Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Ayat Tathir. Show all posts
Showing posts with label Ayat Tathir. Show all posts

Studi Kritis Riwayat Ibnu Abbas : Ayat Tathir Turun Khusus Untuk Istri-istri Nabi

Salah satu dalil yang dijadikan hujjah oleh para pembenci Syiah [pengidap syiahphobia] untuk menolak keutamaan Ayat Tathiir khusus untuk ahlul kisa’ adalah riwayat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Ayat Tathiir turun khusus untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Riwayat tersebut dinukil oleh Ibnu Katsiir dalam kitab Tafsir-nya dengan menisbatkan riwayat tersebut dari Ibnu Abi Hatim,

وهكذا روى ابن أبي حاتم قال حدثنا علي بن حرب الموصلي حدثنا زيد بن الحباب حدثنا حسين بن واقد عن يزيد النحوي عن عكرمة عن ابن عباس في قوله { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت } قال نزلت في نساء النبي صلى الله عليه وسلم خاصة خاصة وقال عكرمة من شاء باهلته أنها نزلت في أزواج النبي صلى الله عليه وسلم

Dan demikian diriwayatkan Ibnu Abi Hatim yang berkata telah menceritakan kepada kami Aliy bin Harb Al Maushulliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubaab yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Waaqid dari Yaziid An Nahwiy dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait]. Ia berkata “turun khusus untuk istri-istri Nabi”. Dan Ikrimah berkata “barang siapa yang ingin, aku tantang bermubahalah bahwa ayat ini turun untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]”[Tafsir Ibnu Katsiir 6/410-411].

Riwayat ini memang disebutkan Ibnu Abi Hatiim dalam kitab tafsirnya tetapi ia tidak menyebutkan sanad lengkapnya.

من طريق عكرمة رضي الله عنه عن ابن عباس رضي الله عنهما في قوله { إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ } قال نزلت في نساء النبي صلى الله عليه وسلم خاصة وقال عكرمة رضي الله عنه من شاء بأهلته أنها نزلت في أزواج النبي صلى الله عليه وسلم

Dari jalan Ikrimah radiallahu ‘anhu dari Ibnu ‘Abbas radiallahu ‘anhuma tentang firman Allah [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait], Ia berkata “turun khusus untuk istri-istri Nabi”. Dan Ikrimah berkata “barang siapa yang ingin, aku tantang bermubahalah bahwa ayat ini turun untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Tafsir Ibnu Abi Hatiim no 17675].

Sanad lengkap riwayat tersebut telah disebutkan oleh Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh-nya dengan jalan sanad sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsiir,

أخبرنا أبو القاسم بن السمرقندي أنا أبو الحسين بن النقور أنا أبو طاهر المخلص نا عبد الله بن محمد بن زياد نا علي بن حرب نا زيد بن الحباب حدثني حسين بن واقد عن زيد النحوي عن عكرمة عن ابن عباس إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت قال نزلت في أزواج النبي صلى الله عليه وسلم خاصة قال عكرمة ومن شاء باهلته أنها نزلت في نساء النبي صلى الله عليه وسلم

Telah mengabarkan kepada kami Abul Qaasim bin As Samarqandiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Husain bin Naquur yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Thaahir bin Mukhallash yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Ziyaad yang berkata telah menceritakan kepada kami Aliy bin Harb yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubaab yang berkata telah menceritakan kepadaku Husain bin Waaqid dari Zaid An Nahwiy dari Ikrimah dari Ibnu Abbas [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait], Ia berkata “turun khusus untuk istri-istri Nabi”. Dan Ikrimah berkata “barang siapa yang ingin, aku tantang bermubahalah bahwa ayat ini turun untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Tarikh Ibnu Asakir 69/150].

Dalam Tarikh Ibnu Asakir [kitab yang sudah ditahqiq], nama perawi yang meriwayatkan dari Ikrimah tertulis Zaid An Nahwiy sedangkan nama perawi yang dinukil dari Ibnu Katsiir adalah Yazid An Nahwiy. Kemungkinan terjadi tashif [salah tulis] dalam penulisan nama perawi tersebut. Perawi yang dikenal meriwayatkan dari Ikrimah adalah Yaziid An Nahwiy. Atau jika tidak terjadi tashif maka Zaid An Nahwiy perawi yang meriwayatkan dari Ikrimah itu tidak dikenal.

Riwayat Ibnu Abbas ini diriwayatkan para perawi yang tsiqat atau shaduq tetapi matan riwayat tersebut mungkar. Kemungkaran riwayat Ibnu Abbas tersebut dilihat dari dua sisi
  1. Mungkar bertentangan dengan lafaz Al Qur’an
  2. Mungkar bertentangan dengan Hadis-hadis shahih
Bertentangan Dengan Lafaz Al Qur’an.

