Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Kajian Wayang. Show all posts
Showing posts with label Kajian Wayang. Show all posts

Arjuna Terus


Raja Astina Prabu Suyudana berkenan duduk di singgasana kerajaan, dihadap oleh Pandita Praja Dhahyang Durna, Adipati Karna, Patih Sakuni, saudara-saudara raja tampak juga Raden Arya Dursusana, Raden Arya Kartamarma, Raden Arya Jayadrata, Raden Arya Durmagati, Raden Arya Citraksa dan Raden Arya Citraksi. Konon di pasewakan Prabu Suyudana menguraikan keheranannya perihal berita yang tersiar bahwasanya saudaranya Pandawa mengalami keelokan-keelokan kehidupannya, yang tak lain tentu atas perkenan dewa.

Untuk jangan sampai raja selalu dirundung keheranan, dikeluarkanlah perintah untuk menyelidiki kebenaran berita tersebut. Tugas diberikan kepada Patih Arya Sakuni, Dipati Karna beserta para Korawa. Selesai perintah raja, pertemuan di pasewakan pada waktu itu segera dibubarkan. Raja meninggalkan pasewakan, selanjutnya berkenan bertemu dengan permaisuri Dewi Banowati. Kepada sang Permaisuri dijelaskan, bahwasanya atas kehendak raja telah diutus Patih Sakuni, Dipati Karna dan para Korawa pergi ke praja Amarta, untuk menyatakan kebenaran berita, bahwasanya Pandawa mengalami keelokan-keelokan dalam kehidupannya.

Konon Sri Kresna raja di negara Dwarawati sangat rindu kepada adik-adiknya Pandawa, kepada mereka yang menghadapnya, yalah putra mahkota Raden Arya Samba, Raden Arya Setyaaka dan Raden Arya Setyaki, Patih Udawa diperintahkan untuk tetap berada di istana. Sesuai titah raja, segera Sri Kresna melaju ke praja Amarta.

Di Kerajaan Guwamiring, Prabu Jatayaksa sedang mengadakan perembukan dengan Patih Jataketu, dan emban raja bernama Jatayaksi. Permasalahan berkisar kepada tersiarnya berita, bahwasanya raja dari Kerajaan Srawantipura bernama Prabu Sukendra berputra-putri bernama Dyah Sarimaya yang teramat elok parasnya. Raja Guwamiring berketetapan diri untuk melamarnya, kepada punggawa praja ialah dtya tertua bernama Kalameru diserahi tugas menyampaikan surat lamaran ke hadapan raja Srawantipura. Setelah diterima perintah raja, bermohon dirilah Kalameru untuk melaksanakan tugas raja. Kepergiannya disertai wadyabala Kerajaan Guwamiring parjurit andalan raja kesemuanya berwujud raksasa si Kalayaksa, Kalanindita, Kalakarawu. Di pertengahan perjalanannya mereka bertemu dengan wadyabala dari Kerajaan Astina, terjadilah perselisihan rembug sehingga memuncak menjadi peperangan. Wadya yaksa terpaksa mundur tak tahan menghadapi wadyabala Astina, namun kedua-duanya menyadari tak perlunya dilanjutkan perselisihan tersebut, sehingga kedua-duanya pun melanjutkan perjalanannya masing-masing.
Di Gunung Retawu, bermukimlah seorang pertapa yang suci bernama Begawan Abiyasa.Konon pada suatu hari dipacrabakan pertapaan Begawan Abyasa menerima kedatangan cucunya yang bernama Raden Angkawijaya. Ditanyailah Raden Angkawijaya, berdatang sembah menceriterakan bahwasanya kedatangannya di pertapaan diutus ayahandanya ialah Raden Arjuna dengan maksud mohon doa restu terkabulkanlah apa yang dicita-citakan ayahandanya. Seetlah sang Begawan memberikan jawaban seperlunya, kepada Raden Angkawijaya dipersiapkan segara meninggalkan pertapaan Wukir Retawu, untuk segera kembali diiringikan Kyai Semar, Nalagareng, dan Petruk.

Di Kerajaan Srawantipura Prabu Sukendra membicarakan perihal keadaan putra-putrinya yang bernama Dyah Sarimaya dengan Patih Kalakismaya. Raja bersabda, " Wahai Kakanda Patih Kalakismaya, alangkah sedihnya keadaan saya ini. Bukanlah aib yang kusandang,melihat putriku Dyah Sarimaya mengandung tak tetntu ayahnya? Justru keadaan ini lebih mempersulit lagi, sebab banyak sudah para ratu lain negeri yang mengajukan lamaran, bagaimana sikapku menghadapi mereka Paman Patih?." Patih Kalakismaya mempersilakan, sebaiknya kepada putri Sarimaya ditanyai saja, bagaimana duduk perkara sebenarnya. Raja menerima usul Patih Kalakismaya, segera menemui putrinya di dalam kraton.

Kepada Dyah Sarimaya raja bertanya," Wahai buah hatiku, Anakku Sarimaya, cobalah berterus-terang ceritakanlah kepada aku, bagaimana asal-mulanya anakku mengandung? Dan siapakah gerangan yang telah berbuat denganmu itu?." Dyah Sarimaya dengan berterus-terang melaporkan keadaan dirinya dari awal sampai akhir, bahwasanya sampai dalam keadaan mengandung, sebab bertemu dengan seorang satriya Madukara bernama Raden Arjuna. Agaknya keterangan yang jujur dari putri Sarimaya tak dapat begitu saja diterima oleh Prabu Sukendra. Tampak raja sangat meluap amarahnya, kepada putranya bersabdalah sang Raja, " Wahai Anakku Mayakusuma, coba perhatikan kejadian kakakmu itu, sudah mengandung tak keruan lagi lakinya. Bagiku hidup di dunia ini sudah tak ada gunanya lagi, aib yang kuderita. Tak pantaslah bagi seorang raja yang disegani oleh para raja negeri lain, berputra tak keruan tingkah-lakunya, sebaiknya aku tak suadi melihatnya saja," kepada Raden Mayakusuma dan Patih Kalakismaya diperintahkan untuk segera menghukum Dyah Sarimaya, dengan jalan dibakar hidup-hidup. Perintah segera dilaksanakan, Dyah Sarimaya tampak terbakar di api unggun, namun tak mati. Kelihatan Raden Arjuna di dalam api unggun itu bertemu dengan istrinya ialah Dyah Sarimaya. Setelah berpesan kepada Dyah Sarimaya, Raden Arjuna kembali ke praja Madukara.

