Kami tidak pernah menyukai peperangan,
Namun kami senantiasa berpikir untuk membela diri,
Karena kami hidup dan cerdas... (Sayyid Ali Khamane’i)
Jihad
merupakan sebuah kata kunci dalam ajaran Islam. Dengan jihad, Islam
mampu mempertahankan dirinya dari ancaman musuh. Jihad juga yang
memberikan semangat pemeluk Islam untuk melakukan dakwah bahkan
ekspansi. Tanpa jihad mungkin Islam hanya tinggal sejarah. Karena dua
fungsi penting inilah teks-teks agama memberikan ganjaran yang
berlipat-lipat bagi mereka yang melakukannya. Bahkan pada
kondisi-kondisi tertentu mereka dikecualikan ketika meninggal. Sebagai
penghormatan, mereka yang meninggal karena berjihad (baca: syahid),
tidak memerlukan kain kafan sebagaimana orang lainnya meninggal,
melainkan ia dikuburkan dengan pakaian yang ada di badannya sebagai
sebuah penghormatan.
Ketika
kedudukan jihad mendapat tempat khusus, maka semestinya ia dikaji lebih
serius. Kesalahan memahaminya akan berdampak sangat serius dalam
kehidupan sehari-hari, bahkan dapat menghancurkan tatanan sosial
masyarakat. Beberapa peristiwa yang terjadi
diklaim sebagai jihad, padahal bila dikaji lebih lanjut jauh dari
substansi jihad itu sendiri. Apa lagi bila melihat politik global yang
berniat mendiskreditkan Islam lewat jihad yang dilakukan secara sembrono
yang pada hakikatnya bukan jihad.
Dalam
makalah ini, penulis ingin menjelaskan lebih lanjut mengenai pandangan
ulama Syi’ah kontemporer tentang jihad di masa kegaiban besar. Makalah
ini ingin menjawab pertanyaan, “Esensi jihad ibtida’i setelah kegaiban Imam Mahdi af, Imam kedua belas Syi’ah dan hubungannya dengan kebebasan beragama”.
Kebanyakan
orang yang tidak memahami konsep Islam tentang jihad memaknainya
sebagai sebuah metode untuk memaksakan agama. Jihad adalah cara ampuh
untuk membuat orang memeluk agama Islam dengan cepat. Tentunya, cara
berpikir ini juga memiliki akar dalam pemikiran Islam. Ibnu Abbas dan
as-Suddi ketika membicarakan masalah kebebasan beragama dalam ayat “Laa
Ikraaha fi ad-Din” mengkhususkannya pada sebagian Ahlul Kitab atau
menganggapnya telah dimansukh. Pandangan ini menunjukkan,
sekalipun pertanyaan ini diketahui oleh mereka, namun usaha untuk
mengompromikan antara kebebasan beragama dan jihad ibtida’i untuk
kaum musyrik dan orang kafir yang bukan Ahul Kitab merupakan sesuatu
yang tidak mungkin. Akhirnya, Ibnu Abbas dan mereka yang punya pandangan
serupa di awal-awal Islam mengambil sebuah kesimpulan bahwa ayat “Laa
ikraaha fi ad-Din” dikhususkan hanya untuk orang kafir Ahlul Kitab,
sementara kepada orang-orang musyrik harus diperangi. Atau ayat
kebebasan beragama telah dimansukh oleh ayat jihad. Yakni, ayat
kebebasan beragama hanya berlaku pada awal-awal masa kenabian dan
setelah turunnya ayat jihad, maka ayat tersebut menjadi mansukh (dihapus) dan tidak dapat dipakai lagi.
Jihad Ibtida’i di Masa Gaib Besar.
Berbeda
dengan Ahli Sunnah, Syi’ah punya kepentingan untuk membahas apakah pada
masa kegaiban Imam Mahdi af. seorang wali fakih memiliki izin untuk
menyerukan jihad ibtida’i atau tidak? Selain teks-teks yang
membicarakan masalah ini, ulama Syi’ah meyakini bahwa jawaban terhadap
persoalan ini dapat menjadi solusi sekian banyak masalah. Bila
jawabannya adalah “iya”, maka keharusan untuk menjelaskan alasan
rasional terhadap isu kebebasan beragama yang dijunjung tinggi oleh
Islam menjadi sebuah tuntutan. Karena adanya izin itu membuat sebuah
negara Islam menjadi ancaman bagi negara-negara lain atau
sekurang-kurangnya bagi pemeluk-pemeluk agama lain. Namun, bila
jawabannya adalah “tidak”, maka yang perlu dilakukan adalah
menjustifikasi jihad ibtida’i yang dilakukan oleh Nabi. Sekalipun justifikasi ini harus dilakukan oleh keduanya, namun pada posisi kedua, seorang muslim, Islam dan negara Islam bukanlah ancaman bagi pemeluk, agama dan negara lain.
Imam Khomeini dalam pandangannya mengakui konsep wilayah mutlak fakih, namun dalam masalah jihad ibtida’i ia mensyaratkan keberadaan Imam yang adil (Imam Mahdi af.). Sebagaimana beliau menjelaskan dalam jihad difa’i
(membela diri) tidak disyaratkan keberadaan Imam yang adil. Cukup
ketika sebuah negara mendapat ancaman, maka kewajiban setiap orang untuk
membela negaranya. Satu hal lagi yang membuat pandangan Imam Khomeini
berbeda dari yang lainnya adalah sekalipun Imam yang adil telah ada,
namun sebagai syarat memulai jihad ibtida’i adalah dengan membentuk pemerintahan. Dengan demikian, jihad ibtida’i dalam Syi’ah hanya akan terpenuhi dengan dua syarat; Pertama, adanya Imam yang adil dan kedua terbentuknya pemerintah[1].
Ayatullah
Shane’i ketika ditanya mengenai apakah kewenangan seorang wali fakih
sama dengan kewenangan Nabi dan para Imam as.? Beliau menjawab, “Sesuai
dengan fatwa Imam Khomeini, ada satu perbedaan; masalah jihad ibtida’i”[2].
Dengan penjelasan ini, Syi’ah pasca kegaiban besar Imam Mahdi af. tidak pernah menjadikan jihad ibtida’i sebagai metode untuk menyebarkan keyakinannya, bahkan lebih dari itu, Syi’ah bukan merupakan ancaman bagi siapapun. Lalu apa?
Justifikasi jihad ibtida’i di mata ulama Syi’ah.
Sekurang-kurangnya ada empat pendapat dalam khazanah pemikiran Syi’ah yang menjelaskan substansi jihad ibtida’i.
Namun, sekalipun ada empat pandangan, keempat-empatnya dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok besar; pertama, dengan memilah Islam
dan iman. Kedua, kesesuaian agama dengan fitrah manusia dan termasuk
hak-hak asasi manusia. Jihad ibtida’i diwajibkan untuk menetapkan agama
sebagai pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia. Keempat pandangan itu
sebagaimana berikut:
1. Pemaksaan Islam lahiriah dan bukan iman batin.
Pendapat
ini diyakini oleh Quthb ad-Din ar-Rawandi (W. 573 H). Ketika Rawandi
dihadapkan pada dua kaidah yang termaktub dalam ayat “Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama (Islam)”. (2:256) dan ayat “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka”. (2:193)
Setelah
meletakkan kedua ayat tersebut secara berdampingan, Rawandi kemudian
menarik sebuah pertanyaan menarik; Paksaan model apa yang lebih dari
membunuh orang bila tidak memeluk agama Islam?
Rawandi
dalam menghadapi pertanyaan ini menyebutkan bahwa tidak ada kontradiksi
antara kedua ayat di atas. Subyek masalah keduanya sejak awal berbeda.
Makna dari tidak adanya paksaan dalam beragama adalah iman. Iman hanya
dapat dicapai dengan kemampuan dan ikhtiar setiap manusia. Iman tidak
dibangun dari paksaan. Yang menarik dari penjelasannya yang panjang
lebar mengenai masalah ini dengan membawakan beberapa ayat al-Quran.
Secara sengaja salah satu ayat tersebut penulis nukilkan; “Maka apakah
kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya?” (10: 99). Beliau menyebutkan sebuah poin penting yang
perlu untuk direnungkan. Pertanyaan yang diajukan oleh al-Quran ini
menyebutkan bahwa pemaksaan untuk memeluk agama adalah mungkin, namun
oleh siapa? Memaksa orang untuk memeluk agama hanya berada di tangan
Allah Yang Maha Kuasa. Alasannya, karena ia menguasai hati setiap
manusia.
Pada
sisi yang lain, jihad yang diwajibkan kepada kaum muslimin agar Islam
menjadi mulia dan undang-undang serta syariat ilahi yang memerintah.
Jelas bahwa ketundukkan orang-orang selain muslim kepada Islam
berhubungan dengan perilaku. Dan perilaku manusia di luar dari masalah
iman yang bingkainya adalah hati. Dengan demikian, perintah jihad
bertujuan agar sikap buruk untuk menyerang dan menguasai kaum muslimin
menjadi terkendali dengan menerima Islam sebagai agama mereka.[3]
Analisa.
Ada
dua poin penting yang disampaikan oleh Rawandi dalam memberikan solusi
di atas. Pertama, ayat tidak ada pemaksaan dalam agama berhubungan
dengan iman, sementara ayat jihad memerintah pemaksaan dalam agama,
namun tidak ada kaitannya dengan iman batin, melainkan iman lahiriah
atau Islam. Kedua, beliau secara jelas meyakini bahwa jihad ibtida’i substansinya adalah jihad difa’i (bela diri). Jihad ibtida’i pada dasarnya adalah usaha membela diri dari serangan dan kejahatan dari orang-orang selain muslim.
Pada
poin pertama, ada masalah sangat mendasar yang lalai dicatat oleh
Rawandi dalam usahanya memilah antara iman dan Islam. Masalah itu ada
pada kebebasan dalam memeluk Islam lahiriah tidak hanya iman batiniah.
Karena kebebasan dalam ayat 256 surat al-Baqarah tidak terkait hanya
dengan iman tetapi dalam memeluk Islam itu sendiri. Ayat bersifat
mutlak; mencakup Islam dan iman. Tentunya, Rawandi akan mengatakan bahwa
kemutlakannya telah dibatasi dengan ayat jihad tadi. Ini juga
bertentangan dengan sebagian ayat-ayat lain yang menjelaskan adanya
kafir dzimmi yang wajib membayar jizyah. Artinya, ayat
jihad juga tidak punya otoritas untuk memaksa seseorang menjadi muslim
karena mereka dapat memilih menjadi kafir dzimmi sebagaimana yang
terjadi di zaman Rasulullah. Dengan demikian, ayat jihad tidak menjadi
pengkhusus ayat kebebasan beragama pada batas Islam lahiriah saja. Ayat
jihad bahkan tidak punya hubungan dengan masalah menjadikan orang lain
sebagai muslim.
Di
samping itu, apa gunanya bagi Islam memaksa orang untuk memeluk Islam
tapi tidak mensyaratkan iman. Padahal, pada pintu awal menjadi seorang
muslim ada sebuah hubungan erat antara Islam dan iman. Seorang akan
disebut muslim karena beriman kepada Allah sebagai pencipta dan Nabi
Muhammad saw sebagai utusan-Nya. Bahkan hasil pemaksaan untuk memeluk
Islam malah menjadi kontra produktif. Karena manusia secara fitrah
diciptakan menginginkan kebebasan. Bila mereka dipaksa untuk memeluk
Islam dan hidup seperti kaum muslimin, maka paksaan itu bagaikan bom
waktu, menunggu kesempatan untuk meledak.
Pada poin kedua, usaha mengembalikan jihad ibtida’i menjadi jihad difa’i patut diacungi jempol. Sayangnya, alasan yang dikemukakan oleh Rawandi terlalu sempit. Beliau menyebutkan bahwa jihad ibtida’i
dilakukan untuk mengamankan masyarakat muslim atau negara Islam dari
kezaliman, kejahatan dan kekuasaan kafir. Dan itu lebih dikhususkan lagi
pada kezaliman yang bersifat lahiriah. Jihad ibtida’i dilakukan
untuk membuat mereka tunduk dan tidak lagi melakukan kezaliman dan
kejahatan terhadap kaum muslimin. Sayangnya, sekali lagi, beliau
menafsirkannya dengan pemaksaan untuk memeluk Islam lahiriah sekalipun
tidak beriman.
Kritikan yang paling tepat adalah ketika beliau membatasi alasan jihad ibtida’i
terhadap orang kafir karena melakukan tindakan kezaliman dan kejahatan
terhadap kaum muslimin atau negara Islam. Dan ditambah lagi kezaliman
dan kejahatan itu bersifat fisik. Sementara bila kita merujuk pada
teks-teks agama, dengan mudah didapatkan bahwa tujuan datangnya Islam
adalah untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Dari
kegelapan kesyirikan dan kekufuran menuju cahaya tauhid. Dari kegelapan
kezaliman dan kejahatan menuju keadilan dan kebaikan. Islam datang tidak
hanya untuk menyentuh sisi fisik manusia, namun juga mentalnya. “Allah
Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan kepada cahaya” (2: 256).
Dengan penjelasan Rawandi, jihad ibtida’i yang substansinya adalah jihad difa’i
hanya bila diserang dan dizalimi. Sementara itu, bila kaum muslimin dan
atau negara Islam tidak diserang, maka tidak ada kewajiban jihad.
Padahal, dengan melihat tujuan datangnya Islam yang mencakup kemazluman
fisik dan mental, Islam juga membela kaum mustadh’afin yang dizalimi
akidah dan agamanya, sekalipun tidak menzalimi fisiknya. Islam
memerintahkan berjihad ibtida’i karena ada hak-hak asasi manusia di sana yang terzalimi dan terinjak-injak.
Dengan
kata lain, jihad ibtida’i lebih umum dari hanya sekedar yang
disampaikan oleh Rawandi. Jihad tidak dimaknai semata-mata untuk membela
diri sebagaimana terjadi dalam sejarah Nabi Muhammad saw. Ada
sebab-sebab lain yang membuat Nabi melakukan jihad. Peperangannya dengan
Yahudi Khaibar lebih dikarenakan mereka membatalkan perjanjian
perdamaian secara sepihak dan setelah itu ikut bersama pasukan Ahzab
menyerang kaum muslimin di Madinah. Yakni, sebab pertama adalah
pembatalan perjanjian perdamaian yang membuat Nabi memerintahkan kaum
muslimin berjihad lalu keikutsertaan mereka dalam perang Ahzab. Mengapa
demikian? Karena sejarah mencatat sekalipun banyak yang ikut dalam
perang Ahzab, namun yang benar-benar berperang hanyalah orang-orang
Quraisy Mekkah, itu pun hanya sekelompok kecil yang dipimpin oleh Amr
bin Abdi Wud yang mampu melompati parit yang digali oleh kaum muslimin.
Yahudi Khabar sekalipun mengikuti kelompok Ahzab, namun tidak secara
langsung terjun ke medan pertempuran berhadap-hadapan dengan pasukan
kaum muslimin.
2. Pemaksaan hak-hak asasi manusia dan bukan keyakinan pribadi.
Di antara pemikir Islam Syi’ah kontemporer, Allamah Thaba’thaba’i adalah yang paling getol berusaha untuk menjelaskan dan membenarkan jihad ibtida’i.
Allamah Thaba’thaba’i membenarkannya dengan alasan membela hak-hak
asasi manusia. Dan untuk itu, beliau menyusun argumentasinya dengan
beberapa prinsip-prinsip berikut ini:
· Akidah tauhid adalah hak setiap manusia.
Sebagaimana
manusia memiliki hak-hak asasi, membela hak-hak tersebut juga merupakan
hak asasinya. Hak-hak asasi memiliki nilai karena nilai manusia itu
sendiri. Salah satu hak asasi manusia adalah akidah tauhid. Penjelasan
prinsip ini dengan baik diberikan oleh Syahid Muthahhari. Beliau
berkata:
“Sebuah
masalah yang patut direnungkan adalah apakah kalimat tauhid “Laa Ilaaha
Illah Allah” merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia atau tidak?
Tauhid sebagaimana kebebasan merupakan bagian dari hak-hak asasi
manusia. Pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia lebih mulia dari
pembelaan terhadap hak-hak pribadi dan ras. Tolok ukur sesuatu lebih
mulia dari yang lainnya bukan dikarenakan ia harus dibela. Sesuatu itu
lebih mulia dikarenakan ia adalah hak. Ketika tolok ukur adalah hak maka
tidak menjadi penting apakah ia adalah hak pribadi atau hak sebuah ras
tertentu. Yang menjadi ukuran adalah membela hak-hak manusia. Sebagai
contoh, kebebasan termasuk hak yang paling mulia dari manusia. Ketika
kebebasan telah menjadi sesuatu yang paling mulia, maka tidak lagi
menjadi penting ia merupakan hak pribadi atau ras tertentu.
Pertanyaannya di sini adalah, bila terjadi kebebasan dipasung di sebuah
tempat yang tidak ada hubungannya dengan kebebasan saya atau ras saya,
apakah membela hak-hak mereka yang terpasung dengan nama membela hak-hak
asasi manusia dapat dibenarkan?”[4]
· Membela hak asasi manusia dibenarkan.
Bila
diterima bahwa akidah tauhid merupakan bagian dari hak-hak asasi
manusia, maka pembelaan terhadapnya dibenarkan. Dan, sekali lagi,
alasannya karena ia merupakan hak yang harus diwujudkan dengan
menghilangkan perintangnya. Sekaitan dengan masalah ini Syahid
Muthahhari berkata:
“Mungkin
saja seseorang secara pribadi hak-haknya tidak dilanggar. Lebih dari
itu, tidak ada pelanggaran atasnya sebagai anggota masyarakat. Namun,
dari sisi kemanusiaan ada hak-haknya yang dilanggar dan ditindas.
Hak-hak yang kembalinya pada kemanusiaan; kondisi di mana ada kebaikan
dan keburukan. Kebaikan yang harus berada di tengah-tengah masyarakat,
sementara keburukan yang harus dienyahkan. Pada kondisi yang seperti
ini, bila seseorang bangkit untuk mengamalkan amar makruf dan nahi
mungkar, maka apa yang dibelanya? Ia tentu tidak sedang membela hak-hak
pribadinya dan tidak sedang membela hak-hak materi masyarakatnya. Ia
sedang membela hak-hak maknawi yang tidak terbatas pada seseorang atau
sebuah negara. Hak maknawi ini berhubungan dengan manusia dan
kemanusiaan dan jihad yang semacam ini harus dipandang sebagai jihad
yang suci. Karena ia membela hak-hak asasi manusia”.[5]
Untuk
menjelaskan lebih jauh masalah ini, Syahid Muthahhari memberikan contoh
dengan mereka yang memerangi kebebasan atas nama pembelaan terhadap
kebebasan. Mereka tahu bahwa kebebasan sebagai hak manusia adalah sebuah
pengertian yang suci. Bila sebuah peperangan dapat dilakukan dengan
alasan membela hak asasi manusia, itu artinya perang karena membela hak
asasi manusia dapat dibenarkan.
· Pemaksaan setelah menyempurnakan argumentasi.
Demi
tegaknya agama yang benar kewajiban yang dimiliki oleh seorang muslim
adalah mengajak manusia untuk memeluknya. Pada kondisi ini, ada beberapa
tahapan yang disampaikan oleh al-Quran; hikmah, nasihat yang baik dan
bantahan dengan cara yang baik (16:125). Sekalipun ketiga cara ini telah
ditempuh, dakwah tidak berhenti karena ketiga cara yang ditunjukkan
dalam ayat di atas bukanlah cara terakhir. Bila dengan cara yang
ditunjukkan di atas telah dilakukan, sementara mereka masih belum juga
memeluk Islam, maka cara terakhir adalah dengan memaksa mereka memasuki
Islam lewat peperangan. Ini juga dalam usaha untuk memenuhi hak-hak
asasi manusia sekaligus pembelaan terhadapnya.
· Pemaksaan agama hanya pengecualian.
Agama
yang benar pasti sesuai dengan fitrah manusia. Oleh karenanya, setiap
manusia yang masih bersih hatinya, secara fitrah pasti akan mencari
agama yang benar. Dan pada kondisi alamiah sebuah masyarakat ditambah
dengan tidak adanya faktor-faktor perusak akidah fitri dan di sisi lain, dakwah
secara sehat dan cerdas telah dilakukan, maka tidak ada alasan untuk
memaksakan agama yang benar kepada siapa pun. Sayangnya, untuk meraih
kondisi natural dan ideal seperti ini terkadang diperlukan sebuah power.
Pada kondisi yang semacam ini, menggunakan kekuatan dalam masalah agama
dan keyakinan mendapat tempat.
Allamah
Thaba’thaba’i ketika menjawab klaim mereka yang meyakini bahwa Islam
disebarkan dengan pedang dan darah agar orang lain memeluk agama Islam
dan tentu saja ini sangat bertentangan dengan dakwah para Nabi. Allamah
Thaba’thaba’i berkata:
“Tauhid
merupakan fondasi undang-undang individu dan sosial Islam. Pembelaan
terhadap tauhid merupakan keharusan dan dibenarkan agar menyebar di
tengah-tengah masyarakat. Pembelaan ini harus dilakukan dengan segala
cara yang mungkin. Tentunya, dalam hal ini, Islam menjaga sikap moderat
dan keadilan. Oleh karenanya, sebagai langkah awal, yang harus dilakukan
adalah berdakwah dengan penuh kesabaran. Langkah kedua yang harus
ditempuh adalah membela eksistensi Islam dan hak-hak asasi manusia
seorang muslim (jiwa, kehormatan dan harta). Dan pada tahapan ketiga,
membela hak-hak asasi manusia dan keyakinan tauhid (jihad, -pen).
Tentunya, sebelum perang yang harus selesai adalah semua argumentasi
yang diperlukan telah disampaikan, itmam al-hujjah. Hal yang
telah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw sesuai yang diperintahkan oleh
Allah swt: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”
(16:125). Perintah ini umum sifatnya dan mencakup kondisi perang
sekalipun. Allah swr berfirman: “Agar orang yang binasa itu binasanya
dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya
dengan keterangan yang nyata (pula)” (8:42).
Bila
ada yang mengajukan keberatan bahwa Islam mempergunakan cara-cara
paksaan dalam memeluk agama, maka akan kami katakan bahwa hal yang
demikian tidak menunjukkan kelemahan. Pemaksaan yang dilakukan setelah
memenuhi syarat itmam al-hujjah, pemenuhan seluruh syarat dalam
dakwah dan untuk menghidupkan sisi kemanusiaan manusia, maka dengan
sangat terpaksa hal itu dilakukan pada sebagian orang. Hal yang lumrah
dilakukan oleh semua negara terhadap mereka yang melanggar aturan-aturan
sosial. Awalnya, mereka akan diminta untuk menuruti undang-undang yang
ada dan setelah itu, dengan segala kekuatan yang dimiliki, orang
tersebut harus dipaksa untuk menaati peraturan. Terkadang usaha ini
memakan korban, namun bagaimanapun juga mereka harus taat dengan
undang-undang; baik rela maupun tidak.
Selain
sesuai dengan aturan yang berlaku di negara manapun, pemaksaan itu
hanya akan bertahan hingga satu keturunan. Sementara keturunan kedua dan
selanjutnya, dengan pendidikan dan pengajaran yang baik mereka akan
memeluk Islam dengan kerelaan. Karena Islam sesuai dengan fitrah
manusia”.[6]
Analisa.
Pandangan
yang dibangun oleh Allamah Thaba’thaba’i, sekalipun mencoba memberikan
solusi baru, namun pada akhirnya kesimpulan yang dapat diambil darinya
tidak berbeda dengan pandangan pertama. Kedua-duanya sama meyakini bahwa
pemaksaan agama dapat dibenarkan. Bila pendapat pertama pemaksaan agama
mendapat justifikasi lewat makna lahiriah teks ayat al-Quran, pendapat
kedua berdasarkan dasar-dasar rasional.
Masalah
terbesar yang dimiliki oleh tafsiran ini adalah bagaimana mungkin
setelah melalui semua pendahuluan yang sedemikian panjang dibenarkan
pemaksaan tauhid sebagai sebuah keyakinan? Allamah Thaba’thaba’i sendiri
adalah orang yang secara tegas menyatakan bahwa iman tidak mungkin
dapat dipaksakan. Ketika menafsirkan ayat “Laa Ikraaha fi ad-Diin”,
beliau memaknai dengan “nafy ad-Din al-Ijbari” (penolakan beragama
secara paksa).[7] Hal ini dikarenakan iman adalah masalah hati dan hanya dengan sebab-sebab tertentu dapat terwujudkan dan bukan lewat pemaksaan.
Atas
dasar ini jugalah, Syahid Muthahhari dalam penjelasannya mengenai
jihad, mengajukan keberatan terhadap gurunya Allamah Thaba’thaba’i
dengan ucapannya”.
“Sekalipun
kita mengakui tauhid sebagai salah satu dari hak-hak asasi manusia, itu
tidak berarti membenarkan peperangan dengan bangsa lain untuk
memaksakan akidah tauhid kepada mereka. Karena akidah tauhid pada
esensinya tidak dapat menerima pemaksaan”.[8]
Dengan
alasan ini, Syahid Muthahhari tidak dapat menerima kesimpulan yang
ditarik oleh Allamah Thaba’thaba’i. Beliau menambahkan:
“Tidak
dibenarkannya peperangan untuk memaksa agama dan keyakinan, tidak
lantas dipahami bahwa tidak harus membela akidah tauhid dan juga jangan
dipahami bahwa ia bukan merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia.
Ketidakbolehan ini dikarenakan iman dan keyakinan pada prinsipnya tidak
dapat dipaksa dengan cara apapun. Itulah mengapa al-Quran mengatakan
“Laa Ikraaha fi ad-Din”.[9]
“Islam
tidak memerintahkan untuk memaksakan akidah tauhid kalian harus
berperang. Akidah tauhid sebagai sebuah keyakinan tidak mungkin dapat
dipaksakan. Iman harus diidentifikasi kemudian dipilih dan diterima.
Memilih sesuatu tidak boleh dengan paksaan begitu juga dengan menerima,
“Laa Ikraaha fi ad-Din”.[10]
Inkonsistensi
pandangan Allamah Thaba’thaba’i dalam hal ini sangat mengherankan.
Namun, yang lebih mengherankan lagi adalah tidak adanya penjelasan yang
memadai sekaitan dengan ayat-ayat yang tidak memperbolehkan pemaksaan
agama. Allamah menutup begitu saja pembahasan diperbolehkan memaksakan
agama setelah itmam al-hujjah. Ayat pelarangan memaksa agama
tidak dapat dikhususkan dengan alasan telah menyempurnakan semua
argumentasi yang dibutuhkan. Karena koridor masalahnya sejak awal
berbeda. Pemaksaan tidak mendapat tempat di dalam hati.[11]
3. Memusnahkan penghalang kebebasan beriman.
Pandangan ini menunjukkan bahwa substansi jihad ibtida’i
hanya diperbolehkan pada kondisi memusnahkan penghalang untuk beriman.
Hakikat jihad ibtida’i malah sebaliknya dari pemahaman yang ada, jihad ibtida’i
malah bertujuan mewujudkan kebebasan berakidah dan beragama. Jihad
diwajibkan ketika kebebasan berakidah ditindas oleh penguasa. Jihad
datang untuk membebaskan masyarakat untuk dapat memilih agamanya sesuai
dengan keyakinannya.
Perkembangan
Islam dapat mencapai seluruh penjuru dunia dengan syarat ada kebebasan
untuk berdakwah. Tanpa kebebasan berdakwah dan memilih, penyebaran Islam
menjadi tidak mungkin. Dan ini harus dijamin oleh setiap pemerintah
yang ada. Karena kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang
harus dihormati. Dengan gambaran ini, jihad yang diwajibkan oleh Islam
tidak punya hubungan langsung dengan masyarakat kebanyakan, melainkan
hanya terkait erat dengan pemerintah yang memiliki akidah yang tidak
benar, tidak memberikan kesempatan dakwah Islam sampai ke masyarakat.
Pada kondisi inilah, kepada kaum muslimin diperintahkan untuk berjihad
dengan pemerintah yang otoriter dan tidak membebaskan.
Pandangan ini memiliki dua prinsip:
1.
Kebebasan berakidah dan berpikir merupakan hak asasi manusia. Kepada
pemerintah yang melanggar hak-hak asasi manusia dan tidak memberikan
kesempatan memilih kepada rakyatnya, Islam memberikan izin untuk
memeranginya. Islam memerintahkan untuk memeranginya agar penghalang ini
musnah dan masyarakat secara bebas dapat memilih agama yang
diinginkannya.
2.
Ketika akidah seperti tauhid merupakan hak-hak asasi manusia yang
diterima dan dihormati, maka membela hak-hak asasi manusia dapat
dibenarkan. Memerangi pemerintah yang mengganggu dan menghalangi
penyebaran akidah tauhid dengan sendirinya dapat dibenarkan.
Sekaitan dengan ini, Syahid Muthahhari berkata:
“Kami
berkata bahwa kita harus hidup secara bebas. Kebebasan menjamin setiap
akidah dan pemikiran dapat didakwahkan di tengah-tengah masyarakat...
Sekarang, bila ada penghalang yang menghambat dakwah kita. Sebuah
pemerintah menjadi penghalang dakwah Islam dan tidak memberikan izin.
Alasannya karena kalian tidak sedang berdakwah, melainkan merusak
pemikiran masyarakat! (Mayoritas pemerintah memahami pemikiran yang
merusak rakyat adalah pemikiran yang bila tersebar di tengah-tengah
masyarakat, mereka pasti tidak akan menuruti pemerintahnya) Apakah
dengan pemerintah yang seperti ini, yang menghalangi tersebarnya Islam,
diperbolehkan berperang sehingga pemerintah tersebut terguling dan
penghalang dakwah musnah? Benar, hal yang demikian boleh”.[12]
Penjelasan
yang diberikan oleh Syahid Muthahhari membuka tabir hakikat jihad
ibtida’i. Menurut beliau, hakikat jihad ibtida’i adalah difa’i. Dengan
demikian, bukan saja jihad tidak bertentangan dengan kebebasan
berakidah, bahkan jihad sejalan dengan kebebasan berakidah itu sendiri.
Jihad dengan penjelasan seperti ini sebagai pelataran bersemainya benih
kebebasan beragama. Pemerintah yang memaksakan kehendaknya harus
disingkirkan agar semua masyarakat dapat merasakan kenikmatan kebebasan
beragama. Dalam jihad tidak ditemukan makna pemaksaan dalam beragama.
Dalam bukunya yang lain, Syahid Muthahhari menyebutkan:
“Al-Quran
memerintahkan untuk berjihad agar penghalang kebebasan pikir dan sosial
masyarakat dilenyapkan. Banyak yang mempertanyakan, mengapa kaum
muslimin menyerang negara lain? Bahkan pada zaman tiga khalifah (saat
ini saya tidak sedang ingin mengkaji benar dan salahnya perang yang
mereka lakukan), kaum muslimin yang ikut berperang tidak untuk memaksa
rakyat negara yang diserang agar memeluk Isla, apa lagi memaksa mereka.
Pemerintah tiran merantai kaki dan tangan rakyatnya. Kaum muslimin
datang membebaskan mereka. Ini dua hal yang sering disalah mengerti oleh
orang-orang. Sekalipun kaum muslimin berperang dengan kerajaan Persia
atau Romawi tujuan mereka berperang untuk membebaskan rakyat yang selama
ini terkungkung. Mereka bukan berperang dengan rakyat, tetapi dengan
pemerintah zalim. Dengan sebab ini, masyarakat berbondong-bondong dengan
semangat memilih untuk memeluk Islam. Mengapa hal yang demikian dapat
terjadi? Sejarah mencatat bagaimana ketika seorang pasukan muslim yang
berkulit hitam memasuki sebuah tempat, masyarakat setempat menyambutnya
dengan sekuntum bunga. Kaum muslim dianggap sebagai malaikat penyelamat.
Sebagian juga salah mengira ketika kaum muslimin menyerang Iran, pasti
mereka memaksa masyarakat untuk memeluk Islam. Kaum muslimin saat itu
tidak berurusan dengan apakah masyarakat harus memeluk Islam atau tidak.