Matan riwayat menyebutkan bahwa ayat tersebut turun khusus untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Penyebutan lafaz khusus bermakna tidak untuk selain yang disebutkan, karena percuma menyebutkan lafaz “khusus” kalau ternyata ayat tersebut tertuju juga untuk pribadi lain selain istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jika memang ayat tathiir khusus untuk istri-istri Nabi maka tidak mungkin lafaz kata ganti yang digunakan adalah “kum” [jama’ mudzakkar]. Lafaz jamak mudzakkar hanya digunakan sebagai kata ganti untuk merujuk jamak laki-laki atau jamak laki-laki bergabung dengan perempuan. Istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] secara khusus berarti adalah jamak perempuan sehingga kata ganti yang digunakan harusnya bentuk mu’annats yaitu kunna.

Ada dua jenis bantahan soal penggunaan kata ganti “kum” dan keduanya adalah bantahan kosong yang tidak bernilai. Bantahan pertama : kata ganti kum digunakan karena masuknya Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagai Sayyidul bait dalam Ayat tersebut. Jawaban ini justru menentang zhahir matan riwayat Ibnu Abbas karena dengan mengatakan demikian maka konsekuensinya adalah Ayat Tathiir tersebut sebenarnya turun ditujukan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] beserta istri-istrinya, jadi ayat tersebut sudah tidak turun khusus untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Bantahan kedua : kata ganti “kum” digunakan karena pada dasarnya kata “ahlul bait” bersifat maskulin sehingga siapapun ahlul bait yang dimaksud maka lafaz kata gantinya akan selalu jamak mudzakkar. Dengan demikian ayat tathiir memang turun khusus untuk istri-istri Nabi dan penggunaan kata ganti kum hanya karena istri-istri Nabi disitu disebutkan dengan kata Ahlul Bait yang bersifat maskulin. Bantahan ini juga tidak bernilai karena bertentangan atau tidak sesuai dengan lafaz Ayat Al Qur’an. Perhatikan surat Al Ahzab ayat 33 dan 34 berikut

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. [QS Al Ahzab : 33 & 34].

Jika memang “kum” digunakan karena ada kata ahlul bait yang bersifat maskulin maka seharusnya semua kata ganti yang ditujukan untuk istri-istri Nabi sebelum diucapkan lafaz “ahlul bait” haruslah dalam bentuk “kunna” karena kata ganti sebelum lafaz ahlul bait masih merujuk pada kata nisaa’ nabiy dan semua kata ganti yang ditujukan untuk istri-istri Nabi sesudah diucapkan lafaz “ahlul bait” haruslah dalam bentuk “kum” karena kata ganti setelah lafaz ahlul bait merujuk pada ahlul bait yang bersifat maskulin. Zhahir ayat Al Qur’an di atas justru tidak menetapkan demikian.
  1. Lafaz “liyudzhiba ‘ankum” diucapkan sebelum lafaz ahlul bait yang dikatakan maskulin. Harusnya dengan teori maskulin maka kata ganti untuk istri-istri Nabi pada lafaz “menghilangkan dari kamu” masih dalam bentuk kunna
  2. Lafaz “buyuutikunna” diucapkan setelah lafaz ahlul bait yang dikatakan maskulin. Artinya adalah “rumahmu”. Seharusnya kedudukannya sama dengan kata “wayuthahhirakum”, jika kamu [kum] yang terikat pada wayuthahhiraa merujuk pada kata ahlul bait sebelumnya yang bersifat maskulin maka kata “buyuutikunna” harusnya diucapkan dalam bentuk “buyuutikum” karena kamu yang terikat pada lafaz buyuut juga merujuk pada kata ahlul bait sebelumnya.
Zhahir ayat Al Qur’an bertentangan dengan teori kata Ahlul Bait yang bersifat maskulin. Dikatakan bahwa teori kata Ahlul Bait bersifat maskulin nampak jelas dalam Ayat Al Qur’an berikut:

قَالَتْ يَا وَيْلَتَى أَأَلِدُ وَأَنَاْ عَجُوزٌ وَهَذَا بَعْلِي شَيْخًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌ قَالُواْ أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللّهِ رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ

Istrinya [Sarah] berkata “sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku seorang perempuan tua dan ini suamiku pun sudah dalam keadaan tua pula, sesungguhnya ini benar-benar sangat aneh. Para malaikat itu berkata “apakah kamu merasa heran terhadap ketetapan Allah, rahmat Allah dan keberkatan-Nya dicurahkan atas kamu Ahlul Bait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah [QS Huud : 72 & 73].