Di Kearajaan Amarta, Prabu Puntadewa menerima kedatangan raja Dwarawati Prabu Kresna, tampak juga hadir Raden Arya Wrekodara, Raden Nakula, dan Sadewa. Pembicaraan berkisar perihal Raden Arjuna yang sudah sekian lamanya tak tampak sowan ke praja Amarta. Selagi mereka berbincang-bincang masuklah Adipati Karna dan Patih Arya Sakuni diiringi pula oleh para Korawa. Raden Arya Dursasana, Raden Arya Kartamarma, Raden Arya Durmagati, Raden Arya Jayadrata, Raden Arya Citraka, dan Raden Arya Citraksi. Seluruh yang hadir membulatkan tekad untuk menemui Raden Arjuna di praja Madukara. Raden Arjuna yang bergelar Sang Prabu Arjuna sedang duduk dihadap oleh putra-putranya, Raden Arya Gatutukaca, Raden Angkawijaya, Kyai Semar, Nalagareng, dan Petruk. Hari itu Prabu Arjuna berkenan memberikan perintah, " Wahai Putra-pitraku, hari ini siapa saja yang berkunjung ke Madukara, hendaknya tak melambung keris (senjata)," para putra mengiyakan perintah, pamandanya. Segera Prabu Arjuna masuk kedalam kedaton, para putra berjaga-jaga kalau ada tamu berkunjung ke Madukara. Tak lama datanglah Sri Kresna dan Raden Arya Wrekodara, Raden Arya Gatutkaca berdatang sembah kepada kepada ayahandanya Raden Arya Wrekodara menyampaikan pesan Prabu Arjuna, jika hendak masuk ke Madukara keris harap ditanggalkan. Peringatan yang disampaikan oleh putranya Raden Arya Gatutkaca dianggap oleh Raden Wrekodara agak janggal, tak layak lagi seorang ksatriya menanggalkan kerisnya, apa lagi kelengkapan sopan- santun berbuasana. Dalam benaknya Raden Wrekodara mengguman,

 " Ah, ada-ada saja Arjuna ini ", segera segala peringatan tak diindahkannya, masuklah Raden Arya Wrekodara ke dalam ruangan tamu di praja Madukara.

Namun apa yang terjadi, selagi melangkahi pintu utama, Raden Arya Wrekodara sudah berubah warna, berganti menjadi wujud seorang wanita. Menyadari dirinya telah berubah jenis, undurlah Raden Arya Wrekodara mengurungkan niatnya. Disusul kemudian oleh Sri Kresna, Raden Angkawijaya menyongsongnya, dan berdatang sembah sambil berkata.

" Uwa Prabu Kresna, Ramanda Arjuna berpesan semua tamu yang masuk ke dalam praja Madukara, mohon senjata ditinggalkan"' namun Prabu Kresna pun tak menuruti permintaan Raden Angkawijaya. Selagi memaksa masuk ke dalam, berubah pula keadaan Prabu Kresna menjadi wanita.

Sri Kresna menyadarinya, agaknya merasa malu tak mengindahkan permohonan Raden Angkawijaya, baliklah Sri Kresna dengan tak mengucap sepatah kata pun kepada Raden Angkawijaya. Namun dalam hatinya sangat masgul, apakah gerangan yang terjadi dengan adiknya Arjuna bertingkah sedemikian rupa. Untuk meyakinkan keadaan tersebut, lajulah Sri Kresna terbang menuju ke tempat Dewa Suralaya. Tak lain akan mencari sebab-musabab kejadian tersebut.

Di kadewatan Suralaya, Hyang Girinata berembug dengan Hyang Narada, sabda Hyang Girinata. " Kakanda Narada, apakah gerangan yang menjadikan gara-gara (huru-hara) di lingkungan Suralaya ini?". Hyang Narada melapor pada Hyang Girinata, bahwasanya Suralaya, bahwasanya Suralaya dalam keadaan garagara tak lain dikarenakan Prabu Kresna naik ke kadewatan. Belum usai Hyang Narada melapor,
menghadaplah Sri Kresna kepada Hyang Girinata menceriterakan bahwasanya diretyapada Arjuna
sedang mempertontonkan kesaktiannya, yang tak ubahnya seperti lalaning jagat. (Lalaning Jagad dapat
diartikan bahwasanya Janaka menjadi jagonya para dewa, dikarenakan kesaktiannya ). Hyang Siwah
setelah mendengar laporan Sri Kresna amat murka, Hyang Narada diutusnya kemretyapada untuk menemui
Arjuna, dan berangkatlah Hyang Narada melakukan tugas tersebut. Sampailah sudah di praja Madukara,
Raden Arya Gatutkaca menyongsong kedatangan Hyang Narada, tak ketinggalan Raden Angkawijaya.
Dengan segala kerendahan hati kedua ksatriya memberitakan perihal segala peraturan tata cara yang
dipesankan oleh ramandanya Prabu Arjuna, ialah barang siapa yang akan memasuki praja Madukara tak
diperkenankan membawa serta senjata pada dirinya. Hyang Narada tentu saja tak dapat menerima
perlakuan peraturan yang sedemikian itu, apa lagi merasa dirinya sebagai seorang dewa dan menjadi
utusan Hyang Girinata. Murkalah Hyang Narada kepada kedua istrinya tersebut, memaksakan dirinya untuk
masuk melangkahi pintu gapura utama Madukara. Apa yang terjadi, tak ubahnya seperti yang terdahulu,
barubah pulalah rupa dari dirinya sudah berubah menjadi wanita segera meninggalkan pura Madukara,
kembali melapor ke Suralaya. Adapun Sri Kresna bersama-sama Raden Arya Bima, hanya tertegun saja
melihat keadaan demikian itu.

Di Kerajaan Amarta, Sri Yudistira menerima kadatangan Adipati Karna beserta Patih Arya Sakuni dan para
Korawa. Tampak tak jauh dari Sri Yudistira, Raden Nakula, Raden Sadewa. Agaknya setelah tugas
penyelidikan Adipati Karna dan Patih Arya Sakuni cukup membawa bukti-bukti, bermohon dirilah
mereka balik ke nagara Astina.

Konon Sekermbalinya Hyang Narada dari Madukara, Hyang Siwah segera turun kemretyapada untuk
menemui Arjuna, tak lupa Hyang Narada tutut serta mengiringinya. Di pura Madukara Raden Arjuna yang
sedang dihadap oleh Raden Gatutkaca,, Raden Angkawijaya menerima kedatangan Hyang Siwah dan Hyang Narada. Setelah bertatap muka dengan Arjuna, Hyang Siwah menyadarinya bahwasanya bukan Arjuna, yang dihadapinya, malainkan Sang Hyang Jati wisesa. Bersujudlah Hyang Siwah di hadapan Sang Hyang Jatiwisesa, dan setelah diberi uraian dan penjelasan, bermohon dirilah Hyang Siwah untuk kembali ke kahyangan Suralaya beserta Hyang Narada. Sri Kresna dan Raden Wrekodra yang hadir pula di pura Madukara diberitahu oleh Sang Hyang Jatiwisesa, bahwasanya sesungguhnya Raden Arjuna menjadi lelananging jagat jagonya para dewa dalam membrantas kejahatan-kejahatan di dunia ini. Setelahberpesan, Hyang Jatiwisesa meninggalkan tubuh Arjubnam kembalilah dalam keadaan sebenarnya. Parakeluarga merangkul Raden Arjuna, seisi pura Madukara diliputi kebahagiaan. Namun suasana yang hanggarbinggar itu tak berlangsung lama. Justru para Korawa yang dipimpin oleh Adipati Karna mengadakan pembakaran. Banyak bangunan di Madukara yang terbakar, Raden Arya Gatutkaca dan Raden Angkawijaya diperintahkan untuk mengundurkan musuh yang ternyata mereka saudara sendiri, dari Korawa. Kadua ksatriya mengamuk bagaikan banteng yang terluka, para Korawa tak tahan menghadapi ulah kedua ksatriya tersebut dalam medan laga. Ajhirnya mundurlah mereka kembali ke negara Astina.