Mereka menjatuhkan pemerintah tiran lalu membiarkan masyarakat untuk
memeluk agama yang diinginkan. Yang dijelakan oleh kaum muslimin terkait
dengan undang-undang sebagai warga negara, bahwa bila mereka memilih
Islam sebagai agama, maka sama dengan kaum muslimin lainnya, tidak ada
perbedaan sedikit pun. Sementara bila kalian tidak memilih Islam sebagai
agama, maka ada ikatan yang harus dipenuhi yang disebut dengan kontrak
dzimmah. Syarat-syarat kontrak dzimmah yang dilaksanakan oleh pemerintah
Islam juga tidak sulit.
Dengan
demikian, prinsip persahabatan, keramahan, ketenangan, tidak
menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan kembali pada masalah iman,
tidak pada masalah penghalang pikir dan sosial, merupakan hal yang
sangat fundamental dalam dakwah Islam: Laa Ikraaha fi ad-Diin”.[13]
Analisa
Jihad
ibtida’i pada makna ketiga menjadikan tauhid sebagai bagian dari
hak-hak asasi manusia, sebagaimana membela hak-hak asasi manusia juga
dibenarkan. Perbedaannya dengan pandangan kedua adalah jihad ibtida’i
pada makna ketiga tidak hanya pemaksaan agama dan keyakinan dinafikan,
melainkan sesuai dengan ide kebebasan beragama. Di samping itu,
penekanan pada makna ketiga ini adalah jihad ibtida’i merupakan bagian
dari amar makruf dan nahi mungkar. Islam melihat mereka yang hidup di
bawah pemerintahan yang zalim dan tidak memberikan kebebasan buat mereka
perlu ditolong. Di sini, substansi jihad ibtida’i menjadi difa’i karena
dilakukan dengan tujuan menolong mereka yang tertindas.
Poin penting yang tidak dijelaskan oleh Syahid Muthahhari dalam masalah ini adalah jihad
ibtida’i dalam konteks dunia modern dan dalam bingkai hukum
internasional. Karena dengan alasan amar makruf dan nahi mungkar setiap
saat sebuah negara Islam hanya dengan alasan melihat orang yang
tertindas lantas melakukan jihad ibtida’i. Tidak ada bingkai yang jelas
dan ini rentan disalahgunakan oleh mereka yang mengatasnamakan negara
Islam. Perlu kiranya mendudukan masalah jihad dan hubungannya dengan
negara Islam dan hubungannya dengan dunia internasional. Dan itu dapat
dijelaskan pada pandangan ke empat.
4. Hak negara Islam dalam politik internasional
Setelah
kemenangan revolusi Islam Iran, studi-studi keislaman dalam Syi’ah
mengalami kemajuan yang luar biasa. Perubahan ini tidak pernah ditemukan
dalam periode perjalanan Syi’ah. Mungkin kemajuan ini hanya dapat
dibandingkan dengan periode Imam Ja’far Shadiq as. ketika beliau, di
zamannya, berhasil mendidik pemikir-pemikir dan ilmuwan Islam dalam
berbagai bidang pengetahuan.
Berdirinya
negara Islam bercorakkan Syi’ah memang memiliki ciri khas sendiri yang
pada gilirannya melahirkan cara pandang baru terhadap keseluruhan
ilmu-ilmu Islam, terutama masalah fikih. Kajian fikih yang sebelumnya
hanya terbatas untuk memberikan solusi atas permasalahan individu,
sekalipun pada batas-batas tertentu juga mengkaji sistem sosial dan
lain-lain, saat ini kajian fikih berkembang memberikan solusi atas
masalah-masalah negara; baik yang berurusan dengan masalah dalam negeri
maupun luar negeri. Dan perbedaan cara pandang itu dimulai ketika Imam
Khomeini memberikan statemen yang berbunyi:
“Pemerintah
atau negara dalam pandangan seorang yang benar-benar mujtahid adalah
filsafat praktis dan solusi bagi seluruh dimensi kehidupan manusia yang
dicerap dari seluruh bab-bab yang ada dalam fikih. Pemerintah adalah
petunjuk praktis dari fikih dalam memberikan solusi atas problema
sosial, politik, militer dan budaya. Fikih adalah teori yang paling
realistis dan sempurna untuk mengatur manusia mulai dari ayunan hingga
liang kubur”.[14]
Namun,
pada saat yang sama, Imam Khomeini tidak hanya terhanyut dengan
kemenangan revolusi Islam dan berhasilnya Syi’ah, setelah kekhalifahan
direbut dari tangan Imam Hasan as, memiliki negara yang dipimpin oleh
seorang fakih yang adil. Beliau tidak mencukupkan dirinya dengan slogan
bahwa Islam, terutama fikihnya, dapat menyelesaikan seluruh
permasalahan. Beliau dengan lantang mengkritik bahwa ijtihad yang ada
sampai saat ini (baca: semasa hidupnya) tidak dapat menyelesaikan
seluruh masalah. Perlu adanya perubahan-perubahan untuk dapat
menyelesaikan masalah yang ada.
Untuk
itu, beliau memberikan arahannya bagaimana sebaiknya fikih Syi’ah dapat
memberikan solusi bagi permasalahan yang ada selama ini dan yang akan
datang. Beliau berkata:
“Sekaitan
dengan kurikulum di hauzah dan penelitian yang dilakukan di sana, saya
berkeyakinan bahwa cara terbaik dan benar adalah dengan mengkaji tradisi
fikih kita. Saya percaya dengan cara ijtihad Jawahir.[15]
Dan tidak boleh melakukan ijtihad berbeda dengan cara ijtihad Jawahir.
Ijtihad dengan cara demikian adalah benar, namun itu tidak bermakna
bahwa fikih Islam tidak fleksibel. Dua unsur yang paling menentukan
dalam berijtihad adalah ruang dan waktu”.[16]
Ucapan
dan arahan Imam Khomeini membuka wawasan baru untuk menilai kembali
kajian-kajian fikih dan meletakkannya dalam bingkai negara. Atas dasar
ini, bila konsep jihad ibtida’i diletakkan dalam bingkai negara, maka
bukan saja tidak ada hubungannya dengan masalah pemaksaan agama,
melainkan menunjukkan sebuah identitas lain untuk jihad ibtida’i.
Mengkaji fikih Islam dan sumber-sumbernya memberikan data kepada kita
bahwa ekspansi yang dilakukan oleh Islam tidak pernah berhubungan dengan
individu dan masyarakat. Tidak benar bahwa Islam melakukan ekspansi
dikarenakan ada seseorang atau masyarakat kafir lalu dipaksakan
kepadanya untuk memeluk Islam atau memilih mati. Hukuman mati yang
berhubungan dengan masalah ini tidak punya hubungan dengan masalah jihad
ibtida’i. Karena yang pertama berhubungan dengan hukum pidana sementara
jihad berhubungan dengan hukum internasional.
Jihad
ibtida’i dilakukan tidak atas nama pelaksanaan hukum individu atau
sosial dan juga tidak ada hubungannya dengan masalah amar makruf dan
nahi mungkar. Jihad ibtida’i adalah sebuah hukum tersendiri dalam fikih
Islam yang berhubungan dengan hukum internasional. Dengan jihad
ibtida’i, Islam memberikan hak kepada sebuah negara Islam untuk
menyerang negara lain yang bertumpu pada kekufuran, sebagaimana Islam
memberikan hak kepada negara Islam untuk melakukan hubungan damai dengan
negara-negara kafir lainnya berdasarkan perjanjian-perjanjian bilateral
maupun internasional. Dalam hubungan internasional, negara Islam berhak
untuk melakukan perjanjian dengan negara lain dan hidup secara damai
dan berdampingan, sebagaimana juga pada kondisi khusus dan kritis di
mana tidak ada perjanjian damai atau negara kafir secara sepihak merusak
perjanjian, maka Islam memiliki hak untuk menyerang mereka.
Disyariatkannya jihad agar dapat mencegah musuh dan negara lain untuk
menyerang negara Islam. Karena Islam memberikan hak baginya untuk juga
melakukan pembelaan diri.
Dengan
demikian, jihad ibtida’i hanya bermakna dan memiliki legitimasi untuk
dilakukan dengan syarat adanya negara Islam. Begitu juga orang-orang
kafir, mereka memiliki negara atau basis politik dan militer yang
membahayakan negara Islam.
Penjelasan
di atas, memberikan sebuah kenyataan bahwa masalah jihad ibtida’i
berbeda bahkan tidak punya hubungan sama sekali dengan masalah pemaksaan
agama. Jihad ibtida’i terkait dengan hukum politik internasional
sementara pemaksaan agama berhubungan dengan hukum individu. Keduanya
berbeda satu dengan lainnya dan tidak saling bertentangan. Bahkan
keharmonisan keduanya dapat ditemukan ketika Islam telah berhasil
meruntuhkan pemerintah sebuah negara kafir, orang-orang kafir yang hidup
di sana tetap bebas memiliki akidah dan agama yang telah dipeluk
sebelumnya. Mereka tidak akan dipaksa untuk memeluk Islam.
Ayatullah
Sayyid Ali Khamane’i ketika mengkaji ayat-ayat jihad menyebutkan bahwa
ayat-ayat tersebut tidak bersifat mutlak tapi bersyarat. Syaratnya
adalah ketika orang-orang kafir memulai peperangan atau peperangan hanya
dikhususkan terhadap pemimpin-pemimpin negara kafir. Beliau
menyebutkan:
“Setelah
meneliti masalah ayat-ayat jihad, saya menemukan bahwa ayat-ayat
tersebut tidak memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menyerang orang
kafir karena akidahnya tapi lebih dikarenakan perbuatan mereka. Perang
dengan orang kafir hanya dengan alasan bahwa orang kafir terlebih dahulu
menyerang atau membahayakan negara Islam. Kewajiban Islam dan kaum
muslimin adalah membela teritorial negara Islam dan hak-hak kaum
muslimin atau berperang dengan negara dan pemimpin-pemimpin negara kafir
yang menyengsarakan masyarakat”.[17]
Dengan
penjelasan ini, substansi jihad ibtida’i kembali pada jihad difa’i.
Artinya, sekalipun Islam memberikan hak kepada negara Islam untuk
melakukan penyerangan, namun itu lebih dimaknai sebagai reaksi ketimbang
aksi. Karena legitimasi penyerangan ini pun dikarenakan pihak
pemerintah kafir menyerang atau sedang melakukan manuver yang
membahayakan negara Islam dan tidak memiliki perjanjian perdamaian
dengan negara Islam.[18]
Ketika
ditanya mengenai posisi wali fakih pada masa kegaiban, dapatkah ia
mengeluarkan hukum untuk melakukan jihad ibtida’i? Dalam fatwanya,
Ayatullah Sayyid Ali Khamane’i berkata:
“Berdasarkan
data-data yang kuat, seorang wali fakih memiliki hak untuk mengumumkan
jihad ibtida’i. Syaratnya adalah bila wali fakih melihat ada maslahat di
sana”.[19]
Dalam
kondisi ini sekalipun, berbeda dengan pendahulunya Imam Khomeini yang
berpendapat bahwa wali fakih tidak punya hak untuk mengumumkan jihad
ibtida’i, Sayyid Ali Khamane’i tidak membatasi hak mengumumkan jihad
ibtida’i hanya pada Nabi Muhammad dan para Imam as. Beliau memberikan
hak itu juga kepada wali fakih adil yang telah memenuhi segala syarat
yang telah ditetapkan. Dan itu selain setelah terbentuknya negara harus
ada maslahat di sana.
Sekalipun
dalam pandangan Sayyid Ali Khamane’i wali fakih adil memiliki hak untuk
mengumumkan jihad ibtida’i, masalah ini harus dilihat dalam kerangka
politik luar negeri. Negara Islam memposisikan dirinya untuk hidup
berdampingan secara damai dengan negara-negara lain. Namun, bila ada
bahaya yang mengancamnya, tentunya dengan data-data yang akurat, konsep
jihad ibtida’i memberikan hak kepada wali fakih untuk mengumumkan jihad
ibtida’i. Jihad yang kesannya adalah ofensif, namun substansinya adalah
pembelaan diri.[20]
Syahid Shadr ketika ditanya mengenai sebab-sebab dan perbedaan antara jihad ibtida’i dan kolonialisme, dijawab oleh beliau:
“Keyakinan
terhadap Allah yang merupakan hakikat tauhid dan Islam mengharuskan Ia
memerintah dan berkuasa atas kehidupan manusia. Dengan alasan ini, jihad
merupakan bagian dari ajaran-ajaran penting Islam. Kewajiban jihad
dapat mewujudkan salah satu dari ajaran kunci Islam. Jihad merupakan
landasan dan sebab bagi terwujudnya pemerintahan tauhid di dunia. Jihad
memiliki logika yang kuat dan didukung oleh argumentasi rasional yang
kokoh. Jihad mengimplementasikan kekuasaan Allah di bumi. Pada
prinsipnya, jihad tidak membutuhkan legitimasi. Dengan kata lain,
alasan-alasan logis secara cukup ada pada ajaran jihad itu sendiri
sehingga tidak membutuhkan pembenaran dari luar.
Sebaliknya,
perilaku kolonialisme Barat yang mencaplok dan menguasai negara-negara
lain tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun! Karena ide kebebasan
yang dianut dan menjadi prinsip peradaban Barat tidak memberikan izin
kepada mereka untuk menguasai negara lain. Karena pada saat yang sama,
mereka telah memusnahkan kemerdekaan dan kebebasan orang dan negara
lain. Dengan alasan apapun tindakan mereka tidak dapat diterima,
sekalipun dengan alasan yang mereka anggap merupakan keharusan seperti
ilmu dan teknologi yang mereka anggap sebagai hadiah mereka kepada
peradaban manusia”.[21]
Penutup:
Islam
mengenal dua konsep jihad; jihad difa’i (defensif) dan jihad ibtida’i
(ofensif). Jihad difa’i sebelum dilegitimasi oleh syariat Islam
merupakan sebuah prinsip yang diterima oleh akal manusia. Sementara itu,
konsep jihad ibtida’i oleh sebagian orang dianggap tidak rasional.
Jihad ibtida’i ditengarai dibarengi dengan pemaksaan akidah. Islam
dengan jihad ibtida’i bermaksud memaksa semua orang untuk memeluk Islam
bila tidak harus memilih mati sebagai pilihan terakhir.
Mengkaji
lebih jauh pandangan ulama Syi’ah mengenai jihad ibtida’i, dapat
ditemukan beberapa hal yang berbeda dengan penafsiran jihad ibtida’i
dalam Ahli Sunah. Syi’ah tidak hanya menganggap jihad ibtida’i tidak
mengandung makna pemaksaan agama, bahkan lebih dari itu, Syi’ah
menganggap konsep jihad ibtida’i dapat disejajarkan dengan konsep
kebebasan agama. Bahkan pada kondisi-kondisi tertentu jihad ibtida’i
merupakan penjamin terwujudnya kebebasan beragama.
Syarat
yang harus dimiliki oleh jihad ibtida’i adalah dilakukan tidak secara
sporadis, melainkan harus dilakukan dengan mendirikan negara Islam. Dan
untuk melakukan jihad ibtida’i, dalam Syi’ah diberi aturan yang ketat
dengan harus mendapat izin dari Nabi Muhammad saw atau para Imam Maksum
as. dan wakil khusus mereka. Jihad ibtida’i menjadi sah bila direstui
oleh para pemimpin yang adil.
Ulama
Syi’ah berbeda pendapat mengenai wakil umum Imam Mahdi af. Apakah ia
juga memiliki wewenang untuk memberikan izin kaum muslimin melakukan
jihad ibtida’i atau tidak? Imam Khomeini termasuk salah satu yang
mewakili ulama yang berpendapat bahwa wali fakih tidak memiliki wewenang
untuk memberikan izin kaum muslimin melakukan jihad ibtida’i. Sementara
penggantinya, Ayatullah Sayyid Ali Khamane’i mewakili ulama yang
berpendapat bahwa seorang wali fakih memiliki wewenang memberikan izin
kepada kaum muslimin melakukan jihad ibtida’i.
Bila
kita menerima pendapat keempat (konsep jihad ibtida’i hanya terkait
dengan hukum politik internasional) dan bersikukuh dengan pendapat Imam
Khomeini, kemungkinan terjadinya kaum muslimin melakukan jihad ibtida’i
hanya dapat terlaksana dengan menunggu munculnya Imam Mahdi af.
Sementara bila kita mengambil pandangan Sayyid Ali Khamane’i, kaum
muslimin dapat melakukan jihad ibtida’i di bawah bimbingan wali fakih
yang adil. Jihad ibtida’i ini bagaikan kekuatan aktif dalam usaha
membela teritorial negara Islam dan bukan untuk mengancam negara-negara
lain.
[1] . Dar Justejuye Roh az Kalome Emom: Jang wa Jahod, hal 5, Teheran, 1363 H. S.
[2]
. Ayatullah Yusef Sane’i, Velayate Faqih, Teheran, cetakan ke 2, 1364
H. S, dinukil dari “Bahrom, Akhawon Kozemi,, Qedmat wa Tadowum Nazariye
Velayate Mutlaqe Faqih, Teheran, Sozmon Tabligote Eslomi, 1377 H. S.
[3] . ar-Rawandi, Quthb ad-Din, Fiqh al-Quran, jilid 1, hal 344-345, Maktabah Ayatullah al-‘Uzhma Mar’asyi Najafi, 1405.
[6] .
Thaba’thaba’i, Muhammad Husein, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, hal 67-68,
jilid 2, Muassasah an-Nasyr al-Islami at-Tabi’ah li Jami’i
al-Mudarrisin bi Qom al-Muqaddasah, tanpa tahun.
[11] . Untuk pemahaman lebih lanjut lihat www.islamalternatif.com, makalah berjudul “Agama Tidak Bisa Dipaksakan: Sorotan kritis Teologi dan Fikih”.
[13] . Muthahhari, Murtadha, Sairi dan Sireye Nabawi, hal 253-254, Entesyorote Shadra, cet ke-6, 1368.
[14] . Shahifah Nur, Imam Khomeini, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, 1378, juz 21, hal 289.
[15] .
Maksud dari kata Jawahir dalam ucapan Imam Khomeini merujuk pada buku
fikih bernama Jawahir al-Kalam fi Syarh Syara’i al-Islam karangan Syaikh
Muhammad Hasan Najafi. Saking luasnya kajian buku ini dalam masalah
fikih argumentatif sehingga sebagian orang menyebutnya sebagai
ensiklopedia fikih Syi’ah. Buku ini memuat hampir semua pendapat ulama
Syi’ah dalam masalah fikih dan argumentasi mereka. (-pen).
[17] .
Sayyid Ali Khamane’i, majalah Andisye Hauzah, thn ke -4, vol 2, hal 34.
Dinukil dari buku Azadi Dar Feqh wa Hudude On, Muhammad Hasan Qadrdon
Qaromlaki, Bustone Ketab, 1382.
[18] . Untuk lebih luasnya, kajian ini dapat dilihat dalam buku-buku yang membahas masalah fikih politik.
[19] .
Resoleh Ajwibah al-Istifta’at, Sayyid Ali Khamane’i, Syerkat Chop wa
Nasyre Bainulmelali, cet ke -20, 1383, hal 228, pertanyaan nomor 1048.
[21] .
As-Shadr, Muhammad Baqir, Majmu’ah Kamilah Li Muallafat as-Sayyid
Muhammad Baqir as-Shadr, jilid 13, hal 59 (diringkas). Dinukil dari
majalah Makrifat, thn ke -16, no. 6, hal 55.