Allah Swt berfirman, Dan kalau
Al-Qur’an itu Kami turunkan kepada salah seorang dari golongan bukan
Arab, lalu ia membacakannya kepada mereka (orang-orang kafir), niscaya
mereka tidak akan beriman kepadanya (QS Al-Syu'ara [26]: 198-199).
Bahasa merupakan media yang paling penting dalam menjalin hubungan dan komunikasi di antara umat manusia.
Allah Swt memandang kemampuan
berbahasa dan bertutur kata sebagai anugerah besar yang diberikan kepada
manusia sebagaimana firman-Nya pada pembukaan surah al-Rahman. Para
nabi yang diutus oleh Allah Swt untuk memberikan petunjuk kepada manusia
harus bertutur kata dan berbicara dengan mereka dengan bahasa kaum
tempat para nabi tersebut diutus. Dengan bahasa kaum tersebut, para nabi
menjelaskan aturan-aturan moral, hukum dan akidah kepada mereka.
Dengan memerhatikan pelbagai
kondisi sebelum pengutusan (bi'tsat) di kalangan Arab, Allah Swt
mengutus Nabi saw kepada kaum Arab, sehingga dengan demikian Nabi saw
harus bertutur kata dengan bahasa mereka dan membawa mukjizat yang dapat
dipahami oleh mereka. Karena itu, Al-Qur’an, sebagai mukjizat Nabi saw,
juga diturunkan dalam bahasa Arab. Meski demikian tipologi esensial
bahasa Arab seperti, struktur, elokuensi dan retorika bahasa Arab tentu
saja tidak boleh diabaikan begitu saja.
Adapun terkait dengan
pertanyaan tentang mengapa Nabi Pamungkas Allah Swt adalah nabi yang
berbahasa Arab, sehingga konsekuensinya bahasa yang digunakan juga
adalah bahasa Arab? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa:
Dengan memerhatikan bahwa
bangsa Arab adalah orang-orang yang fanatik dengan metode, ajaran dan
keturunan mereka (faktor internal penjagaan) dan sepanjang perjalanan
sejarah, tiada satu pun penguasa atau pemerintahan yang dapat memaksa
mereka mengganti bahasanya (tiadanya faktor eksternal) dan tersedianya
pelbagai faktor dalam bahasa Arab untuk menjelaskan berbagai persoalan
dalam format lafaz tanpa adanya ambiguitas dan kekaburan, semenanjung
Hijaz dan bahasa Arab merupakan sebaik-baik jalan pembelaan natural dan
non-adikodrati agama dan penjagaan agama pamungkas dan kitabnya.
Maka itu, salah satu dalil
mengapa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab adalah untuk menjaga dan
memelihara keabadiannya. Salah satu sunnah Ilahi adalah mengutus para
nabi dan rasul kepada manusia untuk memberikan petunjuk kepada mereka.
Para nabi juga—dalam berinteraksi dengan orang-orang yang kepadanya
mereka diutus—menggunakan bahasa kaum tersebut.
Karena bahasa merupakan
satu-satunya media komunikasi antarmanusia dan para nabi pun harus
menggunakan media ini. Tutur kata para nabi dengan bahasa kaum merupakan
salah satu sunnah Ilahi yang pasti.
Allah Swt berfirman, Kami
tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya,
supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka (QS
Ibrahim [23]: 4) Sunnah ini juga berlaku bagi para nabi yang seruannya
mendunia.
Meski diutus untuk memberikan
petunjuk kepada seluruh manusia, seperti para nabi ulul azmi, namun
mereka berkata-kata dengan bahasa sebuah kaum dimana apabila mereka
menggunakan bahasa selain bahasa kaum maka syariat nabi tersebut tidak
akan dipahami oleh masyarakat pengguna bahasa tersebut.