Ada yang mengatakan bahwa Ahlul Bait dalam ayat di atas adalah Istri Nabi Ibrahiim saja dan tetap digunakan kata “kum” karena ada lafaz Ahlul Bait yang bersifat maskulin. Jawaban terhadap hujjah ini adalah sebagai berikut:
  1. Kalau memang demikian lantas kenapa digunakan kata Ata’jabiina yang berarti “apakah kamu merasa heran”. Bukankah orang itu mengatakan kum pada lafaz ‘alaikum adalah istri Nabi Ibrahim [Sarah] saja dan ia lah yang menunjukkan keheranannya [yang nampak dalam kalimat tersebut]. Seharusnya kalau memang teori Ahlul Bait maskulin itu memang benar maka lafaz “kamu merasa heran” dan “dicurahkan atas kamu” harus sama-sama menggunakan kata ganti mudzakkar karena keduanya merujuk pada istri Nabi Ibrahim yang pada kalimat itu disebut dengan lafaz Ahlul Bait.
  2. Seandainya pun teori kata ahlul bait maskulin itu benar maka mengapa harus memakai lafaz “kum” tidak menggunakan lafaz “ka”. Bukankah lafaz Ata’jabiina menunjukkan bahwa subyek yang heran tersebut adalah tunggal yaitu istri Nabi Ibrahim, lafaz Ahlul Bait disana jika memang hanya sebagai pengganti “istri Nabi Ibrahim” maka konsekuensinya adalah lafaz “ka” lebih tepat digunakan dibanding lafaz “kum” walaupun keduanya sama-sama maskulin
Jelas tidak mungkin ada kontradiksi dalam ayat Al Qur’an maka hakikat yang sebenarnya bukanlah demikian. Sebenarnya penggunaan lafaz ‘alaikum menunjukkan bahwa rahmat dan keberkatan itu ditujukan pada Istri Nabi ibrahiim dan Nabi Ibrahiim, karena pada saat itu keduanya berada di hadapan para Malaikat tersebut dan kelahiran Ishaaq adalah rahmat tidak hanya bagi Sarah tetapi juga bagi Ibrahiim. Jika laki-laki berkumpul bersama perempuan maka kata ganti yang digunakan bersifat jamak mudzakkar. Berbeda dengan lafaz Ata’jabiina yang hanya tertuju pada Sarah saja karena dalam zhahir ayat Al Qur’an tersebut ia sendiri lah yang menunjukkan keheranan atas ketetapan Allah SWT.

Dan yang sangat mengherankan muncul sekelompok orang yang sok tahu mengenai bahasa arab dan merasa seolah dirinya paling pintar. Ketika ada yang berhujjah [terutama orang Syi’ah] bahwa lafaz “kum” bersifat jamak mudzakkar jadi tidak mungkin khusus untuk wanita harusnya kalau khusus untuk istri Nabi menggunakan lafaz “kunna”. Mereka menuduh orang Syi’ah sebagai tidak paham bahasa arab dengan alasan kata Ahlul Bait bersifat maskulin maka siapapun yang paham bahasa arab tidak akan mempermasalahkan lafaz “kum” tersebut khusus untuk istri-istri Nabi [yang pada kalimat itu disebut dengan ahlul bait].
Kami akan menunjukkan kepada para pembaca bahwa sebagian ulama ahli tafsir dan ahli bahasa arab [dari kalangan ahlus sunnah] telah menjelaskan atau berhujjah dengan cara demikian dan menurut orang sok pintar tersebut maka para ulama tersebut tidak paham bahasa arab.



Ibnu Athiyyah dalam kitab tafsirnya ketika membahas tentang surat Al Ahzab ayat 33, ia mengatakan:

وقالت فرقة : هي الجمهور { أهل البيت } علي وفاطمة والحسن والحسين ، وفي هذا أحاديث عن النبي صلى الله عليه وسلم ، قال أبو سعيد الخدري : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « نزلت هذه الآية في خمسة فيّ وفي علي وفاطمة والحسن والحسين » رضي الله عنهم ، ومن حجة الجمهور قوله { عنكم } و { يطهركم } بالميم ، ولو كان النساء خاصة لكان عنكن

Dan berkata golongan yaitu Jumhur bahwa [Ahlul Bait] adalah Aliy, Fathimah, Hasan dan Husain dan dalam hadis ini dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] Abu Sa’id Al Khudriy berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “ayat ini turun untuk lima orang yaitu untuknya [Beliau] dan untuk Aliy, Fathimah, Hasan dan Husain [radiallahu ‘anhum] dan yang menjadi hujjah jumhur adalah firman-Nya [‘ankum] dan [yuthahhirakum] dengan miim, seandainya itu khusus untuk wanita maka digunakan kata ‘ankunna [Tafsir Ibnu Athiyyah 7/118].

Kitab Tafsir Ibnu Athiyyah atau yang dikenal Al Muharrar Al Wajiiz Fii Tafsiir Kitab Al ‘Aziiz ditulis oleh ‘Abdul Haaq bin Ghalib bin ‘Abdurrahman yang dikenal dengan Ibnu Athiyyah Al ‘Andalusiy. Disebutkan bahwa ia seorang yang faqiih alim dalam tafsir, ahkam, hadis, fiqih, nahwu, lughah dan syair [Ad Diibaaj Al Mazhab, Ibnu Farhuun 2/57].



Abu Hayyan Al Andalusiy dalam kitab tafsirnya ketika membahas surat Al Ahzab 33, ia berkata:

وقول عكرمة، ومقاتل، وابن السائب: أن أهل البيت في هذه الآية مختص بزوجاته عليه السلام ليس بجيد، إذ لو كان كما قالوا، لكان التركيب: عنكن ويطهركن

Dan perkataan Ikrimah, Muqathil, dan Ibnu As Saa’ib bahwa Ahlul Bait dalam ayat ini khusus untuk istri-istri Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidaklah jayyid karena jika memang seperti yang mereka katakan maka akan digunakan lafaz ‘ankunna wa yuthahhirakunna [Tafsiir Al Bahr Al Muhiith Abu Hayyaan Al Andalusiy 7/224].

Abu Hayyaan Al Andalusiy adalah seorang Syaikh Imam Allamah Muhaddis Al Bari’ Tarjuman Al Arab dan Lisan ahli syair [Dzail Tazkirah Al Huffaaz, Abu Mahasin Al Husainiy hal 23].



Abu Ishaq Az Zajjaaj dalam kitabnya Ma’aniy Al Qur’an ketika membahas Al Ahzab ayat 33 pada lafaz ahlul bait, ia berkata:

وقيل إن أهل البيت ههنا يعنى به نساء النبي – صلى الله عليه وسلم وقيل نساء النبي – صلى الله عليه وسلم – والرجال الذين هم آله واللغة تدل على أنه للنساء والرجال جميعا لقوله ( عنكم ) بالميم ، ويطهركم ولو كان للنساء لم يجز إلا عنكن ويطهركن والدليل على هذا قوله : ( واذكرن ما يتلى في بيوتكن ) حيث أفرد النساء بالخطاب

Dan dikatakan bahwa Ahlul Bait disini adalah istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan dikatakan pula bahwa adalah istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan laki-laki yang termasuk keluarganya. Dan lughah [bahasa] telah menetapkan bahwasanya ia adalah wanita bersama dengan laki-laki karena firman-Nya ‘ankum dengan mim dan yuthahhirakum, seandainya ia adalah wanita [saja] maka tidak boleh selain lafaz ‘ankunna wa yuthahhirakunna. Dalil untuk ini adalah firman-Nya “dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah-mu” disini yang diajak bicara adalah wanita saja [Ma’aniy Al Qur’an Wa I’rabihi, Abu Ishaaq Az Zajjaaj 4/226-227].

Abu Ishaq Az Zajjaaj disebutkan Adz Dzahabiy bahwa ia adalah Imam ahli Nahwu di zamannya [As Siyaar Adz Dzahabiy 14/360]. Al Khatib menyebutkan bahwa ia termasuk orang yang memiliki keutamaan, baik keyakinannya [aqidahnya] dan memiliki tulisan-tulisan yang baik tentang sya’ir [Tarikh Baghdad 6/613-614 no 3079].

Silakan orang-orang yang sok pintar itu menuduh para ulama ahli nahwu dan ahli tafsir di atas sebagai orang yang tidak paham bahasa arab. Betapa menyedihkan ketika orang-orang jahil berlagak seperti orang pintar.

Hakikatnya kata “ahli” dan “ahlul bait” bersifat umum yang zhahirnya bermakna penghuni rumah atau keluarga, dan secara umum yang namanya keluarga merupakan campuran antara laki-laki dan wanita karena sebuah keluarga hanya bisa terbentuk dari pernikahan laki-laki dan wanita dan mungkin memiliki anak laki-laki atau wanita. Oleh karena itu wajar jika dalam sebagian hadis kata ahli dan ahlul bait digantikan oleh kata ganti jamak mudzakkar karena ahli dan ahlul bait yang tertuju pada hadis tersebut adalah umum untuk keseluruhan anggota keluarga atau penghuni rumah [dimana bergabung laki-laki dan wanita].

Adapun jika lafaz ahli atau ahlul bait dalam suatu hadis atau ayat Al Qur’an ternyata merupakan kata ganti bagi anggota keluarga khusus wanita [yaitu istri] maka akan lebih tepat digunakan kata ganti mu’annats bukan mudzakkar. Berikut contoh hadisnya,

حدثنا محمد بن بشار حدثنا عبد الأعلى حدثنا هشام بن أبي عبد الله عن أبي الزبير عن جابر بن عبد الله أن النبي صلى الله عليه و سلم رأى امرأة فدخل على زينب فقضى حاجته وخرج وقال إن المرأة إذا أقبلت أقبلت في صورة شيطان فإذا رأى أحدكم امرأة فأعجبته فليأت أهله فإن معها مثل الذي معها

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul A’laa yang berkata telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Abi ‘Abdullah dari Abi Zubair dari Jaabir bin ‘Abdullah bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah melihat seorang wanita maka Beliau mendatangi Zainab dan menunaikan hajatnya, kemudian Beliau keluar dan berkata “sesungguhnya wanita ketika datang ia datang dalam rupa syaithan maka jika salah seorang dari kalian melihat wanita kemudian terkagum dengannya maka hendaklah ia mendatangi istrinya [ahli-nya] karena apa yang ada pada dirinya [istrinya] seperti yang ada padanya [wanita tersebut] [Sunan Tirmidzi 3/464 no 1158, Tirmidzi berkata “hadis Jabir hadis shahih hasan gharib”]
Hadis di atas menggunakan lafaz ahli yang bermakna istri kemudian Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menggunakan kata “ha” [yang bersifat mu'annats] sebagai kata ganti bagi kata ahli tersebut. Seandainya teori kata ganti ala maskulin itu benar maka dengan adanya lafaz ahli maka kata gantinya harus “hum”  [yang bersifat mudzakkar] tetapi fakta riwayat di atas tidak menunjukkan demikian.

حَدَّثَنَا الْأُوَيْسِيُّ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ حَدَّثَنِي عُرْوَةُ وَابْنُ الْمُسَيَّبِ وَعَلْقَمَةُ بْنُ وَقَّاصٍ وَعُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا حِينَ قَالَ لَهَا أَهْلُ الْإِفْكِ مَا قَالُوا قَالَتْ وَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ وَأُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ حِينَ اسْتَلْبَثَ الْوَحْيُ يَسْأَلُهُمَا وَهُوَ يَسْتَشِيرُهُمَا فِي فِرَاقِ أَهْلِهِ فَأَمَّا أُسَامَةُ فَأَشَارَ بِالَّذِي يَعْلَمُ مِنْ بَرَاءَةِ أَهْلِهِ وَأَمَّا عَلِيٌّ فَقَالَ لَمْ يُضَيِّقْ اللَّهُ عَلَيْكَ وَالنِّسَاءُ سِوَاهَا كَثِيرٌ وَسَلْ الْجَارِيَةَ تَصْدُقْكَ فَقَالَ هَلْ رَأَيْتِ مِنْ شَيْءٍ يَرِيبُكِ قَالَتْ مَا رَأَيْتُ أَمْرًا أَكْثَرَ مِنْ أَنَّهَا جَارِيَةٌ حَدِيثَةُ السِّنِّ تَنَامُ عَنْ عَجِينِ أَهْلِهَا فَتَأْتِي الدَّاجِنُ فَتَأْكُلُهُ فَقَامَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ مَنْ يَعْذِرُنِي مِنْ رَجُلٍ بَلَغَنِي أَذَاهُ فِي أَهْلِي وَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى أَهْلِي إِلَّا خَيْرًا فَذَكَرَ بَرَاءَةَ عَائِشَةَ

Telah menceritakan kepada kami Al ‘Uwaisiy ‘Abdul Aziz bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’d dari Shalih dari Ibnu Syihaab yang berkata telah menceritakan kepadaku ‘Urwah, Ibnu Musayyab, ‘Alqamah bin Waqqaash, dan Ubaidillah dari ‘Aisyah [radiallahu ‘anha] ketika orang-orang yang menyebarkan berita bohong [ahlul ifkiy] berkata kepadanya apa yang telah mereka katakan. [Aisyah] berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasalam] kemudian memanggil Aliy bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid [radiallahu ‘anhum] ketika wahyu belum turun, Beliau meminta pendapat keduanya mengenai rencana Beliau menceraikan istrinya [ahli-nya]. Maka adapun Usamah ia menyatakan sebagaimana yang ia ketahui bahwa istri Beliau [ahli-nya] terlepas dari tuduhan tersebut. Adapun Aliy mengatakan “Allah tidak akan menyusahkanmu, wanita selain dirinya masih banyak, dan tanyakanlah pada budaknya yang akan membenarkanmu”. Beliau berkata “pernahkah engkau melihat sesuatu yang meragukanmu”. [budak] berkata “aku tidak pernah melihat sesuatu selain ketika ia masih muda ketika ia ketiduran dari menjaga adonan roti keluarganya maka datanglah hewan yang memakannya”. Maka Beliau berdiri di atas mimbar dan berkata “wahai kaum muslimin siapa yang dapat memberikan alasan tentang seseorang yang gangguannya terhadap istriku [ahli-ku] telah sampai kepadaku, demi Allah tidaklah aku mengetahui tentang istriku [ahli-ku] kecuali kebaikan, maka Beliau menyebutkan bahwa Aisyah terlepas dari tuduhan tersebut [Shahih Bukhariy 9/113 no 7369].

Perhatikan hadis di atas yang menceritakan kisah “berita bohong” yang dituduhkan terhadap Ummul Mukminin Aisyah [radiallahu ‘anha]. Dalam matan hadis disebutkan lafaz dimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] meminta saran Usamah [radiallahu ‘anhu] dan Aliy [radiallahu ‘anhu] mengenai niat menceraikan istri Beliau. Lafaz “istrinya” yang digunakan dalam hadis ini adalah “ahli-hi”. Lafaz ahli secara zhahir bermakna keluarga, maka ahli-hi pada dasarnya bermakna keluarga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Bukankah keluarga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ada banyak mencakup juga di dalamnya Aliy, Hasan dan Husain [‘alaihimus salaam].

Kalau kita berpegang pada keumuman lafaz “ahli-hi” atau mengaitkannya dengan teori kata “ahli” yang bersifat maskulin maka kata ganti bagi “ahli-hi” harus bersifat jamak mudzakkar. Hal ini bertentangan dengan matan hadis di atas. Aliy [radiallahu ‘anhu] menyebutkan lafaz

لَمْ يُضَيِّقْ اللَّهُ عَلَيْكَ وَالنِّسَاءُ سِوَاهَا كَثِيرٌ

Allah tidak akan menyusahkanmu, wanita selain dirinya masih banyak.

Perhatikan lafaz “siwaaha” yang bermakna “selain dirinya” ha pada lafaz “siwaaha” tersebut adalah kata ganti bagi “ahli-hi” karena “ahli-hi” yang dimaksud dalam hadis ini bukan seluruh istri-istri Nabi, bukan keluarga Aliy, bukan keluarga Abbas [walaupun secara istilah mereka semua adalah ahli Nabi]. Ha pada lafaz “siwaha” bersifat mu’annats bukan mudzakkar dan maknanya disini merujuk pada “ahli-hi” secara khusus yaitu Aisyah [radiallahu ‘anha] karena memang Beliaulah istri Nabi yang sedang dituduh sebagian orang.
Mengapa tidak digunakan “hum” yang bersifat jamak mudzakkar padahal fungsinya disana sebagai kata ganti bagi “ahli-hi”?. Jawabannya karena memang teori kata ganti ala maskulin yang dilontarkan sebagian kaum jahil itu mengada-ada. Pada hakikatnya, kata ganti pada suatu kalimat harus memperhatikan apakah kata yang digantikan tersebut merujuk pada keumuman lafaz-nya atau khusus untuk pribadi tertentu. Jadi jika lafaz “ahli” dalam suatu kalimat merujuk pada “khusus istri Nabi” maka kata ganti bagi “ahli” tersebut harus bersifat mu’annats bukan mudzakkar.

Mungkar Bertentangan Dengan Hadis Shahih.

Riwayat Ibnu Abbas di atas mungkar dari sisi bertentangan dengan hadis shahih bahwa Ayat Tathiir turun khusus untuk ahlul kisa’ dalam hal ini Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Ummu Salamah sebagai salah satu istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersaksi bahwa ayat tersebut turun untuk ahlul kisa’ dan ia tidak meyakini bahwa Ayat tathiir diturunkan untuknya sebagai salah satu istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

وأنبأنا أبو محمد عبد الله بن صالح البخاري قال حدثنا الحسن بن علي الحلواني قال حدثنا يزيد بن هارون قال حدثنا عبد الملك بن أبي سليمان عن عطاء عن أم سلمة وعن داود بن أبي عوف عن شهر بن حوشب عن أم سلمة وعن أبي ليلى الكندي عن أم سلمة رحمها الله بينما النبي صلى الله عليه وسلم في بيتي على منامة له عليها كساء خيبري إذ جاءته فاطمة رضي الله عنها ببرمة فيها خزيرة فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم ادعي زوجك وابنيك قالت : فدعتهم فاجتمعوا على تلك البرمة يأكلون منها ، فنزلت الآية : إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا فأخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم فضل الكساء فغشاهم مهيمه إياه ، ثم أخرج يده فقال بها نحو السماء ، فقال اللهم هؤلاء أهل بيتي وحامتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت : فأدخلت رأسي في الثوب ، فقلت : رسول الله أنا معكم ؟ قال إنك إلى خير إنك إلى خير قالت : وهم خمسة : رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وعلي ، وفاطمة ، والحسن والحسين رضي الله عنهم

Telah memberitakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdullah bin Shalih Al Bukhari yang berkata telah menceritakan kepada kami Hasan bin ‘Ali Al Hulwaaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Atha’ dari Ummu Salamah dan dari Dawud bin Abi ‘Auf dari Syahr bin Hawsyaab dari Ummu Salamah dan dari Abu Laila Al Kindiy dari Ummu Salamah “sesungguhnya Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berada di rumahku di atas tempat tidur yang beralaskan kain buatan Khaibar. Kemudian datanglah Fathimah dengan membawa bubur, maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “panggillah suamimu dan kedua putramu”. [Ummu Salamah] berkata “kemudian ia memanggil mereka dan ketika mereka berkumpul makan bubur tersebut turunlah ayat Sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya, maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengambil sisa kain tersebut dan menutupi mereka dengannya, kemudian Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengulurkan tangannya dan berkata sembari menghadap langit “ya Allah mereka adalah ahlul baitku dan kekhususanku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah sesuci-sucinya. [Ummu Salamah] berkata “aku memasukkan kepalaku kedalam kain dan berkata “Rasulullah, apakah aku bersama kalian?. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kamu menuju kebaikan kamu menuju kebaikan. [Ummu Salamah] berkata “mereka adalah lima orang yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Ali, Fathimah, Hasan dan Husein raidallahu ‘anhum” [Asy Syari’ah Al Ajjuri 4/383 no 1650 sanadnya shahih].

Kisah yang disebutkan Ummu Salamah di atas menyebutkan dengan jelas bahwa Ayat Tathiir turun untuk ahlul kisa’ dimana Ummu Salamah mengatakan bahwa mereka ada lima orang yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Kemudian Ummu Salamah memahami bahwa pernyataan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] “kamu menuju kebaikan” adalah penolakan halus dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] untuk memasukkan dirinya [Ummu Salamah] bersama mereka dalam ayat tersebut.

وحدثنا ابن أبي داود أيضا قال حدثنا سليمان بن داود المهري قال حدثنا عبد الله بن وهب قال حدثنا أبو صخر عن أبي معاوية البجلي عن سعيد بن جبير عن أبي الصهباء عن عمرة الهمدانية قالت قالت لي أم سلمة أنت عمرة ؟ قالت : قلت نعم يا أمتاه ألا تخبريني عن هذا الرجل الذي أصيب بين ظهرانينا ، فمحب وغير محب ؟ فقالت أم سلمة أنزل الله عز وجل إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا وما في البيت إلا جبريل ورسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهما وأنا فقلت : يا رسول الله أنا من أهل البيت ؟ قال أنت من صالحي نسائي قالت أم سلمة : يا عمرة فلو قال نعم كان أحب إلي مما تطلع عليه الشمس وتغرب

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud Al Mahriy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Shakhr dari Abu Muawiyah Al Bajaliy dari Sa’id bin Jubair dari Abi Shahba’ dari ‘Amrah Al Hamdaniyah yang berkata Ummu Salamah berkata kepadaku “engkau ‘Amrah?”. Aku berkata “ya, wahai Ibu kabarkanlah kepadaku tentang laki-laki yang gugur di tengah-tengah kita, ia dicintai sebagian orang dan tidak dicintai oleh yang lain. Ummu Salamah berkata “Allah SWT menurunkan ayat Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya, dan ketika itu tidak ada di rumahku selain Jibril, Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan, Husein dan aku, aku berkata “wahai Rasulullah apakah aku termasuk Ahlul Bait?”. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “engkau termasuk istriku yang shalih”. Ummu Salamah berkata “wahai ‘Amrah sekiranya Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab iya niscaya jawaban itu lebih aku sukai daripada semua yang terbentang antara timur dan barat [dunia dan seisinya] [Asy Syari’ah Al Ajjuri 4/248 no 1542, sanadnya shahih].

Ummu Salamah sebagai istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentu lebih mengetahui dibanding Ibnu Abbas jika memang ayat tersebut diturunkan untuknya. Maka disini bisa dikatakan bahwa riwayat Ibnu Abbas itu keliru dan kekeliruan tersebut bisa berasal dari Ibnu Abbas atau dari perawi yang meriwayatkan riwayat Ibnu Abbas tersebut. Kami pribadi lebih merajihkan bahwa yang keliru adalah perawi yang meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas dalam hal ini Ikrimah, dengan alasan:
  1. Ikrimah telah dijarh oleh sebagian ulama dimana ada yang menyatakan bahwa ia berdusta atas nama Ibnu Abbas. Bersamaan dengan ta’dil para ulama terhadapnya maka jarh dusta disini bisa ditafsirkan sebagai kesalahan atau tidak sengaja berdusta.
  2. Terdapat riwayat shahih dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat tathir khusus untuk ahlul kisa’ yaitu Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam], Aliy, Fathimah, Hasan dan Husain.
Adz Dzahabiy berkata “Ikrimah maula Ibnu Abbas shaduq hafizh ‘alim, ia telah didustakan oleh Mujahid, Ibnu Sirin dan Malik” [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 246]

حدثنا عبد العزيز بن عبد الله الأويسي حدثنا إبراهيم بن سعد عن أبيه عن سعيد بن المسيب إنه كان يقول لبرد مولاه يا برد لا تكذب علي كما كذب عكرمة على ابن عباس

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Aziiz bin ‘Abdullah Al Uwaisiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahiim bin Sa’d dari Ayahnya dari Sa’id bin Al Musayyab yang berkata kepada maulanya “janganlah engkau berdusta atasku sebagaimana Ikrimah berdusta atas Ibnu ‘Abbas” [Ma’rifat Wal Tarikh Ya’qub Al Fasawiy 2/3 sanadnya shahih].

حدثنا بن إدريس عن فطر قال قلت لعطاء ان عكرمة يقول قال بن عباس سبق الكتاب الخفين فقال عطاء كذب عكرمة أنا رأيت بن عباس يمسح عليهما

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Idriis dari Fithr yang berkata aku berkata kepada Atha’ bahwa Ikrimah mengatakan Ibnu ‘Abbas berkata “Al Kitab telah mendahului dalam masalah dua khuuf” maka Atha’ berkata Ikrimah berdusta, aku telah melihat Ibnu ‘Abbas mengusap keduanya [khuuf]” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 1/170 no 1951 sanadnya shahih].

Ikrimah telah dita’dilkan oleh sebagian ulama maka jarh dusta yang dimaksud disini bisa diartikan tidak sengaja berdusta atau melakukan kesalahan dalam riwayat Ibnu Abbas dan kesalahan ini dipandang oleh sebagian ulama sebagai kedustaan, wallahu ‘alam. Ahmad bin Hanbal termasuk salah satu ulama yang menta’dilkan dan berhujjah dengan Ikrimah, tetapi diriwayatkan pula bahwa ia pernah menyatakan Ikrimah mudhtharib al hadits [Aqwaal Ahmad no 1844]. Ibnu Sa’ad menukil dalam kitabnya bahwa Ikrimah banyak meriwayatkan hadis dan banyak memiliki ilmu tetapi tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya dan orang-orang telah membicarakannya [Thabaqat Ibnu Sa'ad 7/288].

Kami lebih merajihkan pendapat yang menta’dilkan Ikrimah hanya saja memang benar bahwa ia pernah melakukan kesalahan dalam sebagian riwayat Ibnu Abbas. Dan terdapat bukti bahwa Ikrimah telah keliru dalam hadis tersebut yaitu riwayat berikut:

أخبرنا أبو بكر أحمد بن جعفر بن حمدان القطيعي ببغداد من أصل كتابه ثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثني أبي ثنا يحيى بن حماد ثنا أبو عوانة ثنا أبو بلج ثنا عمرو بن ميمون قال : إني لجالس عند ابن عباس إذ أتاه تسعة رهط فقالوا : يا ابن عباس : إما أن تقوم معنا و إما أن تخلو بنا من بين هؤلاء قال : فقال ابن عباس بل أنا أقوم معكم قال و هو يومئذ صحيح قبل أن يعمى قال : فابتدؤوا فتحدثوا فلا ندري ما قالوا قال فجاء ينفض ثوبه و يقول أف و تف وقعوا في رجل له بضع عشرة فضائل ليست لأحد غيره

Telah menceritakan kepada kami Abuu Bakar Ahmad bin Ja’far bin Hamdaan Al Qathi’iy di Baghdad dari Ushul Kitab-nya yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamaad yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Balj yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Maimun yang berkata aku duduk di sisi Ibnu ‘Abbaas ketika datang kepadanya sembilan orang, mereka berkata “wahai Ibnu ‘Abbaas engkau pergi bersama kami atau membebaskan kami dari mereka. [‘Amru bin Maimun] berkata maka Ibnu ‘Abbaas berkata “aku akan pergi bersama kalian”. [‘Amru bin Maimun] berkata “dan ia pada hari itu masih dalam keadaan baik belum kehilangan penglihatannya”. [‘Amru bin Maimun] berkata “maka mereka mulai berbicara dan aku tidak mengetahui apa yang mereka katakan”. [‘Amru bin Maimun] berkata maka Ibnu ‘Abbas datang sambil merapikan pakaiannya dan mengatakan “Uff uff mereka telah mencela seorang laki-laki yang memiliki sepuluh keutamaan yang tidak dimiliki seorang pun selainnya”…[Al Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4652, dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabiy].

Kemudian dalam hadis tersebut Ibnu ‘Abbas menyebutkan sepuluh keutamaan yang dimiliki Aliy bin Abi Thalib, diantara sepuluh keutamaan tersebut, Ibnu ‘Abbas menyebutkan:

قال و أخذ رسول الله صلى الله عليه و سلم ثوبه فوضعه على علي و فاطمة و حسن و حسين و قال : إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت و يطهركم تطهيرا

[Ibnu ‘Abbaas] berkata “dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengambil kain kemudian menutupi Aliy, Fathimah, Hasan dan Husain seraya berkata “Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya”. [Al Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4652].

Kedudukan hadis ini shahih sebagaimana dikatakan Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabiy. Dan hadis ini menjadi hujjah bahwa di sisi Ibnu ‘Abbas ayat tathiir [Al Ahzab ayat 33] khusus untuk Ahlul Kisa’ yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Aliy, Fathimah, Hasan dan Husain. Sebagaimana nampak dalam lafaz perkataan Ibnu ‘Abbas bahwa keutamaan tersebut tidak dimiliki oleh selain Aliy [dan selain yang disebutkan oleh Ibnu ‘Abbaas]. Hadis ini menjadi qarinah yang menguatkan bahwa riwayat Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas yang mengatakan ayat tersebut turun khusus untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah keliru

Kesimpulan
Riwayat Ibnu ‘Abbas yang menyatakan ayat tathiir [Al Ahzab 33] turun khusus untuk istri-istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kedudukannya mungkar dan hal itu kemungkinan adalah kekeliruan dari Ikrimah yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas.(Source)

Terkait Berita: