Di antara alumni-alumni lulusan akademi dan khalaqah Rasulullah saww. Ali as. adalah lulusan terbaiknya. Dengan potensi suci dan sempurna Ali as. mampu menangkap semua pelajaran sang guru, tidak ada satu hurufpun yang tidak difahami olehnya bahkan setiap satu huruf yang diajarkan oleh Rasul saww. terbuka baginya seribu pintu ilmu. Hal ini menjadikan Ali as. pemilik kesempurnaan akal dan iman.Di kalangan para arif, Ali as. adalah wujud tajalli tertinggi dari Haq yang maha tinggi. Karena ketinggian wujud suci alawi ini, hanya ka’bah yang mampu menerima tajalli wujudnya dan hanya mihrab yang sanggup menahan berat beban shahadah wujud suci ini. Hijab dunia dan tabir akherat dihadapan pandangan hakekat Ali as. tidak lagi memiliki warna. Pandangan Ali as. mampu menembus alam malakut serta tidak ada lagi yang tersembunyi dari pandangannya.
Beliau berkata : “ Sesungguhnya aku telah melihat alam malakut dengan izin Tuhanku, tidak ada yang ghaib ( tersembunyi ) dariku apa-apa yang sebelumku dan apa-apa yang akan datang sesudahku.”[1] Ali as. adalah ayat kubra Haq yang maha tinggi, insan kamil yang memiliki ilmu kitab, seperti yang disabdakan oleh Rasulallah saww.: “ salah seorang misdaq dari ayat ( katakanalah! Cukuplah Allah swt. sebagai saksi antara aku dan kalian serta orang yang memiliki ilmu kitab )[2] adalah saudaraku Ali.”[3]
Para arif serta ahli bathin dengan bangga mengaku diri mereka sebagai murid dari sang murod agung ini, dan menjadikan Ali as. sebagai qutub dari silsilah mursyidnya. Imam Hadi as. berkata : Ali as. adalah kiblat kaum Arifiin “[4] Dikalangan ahli hikmah, hikmah alawi merupakah hikmah tertinggi. Wujud, perbuatan serta kalam Ali as. sarat dengan hikmah yang memancar dari maqam imamahnya serta menjadi lentera bagi para pengikutnya. Dalam filsafat ketuhanan Ali as. adalah orang pertama dalam islam yang meletakkan batu pondasi burhan dan membukakan pintu argumtasi falsafi bagi para filusuf dan ahli hikmah sesudahnya. Selain dari itu Ali as. adalah orang pertama yang menggunakan istililah-istilah falsafi arab dalam menjelaskan masalah-masalah filsafat. Menurut pandangan Ali as. makriaf ketuhanan merupakan makrifat tertinggi dan merupakan paling sempurnanya makrifat. Seperti dalam ucapannya : “ Makrifat tentang Allah Ta’ala adalah paling tingginya makrifat “[5] serta ucapannya : “ Barang siapa yang mengenal Allah swt. maka sempurnalah makrifatnya “.[6]
Ucapan-ucapan fasih Ali as. dalam Nahjul Balaghah sangat sarat dengan hikmah dan makrifat tertinggi. Ucapan seperti ini tidak mungkin keluar kecuali dari orang yang memiliki kedudukan khusus dan tinggi tentang pengetahuan dan makrifatnya terhadap Tuhan.
Tahapan Pengenalan Tuhan Dalam Ucapan Imam Ali as.
Ali as. dalam khutbah pertama dari Nahjul Balaghah menjelaskan urutan tahapan pengenalan terhadap Tuhan, mulai dari tahapan sederhana hingga berakhir kepada tahapan yang sangat dalam dan detail.
1. Mengenal Tuhan dan mengakui akan ketuhananNya. Sebuah pandangan dunia yang dimiliki semua keyakinan dan agama baik yang muwahid ataupun yang musyrik mulai dari agama primitive sampai kepada islam. Yang tertera dalam ucapannya : “awwal ( asas ) dari agama adalah mengenal Tuhan”.[7]Ali as. dalam beberapa khutbahnya berusaha mengajukan beberapa argument untuk pembuktian akan keberadaan sang pencipta dari alam semesta, seperti dalam ucapan singkatnya : “setiap sesuatu yang bersandar kepada selainnya maka ia adalah sebab”.[8] Ucapan singkat akan tetapi memiliki kandungan yang luas ini ingin menjelaskan hokum kausalitas dan menjelaskan bahwa semua yang ada di dunia ini sebab, karena wujud mereka bukanlah dzati ( mumkin ). Oleh karenanya harus ada sesuatu yang keberadaanya dzati (wajib alwujud).Dalam khutbah lain Ali as. berkata : “Celakalah orang yang mengingkari sang maha muqaddir dan tidak meyakini mudabbir”[9] kelanjutan dari kutbah ini : “Apakah mungkin ada bangunan tanpa ada yang membangun dan apakah mungkin ada perbuatan tanpa adanya pelaku?”[10] Dalam pandangan Ali as. keyakinan akan keberadaan Tuhan merupakan sesuatu yang fitri dan dengan sekedar melihat wujud makhluknya, manusia akan mempu mengungkap keberadaan sang pencipta, seperti dalam ucapannya : “Aku merasa heran dengan orang yang mengingkari Allah swt., sementara dia melihat ciptaanNya !”[11]
2. tashdiq
Tashdiq adalah satu konsep yang lebih khusus dibanding dengan makrifat, karena makrifat merupakan konsep mencakup pengetahuan yang bersifat dlanni serta pengetahuan yaqinni. Seperti halnya makrifat, tashdiq juga memiliki beberapa tingkatan :
Pertama : tasawwur ibtidai dari bagian-bagian ( maudlu dan mahmul ) proposisi dan keyakinan sederhana akan kebenaran hukum dari nisbah tiap bagian tadi. Keyakinan orang awam terhadap proposisi-proposisi seperti “Tuhan ada” atau “Tuhan maha melihat” tidak didasari oleh kemantapan pengetahuan setiap bagian dari proposisi atau hukum nisbah antara bagian-bagian tersebut. Artinya pengetahuan mereka tentang bagian dari proposisi serta hukum dari nisbah antara keduanya sangatlah ijmal. Oleh karenanya keykinan mereka sangatlah rapuh.
Kedua : Tashdiq yang muncul setelah pengetahuan yang nisbi terhadap bagian-bagian proposisi serta keyakinan yang muncul dari pengakuan akan kebenaran nisbah antara bagian-bagian tersebut. Akan tetapi keyakinan nisbi ini masih belum bisa menjadi faktor penggerak kehidupannya, artinya keyakinan ini masih tergantung kepada perhitungan untung rugi. Kalau proposisi tersebut membawa keuntungan bagi keberadaannya maka proposisi tersebut sempurna dan kalau tidak maka dia akan berpaling dari keyakinan ini.
Ketiga : Tashdiq yang muncul dari kejelasan terhadap bagian-bagian proposisi dan tidak ada sedikitpun keraguan terhadapnya serta keyakinan yang mantap terhadap hukum nisbah antara bagian-bagian proposisi tadi. Akan tetapi keyinanan tersebut belum malakah dan menjadi darah dagingnya, artinya walaupun dengan segala kejelasan akan bagian proposisi serta hukumnya akan tetapi keykinan ini tidak merasuk ke dalam kehidupan dan tujuan hidupnya.
Keempat : Tashdiq atau keyakinan yang dihasilkan dari pengetahuan sempurna terhadap bagian-bagian proposisi serta hukum nisbah antara bagain-bagian ini. Dan keyakinan ini sudah mendarah daging, malakah dan sudah menjadi faktor penggerak yang besar dalam kehidupannya. Ini merupakan keyakinan hakiki yang muncul dari kesempurnaan makrifar. Keyakinan seperti ini yang dianjurkan oleh Ali as. dalam salah satu khutbahnya : “jangan jadikan ilmu kalian kebodohan dan keyakinan kalian menjadi syak, jika kalian sudah mengetahui maka amalkanlah dan jika kalian sudah meyakininya maka praktekanlah”[12] Atau dalam salah satu hadits Ali as. berkata : “Ilmu selalu bergandengan ( maqrun ) dengan amal ; barang siapa yang sudah mengetahui maka ia akan mengamalkan dan barang siapa yang mengamalkan berarti ia telah mengetahui. Ilmu selalu bergandengan dengan amal, ( jika ia mengamalkannya ) maka ilmu akan menjawabnya dan jika tidak maka ia pun akan meninggalkannya”[13]
3. Tauhid.
Setelah manusia melewati ketiga tahapan tashdiq dan masuk kepada tingkatan keempat, maka kelazimannya dia akan mengakui keesaan Tuhan. Karena pada tingkatan keempat dari tashdiq, manusia sudah memiliki pengetahuan sempurna terhadap bagian-bagian proposisi, Argumentasi akan keberadaan wajib al-wujud merupakan argumentasi terhadap keesaannya. Pembuktian akan keberadaan wajib al-wujud ( dalam istilah falsafi ) yaitu Allah swt. ( dalam istilah agama ) adalah pembuktian akan keberadaan Dzat yang maha sempurna dan tidak terbatas. Dan kelaziman dari ketidak terbatasanNya adalah keesaanNya. Dalam salah satu hadistnya : “mengetahuinya berarti mengesakannya”[14] ( seperti argumentasi yang dikemukakan oleh Mulla Sadra ). Dalam pandangan Ali as. yang dimaksud dengan esa dan satunya Tuhan bukanlah satu dalam bilangan sehingga Dia terpisah dari yang lain dengan batasan, akan tetapi artinya tidak ada sekutu bagiNya dan Tuhan adalah wujud yang bashit dan tidak tersusun dari bagian seperti dalam ucapannya : “Satu akan tetapi bukan dengan bilangan”[15]
4. Ikhlas
Tahapan selanjutnya adalah Ikhlas tentang Tuhan ; “kesempurnaan tuahid adalah ikhlas terhadapNya”[16] Ibnu Abi Hadid ( diyakini juga oleh Allamah Ja’fari ); maksud dari ikhlas dalam khutbah ini – dengan melihat kalimat-kalimat berikutnya dari khutbah ini- adalah mensucikan ( akhlasha/khalis danestan ) wujud Tuhan dari segala kekurangan dan sifat-sifat salbi.[17]
5. Penafian Sifat
Tuhan merupakan wujud yang mutlak serta maha tidak terbatas, oleh karenanya kekuatan akal dengan konsep-konsep dzihn-nya setiap kali hendak memberikan sifat ( dengan konsep-konsep ) tidak akan bisa mensifati Tuhan dengan sempurna dan mensifati Tuhan dengan apa yang seharusnya. Karena setiap konsep dari satu sifat berbeda dengan konsep dari sifat lain ( terlepas dari misdaq ), maka kelazimannya adalah keterbatasan. Artinya kalau kita memberikan sifat kepadaNya berarti kita telah membandingkan ( satu sifat dengan yang lain atau antara Dzat dengan sifat ). Ketika kita telah membandingkan berarti kita menduakannya, ketika kita menduakannya berarti kita men-tajziah, ketika kita men-tajziah berarti kita tidak mengenalNya dan seterusnya seperti yang uraikan dalam khutbahnya.[18] Wujud Tuhan yang maha tidak terbatas tidak mungkin bisa diletakkan dalam satu wadah, baik wadah berupa suatu wujud atau dicakup dalam wadah berupa konsep kulli yang dihasilkan dari perbuatan akal. Oleh karenanya golongan yang meyakini adanya hulul pada dzat Tuhan, mereka telah membatasi Tuhan dalam satu wujud makhluk tertentu. Seperti keyakinan bahwa Isa as. atau Ali as. adalah wadah bagi wujud Tuhan, sangat jelas bahwa pandangan seperti itu sudah menyimpang dari Tauhid dan bertetangan dengan akal serta teks-teks agama seperti ucapan Ali as. : “ barang siapa yang berkata bahwa Tuhan ada pada sesuatu maka ia telah menyatukanNya dengan sesutau itu, dan barang siapa yang menyatakan bahwa Tuhan diatas ( diluar ) dari sesutau berarti ia telah memisahkan Tuhan darinya “.
Wujud yang maha tidak terbatas, tidak berakhir dan memiliki wahdat ithlaqi memiliki dua kekhususan; pertama ‘ainiah wujudi dan hadir secara wujud dengan semua makhluk sebagai tajalli isim-Nya akan tetapi tidak dalam artian hulul. Kedua : fauqiah wujudi , karena wujudnya yang tidak terbatas tidak mungkin bisa dibatasi hanya pada makhluk yang terbatas ( hulul ). Artinya wujud mutlak ini selian hadir di dalam wujud makhluk juga berada di luar wujud makhluk, sebab kalau tidak maka wujudNya akan terbatas. Seperti yang diutarakan oleh Imam Husein bin Ali as. ketika menafsirkan ayat “ Allah al-shamad “ maknanya adalah “ laa jaufa lahu “ atau wujudNya tidak memiliki kekosongan artinya tidak ada bagianpun dari wujud ini yang kosong dariNya. Hal ini juga dijelaskan dalam khutbah selanjutnya : “ bersama segala sesuatu akan tetapi tidak dengan muqaranah dan bukan segala sesuatu akan tetapi tidak jawal dan terpisah darinya.Kesimpulannya bahwa filsafat yang bersenjatakan akal dengan segala kekuatannya tidak akan bisa memahami Tuhan dengan apa adaNya ( ihathah ). Begitu pula kekuatan amal manusia yang terbatas, lewat irfannya, tidak akan sampai pada shuhud dan hudzur pada kedalaman sifat dari wujud yang maha Agung ini. Pengetahuan manusia tentang Tuhan selalu diiringi dengan pengakuan ketidak mampuan dan kelemahan.
Pada kutbah lain Ali as. berkata : “kekuatan fikr manusia tidak sampai kepada sifatNya, dan hati tidak akan bisa meraih kedalamNya”[19] penjelasan lain dari penafian sifat, adalah menafikan sifat sebagai sesuatu yang terpisah dari mausuf. Penafsiran ini dikuatkan oleh kalimat sesudahnya : “dengan kesaksian bahwa setiap sifat bukanlah mausuf dan setiap mausuf bukanlah sifat “ atau kalimat sebelumnya dari khutbah ini : : “Dzat yang sifatnya tidak memiliki batasan yang membatasinya”
Manabi’:
1. hikmat-e alawi . Jawadi Aamuli
2. Tarjumeh wa tafir-e Nahjul Balaghah , Muhammad Taqi Ja’fari
3. Al-Insan wa Al-Aqidah : Muhammad Husein Tabhatbha’i
4. Zandagi-e ‘arifaneh-e Ali, Jawwadi Aamuli
5. Irfan Islami, Ali Fadzli
Referensi:
[1] Aamaal Syekh Thusi : hal 205.
[2] Al-Ra’d : 43
[3] Nur Al-Staqalain : jilid 2 hal. 523.
[4] Misbah Al-Zaair : 477.
[5] Gurar wa Durar : Hadist no. 1674
[6] Ibid : Hadist no. 7999.
[7] Nahjul Balaghah : 1
[8] Nahjul Balaghah : 186
[9] Nahjul Balaghah : 185
[10] Ibid
[11] Nahjul Balaghah : 126
[12] Nahjul Balaghah : 523, hikmah : 274.
[14] Al-Ihtijaj : 1/201 dan Bihar Al-Anwar : 4/253.
[15] Nahjul Balaghah : 279 khutbah no. 185.
[16] Nahjul balaghah :1
[17] Syarh Nahjul Balaghah : 2/57 ( Muhammad Taqi Ja’fari )
[18] Nahjul Balaghah : 1
[19] Nahjul Balaghah : 85.