya MUI adalah Habib Ahmad Zein bin
Al Kaff ( pengurus MUI Jawa Timur ), Profesor Baharun dan KH. Kholil
Ridwan.. Umar Shihab bukan pengacau MUI !!!!
Statement Umar Shihab mengenai sahnya Syiah sebagai mazhab dalam Islam menuai kecaman dari orang orang tua kuno bodoh.
Orang orang tua yang lahir tahun 50 an referensi nya KURANG, maklum zaman tersebut hadis masih disensor – diedit dan diringkas.
Referensi yang mereka baca masa itu cuma sepihak, misalnya BUKU Sirajuddin Abbas dan kitab kuning kampungan yang ketinggalan zaman.
Ini era facebookers, era internet dan era global dimana tiada lagi rezim Umayyah Abbasiyah yang menindas kami.
Ini era modern dimana ULAMA SUNNi tidak bisa lagi mengeksekusi lawan politiknya !!!
Pernyataan menggegerkan Ketua MUI Pusat, Umar Shihab, bahwa aliran Syiah tidak sesat mendapat kirik tajam dari Profesor Baharun, selaku Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat. Menurutnya, ucapan Umar Shihab bersifat pribadi dan tidak bisa mengatasnamakan MUI.
“Umar Shihab itu berbicara atas nama pribadi. Karena kalau atas nama lembaga, sejak awal MUI tahun 1985 sudah menyatakan kewaspadadan terhadap syiah,” katanya/
Selanjutnya Prof Baharun juga membantah pernyataan Umar Shihab bahwa MUI tidak pernah mengeluarkan fatwa kesesatan Syiah. Ia mengatakan ketika Syiah belum menyebar di Indonesia pun MUI sudah membuat fatwa mewaspadai Syiah. Bahkan setelah aliran-aliran sesat bermunculan, MUI sudah membuat 10 kriteria aliran sesat. “Setidak-tidaknya dari 10 kriteria itu, lima kriteria masuk kepada Syiah,” tambahnya.
Sepuluh Kriteria sesat itu adalah:
1. Ingkar terhadap Rukun Iman dan Rukun Islam.
2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai Dalil Syar’i (Al Qur’an dan As Sunah).
3. Meyakini turunnya wahyu setelah Al Qur’an.
4. Ingkar terhadap otentisitas dan atau kebenaran isi Al Qur’an.
5. Menafsirkan Al Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah tafsir.
6. Ingkar atas kedudukan Hadist Nabi sebagai sumber ajaran Islam.
7. Melecehkan dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul.
8. Ingkar terhadap Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
9. Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah.
10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i.
“Dengan (10 kriteria) itu sudah cukup sikap dari Majelis Ulama untuk menfatwakan Syiah sesat karena berbeda dengan sikap dan anutan umat muslim di Indonesia,” tambahnya.
Ulama yang juga pernah menjadi jurnalis ini mengakui, memang nama Syiah tidak disebut secara spesifik dalam 10 kriteria. Namun Syiah tidak bisa membonceng fatwa ini untuk mengklaim dirinya tidak pernah divonis sesat oleh MUI. Karena, lanjut Prof. Baharun, penentuan 10 kriteria sesat tersebut berlaku umum kepada semua aliran sesat termasuk Syiah. “Siapapun juga tahu kok kalau Syiah sesat,” pungkasnya.
Menurut Habib Ahmad Zein bin Al Kaff, pengurus MUI Jawa Timur sekaligus wakil rois syuriyah PWNU Jatim, belum dikeluarkannya fatwa tegas mengenai aliran Syiah di Indonesia, tidak terlepas dari manuver Umar Shihab di jajaran MUI Pusat.
Dengan tegas ulama yang sudah menulis puluhan buku perihal kesesatan Syiah ini mengatakan bahwa Umar Shihab adalah biang dari kekacauan di MUI.
“Umar Shihab ini pengacaunya MUI. Dulu dia didukung dari Palu, tapi sekarang orang Palu sudah menarik dukungan dari Umar,” tambah Habib yang telah menulis puluhan buku tentang kesesatan Syiah ketika diwawancara Eramuslim.com, Jum’at (10/06/2011).
Agar kisruh mengenai Syiah di MUI cepat mereda, Habib Zein menghimbau perlunya tindakan untuk mengeluarkan tokoh-tokoh pembela Syiah di MUI. Langkah ini dirasa ampuh agar kedepannya MUI memiliki sikap satu suara untuk memfatwakan kesesatan Syiah.
“MUI harus dengan tegas mengeluarkan orang-orang berbau syiah. Seperti Umar Shihab dan seorang Doktor di Komisi Hukum yang keluaran Qum Iran,” tambahnya. Sayang, Habib Zein tidak merinci lebih jauh siapakah nama Doktor tersebut.
Kholil Ridwan : Umar Shihab Tak Berhak Bela Syi’ah Atas Nama MUI
Senada dengan Habib Zein, KH. Kholil Ridwan, Ketua MUI Bidang Budaya juga mengamini adanya elemen-elemen Syiah di tubuh MUI. Ia mengatakan ada segelintir pengurus MUI yang membela Syiah, ”Di MUI ada ulama yang membela kepentingan Syiah sehingga tidak ada fatwa sesat Syiah,” kata pimpinan Ponpes Husnayain ini kepada wartawan pasca memberikan orasi dalam acara Forum Ahlu Sunnah Bersatu Menolak Syiah, Juni 2011 di DDII Jakarta.Pernyataan salah seorang pengurus MUI Pusat KH. Umar Shihab di sebuah stasiun TV swasta bahwa Syi’ah tidak sesat justru membingungkan umat Islam. Selama ini melalui berbagai kajian yang membahas tentang Syi’ah, umat Islam di Indonesia sebenarnya sudah terbangun kesadarannya akan kesesatan dan bahayanya paham Syi’ah.
Hal tersebut terlihat saat ormas-ormas Islam Ahlus Sunnah se-Indonesia pada hari Jum’at 10 Juni 2011 di Masjid Al Furqan DDII Pusat, Jakarta mengeluarkan pernyataan sikap bersama yang intinya bahwa Syi’ah adalah paham sesat dan berbahaya.
KH. Cholil Ridwan
Pernyataan KH. Umar Shihab tentang Syi’ah yang berbicara atas nama MUI dan bertentangan dengan kesepakatan ormas Islam Ahlus Sunnah se-Indonesia ini pun mendapatkan tanggapan dari Ketua MUI Pusat KH. Ahmad Cholil Ridwan Lc.Kyai Cholil, sapaan akrabnya mengatakan bahwa Umar Shihab tidak berhak berbicara mewakili MUI Pusat sebab ia bukan ketua umum dan bukan koordinator pengurus harian MUI.
“Umar Shihab tampil di TV itu mestinya pendapat pribadi dia tidak berhak untuk mewakili MUI, yang berhak bicara langsung tanpa mandat dari rapat pimpinan itu adalah ketua umum MUI atau ketua koordinator harian KH. Ma’ruf Amin,” kata Kyai Cholil saat dihubingi voa-islam.com, Senin (2/1/2012).
rekomendasi yang bunyinya; umat Islam agar mewaspadai supaya aliran Syi’ah tidak masuk ke Indonesia, itu kan lebih dari pada sesat. Ngapain diwaspadai jangan masuk ke Indonesia kalau itu tidak sesat.Saat ditanya tentang pendapat Umar Shihab yang menyatakan bahwa MUI tidak pernah mengeluarkan fatwa sesat, KH. Cholil Ridwan menjelaskan bahwa MUI sudah mengeluarkan rekomendasi agar mewaspadai masuknya Syi’ah, dengan adanya rekomendasi itu menujukkan bahwa Syi’ah justru lebih dari sekedar paham sesat tapi juga berbahaya.
“Itu memang bukan fatwa, tetapi ada rekomendasi yang bunyinya; umat Islam agar mewaspadai supaya aliran Syi’ah tidak masuk ke Indonesia, itu kan lebih dari pada sesat. Ngapaindiwaspadai jangan masuk ke Indonesia kalau itu tidak sesat. Artinya bahaya sekali kalau Syi’ah itu besar di Indonesia nanti akan terjadi konflik yang tidak berkesudahan seperti di Irak, Libanon, Pakistan. Di Pakistan itu mereka Cuma 11% tapi sering kali terjadi masjid Syi’ah dan masjid Sunni dibakar, tokoh-tokoh Sunni dibunuh dan lain sebagainya,” jelas Pimpinan Ponpes Al Husnayain ini.
Tidak mungkinlah Syi’ah dengan Sunni itu bisa akur, Umar Shihab itu ngimpi saja ituIa juga menilai bahwa upaya Umar Shihab yang terlihat dari statemennya untuk mendekatkan antara Sunni dan Syi’ah hanyalah mimpi.
“Tidak mungkinlah Syi’ah dengan Sunni itu bisa akur, Umar Shihab itu ngimpi saja itu. Dia kan ingin mendekatkan Sunni-Syi’i dan lain sebagainya,” pungkasnya.
Terkait fatwa, KH. Kholil mengakui bahwa sampai saat ini MUI sebagai kumpulan ulama yang mayoritas berpaham Sunni, tidak memiliki fatwa kesesatan Syiah. Dari tahun 1984. MUI masih dalam tahap himbauan, bukan vonis sesat.
“Pada tahun 1984, MUI hanya mengeluarkan himbauan paham Syiah. Yang Saat itu ditandatangani oleh Prof Ibrahim Hosen,” tukasnya.
Sikap ketidakjelasan inilah yang mengundang kritik tajam dari Habib Zein selaku pengurus MUI Jatim. Ia menilai fatwa MUI tahun 1984 masih mengandung banyak kelemahan.
“Mereka (MUI, red.) hanya menyuruh umat mewaspadai kesesatan syiah, tapi tidak menganjurkan kepada masyarakat agar berhati-hati bahwa syiah itu aliran sesat. Ini kan permainannya Umar,” katanya kepada Eramuslim.com.
Oleh karena itu, Habib Zein mengatakan sudah saatnya MUI mengeluarkan fatwa sesat agar akidah umat terselamatkan. “Selamatkan umat ini dengan mengeluarkan fatwa tegas bahwa Syiah keluar ajarannya dari Islam dan sesat. Sesuai dengan Quran dan Hadis. Jadi sekarang kurang tegas,” pungkasnya.
Kembali, Ketua MUI Pusat Ngotot Syiah Tidak Sesat.
Mengenai insiden pembakaran pesantren Syiah di Sampang, Madura beberapa waktu lalu, Umar berpendapat insiden hanyalah ditumpangi pihak-pihak yang ingin mengadu domba umat Islam dengan kedok ajaran Syiah yang dituding sesat.
“MUI tidak pernah menyatakan bahwa Syiah itu sesat. Syiah dianggap salah satu mazhab yang benar sama halnya dengan ahli sunnah wal jama’ah ialah mazhab yang benar dan mazhab dua tersebut sudah ada sejak awal Islam,” katanya saat ditemui okezone di kediamannya, kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Minggu (1/1/2012).
Kendati pun ada perbedaan pandangan, kata dia, Islam juga tidak pernah menghalalkan kekerasan, apalagi perusakan tempat ibadah dan majelis taklim seperti terjadi di Sampang.
“Kita menginginkan ukhuwah islamiyah dan jangan antara kita saling menyesatkan. Mungkin adanya (insiden pembakaran) karena adanya provokator yang menyatakan bahwa ajaran syiah itu sesat,” ujarnya.
Ajaran Syiah, tegas dia, sudah diakui di dunia islam sebagai mazhab yang benar sampai saat ini. “Karena itu jangan kita membuat peryataan yang bisa mengeluapkan gejolak di tengah-tengah masyarakat kita dan bisa menyebabkan korban, korban harta dan lain-lain,” tutupnya.
Pernyataan Tahun 2007.
Pernyataan bahwa Syiah tidak sesat bukan kali ini saja dikatakan Umar. Sebelumnya, pada tahun 2007, Umar pernah melontarkan hal senada ketika Redaksi Syiarmewancarainya mengenai Syiah.
“MUI tidak menganggap bahwa salah satu mazhab itu benar. Kita berdiri di semua pendapat bahwa semua mazhab itu benar. Begitu juga terhadap mazhab lain, mazhab Syiah misalnya. MUI berprinsip, bahwa kalau dunia Islam sudah mengakui Syiah sebagai mazhab yang benar, lalu kenapa MUI harus menolak?” tegasnya.
Umar pun mengatakan fatwa waspada yang dikeluarkan MUI pada tahun 1984 sudah tidak lagi berlaku.
“Ya, itu pada tahun 84. Sekarang eranya sudah lain. Fatwa itu bisa berubah karena perubahan kondisi. Di Sunni sendiri juga ditetapkan seperti itu, bahwa fatwa bisa berubah karena perbedaan kondisi. Karena perbedaan tempat, Imam Syafii sendiri pernah mengubah fatwanya ketika beliau pindah ke Mesir dari Irak,” imbuhnya.
“Begitu juga dengan beberapa fatwa lain di MUI. Saya bisa kasih contoh fatwa tentang aborsi. Semua aborsi itu dilarang. Islam tidak pernah membenarkan aborsi. Tapi, kemudian terjadi perubahan kondisi di mana terjadi kehamilan akibat perkosaan, sehingga aborsi pada kondisi tersebut dikecualikan,” sambungnya.
Terkait beberapa kasus dimana ulama daerah menisbahkan dirinya kepada fatwa MUI Pusat tahun 1984 atau fatwa ulama lain yang menyatakan Syiah itu sesat, Umar kembali menegaskan bahwa Syiah tidak sesat.
“Sekali lagi, kita tidak pernah menyatakan Syiah itu sesat. Kita menganggap Syiah itu salah satu mazhab dalam Islam yang dianggap benar. Mengapa saya nyatakan demikian? Karena dunia Islam sendiri mengakui keabsahan mazhab ini,” katanya.
“Apabila ia sesat, mustahil dan tidak boleh ia masuk ke Masjdil Haram. Kenapa mereka boleh masuk ke Masjidil Haram? Itu artinya orang Saudi sendiri mengakui bahwa mereka tidak sesat. Ia tetap Muslim, hanya saja mazhabnya berbeda dengan kita,” tambahnya.
Syiah Kafir, Omong Kosong “Tong Kosong Nyaring Bunyinya”.
Suara-suara seperti ini selalu dikumandangkan oleh mereka yang mengaku sebagai golongan yang benar. Mereka yang menamakan dirinya Salafi tidak henti-hentinya berkata syiah itu kafir dan sesat. Tentu saja mereka mengikuti syaikh mereka atau ulama salafi yang telah mengeluarkan fatwa bahwa Syiah kafir dan sesat. Salah satu dari ulama tersebut adalah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin.
Tulisan ini merupakan tanggapan dan peringatan kepada mereka yang bisanya sekedar mengikut saja. Sekedar ikut-ikutan berteriak bahwa syiah kafir dan syiah sesat tanpa mengetahui apapun selain apa yang dikatakan syaikh mereka. Jika ditanya, mereka akan mengembalikan semua permasalahan kepada ulama mereka, Syaikh kami telah berfatwa begitu. Padahal setiap orang akan mempertanggungjawabkan perkataannya sendiri dan bukan syaikh-syaikhnya. Apalagi jika perkataan yang dimaksud adalah tuduhan kafir terhadap seorang muslim. Bukankah Rasulullah SAW bersabda “Apabila salah seorang berkata pada saudaranya “hai kafir”, maka tetaplah hal itu bagi salah seorangnya. (Shahih Bukhari Juz 4 hal 47). Artinya jika yang dikatakan kafir itu adalah seorang muslim maka perkataan kafir akan berbalik ke dirinya sendiri. Singkatnya Mengkafirkan Muslim adalah Kafir.
Yang seperti ini sebenarnya sudah cukup untuk membuat orang berhati-hati dalam mengeluarkan kata “kafir”. Jelas sekali adalah kewajiban mereka untuk menelaah apa yang dikatakan oleh syaikh-syaikh mereka. Apakah benar atau Cuma pernyataan sepihak saja?. Sayangnya mereka yang berteriak itu tidak pernah mau beranjak dari pelukan syaikh mereka. Sepertinya dunia ini terbatas dalam perkataan syaikh mereka saja. Heran sekali kenapa mereka tidak pernah menghiraukan apa yang dikatakan oleh ulama sunni yang lain seperti Syaikh-syaikh Al Azhar yaitu Syaikh Mahmud Saltut, Syaikh Muhammad Al Ghazali dan Syaikh Yusuf Al Qardhawi yang jelas-jelas menyatakan bahwa Syiah itu Islam dan saudara kita.
Tentu jika mereka saja tidak mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh ulama sunni yang lain selain syaikh mereka, maka tidak heran kalau mereka tidak pernah mendengarkan apa yang dikatakan Ulama Syiah tentang Bagaimana Syiah sebenarnya. Padahal mereka Ulama Syiah jelas lebih tahu tentang mahzab Syiah ketimbang orang lain. Kaidah tidak percaya adalah sah-sah saja tetapi hal itu harus dibuktikan.
Ketidakpercayaan yang tak berdasar jelas sebuah kesalahan. Apa salahnya jika mereka mau merendah hati sejenak mendengarkan apa yang dikatakan ulama syiah tentang syiah dan jawaban ulama syiah terhadap pernyataan syaikh mereka, Insya Allah mereka tidak akan gegabah ikut-ikutan berteriak kafir kepada saudara mereka yang Syiah. Sayangnya sekali lagi mereka tidak mau tapi dengan mudahnya berteriak kafir.
Jadi wajar sekali kalau mereka yang berteriak itu tidak mengetahui bahwa setiap dalil dari syaikh mereka sudah dijawab oleh Ulama Syiah. Dan tidak sedikit dari dalil syaikh mereka itu yang merupakan kesalahpahaman dan sekedar tuduhan tak berdasar. Mereka yang berteriak itu akan berkata “syaikh kami telah berfatwa berdasarkan kitab-kitab syiah sendiri”. Ho ho ho benar sekali dan ulama syiah bahkan telah menjawab syaikh mereka berdasarkan kitab syiah dan kitab yang menjadi pegangan kaum sunni. Tetapi sayang mereka tidak tahu, karena mereka bisanya cuma teriak saja. Tong Kosong Nyaring Bunyinya.
Baiklah anggap saja kita tidak usah memusingkan segala tekstualitas antara ulama sunni dan syiah itu, maka cukup kiranya mereka yang berteriak
Syiah kafir itu menjawab pertanyaan ini :
Apakah kafir orang yang mengucapkan La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah?
Apakah kafir orang yang menunaikan shalat?
Apakah kafir orang yang berpuasa di bulan Ramadhan?
Apakah kafir orang yang menunaikan zakat?
Apakah kafir orang yang berhaji ke Baitullah?
Saya yakin mereka bisa menjawab, dan jawabannya tidak, mana ada orang kafir yang seperti itu. Orang yang seperti itu jelas-jelas Muslim. Dan sudah menjadi hal yang umum kalau Syiah jelas mengucapkan syahadat, menunaikan shalat, puasa di bulan ramadhan, membayar zakat dan haji ke Baitullah. Jadi jelas sekali Syiah itu Muslim.
Betapa mudahnya mulut mereka berbicara, sungguh aneh sekali ketika pikiran terperangkap dalam kurungan ashabiyah.
Tulisan ini juga ditujukan kepada mereka yang belum tahu tentang Syiah, cukuplah penjelasan bahwa Syiah adalah Islam sama seperti Sunni, perbedaannya mereka Syiah berpedoman pada Ahlul Bait Nabi SAW. Semoga saja siapapun yang belum mengenal Syiah tidak termakan dengan Fatwa-fatwa yang mengkafirkan syiah. Jika tidak tahu cukuplah diam dan lebih baik berprasangka baik. Jangan ikutan berteriak, biarkan saja mereka yang berteriak Syiah kafir. Dan Sekali lagi bagi mereka yang berteriak, Baca, baca lagi dan pikirkan baik-baik. Maaf, Jangan mau membodohi diri dan tampak seperti orang bodoh. Dengarkan ulama sunni yang lain, dan dengarkan pembelaan mereka Ulama Syiah. Jangan maunya sekedar berteriak. Ingatlah Semua orang bertanggung jawab atas apa yang dikatakannya. Salam damai
Menag Suryadharma Ali : Syiah Bukan Aliran Sesat.
MENTERI Agama (Menag) Suryadharma Ali menilai, ajaran Syiah belum keluar dari konteks kaidah Islam. Oleh sebab itu, Menag mengimbau agar masyarakat mengukur suatu agama berdasarkan akidahnya.
“Kita bisa lihat pandangan MUI (Majelis Ulama Indonesia) tentang Syiah seperti apa mengukur suatu agama pada akhirnya, kalau akidahnya sama ya tidak ada masalah,” kata SDA, sapaan akrab Suryadharma Ali, di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (02/01) tadi malam.
Menurut SDA, perbedaan antara Syiah dan Sunni itu wajar karena adanya interpretasi yang berbeda. Perbedaan itu juga masih dalam batas toleransi.
Ia menyebutkan adanya persamaan Sunni dan Syiah, yaitu mengenai tauhid dan keimanan terhadap nabi.
“Hal-hal seperti itu artinya Syiah masih dalam koridor. Tapi memang ada perbedaan-perbedaan tertentu lah,” kata dia.
Tokoh Pembela Syi’ah Melawan Kyai Kyai Tua Bodoh, Primitif dan Kampungan.
Menteri Agama: Syiah Masih Dalam Koridor.
Beliau mengatakan soal Tauhid dan keimanan antara Sunni dan Syiah tidak ada perbedaan.
Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan bahwa ajaran Syiah masih berada dalam koridor. Maka dia mengajak publik untuk mengukur suatu agama berdasarkan akidahnya.
“Kita bisa lihat pandangan MUI (Majelis Ulama Indonesia) tentang Syiah seperti apa mengukur suatu agama pada akhirnya, kalau akidahnya sama ya tidak ada masalah,” kata Suryadharma di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Senin 2 Januari 2011 malam.
Hanya saja, kata Suryadharma, ada beberapa hal interpretasi yang berbeda. Perbedaan itu, kata dia adalah sesuatu hal yang wajar. Bahkan, di dalam internal Sunni sendiri ada perbedaan interpretasi. “Interpretasi yang berbeda juga ada di dalam Sunni, perbedaan-perbedaan itu yang masih dalam batas toleransi itu pada akidah,” kata dia.
Dia mengatakan soal Tauhid dan keimanan antara Sunni dan Syiah tidak ada perbedaan.
“Hal-hal seperti itu artinya Syiah masih dalam koridor. Tapi memang ada perbedaan-perbedaan tertentu lah,” kata dia.
Saat ditanya perihal MUI Jawa Timur yang menyebutkan bahwa ajaran Islam Syiah itu sesat, SDA menyebutkan bahwa mungkin ajaran Syiah dipandang berbeda dengan ajaran Islam pada umumnya di Indonesia. Dia juga mengatakan belum membaca secara utuh perihal putusan MUI Jawa Timur tersebut. Namun demikian, dia mengakui lebih mengedepankan pandangan dari para ulama terkait ajaran Islam Syiah tersebut.
“Mungkin akidah yang dipercaya oleh Syiah itu berbeda dengan akidah yang menjadi mainstream umat Islam di Indonesia. Itu mungkin. Saya belum membaca secara utuh alasan-alasan yang kemudian pihak MUI Jatim mengatakan bahwa Syiah itu sesat. Tetapi, saya lebih mengedepankan pandangan dari para ulama,” jelasnya.
Rupanya, ada banyak tokoh yang mengklaim dirinya sebagai tokoh Islam yang membela paham kebenaran Syiah. Mulai dari Ketua MUI Umar Syihab, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj, dan sebagainya.
Berikut kami tampilkan pendapat mereka mengenai ajaran Syiah:
1. Almarhum Gusdur
Ketika memperingati Asyura atau memperingati wafatnya cucu nabi Muhammad SAW, Hasan dan Husain, beberapa waktu lalu, kaum Syiah Indonesia yang tergabung dalam komunitas Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) sampai harus menggelar peringatan Asyura tersebut di kediaman mendiang Abdurahman Wahid atau Gus Dur.
Ketua Badan Hukum dan HAM Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) , Maheswara Prabandono mengklaim, Gus Dur sebenarnya adalah Syiah. “Kami merasa dari apa yang dia praktekan dan cara dia membina hubungan dengan Iran,” kata Maheswara usai jumpa pers di kantor pusat IJABI di Jakarta, Sabtu (31/12/2011).
Dijelaskan dia, Gusdur sebagai cucu KH Wahid Hasyim secara tradisi dan ibadah, NU sangat dekat dengan ajaran Syiah, karena yang dipraktekan NU cara Syiah. “Misalnya mengambil berkah atau tabaruk ke ziarah kubur ke makam wali. Itu aslinya ajaran Syiah,” pungkasnya.
IJABI membandingkan jaminan keamanan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dengan masa kepemimpinan Gus Dur saat menjadi Presiden RI keempat. Menurut Ketua Dewan Syura IJABI, Jalaludin Rakhmat, semasa pemerintahan Gus Dur, kelompok Sunni dan Syiah tidak pernah terlibat konflik.
ANTV 2008
Kutip Gus Dur, NU Disebut Syiah Minus Imamah
Jumat, 01 Januari 2010, 10:11:26 WIB
sumber berita : http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/01/01/85823/Kutip-Gus-Dur,-NU-Disebut-Syiah-Minus-Imamah
Jumat, 01 Januari 2010, 10:11:26 WIB
sumber berita : http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/01/01/85823/Kutip-Gus-Dur,-NU-Disebut-Syiah-Minus-Imamah
Jakarta,
Sebagian sikap dan pemikiran Gus Dur mendapat apresiasi dari
beberapa ulama Syiah Indonesia.“Gus Dur selalu menganjurkan kebaikan
kepada kelompok minoritas, termasuk kita yang berpegang pada madzhab
Ahlul Bait, Syiah. Kita merasa dibela Gus Dur dari beberapa kelompok
yang akan membubarkan Syiah. Gus Dur juga selalu mengatakan bahwa Syiah
itu adalah NU plus imamah dan NU itu adalah Syiah minus imamah.
Bahkan beliau orang yang pertama di Indonesia yang bukan Syiah yang
menggelar peringatan Asyura di Ciganjur,” kata salah seorang ulama Syiah
Indonesia, Hasan Dalil, kepada Rakyat Merdeka Online, beberapa saat lalu (Jumat,1/1).
Namun demikian, kata Hasan Dalil, ada beberapa sikap Gus Dur yang
mesti dikritisi termasuk keterlibatan dalam yayasan milik Israel.
Menurut Pembina Sekolah Tinggi Agama Islam Madinatul Ilmi ini, masalah
Israel adalah masalah hitam putih yang bukan multitafsir.“Sikap Gus Dur
sering multitafsir. Tapi berkaitan dengan Israel harus hitam putih.
Israel itu menginjak-injak hak asasi manusia dan menjajah. Tentu hal ini
sangat bertentangan dengan konstitusi tertinggi negara kita,
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang melarang segala bentuk penjajahan.
Kita kritik itu,” kata Hasan Dalil.
Namun satu hal yang menarik dari Gus Dur, kata Hasan Dalil, tidak
pernah marah dan tersinggung jika dikritik. Hasan Dalil pun punya kesan
pribadi dengan Gus Dur.“Kita ulama Syiah datang pada beliau. Saya
sebutkan pada beliau di kalangan atas elit dan intelektual, sudah
memahami madzhab Ahlul Bait dan menghormati Ayatullah Imam Khomaini.
Namun di kalangan sebagian NU di bawah ada yang masih berlaku keras pada
kelompok Syiah. Saya contohkan peristiwa di Bangil. Ternyata Gus Dur
langsung menelpon ulama NU Bangil dan memerintahkan untuk menjaga
kelompok syiah dan mencegah segala bentuk kekerasan. Ini luar biasa,”
kata Hasan Dalil.
Gus Dur: Seret Provokator Insiden Bangil ke Meja Hijau!
December 19, 2007
Kali ini Acara KONGKOW BARENG GUS DUR kedatangan rombongan dari Bangil, yakni Ust. Muhammad BSA, Ust. Ali Zaenal Abidin, (YAPI) dan Ust. KH. Khoiron Syakur (Sesepuh NU Bangil). Kedatangan mereka adalah untuk silaturahim dengan Gus Dur sekaligus melaporkan adanya Tindakan Kekerasan terhadap sebuah masjid bernama Masjid Jarhum dan juga rumah ust. Ali Zaenal Abidin & Ust. Muhammad bin Alwi dengan mengatasnamakan Mazhab atau Golongan Islam, pada 27 Desember 2007 silam.
Bertempat di sebuah ruangan yang sederhana, mantan Ketua Umum PBNU ini terlihat santai dengan setelan batik. Dihadiri pula oleh sekitar 15 orang simpatisan yang empati terhadap kasus kekerasan tersebut. Beberapa dari LSM dan aktivis kepemudaan Islam.
Pelapor menjelaskan kronologi kekerasan yang terjadi, baik di Masjid Jarhum maupun Rumah kediaman. Berawal dari ceramah salah satu ustadz pada tanggal 25 Desember 2005 (dua hari sebelum kejadian), yang menyampaikan kesesatan-kesesatan ajaran Syiah dan mengajak kepada umat untuk segera bertindak agar ajaran Syiah tidak semakin menyebar di wilayah Bangil. Tindakan kekerasan tersebut terjadi di rumah Ust. Ali pada 27 Desember 2007 pukul 12.30 dini hari.
Suasana KONGKOW terasa akarab meski Gus Dur sesekali terlihat bersemangat dan sedikit emosi berkaitan dengan tindakan kekerasan yang ditujukan kepada Umat Syiah di Bangil. Gus Dur menilai terjadinya kekerasan atas nama aliran agama ini disebabkan oleh Fatwa MUI belakangan yang menyatakan beberapa Golongan sesat. Meski Syiah sendiri tidak termasuk yang disesatkan, namun fatwa tersebut membuat beberapa kelompok Islam melakukan tindakan kekerasan kepada golongan yang mereka anggap sesat, sebagai contoh yang terjadi diBangil dengan korban para pengikut mazhab Syi’ah. Gus Dur sendiri beranggapan bahwa, kalau mau kita cermati, tradisi-tradisi dalam NU beberapa mempraktekkan tradisi yang bersumber dari Syiah, seperti Barjanji, Shalawatan li Khomsatun dan beberapa praktek-praktek yang lain. Jadi menurutnya, NU adalah Syiah secara tradisi bukan Syiah politik.
KH. Khoiron Syakur (sesepuh NU Bangil) menyatakan bahwa sudah sejak bertahun-tahun, warga NU hidup berdampingan dengan warga Islam yang berbeda mazhab, dan tidak ada pertentangan apalagi sampai kepada perbuatan kekerasan sebagaimana terjadi sekarang.
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid mengutuk dan berjanji melaporkan tindakan kekerasan ini ke Kapolri. Ia juga menghimau warga NU tidak terpengaruh dan tetap mewaspadai gerakan-gerakan yang mengatasnamakan umat Islam namun sesungguhnya adalah upaya untuk memecah belah Umat Islam.
2. Prof.Dr. Azyumardi Azra
19 03 2011
Komisi Ukhuwah Islamiyah Majelis Ulama Indonesia menggelar diskusi yang bertema “Merajut Ukhuwah Islamiyah Di Tengah Pluralitas Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia. ” Diskusi bertempat di kantor Pusat Majelis Ulama Indonesia Jl. Proklamasi Jakarta Pusat digelar kemarin (Senin, 14/3/2011).
Diskusi itu melibatkan tokoh-tokoh agama di tingkat nasional seperti Prof. Dr. Azyumardi Azra, Prof. Dr. K. H. Aqiel Siradj, Dr. K.H. Qureisy Shihab dan Dr. Khalid Walid.
Prof. Azyumardi Azra dalam diskusi itu mengulas perspektifnya yang berjudul, “Realitas Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia dan Tantangannya dari Masa ke Masa.” Prof. Azyumardi mengatakan, “Di Indonesia terdapat upaya aktualisasi Umat Wahdatan yang tidak berada dalam titik ekstrim. Baru belakangan ini muncul gerakan trans-nasional yang mudah mengkafirkan dan mengecam pandangan yang berbeda termasuk menolak maulid. “Menurut Prof Azyumardi, kelompok ini menjadi sumber konflik dan pemecah belah umat Islam di Indonesia. Prof, Azyumardi juga menambahkan, “Kelompok ini juga cenderung menyalahkan semua pandangan dan melakukan tindakan kekerasan seperti yang terjadi terhadap Ahmadiyah.”
Lebih lanjut Prof. Azyumardi Azra, “Saya khawatir, Syiah akan menjadi sasaran berikutnya. Padahal Syiah adalah sahabat kita. Saya sangat menyesalkan pelarangan Syiah yang terjadi di Malaysia.” Prof. Azyumardi juga menyatakan dirinya sebagai simpatisan Syiah.
Dalam diskusi yang mengangkat tema Ukhuwah Islamiyah itu, Ketua PBNU, Prof. Dr. K.H. Aqiel Siradj juga menjadi salah satu pembicara inti. Dalam diskusi, Prof Aqiel Siradj mengulas pandangannya yang bertema, ‘Menjaga, Memelihara dan Merawat Ukhuwah Islamiyah.”/
Dalam kesempatan itu, Prof Aqiel Siradj mencontohkan masa Nabi. Dikatakannya, ” Di masa Nabi ada pluralitas keyakinan, dan tetap dilindungi dan dihormati.” Prof Aqiel Siradj mencontohkan Piagam Madinah sebagai dasar kebersamaan dan apresiasi.
Lebih Lanjut Aqiel Siradj yang juga pimpinan organisasi Islam terbesar di Indonesia, menawarkan empat kiat untuk melangkah seperti yang dilakukan Rasulullah Saw dalam Piagam Madinah. Dikatakannya, “Kiat pertama, memahami orang lain. Kiat kedua, mengembangkan dan melestarikan tradisi. Ketiga, menjaga komitmen kemanusiaan dalam berbangsa dan bernegara. Keempat, memahami ideologi lain.”.
Prof Aqiel Siradj dalam pernyataannya di diskusi yang bertema Ukhuwah Islamiyah itu menyayangkan kekerasan yang seringkali dilakukan. Padahal menurut Aqiel Siradj, perbedaan adalah hal yang diciptakan Allah, bahkan bagian dinamika kehidupan. Lebih lanjut Prof Aqiel Siradj mengaku kagum atas mazhab Syiah yang melahirkan intelektual-intelektual luar biasa dan tetap berpegang teguh pada keyakinan agama.
Masih dalam diskusi Ukhuwah Islamiyah, Prof. Dr. K.H. Qureisy Shihab juga ikut menyumbang pandangan yang memilih tema, “Membangun Visi Bersama Umat Islam Indonesia. ” Dikatakannya, “Perbedaan adalah keniscayaan. Perbedaan dalam Islam adalah hal yang alami.”.
Prof Qureisy Shihab dalam pernyataannya menegaskan, “Perbedaan antarmazhab hanyalah pada tingkat ushul mazhab dan furu’u-dien semata (baca: prinsip mazhab bukan agama).” Menurut Prof Qureisy Shihab, hal tersebut hampir ditemukan pada seluruh mazhab atau aliran dalam Islam, baik Mu’tazilah, bahkan Wahabiyah.
Dalam penjelasannya, Qureisy Shihab menjelaskan, “Syiah memiliki ushul mazhab imamah atau kepemimpinan. Karena hal tersebut merupakan ushul mazhab, maka mereka yang tidak menerima Imamah tidaklah berarti kafir.” Prof Qureisy Shihab juga menyayangkan kelompok-kelompok yang sering mengkafirkan kelompok lain. Menurut Prof Qureisy Shihab, pengkafiran bermula dari kedangkalan pengetahuan.
Di penghujung acara, Dr.Khalid Walid yang juga penggagas acara tersebut menyatakan bahwa acara seperti ini harus terus digalakkan demi persatuan umat dan kesatuan bangsa Indonesia di nusantara. Diskusi ilmiah yang bertema “Merajut Ukhuwah Islamiyah di tengah Pluralitas Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia, ” dihadiri sekitar 200 peserta dari kalangan akademisi dan wakil pengurus pusat ormas-ormas Islam Indonesia termasuk Organisasi Ahlul Bait Indonesia atau ABI.
Menurut Umar Syihab, ia tak sependapat dengan MUI Jawa Timur yang menyebut aliran Syiah sesat. Umar menegaskan bahwa MUI tidak pernah mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Syiah sebagai aliran sesat.
Mengenai insiden pembakaran pesantren Syiah di Sampang, Madura beberapa waktu lalu, Umar berpendapat insiden hanyalah ditumpangi pihak-pihak yang ingin mengadu domba umat Islam dengan kedok ajaran Syiah yang dituding sesat.
Kata Umar, MUI tidak pernah menyatakan, bahwa Syiah itu sesat. Syiah dianggap salah satu mazhab yang benar, sama halnya dengan ahli sunnah wal jama’ah. Kendati pun ada perbedaan pandangan, kata dia, Islam tidak pernah menghalalkan kekerasan, apalagi perusakan tempat ibadah dan majelis taklim seperti terjadi di Sampang.
Ajaran Syiah, kata Umar, sudah diakui di dunia islam sebagai mazhab yang benar sampai saat ini. “Karena itu jangan kita membuat peryataan yang bisa mengeluapkan gejolak di tengah-tengah masyarakat kita dan bisa menyebabkan korban.”.
4. Prof.Dr. QuraishShihab
Descriptions
Judul: Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?Penulis: M. Quraish Shihab
Penerbit: Lentera Hati
Halaman: 303
Cetakan: I, Maret 2007
Imam Bukhari tidak meriwayatkan satu hadits pun dari Ja’far ash-Shadiq
QS: “Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena pakar hadits Ahlusunnah tidak meriwayatkan dari imam-imam mereka.. Imam Bukhari, misalnya, tidak meriwayatkan satu hadits pun dari Ja’far ash-Shadiq, Imam ke-6 Syiah Imamiyah, padahal hadis – hadisnya cukup banyak diriwayatkan oleh kelompok Syiah.” (hal. 150).
Ilmu pengetahuan Islam banyak dirugikan, karena pandangan pandangan Syi’ah ditindas.Akibat tuduhan terkait Abdullah bin Saba’ ini,kerugian yang diderita ilmu pengetahuan Sunni lebih besar daripada yang diderita oleh Syi’ah sendiri, karena sumber fiqih syi’ah sangat kaya dan berlimpah, cenderung diabaikan, mengakibatkan terbatasnya ilmu pengetahuan. Selain itu, di masa lalu para cendekiawan syi’ah dicurigai. Sunni tidak mendapat manfaat dari pandangan-pandangan Syi’ah.
Bukankah pemimpin Syi’ah, Imam Jafar Shadiq (148 H), adalah guru dua orang Imam besar Sunni? Mereka adalah Abu Hanifah Nu’man (150 H), dan Malik bin Anas (179 H) ? Imam Abu Hanifah berkata, “Selain dua tahun, Nu’man akan kelaparan.”.
Artinya selama dua tahun ia mendapat keuntungan dari ilmu Imam Jafar Shadiq. Imam Malik juga mengakui secara terus terang bahwa ia belum pernah mendapati orang yang lebih terpelajar dalam fiqih Islam selain Imam Jafar Shadiq.
5. KH. Said Aqil Siraj
Menurut Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj, ada desain besar di balik aksi pembakaran pesantren penganut Syiah di Sampang, Madura. Tak mungkin peristiwa tersebut terjadi tanpa ada yang membuatnya. Padahal kerukunan hidup beragama di sana sebelumnya baik-baik saja.
Said meminta pemerintah dan aparat keamanan bekerja lebih keras, mencegah aksi serupa terulang di kemudian hari. “Ini pasti ada big design-nya. Ada pihak-pihak yang ingin merusak suasana damai di Indonesia,” kata Said.
Menurut Said Aqil, Sunni dan Syiah hanya dijadikan alat seolah-olah memang ada permusuhan. Padahal tidak, mereka dari dulu sampai sekarang hidup damai berdampingan. Ketua Umum PBNU itu meminta semua pihak bisa menahan diri dengan tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis. “Pihak ketiga itu selalu melancarkan provokasi supaya konflik terus terjadi. Dan bukan tidak mungkin kasus serupa akan terjadi di kemudian hari,” katanya.
Prof Dr Said Agil Siraj mengungkapkan, di sejumlah negara Islam maupun Timur Tengah yang hidup faham Suni dan Syiah, dapat hidup rukun dan berdampingan. ”Bahkan Mufti Syria Badruddin Hassun yang berasal dari Suni, fatwa-fatwanya sangat didengar oleh kelompok Syiah,” jelas Kiai Siraj seraya menambahkan kondisi serupa terjadi di Saudi Arabia, Pakistan, maupun Libanon.
Bahkan di Libanon Selatan, lanjut Said, Hizbullah dari kelompok Syiah didukung juga oleh kelompok Suni. Dikatakan Said, sepanjang sejarah, perbedaan yang terjadi antara Suni dan Syiah sebenarnya, terkait soal kekuasaan atau lazim disebut imamah. Karena itu, kelompok Syiah memasukkan masalah imamah ke dalam rukun agama dan sejak dini anak-anak mereka diajarkan pengetahuan tentang imamah. “Dalam perkembangan Islam, kedua kelompok Suni dan Syiah sama-sama memberikan andil dan peran yang sangat besar dalam peradaban Islam,” tegas kyai Siraj.
Said menyebut sejumlah tokoh Syiah yang memberikan andil besar bagi kemajuan Islam. Sebut saja misalnya Ibnu Sina, seorang filsuf yang juga dikenal sebagai seorang dokter, Jabir bin Hayyan yang dikenal sebagai penemu ilmu hitung atau aljabbar, dan seorang sufi Abu Yazid al Busthami. Mereka yang beraliran Syiah ini telah menyumbangkan ilmunya bagi kemajuan Islam. “Jadi, kedua kelompok ini adalah aset yang sangat berharga bagi umat Islam.”.
6. Buya KH. Syafii Maarif
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif mengutuk keras aksi pembakaran terhadap pondok pesantren Syiah di Kecamatan Karang Penang, Sampang. Terlebih jika aksi pembakaran tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan keagamaan.
Menurutnya, kebenaran bukanlah milik individu apalagi kelompok. Syafii mengatakan, Syiah telah diakui sebagai mazhab kelima dalam Islam. Dia pun menyatakan bahwa setiap orang, sekalipun atheis berhak hidup. Terpenting, katanya, bisa hidup rukun dan toleran.
7. Prof.Dr .KH. Din Syamsudin
Biografi Din Syamsudin
February 15, 2010Kiprahnya di Muhammadiyah tetap berlanjut. Ia masuk dalam kepengurusan PP Muhammadiyah. Selain itu, Din juga menjadi wakil Muhammadiyah dalam tubuh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia bahkan menjadi sekjen selama satu periode mulai tahun 2000 sampai dengan 2005.
Memasuki tahun 2005, Din yang dikenal rajin mengunjungi cabang-cabang Muhammadiyah di daerah-daerah ini terpilih menjadi Ketum PP Muhammadiyah yang baru, menggantikan Syafii Maarif. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah terlihat menjaga jarak dengan Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah.
Din sendiri memang punya banyak pengalaman. Tak melulu berkutat perihal keagamaan. Din pernah menjadi birokrat saat direkrut menjadi Dirjen Binapenta Depnaker di awal reformasi, dan ia juga pernah menjadi politikus dengan menjadi anggota litbang Partai Golongan Karya, dan selanjutnya merambah menjadi wasekjen.
Berikut ini data lengkap tentang Din Syamsudin
Nama: Sirajuddin Syamsuddin
Tempat Tanggal Lahir: Sumbawa Besar, 31 Agustus 1958
Agama: Islam
Istri: Ny Fira Beranata
Anak:
1. Farazahdi Fidiansyah
2. Mihra Dildari
3. Fiardhi Farzanggi
Pendidikan:
– S1 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
– S2 University of California, AS tahun 1982
– S3 University of California, AS tahun 1996
Karir:
– 1982 – sekarang Dosen UIN Syarif Hidayatullah
– 1989 – 1993 Ketum PP Pemuda Muhammadiyah
– 1995 – Wasekjen Golkar
– 1998 – 2000 Dirjen Binapenta Depnaker
– 2000 – 2005 Sekjen MUI
– 2000 – 2005 Wakil Ketua PP Muhammadiyah
– 2005 – sekarang Ketum PP Muhammadiyah
Alamat: Jl. Kemiri no 24 Menteng Jakarta Pusat
para pembaca …..
