Almarhum Gus Dur[1] dulu pernah mengatakan Nahdlatul Ulama (NU) itu Syiah minus Imamah, Syiah itu NU plus Imamah. Bukan tanpa alasan statemen itu dilontarkan, memang NU dan Syiah secara budaya memiliki banyak kesamaan.
Di Indonesia pendakwah ajaran Islam tak dapat dipastikan apakah Sunni
atau Syiah yang datang terlebih dahulu, sebagaimana madzhab leluhur para
habib di Hadramaut yang masih diperdebatkan apakah Sunni, Syiah atau
bahkan membuat madzhab sendiri. Karena itulah budaya, simbol-simbol Syiah melekat kuat dengan budaya Sunni di Indonesia. Kecintaan akan keluarga Nabi saw melekat dengan erat, di antaranya; pujian, tawasulan pada para imam Syiah termaktub dalam syair-syair, tarian, dll; hikayat dan cerita kepahlawanan keluarga Nabi saw; tradisi-tradisi yang mirip dengan budaya Syiah, seperti tabot, tahlil arwah hari ke-n, rabo wekasan, primbon, larangan berhajat di bulan suro; istilah-istilah keagamaan, dsb seperti syuro, kenduri, bahkan penamaan hal-hal berbau (maaf) seks pun dengan nama keluarga nabi, seperti tongkat Ali atau rumput Fatimah (padahal kalau menyesuaikan nama aslinya seharusnya terjemahnya adalah tangan Maryam). [2]
NU sebagai salah satu mainstream Sunni di Indonesia menghormati, mengagungkan dan mentaati keturunan Nabi saw, demikian halnya dengan Syiah, bahkan jika mereka berbuat salah pun mereka tetap menaati dan tunduk karena takut kualat, dan sebagainya. Ingat skandal habib pemimpin majelis terbesar kedua di Jakarta?.
NU mengenang dan membacakan manaqib para leluhur guru, kyai-kyai mereka
dan mengadakan haul kewafatan mereka. Begitu juga dengan Syiah. Dalam
mengatasi ayat-ayat mutasyabihat berkenaan dengan Tuhan, kedua golongan ini sama-sama
menakwilkan sesuai dengan posisi Tuhan, bukan memakai arti lahiriah
ayat tersebut. Jika dalam NU ada saudara mereka yang meninggal, mereka
mendoakannya dalam acara tersendiri,
tahlilan. Begitu juga dengan Syiah. NU mengajarkan kebolehan tawasul
dengan orang-orang 'suci' mereka, begitu pula dengan Syiah. NU
menganggap orang-orang suci mereka tetap hidup meski sudah meninggal dan menziarahi kuburan mereka untuk bertawasul dan bertabarruk. NU mengenal tabaruk dengan benda-benda peninggalan atau pemberian orang 'suci' sama halnya dengan Syiah. Poin-poin terakhir di atas itulah yang membuat golongan muslim kecil imporan naik darah lantas mengkafir-musyrikan dan siap-siap menghunuskan pisau untuk mengalirkan darah penganut NU dan Syiah untuk taqarub kepada Allah.
Dua golongan ini, NU dan Syiah memang memiliki banyak kesamaan. Kedua-keduanya
sudah dicap sesat dan kafir oleh kelompok Islam kecil lainnya. Tak
jarang untuk mengadu domba dan mempertajam perseteruan kedua kelompok
ini dan, Syiah dan Sunni, ada oknum yang mengaburkan, mengganti bahkan
menghilangkan redaksi-redaksi dalam kitab-kitab rujukan Sunni-Syiah[3].
Masalah yang seringkali dibentrokkan dengan golongan Sunni adalah imamah Ali dan 11 keturunannya, tahrif al-Quran, doktrin keadilan sahabat nabi, nikah mut’ah, taqiyah, dll.
Masalah yang seringkali dibentrokkan dengan golongan Sunni adalah imamah Ali dan 11 keturunannya, tahrif al-Quran, doktrin keadilan sahabat nabi, nikah mut’ah, taqiyah, dll.
Keimamahan ahli bayt merupakan salah satu rukun dalam Syiah. Namun bukan berarti orang yang tidak meyakini dan mengikutinya kafir. Begitulah yang dikatakan para imam Syiah. Imam Abu Ja'far, Muhammad Al-Baqir as, berkata, seperti tercantum dalam Shahih Hamran bin A'yan: "Agama
Islam dinilai dari segala yang tampak dari perbuatan dan ucapan. Yakni
yang dianut oleh kelompok-kelompok kaum Muslim dari semua firqah
(aliran). Atas dasar itu terjamin nyawa mereka, dan atas dasar itu
berlangsung pengalihan harta warisan. Dengan itu pula dilangsungkan
hubungan pernikahan. Demikian pula pelaksanaan shalat, zakat, puasa, dan
haji. Dengan semua itu mereka keluar dari kekufuran dan dimasukkan ke
dalam keimanan."
Mengenai tahrif al-Quran, umat Islam sepakat bahwa hal ini merupakan
masalah besar. Siapapun yang meyakini bahwa al-Quran telah berubah,
baik kurang atau ditambah, maka dihukumi kafir. Sayangnya, pengeritik dan pencela Syiah tidak melihat langsung kondisi sebenarnya di Iran, melihat langsung al-Quran-quran yang tersebar seantero Iran yang sama dengan yang dibawa umat Islam lainnya. Masih ingat dengan “Mukjizat Abad 20: Doktor Cilik Hafal dan Paham Al-Quran” yang best seller di Indonesia, Masih sama kan dengan al-Quran yang dibaca dan dihafal kelompok Sunni?. Adapun riwayat-riwayat hadits, sahabat atau ulama yang mengatakan adanya tahrif al-Quran sebenarnya juga bertebaran tak hanya di kitab-kitab Syiah saja tapi juga ada di kitab-kitab Sunni. Itupun ada yang belum dipastikan sahih riwayatnya atau tidak dan juga tidak menjustifikasi si empunya kitab sebagai penganut tahrif, bahkan mungkin ia menolak mentah-mentah.[4] Jika ada oknum di suatu golongan yang meyakini tahrif, maka itu tidak menegaskan semua golongan itu meyakini tahrif. Baik Sunni maupun Syiah mempunyai oknum yang meyakini adanya tahrif tersebut. Kalau dalam Syiah penganut tahrif al-Quran disebut kelompok Akhbari. Adapun pendukung tahrif di Sunni, pernahkan anda membaca cerita Ibnu Syanbudz dan pengikutnya, ulama besar Sunni ahli al-Quran? [5]
Adapun masalah sahabat, yang perlu dipertanyakan adalah apakah meyakini semua sahabat Nabi saw
itu udul adalah bagian dari iman atau tidak. Jika iya, dan mereka yang
mencela, mengkritik dan melaknat sahabat adalah kafir. Maka bagaimana
dengan para sahabat itu sendiri yang saling mencela melaknat bahkan
membunuh sahabat lainnya. Apa mereka kafir? Jika anda mempelajari
sejarah Islam maka akan anda temukan banyak riwayat valid seperti itu di hampir semua kitab-kitab sejarah umat Islam, baik Sunni maupun Syiah. Jika
menunjukkan dan mengungkapkan kejelekan dan keburukan sahabat merupakan
dosa besar, maka hampir semua pengarang kitab hadits dan sejarah
termasuk orang yang berdosa besar. Maka tak heran jika ada ulama besar hadits yang menganjurkan untuk menutupi hal-hal tersebut untuk menjaga doktrin sahabat itu wajib adil.[6] Dengan
dasar konsep semua sahabat udul itu pula semua peristiwa hitam dan
kelam perseteruan sahabat ditafsirkan dan dijelaskan. Sayyidah Fatimah
tidak pernah marah pada Abu Bakr karena soal perampasan tanah Fadak,
fitnah yang terjadi diantara para sahabat di masa Utsman dikarenakan
provokasi orang Yahudi, bahkan perang yang terjadi antara Ali as dengan
Aisyah, Thalhah dan Zubair adalah karena provokasi Yahudi tersebut. Tak
hanya itu, terkadang kejelekan yang dilakukan oleh para sahabat ditutupi
secara halus. Jika ada riwayat yang menyebutkan nama sahabat yang
berbuat buruk, maka diganti dengan fulan, si a, dll. Jika ada perbuatan
atau perkataan buruk sahabat maka ditulis kadza, sesuatu, dll.
Fitnah buruk lain yang disematkan pada Syiah adalah Syiah mengkafirkan semua sahabat, kecuali 3 orang. Jika Syiah mengkafirkan semua sahabat, lantas siapa yang membantu Ali dalam perang melawan Aisyah, Thalhah, Zubair, madzhab Khawarij, dan Muawiyah. Mau dikemanakan para sahabat nabi yang mati demi membela Islam dan keluarga Nabi saw? Bagi
Syiah sahabat Nabi saw ada yang baik dan ada juga yang buruk. Mereka
yang buruk tidak perlu diikuti. Syiah tidak sekedar menuduh jelek
seorang sahabat tapi mempunyai bukti valid atas keburukan sahabat
tersebut.
Syiah
pembohong, pendusta karena Syiah menganut doktrin taqiyah. Begitulah
yang sering dilontarkan oleh pembenci Syiah. Demikian lekatnya doktrin
taqiyah pada golongan Syiah dan tuduhan jeleknya sampai-sampai ada
guyonan tentang taqiyah golongan Syiah di dunia maya.[7]
Tapi, bagaimana kalau anda ditempatkan pada posisi Syiah. Anda akan dibunuh jika mengungkapkan keyakinan anda yang sebenarnya, apa yang akan anda lakukan? Begitulah awal mula taqiyah sebenarnya. Begitulah tindakan Ammar bin Yasir menghadapi siksaan kaum Quraisy. Begitulah tindakan penganut Syiah selama kurang lebih seabad di masa kerajaan Umayyah. Mereka dibatasi gerakannya, diburu, dan dibunuh bila ketahuan mengikuti jejak Ahli Bait. Bahkan Hasan al-Basri pun dalam meriwayatkan hadis dari Ali as, tidak menyebutkan namanya dalam periwayatan karena kondisi waktu itu yang tidak memungkinkan. Jika demikian apa anda setuju taqiyah?
Tapi, bagaimana kalau anda ditempatkan pada posisi Syiah. Anda akan dibunuh jika mengungkapkan keyakinan anda yang sebenarnya, apa yang akan anda lakukan? Begitulah awal mula taqiyah sebenarnya. Begitulah tindakan Ammar bin Yasir menghadapi siksaan kaum Quraisy. Begitulah tindakan penganut Syiah selama kurang lebih seabad di masa kerajaan Umayyah. Mereka dibatasi gerakannya, diburu, dan dibunuh bila ketahuan mengikuti jejak Ahli Bait. Bahkan Hasan al-Basri pun dalam meriwayatkan hadis dari Ali as, tidak menyebutkan namanya dalam periwayatan karena kondisi waktu itu yang tidak memungkinkan. Jika demikian apa anda setuju taqiyah?
Anda menyamakan mut’ah dengan zina, maka anda salah besar. Ibnu Abbas sampai buta mata dan wafat pun tidak pernah melarang mut’ah atau mencabut pendapatnya tersebut. Karena itulah murid-murid Ibnu Abbas meneruskan pendapatnya.
Di antara mereka adalah Ibnu Juraij, Said bin Jubair, Atha’, Mujahid,
bahkan ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Malik membolehkan
nikah Mut’ah. Jika Syiah meyakini mut’ah masih diperbolehkan, apakah anda akan memprotes? Toh, menurut Syiah mut’ah tetap diperbolehkan Nabi saw dan yang melarang adalah Umar di masa kekhalifahannya dan riwayat tersebut ada di kitab-kitab golongan Sunni dan Syiah.[8]
Semua
poin-poin di atas, baik tuduhan Sunni atau bantahan Syiah terus saja
diulang-ulang sepanjang sejarah Islam, namun semuanya hanya sekedar
tulisan tanpa ada upaya untuk menjaga kedamaian ukhuwah islamiyah
seakan-akan ada pihak-pihak luar dan dalam yang sengaja menjaga
kestabilan perpecahan umat muslim. Akhirnya semua itu berpulang ke dalam
diri anda. seorang hakim harus mendengarkan dua pihak yang bersengketa
baru memutuskan masalahnya, bukan langsung justifikasi tanpa bertabayun
terlebih dahulu. Bukan sekedar cukup menjadi juru dakwah, pemimpin
majelis dengan jutaan pengikut, atau tukang khutbah mingguan untuk dapat
menjustifikasi sekelompok orang menjadi sesat, kafir dan musyrik,
diperlukan sikap yang arif, objektif, ilmiah dan berlaku adil dalam
menanggapi saudara sesama muslim yang berbeda pandangan dengan kita.
“Tidaklah
seseorang melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan kefasikan, dan
tidak pula melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan kekafiran,
melainkan hal itu akan kembali kepadanya apabila yang dituduh ternyata
tidak demikian”. Wa Allah a’laam.
Salam damai, :)
(dari berbagai sumber air)
[1] Dibanding
dengan kakeknya, Gus Dur begitu dekat dengan golongan Syiah. Ketika
terjadi revolusi Iran, Gus Dur mengatakan “Khumayni waliyullah terbesar
abad ini” yang menimbulkan kontroversi di kalangan NU, bahkan dalam
sebuah diskusi Gus Dur juga mempersilakan warga NU untuk masuk ke
madzhab Syi’ah. Sedang K.H. Hasyim Asy’ari ‘menyindir’ Syiah dalam Muqadimah
Qanun Asasi Nahdlatul Ulama menyebutkan “Sampaikan secara
terang-terangan apa yang diperintahkan Allah kepadamu, agar
bid’ah-bid’ah terberantas dari semua orang. Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila fitnah-fitnah dan bid’ah-bid’ah muncul dan sahabat-sahabatku di
caci maki, maka hendaklah orang-orang alim menampilkan ilmunya. Barang
siapa tidak berbuat begitu, maka dia akan terkena laknat Allah, laknat
malaikat dan semua orang.” Bahkan beliau juga melarang santri-santrinya
membaca kitab-kitab Syiah, seperti Naylul Authar, Subulus Salam.
Perbedaan pandangan tersebut merupakan sesuatu yang galib dalam dunia
keilmuan. Imam Ja’far al-Sadiq as mempunyai murid Imam Hanafi yang
membuat madzhab sendiri, Imam Malik juga mempunyai murid Imam Syafii,
yang mempunyai pendapat berbeda dengan gurunya, bahkan konon gara-gara
perbedaan dengan gurunya tersebut Imam Syafi’i meninggal dipukul oleh
pengikut Maliki. Said Aqil Siradj yang lulusan pendidikan Saudi pun
menjadi pembela Syiah, padahal Saudi secara politik dan budaya menganut
faham Wahabi yang jelas-jelas menolak bahkan mengkafirkan Syiah.
Pendapat KH. Ahmad Dahlan juga berbeda dengan pendapat majelis tarjih
Muhammadiyah sesudahnya, beliau memakai qunut subuh, tarawih 20 rakaat,
mengucap usholi dalam niat shalat, dll.
[2]
Bahwa upacara peringatan orang mati/tahlil pada hari ke-3, ke-7, ke-40,
ke-100, dan ke-1000, termasuk khaul, adalah tradisi khas yang
jelas-jelas terpengaruh faham Syiah. Dalam
tahlil dimulai dengan bacaan al-Fatihah kepada Nabi saw dan roh-roh si
mati. Amalan ini menjadi tradisi penganut Syiah dari zaman ke zaman.
Dalam tahlil juga dibacakan ayat 33 dari surah al-‘Ahzab yang diyakini
oleh golongan Syiah sebagai bukti keturunan Ali dan Fatimah adalah
maksum. Demikian
juga dengan perayaan 1 dan 10 Syuro dengan penanda bubur Syuro, tradisi
Rebo Wekasan atau Arba’a Akhir di bulan Safar, tradisi Nisfu Sya’ban,
faham Wahdatul Wujud, Nur Muhammad, larangan berhajat pada bulan Syuro,
pembacaan kasidah-kasidah yang memuji Nabi Muhammad Saw dan ahl al-bait,
dan wirid-wirid yang diamalkan menunjukkan keterkaitan tersebut. Bahkan
istilah kenduri pun, jelas menunjuk kepada pengaruh Syiah karena
dipungut dari bahasa Persia: Kanduri, yakni upacara makan-makan di
Persia untuk memperingati Fatimah Az-Zahro’.
[3]
Di antara kitab yang terbukti ditahrif adalah Nahj al-Balaghah yang
diterbitkan oleh Muhammad Abduh Mesir, kitab-kitab al-Khumayni, seperti
Hukumah Islam, Kasyful Asrar yang diterjemahkan menyimpang dari bahasa
Persia ke Inggris/Arab. Pemalsuan kitab Kasyful Asrar dibongkar oleh Dr.
Ibrahim Dasuki Syata,
pengajar bahasa dan sastra dari Universitas Kairo. Pemalsuan kitab
Hukumah Islam diduga dilakukan penerbit buku milik CIA ke dalam bahasa
Inggris.
[4]
Riwayat-riwayat tahrif al-Quran, baik dari kalangan sahabat maupun
ulama besar, beredar di kitab-kitab Sunni dan Syiah. Di antara yang
berpendapat al-Quran berubah adalah Imam Malik, beliau berkata tentang
sebab gugurnya basmalah pada pembukaan surah Barâ’ah, “Sesungguhnya
ketika bagian awalnya gugur/hilang maka gugur pulalah basmalahnya. Dan
telah tetap bahwa ia sebenarnya menandingi surah al-Baqarah (dalam
panjangnya)”
[5] Ibn
Anbari dan al-Qurthubi menutupi identitas tokoh ini dalam kitabnya.
Namun al-Khatib al-Baghdadi dan Abu Syamah menyebut jelas tokoh besar
Sunni ini. Nama lengkapnya Abu al Hasan Muhammad ibn Ahmad ibn Ayyub al
Muqri’/pakar qira’at, yang dikenal dengan nama Ibnu Syanbûdz/Syannabûdz
al-Baghdâdi (w.328 H). Ia banyak belajar dan menimba ilmu qira’at dari
banyak pakar di berbagai kota besar Islam. Ia telah berkeliling ke
hampir seluruh penjuru negeri Islam untuk menimba ilmu dari para
masyâikh, dan ahli qira’at. Ia sezaman dan satu thabaqah dengan Ibnu
Mujahid (yang membatasi qira’at hanya pada 7 qira’at saja), tetapi ia
lebih luas ilmu dan pengetahuannya, khususnya tentang qira’at dan
sumber-sumbernya, dan ia lebih banyak guru dan masyâikhnya, hanya saja
Ibnu Majahid lebih berkedudukan di sisi penguasa saat itu. Banyak
kalangan ulama qira’at belajar darinya. Abu ‘Amr ad Dâni dan lainnya
mengandalkan sanad qira’at melalui jalurnya. Ibnu Syannabûdz adalah
tsiqah/terpercaya, seorang yang shaleh, konsisten dalam menjalankan
agama dan pakar dalam disiplin ilmu qira’at. Ia meremehkan Ibnu Mujahid
yang tidak pernah melancong ke berbagai negeri untuk menimba ilmu
qira’at. Apabila ada seorang murid datang untuk belajar darinya, ia
menanyainya terlebih dahulu, apakah ia pernah belajar dari Ibnu Mujahid?
Jika pernah maka ia tidak akan mau mengajarinya. Ibnu Mujahid menyimpan
dendam kepadanya, dan menfitnahnya kepada al wazîr/penguasa saat itu
yang bernama Ibnu Muqlah. Ibnu Syannabûdz diadili pengguasa di hadapan
para ulama dan ahli fikih, di antaranya Ibnu Mujahid atas qira’atnya
yang dinilai menyimpang, setelah terjadi perdebatan seru dengan mereka.
Ibnu Muqlah memintanya untuk menghentikan kebiasaannya membaca qira’at
yang syâdzdzah, tetapi ia bersikeras mempertahankannya, dan berbicara
keras kepadanya dan kepada Ibnu Mujahid serta al Qadhi yang dikatakannya
sebagai kurang luas pengetahuan mereka berdua, sehingga Ibnu Muqlah
menderanya dengan beberapa cambukan di punggungnya yang memaksanya
mengakui kesalahannya dan bersedia menghentikan bacaan syâdzdzah-nya.
Ketika Ibnu Muqlah menderanya, Ibnu Syannabûdz mendoakannya agar Allah
memotong tangannya dan mencerai-beraikan urusannya. Tidak lama kemudian,
setelah tiga tahun, tepatnya pada pertengahan bulan Syawal tahun 326 H,
doa itu diperkenankan Allah dan Ibnu Muqlah pun dipotong tangannya oleh
atasannya dan dipenjarakan serta dipersulit kehidupannya. Ia hidup
terhina dan mati dalam sel tahanan pada tahun 328 H, tahun yang sama
dengan tahun wafatnya Ibnu Syannabûdz. Sebagaimana Ibnu Mujahid juga
mati setahun setelah mengadili Ibnu Syannabûdz.
[6] Al-Dzahabi
berkata, “Omongan sesama teman jika terbukti dilontarkan dengan
dorongan hawa nafsu atau fanatisme maka ia tidak perlu dihiraukan. Ia
harus ditutup dan tidak diriwayatkan, sebagaimana telah ditetapkan bahwa
harus menutup-nutupi persengketaan yang terjadi antara para sahabat ra. Dan kita senantiasa melewati hal itu dalam kitab-kitab induk dan juz-juz akan tetapi kebanyakan
darinya adalah terputus sanadnya dan dha’if dan sebagian lainnya palsu.
Dan ia yang ada di tangan kita dan di tangan para ulama kita. Semua itu
harus dilipat dan disembunyikan bahkan harus dimusnahkan.
Dan harus diramaikan kecintaan kepada para sahabat dan mendo’akan agar
mereka diridhai (Allah), dan merahasiakan hal itu (bukti-bukti
persengketaan mereka itu) dari kaum awam dan individu ulama adalah
sebuah kawajiban. Dan mungkin diizinkan bagi sebagian orang ulama yang
obyektif dan jauh dari hawa nafsu untuk mempelajarinya secara rahasia
dengan syarat ia memintakan ampunan bagi mereka (para sahabat) seperti
diajarkan Allah.
[7] Kisah Laporan "Spy" Wahabi Tentang Iran.
Pada suatu hari, agen wahabi mengutus seorang untuk "spy" semua gerak-gerik orang syiah, terutama di Iran, maka diutuslah seorang agen A untuk memulai misi ke Iran. Setelah tiga bulan lamanya sang agen kembali untuk melaporkan hasil mata-matanya. Mari kita lihat apa yang dilaporkannya :
Agen A : Bos ternyata semua orang Iran, mereka itu hidup dalam taqiyah sepanjang waktu dan dimanapun mereka berada.
Bos : maksud kamu ?
Pada suatu hari, agen wahabi mengutus seorang untuk "spy" semua gerak-gerik orang syiah, terutama di Iran, maka diutuslah seorang agen A untuk memulai misi ke Iran. Setelah tiga bulan lamanya sang agen kembali untuk melaporkan hasil mata-matanya. Mari kita lihat apa yang dilaporkannya :
Agen A : Bos ternyata semua orang Iran, mereka itu hidup dalam taqiyah sepanjang waktu dan dimanapun mereka berada.
Bos : maksud kamu ?
Agen A : Setelah sekian lama saya selidiki:
1. Ternyata mereka selalu menyembunyikan Al-Qur'an mereka entah dimana. Segala cara dan upaya telah saya lakukan untuk dapat menemukan Al-Qur'an versi Syiah, tapi tetap saja saya tidak pernah menjumpai dan menemukannya. Setiap saya lihat semua Al-Qur'an di sana sama dengan Al-Qur'an yang kita baca, dan saya tidak pernah menemukan orang yang menjual atau memegang atau menyimpannya di rumah atau di perpustakaan-perpustakaan atau di sekolah-sekolah mereka selain Al-Qur'an seperti yang kita punya. Padahal yang kita belajar dan dengar dari guru-guru kita bahwa Syiah memiliki al-Qur'an sendiri.
2. Mereka juga selalu bersalawat kepada Nabi dan Ahlul Baytnya sepanjang waktu mereka, di hampir setiap akhir dari bacaan gerakan sholat, dalam doa-doa mereka, ketika mereka mendengar nama Rasulullah dan para Imam mereka disebutkan, ketika mereka akan memulai pekerjaan dan berpergian, pokoknya di setiap hari mereka selalu mengumandangkan salawat dan kecintaan kepada Rasulullah dan Ahlul Baytnya seolah-olah mereka tahu bahwa saya sedang memperhatikan mereka. padahal yang saya dengar dari guru-guru kita, bahwa mereka sebenarnya adalah pembenci dan selalu memfitnah ahlul bayt nabi.
3. Setiap hari masyarakat mereka selalu mengutuk dan membenci Amerika dan Zionis, serta musuh-musuh Islam. Dan kesiapan serta doa mereka untuk menjadi dan dibangkitkan sebagai tentara Al-Mahdi dalam melawan Dajjal akhir zaman. Padahal yang saya dengar dari guru-guru kita, bahwa mereka adalah kawan sejati Amerika dan Israel.
4. Ketika saya memasuki kota-kota suci mereka, di setiap hari mereka selalu bergiat dalam ibadah-ibadah serta kajian-kajian keilmuan dan keagamaan, tidak pernah mereka menghabiskan waktu dalam kesia-siaan apalagi mengeluarkan cacian kepada sahabat dan istri nabi. Padahal yang saya dengar dari guru-guru kita, bahwa mereka setiap hari melakukan majlis-majlis cacian kepada sahabat dan isteri nabi.
5. Para mahasiswa dan ilmuwan mereka pun sedang bergiat dalam mengembangkan teknologi, yang setiap saat mereka katakan sebagai kekuatan Islam untuk melawan orang kafir dan musuh Allah, kemajuan yang mereka alami adalah dari hasil anak bangsa dan kemandirian mereka setelah negara mereka mendapat tekanan dan boikot dunia. Padahal yang saya dengar dari guru-guru kita, bahwa mereka sering melakukan kerjasama dan membeli senjata dari Amerika dan Israel.
Demikianlah Bos laporan dari saya tentang orang Iran (Syiah) yang menjalani hidup mereka yang selalu bertaqiyah sepanjang hari dan di tempat manapun mereka berada, sehingga saya tidak pernah menjumpai apa yang guru-guru kita katakan tentang orang Iran (Syiah), mereka selalu bertaqiyah untuk dapat menyembunyikan jati diri mereka di hadapan siapapun, baik teman ataupun musuh-musuh mereka. Dalam pikiran saya terhadap Tuhanpun mereka bertaqiyah, bahkan ketika tidur dan matipun mereka bertaqiyah.
Bos : ???#@!!
[8] Quraisy Shihab memandang bahwa 1. Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah benar Nabi saw pernah mengharamkan nikah mut’ah itu; 2. Larangan Umar bin Khattab terhadap nikah mut’ah bukan pengharaman suatu syariat, tetapi demi menjaga kemaslahatan umat kala itu. 3. Pendapat
yang kompromistis ialah pendapat Syekh Muhammad Thahir bin Asyur, mufti
Tunisia yang mengatakan bahwa Nabi SAW dua kali mengizinkan nikah
mut’ah dan dua kali melarangnya. Larangan ini bukan pembatalan, tetapi
penyesuaian dengan kondisi, kebutuhan yang mendesak atau darurat. Maka
nikah mut’ah itu hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat, seperti
bepergian jauh atau perang dan tidak membawa istri.
Lihat Rujukan disini: