Ratusan tahun silam, di sebuah ruang
perpustakaan kastil indah di Bordeaux, seperti yang diceritakan kembali oleh
Alain de Botton, Michel de Montaigne menulis tentang Thales, yang terdengar
sebagai sebuah sindiran dengan jalan memuji sahabat sang filsuf, ketimbang
filsuf itu sendiri: “Aku selalu merasa senang pada gadis dari Miletus yang
memandangi sang filsuf, ketika sang filsuf dengan matanya yang menerawang ke
atas mengukur kubah langit, seolah hendak mengingatkan sang filsuf bahwa sudah
cukup waktu untuk menentukan sesuatu di atas awan bila ia telah menghitung
segala sesuatu yang berada di depan kakinya”, ujar Montaigne dalam Essays-nya,
“Kau pun dapat melakukan celaan yang sama sebagaimana gadis dari Miletus itu
melakukannya kepada Thales, untuk menghadapi setiap orang yang mendalami
filsafat dalam pelupaan, orang yang gagal melihat dan menyaksikan kenyataan
yang terletak di depan kakinya”, lanjut Montaigne.
Orang yang membaca fragmen yang ditulis
Montaigne tersebut tanpa terlebih dahulu mengetahui siapa sesungguhnya
Montaigne, mungkin akan terlalu dini menilainya sebagai orang yang anti-teori
atau pun anti-pemikiran. Tetapi Montaigne sendiri tentulah tidak demikian,
ekstremitas kejujuran Montaigne biar bagaimana pun lahir dari seseorang yang
cukup lama menggeluti dunia baca dan pemikiran. Di usia tujuh tahun ia telah
menamatkan Metamorphoses-nya Publius Ovidius Naso alias Ovid, dan sejak usia
enam belas tahun, ia telah menamatkan seri lengkap karya-karya Publius
Virgilius Maro alias Virgil si penulis Aeneid.
Dengan demikian, skeptisisme Montaigne tetaplah didasarkan pada pengalaman pembacaan dan empirisisme perjalanan hidupnya yang memang kemudian menggemari petualangan dan bepergian ke daerah-daerah terpencil dan pegunungan. Masa-masa muda Montaigne dijalani dengan membaca karya-karya Plautus, Homer, Plutarch, dan tentu saja al Kitab terutama Kitab Si Pengchotbah alias Ecclesiastes.
Dengan demikian, skeptisisme Montaigne tetaplah didasarkan pada pengalaman pembacaan dan empirisisme perjalanan hidupnya yang memang kemudian menggemari petualangan dan bepergian ke daerah-daerah terpencil dan pegunungan. Masa-masa muda Montaigne dijalani dengan membaca karya-karya Plautus, Homer, Plutarch, dan tentu saja al Kitab terutama Kitab Si Pengchotbah alias Ecclesiastes.
Montaigne memang ingin menginstropeksi
pemikiran yang malah menjauhkan manusia dari kehidupan dan hasratnya untuk
bebas dari penderitaan yang tidak produktif. Meski demikian, kesangsian dan
instrospeksi Montaigne itu tetap merupakan ikhtiar dan kerja intelektual demi
mencari perspektif dan paradigma baru pemikiran dan kerja-kerja intelektual,
memberinya relevansi pragmatis dan kesepadanan dengan kenyataan keseharian yang
dijalani manusia, hingga dapat mengurangi kesenjangan antara ilmu pengetahuan
dan kehidupan keseharian manusia itu sendiri. Dan kita tahu, bertahun-tahun
kemudian, esei-esei yang ditulis Montaigne itu, di kemudian hari dibaca dan
disuarakan kembali oleh Nietzsche.
Dalam Essays-nya itu, Montaigne memang
seringkali berbicara tentang celah, kerentanan, dan bahkan ketidakmemadaian
ilmu pengetahuan yang terlampau menjauhkan diri dari kenyataan kehidupan
manusia itu sendiri: paradigma yang kadang sepihak, perspektif yang kadang
memilih dan semena-mena. Instropesksi dan kritik Montaigne itu mengingatkan
saya pada Epicurus dalam hal penekanannya untuk mempertimbangkan dan tidak
mengabaikan sisi manusiawi dari ilmu pengetahuan dan kerja intelektual. Sebuah
anjuran yang belakangan ini menjadi wawasan filosofis-nya Richard Rorty dalam
konteks masyarakat demokratis-liberal.
Dalam esei-esei yang ditulisnya itu,
Montaigne bertanya: “Apakah kita berani mengakui bahwa manfaat akal yang kita
junjung tinggi dan karenanya kita menganggap diri kita sebagai penguasa segala
makhluk? Apakah manfaat pengetahuan, jika demi dirinya sendiri, kita kehilangan
ketenangan dan kepercayaan diri yang mestinya kita miliki? Apa guna akal jika
sikap kita tak lebih baik dari babi yang diceritakan Pyrrho?”.
Seberapa pun ekstrem dan kekanakkannya pertanyaan-pertanyaan Montaigne tersebut, tetaplah merupakan kejujuran untuk mengakui unsur-unsur yang begitu akrab dengan kondisi manusiawi kita: “Kita telah menunjukkan ketidakkonsistenan, kekhawatiran, keraguan, kepedihan, takhayul, ketakutan mengenai apa yang terjadi”, tulisnya.
Seberapa pun ekstrem dan kekanakkannya pertanyaan-pertanyaan Montaigne tersebut, tetaplah merupakan kejujuran untuk mengakui unsur-unsur yang begitu akrab dengan kondisi manusiawi kita: “Kita telah menunjukkan ketidakkonsistenan, kekhawatiran, keraguan, kepedihan, takhayul, ketakutan mengenai apa yang terjadi”, tulisnya.
Seperti kita tahu, esei-esei Montaigne
salah-satunya merupakan upayanya untuk mengkritik pandangan-pandangan
konvensional yang dia baca dan yang dia alami dalam keseharian yang dia
saksikan dan yang dia dengar. Bahkan menurutnya apa yang dipercayai orang-orang
semasa hidupnya tak lebih merupakan sejumlah kekeliruan yang diiyakan begitu
saja tanpa pemeriksaan. Bahkan pada konteks-konteks esei-eseinya yang lain,
Montaigne berbicara layaknya seorang antropolog-naturalis bahwa kehidupan
manusia seperti halnya makhluk-makhluk hidup lainnya dapat juga dipahami
sebagai sejumlah adaptasi-adaptasi yang berkesinambungan, dan pemikiran
hanyalah salah-satu caranya. Nada-nada yang disuarakan Montaigne tersebut di
kemudian hari kembali didengungkan dalam esei-esei pendeknya Nietzsche yang
aforistis, yang adalah salah-seorang pengagum kecerdasan Montaigne sebagai
pengamat dan penulis yang nakal dan tangkas dalam mencerap pemikiran dan
kenyataan keseharian.
Setelah beberapa tahun menghabiskan
waktu-waktu kesehariannya di ruang perpustakaan pribadinya itu, Montaigne yang
ingin mengisi masa-masa pensiunnya dengan membaca dan mendedikasikan dirinya
demi ilmu pengetahuan, merasa gelisah dan tak puas dengan buku-buku yang
dibacanya, lalu mengekspresikan kejengkelan dan kegelisahannya dengan menulis
esei, mengkritik Cicero yang menurutnya kurang memperhatikan hal-hal remeh
dalam keseharian kehidupan manusia itu sendiri: “Lelaki adalah makhluk celaka
yang cuma mendengar dirinya sendiri dengan angkuh”, keluhnya, “Pada
kenyataannya, ribuan perempuan desa hidup lebih cerdas dan bahagia, lebih
meyakinkan dan lebih konsisten ketimbang Cicero”.
Di ruang perpustakaan pribadi yang
terletak di lantai tiga kastil indah miliknya itu, Montaigne tiba-tiba
dibanjiri skeptisisme setelah melahap buku-buku kanon yang dibacanya selama
berjam-jam di hampir setiap hari kehidupan masa pensiunnya itu, ia meragukan
keabsahan dan relevansi tulisan-tulisan para pemikir dan filsuf yang
dikaguminya, dan ia berusaha menengok ke aspek-aspek manusiawi itu sendiri,
hingga ia pun sempat menulis sebuah puisi yang sarkastis: “Di atas singgasana
tertinggi di dunia, kita bertahta, tetapi tetap di atas anus kita”
(Sulaiman Djaya)
(Sulaiman Djaya)