Kembalilah pura Madukara diliputi kesenangan, Sri Kresna setelah melepaskan rindunya kepada Raden
Arjuna berkenan mohon diri kembali ke negara Dwarawati. Raden Arya Wrekodara pergi ke praja Amarta
untuk melapor kepada Raja Yudistira, perihal kejadian-kejadian tersebut.

Cerita Lakon Wayang Part: 140

Suryaputra Rabi


Syahdan raja Mandraka prabu salya duduk di singgasana dihadap oleh putra mahkota raden Rukmarata dan patih praja bernama Tuhayata. Raja membicarakan perihal perkawinan putra-putrinya yang bernama Dewi surtikanti dan prabu Jayapitana dari kerajaan Astina.

Selagi mereka berbincang-bincang, datanglah patih Astina Arya Sakuni. Kepada raja dilaporkan perihal persiapan Prabu Jayapitana mengenahi akan perkawinannya dengan putra-putri raja, dan berdatang sembah memohon kapan kiranya temanten lelkai dapat diarak untuk dipertemukan dengan calon temanten perempuan. Raja menjawanya, bahwasanya sebelum dipertemukan, prabu Jayapitana harus melaksanakan permintaan syarat perkawinan puterinya, ialah diadakan patah (pengiringtemanten) temanten, ialah seorang ksatria rupawan , dan tiada lagi cacat pada dirinya. Manakala persyaratan telah diwujudkan, setiap saat prabu Jayapitana akan dipertemukan dengan Dewi Surtikanti. Banyak para tamu yang menyaksikannya, antara lain prabu Baladewa raja Mandura, raja Amarta prabu Puntadewa beserta sudara-sudaranya, ialah raden arya Werkudara, raden Pinten dan Tansen. Setelah raja bersabda, mundurlah patih skauni kembali ke praja Astina. Raja pun segera kembali ke dalam kraton, menemui prameswari Dewi Setyawati. Kepadanya diuraikan apa yang telah terjadi dipasewakan, usai raja berbincang-bincang, lajulah ke sasana pambojanan, diiringkan oleh permaisuri, tak ketinggalan putra-putrinya Dewi Banowati.

Para tamu bersinggah dipemondokan mandraka, yang dipersiapkan oleh patih Tuhayata.

Di praja Petapralaya, prabu Radeya mengadakan perembugan dengan putranya yang bernama raden Suryanirada, Dewi Suryawati dan patih praja ialah Druwajaya. Masalahnya berkisar perihal lolosnya putra sulung raja, yang bernama raden Suryaputra, sebab kepadanya pernah diajukan saran, hendaknya mempersiapkan diri untuk dikawinkan. Agaknya raden Suryaputra pergi meninggalkan praja Petapralaya, dengan alasan tidak atau belum berkehendak dikawinkan oleh ayahanda raja. Kepada patih Druwajaya diperintahkan untuk melacak kepergian raden Suryaputra, sekaligus menemukan membawanya kembali ke praja. Patih segera memohon diri, untuk segera melaksanakan tugasnya.

Tersebutlah raja yaksa bernama prabu Kalakarna, negaranya bernama Awangga. Raja yaksa sangat jatuh hati kepada putra-putrinya raja Mandraka Dewi Surtikanti. Semula raja bermaksud akan pergi sendiri ke praja Mandraka Dewi Surtikanti. Semula raja bermaksud akan pergi sendiri ke praja Mandraka, tetapi pengasuh raja yang setia bernama Kidanganti menyarankan, sebaiknya mengirimkan duta terlebih dahulu, sekaligus untuk menyampaikan surat lamaran raja. Prabu kalakarna menyetujuinya, dan kepada yaksa Kalakurenda, beserta teman-temannyaa Kalamamrang, Kalagutaka, diperintahkan untuk segera berangkat. Dalam perjalanannya bertemulah para yaksa dengan wadyabala Mandraka, terjadilah perselisihan dan peperangan, tetapi kedua-duanya berusaha menghindarkan diri sehingga kedua-duanya melanjutkan perjalanannya masing-masing.

Resi Abiyasa dipertapaannya Wukir Retawu, dihadap oleh cucundanya bernama raden pamadi, tak lupa turut serta Kyai Semar, Nalagareng, dan Petruk. Resi Abiyasa menyarankan kepada raden Pamadi untuk segera kembali ke praja dikarenakan akan besar manfaatnya. Kembalilah raden Pamadi diikuti oleh panakawan, ditengah hutan bertemu dengan para yaksa dari Awangga, sehingga terjadilah peperangan. Raden Pamade dapat mebunuhnya, dan lajulah raden Pamade menuju Amarta.

Di Kahyangan Jonggringsalaka, Hyang Girinata yang sedang dihadap oleh para dewa, tampak hadir resi Narada, sa\ng Hyang Brahma, Hyang Panyarikan. Hyang Girinata bersabda kepada Narada, hendaknya segera turun ke Marcapada untuk meberikan anugerah pusaka yang bernama Kunta kepada raden Pamade. Turunlah Narada ke Madyapada dengan membawa senjata Kunta, untuk dianugerahkan kepada raden Pamade.

Di kaki gunung Jamurdipa, raden Suryaputra yang sedang bertapa, didatangi resi Narada, yang mengiranya raden Pamade. Kepada Raden Suryaputra yang dikira raden Pamade , resi Narada menguraikan maksudnya, bahwa kedatangannya tak lain diutus oleh Hyang Girinata untuk menemuinya dan memberikan anugerah dewa senjata sakti berwujud Kunta, namanya Wijayadanu. Setelah raden Suryaputra menerima pemberian dewa, kepada resi Narada mengakulah bahwasanya dia bukan raden Pamade, melainkan putra raja Petapralaya, dan dia sendiri bernama raden Suryaputra. Resi Narada merasakan kekeliruannya, dan berusaha minta kembali saenjata skti berwujud panah tersebut. Raden Suryaputra mempertahankan sehingga hanya tempatnya saja yang dapat direbut oleh narada, selanjutnya kembalilah sang resi ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melapor kepada Hyang Girinata. Raden Suryaputra bertemu dengan patih Druwajaya, dan mereka melanjutkan perjalannya.

Patih sakuni melapor kepada prabu Kurupati yang disaksikan pula oleh para kurawa, yakni raden Dursasana, Durmagati Citraksa dan Citraksi, bahwasanya raja Mandraka mengajukan persyaratan kelengkapan temanten laki, adanya patah temanten seorang ksatriya yang rupawan dan lagi pula harus tampa cacat sedikitpun. Prabu Kurupati mendengarkan dengan penuh perhatian, tak ada upaya lain kecuali mengusahakannya. Kepada patih sakuni diperintahkannya Pamade dijadikan patahnya. Berangkatlah raden Sakuni beserta para Korawa menuju ke praja Amarta.
Dewi Kunti yang tinggal di istana Amarta, menerima kedatangan raden Pamade beserta para Pnaakawannya. Tak lama datang pula Sakuni, setelah berdatang sembah diuraikannya maksud dan kehendak prabu Kurupati, bahwasanya raden Pamade dimohon bantuannya untuk bersedia dijadikan patah bagi calon temanten laki, yang tak lain prabu Kurupati. Dewi Kunti memperkenankannya, arya Sakuni memohon diri, kembali ke praja Astina diikuti oleh raden Pamade, dan para Panakawannyaa.

