Oleh: Ruhullah Syams
Kecintaan adalah suatu makna yang inheren di dalam
diri pemilik cinta, dan dia bermakna konsepsi kesempurnaan dan keindahan dari
dimensi ia mempunyai pengaruh terhadap pemiliknya. Dan ia menjadi penyebab
terciptanya hubungan mesra dan harmoni antara sesuatu dengan sesuatu lainnya.
Kecintaan merupakan wasilah bagi terjalinnya hubungan antara setiap pencari dan
tujuan akhir, antara setiap murid dengan muradnya. Setiap pencinta mendapatkan
daya tarik kepada yang dicintainya sehingga dia dengan perantara pertemuan
(wusul) dengan mahbub (yang dicintai) menemukan kesempurnaan. Kehidupan imam
Husain As, seluruhnya tajalli kecintaan. Imam Husain As, tidak hanya pencinta
Tuhan, akan tetapi juga pencinta segala apa yang berasal dari-Nya. Beliau
merupakan orang terdepan dalam jalan kecintaan, dia setiap saat mendambakan
pertemuan dengan Tuhan, sehingga dengan cahaya-Nya dia terbimbing ke puncak
perjamuan dan bersama kakeknya Rasulullah Saw, ayahandanya Amirul mukminin Ali
As, ibundanya hadhrat Fatimah As, dan saudaranya imam Hasan As serta para nabi
dan wali Tuhan lainnya bergabung dalam kafilah pimpinan pencinta Ilahi.
Karbala, adalah taman bunga cinta dan kesetiaan. Di sanalah
tempat bertajalli irfan Imam Husain As, pemimpin kafilah cinta kebenaran dan
Ilahi beserta para keluarga dan para sahabatnya dalam kekesatriaan yang hakiki.
Irfan Imam Husain As mengajarkan kepada para 'arif dan para pesuluk di jalan
cinta dan hak, jalan yang tercepat untuk wusul dan syuhud jamal dan jalal Allah
Swt.
Kecintaan Imam Husain As
Kecintaan adalah suatu makna yang inheren di dalam
diri pemilik cinta, dan dia bermakna konsepsi kesempurnaan dan keindahan dari
dimensi ia mempunyai pengaruh terhadap pemiliknya. Dan ia menjadi penyebab
terciptanya hubungan mesra dan harmoni antara sesuatu dengan sesuatu lainnya.
Kecintaan merupakan wasilah bagi terjalinnya hubungan antara setiap pencari dan
tujuan akhir, antara setiap murid dengan muradnya. Setiap pencinta mendapatkan
daya tarik kepada yang dicintainya sehingga dia dengan perantara pertemuan
(wusul) dengan mahbub (yang dicintai) menemukan kesempurnaan.
Kehidupan imam Husain As, seluruhnya tajalli kecintaan. Imam
Husain As, tidak hanya pencinta Tuhan, akan tetapi juga pencinta segala apa
yang berasal dari-Nya. Beliau merupakan orang terdepan dalam jalan kecintaan,
dia setiap saat mendambakan pertemuan dengan Tuhan, sehingga dengan cahaya-Nya
dia terbimbing ke puncak perjamuan dan bersama kakeknya Rasulullah Saw,
ayahandanya Amirul mukminin Ali As, ibundanya hadhrat Fatimah As, dan
saudaranya imam Hasan As serta para nabi dan wali Tuhan lainnya bergabung dalam
kafilah pimpinan pencinta Ilahi.
Imam Husain As berharap dari Tuhan supaya beliau ditarik
pada hakikat para muqarribun (orang-orang dekat) dan terarahkan pada suluk dan
tarikah orang-orang pencinta. Beliau juga bermohon kepada Tuhan supaya cahaya
Ilahiah yang mengiluminasi pada setiap kalbu nabi, wali, dan orang-orang
khusus, juga mengiluminasi pada kalbunya, sehingga dia sampai kepada makrifat
dan tauhid paling sempurna. Dengan itu dia dapat dengan cepat wusul dan
menyaksikan jamal dan jalal Tuhan serta menghapuskan kecintaan kepada
selain-Nya dari kalbunya. Ini adalah makam fana, dimana makam ini merupakan
akhir dan puncak makam irfan dan kecintaan. Dalam makam ini, pencinta tidak
memiliki kecintaan lagi selain kepada mahbubnya, hatta kepada dirinya sendiri.
Penghulu para syuhada imam Husain As dalam hal ini mengungkapkannya dalam do'a
Arafah seperti ini, "Tuhanku! Saya adalah sang fakir dikala kaya, bagaimana
aku tidak fakir dalam kefakiranku, Tuhanku! Saya adalah sang bodoh dikala
berilmu, bagaimana aku tidak bodoh dalam ketidaktahuanku… . Tuhanku! Sebab aku
berperantara dengan efek-efek-Mu untuk mengenal-Mu maka aku jauh dari syuhud
dan wusul kepada-Mu maka berikanlah kepadaku khidmat yang dengan cepat
menyampaikanku kepada wusul dan syuhud kepada-Mu, bagaimana (aku) berdalil
atas-Mu dengan sesuatu yang ia dalam keberadaannya butuh kepada-Mu, apakah ada
maujud selain-Mu mempunyai zuhur dimana zuhurnya tidak ada Engkau sehingga ia
menjadi penyebab Engkau dikenali? Kapan Engkau gaib sehingga butuh kepada dalil
yang menunjukkan atas-Mu? Kapan Engkau jauh sehingga makhluk-makhluk menjadi
penyampai kepada-Mu? Buta mata yang tidak melihat-Mu dimana Engkau senantiasa
pengawas ia dan merugilah hamba yang tidak mendapatkan bagian dari
kecintaan-Mu."[1]
Hubungan Antara Perang dan Irfan
Perang fisabilillah serta gerakan amar makruf dan nahi
munkar mempunyai prinsip-prinsip dan syarat-syarat tertentu dimana memperoleh
mereka merupakan suatu kemestian dan menolak perkara-perkara yang merintangi
mereka juga menjadi suatu kewajiban. Karena itu, dalam perang dan pergerakan di
jalan hak, tidak hanya menuntut keikhlasan, akan tetapi juga menuntut makrifat
(baca; irfan) terhadap derajat kedarurian peperangan dan kadar pengaruhnya bagi
hidayah ummat manusia secara umum serta kadar pengaruhnya dalam memelihara
akidah ummat Islam secara khusus.
Perang, terkadang dikitari dengan kemudahan, seperti kondisi
dalam menentukan hak dan batil dan merealisasikannya dapat dilakukan dengan
mudah. Namun perang juga terkadang diputari dengan kerumitan, seperti keadaan
dimana hak dari batil sulit dipisahkan dikarenakan atmosfir budaya dan sosial
sedemikian keruh dan kotornya. Dan apabila telah dilakukan pemisahan hak dari
batil, perkara lain yang menyulitkan pelaksanaannya adalah masalah politik dan
ketiadaan medan untuk melakukan peperangan. Dalam keadaan seperti ini, jika
seseorang dapat menentukan hak dari batil dan mengetahui secara bijak kebenaran
bangkit untuk mempertahankannya, maka ia berhak mendapatkan pemuliaan dan
penghormatan setinggi-tingginya.
Perang dan jihad hakiki tidak mungkin terlaksana tanpa irfan
hakiki, sebagaimana irfan hakiki tidak mungkin dihasilkan tanpa pengorbanan
harta, kedudukan, dan jiwa: "Katakanlah, jika bapak-bapakmu, anak-anakmu,
saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta
berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan
keputusan-Nya." (Qs, at-Taubah [9]: 24)
Dalam barisan para mujahid hakiki tertera alamat irfan dan
dalam shaf para 'arif sejati tergambar alamat mujahadah. Yakni makrifat seorang
'arif kepada Tuhan dan kerinduan bertemu dengan-Nya menjadi pilar pembebasan
diri dari berbagai ikatan-ikatan duniawi dan modal dasar untuk memperoleh
tujuan ukhrawi yang didambakan: "Orang-orang yang beriman dan berhijrah
serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih
tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan."
(Qs. at-Taubah [9]: 20)
Kecintaan serta kerinduan seorang 'arif tidak akan pernah
padam kecuali dengan pertemuan (wusul), dan pertemuan tidak mungkin terjadi
kecuali dengan perang dan jihad, dan perang hakiki tidak akan dihasilkan
kecuali dengan makrifat sempurna (irfan hakiki). Oleh karena itu, antara
hamparan medan politik dan perlawanan terhadap kezaliman serta antara irfan
sejati dan perang hakiki terdapat keselarasan dan kesimetrian sempurna. Seorang
pejuang yang berperang dalam konteks seperti ini maka ia adalah pejuang yang
paling utama dari seluruh pejuang, sebagaimana seorang 'arif seperti ini lebih
tinggi dari seluruh 'arif.[2] Imam Husain As potret paling sempurna
orang yang menyatukan antara irfan sejati dan perang hakiki, karena itu beliau
layak sebagai sayyid para syuhada dalam pengertian penghulu orang yang mati
syahid dan penghulu orang-orang 'arif yang bertemu kekasih yang dirindukannya.
Menggabungkan Perang dan Irfan
Perang fisabilillah dan makrifat Ilahiah merupakan dua
substansi nilai insan yang masing-masing mempunyai keutamaan. Pertanyaan
adalah, dapatkah kedua keutamaan dan kesempurnaan ini bergabung pada diri
seseorang? Dengan kata lain, dapatkah seseorang dari satu sisi memiliki hati
lembut, pengasih, dan pemaaf, di sisi lain memiliki jiwa membaja, pemberani,
kesatria, dan pantang menyerah dalam berhadapan dengan thagut dan kezaliman?
Apakah jiwa yang mempunyai dimensi jihad, pengorbanan, dan rezim perang, dapat
menjadi ahli doa, berbisik-bisik dengan Hak Swt, dan menangis tersedu-sedu?
Yang jelas sejarah telah menampilkan orang-orang yang kehidupannya telah
menyatukan kedua keutamaan dan kesempurnaan insani tersebut. Kendatipun
kebanyakan orang tidak dapat mempertemukannya, apatah lagi menyatukannya.
Seperti terdapat orang yang senantiasa dalam hidupnya beribadah dan bermunajat,
namun ketika mereka diperhadapkan antara bergabung dengan pasukan hak Amirul
Mukmini Ali As atau pasukan batil Muawiyah, ataukah diperhadapkan antara
memilih menyokong pasukan hak Imam Husain As atau pasukan batil Yazid,
mereka malah diam dan sama sekali tidak dapat memilih di antara keduanya. Juga
terdapat orang yang di medan peperangan, pemberani dan kesatria, namun sangat
disayangkan karena mereka bukan ahli irfan, sehingga terkadang mereka salah
memilih jalan atau tidak menghiraukan seruan pemimpin yang hak.
Namun, orang seperti 'arif Yaman Uwais Qarani, adalah salah
seorang di antara orang-orang yang dapat menggabungkan antara kedua keutamaan
tersebut. Dari sisi ibadah, tatkala malam tiba dia berkata, ini adalah malam
ruku. Dan dia semalaman ruku hingga waktu subuh tiba. Terkadang dia juga
berkata, ini adalah malam sujud. Dan dia melewati malam itu dengan sujud hingga
subuh tiba.[3] Dalam dimensi kesatriaan, dikatakan
bahwa dalam keadaan mengenakan pakaian dari wol dan bersenjata dengan dua
pedang, dia hadir dalam perang shiffin. Dan di hadapan pimpinan kaum 'arif
Amirul Mukminin Ali As berkata, ulurkan tanganmu hingga aku membaiatmu. Setelah
dia membaiat Imam Ali As, dia berperang dalam pasukan beliau hingga dia meneguk
syahadat dan bertemu dengan sang kekasih mutlak.[4]
Tidak diragukan bahwa para keluarga dan sahabat yang
menyertai Imam Husai As di hari-hari Karbala dan berperang bersama beliau di
jalan hak, mereka semua itu adalah orang-orang yang mampu menyatukan antara
perang hakiki dan irfan hakiki. Mereka bukan tipe orang yang diam dan tidak memenuhi
ajakan pemimpin hak, dan mereka bukan juga tipe orang yang bukan ahli ibadah
dan munajat. Mereka, di bawah pimpinan pemimpin kafilah pencinta Ilahi,
merindukan syahadat dan pertemuan serta perjamuan dengan sang kekasih mutlak,
Allah Swt.
Tentu orang seperti 'arif Uwais Qarani dan para keluarga
serta sahabat-sahabat Imam Husain As, mereka ini adalah orang-orang yang berada
dalam makam tinggi dalam hal jihad hakiki dan irfan hakiki. Akan tetapi
terdapat orang-orang yang juga berada dalam barisan ini yang secara gradasi
berada dalam makam yang lebih rendah dari pada mereka. Yang urgen bagi kita
adalah mengambil langkah yang pasti bergabung dengan mereka di bawah pimpinan
kafilah pencinta kebenaran Amirul Mukminin Ali As dan Sayyid syuhada Imam
Husain As.
Rahasia Do'a dan Gerakan Kebangkitan Imam Husain As
Do'a Arafah Imam Husain As, kendatipun ia adalah suatu do'a
dan munajat kepada Sang Penguasa Mutlak, akan tetapi di dalam baris
bait-baitnya juga terkandung rahasia kebangkitan dan peperangan melawan
penguasa kufur dan zalim. Beliau berkata, Tuhan! …Engkau mengarunia lutf dan
ihsan kepadaku, lutf dan ihsan itu adalah Engkau sedemikian sabar dalam
penciptaanku hingga priode gelap jahiliah lewat kemudian sistem Islami berdiri,
barulah ketika itu Engkau mengadakanku di dunia dalam sistem pemerintahan
Islami.[5] Yakni Imam Husain As bersyukur bahwa
dia tidak diadakan di dunia dalam kondisi zaman jahiliah dan penguasaan
orang-orang kafir, dimana jika beliau lahir sebelum pemerintahan Islami, beliau
tidak akan dapat memperoleh nikmat Islam dan makrifat-makrifatnya yang dalam.
Akan tetapi substansi ungkapan beliau itu tidak hanya
perkara itu sebenarnya, tetapi perkara yang lebih urgen adalah dorongan pada
pembentukan pemerintahan Islami dan upaya untuk tegaknya sistem Ilahi. Sebab
jika seseorang ingin bersyukur dikarenakan tidak dilahirkan dalam kondisi
pemerintahan kufur dan jahiliah, maka dia mesti dalam bentuk aplikasinya
berupaya meruntuhkan daulah kufur dan kekuasaan syirik serta berusaha
mendirikan pemerintahan Islami dan menjaganya. Ini tidak lain karena keberadaan
pemerintahan kufur dan zalim, kendatipun tidak memustahilkan orang untuk
memperoleh makrifat Ilahi dan akhlak insani, tetapi jalannya sangat sulit dan
berat. Karena atmosfir yang menguasai lingkungan budaya, sosial, dan politik
masyarakat adalah lingkungan jahiliah, akhlak rendah, dan thagut. Oleh karena
itu, penghulu para syahid Imam Husain As, dengan maksud ini juga beliau bangkit
melawan pemerintahan zalim Yazid, supaya masyarakat dan orang-orang akan datang
berada dalam pancaran pemerintahan Islami. Sehingga mereka seperti beliau
berada dalam lingkupan lutf dan berkah daulah hak dan hidup dalam lindungan
pemerintahan Islam serta sinaran pancaran al-Qur'an.
Berasaskan ini juga beliau sebelumnya berkata, saya bangkit
menentang pemerintahan zalim hingga saya menghapus kekufuran dan menciptakan
perbaikan pada ummat kakekku Rasulullah Saw: انٌما خرجت لطلب
الاصلاح فی أمٌة جدٌی [6] .
Beliau kemudian merealisasikan tujuan ini dengan seluruh
irfan dan kekesatriaan hingga beliau sampai pada tujuannya lewat meneguk
manisnya syahadat dan indahnya pertemuan dengan sang kekasih mutlak.
Tajalli Irfan Peristiwa Karbala
1. Cinta Ilahi
Kecintaan kepada Tuhan ibaratnya api yang membakar segala
apa yang dicapainya. Ia juga ibarat hujan yang mencurahkan air kepada segala
sesuatu. Kecintaan kepada Tuhan itu sendiri muncul dari makrifat kepada-Nya.
Karena itu semakin makrifat bertambah kepada-Nya, semakin kecintaan bertambah
juga terhadap-Nya. Bagaimana dengan manusia sempurna (insan kamil) yang
mempunyai makrifat sempurna insani kepada Allah Swt? Tentu kecintaannya juga
pada-Nya adalah sempurna dan sedalam mungkin, yang hanya dibatasi oleh pembatas
kecintaan yang tidak dapat dimiliki oleh maujud mumkin. Oleh karena itu,
sesuatu yang membawa Imam Husain As pada hari Asyura melepaskan segala sesuatu
hatta jiwanya, adalah cinta Ilahi. Dan beliau rela menanggung segala beban dan
penderitaan pada hari itu; hanya karena cinta dan rindunya kepada Tuhan Yang
maha Agung.
Kecintaan beliau kepada Tuhan ini, bukanlah sesuatu yang
diperoleh secara tiba-tiba dan dalam peristiwa perjalanan Karbala ditemukan.
Akan tetapi dalam seluruh perjalanan hidup beliau dipenuhi dengan cinta Ilahi
dan peristiwa Asyura itu adalah buah dari kecintaan beliau tersebut. Dan
sebagaimana diisyaratkan sebelumnya, bahkan seluruh hidup beliau merupakan
tajalli cinta kepada Tuhan. Do'a dan munajat beliau, terutama do'a Arafah,
menjadi bukti dari cinta Ilahi beliau ini. Dan juga malam-malam munajat,
shalat, dzikir, sabar, tawakkal, dan pengorbanan yang beliau lewati di
hari-hari Karbala merupakan manifestasi dari totalitas kecintaan beliau kepada
Allah Swt.
Di samping Imam Husain As di hari-hari Karbala, juga
anggota-anggota keluarga beliau dan para sahabat-sahabat beliau yang
meneguk kesyahidan, semuanya telah menunjukkan manifestasi cinta Ilahi
dan menjadi para pencinta yang syahid. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Amirul
Mukminin Ali As, seperempat abad sebelum peristiwa Asyura tersebut, ketika
beliau melewati Karbala beliau berkata kepada orang-orang yang menyertainya, di
sini akan menjadi tempat terbunuhnya para syuhada pencinta.[7] Sesuai dengan ungkapan Amirul Mukmini
Ali As ini maka semua orang yang berperang dipihak hak dan tauhid pada
hari-hari Karbala, mereka semuanya adalah pencinta Ilahi Swt. Dan pimpinan
serta imam mereka yaitu Imam Husain As merupakan pimpinan kafilah pencinta yang
mengajarkan kepada para pengikutnya kecintaan, perang, dan irfan hakiki, dan
juga bagi generasi-generasi akan datang yang mengikuti maktab
kecintaannya.
2. Shalat
Shalat, adalah pilar dan tiang agama. Bahkan ia paling
asasnya dasar agama setelah wilayat. Dan shalat merupakan manifestasi irfan dan
spiritualitas yang sangat jelas.[8] Imam Husain As, dengan seluruh usia
yang dilewatinya dipenuhi dengan shalat dan ibadat, -sebagaimana diriwayatkan
dari Imam Sajjad As bahwa beliau berkata, ayahku dalam sehari semalam shalat
seribu rakaat[9]- pada
hari tâsû'a (hari kesembilan bulan muharram) meminta dari saudaranya hadhrat
Abul Fadl As supaya mengambil kerelaan dari musuh untuk memberi mereka
kesempatan satu malam, dimana malam itu beliau ingin hanya berdo'a, shalat,
tilawah al-Qur'an, istigfar, dan munajat kepada Tuhan. Karena itu, setelah
beliau berbicara dengan para pengikutnya dan mengungkapkan segala kemungkinan
yang akan terjadi besoknya dan hujjah telah sempurna bagi mereka, beliau
kembali ke kemahnya dan melewati seluruh malam itu dengan shalat, istigfar, dan
munajat.[10] Demikian pula para sahabat-sahabatnya
melewati malam itu dengan shalat, istigfar, dan munajat.[11]
Pada hari Asyura, ketika peperangan demikian hebatnya
berkecamuk, tapi saat-saat pembicaraan tentang shalat diungkapkan, beliau
berpikir menegakkan shalat dan berkata, engkau mengingatkan kami kepada shalat,
semoga Tuhan menjadikan kamu di antara orang-orang yang menegakkan shalat.
Benar, sekarang adalah awal waktu shalat, mintalah dari musuh supaya
menghentikan perang sejenak hingga kita selesai menunaikan shalat. Sebab musuh
tidak bersedia menghentikan perang maka Said bin Abdullah Hanafi dan Zuhair bin
Qin bertanggung jawab melindungi jiwa Imam As dalam keadaan shalat, yang pada
akhirnya kedua sahabat Imam ini meneguk syahadat sebagai pengabdiannya terhadap
shalat.[12]
Shalat ini mempunyai tiga kekhususan: berjamaah, awal waktu, dan secara 'alani
(terang-terangan).
Demikianlah kecintaan beliau kepada shalat sebagai
manifestasi dari kecintaan beliau kepada Tuhan. Dan shalat merupakan ungkapan
jelas dari kecintaan kepada Tuhan, kendatipun perang di jalan hak itu sendiri
juga ungkapan kecintaan kepada Tuhan. Karena itu, perealisasian shalat dalam
keadaan perang berkecamuk, merupakan dua keutamaan yang bertajalli pada saat
yang bersamaan.
3. Pengorbanan
Dalam peristiwa Karbala, terpancar pengorbanan sejati.
Pengorbanan harta dan jiwa pada hari-hari Karbala merupakan manifestasi utama
dari irfan dan spiritualitas. Imam Husain As adalah pimpinan pengorbanan
Karbala bagi agama Hak Swt. Beliau tidak menyisakan sedikit pun bagi dirinya,
semua yang berada dalam kuasanya dipersembahkannya bagi keselamatan agama
kekasihnya. Oleh karena itu, asas gerakan Imam Husain As dalam menentang
penguasa zalim dan kufur, tegak berasaskan pengorbanan untuk menyelamatkan
agama Tuhan. Sebab pengorbanan beliau dalam pergerakan Asyura ini demikian
terang dan jelas maka kami tidak perlu menyebutkannya. Dan kami cukupkan dengan
menyebut dua contoh pengorbanan sejati dari sahabat-sahabat beliau dalam
peristiwa hari-hari karbala tersebut:
Ketika hadhrat Abul fadl As mencapai air sungai Furat dan
menciduknya, kendatipun beliau sangat haus, tetapi beliau pantang meminumnya
dikarenakan mengingat junjungannya Imam Husain As beserta anak-anaknya berada
dalam keadaan haus. Pengorbanan ini adalah pertanda kecintaan kepada sang Imam
sebagai manifestasi kecintaan kepada Sang Pemilik Imam. Pengorbanan ini bukan
didasari oleh faktor emotif semata, tetapi didasari oleh makrifat dan irfan
yang dalam.
Sebagaimana kami sebutkan sebelumnya, di waktu zuhur Asyura,
dua orang sahabat Imam As dengan penuh suka cita berdiri melindungi Imam dari
anak-anak panah musuh ketika Imam As tegak menunaikan shalat jamaah pada awal
waktu zuhur dihari Asyura tersebut. Dan kedua shabat Imam tersebut pada
akhirnya meneguk manisnya syahadat menyusul sahabat-sahabat lainnya yang
terlebih dahulu meneguknya. Tidak diragukan, pengorbanan ini pastilah didasari
oleh makrifat dan irfan tentang loyalitas serta kecintaan kepada imam sebagai
manifestasi kecintaan kepada Sang Penguasa Imam.
4. Kesabaran
Dalam pergerakan Asyura, terlukis dengan indah makna
kesabaran dan taslim menerima qadha dan ketetapan hukum Tuhan. Sebab Imam
Husain As sebagai pimpinan kafilah kebenaran dalam melawan kezaliman, dengan
makrifat dan irfan mengetahui akhir dan kesudahan pergerakan tersebut. Dan pada
akhir-akhir waktu yang tersisa baginya, beliau dalam munajatnya mengungkapkan,
Tuhanku! Aku sabar atas segala qadha-Mu… Tuhanku! Aku sabar atas segala
ketetapan hukum-Mu….[13] Beliau tidak hanya mencukupkan
kesabaran dalam menghadapi berbagai peristiwa hari-hari Karbala itu untuk dirinya,
tetapi beliau juga menasehatkan kepada para keluarga dan sahabatnya untuk
bersabar dan taslim dalam menghadapi qadha dan ketetapan Tuhan. Pada hari
Asyura beliau berkata kepada anak-anak pamannya dan Ahlulbaitnya, sabar wahai
anak-anak pamanku, sabar wahai Ahlulbaitku.[14] Sebagaimana beliau juga berkata kepada
sahabat-sahabatnya, sabar wahai bani al-kiram.[15] Yakni, karena kalian semua berasal
dari keluarga mulia maka hendaklah bersabar.
Dan betapa kesabaran dan taslim menerima qadha Tuhan ini
memanifestasi secara sempurna dalam jiwa hadhrat Zainab As, dimana setelah
beliau menyaksikan peristiwa demi peristiwa dan bencana serta musibah demi
musibah di hari-hari Karbala dan Asyura tersebut, beliau dalam majlis ibnu
Ziyad berkata, ما رأیت إلاٌ جمیلاً (tidaklah aku saksikan kecuali keindahan).[16]
Sangat banyak lagi manifestasi sifat-sifat sempurna insani
dan Ilahi yang terlukis dalam peristiwa hari-hari Karbala dan Asyura yang tidak
sempat lagi kami isyaratkan, meskipun dalam bentuknya yang global. Yang jelas
Imam Husain As beserta keluarga dan para sahabat-sahabatnya telah
memperlihatkan kepada kita jalan suluk dan irfani yang cepat menyampaikan kita
kepada Tuhan dan syuhud terhadap jalal dan jamal-Nya. Menurut riwayat, jalan
dan perahu ruhani Imam Husain As adalah asra' (lebih cepat) dan lebih penuh
dari lainnya.[]
[1]. Diterjemahkan
secara bebas dari do'a Arafah Imam Husain As, Abbas Qummi, Mafâtihul
Jinân, Hal. 476-477.
[2]. Jawadi Amuly,
Hamâseh wa Irfân, Hal. 46.
[3]. Syekh Muhammad Taqi
Tustari, Qâmus ar-Rijâl, Jld. 2, Hal. 223.
[4]. Ibid, Hal. 219.
[5]. Diterjemahkan
secara bebas dari do'a Arafah, Mafâtih al-Jinân.
[6]. Allamah Majlisi,
Bihârul Anwâr, Jld. 24, Hal. 329.
[7]. Allamah Majlisi,
Bihârul Anwâr, Jld. 41, Hal. 295.
[8]. Jawadi Amuly,
Hamâseh wa Irfan, Hal. 243.
[9]. Allamah Majlisi,
Bihârul Anwâr, Jld. 44, Hal. 196.
[10]. Allamah Majlisi,
Bihârul Anwâr, Jld. 45, Hal. 3.
[11]. Ibid.
[12]. Ibid, Hal. 21.
[13]. Menukil dari Ustad
Jawadi Amuli, Hamâseh wa Irfan, Hal. 255.
[14]. Allamah Majlisi,
Bihârul Anwâr, Jld. 45, Hal. 36.
[15]. Ibid, Jld. 44, Hal.
297.
[16]. Ibid, Jld. 45, Hal.
116.
Sumber:
www.telagahikmah.org
Post a Comment
mohon gunakan email