Al-Qur'an merupakan sebuah
hakikat dan realitas metabahasa (di atas bahasa). Sebelum Al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa Arab, ia berada pada sebuah tingkatan wujud
(hakikat) yang pada tingkatan tersebut akal manusia tidak dapat
mencapainya. Allah Swt menurunkan Al-Qur'an dari kediaman aslinya dan
membuatnya dapat dipahami oleh manusia dan mengenakan busana redaksi
Arab padanya. Dengan demikian, manusia dapat mengenal dan mencerap aneka
hakikat yang terpendam di dalamnya.[1]
Karena itu, inti dan pokok
Al-Qur'an berada di atas format bahasa dan terkandung dalam sebuah
bahasa khusus. Namun, terkait dengan persoalan mengapa Al-Qur'an
diturunkan dalam bahasa Arab, maka dalam menjawab persoalan ini harus
dikatakan bahwa: terpisah dari tipologi esensial bahasa Arab yang bahasa
ini merupakan bahasa yang memiliki struktur dan berada di puncak
kefasihan dan retorika di antara bahasa-bahasa yang ada di dunia, Nabi
Saw diutus pada suatu kaum yang berbicara dengan menggunakan bahasa Arab
dan untuk menyampaikan pesan Ilahi, maka beliau harus menunjukkan
sebuah mukjizat yang dapat dipahami oleh masyarakat Arab sehingga mereka
tidak mengingkarinya, beriman kepada Allah Swt dan berupaya untuk
menyebarkan agama.
Akan tetapi, dapat dipahaminya
agama bukan berarti bahwa seluruh al-Qur'an dapat dipahami; lantaran
seluruh hakikatnya tidak terbatas, melainkan bermakna memahami bahasa
dan memahami secara global dari sebagian hakikatnya. Masyarakat jahilah
Arab prapengutusan Nabi Saw, hidup dalam kondisi yang sangat mengenaskan
dan atas dasar ini, Allah Swt mengutus Nabi Saw di kalangan kaum Arab.
Terkait dengan kondisi
masyakarat jahiliah pra-Islam dan kedatangan Rasulullah Saw, Ali As
bersabda, “Allah mengutus Nabi ketika manusia sedang tersesat dalam
kebingungan dan sedang bergerak ke sana sini dalam kejahatan. Hawa nafsu
telah menyelewengkan mereka dan tipu daya telah menyimpangkan mereka.
Kejahilan yang amat sangat
telah membuat mereka menjadi tolol. Mereka dibingungkan oleh
ketidakpastian hal-hal dan kejahatan jahiliah. Kemudian Nabi Saw
berusaha sebaik-baiknya dalam memberikan kepada mereka nasehat yang
tulus. Beliau sendiri berjalan di jalan yang benar dan memanggil
(mereka) kepada kebijaksanaan dan nasehat yang baik.”[2]
Dalam kondisi seperti ini,
yang menjadi penyebab diutusnya Rasulullah Saw di kalangan Arab, karena
itu Al-Qur'an harus disampaikan dalam bahasa Arab, bukan dengan bahasa
lain. Akan tetapi, apa yang penting adalah bahwa pemanfaatan Al-Qur'an
tidak hanya terbatas pada bahasa Arab saja. Allah Swt berfirman, Dan
jika Kami jadikan Al-Qur’an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab,
tentulah mereka mengatakan, “Mengapa jelas ayat-ayatnya? Apakah (patut
Al-Qur’an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab?”
Katakanlah, “Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang
yang beriman. Dan pada telinga orang-orang yang tidak beriman terdapat
sumbatan, sedang Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu
adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS
Fushshilat [41]: 44).
Akan tetapi, boleh jadi
pertanyaan lain mengemuka di sini yaitu mengapa nabi terakhir dari sisi
Allah Swt harus seorang nabi yang berbahasa Arab sehingga kitabnya juga
harus berbahasa Arab? Mengapa bukan bahasa Persia, Inggris dan
seterusnya? Di sini kami memandang perlu menyebutkan beberapa poin
sebelum menjawab pertanyaan ini:
A. Tatkala
persoalan terkait dengan Nabi Pamungkas Saw maka harus ada beberapa
orang yang menerima pesan dan menjaganya dengan baik (faktor internal
yang menjaga).
B. Dari sisi
lain sebagian orang berada pada tataran ingin melenyapkan agama dan para
penjaganya, sebagaimana hal ini kita saksikan pada sejarah seluruh nabi
(faktor eksternal untuk mengubah). Karena itu, solusi untuk berhadapan
dengan dua faktor ini harus dipikirkan sebelumnya.
C. Dari sisi
lain, tidak mesti bahwa untuk menjaga agama dan Al-Qur'an harus
senantiasa—khususnya pascawafatnya Rasulullah saw—melalui mukjizat dan
tindakan-tindakan adikodrati. Dengan memerhatikan beberapa pendahuluan
ini, sekarang mari kita alihkan perhatian pada manusia dan lingkungan
hidup mereka sehingga kita dapat menyaksikan pada lingkungan dan kondisi
yang mana beberapa poin berikut ini cocok diterapkan:
Pertama: Orang-orang
Arab adalah orang-orang yang memiliki fanatisme tinggi terhadap bahasa,
cara, ajaran, metode sedemikian sehingga mereka tidak bisa dipisahkan
dari bahasa dan kebudayaan mereka. Bahkan hingga pada masa kini mereka,
meski dengan adanya serangan propaganda globalisme, tidak rela
melepaskan pakaian (jubah) tradisional mereka (faktor internal).
Kedua: Orang-orang
Arab Hijaz tidak hanya tidak melepaskan bahasa ibu mereka melainkan
sepanjang sejarah, tiada satu pun pemerintahan atau penguasa asing yang
mampu memaksa mereka untuk melupakan bahasa mereka. Artinya, mereka
tidak menerima pengaruh dari luar (tiadanya faktor eksternal untuk
mengubah budaya orang Arab ini).
Ketiga: Bahasa
orang-orang Arab Hijaz dengan banyaknya kata ganti (dhamir, pronomina),
perbedaan kata ganti orang kedua tunggal, kata ganti orang pertama
tunggal, jamak, perbedaan formula maskulin (mudzakkar) dan feminin
(muannats), ragam jumlah kalimat jamak, kata kiasan, dan seterusnya
merupakan beberapa keunggulan bahasa Arab dalam mengekspresikan banyak
persoalan dalam bahasa yang sederhana tanpa adanya ambiguitas dan
kekaburan.
Dengan memerhatikan beberapa
poin di atas, untuk menjaga kelestarian agama pamungkas dan kitabnya,
Semenanjung Hijaz dan bahasa Arab merupakan sebaik-baik jalan untuk
membela agama secara natural dan non-adikodrati. Al-Qur'an dengan aneka
macam daya tarik internalnya, irama dan bacaannya, membuka benak
orang-orang Arab Badui yang mencintai ucapan-ucapan yang sarat makna dan
fasih dan terpelihara dari ragam jenis penyimpangan redaksional dan
literal. Karena itu, diturunkannya Al-Qur'an dalam bahasa Arab adalah
untuk menjaga dan memelihara kelestariannya.[3]
Namun, dapat dikatakan bahwa
turunnya Al-Qur'an dalam bahasa Arab, merupakan kemurahan dan anugerah
bagi orang-orang yang berbahasa Arab. Sekiranya diturunkan bukan dalam
bahasa Arab, maka orang-orang yang berbahasa Arab yang sangat berstrata
tidak akan beriman kepadanya. Allah Swt berfirman, Dan kalau Al-Qur’an
itu Kami turunkan kepada salah seorang dari golongan bukan Arab, lalu ia
membacakannya kepada mereka (orang-orang kafir), niscaya mereka tidak
akan beriman kepadanya (QS Al-Syu'ara [26]: 198-199) []
Catatan Kaki:
[1] Al-Mîzân (Terjemahan Persia), jil. 18, hal. 122-123.
[2] Nahj al-Balâghah, Khotbah 95.
[3] Fashlnâme-ye Bayyinât, No. 27, hal. 38-41.