Kedatangannya patih arya Sakuni dengan mebawa pula raden Pamade sangat melegakan hati prabu Kurupati. Segera diperintahkan, untuk mempersiapkan keberangkatannya ke praja Mandraka, tak lupa raden Pamade diikutsertakan sebagai patah.

Di kerajaan mandraka, prabu salya menerima para tamu, ialah prabu Baladewa raja Mandraka, prabu Puntadewa raja Amarta, arya Bratasena, Pinten dan tansen. Raja menerima laporan bahwa pesanggrahan tempat untuk calon temanten laki dan rombongannya telah selesai.

Tak lama datanglah rombongan temanten laki dari Astina, raja Salya menerima calon temanten laki. Kepadanya dan rombongan dari Astina, dan para tamu lainnya segera dipersilahkan untuk beristirahat di pesanggrahan, raden Pamade dibawa langsung menuju ke kradenayon, diserahkan kepada Dewi Banowati.

Dewi Banowati sebenarnya jatuh cinta kepada raden Pamade, demikian pula raden Pamade melayaninya. Kepada Raden Pamade Dewi Banowati menceritakan, bahwa di tempat peraduan kakaknya ialah Dewi Surtikanti terlihat ada seorang ksatriya, yang sengaja ulah asmara dengan sang dewi, tindakan tersebut tak ubahnya sebagai pencuri asmara saja. Raden Pamade yang menerima laporan berusaha untuk mebuktikannya, dan seteklah sampai di kamarnya Dewi Surtikanti, tak ayal lagi memang benar bahwasanya ditempat peraduan sang dewi terlihat ada bayangan manusia berusaha melarikan diri, yang tak lain raden Suryaputra. Raden Pamade segera mengejarnya diikuti oleh raden Bratasena, dan Prabu Baladewa. Peperangan terjadi antara raden Bratasena dan pengikut raden Suryaputra ialah patih Druwajaya, dan raden Suryanirada bertemu dengan prabu Baladewa, akhirnya mereka menghindarkan diri untuk berkumpul dengan raden Suryaputra.

Konon raden Pamade mengejar raden Suryaputra langsung ke praja Petapralaya, diterima oleh Prabu radeya, diskasikan oleh putra-putri raja Dewi suryanawati. Sang Dewi tidak menyangka akan raden pamade yang disangkanya raden Suryaputra. Dengan alasan sudah rindu kepada saudaranya segera dipeluknaya, demikian pula raden Pamade menimbanginya. Kepada raja Radeya, raden Pamade melaporkan bahwasanya sang raden telah memboyongi putri Mandraka, bernama Dewi Surtikanthi sekarang dalam perjalanan ke praja Petapralaya. Raden Pamade mengutarakan maksudnya, untuk menemani sang dewi, dewi Suryanawati dimintakan izin kepada prabu radeya. Raj radeya memperkenankan dan dibawalah sang dewi bersama-sama meninggalkan praja Petapralaya.

Seusai raden Pamade bermohon diri, datanglah raden Suryaputra, tentu saja sang raja terheran-heran, mengapa sang raden cepat kembali. Lebih terheran-heran lagi raden Suryaputra dalam hatinya sudah menyangka bahwasanya tak lain tentu ulah raden Pamade. Kepada ayahandanya diceritakan segala permasalahannya yang menimpa dirinya, dan bermohon diri untuk mengejar raden Pamade. Bertemulah raden Suryaputra dengan raden Pamade yang membawa Dewi Suryanawati, peperangan terjadi. Raden Suryaputra dapat dilukai pelipisnya oleh raden Pamade, selagi mereka berperang rame-ramenya Hyang Narada turun ke bumi untuk melerainya. Kepada mereka dijelaskan, bahwa raden Suryaputra sebenarnya masih saudaranya sendiri, malahan dia yang tertua dari keluarga Pandawa, terlahir satu ibu dari Ibu Kunti. Pada waktu bayi dihanyutkan di samodra, ditemukan oleh Prabu radeya, selanjutnya diangkat sebagai putra pribadi. Kepada raden Pamade diminta bantuannya untuk menyelesaikan perkawinan saudara tuanya, ialah raden Suryaputa yang akan mempersunting putri Mandraka benama Dewi Surtikanthi, dan rtaden Pamade menyanggupkan diri, keduanya berangkat, resi Narada kembali ke kahyangan.

Dewi Surtikanthi yang sendirian ditempat peraduannya dengan didampingi oleh emban malihan ialah raksasa bernama Kidanganti, yang segera mnyergapnya membawa lari snag dewi. Seisi kraton geger, mencari hilangnya sang Dewi Surtikanthi, salah satu inang pengasuhnya segera melapor pada praja perihal hilangnya sang dewi.

Selagi inang melapor, raja sedang menerima kedatangan raden Pamade beserta Surayputra, segera raja memerintahkan kepada Pamade untuk menagkap pencuri dan membawanya kembali Dewi Surtikanthi, raden Pamade menyanggupkan diri dengan permohonan, nantinya jika telah kembali sang dewi dimohonkannya untuk diperjodohkan dengan raden Suryaputra, raja Salya memberikan kesanggupannya, raden Pamade berangkat mencari penyandera sang dewi, diikuti oleh saudara tuanya raden Suryaputra dan raden Burisrawaa.

Datanglah Ditya wanita Kidanganti, Dewi Surtikanthi sgerera diserahkan kepada raja Awangga prabu Kalakarna, sang raja sangat bersukacita menerima Dewi Surtikanthi, segera diperintahkan untuk segera diistirahatkan di iostana kraton Awangga. Akan halnya raden Pamade, raden Suryaputra dan raden Bratasena lebih dahulu berada di Kraton Awangga.


Cerita Lakon Wayang Part: 80

Utara dan Wratsangka Rabi


Prabu Tasikraja dari negara tasikretna menyarankan sehubungan dengan musnanya putrinya Dewi Tirtawati, maka untuk itu perlu diundangkan adanya sayembara, kepada siapa saja yang menemukannya, akan dijodohkan dengan sang Dewi.

Prabu Abiyasa dari negara Astina, menerima kedatangan resi Narada yang menyampaikan pesan Hyang Girinata kepadanya dimintakan bantuannya untuk mengawinkan raden Utara dan wratsangka putera-putera dari negara Wirata. Demikian pula Prabu Abiyasa menerima kedatangan raden Wratsangka tak lain emnceritakan lolosnya raden Utara, untuk itu prabu Abiyasa diminta bantuannya untuk menemukan kembali, dan berangkatlah untuk mencarinya. Bertemulah merejka ditengah hutan dengan raden Utara, prabu Abiyasa menyarankan kepada raden Utara untuk mencari puteri di tasikretna, dengan iringan adiknya Wratsangka, berangkatlah raden Untarea menuju negara tersebut.

Syahdan sipencuri ulung, namanya raden Girikusuma, putera prabu Prawata dari negara Bulukapitu, sedang berusha mendekati Dewi Tirtawati. Dewi tirtawati berkata, akan bersedia melayani segala maksud raden Girikusuma, tetapi minta dimadu dengan adiknya Dewi Sindusari, hal itu disanggupi oleh raden Girikusuma, dan berangkatlah menuju negara Tasikretna.

Prabu tasikraja, menerima kedatangan raden Untara dan raden Wratsangka, yang menyatakan bahwa kedatangan mereka atas anama prabu Abiaysa yang memenuhi permintaan bantuan dari raja Tasikretna, dan kepada sang prabu , oleh raden Untara diuraikannya, bahwasanya malam nanti si pencuri julig, akan memasuki istana lagi, untuk tertangkapnya sipencuri, kepada raden Untara dan Wratsangka, ditugaskan untuk menyelesaikannya.

Pada malam hari, raden Girikusuma, yang akan mencuri Dewi Sindusari, dapat ditangkap oleh raden Untara, Wratsangka, terjadilah peperangan. Girikusuma dapat dienyahkan dan melarikan diri.

Prabu Abiyasa memerintahkan kepada Untara Wratsangka untuk mengejarnya, dan di Bulukapitu raden Girikusuma dapat dikalahkan oleh kedua ksatria Wirata, demikian pula Dewi tirtawati diselamatkan oleh Prabu Abiyasa . Ayahandanya Girikusuma prabu Prawata, mengamuk atas kematian anaknya, tetapi juga dapat dikalahkan oleh raden Untara, Wratsangka.

Prabu tasikraja, menepati janjinya,. Dewi Tirtawati dikimpoikan dengan raden Untara, Dewi Sindusari dengan raden Wratsangka. Demikian pula kedatangan musuh lainnya, dari negara Binggal dapat ditumpas.


Cerita Wayang Part: 54

Fakta atau legenda : Cerita Damarwulan, Menakjinggo dan Puti Kencana Wungu



Damar Wulan (sering juga ditulis Damarwulan) adalah seorang tokoh legenda cerita rakyat Jawa. Kisah Damar Wulan ini cukup populer di tengah masyarakat dan banyak terdapat versi lakon, sendratari ataupun cerita tertulis yang telah dibuat mengenainya.

Berikut ini beberapa cerita mengenai Damar Wulan :

1. Cerita Versi juru kunci[1]
Makam Puteri Campa ternyata letaknya memasuki pemukiman penduduk. Bangunannya masih terawat. Di sana ada tempat tetirahan, makam keluarga Puteri Campa dan abdi kinasih. Sedangkan makam Puteri Campa ada di belakang bersama suaminya, Damarwulan. Ketika jurukunci menyebut nama Damarwulan saya merasa heranan. Rupanya Puteri Campa sebelum menjadi istri Damarwulan telah berdiam di Medan sebagai istri salah seorang pembesar kerajaan. Setelah kerajaan tersebut ditaklukan oleh Majapahit, maka Puteri Campa tersebut menjadi istri Raja Majapahit yang bergelar Brawijaya. Puteri Campa yang merupakan selir raja inilah yang mengandung Raden Patah, raja pertama Kerajaan Demak.

Dikisahkan Damarwulan yang telah beristrikan Anjasmara berhasil mengalahkan Menakjinggo sehingga dinobatkan menjadi Raja Majapahit dan menikah dengan Ratu Kenconowungu. Kekalahan Menakjinggo ini berkat petunjuk dua istri Menakjinggo yang kemudian juga menjadi istri Damarwulan.

Saya masih beranggapan kisah Damarwulan adalah kisah dongeng sehingga masih terheran-heran ketika mendengar dari kisah juru kunci bahwa Damarwulan adalah Brawijaya terakhir yang ditundukkan oleh anaknya sendiri, Raden Patah. Dari kisah sejarah yang masih saya ingat, Prabu Brawijaya kecewa oleh penaklukan anaknya, dan menyatakan bahwa tidak akan ada lagi kerajaan sebesar Majapahit dan Beliau bertitah pada anaknya untuk membiarkannya tetap memeluk agama Hindu.

Menurut juru kunci, Puteri Campa dan suaminya beragama Islam. Menurut pak Koes suaminya masih beragama Hindu, karena saking cintanya dia di makamkan bersama istrinya dan tidak di bakar. Karena pikiran telah bercampur aduk antara khayalan dan realita, saya meragukan kebenaran cerita si juru kunci.

2. Cerita Versi Sri Adi Oetomo (Budayawan & Pemerhati Sejarah Blambangan)[2].
Menurut ceritera, Prabu Menakjinggo yang dianggap sebagai raja Blambangan yang telah berani meminang Sri Ratu Kencanawungu atau (Prabu Kenya) dianggap kekuasaan serta telah melakukan kejahatan yang berlebih- lebihan, karena maharani Majapahit itu seharusnya dihormati dan dimuliakannya sebagai Ratunya. Sedang kedua permaisurinya, yakni Dewi Waita dan Dewi Puyengan juga dilukiskan sebagai wanita pengkhianat yang tidak memiliki kesetiaan terhadap suami dan negara. Itulah sebabnya kerajaan yang diperintah oleh Prabu Menakjinggo dianggap sebagai lambang kejahatan yang disebut “Kerajaan Blambangan”.

Sementara itu ceritera Menakjinggo Damarwulan yang bersumber dari luar daerah Blambangan, maksudnya baik bersumber dari Serat Damarwulan dan Serat Kandha maupun dari Kesenian Langendriyan, lukisan ceriteranya selalu memburuk-burukkan pihak Blambangan, terutama tindakan Prabu Menakjinggo dan perilaku kedua perilmaisurinya, yakni Dewi Waita dan Dewi Puyengan beserta para narapraja dari kerajaan ini. Dalam hal ini jelas bertentangan dengan fakta sejarah, khususnya berbagai peristiwa sejarah yang pernah mewarnai jalannya sejarah Blambangan.

Sebagaimana tersebut di atas bahwa karena perilaku jahat yang berlebih-lebihan yang dilakukan oleh Prabu Menakjinggo beserta kedua permaisuri dan para naraprajanya, sehingga menimbulkan tafsiran bahwa kerajaan yang diperintah oleh Prabu Menakjinggo hanya sebagai perlambang tempat kejahatan yang disebut kerajaan Blambangan, ternyata mengandung makna dan mencakup berbagai hal yang jahat jahat saja. Padahal tafsiran semacam itu juga sangat bertentangan dengan keadaan Blambangan yang sebenarnya, bahkan seharusnya “Blambangan” itu sebagai perlambang kebaikan.

Sampai saat ini masyarakat di tanah air, khususnya masyarakat Banyuwangi ternyata banyak yang masih awam dan berpola pikir tradisional yang lebih cenderung menonjolkan nilai-nilai mithologi dari pada nilai sejarah ini.