Posted on September 28, 2010
Sumber : Muhammadiyah OnlineTeheran-
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menegaskan bahwa persatuan umat Islam khususnya antara kaum Sunni dan kaum Syiah, adalah mutlak perlu sebagai prasyarat kejayaan Islam. Kejayaan umat Islam pada abad-abad pertengahan juga didukung persatuan dan peran serta kedua kelompok umat Islam tersebut. Demikian dikatakan Din pada Konferensi Islam Sedunia, Senin (5/05/2008),di Teheran. Pada konferensi yang berlangsung antara 4 sampai 6 Mei 2008 tersebut, hadir 400-an ulama dan zuama, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah dari berbagai belahan dunia. Din Syamsuddin yang berbicara pada sesi pertama bersama enam tokoh Islam lainnya menegaskan bahwa antara Sunni dan Syiah ada perbedaan tapi hanya pada wilayah cabang (furu’yat), tidak pada wilayah dasar agama (akidah), karena keduanya berpegang pada akidah Islamiyah yang sama, walau ada perbedaan derajad penghormatan terhadap Ali bin Abi Thalib. Maka, lanjut Din Syamsuddin, kedua kelompok harus terus melakukan dialog dan pendekatan.
Seandainya tidak dicapai titik temu maka perlu dikembangkan tasamuh atau toleransi. Seluruh elemen umat Islam dalam kemajemukannya perlu menemukan “kalimat sama” (kalimatun sawa) dalam merealisasikan misi kekhalifahan di muka bumi. Selanjutnya, dalam menghadapi tantangan terhadap umat Islam dewasa ini, Din sampaikan, umat Islam perlu menemukan dalam dirinya “musuh bersama” (aduwwun sawa)..Dua hal ini, “kalimatun sawa” (common platform) dan “aduwwun sawa” (common enemy) adalah faktor kemajuan umat. Namun perlu dipahami bahwa “musuh bersama” itu terdapat di dalam diri umat Islam yaitu kemiskinan dan keterbelakangan.
24/12/2010
Din mengatakan Muhammadiyah dan Kedutaan Iran akan menggelar seminar bertema “Islam, Perdamaian, dan Keadilan Global”. Seminar untuk menanggapi ketidakadilan global yang sedang terjadi dan sebagai upaya menghilangkan Islamofobia, ketakutan dan kecurigaan tak beralasan pada Islam, katanya. Muhammadiyah sebelumnya mengecam keputusan Prancis yang melarang Muslimin menggunakan Burqa dan cadar, mencapnya sebagai sebuah sikap yang tidak menghargai kebebasan beragama, elemen vital demokrasi. Dalam kesempatan yang sama, Duta Besar Mahmoud bilang masyarakat Muslim perlu bekerjasama untuk menunjukkan Islam sebagai “agama kedamaian”. “Sejumlah negara besar di dunia memandang Islam sebagai ancaman yang amat menakutkan dengan dugaan melakukan pengeboman, teror serta kekerasan di sejumlah negara,” katanya.
Muhammadiyah: Tak Ada Beda Sunni dan Syiah
24/12/2010
Kata Din, pertemuan itu terkait kerja sama Iran dengan Muhammadiyah untuk “mempererat hubungan” di bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. “Semuanya untuk memajukan umat,” kata Din. Din mengatakan Muhammadiyah dan Kedutaan Iran akan menggelar seminar bertema “Islam, Perdamaian, dan Keadilan Global”. Seminar untuk menanggapi ketidakadilan global yang sedang terjadi dan sebagai upaya menghilangkan Islamofobia, ketakutan dan kecurigaan tak beralasan pada Islam, katanya.
Muhammadiyah sebelumnya mengecam keputusan Prancis yang melarang Muslimin menggunakan Burqa dan cadar, mencapnya sebagai sebuah sikap yang tidak menghargai kebebasan beragama, elemen vital demokrasi. Dalam kesempatan yang sama, Duta Besar Mahmoud bilang masyarakat Muslim perlu bekerjasama untuk menunjukkan Islam sebagai “agama kedamaian”. “Sejumlah negara besar di dunia memandang Islam sebagai ancaman yang amat menakutkan dengan dugaan melakukan pengeboman, teror serta kekerasan di sejumlah negara,” katanya.
Pada Konferensi Persatuan Islam Sedunia yang berlangsung 4-6 Mei 2008 di Teheran, Iran, Din Syamsuddin pernah mengatakan, bahwa Sunni dan Syi’ah ada perbedaan, tapi hanya pada wilayah cabang (furu’yat), tidak pada wilayah dasar agama (akidah). Menurut Din, Sunni dan Syi’ah berpegang pada akidah Islamiyah yang sama, walau ada perbedaan derajat penghormatan terhadap sahabat sekaligus menantu Nabi Muhammad, yakni Ali bin Abi Thalib.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini juga mengatakan, sewajarnya jika dua kekuatan besar Islam ini (Sunni dan Syi’ah) bersatu melawan dua musuh utama umat saat ini yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. (Detikcom 5 Mei 2008).
Dikatakan Din, seandainya tidak dicapai titik temu, maka perlu dikembangkan tasamuh atau toleransi. Seluruh elemen umat Islam dalam kemajemukannya perlu menemukan “kalimat sama” (kalimatun sawa) dalam merealisasikan misi kekhalifahan di muka bumi.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menegaskan bahwa persatuan umat Islam khususnya antara kaum Sunni dan kaum Syiah, adalah mutlak perlu sebagai prasyarat kejayaan Islam. Kejayaan umat Islam pada abad-abad pertengahan juga didukung persatuan dan peran serta kedua kelompok umat Islam tersebut.
8. Prof.Dr.KH.Amien Rais
Masa jabatan 1999–2001 |
|
PRESIDEN | Abdurrahman Wahid |
PENDAHULU | Harmoko |
Masa jabatan 1991–2004 |
|
PRESIDEN | Megawati Soekarnoputri |
PENGGANTI | Hidayat Nur Wahid |
|
|
LAHIR | 26 April 1944 (umur 67) Solo, Jawa Tengah |
PARTAI POLITIK | PAN |
SUAMI/ISTRI | Kusnasriyati Sri Rahayu |
ANAK | Ahmad Hanafi, Hanum Salsabiela, Ahmad Mumtaz, Tasnim Fauzia, Ahmad Baihaqi |
Prof. Dr. H. Amien Rais (lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944; umur 67 tahun) adalah politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua MPR periode 1999– 2004. Jabatan ini dipegangnya sejak ia dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999 pada bulan Oktober 1999.
Namanya mulai mencuat ke kancah perpolitikan Indonesia pada saat-saat akhir pemerintahan Presiden Soeharto sebagai salah satu orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah. Setelah partai-partai politik dihidupkan lagi pada masa pemerintahan Presiden Habibie, Amien Rais ikut mendeklarasikan Partai Amanat Nasional (PAN). Ia menjabat sebagai Ketua Umum PAN dari saat PAN berdiri sampai tahun 2005.
Sebuah majalah pernah menjulukinya sebagai “King Maker“. Julukan itu merujuk pada besarnya peran Amien Rais dalam menentukan jabatan presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun 2001. Padahal, perolehan suara partainya, PAN, tak sampai 10% dalam pemilu 1999.
Awal karier.
Lahir di solo pada 26 April 1944, Amien dibesarkan dalam keluarga aktivisMuhammadiyah yang
fanatik. Orangtuanya, aktif di Muhammadiyah cabang Surakarta. Masa
belajar Amien banyak dihabiskan di luar negeri. Sejak lulus sarjana dari
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada1968 dan lulus Sarjana Muda Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1969), ia melanglang ke berbagai negara dan baru kembali tahun 1984 dengan menggenggam gelar master (1974) dari Universitas Notre Dame, Indiana, dan gelar doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat.Kembali ke tanah air, Amien kembali ke kampusnya, Universitas Gadjah Madasebagai dosen. Ia bergiat pula dalam Muhammadiyah, ICMI, BPPT, dan beberapa organisasi lain. Pada era menjelang keruntuhan Orde Baru, Amien adalah cendekiawan yang berdiri paling depan. Tak heran ia kerap dijuluki Lokomotif Reformasi.
Terjun ke politik.
Posisinya tersebut membuat peran Amien begitu besar dalam perjalanan politik Indonesia saat ini. Tahun 1999, Amien urung maju dalam pemilihan presiden. Tahun 2004 ini, ia maju sebagai calon presiden dan meraih hampir 15% suara nasional.
Pada 2006 Amien turut mendukung evaluasi kontrak karya terhadap PT. Freeport Indonesia. Setelah terjadi Peristiwa Abepura, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN)Syamsir Siregar secara tidak langsung menuding Amien Rais dan LSM terlibat dibalik peristiwa ini. Tapi hal ini kemudian dibantah kembali oleh Syamsir Siregar.[1]
Pada Mei 2007, Amien Rais mengakui bahwa semasa kampanye pemilihan umum presiden pada tahun 2004, ia menerima dana non bujeter Departemen Kelautan dan Perikanan dari Menteri Perikanan dan Kelautan Rokhmin Dahuri sebesar Rp 200 juta. Ia sekaligus menuduh bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden lainnya turut menerima dana dari departemen tersebut, termasuk pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang kemudian terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.[2][3]
Referensi
Badan Kerjasama Persatuan Pelajar Indonesia (BKPPI) se-Timur Tengah dan Sekitarnya.
Menurut bapak apa relevansi tema konferensi yang dibawa teman-teman BKPPI kali ini dengan kondisi bangsa sekarang mengingat ada sebagian masyarakat Indonesia yang menganggap seolah-olah kemandirian dan keadilan bagi bangsa Indonesia adalah sesuatu yang utopis?
Jadi tema konferensi ke 6 ini dari BKPPI memang amat sangat pas, sangat relevan karena yang dihadapi bangsa kita memang terutama dua itu, jadi pertama kita telah kehilangan kemandirian nasional, kepercayaan diri sudah luntur, kita bahkan tidak lagi merawat kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik, kedaulatan hukum kita, jadi ini adalah hal yang sudah amat sangat jauh sehingga adik-adik di timur tengah itu betul kalau mengangkat tema ini. Dan masalah keadilan itu juga makin lama makin jauh dari kenyataan, yang terjadi mungkin adalah kezaliman ekonomi, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin senen kemis gitu nasibnya. Dan kesenjangan sosial juga makin menganga lebar. Jadi dua ini, dua hal yang sangat fundamental tapi tidak bisa diselesaikan satu-dua tahun, ini membutuhkan pemikiran yang relatif matang dan komitmen nasionl dari semua tokoh dan elit untuk bersama-sama bangsa yang besar ini menyelesaikan masalah itu, jadi saya kira memotret masalah dengan betul itu sudah langkah awal yang sangat baik, bayangkan kalau potretnya keliru langkahnya juga akan keliru, jadi saya kira alhamdulillah potret yang sudah dibuat oleh BKPPI timur tengah dan sekitarnya sudah betul, sudah akurat.
Rekomendasi apa yang selayaknya diberikan konferensi BKPPI kali ini terhadap pemerintah dan rakyat Indonesia?
Menurut saya harus sedikit menggigit, artinya ingatkan pada bangsa Indonesia dan pemerintahnya kita sudah akan melewati 62 tahun kemerdekaan, tapi kedaulatan nasional kita di bidang ekonomi, politik, hukum itu makin sempoyongan. Kemudian yang kedua kenyataan yang tak terbantahkan adalah bahwa cengkeraman pihak asing di bidang ekonomi, perbankan, pertambangan, permodalan ini memang sudah begitu nampak, jadi kalau hal yang sudah demikian mencolok mata masih belum kita sadari, maka kapan kita akan memutar balik arah perkembangan bangsa ini, jadi jangan lupa rekomendasi itu tentu mengingatkan kita yang sudah akan memperingati proklamasi yang 62 tahun tetapi kenyataan menunjukkan bahwa kebangsaan nasional sudah makin sayup-sayup kemudian kemandirian juga masih di omongan tapi tidak ada dalam kenyataan, kemudian kedaulatan multi dimensional kita sudah digadaikan kepada kekuatan luar.
Apa contoh yang bisa diambil oleh Indonesia dari Negara seperti Iran?
Jadi saya pikir langkah Iran sejak tahun 1979 ketika Imam Khomeini kembali dari pengasingan itu sudah on the right track, sudah betul gitu jadi mengembalikan martabat, marwah, harga diri bangsa Iran kemudian melepaskan dari belenggu imperealisme Amerika, dulu kita mengetahui di zaman Syah, Syah dan Savak itukan telah menggadaikan Iran kedalam supremasi kepentingan barat, sehingga sesungguhnya yang sedang memainkan peranan itu bukan Syah Iran tapi ini adalah pemerintah boneka, nah setelah revolusi Iran, ada kemandirian, kemudian ada inspirasi baru yang diambil dari khazanah Islam sendiri, kemudian revolusi Iran itu bersifat multi dimensional jadi bukan sekedar hukum saja tetapi juga politik, sosial, ekonomi, kemanusiaan dll, dan arahnya itu jelas semakin bagus karena misalnya utang luar negeri Iran itu sangat kecil, hampir tidak berarti untuk Negara sebesar ini, kemudian, relatif ia tidak terlalu tergantung dengan luar negeri, kemudian yang ketiga Iran ini bisa memanfaatkan sumber daya alamnya untuk kepentingan bangsa sendiri bukan seperti Indonesia maaf gitu, jadi disini tidak aneh setiap saya datang ke Iran itu selalu melihat pertumbuhan yang kongkrit, jadi pertumbuhan fisik saja itu semakin bagus jadi apakah jalan-jalan yang makin rapi, rumah-rumah makin bertambah, kemudian gejala fisik saja itu nampak kalau dari tahun ketahun itu semakin bagus, jadi Iran ini sebuah eksperimen Islam di berbagai bidang kehidupan yang menurut saya itu lepas dari berbagai kekurangan dan kelemahannya tapi sudah on the right track, sudah berjalan di rel dengan benar. Dan jadi yang perlu kita tiru saya kira adalah bagaimana sejak pak Khomaini sampai Rafsanjani kepada Khatami sampai sekarang ini Ahmadi Nejad meskipun beda nuansa dan beda penampilan tapi saya kira bottom line nya sama yaitu percaya pada kemampuan nasional, kemampuan bangsa sendiri, dan tidak bergantung pada bangsa lain; apalagi jika usaha untuk mencapai kemampuan nuklir untuk perdamaian ini bisa jadi kenyataan alangkah bahagianya bukan hanya Iran, tapi semua dunia Islam. Sehingga paling tidak kita bisa bicara pada dunia luar bahwa lihatlah secara teknologi ada Pakistan, ada Iran, mungkin negara lain yang juga mampu. Bahkan kemarin ketika saya pergi ke News Room di Iran ini saya melihat bagaimana Sahar, Al Kautsar, Al Alam, itu merupakan sebuah demonstrasi bagaimana ternyata bangsa Muslim seperti Iran ini bisa menampilkan sosok komunikasi modern yang insyaallah tidak kalah dengan BBC, CNN, Fox news dll.
Tentang nuklir Iran, Indonesia yang mendukung penambahan sanksi kepada negara ini apakah menunjukkan ketidak mandirian politik Indonesia itu sendiri?
Jadi memang Indonesia ini sekarang agak malu diri. Jadi di mata rakyatnya pemerintah ini agak drop popularitasnya gara-gara tunduk sama kemauan Amerika. Kita tahu bahwa Security Council adalah kepanjangan tangan dari Amerika jadi begitu kita tunduk kepada dewan keamanan sesungguhnya itu sama saja dengan kita mengekor kepada Amerika. Nah mudah-mudahan tidak akan terulangi pada masa-masa yang akan datang.
Berkenaan dengan peranan ulama di Iran, dominasi peran ulama yang begitu mengakar dan kuat dibanding dengan Indonesia bagaimana anda melihat nilai positif dan negatif dalam dua Negara ini?
Ya saya kira kualitasnya mungkin ya. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada ulama Indonesia memang tradisi intelektual dan berfikir di Iran itu tidak pernah berhenti. Sementara ulama kita sudah terjebak kepada fiqih sehingga Islam kadang-kadang menjadi fiqih, Islam itu bukan pemikiran ijtihadi yang mencari terobosan, mencari pemecahan itu. Tapi untuk menyingkat wawancara ini saya kira cukup saya beri satu contoh saja bagaimana pada tahun 1979 majalah mingguan Time Magazine di Amerika itu mengatakan jangan mencoba berdebat masalah filsafat Yunani dengan Imam Khomeini karena kita pasti kalah. Jadi bayangkan Imam Khomeini ini tradisi filsafatnya bukan sekedar ibnu Rusyd dan ibnu Sina kemudian ulama-ulama dari Islam sendiri tapi ternyata filsafat Socrates, Aristoteles, Plato dan yang klasik Yunani itu juga dipahami. Dan saya pikir kalau saya melihat tulisan-tulisan ayatullah-ayatullah di Iran ini, itu tidak sepihak jadi bukan one sided analysistetapi multi sided analysis karena mereka sudah menggabungkan antara resep-resep Qurani dengan resep-resep yang mutakhir dalam bidang ya katakanlah tinjauan sosiologis, politik, dll seperti peradaban sehingga penampilannya itu memang segar dan bahkan menjadi alternatif penting, alternatif dengan Makrifatbukan Nakirah. Dan saya pikir inilah yang menarik perhatian kita.
Ada sebuah fenomena, yaitu di satu sisi, terutama bagi teman-teman di sini, meskipun kita ingin membangun bangsa, tapi di sisi yang lain muncul banyak kecurigaan dari beberapa pihak yang memang tidak menghendaki kehadiran Syiah di Indonesia. Menurut anda, apakah memang pemikiran Syiah tidak menguntungkan bagi bangsa?
Jadi saya kira begini , anda tidak ush berfikir teknis jadi nanti anda kalau pulang ke tanah air beri ceramah di kampus-kampus tulislah artikel di koran-koran, produksilah buku-buku yang agak tebal yang menunjukkan kehebatan Islam dibandingkan paham-paham lain. Jadi saya lihat bagaimana Ali Syariati menenggelamkan marxisme di Iran ini karena ia menunjukkan resep2 keIslaman secara kreatif sehingga intelektual Iran tidak lagi tertarik kepada marxisme tersebut. Hal seperti ini sesuatu yang normal, sebagaimana kata pepatah tidak ada makan siang yang gratis. Makan siang itupun harus didapat dengan bekerja. Jadi anda jangan takut dituduh syiah dan lain-lain; karena menurut saya . Al Azhar juga dilahirkan oleh dinasti Fatimi yang juga Syiah. Jadi ngga usah lah kita saling tidak percaya.
Satu lagi pak! Menurut bapak sumbangsih real apa yang dapat diberikan pelajar-pelajar Indonesia di luar negri khususnya pelajar2 Indonesia di timur tengah dalam mewujudkan bangsa indonesia yang bersih, mandiri, dan merdeka mengingat lulusan timur tengah masih dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat Indonesia?
Saya kira kalau kita melihat Indonesia dalam sejarah menjelang dan sesudah kemerdekaan itu sangat berhutang budi pada alumni lulusan timur tengah sejak pak Mahmudi Nur, Mukhtar Yahya, yang lebih mutaakhir jangan lupa seperti Abdurrahman Wahid, kemudian Hidayat Nur Wahid, lantas kemudian Alwi Sihab, Quraish Syihab, dan mereka yang tidak sepopuler orang-orang tadi. Mereka adalah orang-orang yang telah memasuki sel-sel kehidupan nasional kita. Jadi yang penting kata kuncinya adalah sesuatu posisi yang kita ambil untuk mengabdi kepada kepentingan agama itu tidak bisa dicapai hanya dengan berpangku tangan. Tetapi caranya kita harus berjuang, berdebat berdiskusi, meyakinkan umat Islam lantas menggelar tradisi intelektual yang lebih longgar dan lebih liberal dalam arti liberal yang bertanggung jawab. Jadi saya tidak setuju kalau dikatakan bahwa kualitas timur tengah kalah dengan alumni dalam negeri. Karena sayapun, walaupun cuma setahun, pernah belajar di Al Azhar dan saya alumni timur tengah juga. Jadi saya melihat mereka yang dibimbing di timur tengah mulai dari Libya Mesir, sampai Pakistan itu sesungguhnya kalau direcord mulai sebelum kemerdekaan itu barang kali jadi berjilid-jilid.
Memang harus kita sadari kita juga tidak bisa ikut terlalu banyak, jadi kita tidak bisa mengharapkan menjadi katakanlah ahli perbankan, ahli ekonomi, ahli pertanian itu ada ahlinya sendiri. Tapi saya yakin yang namanya pemikiran itu memang seperti kereta di depan yang menyeret sebuah bangsa. Jadi menurut saya pemikiran Islam itu kan bergerak terus dan saya tidak malu-malu untuk mengatakan bahwa hutang budi saya ya kepada ayatullah-ayatullah disini itu besar sekali. Jadi ketika saya sekolah di IAIN, kemudian di Chicago, kemudian terbang ke Al- Azhar sebenarnya Islam yang bagus itu Islam yang status quo, itu Islam yang baik yang universal tetapi yang tidak menggerakkan. Tapi Islam di tangan tokoh-tokoh ulama syiah itu menjadi lain, Islam yang moving Islam yang menggerakkan yang merubah gitu dan itu yang saya kira yang kita perlukan. Jadi dari sunni nggak usah malu untuk belajar dari syiah. Tapi juga dari syiah saya kira kalau ada sunni yang bagus juga ambil saja gitu. Jadi tadi ketika di Markaz International Study Islam Iran juga dikatakan, kalau kita melihat di perpustakaan di Iran pun juga 80% lebih buku-bukunya itu karangan sunni. Jadi mengapa orang sunni itu alergi kepada syiah dan sementara syiah juga alergi kepada sunni. Saya kira ini seperti pertarungan komunikasi orang Amerika tidak mau menyiarkan Aljazeera sementara CNN bisa kita nikmati di Mekah dan Madinah juga di Iran. Saya kira yang jelas anda lebih tahu dari saya bahwa nature dari alam itu adalah perubahan jadi kalau filsafat Pancarai semua itu berubah yang tetap itu adah perubahan itu sendiri jadi saya yakin nanti dengan adanya kemajuan zaman ini akan terjadi perubahan kuantitatif kualitatif dan anda ini yang penting terus saja belajar, tekuni ilmu yang anda bidangi itu sehingga kalau bisa setelah kembali ke tanah air itu kemudian tinggal mengimplementasikan apa yang telah diambil di Timur Tengah ini.
Juli 18, 2007
Tokoh-tokoh Nasional Isi Konferensi ke 6 BKPPI dengan Orasi Ilmiah.
Pada pembukaan Konferensi 6 BKPPI ini digelar juga empat
orasi ilmiah dan diskusi dengan mengusung berbagai tema. Orasi ilmiah
pertama dari Prof. Amien Rais sekaligus seremonial pembukaan acara
konferensi BKPPI kali ini diiringi dengan pembacaan doa.
Dalam orasinya mantan ketua MPR ini menjelaskan bahwa
mengapa bangsa Indonesia yang sesungguhnya kaya akan sumber daya alam
dan sumber daya manusianya ini justeru masih tertinggal jauh dibanding
Negara-negara lainnya, ia mengatakan karena Indonesia selama ini telah
kehilangan kemandiriannya. Hilangnya kemandirian ini lanjut Amien,
berdampak pada hilangnya juga kebanggaan nasional. Orang Indonesia di
luar negeri malu untuk mengaku sebagai orang Indonesia ketika ditanya
orang asing. Pada akhirnya karena kemandirian dan kebanggaan terhadap
bangsa sudah hilang maka pelan-pelan kedaulatan bangsa pun akan hilang.
Inilah masalah yang paling fundamental tambahnya, dan
diperlukan keberanian dari para pemimpin bangsa untuk bersikap tegas
terhadap Negara-negara asing yang berusaha melakukan korporatografi
kepada Indonesia yang menjadi penyebab hilangnya kedaulatan ekonomi
bangsa ini.
Dr Bambang Pranowo staff Menhan yang menggantikan Juwono
Sudarsono yang tidak bisa memnuhi undangan panitia konferensi menyoroti
masalah posisi Indonesia di tengah percaturan politik dunia dengan
berbagai ancaman dan tantangannya seperti globalisasi, perdagangan bebas
dan perubahan-perubahan social kemasyarakatan yang terjadi di tengah
masyarakat Indonesia membuktikan pentingnya rasa nasionalisme dan
kecintaan terhadap bangsa sebagai sebuah kekayaan yang perlu
dipertahankan. Sementara itu Husein Heryanto dosen ICAS lebih banyak
mengupas masalah pentingnya budaya dan system nilai masyarakat sebagai
sebuah benteng kokoh pertahanan Indonesia.
Konferensi kali ini diisi pula oleh orasi ilmiah lain dari
Dr. Mashitoh Chusnan dari DEPDIKNAS yang menggantikan Menteri Pendidikan
Bambang Sudibyo yang berhalangan hadir. Dr Mashitoh menyinggung masalah
Human Development Index (HDI) Negara-negara Islam yang lemah khususnya
Indonesia yang saat ini berada pada peringkat 112 dari 175 negara dunia.
Umat Islam di Negara-negara berkembang menurut Dr Mashitoh itu miskin,
bodoh dan dijajah secara ekonomi, pada saat yang sama Negara-negara
Islam yang kaya minyak masih di bayangi masalah hedonisme sehingga belum
bisa mengangkat SDM muslim oleh karena itu lanjutya Negara-negara
muslim termasuk Indonesia dituntut harus segera menguasai IPTEK dan
penguasaan dalam bidang ekonomi sehingga bisa lepas dari keterjajahan
ekonomi Negara-negara barat.
Rektor-rektor beberapa universitas islam di Indonesa yang
dalam konferensi kali berkesempatan menyampaikan orasi mereka lebih
banyak menyoroti masalah alumni Timur Tengah yang masih dipandang
sebelah mata oleh masyarakat Indonesia seperti diungkapkan oleh Rektor
IAIN Wali Songo Semarang Prof. Abdul Jamil.
“Alumni timur tengah yang pulang ke Indonesia merupakan
sebuah resources bagi bangsa tetapi pertanyaannya adalah apakah mereka
mampu mengambil posisi dalam proses national building berbekal ilmu-ilmu
keislaman yang dikantongi dari timur tengah, ditambah lagi dengan
stigma sebagian orang yang mengatakan alumni timur tengah itu pikirannya
belum bisa diajak untuk maju”.
Juli 18, 2007
Konferensi Internasional VI BKPPI Se – Timur Tengah dan Sekitarnya.
Amien Rais: “Sunnah dan Syi’ah adalah madzhab-madzhab yang legitimate dan sah saja dalam Islam
Jumat, 20 Juli 2007.Pada pembukaan Konferensi 6 BKPPI se-Timur Tengah ini digelar juga empat orasi ilmiah dan diskusi dengan mengusung berbagai tema. Orasi ilmiah pertama dari Prof. Amien Rais sekaligus seremonial pembukaan acara konferensi BKPPI kali ini diiringi dengan pembacaan doa. Dalam orasinya mantan ketua MPR ini menjelaskan bahwa mengapa bangsa Indonesia yang sesungguhnya kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusianya ini justeru masih tertinggal jauh dibanding Negara-negara lainnya, ia mengatakan karena Indonesia selama ini telah kehilangan kemandiriannya. Hilangnya kemandirian ini lanjut Amien, berdampak pada hilangnya juga kebanggaan nasional. Orang Indonesia di luar negeri malu untuk mengaku sebagai orang Indonesia ketika ditanya orang asing. Pada akhirnya karena kemandirian dan kebanggaan terhadap bangsa sudah hilang maka pelan-pelan kedaulatan bangsa pun akan hilang. Inilah masalah yang paling fundamental tambahnya, dan diperlukan keberanian dari para pemimpin bangsa untuk bersikap tegas terhadap Negara-negara asing yang berusaha melakukan korporatografi kepada Indonesia yang menjadi penyebab hilangnya kedaulatan ekonomi bangsa ini.
Dr. Bambang Pranowo staff Menhan yang menggantikan Juwono Sudarsono yang tidak bisa memnuhi undangan panitia konferensi menyoroti masalah posisi Indonesia di tengah percaturan politik dunia dengan berbagai ancaman dan tantangannya seperti globalisasi, perdagangan bebas dan perubahan-perubahan social kemasyarakatan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia membuktikan pentingnya rasa nasionalisme dan kecintaan terhadap bangsa sebagai sebuah kekayaan yang perlu dipertahankan.
Sementara itu Husein Heryanto dosen ICAS lebih banyak mengupas masalah pentingnya budaya dan system nilai masyarakat sebagai sebuah benteng kokoh pertahanan Indonesia.
Konferensi kali ini diisi pula oleh orasi ilmiah lain dari Dr. Mashitoh Chusnan dari DEPDIKNAS yang menggantikan Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo yang berhalangan hadir. Dr Mashitoh menyinggung masalah Human Development Index (HDI) Negara -negara Islam yang lemah khususnya Indonesia yang saat ini berada pada peringkat 112 dari 175 negara dunia. Umat Islam di Negara-negara berkembang menurut Dr Mashitoh itu miskin, bodoh dan dijajah secara ekonomi, pada saat yang sama Negara-negara Islam yang kaya minyak masih di bayangi masalah hedonisme sehingga belum bisa mengangkat SDM muslim oleh karena itu lanjutya Negara-negara muslim termasuk Indonesia dituntut harus segera menguasai IPTEK dan penguasaan dalam bidang ekonomi sehingga bisa lepas dari keterjajahan ekonomi Negara-negara barat.
Hadir dalam konferensi beberapa rektor dari universitas kenamaan Islam di Indonesa, Pof.DR.HM Ridwan Nasir.MA [Rektor IAIN Sunan Ampel, Surabaya], Prof. DR. Abdul Jamil [Rektor IAIN Wali Songo, Semarang], Prof. DR. Fuad Amsyari.Phd [Guru Besar Universitas Airlangga/ UNAIR, Surabaya] yang dalam konferensi kali ini berkesempatan menyampaikan orasi, lebih banyak menyoroti masalah alumni Timur Tengah yang masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat Indonesia seperti diungkapkan oleh Rektor IAIN Wali Songo Semarang Prof. Abdul Jamil.“Alumni timur tengah yang pulang ke Indonesia merupakan sebuah resources bagi bangsa tetapi pertanyaannya adalah apakah mereka mampu mengambil posisi dalam proses national building berbekal ilmu-ilmu keislaman yang dikantongi dari timur tengah, ditambah lagi dengan stigma sebagian orang yang mengatakan alumni timur tengah itu pikirannya belum bisa diajak untuk maju”. Demikian statemen beliau dalam salah satu diskusi yang dipandu oleh Muladi Mughni (delegasi Pakistan).
Sementara itu Purkon Hidayat, perwakilan HPI Iran yang satu meja diskusi dengan para rector tersebut lebih banyak menyinggung masalah pola pemikiran barat yang masuk ke wilayah-wilayah pemikiran Islam dan menghegemoni kerangka pemikiran banyak pemikir Islam kemudian menawarkan sebuah solusi atas masalah ini dengan memeprkenalkan figure dan pengalaman Imam Khomeini.
Indonesia Masih Gerbong, Belum Bisa Jadi Lokomotif.
Amien Rais beserta keluarga tiba di Iran Minggu 15 Juli 2007 memenuhi undangan Panitia Pelaksana Konferensi BKPPI Se Timur Tengah dan sekitarnya untuk mengisi orasi ilmiah di acara konferensi ini dan sekaligus membukanya. Amien Rais dalam pembukaan konferensi yang bertemakan “Membangun Kemandirian Bangsa Menuju Indonesia yang Berkeadilan” mengatakan bahwa kewajiban membangun dan merekonstruksi bangsa dan negara pada hakikatnya adalah kewajiban keagamaan dan bukan sekedar kewajiban kewarganegaraan, politik atau keduniaan. “Saya tidak setuju dengan teman yang mengatakan biarlah di dunia ini kita umat Islam menjadi umat pinggiran, umat kalahan dan bangsa-bangsa muslim itu menjadi bangsa pelengkap penderita tapi insyaallah di akhirat kita berbondong-bondong masuk surga, saya kira itu pikiran yang ngawur. Itu adalah manifestation of defeatation, itu adalah manifestasi kebangkrutan, kekalahan, kepecundangan, tidak mau berjuang dan kemudian agama dijadikan opium, dijadikan pelipur lara dan dijadikan candu penenang”. “Sebenarnya kalau kita bergerak membangun bangsa sesungguhnya itu kewajiban qur’aniah dan kewajiban keagamaan kita”. tegasnya.
Bangsa Indonesia sudah sejak lama ingin membangun dirinya, tetapi sampai sejauh ini belum dianggap berhasil dibandingkan negara-negara Asia lainnya yang dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir telah mengalami kemajuan yang cukup pesat seperti India dan Cina. Padahal menurut Amien negara-negara tersebut adalah negara yang tidak beragama dan jelas bukan negara muslim, selain itu negara kita memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah. Tetapi mengapa Indonesia tidak maju-maju juga. Indonesia ini masih gerbong belum bisa menjadi lokomotif, tegasnya. Pertanyaan mengapa Indonesia masih belum bisa sejajar dengan negara-negara lain menurut Amien Rais ada tiga faktor yang menyebabkannya. “Sesuai dengan tema konferensi kita kali ini, selama ini kita sudah agak lama kehilangan kemandirian, jadi self confidence sudah agak lama hilang dari khazanah bangsa Indonesia baik masyarakat umum dan mungkin juga sampai ke pemimpinnya”.
Menurut Amien sebuah bangsa yang telah kehilangan kemandiriannya akan kehilangan juga kebanggaan nasional, jika kedua komponen ini telah hilang maka kehilangan kedaulatan bangsa menjadi sesuatu yang tidak begitu terasa lagi. Ini adalah masalah bottom line, masalah yang paling fundamental, gara gari kita kehilangan kemandirian dan kebanggaan nasional sebenarnya pelan-pelan kita kehilangan kedaulatan nasional di berbagai dimensi kehidupan”. Kedaulatan ekonomi Indonesia adalah salah satu kedaulatan bangsa yang mulai hilang dan memiliki contoh yang mencolok pada kasus Indonesia, dijualnya berbagai asset nasional, pertambangan-pertambangan yang keuntungannya justeru dikuasai asing dan berbagai indikator lain yang menguatkan hal tersebut.
Arsip Konferensi BK-PPI se-Timur Tengah di Qom Iran (Selasa, 17 Juli 2007)
============================================================================
Amien Rais buka Konferensi VI BK-PPI se-Timur Tengah di Iran. | Jul 10, ’08 12:18 AM untuk semuanya |
Qom – Pada pagi yang cerah, di Auditorium Syahid
Sadr, Sekolah Tinggi Imam Khomeini r.a, Qom, Republik Islam Iran digelar
Konferensi VI Badan Kerjasama Persatuan Pelajar Indonesia (BK-PPI)
se-Timur Tengah dan sekitarnya. Tepat Pukul 10.30 acara pembukaan
digelar, nampak Qori Internasional asal Iran melantunkan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan lantunan khas Iran. Setelah pembacaan Al-Qur’an
dilanjutkan sambutan Sekjen BK-PPI se-Timur Tengah, Muktar Ilyas , MA .
Dalam sambutannya, Muktar menegaskan tentang perlunya generasi bangsa
untuk bersatu padu dalam mewujudkan kemandirian bangsa menuju Indonesia
yang berkeadilan. “Telah 62 tahun Indonesia Merdeka, namun Indonesia
belum juga maju-maju dan masih diliputi oleh kemiskinan dan
keterbelakangan, untuk itulah kita sebagai penerus bangsa diwajibkan
untuk menemukan solusi atas hal tersebut”, tegas Muktar. Setelah
sambutan Sekjen BK-PPI se-Timur Tengah, dilanjutkan dengan sambutan
dari Mahdani Mekar, Wakil Markas Jahani, yang banyak menitik beratkan
pada pentingnya nilai independensi dan keadilan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. “Kita sebagai umat Islam sepatutnya untuk
tidak tunduk pada sistem diluar Islam, aplikasikanlah kemuliaan yang
ada dalam jati diri kita, bersatu secara internal dengan akselerasi
dengan kemajuan dan potensi-potensi yang kita miliki”, tutur Mahdani
dalam pidatonya.
“Sebenarnya kalau kita bergerak membangun bangsa sesungguhnya itu kewajiban qur’aniah dan kewajiban keagamaan kita”, tuturnya. paparannya, Amien menitikberatkan posisi Islam sebagai balance (tawazun) yang tidak setengah-setengah membangun bangsa. “Jangan jadi bangsa gerbong, tapi jadilah bangsa lokomotif”, tegasnya sambil mengangkat jari telunjuknya.
Bangsa Indonesia sudah sejak lama ingin membangun dirinya, tetapi sampai sejauh ini belum dianggap berhasil dibandingkan Negara-negara Asia lainnya yang dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir telah mengalami kemajuan yang cukup pesat seperti India dan Cina. Padahal menurut Amien Negara-negara tersebut adalah Negara yang tidak beragama dan jelas bukan Negara muslim, selain itu Negara kita memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah. Tetapi mengapa Indonesia tidak maju-maju juga. Pertanyaan mengapa Indonesia masih belum bisa sejajar dengan Negara-negara lain menurut Amien Rais ada tiga faktor yang menyebabkannya. “Sesuai dengan tema konferensi kita kali ini, selama ini kita sudah agak lama kehilangan kemandirian, jadi self confidence sudah agak lama hilang dari khazanah bangsa Indonesia baik masyarakat umum dan mungkin juga ke pemimpinnya” .
Menurut Amien sebuah bangsa yang telah kehilangan kemandiriannya akan kehilangan juga kebanggaan nasional, jika kedua komponen ini telah hilang maka kehilangan kedaulatan bangsa menjadi sesuatu yang tidak begitu terasa lagi. “Orang Indonesia di luar negeri malu untuk mengaku sebagai orang Indonesia ketika ditanya orang asing”. Lanjutnya. Ini adalah masalah bottom line, masalah yang paling fundamental, -gara kita kehilangan kemandirian dan kebanggaan nasional sebenarnya pelan-pelan kita kehilangan kedaulatan nasional di berbagai dimensi kehidupan”, jelas Amien. Kedaulatan ekonomi Indonesia adalah salah satu kedaulatan bangsa yang mulai hilang dan memiliki contoh yang mencolok pada kasus Indonesia, dijualnya berbagai asset nasional, pertambangan- pertambangan yang keuntungannya justru dikuasai asing dan berbagai indikator lain yang menguatkan hal tersebut. “50,5 % Perbankan Nasional dalam cengkraman pengusaha asing, pada tahun 2004 Indosat pindah ke Tamasec Singapura, Pertambangan emas terbesar di dunia dikuasai oleh Freeport di Papua dan masa kontraknya hingga tahun 2041, Blok Cepu di Jawa telah dikuasai oleh Exon Mobil Amerika hingga masa kontrak 2038, Natuna dengan kekayaan gas alamnya juga dikuasai oleh Exon Mobil dan pengusaha Singapura yang telah berlangsung beberapa tahun lalu”, imbuh Amien.
Dalam Orasi ini pula, Amien mengungkap adanya
fenomena baru DPR dan Pemerintah RI melakukan kolusi
besar-besaran, termasuk dalam kaitannya dalam UU Penanaman Modal.
“Pemodal asing disamakan posisinya dengan penanam modal dalam negeri,
Pasal 22 dinyatakan hak tanah atau hak guna bangunan hingga 99 tahun,
ini sangat riskan, kebijakan yang tidak berpihak pada warga Negara
Indonesia”, tuturnya. Selain fenomena di dalam negeri juga terdapat
fenomena internasional yang tercipta dalam Korporatografi yang
terbungkus dalam penjajahan baru. “Penjajah baru itu adalah Pertama; Big
Coorporation seperti Shell, NewMon, Exon Mobil, Kedua; Big Politic
Power yang motori oleh Washington DC dan London, Ketiga; Big Militer
Power; AS, China, Rusia, Korut dll, Keempat Big Media Power: CNBC, CNN,
Fox, BBC dan lainnya, Kelima: Coopted Elit; adanya professor-professor
yang mengabdi secara penuh kepada korporasi. Keenam; Big Palang Pintu
Power; Venezuela , Turki , Iran dll”, tambahnya.
Diperlukan keberanian dari para pemimpin bangsa untuk
bersikap tegas terhadap Negara-negara asing yang berusaha melakukan
korporatografi kepada Indonesia yang menjadi penyebab hilangnya
kedaulatan ekonomi bangsa ini. “Kita harus membangun Indonesia dengan
Persatuan, seperti pembicaraan saya dengan Pemerintah China , apa
rahasia sukses negeri China ? Pejabat itu berkata: Stop cek cok, bersatu
dan bekerja keras”, tutur Amien. Di akhir orasi, Amien Rais membaca
senandung do’a lalu dilanjutkan dengan pembukaan Konferensi VI BK-PPI
se Timur Tengah dan sekitarnya. pembukaan tersebut hadir pula Kuasa
Usaha ad Interm (KUAI) KBRI Tehran, Atase Pertahanan dan Fungsi
Pensosbud, Staf Menhamkam, Staff Mendikbud, Para rektor dan Dosen
Universitas di Indonesia, dan juga Delegasi PPMI Mesir, PPI Pakistan,
PPI Yaman, PPMI Jordania, PPI India, PPI Syria, PPI Maroko, HPI Iran,
Peninjau dari PPI London serta beberapa peninjau dari cendekiawan Iran.
Amien Rais.
Amien Rais
|
|
---|---|
Masa jabatan 1999–2001 |
|
PRESIDEN | Abdurrahman Wahid |
PENDAHULU | Harmoko |
Masa jabatan 1991–2004 |
|
PRESIDEN | Megawati Soekarnoputri |
PENGGANTI | Hidayat Nur Wahid |
|
|
LAHIR | 26 April 1944 (umur 67) Solo, Jawa Tengah |
PARTAI POLITIK | PAN |
SUAMI/ISTRI | Kusnasriyati Sri Rahayu |
ANAK | Ahmad Hanafi, Hanum Salsabiela, Ahmad Mumtaz, Tasnim Fauzia, Ahmad Baihaqi |
Prof. Dr. H. Amien Rais (lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 April 1944; umur 67 tahun) adalah politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua MPR periode 1999– 2004. Jabatan ini dipegangnya sejak ia dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999 pada bulan Oktober 1999.
Namanya mulai mencuat ke kancah perpolitikan Indonesia pada saat-saat akhir pemerintahan Presiden Soeharto sebagai salah satu orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah. Setelah partai-partai politik dihidupkan lagi pada masa pemerintahan Presiden Habibie, Amien Rais ikut mendeklarasikan Partai Amanat Nasional (PAN). Ia menjabat sebagai Ketua Umum PAN dari saat PAN berdiri sampai tahun 2005.
Sebuah majalah pernah menjulukinya sebagai “King Maker“. Julukan itu merujuk pada besarnya peran Amien Rais dalam menentukan jabatan presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun 2001. Padahal, perolehan suara partainya, PAN, tak sampai 10% dalam pemilu 1999.
Awal karier
Lahir di solo pada 26 April 1944, Amien dibesarkan dalam keluarga aktivisMuhammadiyah yang fanatik. Orangtuanya, aktif di Muhammadiyah cabang Surakarta. Masa belajar Amien banyak dihabiskan di luar negeri. Sejak lulus sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada1968 dan lulus Sarjana Muda Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1969), ia melanglang ke berbagai negara dan baru kembali tahun 1984 dengan menggenggam gelar master (1974) dari Universitas Notre Dame, Indiana, dan gelar doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat.Kembali ke tanah air, Amien kembali ke kampusnya, Universitas Gadjah Madasebagai dosen. Ia bergiat pula dalam Muhammadiyah, ICMI, BPPT, dan beberapa organisasi lain. Pada era menjelang keruntuhan Orde Baru, Amien adalah cendekiawan yang berdiri paling depan. Tak heran ia kerap dijuluki Lokomotif Reformasi.
Terjun ke politik
Akhirnya setelah terlibat langsung dalam proses reformasi, Amien membentuk Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998 dengan platform nasionalis terbuka. Ketika hasil pemilu 1999 tak memuaskan bagi PAN, Amien masih mampu bermain cantik dengan berhasil menjadi ketua MPR.Posisinya tersebut membuat peran Amien begitu besar dalam perjalanan politik Indonesia saat ini. Tahun 1999, Amien urung maju dalam pemilihan presiden. Tahun 2004 ini, ia maju sebagai calon presiden dan meraih hampir 15% suara nasional.
Pada 2006 Amien turut mendukung evaluasi kontrak karya terhadap PT. Freeport Indonesia. Setelah terjadi Peristiwa Abepura, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN)Syamsir Siregar secara tidak langsung menuding Amien Rais dan LSM terlibat dibalik peristiwa ini. Tapi hal ini kemudian dibantah kembali oleh Syamsir Siregar.[1]
Pada Mei 2007, Amien Rais mengakui bahwa semasa kampanye pemilihan umum presiden pada tahun 2004, ia menerima dana non bujeter Departemen Kelautan dan Perikanan dari Menteri Perikanan dan Kelautan Rokhmin Dahuri sebesar Rp 200 juta. Ia sekaligus menuduh bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden lainnya turut menerima dana dari departemen tersebut, termasuk pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang kemudian terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.[2][3]