Penambang timah Tionghoa di Manggar Belitung, 1903. Foto: KITLV.
Sama-sama berasal dari Guangdong dan datang karena timah, peranakan Tionghoa di Bangka berbeda dengan Belitung.
OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO
KEBERADAAN Tionghoa di Bangka-Belitung karena timah –Bangka berasal dari bahasa Sanskerta, vanka, artinya
timah. Penambangan timah di Bangka dimulai pada abad ke-18 oleh
keluarga Tionghoa dari Guangdong, Lim Tiau Kian. Sementara di Belitung,
penambangan dimulai perusahaan Belanda Gemeenschappelijke Mijnbouw
Maatschappij Billiton (GMB) pada 1852.
Menurut sejarawan Myra Sidharta dalam diskusi bertajuk “Jejak
Langkah Kaum Peranakan Indonesia, Silang Budaya Negri China dan
Nusantara,” di Kunstkring Paleis, Jakarta Pusat, (28/11), meski
sama-sama berasal dari daerah Guangdong (Kanton) Tiongkok Selatan,
peranakan Tionghoa di Bangka dan Belitung memiliki perbedaan.
Orang Tionghoa di Bangka didatangkan
pada awal abad ke-18 ketika pertambangan resmi dibuka. Mereka umumnya
tidak membawa istri sehingga menikahi penduduk bumiputera, baik Bangka,
Jawa maupun Bali. Maka, menurut Myra, Tionghoa di Bangka adalah
“masyarakat peranakan sebenarnya, yaitu darah campuran Tionghoa dan
pribumi.” Jumlah Tionghoa muslim cukup besar, bahkan ada kuburan khusus
untuk mereka di dekat kota Mentok.
Sedangkan Tionghoa di Belitung datang
pada pertengahan abad ke-19 beserta istri-istri mereka. Mereka menjadi
“peranakan berdasarkan orientasi hidup.” Contohnya, ada perempuan yang
menggantikan pakaian Tionghoanya dengan pakaian bumiputera. Mereka
mengganti baju kurung dengan kebaya, celana dengan sarung. “Di zaman
dahulu wanita mengunyah sirih. Dewasa ini mereka makan durian dan
petai,” kata Myra.
Perbedaan terbesar dalam bahasa. Di
Bangka, peranakan Tionghoa berbahasa Melayu-Bangka yang khas bercampur
kata-kata dialek Hakka. Di Belitung, peranakan Tionghoa berbahasa Hakka
murni yang dibagi dalam “bahasa ibu” dan “bahasa ayah.” Kaum perempuan
berbahasa ibu dengan nada khas dan bercampur bahasa Melayu. Lelaki
berbahasa ayah atau Hakka murni; jika berbicara dengan bahasa ibu
dianggap aneh. Dewasa ini bahasa Hakka terancam punah. Anak-anak kecil
di Belitung bisa bahasa Hakka namun ketika pindah ke Jakarta jarang mau
menggunakannya karena malu atau pergaulan.
Di luar perbedaan itu, dalam hal kuliner,
Tionghoa di Bangka dan Belitung umumnya sama. Keduanya membedakan
masakan totok dan peranakan. Makanan juga disesuaikan untuk kebutuhan
sehari-hari, ritual, perayaan, perkawinan, dan kematian.