Pesan Rahbar

Home » , » AMIR HAMZAH DAN RELEVANSI SASTRA MELAYU

AMIR HAMZAH DAN RELEVANSI SASTRA MELAYU

Written By Unknown on Tuesday 15 July 2014 | 18:32:00

Oleh: Prof.Dr. Abdul Hadi W.M.
            
Amir  Hamzah telah sering dibahas dan dibicarakan.  Apa sumbangan   penyair   ini   bagi   perkembangan   bahasa   dan kesusastraan   Indonesia   modern   dan   apa   arti   penting kepenyairannya  bagi  kita sekarang? Mungkin salah  satu  cara untuk   memahaminya   ialah  dengan   melihat   kreativitasnya menghidupkan kembali sistem sastra Melayu dalam konteks budaya dan zaman baru.
            
Apabila kita membaca karya-karyanya secara mendalam dan membandingkan  dengan puisi-puisi Melayu klasik terbaik,  akan tampak  bahwa  di belakang kepenyairannya  terbentang  sejarah panjang  gagasan  sastra yang sangat  berbeda  dengan  gagasan  modernisme yang dilontarkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana  dan Chairil  Anwar.  Perbedaan tersebut terutama  tercermin  dalam gambaran  dunia  (weltanschaung)  dan  wawasan  estetik   yang mendasari  sistem sastra masing-masing. Ini  tidak  semata-mata disebabkan  perbedaan  pengalaman dan latar  belakang  sosial, melainkan  disebabkan terutama oleh pandangan  terhadap  agama dan kebudayaan.
            
Kesusastraan Melayu, sebagaimana kesusastraan Jawa bagi kebudayaan  Jawa, sangat penting karena ia  merupakan  fundasi utama  kebudayaan Melayu. Ia juga sangat penting  dan  relevan karena  merupakan  faktor utama perkembangan  agama  Islam  dirantau  ini,  suatu agama yang pemeluknya dalam  awal  sejarah kedatangan bangsa Eropah merupakan penentang dan rival  sengit bagi penjajah Portugis dan Belanda.
            
Karya-karya  Melayu klasik selama lebih dua  abad  juga menjadi model dan sumber ilham kesusastraan bercorak Islam  di daerah-daerah  Nusantara lain seperti Jawa dan  Sunda.  Bahasa yang  digunakan  sebagai  medianya  pula  dijadikan  asas  dan merupakan asal-usul bahasa persatuan bangsa kita, yakni bahasa Indonesia.  Karena itu dalam membicarakan sejarah  bahasa  dan kesusastraan  Indonesia serta sejarah pemikiran keagamaan  dan kebudayaan,  tidaklah  sepatutnya kita  melupakan  tokoh-tokoh seperti  Hamzah Fansuri, Nuruddin Raniri, Syamsudin Pasai  dan Raja Ali Haji.
             
Gambaran  Dunia. Penulis-penulis Melayu memandang  alam semesta  sebagai sebuah kitab agung yang indah,  sebuah  karya sastra.  Sang  Pencipta menjelmakan  dunia  dari  Perbendaharaan pengetahuan-Nya  yang tersembunyi (kanz makhfiy).  Ia,  dunia, ditulis   dengan  Kalam  Tuhan  pada  Lembaran   yang   sangat terpelihara  (lawhul  mahfudz)  (Braginsky  1993:1).   Pribadi manusia,  dengan  wujud  zahir dan  batinnya,  juga  merupakan sebuah  kitab, sebuah karya sastra.     Keseluruhan  hikmah  alam semesta direkamkan  ke  dalam diri  atau pribadi manusia setelah diringkas  dan  dipadatkan. Hikmah-hikmah tersebut hadir sebagai ayat-ayat-Nya yang  penuh rahasia  dan patut direnungkan oleh mereka  yang  berkeinginan mengenal hakekat dirinya dan Tuhannya, sebagaimana  dinyatakan oleh Imam al-Ghazali (Ihya’ Ulumuddin dan Kimya-i Saadah)
            
Selaras dengan gambaran tersebut, karya sastra mestilah dibentuk  menyerupai  pribadi  manusia.  Ungkapan  zahir  atau bentuk luar karya sastra, sebagaimana tubuh manusia dan  wujud alam, hendaknya memberi bayangan tentang kehadiran rahasia dan keberadaan  Tuhan.  Gejala-gejala  alam,   peristiwa-peristiwa kemanusiaan  dan  sejarah, keindahan yang tak  tepermanai  dan berbagai-bagai  di alam syahadah merupakan  manifestasi  cinta Tuhan  dan  pengetahuan-Nya yang tidak  terhingga.
            
