Pesan Rahbar

Home » , , , , , , , » Sunni menghalalkan PERKOSAAN terhadap tawanan perang wanita yang dijadikan budak setelah suami suami mereka dibunuh !!!

Sunni menghalalkan PERKOSAAN terhadap tawanan perang wanita yang dijadikan budak setelah suami suami mereka dibunuh !!!

Written By Unknown on Tuesday 19 August 2014 | 14:49:00

Sunni  menghalalkan PERKOSAAN  terhadap tawanan perang wanita yang dijadikan budak setelah suami suami mereka dibunuh  !!!


Sunni menghalalkan zina dan perkosaan terhadap tawanan perang wanita (budak) tanpa akad nikah, tanpa mas kawin, tanpa prosesi apapun. Jika hamil maka si perempuan dan anaknya tetap menjadi BUDAK,,,

Syi’ah  membantahnya !!!
Versi  Syi’ah bahwa budak wajib dinikahi sebelum disetubuhi. Dalam hal ini kami katakan kepada para Nashibi Wahabi maupun kepada saudara Sunni :
“Janganlah melempari rumah orang lain dengan batu, jika rumah kalian terbuat dari kaca  !!!”

Hadis Hadis Yang Ada Dalam Kitab Shahih Sunni bukan semua hadis Nabi yang asli, tetapi ada REKAAN ORANG-ORANG  TERTENTU  yang dinisbatkan kepada Nabi untuk mengkondisikan bahwa Nabi  seolah olah  sama biadabnya  dengan  Mu’awiyah  bin ABU SOFYAN.

==========================================
Ayat ayat perbudakan  masih relevan untuk dipakai, tidak ada yang  mansukh apalagi  basi.
Prinsip  Syi’ah tentang BUDAK :
1. Sebelumnya diberi kesempatan untuk menebus dirinya dengan cara memungut tebusan, jika tidak mampu maka boleh mengajar baca tulis kepada anak-anak kaum muslimin, dalil : Qs. 24:33, Qs. 47:4, Qs. 4:25
2. Tawanan perang wanita (kafir) dihalalkan disetubuhi dengan 
syarat :
a. Telah mau masuk islam alias bukan kafir/musyrik, sehingga terputuslah hubungan perkawinan dengan suaminya yang masih kafir atau musyrik, dalil : Qs 2 :21
b. Budak perempuan harus dinikahi sebelum disetubuhi,
dalil : Qs. 4:3, Qs. 23:6, Qs. 33:50, Qs.4:24, Qs.33:50, Qs.70:30
3. Setelah nikah, budak menjadi orang merdeka. Pernikahan dengan budak merupakan upaya syi’ah melepas perbudakan, dalil : Qs. 90:13
4. Memperkosa budak atau menzinai budak apalagi yang kafir musyrik maka haram hukumnya, dalil : Qs.17:32, Qs.24:33
5. Zakat merupakan upaya syi’ah melepas perbudakan , dalil : Qs.9:60
==========================================
“Penghalalan Budak Wanita” Terdapat Dalam Sunni.

Umar Bin Khatab Dan Budak Wanita.

RIWAYAT PERTAMA:
Imam al-Bayhaqi mencatat dalam “Al Sunan al Kubra” j 2 , h.227 :
عن جده أنس بن مالك قال كن إماء عمر رضي الله عنه يخدمننا كاشفات عن شعورهن تضطرب ثديهن
قال الشيخ والآثار عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه في ذلك صحيحة
Anas bin Malik berkata : “Budak perempuan Umar melayani kami dengan rambut tidak tertutup dan payudara mereka bergetar”
Al-Bayhaqi menyatakan kedudukan riwayat diatas “Shahih”.
Al-Bani Sang Wahabi dalam “Irwa al-Ghalil” j.h. 204 mengatakan : “Rantai (sanad) riwayat tersebut SEMPURNA”.
 
RIWAYAT KEDUA:
Dalam Al-Mushanaf oleh Ibn Abi Syaibah (j.2 h.41 H.6236 ) mencatat :
Anas berkata : Umar melihat budak perempuan milik kami (milik Anas) menggunakan syal (kerudung), lalu Umar memukulnya dan berkata kepadanya (kpd budak wanita tsb) : Jangan berperilaku seperti wanita merdeka”
Ibnu Hajar dalam “al-Diraya” (j.1 h.124) dan Al-Bani Sang Wahabi dalam “Irwa al-Ghalil” j.6 h.203 menyatakan kedudukan riwayat tersebut “Shahih.