Itulah sebabnya berkat kepopuleran Legenda Menakjinggo atau ceritera Menakjinggo Damarwulan, rakyat Blambangan ternyata tidak sedikit yang beranggapan bahwa sebagian lukisan ceriteranya, terutama keberadaan dan peran Menakjinggo diyakini sebagai peristiwa sejarah yang benar-benar pernah terjadi di bumi Blambangan di masa silam. Lebih dari itu sebagaimana telah Menakjinggo ditokohkan sebagai raja Blambangan, bahkan dianggapnya sebagai leluhur dan pahlawan Blambangan. Anggapan dan kepercayaan semacam itu ternyata telah berakar kuat di hati masyarakat, khususnya di hati masyarakat di kawasan ujung paling Timur pulau Jawa ini.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut secara tepat atau paling tidak sudah mendekati kebenaran faktanya, perlu dibuktikan dengan mempelajari secara seksama berbagai buku sejarah, terutama sejarah Blambangan dan khususnya berbagai buku Babad Blambangan. Padahal dalam berbagai buku sejarah, khususnya sejarah Blambangan ternyata tidak pernah diketemukan nama atau sebutan Menakjinggo yang dimaksud. Memang, sebagaimana yang pernah diketengahkan bahwa sebutan Menakjinggo, terutama asal-usulnya dapat ditelusuri dan diketemukan dalam dua buah “Dongeng Rakyat” (Folklore), akan tetapi diantara satu sumber itu dengan yang sumber terdapat perbedaan yang cukup mendasar mengenai riwayat hidup dan peran Menakjinggo dalam uraian ceriteranya. Dongeng rakyat yang disebut “Bambang Menak”, mengisahkan asal usul Menakjinggo, yakni merupakan (keturunan) dari Adipati Macuet atau (Adipati Jinggo) dari Gua Siluman hasil perkawinannya dengan Putri Tunjungsari dari pedepokan Wendit. Putra Sang Adipati ini ketika masih bocah diberi nama “Bambang Menak” yang ternyata diasuh oleh Ki Hajar Pamengger di pedepokan Gunung Pipit. Setelah menduduki jabatan Adipati Gua Siluman, Bambang Menak bergelar Adipati Menakjinggo. Gelarnya itu ternyata merupakan perpaduan dari dua nama yang diambil dari namanya sendiri, yakni Bambang Menak dan nama ayah kandungnya yang pada waktu itu menjadi musuh dan dapat dibunuhnya, yakni Adipati Jinggo atau Adipati Macuet dari Gua Siluman.

Dari satu sumber lain, yakni ceritera Kebomarcuet dengan Dongeng Jaka Umbaran mengisahkan antara lain bahwa Menak Subali Patih Majapahit yang mengadakan pemberontakan terhadap Prabu Bhrawijaya ternyata dapat ditundukkan dan dibunuh oleh Kebomarcuet utusan Majapahit yang berasal dari Alas Purwa. Ki Patih Menak Subali yang tewas di medan laga dengan meninggalkan seorang isteri yang bernama Jinggowati sedang mengandung tua. Setelah melahirkan, putra mendiang Ki Patih itu diberi nama Jaka Umbaran yang selanjutnya diasuh oleh Ki Ajar Pamengger. Setelah dewasa, Jaka Umbaran menuntut balas atas kematian mendiang ayahnya dan berhasil membunuh Kebomarcuet, yang selanjutnya juga meneruskan perlawanan terhadap Majapahit dengan maksud untuk menuntut balas atas kematian ayahnya pula kepada Prabu Bhrawijaya. Sebelum mengadakan perlawanan terhadap Majapahit, untuk menyeimbangkan kedudukannya, Jaka Umbaran mengangkat dirinya sebagai raja Blambangan dengan gelar Prabu Menakjinggo yang juga dikenal dengan sebutan Prabu Urubisma. Sedang gelarnya Prabu Menakjinggo itu juga ternyata merupakan perpaduan dari dua nama yang diambil dari nama mendiang ayahnya, yaitu Patih Menak Subali dan nama ibunya Jinggowati.

Sebagaimana yang pernah diketengahkan bahwa asal-usul Menakjinggo yang bersumber dari buku “Babad Mas Sepuh” suntingan Winarsih Partaningrat Arifin dari Babad Blambangan, Edisi : Ecole Prancaise de ‘Extreme-Orient, YBB. 024.95 Jogyakarta, Desember 1995, dalam “Ringkasan Babad Mas Sepuh”, halaman 127 ternyata mengungkapkan antara lain bahwa Pangeran Danureja yang telah menjadi raja Blambangan, setelah lama bertapa mempunyai anak yang diberi nama “Pangeran Menakjinggo” yang juga disebut “Pangeran Mas Sepuh.” Pada halaman tersebut ternyata terdapat “Footnote” yang pada No. I menerangkan antaralain “Jadi nama resmi anak Pangeran Danureja memang Pangeran Menakjinggo” (dalam Babad Wilis disebut Pangeran Jinggo). Sedang sebutan Pangeran Mas Sepuh sebenarnya hanya dipakai orang-orang Bali saja.

Di samping itu ternyata masih terdapat buku Babad Natadiningrat (KBG. 607) juga suntingan Winarsih Partaningrat Arifin yang serupa dengan tersebut di atas, pada halaman 247 dan seterusnya dalam mengungkap tentang asal-usul Menakjinggo ternyata mirip sekali dengan uraian mengenai asal-usul Menakjinggo yang bersumber dari Serat Kandha yang Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Serat Kandha yang sebutan lengkapnya “Serat Kandhaning Ringgit Purwa” Asmaradana pupuh CCCLXXXV, 38 pada gatra (bait) 25 sampai dengan 33 (sembilan bait) yang mengungkapkan tentang asal usul Menakjinggo pada intinya jika disimpulkan antara lain bahwa Adipati pamengger dari Blambangan merasa masygul hatinya setelah diundang dan menghadiri upacara wisuda Dewi Kencanawungu menjadi maharani Majapahit dengan gelar Prabu Kenya. Sang Adipati merasa sangat kecewa megapa selama itu tidak dianugerahi anak seorang pun.

Padahal Dewi Kencanawungu anak perempuan saja ternyata dapat diwisuda oleh ayahnya Prabu Bhrawijaya sebagai raja Majapahit. Dalam merupakan masalah tersebut, Adipati Pamengger tidak didampingi seorang pun baik dari keluarga Kadipaten Blambangan maupun narapraja yang lain, kecuali seekor anjing berwarna merah yang sangat setia mendampingi Ratu Gustinya. Anjing merah milik Adipati Blambangan itu di samping sangat setia ternyata memiliki pengertian layaknya manusia, terutama terhadap Sang Adipati. Dalam hal ini menyebabkan Adipati Pamengger mohon kepada Yang Maha Agung, seandainya anjingnya yang merah itu dapat berubah menjadi manusia pasti akan diambil sebagai putra angkat dan kelak pasti akan diwisuda sebagai Adipati Blambangan untuk menggantikan kedudukannya.

Dalam kisah tersebut, permohonan Adipati pamengger ternyata terkabul dan anjingnya yang sangat setia itu berubah menjadi manusia yang langsung bersembah kepada Sang Adipati. Sayang sekali, manusia yang berasal dari anjing itu tetap bertampang buruk dan wajahnya tetap bermoncong seperti anjing. Sebenarnya Adipati Pamengger sangat menyesal permohonannya itu, akan tetapi setelah berpikir secara mendalam bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah kehendak dan kekuasaan dari Yang Maha Pencipta, Sang Adipati segera memeluk serta memandikan bocah itu dengan memberikan tuah dari pusakanya “Besi Kuning” kemudian memberi nama kepada putra angkatnya itu dengan sebutan “Pangeran Menakjinggo,” yang juga dijanjikan kelak akan diwisuda sebagai Adipati Blambangan untuk menggantikan kedudukan Sang Adipati. Sedang anak angkatnya Pangeran Menakjinggo akan mentaati segala perintah dan petunjuk ayah angkatnya. Setelah diwisuda menjadi Adipati Blambangan, Sang Adipati ternyata mempersunting kedua wanita rupawan dari Baliga dan Bangkalan, yakni Dewi Waita dan Dewi Puyengan sebagai permaisurinya.

Kendati demikian Adipati Menakjinggo masih bermaksud untuk meminang Sri Ratu Kencanawungu Maharani Majapahit untuk dijadikan pendampingnya. Untuk menyeimbangkan kedudukannya, Sang Adipati mengangkat dirinya sebagai raja Blambangan dengan gelar Prabu Menakjinggo yang juga terkenal dengan gelar Prabu Urubismo. Dalam hal ini ayah angkatnya tidak merestuinya, bahkan mencegah maksud Prabu Menakjinggo untuk mempersunting Maharani Majapahit, namun raja Blambangan itu tidak mempedulikan nasihat ayah angkatnya. Itulah sebabnya Ki Pamengger ternyata meninggalkan istana Blambangan untuk bertapa di suatu pegunungan yang akhirnya menjadi pertapa sakti dengan sebutan Ki Ajar Pamengger.
Semua uraian di atas, terutama tentang asal usul Menakjinggo jika disimak secara seksama, telah menunjukkan dengan jelas bahwa keberadaan Menakjinggo saja sudah tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Mana mungkin seorang manusia dari beberapa pasangan suami-isteri, bahkan juga dikisahkan bahwa Menakjinggo itu dicipta dan berasal dari seekor anjing merah. Sedang Pangeran Menakjinggo yang asal-usulnya bersumber dari Babad Blambangan (Babad Mas Sepuh) Yakni sebagai putra Pangeran Danurejo raja Blambangan, riwayat hidup dan perannya dalam perjalanan sejarah Blambangan masih perlu dipertanyakan. Benarkah Pangeran Menakjinggo itu idektik dengan Pangeran Mas sepuh yang dalam Babad Wilis disebut Pangeran Jinggo dan dalam Babad Blambangan dikenal dengan sebutan Pangeran Prabu atau Pangeran Pati II, sedangkan dalam Babad Tawang Alun banyak disebut-sebut sebagai Panger·an Danuningran atau Pangeran Mangkuningrat? Dalam hal ini mengingat bahwa Pangeran Jinggo (Pangeran Mas Sepuh = Pangeran Pati II = Pangeran Danuningrat = Pangeran Mangkuningrat) merupakan raja Blambangan
terakhir (putra PrabuDanurejo) yang memerintah pada tahun 1736 -1764 itu pernah menodai perjalanan sejarah Blambangan, karena Sang prabu satu-satunya raja Blambangan yang pernah bekerjasama dengan Kompeni Belanda, sehingga Prabu Danuningrat terpaksa ditangkap dan dijatuhi hukuman mati dan pada tahun 1766 dibunuh di pantai Seseh/Bali.

Para Menakjinggo tersebut di atas kecuali yang dibunuh di pantai Seseh tersebul, memiliki tindakan dan peran yang serupa, walaupun asal usul masing-masing Menakjinggo itu terdapat perbedaan cukup mendasar. Semua Menakjinggo itu ternyata terlibat peperangan dengan Majapahit yang berakhir bahwa masing-masing Menakjinggo dapat dibunuh dan dipenggal kepalanya oleh Raden Damarwulan utusan Majapahit. Berkat keberhasilannya dalam menumpas pemberontakan di Blambangan Raden Damarwulan dijodohkan dengan Sri Ratu Kencanawunggu dan menggantikan ke dudukannya sebagai raja Majapahit dengan gelar Prabu Bhrawijaya VI (Prabu Mertawijaya). Kendati demikian yang sangat menarik perhatian dalam peperangan antara Blambangan clan Majapahit itu, masing-masing Menakjinggo yang melawan Majapahit itu memiliki motif (sebab-musababnya) berbeda-beda pula. Dengan demikian cukup jelas bahwa keberadaan dan peran Menakjinggo dalam perjalanan sejarah nasional tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, tegasnya Menakjinggo hanya sebagai tokoh fiktif dalam perjalanan sejarah Blambangan.

3. Tokoh Kencana Wungu dalam kisah Damarwulan
Fakta Ratu Majapahit dalam cerita Damar Wulan, Prabu Kenya-dalam cerita biasanya disebut Kencana Wungu-dikaitkan dengan Suhita. Karena itu, Brandes mengaitkan peperangan antara Majapahit dengan Menakjinggo ini dengan Perang Puregreg. Sedangkan ilmuwan lain mengaitkan sosok Ratu Majapahit itu dengan Tribhuwanotunggawijayaawisynuwardhani, dan cerita tentang Perang Blambangan dikaitkan dengan peristiwa Perang Sadeng (lebih lengkapnya lihat CC Berg, Penulisan Sejarah Jawa, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1985, halaman 90-92).

komparasi dan kontras itu dimulai dari fakta Patih Udara mundur, melepaskan diri dari fatamorgana kekuasaan dunia dan masih tetap memegang wibawa pemimpin dan pamor kekuasaan. Setidaknya, kalau dibandingkan dengan Patih Logender, tokoh yang ketiban pulung memegang kekuasaan, tetapi tidak memiliki wibawa pemimpin dan pamor kekuasaan, sehingga kraton dipenuhi pamong yang pandai menjilat dan cuma memperjuangkan kepentingan golongan dan pribadi. Puncaknya, terutama ketika ada ancaman aneksasi oleh Blambangan dengan kedok lamaran Menakjinggo. Jalan keluar dari krisis itu menggelikan, yaitu menyelenggarakan sayembara. Dengan kata lain, memberikan kerajaan dan dirinya kepada sembarang lelaki yang mampu mengalahkan Menakinggo. Jalan keluar yang mengelucak harga diri.

Oleh karena itu, fakta sayembara berhadiah “takhta dan wanodya” ini menunjukkan adanya sebuah fenomena besar di belakang layar. Bahwa Kencana Wungu tak bisa lagi mempercayai pamong dan prajuritnya, sekaligus menggarisbawahi sosok Kencana Wungu yang subordinan meski secara politik dia pemegang kekuasaan tertinggi.

Raja perempuan yang lain adalah Dewi Suhita, yang naik tahta seabad sesudahnya yaitu pada tahun 1429. Ia menggantikan ayahnya Wikramawardana yang konon sempat memilih hidup sebagai seorang brahmana. Jika yang dimaksud dengan Kencanawungu adalah Suhita atau Tribuanatunggadewi maka jelas bahwa Ranggalawe yang diceritakan dalam Serat Damarwulan ini bukanlah Ranggalawe dalam pemberontakan melawan Majapahit, karena meraka hidup di jaman yang berbeda. Ranggalawe gugur pada tahun 1309 sedangkan Tribuanatunggadewi baru memerintah pada tahun 1328 dan Dewi Suhita baru memerintah pada tahun 1429.

Bagaimana dengan tokoh Menakjingga, Adipati Blambangan yang dalam Serat Damarwulan diceritakan diperangi oleh Majapahit karena memberontak dan ingin meminang Kencanawungu. Benarkah Menakjingga tak lain adalah Bhre Wirabumi seperti yang diduga oleh Pigeaud dan Brandes?

Jadi jelas bahwa motif pemberontakan Bhre Wirabumi adalah perebutan tahta, sedangkan dalam Serat Damarwulan diceritakan bahwa motif pemberontakan Menakjingga adalah karena Kencanawungu menolak lamarannya. Jika Bhre Wirabumi adalah Menakjingga, tampaknya agak aneh karena dengan demikian ia bermaksud mempersunting cucunya sendiri.

Kejanggalan lain adalah masalah temporal. Seperti disebut di atas bahwa Dewi Suhita baru memerintah pada tahun 1429 setelah ayahnya Wikramawardana mangkat. Kemungkinan besar bahwa niat Wikramawardana untuk mengangkat Dewi Suhita menggantikan dirinya pada tahun 1400 itu diurungkan setelah terjadi pemberontakan itu, dan putrinya baru benar-benar menjadi raja setelah ia meninggal. Dengan demikian sulit dipahami jika Bhre Wirabumi adalah sama dengan Menak Jingga karena Bhre Wirabumi yang gugur pada saat Perang Paregreg (1404-1406) terjadi pada masa pemerintahan Wikramawardana, sedangkan dalam Serat Damarwulan disebutkan bahwa Menakjingga tewas pada masa pemerintahan Kencanawungu atau Dewi Suhita. Hal ini sekaligus untuk memperjelas lagi bahwa Kencana Wungu dan Suhita sulit untuk diasosiasikan[3].

4. Tokoh damar wulan[4]
Bagaimana dengan tokoh Damarwulan? Benarkan ia sebenarnya adalah Raden Gadjah seperti yang dikemukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Dalam sejarah Perang Paregrek diceritakan bahwa pada awalnya pasukan Majapahit mengalami kekalahan. Kemudian diutuslah Raden Gadjah sebagai panglima perang. Raden Gadjah berhasil mengusir pasukan Blambangan dan membunuh Brhe Wirabumi pada saat ia ingin melarikan diri dengan menumpang sebuah perahu. Raden Gadjah kemudian memenggal kepala Bhre Wirabumi dan dibawa ke Majapahit. Seperti dijelaskan sebelumnya peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Wikramawardana. Hal yang menarik adalah bahwa pada tahun 1433, pada masa pemerintahan Dewi Suhita (1429-1447), Raden Gadjah dihukum mati sebagai pembalasan atas kematian Bhre Wirabumi.

Berdasarkan fakta-fakta di atas maka sulit dipahami jika Raden Gadjah ini disamakan dengan Damarwulan. Karena dalam Serat Damarwulan diceritakan bahwa setelah berhasil membunuh Menak Jingga ia dinobatkan menjadi Raja Majapahit dan mempersunting Kencanawungu sebagai permaisurinya. Hal ini tidak terjadi pada fakta-fakta yang ada tentang riwayat Raden Gadjah. Fakta lain yang dapat membantah asosiasi Raden Dadjah-Damarwulan ini disebutkan bahwa suami Dewi Suhita bukanlah Raden Gadjah tetapi Bhre Prameswara. Apakah Brhe Prameswara ini adalah nama lain dari Raden Gadjah? Tampaknya juga bukan, karena disebutkan bahwa Raden Gadjah dihukum mati pada tahun 1433, sedangkan Bhre Prameswara baru mangkat 13 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1446.

Stutterheim memiliki pandangan lain, bahwa Damarwulan adalah Kertawardana, suami Tribuanatunggadewi yang diasosiasikan dengan Kencanawungu, sedangkan Menakjingga adalah adipati Sadeng. Pendapat Stutterheim ini didasarkan pada Serat Pararaton, dimana didalamnya menyebut Anjasmara sebagai selir Kertawardana. Dalam serat Damarwulan Anjasmara adalah selir Damarwulan, putri Patih Majapahit, Logender, dan memiliki saudara kembar bernama Layangseta dan Layangkumitir.

Pendapat Sutterheim ini mengandung beberapa permasalahan. Memang pada masa pemerintahan Tribuanatunggadewi, Majapahit pernah menghadapi pemberontakan dari Sadeng yang terletak di Besuki yang juga wilayah kekuasaan Blambangan. Namun pemberontakan ini dapat segera dipadamkan karena kecakapan Patih Gadjah Mada. Dalam menumpas pemberontakan Sadeng ini ada persaingan antara Patih Gadjah Mada dengan seorang tokoh yang bernama Ra Kembar. Ra kembar sangat iri kepada Gadjah Mada yang diberi kepercayaan Ratu untuk menumpas pemberontakan ini. Oleh karena itu iapun melakukan upaya-upaya untuk mendapatkan perhatian ratu dengan ikut terlibat dalam penumpasan pemberontakan Sadeng ini. Di akhir pemberontakan Sadeng terjadi duel antara Gadjah Mada dan Ra Kembar yang kemudian ditandai sebagai sebuah episode terpenting dari sejarah Majapahit, karena dalam peristiwa itulah sumpah Gadjah Mada yang terkenal, “Sumpah Palapa” diucapkan. Dalam duel ini Gadjah Mada berhasil mengalahkan Ra Kembar, dan atas jasa-jasanya ia diangkat sebagai Patih Majapahit.

5. KESIMPULAN.
Berdasarkan keterangan di atas cerita Damarwulan, Menakjinggo dan Kencana Wungu kemungkinan memang benar-benar terjadi tapi cerita itu mengalami perubahan, dalam cerita tersebut banyak bagian yang tidak bisa di terima oleh akal, dalam cerita tersebut juga banyak sekali perbedaan antara cerita versi Majapahit dan Blambangan, kemungkinan cerita itu dibuat oleh para pujangga istana untuk menjaga nama penguasanya hal ini biasanya dinamakan Pujosastro.

Cerita-cerita sejarah di Jawa kebanyakan tidak di jelaskan bersama tahunya, jadi sejarah tersebut sangat sulit sekali untuk di lacak kebenarannya. tapi dari upaya-upaya perbandingan di atas maka dapat disimpulkan bahwa rupanya akan sia-sia untuk memaksakan bahwa tokoh-tokoh yang disebutkan dalam Serat Damarwulan, termasuk Adipati Ranggalawe dalam cerita itu, adalah tokoh-tokoh yang tak pernah ada dalam sejarah. Dengan kata lain Serat Damarwulan adalah cerita rekaan saja yang diasosiasikan dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi selama periode kejayaan Majapahit.

Catatan Kaki:
[1] Dialog interaktif dengan juru kunci
[2] Sri Adi Oetomo, dinukil dari Majalah Gema Blambangan, edisikhusus (076-077), 1997. Koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur.
[3] S. Margana, 8 Nov 2010 13:25, http://www.forumbebas.com/printthread.php?tid=145088
[4] S. Margana, 8 Nov 2010 13:25, http://www.forumbebas.com/printthread.php?tid=145088

Terkait Berita: