Arun Gandhi, salah seorang cucu tokoh
besar pejuang kemerdekaan India Mahatma Gandhi, dituntut mundur dari
jabatan sebagai Presiden M.K. Gandhi Institute of Non Violence di
Universitas Rochester oleh kalangan-kalangan lobi pro-Israel. Cucu
Gandhi itu dianggap bersikap “anti-Semit” setelah menulis di Washington Post bahwa, “identitas Yahudi tidak bisa lagi bergantung kepada kekerasan.”
Dalam artikel tersebut, Arun Gandhi, di antaranya, menulis sebagai berikut[1]:
“Identitas keyahudian di masa lalu telah terkunci dalam pengalaman holocaust—sebuah beban bagi Jerman yang orang-orang Yahudi tidak mampu lepaskan. Ini merupakan suatu contoh yang sangat baik dari suatu komunitas yang dapat membesar-besarkan sebuah pengalaman sejarah hingga ke titik dimana ia mulai menolak sahabat-sahabatnya. Holocaust adalah hasil dari pikiran bias seseorang yang mampu mempengaruhi para pengikutnya untuk melakukan sesuatu yang mengerikan. Namun, tampak bagi saya bahwa bangsa Yahudi sekarang ini tidak hanya menghendaki orang-orang Jerman untuk terus merasa bersalah tetapi bahwa seluruh dunia harus menyesali apa yang telah terjadi terhadap bangsa Yahudi. Dunia telah menyesal atas peristiwa tersebut tetapi ketika seseorang atau suatu bangsa menolak untuk memaafkan dan terus melanjutkan (keinginan itu),maka penyesalan itu akan berubah menjadi kemarahan.“Identitas Yahudi itu di masa depan akan tampak pucat. Setiap bangsa yang tertambat di masa lalu tidak akan pernah mampu bergerak ke depan, terutama bagi sebuah bangsa yang percaya bahwa eksistensinya hanya dapat dipastikan oleh senjata dan bom. Di Tel Aviv pada 2004, saya berkesempatan untuk berbicara di depan beberapa anggota parlemen dan para aktivis perdamaian (Israel), di antara mereka ada yang percaya bahwa tembok pemisah dan kekuatan militer diperlukan untuk melindungi bangsa dan orang-orang Yahudi. Dengan kata lain, saya bertanya, apakah anda percaya bahwa anda dapat menciptakan sebuah lubang ular—dengan banyak ular yang sudah mati di dalamnya—dan mengharapkan untuk hidup di dalam lubang itu dengan aman dan damai? Apa maksud anda? Dengan kedigdayaan senjata dan peralatan perang anda serta sikap anda terhadap tetangga anda, bukankah lebih tepat jika dikatakan bahwa anda sejatinya sedang menciptakan sebuah lubang ular? Bagaimana mungkin seseorang hidup dengan damai dalam sebuah atmosfer semacam itu? Bukankah lebih baik anda berteman dengan mereka yang membenci anda?”
Segera saja tulisan Arun itu memicul tuntutan
mundur berikut tekanan dan intimidasi yang diorkestrakan oleh, antara
lain, American Jewish Committee (AJC) dan Anti Defamation League (ADL).
Berkat intimidasi tersebut, Presiden
Universitas Rochester, Joel Seligman, mengatakan bahwa pengunduran diri
adalah tindakan yang pantas. Lantas, ia pun menambahkan,
“Saya terkejut dan sangat menyesalkan pandangan Arun Gandhi itu. Saya
percaya bahwa permintaan maafnya tidaklah cukup untuk menjelaskan
pandangannya, yang secara mendasar tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar
dari Universitas Rochester.”
Jelas Universitas menerima tekanan yang luar
biasa. “Adalah memalukan bahwa sebuah institut perdamaian dipimpin oleh
seorang ekstrimis,” kata Abraham H. Foxman, direktur nasional ADL,
sebuah kelompok internasional yang giat menentang anti-Semitisme.
“Seseorang pasti berharap bahwa cucu dari orang besar (seperti Gandhi)
akan lebih sensitif kepada sejarah Yahudi,” tambah Foxman.
Tak cukup di situ, asosiasi Hindu Amerika
juga ikut-ikut mengecam Arun (Mahatma Gandhi dibunuh oleh seorang
nasionalis Hindu yang memandangnya terlalu toleran terhadap minoritas
Muslim di India). Sebuah bukti betapa kuatnya pengaruh lobi Israel di
negeri Paman Sam itu.
Setelah menyampaikan permintaan maaf, yang
dipandang tidak cukup oleh kelompok-kelompok lobi Israel itu, Arun
Gandhi akhirnya mengundurkan diri dari lembaga yang ia dirikan. Dalam
pernyataan tertulisnya, dia menyatakan:
“Niat saya adalah untuk menghadirkan sebuah diskusi yang sehat tentang semakin menyebarnya kekerasan. Namun jelas, tujuan saya itu tidak tersampaikan. Sebaliknya, tanpa pernah disengaja, kata-kata saya itu menimbulkan kemarahan. Saya sangat menyesali konsekuensi-konsekuensi tersebut.Saya ingin menjadi bagian dari proses penyembuhan. Prinsip-prinsip ‘tanpa kekerasan’ dibangun atas dasar cinta, saling menghormati, saling memahami, dan kasih sayang. Adalah harapan saya yang sejujurnya bahwa situasi ini akan mendorong saya dan juga yang lain untuk bekerja sama mengubah kemarahan serta emosi-emosi yang negatif itu menjadi perasaan saling menghormati dan memahami yang lebih dalam demi membangun komunitas-komunitas yang lebih harmonis.”
John Mearsheimer dan Stephen Walt yang
baru-baru ini menulis tentang lobi Israel di Amerika Serikat, dan juga
menerima kemarahan yang sama dengan Arun, mencoba bersimpati kepada
Arun. Kedua penulis itu menyatakan bahwa Arun akan menghadapi banyak
kesulitan dengan lobi Israel, bahkan jika ia telah memilih kata-katanya
secara cermat, “karena ia telah memilih untuk mengkritik Israel dan para
pendukungnya di Amerika, mereka yang merasakan kepedihan Israel seperti
kepedihan mereka sendiri.”
Mahatma Gandhi tentang konflik Israel-Palestina.
Enam puluh tahun sejak kematiannya, Mahatma
Gandhi masih menjadi duri bagi Zionisme. Dalam pandangannya yang ditulis
dalam harian Harijan pada 1938, Gandhi menyatakan sesuatu yang masih relevan hingga kini:
“Palestina adalah milik orang Palestina seperti halnya Inggris menjadi milik orang Inggris, atau Prancis milik orang Perancis. Adalah suatu kesalahan dan tidak manusiawi untuk memaksakan orang-orang Yahudi atas orang-orang Palestina. Apa yang terjadi di Palestina pada hari ini tidak dapat dijustifikasikan oleh hukum apa pun. Mandat (Inggris atas Palestina) tidaklah memiliki otoritas terkecuali perang yang terakhir (Perang Dunia I). Jelas akan menjadi kejahatan atas kemanusiaan untuk mengurangi orang-orang Palestina sehingga Palestina bisa dijadikan, baik sebagian maupun keseluruhan, sebagai tanah air bangsa Yahudi. Saya tidak memihak orang-orang Palestina. Saya ingin mereka memilih jalan ‘tanpa kekerasan’ dalam merebut apa yang menjadi hak mereka dan melawan kekerasan yang ditimpakan kepada negeri mereka. Menurut norma-norma salah dan benar, tidak ada yang dapat dikatakan untuk menentang resistensi orang-orang Palestina dalam menghadapi keganjilan yang luar biasa ini.”
[1] Arund Gandhi, “Jewish Identity Can’t Depend on Violence”, Washington Post, 7 Januari 2008. [http://newsweek.washingtonpost.com/onfaith/arun_gandhi/2008/01/jewish_identity_in_the_past.html ]