RIWAYAT KETIGA:

عن المسيب بن دارم قال : رأيت عمر وفي يده درة فضرب رأس أمة حتى سقط القناع عن رأسها ، قال : فيم الأمة تشبه بالحرة
Al-Musayyab bin Darum berkata : “Aku melihat Umar memegang tongkat ditangannya dan memukul seorang budak perempuan hingga penutup kepalanya (kerudung) terjatuh, lalu ia (umar) berkata : “Mengapa berperilaku seperti wanita merdeka”.
Riwayat diatas ada dalam Kanzul Umal, j.15 h. 486 : كنز العمال في سنن الأقوال والأفعال

Kanzul Umal, j.15 h. 486 (online)
Tarikh Damisyq, j.58 h.191 (online)
 
 
Salahkah seorang budak wanita menggunakan “hijab”..??
Apa motif Umar melarang seorang wanita menggunakan kerudung..??

Ibn Umar Dan Budak Wanita.

Ulama Sunni, Al Bayhaqi dalam Sunnan Al-Kubra, j.5 h. 329;

عن نافع ، عن ابن عمر ” أنه كان إذا اشترى جارية كشف عن ساقها ووضع يده بين ثدييها و على عجزها
Nafi’i meriwayatkan bahwa kapanpun ketika Ibn Umar ingin membeli budak wanita, ia (ibn Umar) akan memeriksa (budak tsb) dengan menganalisa kakinya dan meletakkan tangan di antara payudara dan bokongnya “.
الكتاب : السنن الكبرى للبيهقي

Sunnan Al-Kubra, j.5 h. 329 (online)

Keterangan Sang Nashibi Wahabi :
Al-Bani Sang Wahabi menyatakan riwayat tersebut “Shahih” dalam “Mukhtasir Irwa Al-Ghalil Fi Takhrij
Ahadits Manar Al-Sabil” j.1 h.355 , H.1792.

Dan dalam Al Mushanaf Abdul Razaq (j.7 , h.286 , H.13204);
“Mujahid meriwayatkan bahwa Ibn Umar meletakkan tangannya diantara payudara dan mengguncangnya.
Mushanaf Abdul Razaq (online)
NB : yang ingin protes silahkan protes kepada penyusun kitab-kitab diatas.
 
IBN HAZM.
Ulama Sunni, Ibn Hazm (Al-Mahala j.12, h. 207-209) memberikan keterangan jelas dan rinci mengenai permasalah budak wanita, dan bagi siapa sajakah budak wanita dapat dihalalkan untuk orang lain.
 
Hamam meriwayatkan dari Ibn Mufaraj dari Ibn Arabi dai Al Dari dari Abdul Razaq dari Ibn Juraij dari Amr bin Dinar dari Tawus bahwa Ibn Abbas Berkata : “Jika seorang wanita (merdeka) membuat budak wanitanya halal untuk seorang laki-laki atau anak perempuannya atau saudaranya, biarkan (laki2 tsb) melakukan
hubungan intim dengannya, ia (budak wanita tsb) akan tetap milik nya (wanita merdeka/pemiliknya), biarkan ia (laki-laki tsb) melakukan hubungan cepat
diantara pahannya.
Dalam halaman yang sama disebutkan bahwa budak wanita dihalalkan melahirkan (memberikan/mengandung) anak dari seorang laki-laki yang telah di halalkan budak wanita tersebut oleh istrinya sendiri :
Ibn Juraij meriwayatkan dari Ibn Thawus dari ayahnya bahwa ia tidak melihat
adanya masalah dalam hal tesebut dan berkata : “Itu Halal, jika ia (budak wanita) melahirkan seorang anak, maka anak tersebut bebas (merdeka) dan budak wanita
(tetap) milik istri (laki2 tsb) dan tidak ada hukuman apapun untuk suaminya”.
Selanjutnya tercatat :
Ibn Juraij meriwayatkan dari Ibrahim bin Abi Bakr dari Abdurrahman bin Zadwih
dari Thawus, berkata : Itu Halal sebagaimana (halalnya) makanan, jika ia (budak
wanita tsb) melahirkan seorang anak, anak tersebut sah dan dimiliki oleh pemilik
(tuan-nya) yg pertama”.
Dalam pandangan ulama sunni diatas jelas bahwa seorang laki-laki diperbolehkan berhubungan intim dengan budak wanita yang telah dihalalkan untuknya, dan budak wanita tersebut jika melahirkan anak,
maka anaknya sah, dan anak yang dilahirkan tersebut menjadi pemilik budak wanita tersebut.
Ini yang dilaporkan Bukhari:Abu Saeed berkata: “Kami pergi bersama Rasul Allâh ke Ghazwa tempat Banu Al-Mustaliq dan kami menerima tawanan2 diantar tawanan2 Arab dan kami berhasrat pada wanita2 dan sukar untuk tidak berhubungan seks dan kami senang melakukan azl. Maka ketika kami hendak melakukan azl, kami berkata, ‘Bagaimana kami bisa melakukan azl sebelum bertanya pada Rasul Allâh yang ada diantara kita?’ Kami lalu bertanya padanya dan dia berkata, ‘Lebih baik jangan lakukan itu, karena jikalau sebuah jiwa (sampai hari kiamat) telah ditakdirkan akan ada, maka jiwa itu akan tetap ada.”[1]sumber :[1] Bukhari, Volume 5, Buku 59, Nomer 459. Banyak hadis sahih menyatakan bagaimana Muhammad mengijinkan hubungan seks dengan budak2 wanita, tapi tidak perlu melakukan azl/coitus interruptus karena jika Allâh memang mau seseorang untuk lahir, maka jiwa orang itu akan lahir meskipun dilakukan azl/coitus interruptus.
Lihat juga hadis sahih di bawah ini:
Bukhari 3.34.432: “Dikisahkan oleh Abu Saeed Al-Khudri: ketika dia duduk bersama Rasul Allâh dia berkata, “Wahai Rasul Allâh! Kami memiliki tawanan2 wanita sebagai jatah jarahan perang, dan kami ingin tertarik mengetahui harga mereka, apakah pendapatmu tentang azl/coitus interruptus?” Sang Nabi berkata, “Apakah kau memang melakukan itu?
Sebaiknya jangan. Jiwa yang sudah ditakdirkan Allâh untuk ada, akan tetap ada.”

Sahih Muslim juga dianggap sahih oleh semua Muslim. Inilah hadis Sahih Muslim 8.3381: “Rasul Allâh (s.a.w.) ditanyai tentang azl/coitus interruptus dan dia menjawab: Seorang anak tidak terbentuk dari semua cairan (sperma) dan jika Allâh memang merencanakan menciptakan sesuatu maka tiada yang dapat mencegahnya.”.

Kaum Muslim juga menganggap hadis Abud Daud sahih. Inilah hadis sahih Abu Daud, 29.29.32.100: “Yahya mengisahkan padaku dari Malik dari Humayd ibn Qays al-Makki bahwa seorang pria bernama Dhafif berkata bahwa Ibn Abbas ditanyai tentang azl/coitus interruptus. Dia memanggil seorang budak wanita dan katanya, ‘Katakan pada mereka.’ Budak wanita itu merasa malu. Ibn Abbas berkata, ‘Baiklah, aku katakan sendiri.’.
Malik berkata, ‘Seorang pria tidak melakukan coitus interruptus dengan wanita merdeka kecuali jika wanita itu mengijinkannya. Tidak ada salahnya melakukan coitus interruptus dengan seorang budak wanita tanpa ijin darinya. Seseorang mengawini budak orang lain tidak melakukan coitus interruptus dengannya kecuali jika kalangan budak wanita itu memberinya ijin.”.
.
Juga lihat Bukhari 3.46.718, 5.59.459, 7.62.135, 7.62.136, 7.62.137, 8.77.600, 9.93.506 Sahih Muslim 8.3383, 8.3388, 8.3376, 8.3377, dan banyak lagi.
IMAM MALIK :
Masih dalam halaman yang sama ada sedikit perbedaaan dalam
pandangan Imam Malik :
“Ia (budak wanita tsb) tetap milik tuannya selama ia (budak wanita) tsb tidak
hamil, jika ia hamil, kepemilikannya berpindah kepada orang yang mana ia dihalalkan bagi orang tersebut”. Pernah ia berkata : “Kepemilikannya akan berpindah mengikuti (dengan siapa) pertama kali ia berhubungan intim”.
Masih dalam halaman yang sama disebutkan bahwa tidak ada hukuman
untuk “berbagi” seorang budak wanita :
Abu Muhammad (ra) berkata : “Ini adalah sebuah pandangan dan Sufyan Al Thawri, (Abu Muhammad) berkata : “Malik dan sahabat-sahabatnya berkata : ” Tidak ada hukuman (hadd) dalam semua itu”
Perbedaan Sunni dan Syiah dalam hal ini sangat jelas bahwa kehalalan budak wanita untuk orang lain dalam Syiah harus dengan pernikahan dan tidak cukup hanya dengan kata “Halal”. Dan dalam pandangan Sunni riwayat-riwayat dalam Al Mahala oleh Ibn Hazm sangatlah jelas.
 
I’arat al furuj dalam Sunni :
“Tidak ada hadd (hukuman) dalam hal ini karena menurut Ata’ “meminjamkan Kemaluan” (I’arat al furuj) diperbolehkan”
(Syarh al-Kabir oleh Abu Barakat, j.3 h. 25) =>Mazhab MALIKI. Ulama Sunni, Ibn Qudamah dalam karya besarnya “Al Mughni”
( j. 9 h. 157) mencatat :
“Jika budak wanita “dibagi” kepada dua orang dan keduanya melakukan hubungan intim dengannya (dg budak wanita tsb), dia (budak wanita tsb) harus melakukan dua istibra.
========================

Buka pikiran kita dengan jernih dan selamat membaca.
Kami tidak habis pikir mengapa para Nashibi selalu menggunakan cara yang paling hina untuk melawan Syiah, fitnah kepada Syiah Imamiyah selalu mereka gunakan, dan anehnya sebagian oknum sunni dengan senang membela mereka seolah seperti “pemandu sorak” sebuah team pemfitnah, jika memang oknum tersebut seorang pencari kebenaran, maka sudah pasti ia akan menjadi penengah atau paling tidak bersikap diam atas apa yang tidak mereka ketahui alih-alih membantu para nashibi tersebut dengan ucapan-ucapan konyol demi mengurangi “sakit hati” mereka atas fakta sejarah yang termaktub dalam kitab-kitab mereka sendiri yang terkuak akibat fitnah dan serangan mereka sendiri kepada Syiah Imamiyah.
 
Dalam hal ini kami katakan kepada para Nashibi Wahabi maupun kepada saudara Sunni :
“Janganlah melempari rumah orang lain dengan batu, jika rumah kalian tebuat dari kaca”.
 
FITNAH WAHABI NASHIBI
Fitnah Pertama :
Beberapa waktu lalu seorang Nashibi Wahabi dengan percaya diri mengcopy paste tulisan para Nashibi
lainnya seperti dibawah ini, dengan alasan ia mengutip dari al Kafi :
Muhammad Ibnu Mudharrib berkata: Berkata kepadaku Abu Abdullah: “Hai Muhammad, ambillah PUTRI ini untuk melayanimu dan untuk kamu setubuhi. Maka bila kamu telah selesai menyetubuhinya, kembalikan dia kepadaku.”.
(Furu al Kafi hal. 200).
 
Sepintas orang yang membaca akan tercengang dengan fitnah yang sangat keji ini, orang awam seperti
saya akan kaget membaca apa yangg dia bawakan, dan sebagian orang mungkin akan mengatakan :
“Jadi seperti ini Syiah, mengahalalkan anak perempuan untuk disetubuhi orang lain, pantas aja sesat..!”.
 
Sekarang saatnya kita bongkar satu persatu fitnah Nashibi tersebut, dengan membawakan teks asli dari al Kafi, saya akan mengutip dari Al Kafi Jilid 5 halaman 470 (Darul Kitab Islamiyah) dan teks aslinya ada dalam bab “Seorang laki-laki boleh menghalalkan budak wanitanya untuk saudaranya, dan seorang wanita
boleh menghalalkan budak wanitanya untuk suaminya” :
 
باب الرَّجُلُ يُحِلُّ جَارِيَتَهُ لِأَخِيهِ وَ الْمَرْأَةُ تُحِلُّ جَارِيَتَهَا لِزَوْجِهَا
وَ بِإِسْنَادِهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مُضَارِبٍ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) يَا مُحَمَّدُ خُذْ هَذِهِ الْجَارِيَةَ إِلَيْكَ تَخْدُمُكَ فَإِذَا خَرَجْتَ فَرُدَّهَا إِلَيْنَا
 
Dengan sanad sampai kepada Muhammad Ibnu Mudharib.
Muhammad Ibnu Mudharib berkata; berkata Abu Abdillah (as) ; “Wahai Muhammad
ambillah JARIYAH (BUDAK WANITA) ini untuk melayanimu dan untuk kamu setubuhi. Maka bila kamu telah selesai menyetubuhinya,
kembalikan dia kepadaku.
(teks yang sama juga terdapat dalam “Al-Istibshar”, jilid 3, hal. 136, riwayat no. 488).
 
Si Nashibi tersebut telah melakukan kebohongan besar dan fitnah yang keji, dengan menerjemahkan
kata “JARIYAH” sebagai “PUTRI”, padahal seharusnya “BUDAK WANITA.
Catatan : Al-Kafi jilid 5 sama dengan Furu’ al Kafi jilid 3.
 
Fitnah Kedua :
Lagi, si Nashibi tersebut membawa copy paste tangan-tangan Nashibi lainnya seperti dibawah ini :
Abu Ja’far Muhammad Ibnu Hasan At-Thusi menyebutkan dari Muhammad bin
Muslim dari Abu Ja’far, ia berkata: Aku tanyakan kepadanya: “Halalkah laki-laki 
MEMINJAMKAN pada temannya tubuh PUTRINYA untuk disetubuhi?” Jawabnya: “Boleh. Bahwa halal bagi dia sebagaimana halal bagi temannya meminjamkan kemaluan PUTRINYA untuk disetubuhi.
(Al-Istibshar, Juz III, hal. 136).
 
Mari kita lihat kalimat/tesk asli dari Al-Istibshar (jilid 3, halaman 136, riwayat 487) :
 
عنه عن جعفر بن محمد بن حكيم عن كرام بن عمرو عن محمد بن مسلم عن أبي جعفر(ع) قال قلت له الرجل يحل لاخيه فرج جاريته قال: نعم لا بأس به له ما أحل له منها.
Al-Thusi meriwayatkan dari jalur Muhammad bin Muslim, dari Abu Ja’far as: Aku bertanya kepada beliau: “Apakah boleh seseorang menghalalkan (menjadikan halal) kemaluan BUDAK WANITA (jariyah)-nya bagi saudaranya?” Beliau menjawab: “Ya, tidak masalah. Hal itu halal bagi saudaranya, sebagaimana halalnya ia terhadap BUDAK WANITANYA itu.”.
(“Al-Istibshar”, jilid 3, hal. 136, riwayat no. 487).
 
Sekali lagi Si Nashibi tersebut melakukan kebohongan besar mengartikan Kata“JARIYAH” sebagai
 “PUTRI” dan seharusnya “JARIYAH” berarti “BUDAK WANITA”, dan TIDAK ADA KATA MEMINJAMKAN, yang ada adalahMENGHALALKAN.
 
Catatan :
1. Al-Kafi jilid 5 sama dengan Furu’ al Kafi jilid 3.
2. Kesimpulannya adalah Nashibi tersebut telah berbohong dan memfitnah syiah dengan merubah kata “JARIYAH” yang beraati “BUDAK WANITA” menjadi “PUTRI” (anak kandung perempuan).
 
PENJELASAN LEBIH.
Untuk mencagah kesalah pahaman dan untuk melengkapi dua riwayat tersebut lebih jauh akan kita lihat beberapa riwayat mengenai “budak wanita” dan bagaimana bisa dihalalkan bagi orang lain.
Apakah hanya dengan menghalalkan saja tanpa ada syarat-
syarat lain..?
Jika ada, apa syaratnya..?
Bagaimana “Penghalalan Budak Wanita dalam Sunni”..?
Insya Allah Bersambung
Nih sambungannya :
Dibawah ini adalah bukti Fitnah Nashbi tersebut :
Inilah contoh Nashibi berotak dekil dan tukang copas catatan nashibi2 lainnya..dengan dekilnya dia mengartikan Kata “JARIYAH” dengan makna “PUTRI”, dan Kata “Menghalalkan ” diartikan “MEMINJAMKAN”.
 
Mari kita lihat kalimat/tesk asli dari Al-Istibshar (jilid 3, halaman 136, riwayat 487) : 
 
عنه عن جعفر بن محمد بن حكيم عن كرام بن عمرو عن محمد بن مسلم عن أبي جعفر(ع) قال قلت له الرجل يحل لاخيه فرج جاريته قال: نعم لا بأس به له ما أحل له منها.
 
Al-Thusi meriwayatkan dari jalur Muhammad bin Muslim, dari Abu Ja’far as: Aku bertanya kepada beliau: “Apakah boleh seseorang menghalalkan (menjadikan halal) kemaluan BUDAK WANITA (jariyah)-nya bagi saudaranya?” Beliau menjawab: “Ya, tidak masalah. Hal itu halal bagi saudaranya, sebagaimana halalnya ia terhadap BUDAK WANITANYA itu.” (“Al-Istibshar”, jilid 3, hal. 136, riwayat no. 487)
 
Al Kafi Jilid 5 halaman 470 (Darul Kitab Islamiyah :
 
باب الرَّجُلُ يُحِلُّ جَارِيَتَهُ لِأَخِيهِ وَ الْمَرْأَةُ تُحِلُّ جَارِيَتَهَا لِزَوْجِهَا
وَ بِإِسْنَادِهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مُضَارِبٍ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) يَا مُحَمَّدُ خُذْ هَذِهِ الْجَارِيَةَ إِلَيْكَ تَخْدُمُكَ فَإِذَا خَرَجْتَ فَرُدَّهَا إِلَيْنَا
 
Dengan sanad sampai kepada Muhammad Ibnu Mudharib. Muhammad Ibnu Mudharib berkata; berkata Abu Abdillah (as) ;
“Wahai Muhammad ambillah JARIYAH (BUDAK WANITA) ini untuk melayanimu dan untuk kamu setubuhi. Maka bila kamu telah selesai menyetubuhinya, kembalikan dia kepadaku.
 
Sungguh Biadab dan Keji para Nashibi tsb.
 
I’arat al furuj (MEMINJAMKAN Kemaluan) dalam Sunni : “Tidak ada hadd (hukuman) dalam hal ini karena menurut Ata’ MEMINJAMKAN Kemaluan”.
(I’arat al furuj) diperbolehkan”.
(Syarh al-Kabir oleh Abu Barakat, j.3 h. 25) =>Mazhab MALIKI. Ulama Sunni, Ibn Qudamah dalam karya besarnya “Al Mughni” ( j. 9 h. 157) mencatat :
“Jika budak wanita “dibagi” kepada dua orang dan keduanya melakukan hubungan intim dengannya (dg budak wanita tsb), dia (budak wanita tsb) harus melakukan dua istibra.
 
Setelah membaca tulisan yang lalu yang berjdudul “Fitnah Nashibi I” , maka ada beberapa riwayat penjelas
yang harus dicantumkan agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai riwayat-riwayat yang ada dalam
catatan “Fitnah Nashibi I” tersebut.
 
HALAL DENGAN PERNIKAHAN.
Dalam Tahdib al-Ahkam (j. 7 h.244) tercatat ucapan Imam Musa Al Kadzim (as) ketika ditanya mengenai
Budak Wanita :
Ali bin Yaqtin meriwayatkan, Abu al Hasan (as) ditanya mengenai budak. Apakah
diperbolehkan berhubungan intim dengan budak wanita TANPA PERNIKAHAN
dimana pemilik (pemilik budak tsb) menghalalkan baginnya (utk org lain): Imam
(as) menjawab : “Tidak diperbolehkan baginya” (tanpa pernikahan).
Catatan : Allamah Hilli dlm Mukhtalaf al-Syiah j. 7 h. 275, Syaikh Jawahiri dlm Jawahir al-Kalam j.30
h. 231, Sayyid Khu’i dlm kitab al-Nikah j. 2 h. 119, menyatakan riwayat diatas Sahih.

يجوز للرجل أن يبيح مملوكته لغيره على معنى أنه يعقد عليها عقد النكاح الذي الذي فيه معنى الإباحة ، ولا يقتضي ذلك أن النكاح ينعقد بلفظ الإباحة
“Diperbolehkan untuk seseorang laki-laki menghalalkan budak wanitanya untuk orang lain, dengan arti (org lain tsb) melakukan pernikahan untuk menjadikannya halal untuknya DAN TIDAK CUKUP menghalalkannya hanya dengan mengucap kata ‘Halal'”.
Ref : Syarif Murtadha dlm Al-Intisar h. 281,
Syaikh Mufid dalam al Muqana :
“Jika seorang laki-laki menikahkan budak wanitanya dengan orang bebas (merdeka) atau budak, maka dilarang baginya (pemilik yang menikahkan budak tsb) untuk
melakukan hubungan intim dengannya”.
Ref :Al-Muqana h. 543
Masih banyak riwayat yang menjelasakan mengenai keharusan menikahkan budak wanita yg ia miliki jika ingin menjadikannya halal bagi orang lain, namun riwayat diatas tsb sudah cukup jelas.
“Dari Ruwaifi Al-Anshariy –ia berdiri di hadapan kita berkhuthbah-, ia berkata : Adapun sesungguhnya aku tidak mengatakan kepada kamu kecuali apa-apa yang aku dengan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan pada hari Hunain, beliau bersabda: “TIDAK HALAL bagi seorang yang BERIMAN KEPADA ALLAH dan hari akhir untuk MENYIRAMKAN AIR (mani)nya KE TANAMAN ORANG
LAIN (menyetubuhi wanita yang sedang hamil) dan TIDAK HALAL bagi seorang yang BERIMAN KEPADA ALLAH dan hari akhir untuk MENYETUBUHI WANITA DARI TAWANAN PERANG sampai PEREMPUAN ITU BERSIH (catt: versi  syi’ah  artinya sah menjadi istrinya). Dan tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menjual harta rampasan perang sampai dibagikan.
 
Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia menaiki kendaraan dari harta fa’i kaum muslimin sehingga apabila binatang tersebut telah lemah ia baru mengembalikannya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia memakai pakaian dari harta fa’i kaum muslimin sehingga apabila pakaian tersebut telah rusak ia baru megembalikannya” (HR. Abu Dawud (no. 2158 dan 2150) dan Ahmad (4/108-109), sanad Hasan).

“Meminjamkan” atau “Menjadikan Halal” (Yu’hillu) ?
Perlu diketahui bahwa dalam Syiah, hanya dengan “meminjamkan al furuj” Budak Wanita kepada orang lain dan hanya mengatakan “halal” (lalu kedunya melakukan hubungan intim) tanpa ada pernikahan, maka hal tersebut adalah HARAM. Jadi Pengertian yang benar adalah “Menjadikannya Halal dengan cara Pernikahan”.

Syarif Murthadha mencatat dalam Al Intisar h. 208 :
“Apa yang telah digunakan untuk memfitnah Imamiyah adalah (klaim) bahwa
mereka membolehkan peminjaman kemaluan (I’arat al furuj) dan “kemaluan”
dapat sah atas nama pinjaman.”
“Menurut penelitian dalam hal ini, kami tidak menemukan ahli hukum (fiqih)
yang membolehkannya ataupun mereka menulis tentangnya (diperbolehkan
nya hal tsb) dalam kitab manapun.
Lebih lanjut :
“Tidak diperbolehkan meminjamkan budak wanita untuk kepentingan sexual.
Ref :
1. Allamah al-Hili dlm Al-Tadkira, j.2 h. 210
2. Muhaqiq al-Kurki dlm Jami’ al-Maqasid, j. 6 h.62
3. Ali Asghar Mirwarid dlm Yanabi al-Fiqya, j.17 h. 87
Syaikh Thusi dalam al-Mabsut, j. 3 h. 57 menyatakan :
“Tidak diperbolehkan meminjamkan (budak wanita) untuk tujuan “kenikmatan”,
karena hubungan intim tidak sah melalui peminjaman”.

Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: