Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Syekh Wahbah. Show all posts
Showing posts with label Syekh Wahbah. Show all posts

Pengakuan Perempuan-Perempuan Korban Jihad Nikah Ala Salafy Wahabi Dan Beberapa bukti mereka Al Qaeda, ISIS, dan Jihadi Al Nursah serta lainnya kami rangkum

Video dibawah ini perlu ditonton tentang pengakuan perempuan korban “Jihad Nikah” ala salafy/wahabi, salah satu korban adalah istri militan/”mujahidin” yang digilir banyak lelaki/”mujahidin”.

Video dibawah ini dilengkapi bahasa Indonesia/melayu:



Awalnya, Syekh Buthi Membuat “Gerah” Salafi-Wahabi

Oleh: KH HASYIM MUZADI*
* Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS), Rais Syuriyah PBNU
Syekh Said Ramadhan Al-Buthi adalah tokoh utama kelas dunia dari kalangan Sunni atau Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau tidak hanya dikenal sebagai seorang sufi, namun juga ahli syariat sekaligus ahli hakikat, dan argumentator Sunni terhadap serangan-serangan non-Sunni. Ini diakui baik di Suriah maupun di dunia Muslim lainnya.

Salah satu dari kehebatan Syekh Buthi adalah kemampuannya berargumentasi terhadap serangan-serangan kelompok takfiriyah yang suka mengkafirkan kelompok Asy’ari (Sunni), juga suka mengkafirkan amalan-amalan fadhilah dan lain sebagainya. Syekh Buthi ini paling gigih dan paling jitu untuk melawan mereka.


Ada dua karya Syekh Buthi yang membuat “gerah” kelompok Wahabi dan Salafi yang ada di Suriah dan di dunia muslim pada umumnya. Pertama bukunya yang berjudul al-La Mazhabiyyah: Akhtoru Bid’atin Tuhaddidus Syariah Islamiyyah, yang artinya bahwa pemikiran non madzhab adalah bid’ah baru yang dapat merusak pemikiran syari’ah. Ringkasnya, buku itu menjelaskan bahwa orang memahami Islam itu harus dengan pola berfikir. Nah pola berfikir itu dengan metodologi ijtihad yang tidak bisa hanya diserahkan orang-perorang yang tidak memenuhi syarat untuk itu. Menurut Syekh Buthi, bagi mereka yang melakukan itu samalah artinya dia merusak Islam karena dia akan memelencengkan makna yang sesungguhnya dari Islam itu sendiri. Buku ini sangat terkenal dan jitu sekali untuk melawan Wahabiyah dan kelompok takfiriyah tadi.

Kedua, buku Syekh Buthi yang berisi uraian tentang Salafi yakni As-Salafiyyah. Bahwa menurutnya, Salafi ini bukan madzab tapi suasana keagamaan pada zaman as-salafus salih. Jadi Salafi bukan merupakan pola pemikiran tapi fakta kehidupan darus salam itu yang damai.

Dua buku itu betul-betul membikin kelompok Wahabi dan Salafi kelabakan, sehingga sudah lama sebenarnya ada pertentangan sektarian antara Wahabi-Salafi dengan Syekh Buthi.

Penasihat Presiden.
Bersamaan dengan itu Syekh Buthi menjadi penasihat Presiden. Dalam keadaan normal ia memberikan nasihat di bidang agama. Namun karena adanya konflik yang membelah pemerintah dan masyarakat pemberontak, dalam hal ini juga dikompori oleh luar negeri, maka terjadi kolaborasi antara faktor agama dan konflik politik.

Sementara itu di pemerintahan sendiri banyak unsur Syiah Alawiyahnya yang tidak disukai oleh jamaah-jamaah takfiriyah yang dimotori oleh Slafi-Wahabi, meskipun Syekh Buthi sendiri bukan orang Syiah. Syekh Buthi sendiri sebenarnya berada di pemerintahan dengan maksud ingin mencari keseimbangan antara Sunni dengan Syiah Alawiyah itu.

Konflik Suriah memang terus berlanjut. Faktor yang lebih dominan sebenarnya adalah politik. Pertama sebenarnya karena Israel itu ingin menghancurkan Suriah karena dia negara yang paling depan berhadapan dengan mereka. Di sana dihuni kekuatan-kekuatan militan yang melawan Israel. Seperti kekuatan Syiah yang dikendalikan oleh Iran, lalu kekuatan Hamas yang dikendalikan oleh Khalid Massal dan beberapa kekuatan Syiah sebagai bagian dari Hezbollah yang dipimpin oleh Hasan Nasrollah. Tiga kekuatan ini yang membuat Suriah menjadi musuh utama Israel ditambah bahwa pemerintahan Basyar sendiri cenderung ke Syiah Alawiyah.

Karena faktor politik ini, tentu sebagaimana juga penyerangan terhadap negara Islam yang lain pasti Amerika ikut campur. Dan dapat diduga bahwa dia pasti membantu pemberontak, pertama karena tidak suka dengan pemerintahan, kedua Salafi-Wahabi itu selalu pro Saudi-Amerika, termasuk di dalamnya jamaah takfiriyah.
Sementara negara-negara yang ‘sudah direformasi” seperti Mesir, Libya dan sebagainya yang diam-diam berpihak kepada Amerika, dan di sini mereka berpihak pada pemberontak. Nah karena itu maka Iran menyeret Cina dan Rusia untuk masuk dalam pertempuran ini karena faktor perlawanan terhadap Amerika, sebenarnya bukan karena faktor agama, namun untuk menjaga keseimbangan Barat dan Timur.

Maka terjadilah carut marut politik di Suriah, dan Syekh Buthi berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Karena beliau sebagai orang Sunni, sebagai penasihat pemerintah itu pun dia harus berhadapan dengan Syiah Alawi, sementara yang takfiri ini menganggap bahwa Syekh Buthi berpihak pada kedzaliman.

Karena Syekh Buthi itu dianggap sangat besar kekuatannya terutama dalam Islam maka kemudian beliau diserang dengan cara seperti itu. Syekh buthi meninggal dalam aksi serangan bunuh diri. Saya kira penyerangan ini tidak jauh dari kelompok takfiriyah, atau gerakan-gerakan politik yang anti pemerintah.

Propaganda Negatif.
Setelah Syekh Buthi meninggal dengan cara seperti itu, kelihatannya pihak barat dan dari pihak Salafi-Wahabi ini mengkhawatirkan dukungan ulama dunia, atau simpati umat dunia terhadap beliau. Maka direkayasalah terhadap beberapa ulama untuk menjelekkan Syekh Buthi, seperti Syekh Qaradhawi. Ada statemen beliau yang cenderung memojokkan. Nah itu sebetulnya adalah bagian dari gerakan politik untuk meredam dukungan dan simpati kepada Syekh Buthi.

Kita mendengar orang yang menjelekkan Syekh baik di media cetak maupun elektronik internasional. Padahal di dalam orang Islam orang yang meninggal itu tidak usah dijelekkan. Ada haditsnya yang nenyebutkan, ‘Udzkuru ma hasina mautakum’. Nah tapi untuk kepentingan supaya tidak ada reaksi maka Syekh Buthi dijelekkan. Jadi kita tidak perlu memperbesar kontroversi ini karena termasuk bagian dari konspirasi orang lain.

Menurut ahlissunnah wal jamaah, orang yang shalih tetaplah shalih. Bahwa pilihan politik berakibat sesuatu itu kita tidak masuk dalam penilaian pribadi dan agamanya seperti dulu pada waktu zaman pertentangan Sayydina Ali dan Sayyidina Utsman. Orang Sunni mengatakan, ‘Apa yang terjadi di dalam sahabat itu kita diam”, karena itu bukan dari faktor agama tetapi faktor lain. Sehingga dari kelompok Sunni di dunia lebih senang kalau dia tidak menghujat Syekh Buthi dan ini lebih kepada masalah politik bukan masalah sektarianisme agama sekalipun masalah sektarianisme agama ini menjadi sumbu disebabkan karena permainan global untuk memainkan antara sektor itu.

Hubungan dengan NU.
Sewaktu ke Suriah, saya sempat bertemu dengan Syekh Buthi bersama beberapa kiai, antara lain KH Idris Marzuki, KH Masruri Mughni (alm.), dan KH Nur Muhammad Iskandar. Beliau sudah memberikan ijazah langsung untuk menyebarkan semua karyanya.

Salah satu karyanya yang paling terkait dengan NU adalah Syarah Al-Hiham, karena Al-Hikam sendiri adalah kitab tasawuf andalan yang dikaji di pesantren. Menurut saya, kelebihan kitab yang ditulis Syekh Buthi dibanding syarah hikam lainnya, pertama karena beliau memulai Hikam itu dari syariatnya kemudian masuk hakikat. Jarang ada syarah Hikam seperti itu. Biasanya hakikatnya itu saja yang disyarahi. Jadi dari syariat beliau mengungkapkan dalil-dalilnya, baru baru masuk ke hakikat.

Yang kedua Syekh Buthi ini memperlengkapi Hikam ini dengan dalil-dalil yang muktabar baik Al-Qur’an maupun hadits nabi, karena hikam sendiri didalamnya tidak ada dalil hanya menyinggung sedikit tentang ayat, tapi belum proporsional pada setiap qoul ada dalilnya.

Di NU memang Sykeh Buthi ini kalah populer dibanding dengan misalnya Syekh Wahbah Zuhaili dan Qaradhawi. Itu karena masalah silaturrahim saja, karena beliau sudah sepuh. Syekh Wahbah masih sering datang ke Indonesia, sementara Syekh Buthi hanya diwakilkan kepada putranya, Dr Taufik.

Kedua, kitab-kitab Syekh Buthi bukan kategori fikih praktis, meskipun banyak sekali yang terkait dengan fikih dan ushul fikih, tapi beliau lebih dikenal dengan ulama sufi dan argumentator Sunni. Namun mestinya para ulama itu tidak bisa secara simpel dipetakan sebagai ahli fikih atau tasawuf. Seperti imam Syafi’i adalah ahli fikih padahal beliau sangat sufi. Imam Hanafi adalah ahli ra’yi tapi beliau juga sangat sufi. Jadi kita lebih sering melihat pada disiplin ilmu apa yang menonjol. Namun, “apa yang ada di gudang itu kan tidak semua terlihat di etalase.”.

Salah satu pemikiran Sykeh Buthi yang menurut saya perlu dikembangakan adalah komprehensi antar disiplin-disiplin pecahan ilmu agama, misalnya konprehensi antara fikih dengan tafsir, tasawuf dengan ilmu kalam. Ini dilakukan supaya integral. Saya bisa mengatakan bahwa syekh buti ini bisa disebut Imam Ghazali kedua baik di dalam mengutarakan argumentasi maupun mengutuhkan kembali ilmu-ilmu Islam itu yang selama ini pecah: fikih jauh dari tarekat, tarekat jauh dari ilmu kalam, teknologi jauh dari tauhid, dan seterusnya. Ini tidak benar.

Nah pecahan pecahan ilmu agama itu disatukan lagi oleh Syekh Buthi dalam ceramah-ceramah dan pengajian. Keistemewaan lain Syekh Buthi adalah ceramahnya yang sistematik dan terukur, serta bisa langsung ditranskrip dan dicetak tanpa editing. Maka karya-karya beliau tercatat cukup banyak dan sebagian besar sudah sampai ke berbagai pesantren di Indonesia.

* Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS), Rais Syuriyah PBNU

Teroris Indonesia Terlibat Di Suriah.



http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=dpavAqGTxxQ

EX AL QAEDA Member Nabil Naim: The Syrian Lie Al Nusra’s Fake War.



Fatwa Horor Ulama Salafy: Mubaligh Saudi Serukan Pembantaian Anak dan Perempuan Irak.


Seorang mubaligh Arab Saudi menuntut anasir bersenjata dan teroris di Irak untuk menciptakan ketakutan dan membunuh perempuan dan anak-anak warga Syiah di negara itu. Saad al-Duraihem, dosen Universitas Islam Imam Muhammad ibn Saud, dalam pernyataan terbaru yang dimuat di twitter menyebut anasir-anasir berbagai kelompok bersenjata dan teroris sebagai “Mujahid” dan meminta mereka untuk membunuh setiap orang Syiah yang mereka tawan meskipun anak-anak atau perempuan. Demikian dilaporkan televisi Alalam, Kamis (25/4/2013).



Statemen mubaligh takfiri tersebut mengundang respon keras, bahkan di kalangan internal Saudi sendiri.
Abdullah bin Bakheet, penulis Saudi di surat kabar Okaz mengatakan,”Apakah orang ini tidak akan dituntut … Apakah kita tidak menyadari bahwa teroris terus bersarang di Arab Saudi?”
Sementara itu, Halimah Muzaffar, penulis surat kabar al-Watan Saudi, menuntut diadilinya al-Duraihem dan pemecatannya dari Universitas Islam Muhammad ibn Saud.
Ia menegaskan bahwa pemikiran tersebut akan memunculkan aksi terorisme dan kejahatan atas nama agama.
Pada bulan Juli tahun lalu, al-Duraihem juga melontarkan statemen kontroversial dan aneh. Ia mengklaim penduduk dan ulama di wilayah Najd di Saudi lebih utama dibandingkan dengan umat Islam lainnya.
“Satu orang awam di Najd lebih baik dari satu ulama Mesir,” klaim mubaligh takfiri itu.
Selama beberapa hari terakhir, kelompok-kelompok bersenjata di Provinsi Kirkuk, utara Irak, menyulut kekerasan dan bentrokan di wilayah tersebut dan telah menewaskan beberapa orang.

***************
BERITA TERKAIT DALAM MEDIA ARAB
.
.

رجل دين سعودي يدعو إلى قتل النساء والأطفال الشيعة

أخبار البلد

دعا رجل دين سعودي من وصفهم بالمجاهدين في العراق إلى قتل النساء والأطفال الشيعة لإيقاع مزيد من الرعب في أوساط العراقيين.

وقال الدكتور سعد الدريهم عضو هيئة التدريس بجامعة الإمام محمد بن سعود الإسلامية في تغريدة عبر حسابه في تويتر “لو مارس المجاهدون في العراق الغلظة والقتل حتى فيمن وقع أسيرا حتى لو كان طفلا أو امرأة لهابهم الرافضة”.

وواجه الدريهم اثر هذه التغريدة سيلا من الانتقادات الحادة تحت وسم فتح خصيصا بعنوان #المجرم_سعد_الدريهم .

وقال الكاتب الصحافي السعودي محمد العمر عبر حسابه في تويتر “المجرم سعد الدريهم يأمر بقتل أطفال ونساء الشيعة ضارباً عرض الحائط بوصية الرسول عليه السلام وأبو بكر للمجاهدين”.

وقال عبد العزيز الزهراني وهو خريج كلية أصول الدين مخاطبا الدريهم “نبي الرحمة لم يقتل أطفال و نساء اليهود..! فقولوا لمن بدَّل و غيَّر: سُحقا سُحقا”.

الكاتب بصحيفة المدينة سعود كاتب من جهته هاجم الدريهم بالقول “اشهد الله ان اكثر من اساء لدين الاسلام ليس اليهود ولا النصارى اوالمجوس ولكن امثال هذا المتطرف المتعطش للقتل وسفك الدماء.

وتساءل الكاتب في صحيفة عكاظ عبدالله بن بخيت “هل يترك هذا الرجل دون محاسبة الم ننبه ان الارهابيين مازالوا يعششون في المملكة”.

ودعت الكاتبة في صحيفة الوطن حليمة مظفر إلى محاكمة الدريهم وابعاده عن ممارسة التدريس في الجامعة.

ودعت مظفر وزارة الداخلية إلى محاسبة الدريهم قائلة “هكذا فكر سبب للإرهاب والجرائم التي ترتكب باسم الدين العظيم”.

وقالت عبر حسابها في تويتر “المجرم سعد الدريهم بعد هذه التغريدة المتطرفة التي يطالب فيها بقتل النساء والأطفال لأنهم مخالفين بالمذهب أطالب بإيقافه عن التدريس الجامعي”.

من جهته وصف الكاتب في صحيفة الرياض يوسف أبا الخيل الدريهم بالقول “صاحب هذا الكلام الخطير إذ نزع الله الإيمان من قلبه، فقد نزع منه الرحمة التي تتراحم بها حتى الدواب والهوام وخشاش الأرض”.

وقالت الكاتبة سمر المقرن “تويتر كشف كمية العنف والتحريض التي كانت متوارية خلف جدران الجامعات وتصب في عقول أبنائنا”.

وسبق للدريهم أن أثار زوبعة في يوليو الماضي حين خصّ أهل نجد وعلماءها بوصف الفرقة الناجية مستثنيا باقي المسلمين في العالم من دخول الجنة


Pemberontak Suriah tidak menyesal makan hati mayat tentara Assad
SUMBER: Merdeka.Com
.
Khalid al Hamad, pemberontak Suriah yang terlihat dalam sebuah video sedang membelah mayat dan memakan hati seorang tentara Suriah kemarin menyatakan tidak menyesali perbuatannya itu.

Surat kabar the Daily Mail melaporkan, Selasa (14/5), lelaki yang berada dalam video itu menegaskan kekejaman dari rezim pemerintahan Basyar al-Assad telah mendorong dia untuk melakukan tindakan brutal itu.

“Semboyan kami adalah mata dibalas dengan mata dan gigi dibalas gigi,” kata dia kepada majalah Time melalui aplikasi Skype di telepon seluler kemarin. 

Klip video yang belum diverifikasi dan diunggah oleh kelompok pendukung pemerintah ini menunjukkan Khalid al Hamad, yang juga memiliki nama lain Abu Sakkar, merupakan pendiri salah satu unit Tentara Pembebasan Suriah yakni Brigade Farouq yang bermarkas di Kota Homs.

Dia terlihat berdiri di atas mayat tentara masih berseragam itu di sebuah selokan sambil berteriak-teriak dan mengecam Presiden Suriah Basyar al-Assad.

Dengan menggunakan pisau, Hamad kemudian membelah mayat tentara itu dan mengeluarkan dua organ tubuhnya sambil diperlihatkan ke depan kamera dan mengatakan, ‘Saya bersumpah demi Tuhan, kami akan memakan hati Anda, para tentara Basyar anjing’. Dia kemudian memasukkan salah satu organ itu ke mulutnya dan menggigit organ itu.

Hamad, yang merupakan seorang Sunni dan memiliki kebencian terhadap muslim Alawi yakni salah satu sekte di Syiah, ini menegaskan adegan di video itu merupakan pertama kalinya dia pernah mencoba memakan hati manusia.

Dia juga menemukan sebuah klip video di telepon seluler tentara itu yang memperlihatkan seorang wanita dan dua putri tentara itu dalam keadaan telanjang bulat. “Dia kemudian memukuli mereka dengan tongkat,” ujar Hamad.

Hamad mengatakan dia memiliki video mengerikan lainnya yang memperlihatkan dia sedang membunuh seorang tentara Alawi dan menggergaji tentara itu menjadi beberapa potongan.
Dewan Militer Tertinggi Suriah telah mengeluarkan sebuah poster, yang diedarkan di Facebook, meminta agar Hamad ditangkap baik dalam keadaan hidup atau mati.

Teroris Bunuh Tentara Suriah dan Makan Jantungnya!

Sebuah video mengerikan muncul di internet yang menunjukkan teroris dukungan Barat di Suriah memotong jantung dan hati seorang prajurit Suriah dan memakannya.


Dalam rekaman yang diposting online hari Minggu (12/05/13), seorang pria yang mengenakan peralatan militer dan memegang pisau merobek bagian tengah tubuh seorang tentara Suirah yang sudah mati dan memakan bagian dalam tubuh prajurit tersebut sambil melihat ke arah kamera.


“Aku telah bersumpah akan memakan jantung dan hatimu,” kata pria berdarah dingin itu.
Peter Bouckaert dari New York-Human Rights Watch mengatakan pria itu bernama Abu Sakkar, seorang pendiri Brigade teroris Farouq.
Identitas Abu Sakkar telah dikonfirmasi oleh sumber-sumber teroris di Homs dan dengan gambar dirinya di video lain yang mengenakan jaket hitam seperti dalam rekaman terbaru dengan cincin yang sama di jari-jarinya.
“Mutilasi mayat musuh adalah kejahatan perang,” kata Bouckaert.
Dia menambahkan, dalam versi yang belum diedit dari cuplikan video tersebut, Sakkar terdengar memberitahu anak buahnya untuk membantai para tentara Suriah dan memakan hati mereka.
Rekaman itu memicu kemarahan di kalangan pendukung Presiden Bashar al-Assad dan tokoh-tokoh oposisi.

Ekstrimis Salafy-Wahabi Bakar Makam Sahabat Nabi saw Ja’far bin Abi Thalib ra.

Wahabi Bakar Makam Sepupu Nabi Muhammad Saw.





Hanya selang dua hari pasca penghancuran makam salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw, Hujr Ibn Adi, di Suriah, para Wahabi ekstrim kembali melakukan penodaan terhadap makam saudara Imam Ali bin Abi Thalib as di selatan Yordania.

Ratusan Wahabi ekstrim dan kelompok takfiri di Karak yang terletak di selatan Yordania membakar makam sepupu Nabi Muhammad Saw, Jafar bin Abi Thalib yang dikenal dengan Jafar al-Tayyar. Demikian dilaporkan FNA mengutip situs Arabpress, Sabtu (4/5/2013). 

Para pejabat Yordania hanya bungkam melihat aksi keji tersebut, bahkan media negara itu tidak mempublikasikannya.

Makam Jafar bin Abi Thalib terletak di wilayah al-Mazar, Provinsi Karak, sebelah selatan Yordania.
Pada Kamis, Front al-Nusra menyerang dan menggali makam salah satu sahabat dekat Nabi Muhammad Saw, Hujr Ibn Adi yang terletak di distrik Adra, dekat Damaskus dan mengambil jenazahnya ke tempat yang tidak diketahui.

Para ulama dari berbagai mazhab dan Gerakan Muqawama Islam Lebanon (Hizbullah) langsung mengecam penodaan tersebut.

Hujr Ibn Adi adalah salah satu sahabat dekat Nabi Muhammad Saw dan juga sahabat Imam Ali as. Ia memimpin pasukan Muslim untuk meraih kemenangan dalam beberapa pertempuran penting.

Meskipun dunia Islam mengecam berbagai penodaan terhadap tempat-tempat suci umat Islam dan makam para auliya Allah, namun kelompok-kelompok Wahabi terus melakukan tindakan keji tersebut.
____________
Berita Terkait

Tokoh Muslim dan Kristiani Jadi Target Teroris  di Suriah
SUMBER: NU Online
.
Jakarta, NU Online
Kaum muslim dunia baru saja berduka. Ulama Sunni terkemuka Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buti ditemukan tewas pada 21 Maret lalu dalam serangan teroris di Masjid Al-Iman di Damaskus bersama dengan cucunya dan 47 orang lainnya.

Serangan mengerikan  itu terjadi ketika Syaikh al-Bouti sedang memberi pengajian di depan sekelompok mahasiswa Islam, termasuk cucunya.

Di Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyampaikan rasa duka yang mendalam atas wafatnya ulama besar Suriah tersebut. ”Kami sangat menyesalkan kekerasan di Suriah yang mengakibatkan tewasnya ulama besar yang luar biasa pengaruhnya di dunia Islam,” kata Rais Suriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin pada NU Online, belum lama ini.

Pada 23 Maret, rakyat Suriah mengantar kepergian sarjana terkemuka dunia ini dengan hikmat. Grand Mufti Ahmad Badr Hassanuddin, yang putranya juga tewas di tangan para teroris beberapa bulan yang lalu, dan Menteri Informasi Suriah Umran al-Zubi ikut ambil bagian dalam  upacara pemakaman.

Al-Buti sendiri yang tahun ini berusia 84 tahun adalah seorang pensiunan dekan dan profesor Fakultas Hukum Islam di Universitas Damaskus. Ia dikenal keras menentang terorisme dan pengkritik pihak asing yang didukung kelompok-kelompok militan, yang ia gambarkan sebagai “para tentara bayaran”.

Seminggu sebelum pembunuhan itu, ia mengatakan dalam ceramahnya, “Kami diserang di setiap jengkal tanah kami, makanan kami, kesucian dan kehormatan perempuan dan anak-anak kami Hari ini kami menjalankan tugas yang sah… yakni kebutuhan mobilisasi untuk melindungi nilai-nilai, tanah air, dan tempat-tempat suci kami, dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara tentara nasional dan seluruh bangsa ini”.

Seminggu setelah pembunuhan Al-Buti, ulama Sunni lainnya Syaikh Hassan Saifuddin (80 tahun) secara brutal dipenggal kepalanya di bagian utara Kota Aleppo oleh sekelompok militan yang dibekingi pihak asing dan menyeret tubuhnya di jalanan. Kepalanya ditanam di menara sebuah masjid yang biasa digunakan untuk berkhotbah. Syaikh Saifuddin juga dikenal sebagai seorang anti-milisi, dan penentang perang yang sedang berkecamuk melawan pemerintah Suriah.

Menyusul insiden berdarah tersebut, Presiden Suriah Bashar al-Assad mengecam tindakan kekerasan itu. Ia berjanji, kejahatan itu tidak akan dibiarkan tanpa hukuman. “Ini janji rakyat Suriah – dan saya salah satu dari mereka – bahwa darah Anda, cucu Anda, dan para syuhada di tanah air ini tidak akan sia-sia, karena kita akan tetap mengikuti pemikiran Anda untuk menghilangkan kejahatan mereka,“ katanya.

Dalam halaman Facebook milik kaum militan, Syaikh Saifuddin disebut sebagai “kolaborator dari teman baik penguasa di Suriah”. Mereka juga mengancam, “Kami akan datang kepada Anda, dan Anda tidak akan bisa melarikan diri.”

Syaikh Hassan Saifuddin sebenarnya adalah ulama terakhir dari daftar ulama-ulama yang dibunuh yang mencakup kelompok Sunni dan ulama Syiah serta pendeta Kristen. Semua pembunuhan ini dilakukan oleh para teroris yang secara manipulatif dinarasikan dalam media-media Barat mainstream sebagai “kaum demokrat” itu.

Korban pertama adalah Romo Basilius Nassar, seorang Imam dari Kapel Mar Elias di kota Kfar-Baham, dekat kota Hama. Dia ditembak pada tanggal 25 Januari 2012 oleh seorang penembak jitu milisi di daerah Citadel saat ia sedang mengevakuasi korban perang.

Yang kedua adalah seorang ulama Sunni, Syaikh Mohammad Ahmad Aufus Shadiq, yang kerap berkhotbah di Masjid Malik Bin Anas di Damaskus. Ia adalah salah seorang ulama pertama yang memperingatkan ancaman kekerasan di Suriah. Dia juga penentang keras kelompok Takfiri dengan mengatakan Takfiri tak punya tempat di kalangan umat Islam. Syaikh Aufus Shadiq ditembak mati pada 25 Februari 2012.

Korban ketiga dalam daftar ulama ini adalah Syaikh Sayyid Nasser, seorang ulama Alawi dan imam Alawite hawze (sekolah agama) Zaynabiyya di Damaskus. Dia meninggal ditembak di dekat situs suci makam Sayyidah Zaynab, cucu Nabi Muhammad SAW.

Yang keempat adalah seorang ulama Syiah Suriah, Syaikh Abbas Lahham. Ia tewas bulan Mei di luar Masjid Ruqayyah (putri Imam Hussein) di mana ia biasa berkhotbah. Dia diikuti oleh tewasnya Syaikh Abdul-Kuddus Jabbarah, seorang ulama Syiah pada bulan berikutnya. Yang terakhir ini ditembak mati di sebuah pasar dekat situs suci Sayyidah Zainab.

Pada Juli 2012, pada awal bulan Ramadhan, Syekh Abdul Latif Ash-Shami juga dibunuh dengan cara yang mengerikan: saat sedang shalat dalam masjid bersama jamaah lain, ia ditembak matanya. Sebulan kemudian, imam Masjid al-Nawawi di Damaskus, Syaikh Hassan Bartaui, juga dibunuh.

Pada bulan Oktober 2012, beberapa orang menemukan mayat yang dimutilasi. Mayat itu adalah seorang imam dari Gereja Ortodoks Yunani, Romo Fadi Hadadat di Katana, Provinsi Damaskus. Dia diculik oleh milisi yang menuntut pertukaran untuk pembebasannya dengan uang tebusan sebesar 15 juta Pound Suriah. Romo Abdullah Saleh, pimpinan Gereja Ortodoks Yunani Antiokhia dan Orient menegaskan bahwa ia telah dibunuh oleh teroris. Lalu pada hari terakhir tahun 2012, Imam Sunni yang lain Syaikh Abdullah Saleh juga dibunuh di Raqa.