Semua  itu dihadirkan agar dikenal dan dijadikan  jalan kenaikan.  Ini sesuai dengan prinsip metafisika atau  ontologi Sufi:  ‘yang  banyak’ merupakan  manifestasi  keindahan  Yang Satu,  yakni  cinta dan pengetahuan-Nya. ‘Yang  banyak’  tidak terbebas dari pengetahuan Tuhan, sebab ‘yang banyak’  diliputi oleh pengetahuan-Nya, dan tidak terbebas pula dari  cinta-Nya, yakni al-rahman dan al-rahim-Nya. Karena itu penulis-penulis

Melayu selalu memulai karangannya dengan ucapan Basmalah  atau puji-pujian kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Cara meresapi dan memahami hakekat penciptaan ini ialah melalui  peresapan  kalbu,  atau  melalui  `ishq  (cinta)  dan pemahaman   spiritual,  yaitu   ma`rifah.   Perkatan-perkataan berahi,  rindu,  mabuk,  takjub, lena,  leka,  gharib,  asyik, karib, tamasya dan lain-lain — yang sering kita jumpai  dalam karya-karya  penyair Melayu — merujuk kepada  keadaan-keadaan rohani  yang  dialami seorang asyik dan  ahli  makrifat  dalam perjalanannya menuju Yang Satu.

Wawasan  estetik. Karena ‘yang banyak’,  yaitu  gejala-gejala  alam dan kehidupan manusia, berakar dalam  pengetahuan Yang  Satu,  maka pengalaman zahir  (empiris)  dan  pengalaman sejarah dapat dijadikan tangga naik  menuju  Yang Satu,  Yang Gaib dan Transenden itu. Gubahan puisi atau  nazam –  berupa susunan majaz (bahasa figuratif)  yang  strukturnya kompleks, terdiri dari imej-imej simbolik, kias dan metafor — berfungsi  sebagai tangga naik menuju kebenaran dan  keindahan hakiki.

Kebenaran  dan keindahan hakiki inilah  yang  merupakan makna-makna  yang  diturunkan  seorang  penyair  dalam  nazam. Ungkapan  puitik atau nazam sebagai bentuk luar karya  sastra, yang di situ pembaca dapat merasakan pengalaman estetik  penuh pesona,  disebut  surah.  Surah berarti  gambar,  contoh  atau salinan  dari  contoh yang ada dalam  dunia  makna-makna  atau gagasan-gagasan.

Fungsi  surah ialah sebagai tangga naik  menuju  makna. Bahasa  puisi,  seperti dikatakan   al-Jurjani  seorang  tokoh strukturalisme  Arab  klasik  abad ke-11,  adalah  makna  yang menurunkan makna-makna. Pembaca puisi yang arif akan menerobos keindahan  ungkapan zahir dan naik ke alam makna-makna.  Tema-tema   cinta  yang  sering  disajikan  penulis  Melayu   tidak selamanya merujuk kepada pengalaman cinta biasa, cinta profan.

Ia  disajikan  sebagai  tangga naik menuju  cinta  yang  lebih tinggi: mistikal, kerohanian, ketuhanan. Sebagian besar sajak-sajak Amir Hamzah berisi tangga naik seperti itu. Efek moral dan psikologis. Setiap karya sastra  ditulis dengan  tujuan  memberi  efek moral  dan  psikologis  tertentu kepada   pembacanya.  Penulis-penulis  Melayu   pada   umumnya mengharapkan  karyanya  dapat   mendorong  pembaca   meneladan perbuatan  baik tokoh-tokoh yang diceritakannya.  Dalam  puisi yang  bernafas keagamaan efek moral dan psikologis yang  ingin dicapai ialah supaya pembaca berkeinginan melakukan perjalanan spiritual  sehingga  hampir  dengan  Yang  Satu.  Ini   tampak misalnya dalam sajak Amir Hamzah “Berdiri Aku”.

Penyair  mula-mula menggambarkan gerak-gerak alam  atau gejala  pergerakan alam dengan memberikan  pembayang  terhadap kehadiran rahasia Tuhan dan keluarbiasaan keindahan-Nya. Camar yang  menepis  buih,  bakau yang mengurai  puncak,  ubur  yang terkembang,   warna  keemasan  air  laut  dan   pelangi   yang memabukkan elang sehingga burung ini leka (fana) — semua  itu memberi   gambaran  bahwa  gejala-gejala   alam   membayangkan keindahan Sang Pencipta.

 Ungkapan-ungkapan seperti ‘mengurai puncak’, ‘berjulang datang’, ‘mengempas emas’, ‘memuncak sunyi’, ‘sayap tergulung’ dan  lain-lain mengisyaratkan bahwa keindahan  yang  berbagai-bagai  di alam syahadah ini sebenarnya merupakan  tangga  naik  menuju  Yang Hakiki. Keindahan Yang Satu, yang tampak di  alam syahadah  dan  hadir  sebagai  ayat-ayat-Nya,  dapat   membawa pembaca  merasa rindu, leka (fana’), takjub,  gharib  (asing), mabuk (sukr) dan hanyut dalam keindahan dan kebesaran-Nya.

                       Berdiri aku di senja senyap
                       Camar melayang menepis buih
                       Melayah bakau mengurai puncak
                       Berjulang datang ubur terkembang
       
                       Angin pulang menyejuk bumi
                       Menepuk teluk mengempas emas
                       Lari ke gunung memuncak sunyi
                       Berayun alun di atas alas
       
                       Benang raja mencelup ujung
                       Naik marak mengorak corak
                       Elang leka sayap tergulung
                       Dimabuk warna berarak-arak
       
                       Dalam rupa maha sempurna
                       Rindu sendu mengharu kalbu
                       Ingin datang merasa sentosa
                       Mencecap hidup bertentu tuju
       
Memang  kerinduan para penulis Melayu  adalah  mencapai semacam   keadaan  fana’,  leka,  lampus  atau  hanyut   dalam keindahan  Yang  Satu. Setelah fana ia akan  kudus  dan  baqa’ (hidup   kekal)  dalam  Yang  Abadi:  “Ingin   datang   merasa sentosa/Mencecap hidup bertentu tuju”. Ini bukan eskapisme dan bukan  kefanaan yang menimbulkan kepasifan buta, tetapi  suatu pencerahan yang menimbulkan gairah ketuhanan. Pada  gilirannya gairah  ketuhanan,  yang  disebut Rumi  sebagai  `isyq  (cinta berahi), menumbuhkan sikap moral dan pandangan kerohanian yang positif, di samping keteguhan pribadi dan rasa percaya diri.

Oleh  sebab itu Rumi mengatakan bahwa  cinta  merupakan asas  dan  sumbu suatu peradaban dan kebudayaan.  Tanpa  cinta  suatu  peradaban dan kebudayaan akan rapuh dan runtuh.  Cinta, dalam arti yang luas dan hakiki, membentang dari Cinta  kepada Tuhan, Nabi, sesama insan, umat, bangsa, tanah air,  keluarga, lawan jenis, anak istri, kampung halaman, pekerjaan, keadilan, hukum, tradisi intelektual dan nilai-nilai kebudayaan –  yang semua itu merupakan bagian dari diri kita.

Relevansi  kesusastraan Melayu bagi kita  sekarang  ini tampak   pada  gambaran  dunia,  wawasan  estetik  dan   pesan kerohaniannya.  Penulis-penulis Melayu berbeda  dari  penulis-penulis  Jawa  Kuno dan modern dalam  menempatkan  diri  dalam kehidupan.  Penulis-penulis  Jawa Kuno memandang  diri  mereka sebagai  Mpu yang memiliki kekuatan spiritual berkat yoga  dan tapa bratanya, sehingga disanjung dan disegani  masyarakatnya, dan mendapat pujian dari raja-raja dan kaum bangsawan. Penulis modern  memandang dirinya sebagai Ahasveros yang  dikutuk  dan disumpahi  Eros (dewa Cinta) dan akhirnya  menjadi  pengembara yang terasing dari Tuhan dan manusia lain.

Penulis-penulis  Melayu memandang diri  mereka  sebagai faqir,  dagang  atau anak hulubalang (yang  tidak  takut  pada  tombak  Jawa, kata Hamzah Fansuri). Amir Hamzah menyebut  diri sebagai ‘musafir lata’, yang artinya kurang lebih sama  dengan anak dagang. Sering pula mereka menyebut diri talib (pencari), salik (penempuh jalan kerohanian), syawqi (perindu Tuhan)  dan asyik  (pencinta yang berahi seperti Majenun).  Seorang  faqir adalah  dia yang sangat memerlukan Tuhan (faqr),  sebab  hanya Tuhan yang maha kaya dan berkelimpahan (fadl), sedang  manusia sebenarnya  tidak  memiliki  apa-apa (faqir)  dan  karena  itu sangat memerlukan Dia.

Kalau   seorang  penulis  ialah  seorang  salik,   maka karyanya  merupakan suluk atau jalan kerohanian.  Di  dalamnya terdapat    terminal-terminal    atau    perhentian-perhentian spiritual.  Terminal  terakhir ialah  kekariban  (uns)  dengan Tuhan. Kekariban dilambangkan dengan sampainya seorang pencari  di  puncak  gunung  mistis  atau  kosmis,  yaitu  gunung  Qaf. Sebagaimana  dinyatakan  oleh Amir Hamzah  dalam  baris  akhir sajak  “Hanya Satu”: “Serupa Musa di puncak  Tursina”.

Karya-karya  Melayu klasik penuh dengan uraian  tentang perjalanan  ke gunung, sebagaimana karya-karya  penulis  Jawa. Ini juga kita jumpai dalam  karya mutakhir seperti  Khotbah Di Atas  Bukit  novel Kuntowijoyo. Atau  sajak  Sutardji  Calzoum Bachri  “Para  Peminum”. Karya-karya Amir  Hamzah  dalam  Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi, bahkan juga Setanggi Timur,  merupakan dokumen pencarian dan perjalanan kerohanian Amir Hamzah menuju Yang Satu. Ia adalah suluk mengarungi ‘tujuh lembah’ nya `Attar (Mantiq  al-Tayr).  Dalam perjalanan mengarungi  tujuh  lembah kerohanian itu penyair tidak sekali dua kali mengalami godaan, konflik dan lain sebagainya. Di lembah terakhir, iaitu  lembah cinta   dan  fana`  penyair  menemukan  dirinya  yang   sejati. Sebagaimana dilukiskan dalam sajak “Padamu Jua”:

                      Habis kikis
                      Segala cintaku hilang terbang
                      Pulang kembali aku padamu
                      Seperti dahulu
      
                    Kaulah kandil gemerlap
                      Pelita jendela di malam gelap
                      Melambai pulang pelahan
                      Sabar setia selalu
       
Ali Usman al-Hujwiri (abad ke-11 M) dalam bukunya Kasyf al-Mahjub  menyatakan  bahwa  inti  penghayatan  agama   ialah pertemuan  dan  percakapan rahasia antara manusia  dan  Tuhan. Pengalaman   pertama  manusia  bertemu  dan  bercakap   dengan Tuhannya   ialah  pada  Hari  Alastu,  ketika  manusia   belum diturunkan  ke  dunia dan rohnya belum dirakit  pada  tubuhnya yang  dibuat dari lempung Adam. Seperti dinyatakan  dalam  al-Qur’an  (7:172), “Alastu bi rabbikum? Qalu  bala  syahidna…” (Bukankah Aku Tuhanmu? Ya, aku bersaksi!”).

Pengalaman  primordial di Hari Alastu tertanam jauh  di lubuk  kalbu manusia, di suatu tempat yang disebut sirr  Allah (rahasia  Tuhan). Di sinilah locus percakapan  manusia  dengan Tuhan. Di sinilah rumah primordial atau asali manusia,  tempat seorang   asyik  (yang  insaf  bahwa  cinta  profan   bersifat sementara) “Pulang kembali aku padamu/ seperti dahulu”. Karena tempat tersebut sangat tersembunyi, seperti pelita yang berada dalam  relung  kaca  di tempat  jauh,  tidak  mudah  seseorang menembusnya.      Tetapi  dalam momen-momen tertentu pengalaman  religi dan mistis, kesadaran atau kerinduan Hari Alastu dapat  timbul kembali.  Sebagaimana  bait pertama sajak Amir  dapat  dirujuk pada al-Qur’an dan konsep penyair-penyair sufi Melayu  tentang Hari  Alastu,  demikian pula bait kedua sajak  tersebut.  Image ‘kandil gemerlap’ dapat dikaitkan dengan ‘pelita dalam misykat yang menyala dengan sendirinya’ (Surah an-Nur).

Memang  terdapat banyak ungkapan simbolik  Amir  Hamzah dapat dirujuk pada ayat-ayat al-Qur’an dan puisi-puisi penyair sufi  Melayu  seperti  Hamzah  Fansuri.  Saya  cukup  menyebut ungakapan-ungkapan  dalam  sajak  Amir  Hamzah  “Padamu   Jua” misalnya seperti dalam bait-bait berikut:
                      
 Engkau cemburu
                       Engkau ganas
                       Mangsa aku dalam cakarmu
                       Bertukar tangkap dengan lepas
       
                       Nanar aku, gila sasar
                       Sayang berulang padamu jua
                       Engkau pelik menarik ingin
                       Serupa dara di balik tirai

Bandingkan  dengan  ungkapan dalam  syair-syair  Hamzah Fansuri seperti berikut:
                       
Tauhidmu yogya kau pasang
                       Supaya kasih mahbub yang larang
                      
           Kerjanya berbuat hajib
                       Berlindung di dalam talib
                       Mahbub nin hikmatnya ghalib
                       Di tengah padang terlalu galib
                  
                       Rumahnya bertukar-tukar
                       Jalannya berputar-putar
                       Manikam di mulut ular
                       Mendapat dia terlalu sukar

Nyatalah  bahwa  sajak-sajak Amir  Hamzah  bukan  sajak percintaan  biasa. Kepenyairannya mempunyai  pertalian  dengan tradisi sastra Sufi di Alam Melayu Nusantara. Kepenyairannya   jelas  revelan  bagi   kita   sekarang. Terutama    apabila   kita   kaitkan   dengan    berkembangnya kecenderungan akan sastra keagamaan yang berakar dalam tradisi sastra  Melayu  Nusantara. Amir Hamzah  memberi  teladan  yang benar.  Dia  telah berhasil menunjukkan  bahwa  sastra  Melayu berkembang  pada  zaman  keemasannya  karena  didasarkan  pada sistem  sastra  yang universal. Sistem  tersebut  tidak  hanya berkaitan dengan masalah estetik sastra atau seni, tetapi juga berhubungan   erat  pandangan  dunia  (worldview)  yang   juga  mendasari  perkembangan  bahasa,  pemikiran intelektual dan kebudayaan Melayu Nusantara secara keseluruhan.   Persoalannya bagi  penulis-penulis  sekarang ini ialah  bagaimana  menggali lebih   jauh   sistem   sastra   yang   universal   itu   dan mentransformasikan  ke  dalam iklim kehidupan Alaf  ke-3  yang penuh dengan tantangan.
                                                                                   

 Jakarta 29 November 1999


Bacaan: 
Abdul Hadi W. M..  Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan   Puisi-puisinya. Bandung:     Mizan, 1995.
V.   I.   Braginsky.  The  System  of   Classical   Malay Literature. Leiden: KITLV Press,   1993.
Md. Salleh Yaapar. Mysticism and Poetry: A  Hermeneutical Reading  of the Poems of       Amir Hamzah.  Kuala  Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1995.
AMIR HAMZAH


DAN RELEVANSI SASTRA MELAYU

Oleh: Dr. Abdul Hadi W.M.

Amir  Hamzah telah sering dibahas dan dibicarakan.  Apa sumbangan   penyair   ini   bagi   perkembangan   bahasa   dan kesusastraan   Indonesia   modern   dan   apa   arti   penting kepenyairannya  bagi  kita sekarang? Mungkin salah  satu  cara untuk   memahaminya   ialah  dengan   melihat   kreativitasnya menghidupkan kembali sistem sastra Melayu dalam konteks budaya dan zaman baru.

Apabila kita membaca karya-karyanya secara mendalam dan membandingkan  dengan puisi-puisi Melayu klasik terbaik,  akan tampak  bahwa  di belakang kepenyairannya  terbentang  sejarah panjang  gagasan  sastra yang sangat  berbeda  dengan  gagasan  modernisme yang dilontarkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana  dan Chairil  Anwar.  Perbedaan tersebut terutama  tercermin  dalam gambaran  dunia  (weltanschaung)  dan  wawasan  estetik   yang mendasari  sistem sastra masing-masing. Ini  tidak  semata-mata disebabkan  perbedaan  pengalaman dan latar  belakang  sosial, melainkan  disebabkan terutama oleh pandangan  terhadap  agama dan kebudayaan.

Kesusastraan Melayu, sebagaimana kesusastraan Jawa bagi kebudayaan  Jawa, sangat penting karena ia  merupakan  fundasi utama  kebudayaan Melayu. Ia juga sangat penting  dan  relevan karena  merupakan  faktor utama perkembangan  agama  Islam  dirantau  ini,  suatu agama yang pemeluknya dalam  awal  sejarah kedatangan bangsa Eropah merupakan penentang dan rival  sengit bagi penjajah Portugis dan Belanda.

Karya-karya  Melayu klasik selama lebih dua  abad  juga menjadi model dan sumber ilham kesusastraan bercorak Islam  di daerah-daerah  Nusantara lain seperti Jawa dan  Sunda.  Bahasa yang  digunakan  sebagai  medianya  pula  dijadikan  asas  dan merupakan asal-usul bahasa persatuan bangsa kita, yakni bahasa Indonesia.  Karena itu dalam membicarakan sejarah  bahasa  dan kesusastraan  Indonesia serta sejarah pemikiran keagamaan  dan kebudayaan,  tidaklah  sepatutnya kita  melupakan  tokoh-tokoh seperti  Hamzah Fansuri, Nuruddin Raniri, Syamsudin Pasai  dan Raja Ali Haji.

Gambaran  Dunia. Penulis-penulis Melayu memandang  alam semesta  sebagai sebuah kitab agung yang indah,  sebuah  karya sastra.  Sang  Pencipta menjelmakan  dunia  dari  Perbendaharaan pengetahuan-Nya  yang tersembunyi (kanz makhfiy).  Ia,  dunia, ditulis   dengan  Kalam  Tuhan  pada  Lembaran   yang   sangat terpelihara  (lawhul  mahfudz)  (Braginsky  1993:1).   Pribadi manusia,  dengan  wujud  zahir dan  batinnya,  juga  merupakan sebuah  kitab, sebuah karya sastra.     Keseluruhan  hikmah  alam semesta direkamkan  ke  dalam diri  atau pribadi manusia setelah diringkas  dan  dipadatkan. Hikmah-hikmah tersebut hadir sebagai ayat-ayat-Nya yang  penuh rahasia  dan patut direnungkan oleh mereka  yang  berkeinginan mengenal hakekat dirinya dan Tuhannya, sebagaimana  dinyatakan oleh Imam al-Ghazali (Ihya’ Ulumuddin dan Kimya-i Saadah).

Selaras dengan gambaran tersebut, karya sastra mestilah dibentuk  menyerupai  pribadi  manusia.  Ungkapan  zahir  atau bentuk luar karya sastra, sebagaimana tubuh manusia dan  wujud alam, hendaknya memberi bayangan tentang kehadiran rahasia dan keberadaan  Tuhan.  Gejala-gejala  alam,   peristiwa-peristiwa kemanusiaan  dan  sejarah, keindahan yang tak  tepermanai  dan berbagai-bagai  di alam syahadah merupakan  manifestasi  cinta Tuhan  dan  pengetahuan-Nya yang tidak  terhingga.

Semua  itu dihadirkan agar dikenal dan dijadikan  jalan kenaikan.  Ini sesuai dengan prinsip metafisika atau  ontologi Sufi:  ‘yang  banyak’ merupakan  manifestasi  keindahan  Yang Satu,  yakni  cinta dan pengetahuan-Nya. ‘Yang  banyak’  tidak terbebas dari pengetahuan Tuhan, sebab ‘yang banyak’  diliputi oleh pengetahuan-Nya, dan tidak terbebas pula dari  cinta-Nya, yakni al-rahman dan al-rahim-Nya.

Karena itu penulis-penulis Melayu selalu memulai karangannya dengan ucapan Basmalah  atau puji-pujian kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Cara meresapi dan memahami hakekat penciptaan ini ialah melalui  peresapan  kalbu,  atau  melalui  `ishq  (cinta)  dan pemahaman   spiritual,  yaitu   ma`rifah.   Perkatan-perkataan berahi,  rindu,  mabuk,  takjub, lena,  leka,  gharib,  asyik, karib, tamasya dan lain-lain — yang sering kita jumpai  dalam karya-karya  penyair Melayu — merujuk kepada  keadaan-keadaan rohani  yang  dialami seorang asyik dan  ahli  makrifat  dalam perjalanannya menuju Yang Satu.

Wawasan  estetik. Karena ‘yang banyak’,  yaitu  gejala-gejala  alam dan kehidupan manusia, berakar dalam  pengetahuan Yang  Satu,  maka pengalaman zahir  (empiris)  dan  pengalaman sejarah dapat dijadikan tangga naik  menuju  Yang Satu,  Yang Gaib dan Transenden itu. Gubahan puisi atau  nazam –  berupa susunan majaz (bahasa figuratif)  yang  strukturnya kompleks, terdiri dari imej-imej simbolik, kias dan metafor — berfungsi  sebagai tangga naik menuju kebenaran dan  keindahan hakiki.

Kebenaran  dan keindahan hakiki inilah  yang  merupakan makna-makna  yang  diturunkan  seorang  penyair  dalam  nazam. Ungkapan  puitik atau nazam sebagai bentuk luar karya  sastra, yang di situ pembaca dapat merasakan pengalaman estetik  penuh pesona,  disebut  surah.  Surah berarti  gambar,  contoh  atau salinan  dari  contoh yang ada dalam  dunia  makna-makna  atau gagasan-gagasan.

Fungsi  surah ialah sebagai tangga naik  menuju  makna. Bahasa  puisi,  seperti dikatakan   al-Jurjani  seorang  tokoh strukturalisme  Arab  klasik  abad ke-11,  adalah  makna  yang menurunkan makna-makna. Pembaca puisi yang arif akan menerobos keindahan  ungkapan zahir dan naik ke alam makna-makna.  Tema-tema   cinta  yang  sering  disajikan  penulis  Melayu   tidak selamanya merujuk kepada pengalaman cinta biasa, cinta profan.

Ia  disajikan  sebagai  tangga naik menuju  cinta  yang  lebih tinggi: mistikal, kerohanian, ketuhanan. Sebagian besar sajak-sajak Amir Hamzah berisi tangga naik seperti itu. Efek moral dan psikologis. Setiap karya sastra  ditulis dengan  tujuan  memberi  efek moral  dan  psikologis  tertentu kepada   pembacanya.  Penulis-penulis  Melayu   pada   umumnya mengharapkan  karyanya  dapat   mendorong  pembaca   meneladan perbuatan  baik tokoh-tokoh yang diceritakannya.  Dalam  puisi yang  bernafas keagamaan efek moral dan psikologis yang  ingin dicapai ialah supaya pembaca berkeinginan melakukan perjalanan spiritual  sehingga  hampir  dengan  Yang  Satu.  Ini   tampak misalnya dalam sajak Amir Hamzah “Berdiri Aku”.

Penyair  mula-mula menggambarkan gerak-gerak alam  atau gejala  pergerakan alam dengan memberikan  pembayang  terhadap kehadiran rahasia Tuhan dan keluarbiasaan keindahan-Nya. Camar yang  menepis  buih,  bakau yang mengurai  puncak,  ubur  yang terkembang,   warna  keemasan  air  laut  dan   pelangi   yang memabukkan elang sehingga burung ini leka (fana) — semua  itu memberi   gambaran  bahwa  gejala-gejala   alam   membayangkan keindahan Sang Pencipta.

Ungkapan-ungkapan seperti ‘mengurai puncak’, ‘berjulang datang’, ‘mengempas emas’, ‘memuncak sunyi’, ‘sayap tergulung’ dan  lain-lain mengisyaratkan bahwa keindahan  yang  berbagai-bagai  di alam syahadah ini sebenarnya merupakan  tangga  naik  menuju  Yang Hakiki. Keindahan Yang Satu, yang tampak di  alam syahadah  dan  hadir  sebagai  ayat-ayat-Nya,  dapat   membawa pembaca  merasa rindu, leka (fana’), takjub,  gharib  (asing), mabuk (sukr) dan hanyut dalam keindahan dan kebesaran-Nya.

                       Berdiri aku di senja senyap
                       Camar melayang menepis buih
                       Melayah bakau mengurai puncak
                       Berjulang datang ubur terkembang
       
                       Angin pulang menyejuk bumi
                       Menepuk teluk mengempas emas
                       Lari ke gunung memuncak sunyi
                       Berayun alun di atas alas
       
                       Benang raja mencelup ujung
                       Naik marak mengorak corak
                       Elang leka sayap tergulung
                       Dimabuk warna berarak-arak
       
                       Dalam rupa maha sempurna
                       Rindu sendu mengharu kalbu
                       Ingin datang merasa sentosa
                       Mencecap hidup bertentu tuju
       
 Memang  kerinduan para penulis Melayu  adalah  mencapai semacam   keadaan  fana’,  leka,  lampus  atau  hanyut   dalam keindahan  Yang  Satu. Setelah fana ia akan  kudus  dan  baqa’ (hidup   kekal)  dalam  Yang  Abadi:  “Ingin   datang   merasa sentosa/Mencecap hidup bertentu tuju”. Ini bukan eskapisme dan bukan  kefanaan yang menimbulkan kepasifan buta, tetapi  suatu pencerahan yang menimbulkan gairah ketuhanan. Pada  gilirannya gairah  ketuhanan,  yang  disebut Rumi  sebagai  `isyq  (cinta berahi), menumbuhkan sikap moral dan pandangan kerohanian yang positif, di samping keteguhan pribadi dan rasa percaya diri.
Oleh  sebab itu Rumi mengatakan bahwa  cinta  merupakan asas  dan  sumbu suatu peradaban dan kebudayaan.  Tanpa  cinta  suatu  peradaban dan kebudayaan akan rapuh dan runtuh.  Cinta, dalam arti yang luas dan hakiki, membentang dari Cinta  kepada Tuhan, Nabi, sesama insan, umat, bangsa, tanah air,  keluarga, lawan jenis, anak istri, kampung halaman, pekerjaan, keadilan, hukum, tradisi intelektual dan nilai-nilai kebudayaan –  yang semua itu merupakan bagian dari diri kita.

Relevansi  kesusastraan Melayu bagi kita  sekarang  ini tampak   pada  gambaran  dunia,  wawasan  estetik  dan   pesan kerohaniannya.  Penulis-penulis Melayu berbeda  dari  penulis-penulis  Jawa  Kuno dan modern dalam  menempatkan  diri  dalam kehidupan.  Penulis-penulis  Jawa Kuno memandang  diri  mereka sebagai  Mpu yang memiliki kekuatan spiritual berkat yoga  dan tapa bratanya, sehingga disanjung dan disegani  masyarakatnya, dan mendapat pujian dari raja-raja dan kaum bangsawan. Penulis modern  memandang dirinya sebagai Ahasveros yang  dikutuk  dan disumpahi  Eros (dewa Cinta) dan akhirnya  menjadi  pengembara yang terasing dari Tuhan dan manusia lain.

Penulis-penulis  Melayu memandang diri  mereka  sebagai faqir,  dagang  atau anak hulubalang (yang  tidak  takut  pada  tombak  Jawa, kata Hamzah Fansuri). Amir Hamzah menyebut  diri sebagai ‘musafir lata’, yang artinya kurang lebih sama  dengan anak dagang. Sering pula mereka menyebut diri talib (pencari), salik (penempuh jalan kerohanian), syawqi (perindu Tuhan)  dan asyik  (pencinta yang berahi seperti Majenun).  Seorang  faqir adalah  dia yang sangat memerlukan Tuhan (faqr),  sebab  hanya Tuhan yang maha kaya dan berkelimpahan (fadl), sedang  manusia sebenarnya  tidak  memiliki  apa-apa (faqir)  dan  karena  itu sangat memerlukan Dia.

Kalau   seorang  penulis  ialah  seorang  salik,   maka karyanya  merupakan suluk atau jalan kerohanian.  Di  dalamnya terdapat    terminal-terminal    atau    perhentian-perhentian spiritual.  Terminal  terakhir ialah  kekariban  (uns)  dengan Tuhan. Kekariban dilambangkan dengan sampainya seorang pencari  di  puncak  gunung  mistis  atau  kosmis,  yaitu  gunung  Qaf. Sebagaimana  dinyatakan  oleh Amir Hamzah  dalam  baris  akhir sajak  “Hanya Satu”: “Serupa Musa di puncak  Tursina”.

Karya-karya  Melayu klasik penuh dengan uraian  tentang perjalanan  ke gunung, sebagaimana karya-karya  penulis  Jawa. Ini juga kita jumpai dalam  karya mutakhir seperti  Khotbah Di Atas  Bukit  novel Kuntowijoyo. Atau  sajak  Sutardji  Calzoum Bachri  “Para  Peminum”. Karya-karya Amir  Hamzah  dalam  Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi, bahkan juga Setanggi Timur,  merupakan dokumen pencarian dan perjalanan kerohanian Amir Hamzah menuju Yang Satu. Ia adalah suluk mengarungi ‘tujuh lembah’ nya `Attar (Mantiq  al-Tayr).  Dalam perjalanan mengarungi  tujuh  lembah kerohanian itu penyair tidak sekali dua kali mengalami godaan, konflik dan lain sebagainya. Di lembah terakhir, iaitu  lembah cinta   dan  fana`  penyair  menemukan  dirinya  yang   sejati. Sebagaimana dilukiskan dalam sajak “Padamu Jua”:
          Habis kikis
                      Segala cintaku hilang terbang
                      Pulang kembali aku padamu
                      Seperti dahulu
      
                    Kaulah kandil gemerlap
                      Pelita jendela di malam gelap
                      Melambai pulang pelahan
                      Sabar setia selalu
       
 Ali Usman al-Hujwiri (abad ke-11 M) dalam bukunya Kasyf al-Mahjub  menyatakan  bahwa  inti  penghayatan  agama   ialah pertemuan  dan  percakapan rahasia antara manusia  dan  Tuhan. Pengalaman   pertama  manusia  bertemu  dan  bercakap   dengan Tuhannya   ialah  pada  Hari  Alastu,  ketika  manusia   belum diturunkan  ke  dunia dan rohnya belum dirakit  pada  tubuhnya yang  dibuat dari lempung Adam. Seperti dinyatakan  dalam  al-Qur’an  (7:172), “Alastu bi rabbikum? Qalu  bala  syahidna…” (Bukankah Aku Tuhanmu? Ya, aku bersaksi!”).

Pengalaman  primordial di Hari Alastu tertanam jauh  di lubuk  kalbu manusia, di suatu tempat yang disebut sirr  Allah (rahasia  Tuhan). Di sinilah locus percakapan  manusia  dengan Tuhan. Di sinilah rumah primordial atau asali manusia,  tempat seorang   asyik  (yang  insaf  bahwa  cinta  profan   bersifat sementara) “Pulang kembali aku padamu/ seperti dahulu”. Karena tempat tersebut sangat tersembunyi, seperti pelita yang berada dalam  relung  kaca  di tempat  jauh,  tidak  mudah  seseorang menembusnya.Tetapi  dalam momen-momen tertentu pengalaman  religi dan mistis, kesadaran atau kerinduan Hari Alastu dapat  timbul kembali.  Sebagaimana  bait pertama sajak Amir  dapat  dirujuk pada al-Qur’an dan konsep penyair-penyair sufi Melayu  tentang Hari  Alastu,  demikian pula bait kedua sajak  tersebut.  Image ‘kandil gemerlap’ dapat dikaitkan dengan ‘pelita dalam misykat yang menyala dengan sendirinya’ (Surah an-Nur).

Memang  terdapat banyak ungkapan simbolik  Amir  Hamzah dapat dirujuk pada ayat-ayat al-Qur’an dan puisi-puisi penyair sufi  Melayu  seperti  Hamzah  Fansuri.  Saya  cukup  menyebut ungakapan-ungkapan  dalam  sajak  Amir  Hamzah  “Padamu   Jua” misalnya seperti dalam bait-bait berikut:

                       Engkau cemburu
                       Engkau ganas
                       Mangsa aku dalam cakarmu
                       Bertukar tangkap dengan lepas
       
                       Nanar aku, gila sasar
                       Sayang berulang padamu jua
                       Engkau pelik menarik ingin
                       Serupa dara di balik tirai

Bandingkan  dengan  ungkapan dalam  syair-syair  Hamzah Fansuri seperti berikut:
                      
 Tauhidmu yogya kau pasang
                       Supaya kasih mahbub yang larang
                      
           Kerjanya berbuat hajib
                       Berlindung di dalam talib
                       Mahbub nin hikmatnya ghalib
                       Di tengah padang terlalu galib
                  
                       Rumahnya bertukar-tukar
                       Jalannya berputar-putar
                       Manikam di mulut ular
                       Mendapat dia terlalu sukar

Nyatalah  bahwa  sajak-sajak Amir  Hamzah  bukan  sajak percintaan  biasa. Kepenyairannya mempunyai  pertalian  dengan tradisi sastra Sufi di Alam Melayu Nusantara. Kepenyairannya   jelas  revelan  bagi   kita   sekarang. Terutama    apabila   kita   kaitkan   dengan    berkembangnya kecenderungan akan sastra keagamaan yang berakar dalam tradisi sastra  Melayu  Nusantara. Amir Hamzah  memberi  teladan  yang benar.  Dia  telah berhasil menunjukkan  bahwa  sastra  Melayu berkembang  pada  zaman  keemasannya  karena  didasarkan  pada sistem  sastra  yang universal. Sistem  tersebut  tidak  hanya berkaitan dengan masalah estetik sastra atau seni, tetapi juga berhubungan   erat  pandangan  dunia  (worldview)  yang   juga  mendasari  perkembangan  bahasa,  pemikiran intelektual dan kebudayaan Melayu Nusantara secara keseluruhan.   Persoalannya bagi  penulis-penulis  sekarang ini ialah  bagaimana  menggali lebih   jauh   sistem   sastra   yang   universal   itu   dan mentransformasikan  ke  dalam iklim kehidupan Alaf  ke-3  yang penuh dengan tantangan.

Jakarta 29 November 1999

Bacaan: 
Abdul Hadi W. M..  Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan   Puisi-puisinya. Bandung:     Mizan, 1995.
V.   I.   Braginsky.  The  System  of   Classical   Malay Literature. Leiden: KITLV Press,   1993.
Md. Salleh Yaapar. Mysticism and Poetry: A  Hermeneutical Reading  of the Poems of       Amir Hamzah.  Kuala  Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1995.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: