Oleh: Prof.Dr. Abdul Hadi W.M.
Amir Hamzah
telah sering dibahas dan dibicarakan. Apa sumbangan penyair ini
bagi perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia modern
dan apa arti penting kepenyairannya bagi kita sekarang? Mungkin
salah satu cara untuk memahaminya ialah dengan melihat
kreativitasnya menghidupkan kembali sistem sastra Melayu dalam konteks
budaya dan zaman baru.
Apabila kita membaca
karya-karyanya secara mendalam dan membandingkan dengan puisi-puisi
Melayu klasik terbaik, akan tampak bahwa di belakang kepenyairannya
terbentang sejarah panjang gagasan sastra yang sangat berbeda
dengan gagasan modernisme yang dilontarkan oleh Sutan Takdir
Alisyahbana dan Chairil Anwar. Perbedaan tersebut terutama
tercermin dalam gambaran dunia (weltanschaung) dan
wawasan estetik yang mendasari sistem sastra masing-masing. Ini
tidak semata-mata disebabkan perbedaan pengalaman dan latar belakang
sosial, melainkan disebabkan terutama oleh pandangan terhadap agama
dan kebudayaan.
Kesusastraan Melayu,
sebagaimana kesusastraan Jawa bagi kebudayaan Jawa, sangat penting
karena ia merupakan fundasi utama kebudayaan Melayu. Ia juga sangat
penting dan relevan karena merupakan faktor utama perkembangan
agama Islam dirantau ini, suatu agama yang pemeluknya dalam awal
sejarah kedatangan bangsa Eropah merupakan penentang dan rival sengit
bagi penjajah Portugis dan Belanda.
Karya-karya Melayu klasik
selama lebih dua abad juga menjadi model dan sumber ilham kesusastraan
bercorak Islam di daerah-daerah Nusantara lain seperti Jawa dan
Sunda. Bahasa yang digunakan sebagai medianya pula dijadikan
asas dan merupakan asal-usul bahasa persatuan bangsa kita, yakni bahasa
Indonesia. Karena itu dalam membicarakan sejarah bahasa dan
kesusastraan Indonesia serta sejarah pemikiran keagamaan dan
kebudayaan, tidaklah sepatutnya kita melupakan tokoh-tokoh seperti
Hamzah Fansuri, Nuruddin Raniri, Syamsudin Pasai dan Raja Ali Haji.
Gambaran Dunia. Penulis-penulis Melayu memandang alam semesta sebagai sebuah kitab agung yang indah, sebuah karya sastra. Sang Pencipta menjelmakan dunia dari Perbendaharaan pengetahuan-Nya yang tersembunyi (kanz makhfiy). Ia, dunia, ditulis dengan Kalam Tuhan pada Lembaran yang sangat terpelihara (lawhul mahfudz) (Braginsky 1993:1). Pribadi manusia, dengan wujud zahir dan batinnya, juga merupakan sebuah kitab, sebuah karya sastra. Keseluruhan hikmah alam semesta direkamkan ke dalam diri atau pribadi manusia setelah diringkas dan dipadatkan. Hikmah-hikmah tersebut hadir sebagai ayat-ayat-Nya yang penuh rahasia dan patut direnungkan oleh mereka yang berkeinginan mengenal hakekat dirinya dan Tuhannya, sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Ghazali (Ihya’ Ulumuddin dan Kimya-i Saadah)
Selaras dengan gambaran
tersebut, karya sastra mestilah dibentuk menyerupai pribadi manusia.
Ungkapan zahir atau bentuk luar karya sastra, sebagaimana tubuh
manusia dan wujud alam, hendaknya memberi bayangan tentang kehadiran
rahasia dan keberadaan Tuhan. Gejala-gejala alam,
peristiwa-peristiwa kemanusiaan dan sejarah, keindahan yang tak
tepermanai dan berbagai-bagai di alam syahadah merupakan manifestasi
cinta Tuhan dan pengetahuan-Nya yang tidak terhingga.
Semua itu dihadirkan agar
dikenal dan dijadikan jalan kenaikan. Ini sesuai dengan prinsip
metafisika atau ontologi Sufi: ‘yang banyak’ merupakan manifestasi
keindahan Yang Satu, yakni cinta dan pengetahuan-Nya. ‘Yang banyak’
tidak terbebas dari pengetahuan Tuhan, sebab ‘yang banyak’ diliputi
oleh pengetahuan-Nya, dan tidak terbebas pula dari cinta-Nya, yakni al-rahman dan al-rahim-Nya. Karena itu penulis-penulis
Melayu selalu memulai karangannya dengan ucapan Basmalah atau puji-pujian kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Cara meresapi dan memahami hakekat penciptaan ini ialah melalui peresapan kalbu, atau melalui `ishq (cinta) dan pemahaman spiritual, yaitu ma`rifah. Perkatan-perkataan berahi, rindu, mabuk, takjub, lena, leka, gharib, asyik, karib, tamasya dan lain-lain — yang sering kita jumpai dalam karya-karya penyair Melayu — merujuk kepada keadaan-keadaan rohani yang dialami seorang asyik dan ahli makrifat dalam perjalanannya menuju Yang Satu.
Wawasan estetik. Karena ‘yang
banyak’, yaitu gejala-gejala alam dan kehidupan manusia, berakar
dalam pengetahuan Yang Satu, maka pengalaman zahir (empiris) dan
pengalaman sejarah dapat dijadikan tangga naik menuju Yang Satu, Yang
Gaib dan Transenden itu. Gubahan puisi atau nazam – berupa susunan majaz
(bahasa figuratif) yang strukturnya kompleks, terdiri dari imej-imej
simbolik, kias dan metafor — berfungsi sebagai tangga naik menuju
kebenaran dan keindahan hakiki.
Kebenaran dan keindahan
hakiki inilah yang merupakan makna-makna yang diturunkan seorang
penyair dalam nazam. Ungkapan puitik atau nazam sebagai bentuk luar
karya sastra, yang di situ pembaca dapat merasakan pengalaman estetik
penuh pesona, disebut surah. Surah berarti gambar, contoh atau
salinan dari contoh yang ada dalam dunia makna-makna atau
gagasan-gagasan.
Fungsi surah ialah sebagai
tangga naik menuju makna. Bahasa puisi, seperti dikatakan
al-Jurjani seorang tokoh strukturalisme Arab klasik abad ke-11,
adalah makna yang menurunkan makna-makna. Pembaca puisi yang arif akan
menerobos keindahan ungkapan zahir dan naik ke alam makna-makna.
Tema-tema cinta yang sering disajikan penulis Melayu tidak
selamanya merujuk kepada pengalaman cinta biasa, cinta profan.
Ia disajikan sebagai tangga
naik menuju cinta yang lebih tinggi: mistikal, kerohanian,
ketuhanan. Sebagian besar sajak-sajak Amir Hamzah berisi tangga naik
seperti itu. Efek moral dan psikologis. Setiap karya sastra ditulis
dengan tujuan memberi efek moral dan psikologis tertentu kepada
pembacanya. Penulis-penulis Melayu pada umumnya mengharapkan
karyanya dapat mendorong pembaca meneladan perbuatan baik
tokoh-tokoh yang diceritakannya. Dalam puisi yang bernafas keagamaan
efek moral dan psikologis yang ingin dicapai ialah supaya pembaca
berkeinginan melakukan perjalanan spiritual sehingga hampir dengan
Yang Satu. Ini tampak misalnya dalam sajak Amir Hamzah “Berdiri
Aku”.
Penyair mula-mula
menggambarkan gerak-gerak alam atau gejala pergerakan alam dengan
memberikan pembayang terhadap kehadiran rahasia Tuhan dan
keluarbiasaan keindahan-Nya. Camar yang menepis buih, bakau yang
mengurai puncak, ubur yang terkembang, warna keemasan air laut
dan pelangi yang memabukkan elang sehingga burung ini leka (fana) —
semua itu memberi gambaran bahwa gejala-gejala alam
membayangkan keindahan Sang Pencipta.
Ungkapan-ungkapan seperti
‘mengurai puncak’, ‘berjulang datang’, ‘mengempas emas’, ‘memuncak
sunyi’, ‘sayap tergulung’ dan lain-lain mengisyaratkan bahwa keindahan
yang berbagai-bagai di alam syahadah ini sebenarnya merupakan
tangga naik menuju Yang Hakiki. Keindahan Yang Satu, yang tampak di
alam syahadah dan hadir sebagai ayat-ayat-Nya, dapat membawa
pembaca merasa rindu, leka (fana’), takjub, gharib (asing), mabuk
(sukr) dan hanyut dalam keindahan dan kebesaran-Nya.
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang
Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun alun di atas alas
Benang raja mencelup ujung
Naik marak mengorak corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak
Dalam rupa maha sempurna
Rindu sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Mencecap hidup bertentu tuju
Memang kerinduan
para penulis Melayu adalah mencapai semacam keadaan fana’, leka,
lampus atau hanyut dalam keindahan Yang Satu. Setelah fana ia
akan kudus dan baqa’ (hidup kekal) dalam Yang Abadi: “Ingin
datang merasa sentosa/Mencecap hidup bertentu tuju”. Ini bukan
eskapisme dan bukan kefanaan yang menimbulkan kepasifan buta, tetapi
suatu pencerahan yang menimbulkan gairah ketuhanan. Pada gilirannya
gairah ketuhanan, yang disebut Rumi sebagai `isyq (cinta berahi),
menumbuhkan sikap moral dan pandangan kerohanian yang positif, di
samping keteguhan pribadi dan rasa percaya diri.
Oleh sebab itu Rumi
mengatakan bahwa cinta merupakan asas dan sumbu suatu peradaban dan
kebudayaan. Tanpa cinta suatu peradaban dan kebudayaan akan rapuh
dan runtuh. Cinta, dalam arti yang luas dan hakiki, membentang dari
Cinta kepada Tuhan, Nabi, sesama insan, umat, bangsa, tanah air,
keluarga, lawan jenis, anak istri, kampung halaman, pekerjaan, keadilan,
hukum, tradisi intelektual dan nilai-nilai kebudayaan – yang semua itu
merupakan bagian dari diri kita.
Relevansi kesusastraan Melayu
bagi kita sekarang ini tampak pada gambaran dunia, wawasan
estetik dan pesan kerohaniannya. Penulis-penulis Melayu berbeda
dari penulis-penulis Jawa Kuno dan modern dalam menempatkan diri
dalam kehidupan. Penulis-penulis Jawa Kuno memandang diri mereka
sebagai Mpu yang memiliki kekuatan spiritual berkat yoga dan tapa
bratanya, sehingga disanjung dan disegani masyarakatnya, dan mendapat
pujian dari raja-raja dan kaum bangsawan. Penulis modern memandang
dirinya sebagai Ahasveros yang dikutuk dan disumpahi Eros (dewa Cinta) dan akhirnya menjadi pengembara yang terasing dari Tuhan dan manusia lain.
Penulis-penulis Melayu
memandang diri mereka sebagai faqir, dagang atau anak hulubalang
(yang tidak takut pada tombak Jawa, kata Hamzah Fansuri). Amir
Hamzah menyebut diri sebagai ‘musafir lata’, yang artinya kurang lebih
sama dengan anak dagang. Sering pula mereka menyebut diri talib (pencari), salik (penempuh jalan kerohanian), syawqi (perindu Tuhan) dan asyik (pencinta yang berahi seperti Majenun). Seorang faqir adalah dia yang sangat memerlukan Tuhan (faqr), sebab hanya Tuhan yang maha kaya dan berkelimpahan (fadl), sedang manusia sebenarnya tidak memiliki apa-apa (faqir) dan karena itu sangat memerlukan Dia.
Kalau seorang penulis
ialah seorang salik, maka karyanya merupakan suluk atau jalan
kerohanian. Di dalamnya terdapat terminal-terminal atau
perhentian-perhentian spiritual. Terminal terakhir ialah kekariban (uns)
dengan Tuhan. Kekariban dilambangkan dengan sampainya seorang pencari
di puncak gunung mistis atau kosmis, yaitu gunung Qaf.
Sebagaimana dinyatakan oleh Amir Hamzah dalam baris akhir sajak
“Hanya Satu”: “Serupa Musa di puncak Tursina”.
Karya-karya Melayu klasik
penuh dengan uraian tentang perjalanan ke gunung, sebagaimana
karya-karya penulis Jawa. Ini juga kita jumpai dalam karya mutakhir
seperti Khotbah Di Atas Bukit novel Kuntowijoyo. Atau sajak Sutardji Calzoum Bachri “Para Peminum”. Karya-karya Amir Hamzah dalam Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi, bahkan juga Setanggi Timur,
merupakan dokumen pencarian dan perjalanan kerohanian Amir Hamzah
menuju Yang Satu. Ia adalah suluk mengarungi ‘tujuh lembah’ nya `Attar (Mantiq al-Tayr).
Dalam perjalanan mengarungi tujuh lembah kerohanian itu penyair tidak
sekali dua kali mengalami godaan, konflik dan lain sebagainya. Di
lembah terakhir, iaitu lembah cinta dan fana` penyair menemukan
dirinya yang sejati. Sebagaimana dilukiskan dalam sajak “Padamu Jua”:
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil gemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang pelahan
Sabar setia selalu
Ali Usman al-Hujwiri (abad ke-11 M) dalam bukunya Kasyf al-Mahjub
menyatakan bahwa inti penghayatan agama ialah pertemuan dan
percakapan rahasia antara manusia dan Tuhan. Pengalaman pertama
manusia bertemu dan bercakap dengan Tuhannya ialah pada Hari
Alastu, ketika manusia belum diturunkan ke dunia dan rohnya belum
dirakit pada tubuhnya yang dibuat dari lempung Adam. Seperti
dinyatakan dalam al-Qur’an (7:172), “Alastu bi rabbikum? Qalu bala syahidna…” (Bukankah Aku Tuhanmu? Ya, aku bersaksi!”).
Pengalaman primordial di Hari
Alastu tertanam jauh di lubuk kalbu manusia, di suatu tempat yang
disebut sirr Allah (rahasia Tuhan). Di sinilah locus percakapan
manusia dengan Tuhan. Di sinilah rumah primordial atau asali manusia,
tempat seorang asyik (yang insaf bahwa cinta profan bersifat
sementara) “Pulang kembali aku padamu/ seperti dahulu”. Karena tempat
tersebut sangat tersembunyi, seperti pelita yang berada dalam relung
kaca di tempat jauh, tidak mudah seseorang menembusnya.
Tetapi dalam momen-momen tertentu pengalaman religi dan mistis,
kesadaran atau kerinduan Hari Alastu dapat timbul kembali.
Sebagaimana bait pertama sajak Amir dapat dirujuk pada al-Qur’an dan
konsep penyair-penyair sufi Melayu tentang Hari Alastu, demikian pula
bait kedua sajak tersebut. Image ‘kandil gemerlap’ dapat dikaitkan
dengan ‘pelita dalam misykat yang menyala dengan sendirinya’ (Surah
an-Nur).
Memang terdapat banyak
ungkapan simbolik Amir Hamzah dapat dirujuk pada ayat-ayat al-Qur’an
dan puisi-puisi penyair sufi Melayu seperti Hamzah Fansuri. Saya
cukup menyebut ungakapan-ungkapan dalam sajak Amir Hamzah
“Padamu Jua” misalnya seperti dalam bait-bait berikut:
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Bandingkan dengan ungkapan dalam syair-syair Hamzah Fansuri seperti berikut:
Tauhidmu yogya kau pasang
Supaya kasih mahbub yang larang
Kerjanya berbuat hajib
Berlindung di dalam talib
Mahbub nin hikmatnya ghalib
Di tengah padang terlalu galib
Rumahnya bertukar-tukar
Jalannya berputar-putar
Manikam di mulut ular
Mendapat dia terlalu sukar
Nyatalah bahwa sajak-sajak
Amir Hamzah bukan sajak percintaan biasa. Kepenyairannya mempunyai
pertalian dengan tradisi sastra Sufi di Alam Melayu Nusantara.
Kepenyairannya jelas revelan bagi kita sekarang. Terutama
apabila kita kaitkan dengan berkembangnya kecenderungan akan
sastra keagamaan yang berakar dalam tradisi sastra Melayu Nusantara.
Amir Hamzah memberi teladan yang benar. Dia telah berhasil
menunjukkan bahwa sastra Melayu berkembang pada zaman keemasannya
karena didasarkan pada sistem sastra yang universal. Sistem
tersebut tidak hanya berkaitan dengan masalah estetik sastra atau
seni, tetapi juga berhubungan erat pandangan dunia (worldview)
yang juga mendasari perkembangan bahasa, pemikiran intelektual dan
kebudayaan Melayu Nusantara secara keseluruhan. Persoalannya bagi
penulis-penulis sekarang ini ialah bagaimana menggali lebih jauh
sistem sastra yang universal itu dan mentransformasikan ke
dalam iklim kehidupan Alaf ke-3 yang penuh dengan tantangan.
Jakarta 29 November 1999
Bacaan:
Abdul Hadi W. M.. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya. Bandung: Mizan, 1995.
V. I. Braginsky. The System of Classical Malay Literature. Leiden: KITLV Press, 1993.
Md. Salleh Yaapar. Mysticism and Poetry: A Hermeneutical Reading of the Poems of Amir Hamzah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1995.
AMIR HAMZAH
DAN RELEVANSI SASTRA MELAYU
Oleh: Dr. Abdul Hadi W.M.
Apabila kita membaca karya-karyanya secara mendalam dan membandingkan dengan puisi-puisi Melayu klasik terbaik, akan tampak bahwa di belakang kepenyairannya terbentang sejarah panjang gagasan sastra yang sangat berbeda dengan gagasan modernisme yang dilontarkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dan Chairil Anwar. Perbedaan tersebut terutama tercermin dalam gambaran dunia (weltanschaung) dan wawasan estetik yang mendasari sistem sastra masing-masing. Ini tidak semata-mata disebabkan perbedaan pengalaman dan latar belakang sosial, melainkan disebabkan terutama oleh pandangan terhadap agama dan kebudayaan.
Kesusastraan Melayu, sebagaimana kesusastraan Jawa bagi kebudayaan Jawa, sangat penting karena ia merupakan fundasi utama kebudayaan Melayu. Ia juga sangat penting dan relevan karena merupakan faktor utama perkembangan agama Islam dirantau ini, suatu agama yang pemeluknya dalam awal sejarah kedatangan bangsa Eropah merupakan penentang dan rival sengit bagi penjajah Portugis dan Belanda.
Karya-karya Melayu klasik selama lebih dua abad juga menjadi model dan sumber ilham kesusastraan bercorak Islam di daerah-daerah Nusantara lain seperti Jawa dan Sunda. Bahasa yang digunakan sebagai medianya pula dijadikan asas dan merupakan asal-usul bahasa persatuan bangsa kita, yakni bahasa Indonesia. Karena itu dalam membicarakan sejarah bahasa dan kesusastraan Indonesia serta sejarah pemikiran keagamaan dan kebudayaan, tidaklah sepatutnya kita melupakan tokoh-tokoh seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Raniri, Syamsudin Pasai dan Raja Ali Haji.
Gambaran Dunia. Penulis-penulis Melayu memandang alam semesta sebagai sebuah kitab agung yang indah, sebuah karya sastra. Sang Pencipta menjelmakan dunia dari Perbendaharaan pengetahuan-Nya yang tersembunyi (kanz makhfiy). Ia, dunia, ditulis dengan Kalam Tuhan pada Lembaran yang sangat terpelihara (lawhul mahfudz) (Braginsky 1993:1). Pribadi manusia, dengan wujud zahir dan batinnya, juga merupakan sebuah kitab, sebuah karya sastra. Keseluruhan hikmah alam semesta direkamkan ke dalam diri atau pribadi manusia setelah diringkas dan dipadatkan. Hikmah-hikmah tersebut hadir sebagai ayat-ayat-Nya yang penuh rahasia dan patut direnungkan oleh mereka yang berkeinginan mengenal hakekat dirinya dan Tuhannya, sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Ghazali (Ihya’ Ulumuddin dan Kimya-i Saadah).
Selaras dengan gambaran tersebut, karya sastra mestilah dibentuk menyerupai pribadi manusia. Ungkapan zahir atau bentuk luar karya sastra, sebagaimana tubuh manusia dan wujud alam, hendaknya memberi bayangan tentang kehadiran rahasia dan keberadaan Tuhan. Gejala-gejala alam, peristiwa-peristiwa kemanusiaan dan sejarah, keindahan yang tak tepermanai dan berbagai-bagai di alam syahadah merupakan manifestasi cinta Tuhan dan pengetahuan-Nya yang tidak terhingga.
Semua itu dihadirkan agar dikenal dan dijadikan jalan kenaikan. Ini sesuai dengan prinsip metafisika atau ontologi Sufi: ‘yang banyak’ merupakan manifestasi keindahan Yang Satu, yakni cinta dan pengetahuan-Nya. ‘Yang banyak’ tidak terbebas dari pengetahuan Tuhan, sebab ‘yang banyak’ diliputi oleh pengetahuan-Nya, dan tidak terbebas pula dari cinta-Nya, yakni al-rahman dan al-rahim-Nya.
Karena itu penulis-penulis Melayu selalu memulai karangannya dengan ucapan Basmalah atau puji-pujian kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Cara meresapi dan memahami hakekat penciptaan ini ialah melalui peresapan kalbu, atau melalui `ishq (cinta) dan pemahaman spiritual, yaitu ma`rifah. Perkatan-perkataan berahi, rindu, mabuk, takjub, lena, leka, gharib, asyik, karib, tamasya dan lain-lain — yang sering kita jumpai dalam karya-karya penyair Melayu — merujuk kepada keadaan-keadaan rohani yang dialami seorang asyik dan ahli makrifat dalam perjalanannya menuju Yang Satu.
Wawasan estetik. Karena ‘yang banyak’, yaitu gejala-gejala alam dan kehidupan manusia, berakar dalam pengetahuan Yang Satu, maka pengalaman zahir (empiris) dan pengalaman sejarah dapat dijadikan tangga naik menuju Yang Satu, Yang Gaib dan Transenden itu. Gubahan puisi atau nazam – berupa susunan majaz (bahasa figuratif) yang strukturnya kompleks, terdiri dari imej-imej simbolik, kias dan metafor — berfungsi sebagai tangga naik menuju kebenaran dan keindahan hakiki.
Kebenaran dan keindahan hakiki inilah yang merupakan makna-makna yang diturunkan seorang penyair dalam nazam. Ungkapan puitik atau nazam sebagai bentuk luar karya sastra, yang di situ pembaca dapat merasakan pengalaman estetik penuh pesona, disebut surah. Surah berarti gambar, contoh atau salinan dari contoh yang ada dalam dunia makna-makna atau gagasan-gagasan.
Fungsi surah ialah sebagai tangga naik menuju makna. Bahasa puisi, seperti dikatakan al-Jurjani seorang tokoh strukturalisme Arab klasik abad ke-11, adalah makna yang menurunkan makna-makna. Pembaca puisi yang arif akan menerobos keindahan ungkapan zahir dan naik ke alam makna-makna. Tema-tema cinta yang sering disajikan penulis Melayu tidak selamanya merujuk kepada pengalaman cinta biasa, cinta profan.
Ia disajikan sebagai tangga naik menuju cinta yang lebih tinggi: mistikal, kerohanian, ketuhanan. Sebagian besar sajak-sajak Amir Hamzah berisi tangga naik seperti itu. Efek moral dan psikologis. Setiap karya sastra ditulis dengan tujuan memberi efek moral dan psikologis tertentu kepada pembacanya. Penulis-penulis Melayu pada umumnya mengharapkan karyanya dapat mendorong pembaca meneladan perbuatan baik tokoh-tokoh yang diceritakannya. Dalam puisi yang bernafas keagamaan efek moral dan psikologis yang ingin dicapai ialah supaya pembaca berkeinginan melakukan perjalanan spiritual sehingga hampir dengan Yang Satu. Ini tampak misalnya dalam sajak Amir Hamzah “Berdiri Aku”.
Penyair mula-mula menggambarkan gerak-gerak alam atau gejala pergerakan alam dengan memberikan pembayang terhadap kehadiran rahasia Tuhan dan keluarbiasaan keindahan-Nya. Camar yang menepis buih, bakau yang mengurai puncak, ubur yang terkembang, warna keemasan air laut dan pelangi yang memabukkan elang sehingga burung ini leka (fana) — semua itu memberi gambaran bahwa gejala-gejala alam membayangkan keindahan Sang Pencipta.
Ungkapan-ungkapan seperti ‘mengurai puncak’, ‘berjulang datang’, ‘mengempas emas’, ‘memuncak sunyi’, ‘sayap tergulung’ dan lain-lain mengisyaratkan bahwa keindahan yang berbagai-bagai di alam syahadah ini sebenarnya merupakan tangga naik menuju Yang Hakiki. Keindahan Yang Satu, yang tampak di alam syahadah dan hadir sebagai ayat-ayat-Nya, dapat membawa pembaca merasa rindu, leka (fana’), takjub, gharib (asing), mabuk (sukr) dan hanyut dalam keindahan dan kebesaran-Nya.
Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang
Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun alun di atas alas
Benang raja mencelup ujung
Naik marak mengorak corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak
Dalam rupa maha sempurna
Rindu sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Mencecap hidup bertentu tuju
Memang kerinduan para penulis Melayu adalah mencapai semacam keadaan fana’, leka, lampus atau hanyut dalam keindahan Yang Satu. Setelah fana ia akan kudus dan baqa’ (hidup kekal) dalam Yang Abadi: “Ingin datang merasa sentosa/Mencecap hidup bertentu tuju”. Ini bukan eskapisme dan bukan kefanaan yang menimbulkan kepasifan buta, tetapi suatu pencerahan yang menimbulkan gairah ketuhanan. Pada gilirannya gairah ketuhanan, yang disebut Rumi sebagai `isyq (cinta berahi), menumbuhkan sikap moral dan pandangan kerohanian yang positif, di samping keteguhan pribadi dan rasa percaya diri.
Oleh sebab itu Rumi mengatakan bahwa cinta merupakan asas dan sumbu suatu peradaban dan kebudayaan. Tanpa cinta suatu peradaban dan kebudayaan akan rapuh dan runtuh. Cinta, dalam arti yang luas dan hakiki, membentang dari Cinta kepada Tuhan, Nabi, sesama insan, umat, bangsa, tanah air, keluarga, lawan jenis, anak istri, kampung halaman, pekerjaan, keadilan, hukum, tradisi intelektual dan nilai-nilai kebudayaan – yang semua itu merupakan bagian dari diri kita.
Relevansi kesusastraan Melayu bagi kita sekarang ini tampak pada gambaran dunia, wawasan estetik dan pesan kerohaniannya. Penulis-penulis Melayu berbeda dari penulis-penulis Jawa Kuno dan modern dalam menempatkan diri dalam kehidupan. Penulis-penulis Jawa Kuno memandang diri mereka sebagai Mpu yang memiliki kekuatan spiritual berkat yoga dan tapa bratanya, sehingga disanjung dan disegani masyarakatnya, dan mendapat pujian dari raja-raja dan kaum bangsawan. Penulis modern memandang dirinya sebagai Ahasveros yang dikutuk dan disumpahi Eros (dewa Cinta) dan akhirnya menjadi pengembara yang terasing dari Tuhan dan manusia lain.
Penulis-penulis Melayu memandang diri mereka sebagai faqir, dagang atau anak hulubalang (yang tidak takut pada tombak Jawa, kata Hamzah Fansuri). Amir Hamzah menyebut diri sebagai ‘musafir lata’, yang artinya kurang lebih sama dengan anak dagang. Sering pula mereka menyebut diri talib (pencari), salik (penempuh jalan kerohanian), syawqi (perindu Tuhan) dan asyik (pencinta yang berahi seperti Majenun). Seorang faqir adalah dia yang sangat memerlukan Tuhan (faqr), sebab hanya Tuhan yang maha kaya dan berkelimpahan (fadl), sedang manusia sebenarnya tidak memiliki apa-apa (faqir) dan karena itu sangat memerlukan Dia.
Kalau seorang penulis ialah seorang salik, maka karyanya merupakan suluk atau jalan kerohanian. Di dalamnya terdapat terminal-terminal atau perhentian-perhentian spiritual. Terminal terakhir ialah kekariban (uns) dengan Tuhan. Kekariban dilambangkan dengan sampainya seorang pencari di puncak gunung mistis atau kosmis, yaitu gunung Qaf. Sebagaimana dinyatakan oleh Amir Hamzah dalam baris akhir sajak “Hanya Satu”: “Serupa Musa di puncak Tursina”.
Karya-karya Melayu klasik penuh dengan uraian tentang perjalanan ke gunung, sebagaimana karya-karya penulis Jawa. Ini juga kita jumpai dalam karya mutakhir seperti Khotbah Di Atas Bukit novel Kuntowijoyo. Atau sajak Sutardji Calzoum Bachri “Para Peminum”. Karya-karya Amir Hamzah dalam Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi, bahkan juga Setanggi Timur, merupakan dokumen pencarian dan perjalanan kerohanian Amir Hamzah menuju Yang Satu. Ia adalah suluk mengarungi ‘tujuh lembah’ nya `Attar (Mantiq al-Tayr). Dalam perjalanan mengarungi tujuh lembah kerohanian itu penyair tidak sekali dua kali mengalami godaan, konflik dan lain sebagainya. Di lembah terakhir, iaitu lembah cinta dan fana` penyair menemukan dirinya yang sejati. Sebagaimana dilukiskan dalam sajak “Padamu Jua”:
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil gemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang pelahan
Sabar setia selalu
Ali Usman al-Hujwiri (abad ke-11 M) dalam bukunya Kasyf al-Mahjub menyatakan bahwa inti penghayatan agama ialah pertemuan dan percakapan rahasia antara manusia dan Tuhan. Pengalaman pertama manusia bertemu dan bercakap dengan Tuhannya ialah pada Hari Alastu, ketika manusia belum diturunkan ke dunia dan rohnya belum dirakit pada tubuhnya yang dibuat dari lempung Adam. Seperti dinyatakan dalam al-Qur’an (7:172), “Alastu bi rabbikum? Qalu bala syahidna…” (Bukankah Aku Tuhanmu? Ya, aku bersaksi!”).
Pengalaman primordial di Hari Alastu tertanam jauh di lubuk kalbu manusia, di suatu tempat yang disebut sirr Allah (rahasia Tuhan). Di sinilah locus percakapan manusia dengan Tuhan. Di sinilah rumah primordial atau asali manusia, tempat seorang asyik (yang insaf bahwa cinta profan bersifat sementara) “Pulang kembali aku padamu/ seperti dahulu”. Karena tempat tersebut sangat tersembunyi, seperti pelita yang berada dalam relung kaca di tempat jauh, tidak mudah seseorang menembusnya.Tetapi dalam momen-momen tertentu pengalaman religi dan mistis, kesadaran atau kerinduan Hari Alastu dapat timbul kembali. Sebagaimana bait pertama sajak Amir dapat dirujuk pada al-Qur’an dan konsep penyair-penyair sufi Melayu tentang Hari Alastu, demikian pula bait kedua sajak tersebut. Image ‘kandil gemerlap’ dapat dikaitkan dengan ‘pelita dalam misykat yang menyala dengan sendirinya’ (Surah an-Nur).
Memang terdapat banyak ungkapan simbolik Amir Hamzah dapat dirujuk pada ayat-ayat al-Qur’an dan puisi-puisi penyair sufi Melayu seperti Hamzah Fansuri. Saya cukup menyebut ungakapan-ungkapan dalam sajak Amir Hamzah “Padamu Jua” misalnya seperti dalam bait-bait berikut:
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Bandingkan dengan ungkapan dalam syair-syair Hamzah Fansuri seperti berikut:
Tauhidmu yogya kau pasang
Supaya kasih mahbub yang larang
Kerjanya berbuat hajib
Berlindung di dalam talib
Mahbub nin hikmatnya ghalib
Di tengah padang terlalu galib
Rumahnya bertukar-tukar
Jalannya berputar-putar
Manikam di mulut ular
Mendapat dia terlalu sukar
Nyatalah bahwa sajak-sajak Amir Hamzah bukan sajak percintaan biasa. Kepenyairannya mempunyai pertalian dengan tradisi sastra Sufi di Alam Melayu Nusantara. Kepenyairannya jelas revelan bagi kita sekarang. Terutama apabila kita kaitkan dengan berkembangnya kecenderungan akan sastra keagamaan yang berakar dalam tradisi sastra Melayu Nusantara. Amir Hamzah memberi teladan yang benar. Dia telah berhasil menunjukkan bahwa sastra Melayu berkembang pada zaman keemasannya karena didasarkan pada sistem sastra yang universal. Sistem tersebut tidak hanya berkaitan dengan masalah estetik sastra atau seni, tetapi juga berhubungan erat pandangan dunia (worldview) yang juga mendasari perkembangan bahasa, pemikiran intelektual dan kebudayaan Melayu Nusantara secara keseluruhan. Persoalannya bagi penulis-penulis sekarang ini ialah bagaimana menggali lebih jauh sistem sastra yang universal itu dan mentransformasikan ke dalam iklim kehidupan Alaf ke-3 yang penuh dengan tantangan.
Jakarta 29 November 1999
Bacaan:
Abdul Hadi W. M.. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya. Bandung: Mizan, 1995.
V. I. Braginsky. The System of Classical Malay Literature. Leiden: KITLV Press, 1993.
Md. Salleh Yaapar. Mysticism and Poetry: A Hermeneutical Reading of the Poems of Amir Hamzah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1995.
Post a Comment
mohon gunakan email