Pada bulan Februari 2012, Syaikh Abdul Latif al-Jamili, seorang ulama dari Masjid Ahrafiyyah terbunuh oleh pecahan peluru yang diluncurkan oleh milisi di halaman masjid itu. Pada bulan Maret, giliran Sheikh Abid Sa’ab, yang kerap memimpin doa di Masjid al-Mohammadi yang terletak di distrik Mazze di Damaskus, terbunuh oleh ledakan bom yang ditempatkan di bawah mobilnya.

Duka mendalam dirasakan kaum muslim dan Kristiani di Suriah, bahkan muslim dunia. Namun siapakah sebenarnya para pembunuh berdarah dingin yang menghabisi para ulama dan tokoh panutan umat ini?
Ketika seorang ulama Sunni terkemuka Syeikh al-Buti itu tewas, beberapa ulama ekstremis Wahhabi dari Arab Saudi sama sekali tak menunjukkan penyesalan terhadap kematiannya. Salah satunya adalah Syaikh Abu Basir al-Tartousi. Ia mengatakan, bahwa dirinya tidak menyesali kematian al-Bouti, karena “Dia adalah pembohong, yang sepanjang hidupnya mendukung penguasa,” katanya sebagaimana dikutip UmmaNews. Dia menambahkan bahwa Syeikh al-Bouti adalah seorang munafik yang pura-pura menyesali terbunuhnya kaum Muslim maupun yang terluka.

Begitu juga Imam Masjidil Haram di Mekkah Abdul Rahman al-Sudais. Ia secara terbuka merayakan pembunuhan itu dengan mengatakan bahwa “Dia (al-Buti) adalah salah seorang imam besar penipu. Dia adalah Mujahid  di jalan Setan. Dan ini (pembunuhan al-Buti) adalah sukacita yang besar bagi umat Islam,” katanya.

Wajar kemudian bila Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS) KH Hasyim Muzadi mengungkapkan, pihak Barat dan dari pihak Salafi-Wahabi memunculkan propaganda negatif untuk Syekh Buthi melalui sejumlah media cetak maupun elektronik internasional. Sejumlah ulama termasuk Syekh Yusuf Qaradhawi juga ikut memojokkan Syekh Buthi dan membangun gerakan politik untuk meredam dukungan dan simpati kepada Syekh Buthi, demikian pernyataan Rais Syuriah PBNU itu kepada NU Online (Ahad, 31/3).

Pada kenyataannya, semua ulama yang dibunuh di Suriah adalah mereka yang secara terbuka menentang pemberontakan atau setidaknya tidak mendukungnya. Pembunuhan mereka dimaksudkan untuk meneror penduduk Suriah yang menolak untuk mendukung kelompok-kelompok bersenjata. Hal ini jelas ketika kita membaca pernyataan para teroris itu sendiri.

Sesaat sebelum serangan terhadap Fakultas Arsitektur Universitas Damaskus, yang menewaskan 15 siswa, pemimpin kelompok Wahhabi, Liwa al-Islam, Al Haytham Malih, menerbitkan sebuah pernyataan di halaman Facebook-nya, dimana ia memperingatkan bahwa “ wajib untuk mahasiswa dari Universitas Damaskus untuk meluncurkan kampanye pembangkangan sipil. Jika mereka tidak melakukannya, Universitas mereka akan memiliki nasib yang sama seperti yang terjadi dari Aleppo”. Perlu diingat bahwa pada bulan Januari 2013, 82 mahasiswa dari Universitas Aleppo tewas dan 160 lainnya luka-luka akibat terjangan roket yang diluncurkan oleh para milisi.

Seluruh kelompok agama (Kristen, Syiah, Alawi) telah dinyatakan sebagai “musuh” oleh teroris Takfiri Wahhabi di Suriah. Beberapa kelompok Syiah, misalnya, harus meninggalkan rumah mereka untuk menyelamatkan nyawa. Diantara orang Syiah ini dalam surat kabar LA Times mengatakan, bahwa kelompok Takfiri ini “semula dikirim untuk menjadi tetangga kami, namun kemudian ingin menculik dan membunuh kami”.

Ketegangan antaragama, yang semula tidak pernah dijumpai sebelum konflik, kini meningkat di desa-desa di sepanjang perbatasan antara Lebanon dan Suriah bagian timur laut. Masyarakat yang tinggal di daerah-daerah membincangkan satu sama lain tentang kampanye pembersihan etnis yang dilakukan oleh pemberontak yang mencoba mendirikan negara ala Taliban. Beberapa orang Syiah, yang punya ikatan keluarga di Lebanon pun lalu ikut menjadi pejuang untuk membela desa mereka dari serangan para teroris.

Seperti dilaporkan Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York, pemberontak dan teroris Wahhabis di Suriah juga membakar dan menjarah situs-situs agama minoritas. HRW mengungkapkan bahwa pejuang oposisi telah menghancurkan Husseiniyah – sebuah situs agama yang ditujukan untuk menghormati Imam Hussein, seorang martir besar dalam sejarah Islam. Sebuah video dipublikasikan secara online menunjukkan pemberontak mengangkat senapan serbu di udara dan bersorak-sorai di depan kobaran api karena telah menguasai situs itu di desa Zarzour pada bulan Desember.

Dalam video tersebut, seorang pria mengumumkan “penghancuran sarang kaum Syiah dan Rafida”, sebuah istilah penghinaan yang digunakan oleh fanatik Wahhabi terhadap kaum Syiah.
Di bagian barat Provinsi Latakia, Human Rights Watch mengutip pernyataan warga setempat bahwa orang-orang bersenjata yang bertindak atas nama oposisi telah merusak dan mencuri barang-barang dari gereja-gereja Kristen yang berada di dua desa, Ghasaniyah dan Jdeidah (di wilayah Lattakia). Seorang warga Jdeideh melaporkan bahwa pria bersenjata itu telah menghancurkan gereja lokal, mencuri dan melepaskan tembakan di dalam.

Seperti dilaporkan Yusuf Fernandez, seorang jurnalis dan sekretaris Federasi Muslim Spanyol, ia mengatakan Suriah belakangan ini menjadi arena teror. Pembunuhan dan teror dilakukan di semua tempat yang diduduki kelompok bersenjata yang dikontrol pihak asing di Suriah. Karena tak mampu memicu revolusi rakyat untuk melawan pemerintah, kelompok-kelompok ini lalu melakukan pembantaian dan pembunuhan.

Itulah sebabnya mengapa penduduk setempat meninggalkan rumah-rumah mereka ketika desa-desa atau jalan-jalan sekitarnya berhasil direbut oleh pemberontak. Sebagian besar warga kampong ini lalu bergabung dengan Pasukan Pertahanan Nasional untuk memerangi para teroris di seluruh negeri. (Mh. Nurul Huda)

5 PROPAGANDA JAHAT ATAS SYRIA
Oleh Cahyono Adi

Masih ingat kasus Nariyah? Itu adalah seorang wanita yang mengaku sebagai perawat Kuwait yang bersaksi bahwa tentara Irak melempar keluar 312 bayi dari inkubatornya hingga tewas setelah pasukan Irak menginvasi Kuwait tahun 1991.

Media massa Amerika menayangkan kesaksian tersebut selama berbulan-bulan, mengakibatkan publik Amerika marah kepada pemerintahan Saddam Hussein di Irak dan merestui tentara Amerika melakukan serangan terhadap Irak hingga berkobar Perang Teluk I yang menewaskan puluhan ribu warga Irak.
Namun kemudian terbongkar kebenaran bahwa Nariyah adalah seorang perawat palsu. Ia tidak pernah berada di Kuwait saat terjadi serangan Irak. Ia bukan perawat dan ia adalah putri dari dubes Kuwait di Amerika, Saud bin Nasir Al-Sabah. Saat kebenaran itu terkuak, kehancuran telah terjadi di Irak. Dan kini propaganda palsu yang sama tengah dilancarkan Amerika dan sekutu-sekutunya atas Syria.


Pertama kasus anak-anak Daraa. Pada awal terjadinya kerusuhan di Syria bulan Maret 2011, media massa barat dan “underbow”-nya di berbagai belahan bumi termasuk di Indonesia, gencar memberitakan kisah tentang beberapa pelajar dari kota Daraa yang menulis di tembok bangunan tulisan yang berbunyi “Rakyat menginginkan pemerintahan jatuh”. Akibat tulisan tersebut mereka ditangkap oleh aparat keamanan dan disiksa dengan berbagai cara, termasuk dengan mencabut kuku-kuku mereka. Setelah bertahun-tahun, tidak pernah diketahui di mana anak-anak itu sekarang, termasuk wajah dan identitas mereka, termasuk tidak diketahui siapa yang pertama kali menuliskan cerita ini. Anak-anak itu bagaikan cerita hantu.

Kedua kasus kematian Hamza Alkhatib, seorang remaja yang tewas dimutilasi di Daraa pada awal kerusuhan. Cerita yang beredar adalah bahwa ketika mulai terjadi kerusuhan, tentara membunuhnya dan menyembunyikan mayatnya selama beberapa hari. Kemudian mereka menyerahkan mayat yang telah termutilasi ini kepada keluarganya sehingga menimbulkan kemarahan warga yang berakibat kerusuhan yang semakin meluas. Cerita ini tentu saja sangat tidak rasional. Kalau tentara benar-benar membunuhnya, mengapa mereka harus memutilasinya dan menyembunyikan mayatnya selama beberapa hari dan kemudian menyerahkan kepada keluarganya saat kondisi tengah rusuh? Cerita tersebut juga tidak sejalan dengan fakta bahwa orang tua Hamza telah bertemu dengan Presiden Bashar al Assad dan kemudian berkata, “Saya tidak akan mengijinkan siapapun memanfaatkan kematian anak saya. Saya tidak percaya tentara telah membunuhnya, dan Presiden telah menjanjikan penyidikan atas kasus ini.”

Ketiga kasus kematian bayi dalam inkubator di Hama. Ceritanya  berbeda sedikit saja dengan kasus Nariyah, yaitu tentara Syria memasuki rumah sakit kemudian mematikan lampu penghangat inkubator sehingga menewaskan bayi-bayi di dalamnya. Cerita ini beredar seiring beredarnya sebuah foto di dunia maya yang ternyata diambil dari Alexandria, Mesir. Tidak ada seorang saksi pun yang membenarkan kebenaran foto tersebut dan tidak ada satu keluarga pun di Syria yang mengakui bayinya meninggal di dalam inkubator. Setidaknya dalam kasus Nariyah terdapat seorang saksi, meski kemudian terbukti sebagai saksi palsu, yaitu Nariyah si putri duta besar.

Keempat adalah kasus blogger lesbian bernama Amina Arraf. Cerita yang beredar adalah seorang blogger lesbian Syria bernama Amina Arraff ditangkap polisi Syria karena memposting tulisan-tulisan anti pemerintah. Ia disiksa dalam penjara dan ceritanya beredar di Facebook hingga menarik pengikut lebih dari 220 ribu orang “facebooker” di seluruh dunia. Cerita tersebut bahkan mendapat tempat di media-media mapan seperti BBC, CNN, The Guardians, FOX dan lain-lain. Namun ternyata cerita tersebut hanya ilusi seorang laki-laki Amerika yang bosan dengan hidupnya dan berusaha mendapatkan kesenangan instan melalui media sosial.

Kelima adalah pembantaian Zainab Al-Hosni, seorang wanita dari kota Homs. Cerita yang beredar bersama video yang diunggah di YouTube adalah mayat Zainab yang ditemukan dengan tubuhnya yang telah dimutilasi. Pengambil gambar video terdengar meneriakkan kata-kata sumpah serapah kepada satu golongan etnis tertentu yang dianggapnya sebagai pembantai Zainab. Namun kemudian terungkap bahwa Zainab masih hidup. Dengan KTP yang sama dengan identitas Zainab Al-Hosni yang dinyatakan sebagai korban pembantaian, Zainab asli mengaku dalam wawancara dengan televisi Syria bahwa dirinya telah lari dari keluarganya karena alasan pribadi. Hingga saat ini tidak diketahui identitas sebenarnya dari mayat termutilasi yang beredar di YouTube serta orang yang mengambil gambar dan meng-up-load-nya ke YouTube.

REF:
“Syria: Top Five Propoganda Stories”; thetruthseeker.co.uk; 6 April 2013.

Ya Salafisme, Ya Wahabisme: Ya Sama Saja
SUMBER: Berita Protes


Apa jadinya bila negosiasi digusur oleh konfrontasi, argumentasi dibalas teror, dan dialog diubah dengan fatwa murtad?
.
Ada apa dengan sebutan ‘Salafi’? Sebesar apa pengaruh dan manfaatnya? Apakah ‘salaf’ tidak lebih dari sekedar alat justifikasi yang menjamin imunitas dari kritik dan tuduhan ‘sempalan’? Apakah ‘salaf’ itu seperti ‘merek dagang’ sehingga ia harus diperlakukan sebagai copyright lembaga atau kelompok tertentu? 

Ataukah ‘salaf’ dapat dianggap sebagai ‘nama barang’ sehingga setiap orang yang merasa melestarikan tradisi orang-orang terdahulu berhak untuk menyandangnya? Perlukah ada semacam lembaga ‘penertiban nama aliran’ di tengah umat Islam yang memiliki hak mutlak untuk memberikan dan mencabut atribut keagamaan agar tidak terjadi kesimpangsiuran, sengketa dan perang atribut yang sia-sia? Lebih jauh lagi, Apakah  atribut ‘salaf’ dan semacamnya itu bermakna, tidak ambigu dan tidak berbau truth claim (hegemoni teologis)? Apa batasan ilmiah ‘salaf’ dan definisi logis ‘saleh’? Bukankah ruang untuk berbeda pendapat dan penafsiran untuk setiap atribut itu selalu terbuka? 

Sebagaimana atribut Ahlussunnah yang sempat diperebutkan oleh kalangan Nahdliyyin dan para penganut Wahabisme (seperti Laskar Jihad Ahlussunnah-nya Jakfar Talib), ternyata merek ‘salaf’ juga menjadi sengketa.

Salaf adalah kata Arab yang berarti ‘berlalu’ sebagai lawan dari ‘khalaf’ yang berarti ‘menyusul’. Salafi adalah predikat bagi orang-orang Muslim yang memiliki jargon ‘mengikuti para salaf’ (terdahulu), seperti para ulama dan terutama para pendiri mazhab.

Sebutan ini lebih sering digunakan sebagai upaya menghindari penyebutan ‘wahabisme’ yang cenderung sinis Kata ‘salafi’ tidak lain adalah kemasan lain dari teologi Wahabi yang didirikan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb dari keluarga klan Tamîm. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] Masehi dan meninggal di Dar’iyyah. tahun 1206 H [1792 M.]. Ia sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama besar bermazhab Hanbali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke 4 M.. Untuk menimba ilmu, ia juga mengembara dan belajar di Makkah, Madinah, Baghdad dan Bashra [Irak], Damaskus {Siria], Iran, Afghanistan dan India. Di Baghdad ia kawin dengan seorang wanita kaya. Lalu berpindah ke Basra dan mengajar selama 4 tahun di sana.

Ketika pulang ke kampung halamannya, ia menulis buku yang kemudian menjadi rujukan kaum pengikutnya,  Kitâbut’Tauhîd . Para pengikutnya menamakan diri kaum Al-Muwahhidûn atau as-Salafiyun.
Ia kemudian pindah ke ‘Uyaynah. Saat sering memberikan khotbah Jumat di ‘Uyaynah, ia terang-terangan mengafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi.

Di kota ini ia mulai menggagas dan meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi.

Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah, lalu kaum sufi, kemudian ia mulai menyerang kaum Sunni. Tatkala masyarakat mulai merasa seperti duduk di atas bara, ia diusir penguasa [amîr] setempat  pada tahun 1774.Ia lalu pindah ke Al-Dar’iyyah, sebuah oase ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ûd, masih di Najd Tahun 1744 Muhammad bin Su’ûd, amir setempat  dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb saling membaiat untuk mendirikan negara teokratik dan mazhabnya dinyatakan mazhab resmi  Ibnu Su’ûd sebagai amîr dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb jadi Qhadi (jaksa agung). Ibnu Su’ûd mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb.

Sejak saat itu, terjadilah merger ambisi politik Saud dan teologi kaku Muhammad bin Abdul Wahhab di bawah restu Inggris.  Klan Saud yang bercita-cita menyatukan klan-klan badui di Jazirah Arabia di bawah kepemimpinannya seraya mengajak mereka melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Otoman (Khilafah Utsmaniyah).  Muhammad bin Abdul Wahab bercita-cita mengganti dominasi Sunni di dunia Islam dengan pandangannya  karena menganggap teologi Sunni tercemari oleh bida’ah-bid’ah kaum Sufi dan Syiah.

Kemenangan suku badui dari klan Saud sangat bergantung pada dukungan Kolonialisme Inggris. Berkat gucuran dana, suplay senjata dan pendidikan keterampilan, kekuasaan Ibnu Su’ûd menyebar ke seluruh Jazirah Arab yang masa itu berada dalam kekhalifahan ‘Utsmaniyah dengan tujuan melemahkan khilafah itu. Orang bisa membacanya dalam buku Hamsfer, ‘Confession of a British Spy’. Tahun 1800 seluruh Jazirah Arab telah dikuasai dan keamiran berubah menjadi kerajaan Saudi Arabia.

Penaklukan-penaklukan pun dilakukan, terhadap para kabilah dan kelompok yang menolak mazhab mereka, termasuk Makkah dan Madinah dan akhirnya bentuk pemerintahannya berubah dari emirat menjadi kerajaan Saudi Arabia sejak tahun 1932 sampai sekarang.

Tidak sampai disitu. Usai merebut kekuasaan kaum Asyraf (yang notabene Sunni asli, bukan wahabi), pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syî’ah di Karbalâ’.

Kabilah-kabilah yang tidak mau mengikuti mazhab mereka dianggap kafir ‘yang halal darahnya’. Dengan demikian mereka tidak dinamakan perampok dan kriminal lagi, tapi kaum ‘mujâhid’ yang secara teologis dibenarkan membunuh kaum ‘kafir’ termasuk wanita dan anak-anak, merampok harta dan memperkosa istri dan putri-putri mereka yang dianggap sah sebagai ghanîmah. Hanya sedikit yang dapat melarikan diri.
Setelah lebih dari 100 tahun kemudian, kekejaman itu masih juga dilakukan. Tatkala mereka memasuki kota Thâ’if tahun 1924, mereka menjarahinya selama tiga hari. Para Qhadi dan ulama diseret dari rumah-rumah mereka, kemudian dibantai beserta ratusan lainnya yang dibunuh. [‘Utsmân bin Bisyr, Unwân al-Majd fî Târîkh Najd , akkah, 1349, jilid 1, hlm 121-122).

Kerajaan Saudi yang berdiri diatas teologi Wahabisme dan dilindungi secara politik oleh Barat, terutama Inggris, yang saat itu merupakan Negara adidaya (kini dilindungi penuh oleh Amerika dan sekutunya) makin berhasil mengukuhkan diri sebagai ikon Islam, karena di dalamnya terdapat Mekkah dan Madinah. Dengan segala cara para pendeta wahabisme mengajarkan dan menjejalkan doktrin takfir (pengkafiran terhadap sesama Muslim yang tidak sepaham dengan wahabisme) di seluruh penjuru dunia.

Di Tanah Air, berkat limpahan minyak dan devisa haji dan umrah yang berlimpah dan memanfaatkan terpuruknya ekonomi dalam negari akibat ulah para koruptor, kerajaan ini memberikan bantuan-bantuan berupa masjid dan sarana pendidikan agama serta pemberian beasiswa dalam jumlah sangat besar kepada pesantren-pesantren dan perguruan tinggi Islam.

Salafisme atau wahabisme telah melakukan perubahan dalam pola dan gaya sesuai dengan tuntutan strategis. Wahabisme kini bahkan tidak melulu identik dengan pandangan teologis yang kaku dan intoleran, tapi menjadi sebuah gerakan transnasional yang pada dasarnya menolak segala jenis sistem Negara yang berdiri diatas konsensus dan kontrak social karena dianggap mengabaikan perintah menegakkan hokum Allah, seperti Al-Qaedah dan Talibanisme dan JI. Demi tuntutan strategis, dibagilah divisi-divisi dengan modus operandi dan gaya perjuangan yang dikesankan tidak saling berkaitan.  Bahkan untuk memaksimalkan marketing, mereka cepat-cepat mendirikan sebuah institusi politik yang terkesan berwawasan domestik nasionalis serta memutasi dirinya sebagai partai yang santun dan bersih. Alhasil, kekhawatiran petinggi NU dan bahkan mungkin Muhammadiyah terhadap eskalasi kekearasan yang diyakini bersumber dari doktrin kaku Wahabisme, memang tidak berlebihan.

Akhirnya, memaksakan “satu Islam” kepada semua penganut Islam yang terpencar dalam berbagai mazhab dan pandangan tentulah menyalahi watak toleransi Islam. Obsesi seseorang atau suatu kelompok terhadap yang “satu” hanya mungkin dilakukan lewat pemaksaan, seringkali lewat kekuasaan senjata, dan tindakan ini menyalahi konsepsi Islam yang dasar. Dengan kata lain, menginginkan ‘satu pemahaman tentang Islam’ adalah utopia dan anarkisme!

Seandainya kekerasan struktural yang ‘menenteng’ jargon agama, tidak ditentang, maka kita akan memasuki babak kehidupan yang sangat mencekam. Bumi kita akan berubah menjadi hutan belantara dan rumah-rumah kita bagai rumah hantu. Karena itu kita harus menentang teologi horor yang belakangan ini mulai disemburkan oleh sekelompok penjagal-penjagal sesama muslim atas nama Sunnah dan Salaf. Masjid-masjid kaum minoritas berubah menjadi ladang penjagalan dan mimbar-mimbar masjid dijadikan sebagai pusat pengkafiran sesama umat Muhammad! Di sejumlah negara, sekelompok Muslim lain menjadi beringas dan sadis terhadap kelompok Muslim lain hanya karena berbeda dalam cara shalat! Beberapa waktu lalu sebuah pesantren di Jawa Tengah diserbu oleh sekelompok massa yang diprovokasi oleh kelompok yang berlagak sebagai ‘polisi agama’ sehingga menimbulkan kerugian psikologis, fisik dan sebagainya.

Apa jadinya bila negosiasi digusur oleh konfrontasi, argumentasi dibalas teror, dan dialog diubah dengan fatwa murtad! Tidakkah semestinya energi dan semangat anti terhadap minorias agama dan mazhab diubah menjadi semangat penolakan terhadap kezaliman yang dilakukan oleh para koruptor yang telah menggerogoti bangsa ini tanpa sedikitpun rasa malu?

Indonesia ini adalah hasil perjuangan semua penganut agama dari beragam sekte. Mengapa sikap santun dan toleran –yang dulu menjadi alat promosi pariwisata kita- kini seakan lenyap? Ada apa dengan bangsa ini?



Sayyidina Ali Pernah Peringatkan, Waspadai Kelompok ISIS !


Sayyidina Ali Pernah Peringatkan, Waspadai Kelompok Ini!
Selasa, 22/07/2014 11:00
Solo, NU Online
Kemunculan kelompok ekstrem seperti ISIS (the Islamic State of Iraq and Syria), Al Nusro dan lain-lain, sudah diprediksi kedatangannya oleh sahabat Ali bin Abi Thalib.

Menurut pengasuh Majelis ‘Bismillah’ MWCNU Pasarkliwon Surakarta, Habib Muhammad bin Husein Al-Habsyi, 1.400 tahun silam, Imam Ali telah mengingatkan akan datangnya gerombolan bengis yang akan mengibarkan panji-panji hitam yang menyerupai panji-panji hitam Imam Mahdi.

“Ucapan beliau terekam dalam literatur Hadits Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yakni dalam kitab Kanzul Ummal yang dihimpun oleh ulama besar yang bernama Al Muttaqi Al Hindi pada riwayat nomer 31.530,” terang cicit Muallif Simtuddurar, Habib Ali Al-Habsyi itu, Ahad (20/7).

Dalam kitab tersebut, diriwayatkan bahwa Imam Ali pernah berkata: “Jika kalian melihat bendera-bendera Hitam, tetaplah kalian di tempat kalian berada, jangan beranjak dan jangan menggerakkan tangan dan kaki kalian. Kemudian akan muncul kaum lemah (lemah akal sehat dan imannya), tiada yang peduli pada mereka, hati mereka seperti besi (hati keras membatu jauh dari cahaya Hidayah).

Mereka akan mengaku sebagai Ashabul Daulah (pemilik negara, saat ini ISIS telah mengumumkan berdirinya Daulah Islam di Iraq dan Syam), mereka tidak pernah menepati janji, mereka berdakwah pada Al Haq (kebenaran) tapi mereka bukan Ahlul Haq (pemegang kebenaran).

Namanya dari sebuah julukan, marganya dari nama daerah (nama pemimpin mereka, memakai nama julukan dan marga dari asal daerah Baghdad) rambut mereka tak pernah dicukur, panjang seperti rambut perempuan, jangan bertindak apapun sampai nanti terjadi perselisihan diantara mereka sendiri, kemudian Allah mendatangkan kebenaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Ajie Najmuddin/Mahbib).

Bagaimana Sejarah Terbentuknya ISIS ?
Rabu, 06/08/2014 15:59

Jakarta, NU Online
Negara Islam Irak dan Suriah ISIS merupakan kelompok Jihadis yang aktif di Irak dan Suriah.
ISIS dibentuk pada April 2013 dan cikal bakalnya berasal dari al-Qaida di Irak (AQI), tetapi kemudian dibantah oleh al-Qaida. Demikiran reportase yang dikutip dari laman BBC Indonesia.

Kelompok ini menjadi kelompok jihad utama yang memerangi pasukan pemerintah di Suriah dan membangun kekuatan militer di Irak.

Huruf “S” dalam singkatan ISIS berasal dari bahasa arab “al-Sham”, yang merujuk ke wilayah Damaskus (Suriah) dan Irak.

Tetapi dalam konteks jihad global disebut Levant yang merujuk kepada wilayah di Timur Tengah yang meliputi Israel, Yordania, Lebanon, wilayah Palestina, dan juga wilayah Tenggara Turki.
Jumlah mereka tidak diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan memiliki ribuan pejuang, termasuk jihadis asing.

Koresponden BBC mengatakan tampaknya ISIS akan menjadi kelompok jihadis yang paling berbahaya setelah al-Qaida.

Siapa Abu Bakr al-Baghdadi?
Organisasi ini dipimpin oleh Abu Bakr al-Baghdadi. Hanya sedikit yang mengetahui tentang dia, tetapi dia diyakini lahir di Samarra, bagian utara Baghdad, pada 1971 dan bergabung dengan pemberontak yang merebak sesaat setelah Irak diinvasi oleh AS pada 2003 lalu.

Pada 2010 dia menjadi pemimpin al-Qaida di Irak, salah satu kelompok yang kemudian menjadi ISIS.
Baghdadi dikenal sebagai komandan perang dan ahli taktik, analis mengatakan hal itu yang membuat ISIS menjadi menarik bagi para jihadis muda dibandingkan al-Qaeda, yang dipimpin oleh Ayman al-Zawahiri, seorang teolog Islam.

Prof Peter Neumann dari King’s College London memperkirakan sekitar 80% pejuang Barat di Suriah telah bergabung dengan kelompok ini.

ISIS mengklaim memiliki pejuang dari Inggris, Prancis, Jerman, dan negara Eropa lain, seperti AS, dunia Arab dan negara Kaukakus.

Sumber dana
Tak seperti pemberontak di Suriah, ISIS tampak akan mendirikan kekhalifahan Islam di Suriah dan Irak.
Kelompok ini tampak berhasil membangun kekuatan militer. Pada 2013 lalu, mereka menguasai Kota Raqqa di Suriah – yang merupakan ibukota provinsi pertama yang dikuasai pemberonyak.

Juni 2014, ISIS juga menguasai Mosul, yang mengejutkan dunia. AS mengatakan kejatuhan kota kedua terbesar di Irak merupakan ancaman bagi wilayah tersebut.
Kelompok ini mengandalkan pendanaan dari individu kaya di negara-negara Arab, terutama Kuwait dan Arab Saudi, yang mendukung pertempuran melawan Presiden Bashar al-Assad.

Saat ini, ISIS disebutkan menguasai sejumlah ladang minyak di wilayah bagian timur Suriah, yang dilaporkan menjual kembali pasokan minyak kepada pemerintah Suriah.

ISIS juga disebutkan menjual benda-benda antik dari situs bersejarah.
ISIS menguasai kota Raqqa dan kota utama Mosul di Irak utara.
Prof Neumann yakin sebelum menguasai Mosul pada Juni lalu, ISIS telah memiliki dana serta aset senilai US$900 juta dollar, yang kemudian meningkat menjadi US$2 milliar.

Kelompok itu disebutkan mengambil ratusan juta dollar dari bank sentral Irak di Mosul. Dan keuangan mereka semakin besar jika dapat mengontrol ladang minyak di bagian utara Irak.

Kelompok ini beroperasi secara terpisah dari kelompok jihad lain di Suriah, al-Nusra Front, afiliasi resmi al-Qaeda di negara tersebut, dan memiliki hubungan yang “tegang” dengan pemberontak lain.
Baghdadi mencoba untuk bergabung dengan al-Nusra, yang kemudian menolak tawaran tersebut. Sejak itu, dua kelompok itu beroperasi secara terpisah.

Zawahiri telah mendesak ISIS fokus di Irak dan meninggalkan Suriah kepada al-Nusra, tetapi Baghdadi dan pejuangnya menentang pimpinan al-Qaida.

Di Suriah, ISIS menyerang pemberontak lain dan melakukan kekerasan terhadap warga sipil pendukung opoisisi Suriah. (mukafi niam) Foto: Reuters

Ini Dia, Pemimpin Regional ISIS di Indonesia.


Jakarta, LiputanIslam.com– Diam-diam,  kelompok teroris transnasional Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), telah memiliki pemimpin di Indonesia. Ketua Umum Gerakan Reformis (Garis) Islam, Chep Hernawan, mengaku dirinya adalah pimpinan regional ISIS di Indonesia. Ia ditunjuk  karena dinilai militan, berilmu tinggi, amanah hingga istiqamah.

“Mereka melihat saya punya kriteria yang diinginkan oleh mereka untuk menjadi pemimpin ISIS di wilayah Indonesia,” kata Chep kepada wartawan di kediamannya, 7 Agustus 2014, seperti dilansir Jpnn.
Ia akhirnya menampakkan diri, dan mengakui bahwa ia telah ditunjuk sebagai pemimpin, ketika deklarasi ISIS digelar pada Minggu 12 Maret 2014 lalu di  Hotel Indonesia. Namun, ia membantah jika ISIS di Indonesia memiliki tujuan untuk membentuk negara Islam di Indonesia.

“ISIS di Indonesia itu tidak ada bedanya dengan Garis. Tidak ada presiden, menteri, panglima perang, dan kabinet-kabinet. Yang ada kami meneruskan perjuangan untuk menegakan syariat Islam di Indonesia,” kata Chep.

Chep menambahkan, tidak ada instruksi dan seruan untuk melakukan perang di Indonesia. Menurutnya, medan perang sejatinya ada di Irak, Suriah, dan negara timur tengah yang kini sedang berperang memperjuangkan akidah Islam. “Tidak ada radikalisasi dalam ISIS ini. Pemberitaan yang ada di media itu tidak benar. ISIS sendiri memperjuangkan dan menegakkan syariat Islam,” paparnya.

Diakui Chep, setidaknya ada ribuan pengikut ISIS di Indonesia yang tersebar di Pulau Jawa. Menurutnya, pengikut ISIS terbanyak di Indonesia berada di wilayah Jawa Barat. Akan tetapi pengikut ISIS itu bukanlah teroris seperti yang diberitakan media akhir-akhir ini.

“Tidak ada instruksi angkat senjata di Indonesia, tapi kami mengirimkan pengikut ISIS yang betul mewakafkan dirinya untuk membantu saudara sesama muslim di medang perang. Kami sendiri ikut berbaiat dengan Abu Bakr Al-Baghdadi tapi tidak harus datang ke sana,” paparnya.

Di Cianjur, dirinya menyebut ada puluhan anggota ISIS yang bergabung dari berbagai latar belakang. Menurutnya, bergabungnya mereka ke ISIS dalam rangka keinginan untuk mengubah dan menegakkan syariat Islam dan konstitusi.

“Latar belakang pendidikan mereka 60 persen sarjana, ada juga lulusan pesantren yang tersebar di beberapa wilayah di Cianjur. Selain itu, usia mereka semua rata-rata di atas 20 tahun,” tandasnya lagi.
Chep menyebut, selama ini ia melakukan koordinasi dengan jaringan ormas, seperti Majelis Mujahidin, FPI, yang dilakukan lewat telpon. Tujuannya adalah  menghentikan pergerakan radikal di NKRI.

Terkait ISIS yang disimpulkan sebagai pergerakan yang dilarang oleh pemerintah, dirinya siap menjelaskan kepada negara, bahwa ISIS tidak seperti yang dituduhkan selama ini seperti yang ada di media-media Barat. “Kemarin saya sudah dipanggil oleh Menteri Agama. Di sana kami jelaskan bahwa ISIS bukan organisasi radikal,” jelasnya.

Chep juga berani bersumpah bahwasanya sumber pendanaan ISIS berasal dari dana yang halal dan bukan dari hasil merampok. “Demi Allah, dana yang kita himpun bukan hasil dari kejahatan, ini murni dari hasil sedekah dan infak perusahaan-perusahaan saya,” tegasnya.

MUI Segera Panggi Pimpinan ISIS Indonesia.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cianjur, KH Abdul Halim, dilaporkan akan segera memanggil Pemimpin ISIS, Chep Hernawan. “Kami belum bisa menindak apa-apa karena kami juga baru mendengar pernyataan itu tadi malam (Kamis, 7 Agustus 2014) melalui media,” kata Abdul, seperti dilansir Tribunnews, 8 Agustus 2014.

Menurut Abdul, MUI memang telah mengharamkan ISIS untuk berkembang di Indonesia. Selain ideologinya yang berbeda, ISIS bukanlah gerakan Islam melainkan hanya mengatasnamakan Islam yang perilakunya tidak Islami. Karenanya ia ingin mengetahui secara pasti tentang ISIS yang dipimpin warga Cianjur itu.
“Apakah ISIS itu identik dengan yang di sana (Irak- red). Kami tidak bisa memberikan pandangan andaikata yang ada di Cianjur itu hanya mendukung ISIS saja. Sekarang kami hanya bisa melarang kelompok atau aliran yang merusak tatanan ajaran Islam itu saja,” kata Abdul.

Senada dengan MUI, Bupati Cianjur, Tjetjep Muchtar Soleh, juga sangat mendukung penolakan ideologi ISIS di Kabupaten Cianjur. Menurutnya, termasuk segala bentuk gerakan-gerakan ideologi yang bisa merusak tatanan masyarakat tidak boleh berkembang di Kabupaten Cianjur.

Terkait adanya tokoh masyarakat Cianjur yang mengaku sebagai pimpinan tertinggi ISIS di Indonesia, Tjetjep bersikap diplomatis. Menurutnya, perlu ada penjelasan terkait dengan pernyaaan itu. “Itu kan baru informasi yang belum jelas. Saya yakin di Kabupaten Cianjur tidak ada penggikut ISIS,” kata Tjetjep.
Pihak lain, Kapolres Cianjur, AKBP Dedy Kusuma Bakti, mengaku telah melakukan pemantauan ke sejumlah wilayah terhadap perkembangan ISIS di Kabupaten Cianjur. Terlebih setelah adanya klaim pemimpin ISIS regional Indonesia yang merupakan warga Kabupaten Cianjur.

“Pantauan kami terus berjalan dan memang ada beberapa pihak yang mendeklarasikan dirinya adalah bagian dari ISIS tapi itu akan kami tindaklanjuti lagi apakah klaim itu seperti paham ISIS sejatinya atau memang beliau tidak tahu paham ISIS. Karena yang berkembang di Irak dan Suriah itu membahyakan NKRI,” kata Dedy. (ba)

Polri: Tidak ada Aksi Teror, Anggota ISIS Tak Bisa Ditangkap.

Jakarta, LiputanIslam.com Terkait maraknya pembahasan terhadap isu terkait kelompok teroris transnasional Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), pihak Polri turut angkat bicara. Dari keterangan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas Besar Polri, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar, menyatakan bahwa pihaknya tak bisa asal ISIS Indonesia. Mengapa?

Alasannya, penangkapan para anggota maupun perekrut ISIS tersebut harus ada dasar hukumnya. “Sekarang mereka masih sebatas simpatisan. Belum terkait dengan aksi-aksi perbuatan melanggar hukum unsur-unsur subyektif dan obyektif,” kata Boy di kantor Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kementerian Agama, Jakarta Pusat, Sabtu, 9 Agustus 2014, seperti dilansir Tempo.

Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa penangkapan anggota ISIS bisa dilaksanakan bila ada aktivitas terorisme. Kalau tidak ada, maka tak ada dasar hukum untuk menangkap.  Boy juga menyatakan untuk penangkapan perekrut ISIS di Indonesia tinggal menunggu waktu. “Mereka diwaspadai. Silakan berbicara, ini negara demokrasi. Ketika melanggar hukum, kami baru melakukan penangkapan,” ujarnya. Menurut Boy, pengikut ISIS di Indonesia merupakan teroris yang sudah menjalani tahanan. 

Gerakan ISIS di Indonesia mulai muncul sejak bulan lalu. Belakangan, muncul video ajakan untuk masuk ISIS di YouTube yang tersebar di Indonesia. Bahkan sudah ada beberapa pembaiatan di sejumlah daerah. Abu Bakar Ba’asyir, terdakwa terorisme yang sedang mendekam di Nusa Kambangan, pun dikabarkan telah membaiat 20-an narapidana terorisme untuk bergabung dengan ISIS.

Sikap Polri ini mendapat kritikan  dari Muhammad AS Hikam, seorang pengamat politik. Menurutnya, pernyataan Polri tersebut sama sekali tidak membantu pemerantasan terhadap terorisme.
“Statemen Polri yang menurut hemat saya sangat tidak membantu pemberantasan maraknya gagasan dan gerakan Islam radikal dan atau gerakan lain yang berlawanan dengan Konstitusi serta berusaha mengganti bentuk NKRI,” tulisnya di jejaring sosial.

“Omongan Boy Rafli Amar bahwa Polri tidak bisa asal menangkap anggota ISIS di Indonesia, terkesan sangat legalistik dan, bagi saya, hanya sebuah cover up (upaya menutupi) kelemahan, ketidak mampuan, dan ketidak beranian dirinya menghadapi ancaman terhadap keamanan dan kepentingan nasional RI,” tambahnya.

AS Hikam menilai, untuk dasar hukum penangkapan anggota ISIS, ada UU mengenai Terorisme dan UU mengenai Kewarganegaraan RI pun sebenarnya bisa digunakan. Dia khawatir statemen Polri  itu akan ditafsirkan publik bahwa pihak Polri tidak punya semangat yang serius dalam menghadapi ancaman terhadap keamanan nasional seperti ISIS ini.

“Boro-boro Polri aktif dalam upaya deteksi, cegah, dan penanggulangan dini terhadap ancaman ini, bahkan setelah begitu banyak informasi dan bukti maraknya gerakan perekrutan ISIS di Indonesia saja, pejabat seperti Boymasih berkilah,” katanya.

Argumen Boy bahwa Polri baru bisa menangkap simpatisan ISIS jika mereka melakukan aksi teror, menurut dia, menunjukkan kebebalan nalar yang luar biasa. Bagaimana mungkin Polri akan bisa dijadikan alat negara untuk mengatasi maraknya perkembangan ideologi dan gerakan massal para pendukung ISIS jika ukurannya adalah adanya aksi teror di negeri kita?

“Lagipula, bukankah justru rekrutmen mereka itu akan dipergunakan untuk melakukan aksi perang di negara lain? Kalau nalar Boy diikuti, sampai ada lebaran kuda baru akan terjadi tindakan terhadap penyebar ideologi Islam garis keras dan gerakan rekrutmen terhadap anak bangsa di Indonesia.”

AS Hikam juga merasa bahwa pencegahan terorisme harus dimulai sejak dini. “Padahal yang namanya tindakan cegah dini harus dimulai sejak gagasan radikalisme tumbuh dan dikembangkan, apalagi jika sudah ada aksi rekrutmen. Penangkapan dalam rangka cegah dini dan untuk pemeriksaan intensif bisa saja dilakukan untuk mencegah aksi-aksi yang akan mengancam keamanan nasional,” tulisnya. (ba)

Saudi dan ISIS, Bak Pinang Dibelah Dua.
.
Mengamati pola gerakan ISIS yang sangat radikal dan paham ke agamaannya yang keras (ekstrim) membuat saya teringat dengan sejarah berdirinya Kerajaan Arab Saudi ( KAS) di Jazirah Arabia ( Semenanjung Arab). Saya mencoba kembali membuka sejarah KAS, dan setelah saya amati, terdapat dua sisi kesamaan antara ISIS dan KAS;

1. Paham keagamaan yang ektrim. Paham keagamaan yang dianut ISIS adalah paham penafikan (ilgha’) terhadap paham yang lain, atau yang biasa disebut dengan takfiri, sebuah paham yang menyatakan bahwa paham lain yang tidak sama dengan dianggap sesat, kafir dan murtad, dan praktek-praktek keagamaan yang menurut mereka menyimpang dianggap sebagai perbuatan musyrik. Karena itu, mereka mengganggap kafir dan musyrik orang-orang dan kelompok Islam yang tidak sejalan dengan mereka. 

Mungkin, kita  semua telah tahu bahwa paham keagamaan resmi KAS seperti itu. Sehingga setiap jamaah Umrah dan Haji tidak akan mendapatkan situs-situs sejarah Islam yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi di tempat-tempat suci ( Mekah dan Madinah). Kalaupun situs-situs itu masih ada, maka terdapat di sekitarnya board besar yang bertuliskan dengan beberapa bahasa (termasuk bahasa Indonesia) dan isinya peringatan akan kemusyrikan.

Lebih dari itu, para jamaah haji dan umrah merasakan tidak nyaman ketika berziarah ke kuburan Nabi saw. Mereka dihardik dan dibentak dengan kata-kata musyrik, haram dan bid’ah oleh paramuthawwi’ dengan cara yang kasar. Konon, sebelum KAS berdiri, di mesjidil Haram dibentukhalaqah-halaqah (kelas-kelas) yang diisi oleh para ulama dari berbagai mazhab dan aliran dalam Islam, tapi sejak KAS berdiri hingga saat ini, halaqah-halaqah itu hanya diisi oleh satu paham keagamaan saja, yaitu paham keagamaan resmi KAS.
Mazhab dan aliran yang lain dilarang bahkan sebagian darinya dianggap sesat dan kafir (seperti aliran tasawwuf). Penganut paham keagamaan seperti ini jelas tidak akan toleran dan tidak akan bersahabat dengan penganut paham lain.

2. Gerakan dakwah yang radikal. ISIS dibangun di atas teritorial yang dikuasai oleh mereka dengan cara perampasan wilayah Aleppo ( Suria) dan Mosul ( Irak ) yang secara de facto dan de jure berada dalam kekuasaan dua negara tersebut. ISIS secara semena-mena mengklaim dua wilayah itu sebagai kekuasaannya. Mereka memaksanya penduduk dua wilayah itu mengikuti paham keagamaan mereka secara paksa. Mereka tidak segan-segan membunuh dan membantai orang-orang yang tidak menerima paham mereka, seperti kelompok Muslim Syiah dan umat Kristiani.

Demi menjaga keutuhan paham keagamaan, mereka menghancurkan kuburan orang yang disucikan oleh penduduk setempat ( kuburan Nabi Yunus di Mosul dan kuburan sahabat Ammar bin Yasir di Damaskus dan lainnya). Juga gereja kaum Kristiani tidak luput dari penghancuran.

Hal yang sama; pembantaian terhadap penganut paham lain dan penghancuran kuburan orang-orang yang disucikan, telah dilakukan oleh para pendahulu dari pendiri KAS. Sejarah mencatat bagaimana mereka masuk ke Mekkah pada 1806, dan merusak kiswah, kain penutup Ka’bah yang terbuat dari sutra. Kemudian merobohkan puluhan kubah di Ma’la, termasuk kubah tempat kelahiran Nabi Saw, tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna Khadijah, dan masjid Abdullah bin Abbas.

Mereka juga mencaci-maki ahli kubur bahkan sebagian mereka kencing di kubur kaum salihin tersebut. Kekejaman mereka lainnya adalah meruntuhkan kubah-kubah di atas makam sahabat-sahabat Nabi Saw yang berada di Ma’la (Mekkah), di Baqi’ dan Uhud (Madinah).  Semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan tanah dengan mengunakan dinamit penghancur. Demikian juga kubah di atas tanah kelahiran Nabi Saw. Namun karena gencarnya desakan kaum Muslimin International maka dibangun perpustakaan.

Mereka benar-benar tidak pernah menghargai peninggalan sejarah dan menghormati nilai-nilai luhur Islam. Pada puncaknya tahun 1924, mereka menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan Jeddah dengan memanfaatkan kelemahan Turki akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. kemudian mendaklarasikan KAS.

Sejarah terulang kembali, namun yang membedakan keduanya adalah bahwa KAS berdiri saat media informasi belum sehebat dan seluas saat berdirinya ISIS sehingga hanya sedikit dari kaum Muslimin yang mengetahui sejarah KAS. Kalangan umum dari kaum Muslimin menganggap bahwa KAS adalah lanjutan dari kekuasaan Islam jaman dahulu sehingga mereka menganggap KAS adalah refresentatif dari kerajaan Islam yang asli. Sementara ISIS dirikan saat media massa sudah maju dan berkembang pesat, sehingga keburukan mereka mudah terpantau oleh dunia. Keberuntungan saja yang berpihak ke KAS sehingga kekejaman dan keburukan mereka hilang dari pantau umum. (HMA)

ISIS Disebut Teroris, Tokoh-tokoh Agama ini Walk Out.


Palembang, LiputanIslam.com – Kekejaman yang dilakukan organisasi teroris transnasional Negara Islam Irak dan Suriah sudah marak beredar, namun tetap saja masih ada pihak yang membelanya di Indonesia. Seperti kemarin (8/8), temu tokoh agama di palembang berlangsung panas lantaran adanya perbedaan pandangan terkait ISIS.

Awalnya pertemuan ini bertujuan untuk untuk membahas langkah yang diambil terkait ISIS. Namun acara yang difasilitasi oleh Kanwil Kementerian Agama Sumsel ini, tidak sesuai dengan harapan, lantaran beberapa tokoh memilih walk out dari ruangan.

Forum tersebut dihadiri sejumlah tokoh agama di Sumsel, seperti dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Forum Umat Islam (FUI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Walubi, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), dan sejumlah tokoh agama dan organisasi keagamaan lain.

Aksi walk out ini bermula dari pernyataan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragam (FKUB) Sumsel KH Buya Thohlon Abdul Rauf bahwa ISIS adalah teroris dan hanya warga negara Indonesia yang gila saja jadi pengikut ISIS.

Pernyataan tersebut ternyata mengundang emosi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sodikun.Bahkan Sodikun sempat mengacungkan tangannya ke muka Thohlon. Menurut Sodikun, tidak ada yang berhak menyatakan organisasi ISIS adalah teroris. Ia menilai, ISIS perlu dikaji secara mendalam tentang ajaran dan tujuannya. “Kepada anjing saja kita ada adab. Tidak bisa kita sebut orang itu gila hanya karena ISIS apalagi sesama Muslim,” ungkap Sodikun, seperti dilansir Merdekacom, 8 Agustus 2014.

Penolakan yang sama juga diutarakan Ketua FUI Sumsel Umar Said. Ditegaskannya, terlalu dini menyatakan ISIS adalah teroris. Bisa jadi, kata dia, isu ini diprovokasi oleh negara tertentu untuk menghancurkan Islam. Umar Said pun langsung keluar setelah menyampaikan sikap.

Situasi makin memanas setelah sejumlah tokoh agama lain turut berkomentar. Suasana mereda setelah suara azan berkumandang. Setelah dilanjutkan, pertemuan itu pun akhirnya memutuskan sejumlah poin, salah satunya menolak setiap aksi kekerasan terhadap agama. (ba)

Teroris ISIS : Ancaman Baru Pancasila

.
Awal Ramadhan tahun ini, dunia internasional dikejutkan oleh pengumuman  dari juru bicara gerakan bersenjata yang menamakan dirinya Islamic State in Iraq and Sham (ISIS) tentang telah berdirinya Khilafah Islamiyah.  Juru bicara ISIS, Syaikh Abu Muhammad al Adnaniy  asy Syamiy melalui rekaman audio yang disebarkan secara online, memberi penegasan bahwa (Islampos.com, 30/6/2014):

“ Dewan syura Daulah setelah melalui berbagai pertimbangan memutuskan untuk mendirikan Khilafah Islam dan menunjuk Abu Bakar Al-Baghdadiy sebagai khalifah yang akan memimpin seluruh kaum Muslimin.  Dan ia (Al-Baghdadiy) telah menerima bai’at. Oleh karena itu, dia adalah imam dan khalifah bagi setiap Muslim di manapun. Dan dengan ini, nama Irak dan Syam dalam nama Daulah Islam sekarang dihapus dari semua pembahasan dan komunikasi resmi, dan nama resminya diubah menjadi ‘Daulah Islam’ dimulai dari sejak tanggal deklarasi ini!”

Pengumuman ini merupakan sebuah proklamasi hadirnya Negara baru yang berimajinisi mengembalikan kejayaan Kekhilafahan Islam di masa lalu. Nama Khilafah Islamiyah merujuk pada sebuah imperium yang dibangun sejak masa Abu Bakr ash-Shiddiq sampai masa Kekhilafahan Turki Ottoman, yang runtuh di awal abad 20. 

Namun, berbeda dengan bangunan Kekhilafahan era Khulafa-ar-Rasyidin (The Great Chalipate) saat Abu Bakr ash-Shiddiq pertama-kali diba’iat, yang berbasis pada transisi dan pergantian kepemimpinan secara damai dari Nabi Muhammad; Kekhilafahan Islamiyah model ISIS hadir justru dari kecamuk perang antar faksi-faksi umat Islam di sekitar Irak dan Syria. ISIS – pada awalnya – merupakan bagian dari faksi militer Al-Qaeda yang menyempal. Sang Khalifah, Abu Bakr al-Baghdadiy merupakan tokoh penting Al-Qaeda yang kemudian keluar dan mengorganisasikan sebuah kekuatan milisi bersenjata bernama ISIS. Kemahirannya dalam pengorganisasian membuat al-Baghdadiy sanggup menjadikan ISIS sebagai faksi bersenjata yang sangat disegani, bahkan Al-Qaeda sendiri tak sanggup menghadapi.

Anggota utama dari pasukan yang diorganisir oleh ISIS adalah faksi-faksi militer yang bersimpati dengan perjuangan Al-Qaeda. Beberapa simpatisan Ikhwanul-Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Salafy secara personal – yang mempunyai visi sama – juga merupakan anggota dari ISIS. Meskipun demikian, sejauh ini, tidak ada pernyataan terbuka dari Ikhwanul Muslimin dan Salafy untuk mendukung berdirinya Khilafah Islamiyah versi ISIS itu. Bahkan, melalui rilis di website-nya, Hizbut Tahrir secara terbuka mengutuk pendirian Khilafah Islamiyah versi ISIS, menganggap bahwa pendiriannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidai syar’i.

Di Indonesia, dukungan secara resmi justru muncul dari jejaring Islam yang berafiliasi dengan Jama’ah Islamiyah seperti Korps Mubaligh Jakarta (KMJ) dan Jam’ah Anshorut Tauhid (JAT). Patut dicatat, KMJ dan JAT (Kompas, 18/7/2014) adalah dua organisasi yang secara terang-terangan mempermasalahkan karikatur The Jakarta Post yang mengkritik kebiadaban ISIS. Meskipun, secara terbuka, The Jakarta Post telah memintaa maaf dan mencabut karikatur itu, KMJ dan JAT tetap menuntut The Jakarta Post ke pengadilan.

Satu tokoh penting dari lingkaran dalam Jama’ah Islamiyah, Ustadz Abu bakr Ba’asyir secara terbuka telah memberi dukungan atas berdirinya  Khilafah Islamiyah versi ISIS itu. Dari penjara Nusa Kambangan, melalui juru bicaranya, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir memberi dukungan terbuka, tetapi belum memberi ba’iat terhadap Khalifah Abu Bakar Al-Baghdadiy. Di samping itu, kampanye-kampanye untuk mensosialisasikan dan mendukung berdirinya Khilafah Islamiyah sangat massif dilakukan. Simpul-simpul gerakan ini meliputi Ciputat, Bandung,Bogor, Solo, Jogja, Surabaya, Malang, dan bahkan sampai Nusa Tenggara Barat.

Melihat gerakan yang sangat massif itu, potensi menjamurnya dukungan (dan juga ba’iat) terhadap Khilafah Islamiyah versi ISIS sangat kuat terjadi di Indonesia. Adalah wajar, jika kemudian, ternyata anggota dari milisi bersenjata ISIS merupakan orang-orang Indonesia.  Majalah TIME (17/6/2014) pernah melaporkan bahwa sebagian besar anggota ISIS bukanlah orang-orang Timur-Tengah, Uzbek, atau Checnya melainkan orang-orang dari Indonesia. Artinya, meskipun gerakan terorisme telah diperangi secara massif di Indonesia oleh Densus 88, namun aliansi antara gerakan fundamentalisme Islam radikal di Indonesia dengan Timur-Tengah belum terputus, eksodus migrasi para pejuang jihad dari Indonesia ke wilayah-wilayah konflik di Timur-Tengah masih terus terjadi. Indonesia adalah wilayah subur kaderisasi pejuang jihad.

Delegitimasi Pancasila.
Realitas sosial ini tentu saja sangat mengkhawatirkan dan membutuhkan respon yang tepat dan cepat. Pembiaran terhadap kampanye yang sangat massif oleh para pendukung ISIS di Indonesia merupakan tindakan yang sangat kontraproduktif.

Ideologi yang dibawah oleh ISIS adalah fundamentalisme Islam yang ekslusif, mengabaikan aspek inklusifisme dan acuh terhadap keragaman. ISIS – dengan Khilafah Islamiyah-nya – memimpikan hadirnya Pan-Islamisme Raya di dunia. Irak, Syria dan sekitarnya dijadikan basis utama gerakan ini. ISIS – sama dengan Hizbut Tahrir – menentang keras demokrasi dan nasionalisme yang dianggapnya sebagai taghut, berhala terkutuk  yang harus dilawan. Bahkan, dalam banyak aksinya, ISIS tak segan membunuh siapa saja yang menentang cita ideal yang diimpikannya. Aksi-aksi kekerasan dan kekejaman oleh ISIS banyak diunggah di dunia maya oleh anggotanya sendiri. Kekejaman ISIS inilah yang sejatinya merupakan sasaran kritik dari karikatur The Jakarta Post edisi 3 juli 2014. Karikatur itu sejatinya adalah copy-paste dari media Al-Quds Al-Arabiya yang mempublikasikan karikatur yang sama pada tanggal 30 Juni 2014. Artinya, di Timur-Tengah sendiri, ISIS juga dikritik.

Ideologi ISIS yang anti-dialog dan mengembangkan sudut pandang islamisme sempit sangat bertentangan dengan cita-ideal bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa memimpikan Indonesia menjadi bangsa yang majemuk, bangsa yang internasional – kalau meminjam istilah dari Bung Karno. Sebaliknya, ISIS menghadirkan konsep homogenisasi kebangsaan melalui islamisme. Jika di Indonesia yang menjadi ikatan pemersatu kredo kebangsaan adalah Pancasila maka ISIS memimpikan Islam sebagai pengikat kebangsaan. Dilihat dari sini, gagasan ISIS jelas sangat bertentangan dengan keindonesiaan. ISIS adalah anti-thesis dari keindonesiaan.

Masalahnya, di level akar rumput, gagasan-gagasan ala ISIS ini berkembang bak cendawan. Ustadz-ustadz yang mempunyai sudut-pandang Islamisme dan anti-Pancasilaisme bertebaran di kampong-kampung dan sudut-sudut kota. Pengajian-pengajian yang mendeskreditkan Pancasila kerap terdengar, meskipun tidak dilakukan secara terbuka.

Musuh terbesar dari Pancasila adalah islamisme. Hal ini perlu digaris-bawahi mengingat Indonesia adalah Negara dengan jumlah pemeluk Islam yang sangat besar. Setiap usaha provokasi untuk menumbangkan pancsilaisme dan menggantikannya dengan islamisme akan mudah direspon, terutama oleh anak-anak muda. Lebih lagi, di saat yang sama, ketidak-adilan terjadi begitu massif di Indonesia. Isu-isu ketidak-adilan menjadi “pemantik api” yang pas untuk menawarkan “surga”.

Counter Discourse.
Sikap paling bijaksana menghadapi membiaknya gagasan fundamentalisme agama berbasis Islamisme ini bukan dengan cara-cara kekerasan atau intimidasi. Kekerasan dan intimidasi justru memperkuat militansi dan diskursus yang mereka bangun. Terbukti, pendekatan kekerasan yang dilakukan oleh Densus 88 tidak serta-merta mengeliminasi cara-pandang islamisme ini. Alih-alih berkurang, cara pandang islamisme justru mngental, menguat dan membiak. Densus 88 malah – sekarang – menjadi musuk publik karena tindakan-tindakannya kerap tidak transparan.

Cara terbaik menghadapi membiaknya ideology islamisme ini adalah dengan melakukan counter discourse atau melawan wacana islamisme dengan wacana pancasilaisme, Halini penting dilakukan untuk mendarah-dagingkan falsafah Pancasila sebagai philosofische grondslag, terutama pada kalangan kaum muda. Hancurnya karakter kebangsaan di kalangan kaum muda disebabkan pancasila tidak pernah dikampanyekan secara massif. Kalau toh ada kampanye tentang pancasila, itu dilakukan hanya dalam bentuk seremonial, tanpa ada pemahaman dan pemaknaan yang mendalam. Pancasila – akhirnya – hanya menjadi sebagai ornament sejarah – meminjam istilah BJ. Habibie.

Diskursus tandingan (Counter discourse) tentang Pancasila perlu dimassifkan dalam menghadapi islamisme atau islamsentrisme ala ISIS untuk menghadirkan wajah Islam yang mengindonesia. Islam yang otentiuk dengan nilai-nilai keindonesiaan, bukan Islam ala Timur-Tengah yang anti-perbedaan. Kredo “Bhineka Tunggal Ika” harus dapat diresapi sebagai usaha untuk mengindonesiakan Islam.

From al-Qaeda to ISIS: America’s favorite terrorists.
SOURCE: http://www.crescent-online.net/2014/06/from-al-qaeda-to-isis-americas-favorite-terrorists-crescent-onlinenet-4509-articles.html
.
by crescent-online.net
June, 2014
ISIS-led sectarian terror is causing havoc in the region. The Maliki government in Baghdad, however, cannot be absolved of responsibility either for contributing to the alienation of tribal elders in places like Mosul that facilitated the takeover by ISIS of the country’s second largest city. Sectarianism cuts both ways; it must be condemned no matter who indulges in it.
Beirut, Crescent-online
Sunday June 15, 2014, 11:47 DST


The capture of Mosul and Takrit by the takfiri terrorist group that uses the inappropriate title, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) even surprised the group. They had expected some resistance from the 30,000-strong “US-trained” Iraqi army but when ISIS thugs entered the city on June 10, the Iraqi army fled.
Why?

Various explanations have been offered ranging from the cowardice of Iraqi officers that fled the scene, providing an opening for the ISIS thugs, to lack of motivation of the Iraqi army against a determined enemy that has gained notoriety extreme cruelty and mass murder. 

All these have elements of truth. How can a 30,000-strong heavily equipped army melt away before barely 1,000 ISIS fighters no matter how well equipped?

The real reason for the Iraqi army’s rout can be traced to massive corruption in the country, lack of representative government that functions on the basis of sectarianism rather than addressing the needs of all the people and failing to take account of tribal loyalties.

It was essentially the deep disenchantment of tribal leaders in Mosul that facilitated the ISIS’s take over. In 2007, it was the same Sunni tribal elders that had helped rout the terrorists from Anbar province.
Instead of appreciating such help and giving them a stake in governing of the country, Iraqi Prime Minister Nouri al-Maliki indulged in sectarian politics.

It must be admitted that sectarianism cuts both ways. There are Sunni sectarians and there are Shia sectarians. Unless both rise above such sectarianism, it will not help to condemn the sectarianism of one side and gloss over that of the other.

Maliki and his allies have as much to answer for as the terrorists and their sponsors—Saudi Arabia, Qatar and the US—regarding the alarming rise of sectarianism in Iraq.
Regimes that operate on the basis of sectarianism lose legitimacy even if the disadvantaged groups are minorities. Should we not expect Maliki to behave differently than the medieval tribal rulers of Saudi Arabia, Qatar, Bahrain or other Shaikhdoms in the region?

There is of course American involvement as well. The ISIS thugs are nurtured by the US. It is interesting to note that there are Americans advising both the ISIS and the Iraqi army. American mercenaries are embedded on both sides.

Instigating sectarian warfare is a long established US policy. This is what we have witnessed in Syria where it is on the verge of defeat but it was expected that these mercenaries would flood into Iraq from where many of them had emerged led by Abu Bakr al-Baghdadi. He has appeared as replacement for Osama bin Laden even superseding Ayman al Zawahiri.

Al Baghdadi was captured by the Americans in 2005 and spent four years in Bucca prison after Abu Ghraib gained notoriety for American torture, rape and murder.

It cannot be ruled out that the Americans struck a deal with al-Baghdadi before releasing him in 2009. His absolute ruthlessness is precisely the kind of character the Americans were looking for. He can advance their sectarian agenda. Further, he had served in the Iraqi army of Saddam Hussain.

By indulging in horrific acts of terror—public beheadings, killing children and women as well as shooting people without any reason—such acts were bound to evoke a strong reaction from the other side. The ISIS thugs even murdered fellow terrorists from Jabhat al-Nusra as well as the Free Syrian Army; the latter simply disintegrated because it could not match ISIS brutality.

ISIS ranks are filled with former Ba‘thist soldiers as well as disgruntled Iraqi Sunnis that successive Iraqi regimes have alienated because of sectarianism. If governments cannot represent the interests of all its people, they will face such problems.

True, the rise of ISIS is a grave threat to the entire region but their military defeat alone will not solve the problems plaguing Iraq.

Whosoever is in power in Baghdad will have to address the legitimate grievances of all the people—Sunnis, Shias, Kurds etc—that make up the state of Iraq. It will not do to simply say that the Shias were deprived of their rights by successive Iraqi regimes that were Sunni dominated.

Saddam Hussain could hardly be described a Sunni even if he was born into a Sunni family. He was a CIA-imposed thug whose ruthlessness appealed to the Americans and other Western powers. He was assigned the task of destroying the Islamic Republic of Iran. When he failed in that mission, he ended up dangling from a rope, a fate he richly deserved.

Today’s Iraq does not need the Shia equivalent of a “Sunni” Saddam; it needs a leader who will represent all the myriad people of the country. That is the only way to defeat the sectarian mass murderers.

US-Saudi-funded ISIS spreads terror in Iraq.
.
June, 2014
American Senator Rand Paul says the US government is involved in training and arming ISIS terrorists and its allies that have caused havoc in Syria and Iraq. The Republican Senator from Kentucky said had it not been for American support, ISIS would not be spreading terror in Iraq today. In the photo, ISIS terrorists are seen shooting and killing civilians dumped in a ditch in Tal Afar in Iraq.
Washington DC, Crescent-online
Monday June 23, 2014, 08:49 DST
The eruption of violence in Iraq by the so-called Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) led by the new terrorist poster boy Abu Bakr al-Baghdadi, has sent shock waves in the region. Numerous questions have been asked about the group’s backers and how it has made such spectacular gains against the US-trained Iraqi army.


It is well known that the archaic Saudi regime has been the principal sponsor of terrorist groups in the region. American senator Rand Paul has now accused the US government of arming ISIS terrorists in Syria and funding its allies despite Washington expressing hypocritical concern about its murderous activities in Iraq.
The Republican Senator from Kentucky, Rand Paul made the remarks on NBC News’s ‘Meet the Press’ on Sunday June 22. He said the US regime has been funding ISIS allies and supporting the terrorist group in Syria. 

The ISIS made its mark as the most ruthless terrorist group in Syria by murdering civilians as well as members of rival terrorist gangs, essentially out-terrorizing them. The US has been funding, arming and training these murderous thugs for years in Syria.

“They’re emboldened because we’ve been supporting them … It could be Assad [could have] wiped these people out months ago,” Senator Rand Paul told NBC.

Pembantaian oleh ISIS

“I personally believe that this group would not be in Iraq and would not be as powerful had we not been supplying their allies in the war.”
There have been widespread reports that the CIA has been training terrorists at a secret base in Jordan to carrying out terrorist activities in Syria. This has gone on since 2012. According to reports there are between 200 to 1000 American Special Forces and CIA operatives involved in such terrorist training.
American allies Britain and France are also involved in such illegal criminal activities while publicly claiming to be supporting democracy and the rule of law.

The British news agency Reuters and the Guardian newspaper have reported CIA training of terrorists for launching operations in Syria. More recently, the independent news website, WND, has carried similar reports.

The ISIS mutated from the Islamic State of Iraq, a group that emerged in 2005 in Iraq and was then led by the Jordanian Musab al-Zarqawi. When he was killed by the Americans in 2006, the group went into decline but its fortunes were revived with the US-Saudi-zionist conspiracy against the government of Bashar al-Asad in Syria.

The Americans had already released their prize possession, Abu Bakr al-Baghdadi (real name Ibrahim al-Badri al-Samarrai) in Iraq. Al-Baghdadi was in American custody from 2005 to 2009 and was held at Camp Bucca after the torture and rape scandals of Abu Ghraib were exposed.

It is widely believed that the Americans are using al-Baghdadi—and this is borne out by his activities in Syria since his release—to advance the American agenda in the region.

With funding from Saudi Arabia and Qatar, and logistical support from Turkey—all staunch US allies—the ISIS has emerged as the most ruthless terrorist group. The foreign sponsors have no favorites; whether it is al-Qaeda, Jabhat al-Nusra or ISIS, they are interested in results.

ISIS has been able to deliver, at least in Iraq, hence the showering of largesse upon its thuggish members. The American Senator Rand Paul also reiterated in his NBC interview that Saudi Arabia and Qatar were funding the terrorist group.

“We should prevent [ISIS] from exporting terror but I’m not so sure where the clear-cut American interest is,” Paul added.
Meanwhile, the Rahbar of the Islamic Revolution in Iran, Imam Seyyed Ali Khamenei said in a speech on June 22 that there should be no American involvement in Iraq and that the government, people and the ulama were quite capable of dealing with the seditionists.

Propaganda Republika dan Antaranews atas Krisis Irak.


LiputanIslam.com — Semakin hari, pemberitaan media-media besar tanah air semakin memprihatinkan. Sebut saja Detikcom, Vivanews, Tempo, dan kini,Republika Online dan Antaranews terkait krisis Irak, semuanya sepakat memberikat predikat “Sunni” kepada Daulah Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Republika menyatakan, “Gerilyawan Sunni yang dipimpin kelompok Negara Islam Irak dan Levant (ISIL) merebut tiga kota di Provinsi Anbar.” Dalam artikel tersebut, Republika mencantumkan bahwa sumber beritanya adalah Antaranews. Dan dari penelusuran pada artikel Antaranews, berita tersebut bersumber dari Reuters, media Barat.

Penyimpangan informasi ini sudah ditulis berkali-kali  di Liputan Islam, dengan ulasan mendalam yang diperkuat dengan data-data valid dan analisis dari para pakar, dan akan terus kami sampaikan, bahwa predikat “Sunni” untuk kelompok teroris ISIS adalah tidak benar.

Silahkan baca ulasan kami di link-link berikut ini:

  1. http://liputanislam.com/multimedia/seruan-ulama-sunni-di-basra-lawan-teroris-takfiri/
  2. http://liputanislam.com/tabayun/membongkar-propaganda-wall-street-journal/
  3. http://liputanislam.com/berita/internasional/timur-tengah/majelis-ulama-ahlussunnah-irak-keluarkan-fatwa-perang-terhadap-isis/
  4. http://liputanislam.com/berita/internasional/timur-tengah/pm-irak-jangan-gunakan-istilah-sunni-syiah/
  5. http://liputanislam.com/berita/internasional/timur-tengah/majelis-ulama-ahlussunnah-irak-keluarkan-fatwa-perang-terhadap-isis/
  6. http://liputanislam.com/tabayun/detik-com-malas-atau-sengaja/
  7. http://liputanislam.com/berita/internasional/timur-tengah/universitas-al-azhar-islam-berlepas-diri-dari-isis-seperti-serigala-berlepas-diri-dosa-anak-anak-yakub-as/
  8. http://liputanislam.com/tabayun/membongkar-propaganda-vivanews-atas-irak/
  9. http://liputanislam.com/analisis/dan-kini-muslim-sunni-pun-difitnah/
  10. http://liputanislam.com/berita/fokus/ini-dia-kiat-media-anti-irak-menyokong-isis/
  11. http://liputanislam.com/tabayun/propaganda-arrahmah-dan-tempo-atas-krisis-irak/
Zaid Hamid, seorang Muslim Sunni yang menjadi analis bidang  pertahanan dari Pakistan, mengungkapkan bahwa ISIS dan kelompok-kelompok teroris lainnya, tidak terkait dengan Sunni, tapi mereka adalah Khawarij pelaku  bid’ah yang melayani agenda plot  anti-Islam. Khawarij  adalah kelompok ultra-radikal yang menolak sejak awal baik Sunni dan Syiah.

Hamid berpendapat bahwa kelompok-kelompok ultra-radikal mendestabilisasi Pakistan, Suriah dan Irak memang telah melangkah di luar rambu-rambu Islam, dan memerangi Islam dan umat Islam demi Zionisme dan imperialisme.

Indonesia, dengan NU dan Muhammadiyah sebagai representasi dari “Sunni” atau Ahlussunah wal Jama’ah atau kaum yang mengikuti sunah-sunah dari Kanjeng Nabi, apakah akan menerima jika kelompok teroris ISIS yang menebarkan teror dan permusuhan, yang memenggal kepala dan memamerkannya di depan kamera, yang menjarah bank-bank pemerintah, yang menghancurkan makam-makam bersejarah – disebut sebagai “Sunni” ? Jika menerima, bukankah artinya adalah NU = ISIS, Muhammadiyah= ISIS? Baik NU maupun Muhammadiyah terkenal dengan sikapnya yang moderat, toleran, dan sangat menghargai perbedaan. Tidak layak disandingkan apalagi disama-samakan dengan teroris yang meneriakkan takbir sebelum membunuh.

Kevin Barret, seorang pengamat politik Timur Tengah bahkan tidak ragu-ragu untuk mengatakan, bahwa pelabelan “Sunni” kepada ISIS adalah fitnah terhadap kaum Ahlussunah wal Jama’ah yang terkenal moderat dan toleran.

Menurutnya, dalam kasus apapun, sesungguhnya Muslim Sunni di dunia sedang difitnah setiap kali media menyebut ISIS sebagai “Sunni.” Sudah saatnya Muslim Sunni menolak pembunuhan karakter atas keyakinan mereka. Mungkin, mereka  harus mengajukan gugatan terhadap media yang menyebarkan fitnah ini. (ba)

Jihadis Indonesia: Dukung ISIS atau Front al-Nusra? (1)


Islam Times- Jika jihadis Indonesia lebih memihak ISIS ketimbang al-Qaeda, lanjutnya, maka kondisi ini akan mempercepat globalisasi perpecahan dalam gerakan al-Qaeda, dengan semakin banyaknya afiliasi internasional yang berpihak pada ISIS dan karenanya melemahkan [posisi] al-Zawahiri.

Perpecahan terjadi di antara kelompok jihadis Suriah setelah gembong al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri, mengumumkan pada 3 Februari lalu bahwa al-Qaeda “tidak memiliki hubungan” dengan ISIS atau Negara Islam Irak dan Syam (lihat: Daily Times, 13 Februari). Pesan yang beredar di situs-situs jihadis, telah memaksa kelompok-kelompok jihadis Suriah memihak ISIS atau afiliasi al-Qaeda di Suriah, Front al-Nusra (fisyria.com, 13 Januari).

Demikian ungkap analis perang Suriah, Jacob Zenn. “Pengumuman itu juga mempengaruhi kelompok jihadis di luar Suriah, seperti yang ada di Indonesia,” katanya.

Jihadis Indonesia memanfaatkan Perang Sipil Suriah sebagai celah untuk membangun kembali hubungan jihad internasionalnya dengan al-Nusra, ISIS, dan organisasi “kemanusiaan” di Suriah yang terhubung dengan kelompok teroris. “Perpecahan yang diumumkan telah menghadapkan jihadis Indonesia dengan keputusan untuk mendukung al- Zawahiri atau ISIS,” papar Zenn.


Di medan perang Suriah, sebagian besar pemasok bantuan dan pemberontak asal Indonesia didukung al-Nusra pada awal Perang Sipil Suriah. “Namun kelompok jihad utama domestik Indonesia di pulau Sulawesi serta sebagian besar situs jihad berbahasa Indonesia kini terlihat lebih memihak ISIS,” ujar Zenn.

Jika jihadis Indonesia lebih memihak ISIS ketimbang al-Qaeda, lanjutnya, maka kondisi ini akan mempercepat globalisasi perpecahan dalam gerakan al-Qaeda, dengan semakin banyaknya afiliasi internasional yang berpihak pada ISIS dan karenanya melemahkan [posisi] al-Zawahiri.

Pada 2011, kelompok pemberontak Suriah Ahrar al-Sham memposting secara online pengumuman “martir” pertama militan Indonesia, Reza Fardi (alias Abu Muhammad), yang tewas dalam bentrokan dengan pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad di pinggiran Aleppo. “Sejak itu, para pejabat intelijen Indonesia memperkirakan bahwa 50 orang Indonesia telah bergabung dengan pemberontak di Suriah Jakarta Post, 8 Januari),” terang Zenn.


Puluhan warga Indonesia yang tergabung dalam Hilal al-Ahmar Society Indonesia (HASI), yang dianggap sebagai sayap kemanusiaan kelompok terroris Indonesia, Jemaah Islamiyah (JI), juga memberikan bantuan pada para pemberontak, dengan beberapa di antaranya kemungkinan ganti seragam dari pekerja kemanusiaan menjadi memberontak (Jakarta Globe, 30 Januari).

Jakarta khawatir, lanjut Zenn, bahwa warga Indonesia di Suriah dapat memperoleh keterampilan membuat bom dan pengalaman yang diperlukan untuk meniru gelombang serangan yang dilakukan JI di Indonesia antara 1999-2002. “Selama tiga tahun , JI mengebom Masjid Istiqlal di Jakarta, berusaha membunuh duta besar Filipina di Jakarta, dan mengebom gereja di Jakarta, Sumatera (pulau terbesar di Indonesia), Jawa (pulau berpenduduk terpadat), Pulau Lombok (sebelah timur Bali), Batam (jalur pengapalan di Selat Singapura), dan diakhiri pada 2002 dengan serangan bom JI di Pantai Kuta, Bali, yang menewaskan hampir 200 orang,” tuturnya.

“Saat pasukan elit kontra-terorisme Indonesia, Densus 88, mulai menangkap militan kunci JI pada 2005, bermula dari pembuat bom Bali, Dr. Azahari Husin, Indonesia mengamati bahwa sebagian besar jihadis JI adalah warga Indonesia atau Malaysia yang bertempur di Afghanistan pada 1980-an dan 1990-an, terang Zenn. Densus 88 dan intelijen negara lainnya menangkap atau membunuh hampir semua militan yang terlibat dalam pengeboman JI, serta menetralisasi ancaman JI di Indonesia dengan menangkap pendiri JI, Abu Bakar Baashir, pada 2011 (Dawn [Bangkok], 17 Agustus 2003; The Star [Petaling Jaya], 17 Desember 2012).

Elemen-elemen Indonesia di Suriah kini telah membangun jaringan dengan Front al-Nusra, ISIS, serta kelompok-kelompok jihadis Asia Tengah dan Kaukasia, yang memungkinkan mereka membawa pulang pengalaman Suriah ke Indonesia dan menghidupkan kembali JI di bawah payung Mujahidin Indonesia Timur ( MIT ), kelompok teroris paling aktif di Indonesia.

Menurut Zenn, itu menyerupai cara warga Indonesia yang bertempur di Afghanistan pada 1980-an dan 1990-an, memberi kontribusi terhadap JI pada 2000-an. (IT/MTT/rj)
_______
Jihadis Indonesia: Dukung ISIS atau Front al-Nusra? (2)
Islam Times- Ia juga mengatakan, sel [jihadis] itu telah merampok sebuah bank dekat Jakarta pada Desember 2013 untuk membiayai perjalanan mereka ke Suriah, termasuk membeli paspor palsu sekita 1000 dolar AS. Ia juga mengaku bahwa sel itu mengebom sebuah kuil Buddha di Jakarta pada Agustus 2013.

Satu kesamaan antara militan Indonesia di Suriah seperti Reza Fardi dengan kelompok-kelompok seperti HASI dan MIT adalah, mereka semua menerima ilham ideologis dan dukungan operasional dari Abu Bakar Baashir. Kendati mendekam di penjara Indonesia karena terbukti mendanai kamp pelatihan al-Qaeda di Aceh, lanjutnya, Baashir (76 tahun) diperbolehkan merilis pernyataan dan menerbitkan buku.

“Versi kedua dari buku Tadzkirah (Peringatan dan Saran), yang diterbitkan Baashir dari balik penjara pada 2013, menyebut pemerintah Indonesia ‘murtad’ karena bekerjasama dengan ‘kafir’ Amerika Serikat,” papar Zenn. Setelah dimulainya Perang Sipil Suriah, Baashir menulis bahwa Suriah analog dengan Afghanistan dua dekade silam, seraya mengatakan bahwa pengalaman tempur di Suriah dapat menyediakan agi warga Indonesia, “universitas pendidikan jihad” (The Diplomat [Tokyo], 1 Februari 1).

Baashir kemungkinan telah mempengaruhi enam militan yang tewas dalam baku tembak bulan Januari lalu di Jakarta, yang berencana meledakkan kuil Buddha dan Kedutaan Burma setelah Bashir menyerukan Indonesia untuk melawan Burma karena perlakuannya terhadap Muslim Rohingya (Jakarta Globe, 14 Januari). “Seorang jihadis yang berhasil ditangkap mengatakan pada pasukan keamanan bahwa sel itu berencana bertemu dengan sesama militan di Suriah setelah melakukan serangannya di kedutaan,” kutip Zenn.

Ia juga mengatakan, sel [jihadis] itu telah merampok sebuah bank dekat Jakarta pada Desember 2013 untuk membiayai perjalanan mereka ke Suriah, termasuk membeli paspor palsu sekita 1000 dolar AS. Ia juga mengaku bahwa sel itu mengebom sebuah kuil Buddha di Jakarta pada Agustus 2013.

“Bukti dari baku tembak menunjukkan bahwa salah satu militan sel itu telah dilatih merakit bom bersama MIT di Poso, Sulawesi,” papar Zenn. Pemimpin MIT, Santoso, adalah mantan pemimpin Jamaat Ansarul Tauhid (JAT) sayap Poso, sebuah cabang JI yang didirikan Baashir pada 2000-an (Tempo.com [Jakarta], 1 Januari).

HASI, seperti al-Mukmin yang ikut didirikan Baashir dan Abdullah Sungkar, telah menyelenggarakan lebih dari 50 kampanye penggalangan dana publik di 20 provinsi di Indonesia untuk mendukung pemberontak Suriah. “Organisasi takfiri itu juga menjalankan berbagai situs untuk menerima donasi online,” imbuh Zenn.
Kurangnya tranparansi HASI tentang ke mana dana itu mengalir setelah dikumpulkan dan pemanfaatan anggota JI yang dibebaskan dari penjara sebagai juru khutbah dalam penggalangan dana, menyulut kekhawatiran seputar apakah dana tersebut benar-benar digunakan untuk menghidupkan kembali JI (Jihadsyam.blogspot.com, 26 Agustus, 2013).

“Acara penggalangan dana juga mempromosikan intoleransi JI terhadap Syiah (Presiden Assad adalah Alawit, yang diklaim secara keliru sebagai cabang Syiah),” kata Zenn.
Pengalangan dana di Jawa Tengah pada Juli 2013, menggunakan slogan “Pengkhianatan Syiah” untuk menarik minat peserta, sementara di Sukoharjo, pada Mei 2013, yang dihadiri lebih dari 1500 orang, memperingatkan tentang munculnya “Cengkraman Syiah” di Indonesia (VOA-Islam.com, 2 September 2013 dan arrahmah.com, 23 Mei 2013).

HASI dan [kelompok] pemberi bantuan asal Malaysia lainnya di Suriah juga menyaksikan pengiriman bantuan mereka dicegat, dijarah, dan bahkan ditembak ISIS, setelah pekerja bantuan tersebut menolak berbaiat (janji setia) pada pemimpin ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi. “Kondisi ini cenderung mempengaruhi warga Indonesia [takfiri] itu untuk bekerja dengan Front al-Nusra, sekaligus menjelaskan, mengapa pengiriman HASI lebih sering ke benteng Front al-Nusra di barat laut Suriah ketimbang ke benteng ISIS dekat perbatasan Suriah-Irak,” ujar Zenn.

Namun begitu, sebagian besar situs jihad berbahasa Indonesia, seperti almustaqbal.net, mengumumkan “dukungan dan solidaritasnya” pada ISIS. Selain itu, situs populer albusyro.com memblokir keanggotaan siapapun yang memposting pesan yang menentang ISIS. Seorang mantan anggota JI yang kini mendekam di penjara atas perannya dalam pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada 2004, Rois, mengkritik situs berpengaruh arrahmah.com karena hanya memposting pernyataan Front al-Nusra (tanpa ISIS).

Santoso dan komandan bawahannya di MIT yang dilatih di kamp yang disponsori Baashir di Aceh, mungkin juga lebih cenderung pada ISIS. Santoso, misalnya, dihormati mantan pemimpin al-Qaeda di Irak, Abu Mus’ab al-Zarqawi, dengan memberinya alias “Abu Mus’ab al-Zarqawi al-Indonesi” (arrahmah.com, 15 Oktober 2012).

Video terbaru Santoso, yang memuji pengeboman bunuh diri di sebuah markas polisi di Poso, Sulawesi, ditayangkan situs pro-ISIS (al-mustaqbal.net, 31 Oktober 2013).

“Selain itu, tujuan ISIS untuk menyebarkan syariat di seluruh wilayah Islam mungkin lebih cenderung menarik Santoso dan MIT ketimbang objektif Front al-Nusra yang hanya menggulingkan Presiden Assad dan fokus pada pembentukan negara Islam di Suriah sebelum mengekspor jihad,” ujar Zenn.

Jihadis takfiri Indonesia di Suriah, pelbagai organisasi bantuan “kemanusiaan” seperti HASI dan kelompok-kelompok jihad seperti MIT merupakan bagian dari jaringan yang mengalami kebangkitan akibat Perang Sipil Suriah. “Fondasi utama kebangkitan ini adalah kepemimpinan ideologis berkelanjutan Abu Bakar Baashir, berkembangnya gerakan jihad Santoso di Sulawesi (yang terhubung dengan sel-selnya di Jakarta), dan kesempatan Suriah untuk memungkinkan militan Indonesia dan pekerja bantuan itu untuk berhubungan kembali dengan komunitas jihad internasional,” papar Zenn.

Saat “perang sipil dalam perang sipil” meningkat di Suriah antara ISIS melawan afiliasi yang diakui al-Zawahiri, Front al-Nusra, jihadis Indonesia, seperti militan lain di dalam dan di luar Suriah, mungkin dipaksa untuk berpihak dalam sengketa itu. “Tampaknya MIT dan jihadis Indonesia yang aktif secara online lebih selaras dengan ideologi dan kepemimpinan ISIS ketinbang dengan al-Zawahiri. Namun, para aktor yang konon tanpa kekerasan, seperti kelompok “kemanusiaan” Indonesia, barangkali lebih cenderung pada Front al-Nusra ketimbang ISIS,” papar Zenn.

Dukungan atau afiliasi yang diekspresikan MIT terhadap ISIS kiranya menunjukkan bahwa MIT kemungkinan mulai melancarkan serangan yang menarget warga asing, Kristen, dan Syiah di Indonesia. “Sejauh ini, kebanyakan serangan MIT menyasar aparat keamanan Indonesia,” kata Zenn.

Kemungkinan pula, Abu Bakar Baashir mengeluarkan pernyataan dari sel penjaranya, yang menyerukan para jihadis takfiri Indonesia untuk mendukung salah satu dari kedua belah pihak takfiri yang berkonflik di Suriah. Dalam pernyataan terbaru pada 1 April 2014, Baashir mengatakan bahwa dirinya “menerima berita dari Internet” tentang “pelbagai hambatan” yang ditempatkan “para tiran” di antara “saudara-saudara Mujahidin di Syam” dan bahwa al-Zawahiri tidak akan “melupakan” mereka (Shamikh1.info, Februari 2014).

Menurut Zenn, hal ini menunjukkan bahwa Baashir akan tetap setia pada al-Qaeda seperti ketika dirinya mendirikan JI pada 1990-an dan mengawasi kamp pelatihan al-Qaeda di Aceh pada 2000-an.
Sebuah pernyataan Baashir yang lebih menentukan dukungan pada Front al-Nusra dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jihadis takfiri asing Indonesia di Suriah serta MIT di Sulawesi. “Namun, itu juga bisa menyulut perpecahan antara loyalis Bashir dan loyalis Santoso jika Santoso menolak saran Bashir, terus mengeluarkan pernyataan pro-ISIS, dan menghidupkan visi kekhalifahan Islam pan-regional di Asia Tenggara seperti kekhalifahan yang ‘diperjuangkan’ ISIS di Irak dan Suriah.” (IT/MTT/rj)

Terkait Berita: