Kita disetting meyakini kejahatan yang terorganisir, mendukungnya dan memberi perlindungan politik bagi organisasi teroris.
“Jika Amerika dan sekutunya berani bertanggung jawab untuk diadili
atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukannya, begitu pula
presiden-juga orang-orang di balik layar yang mendanai, melatih dan
bekerjasama dengan ISIS dan sejenisnya; termasuk Turki, Qatar dan
Ikhwanul Muslimin,“ tulis pengamat Amerika, James Lewis pada 26 Februari
2015.
Lewis menambahkan: "...
Persaudaraan pemerintahan Obama degan Ikhwanul Muslimin, dengan semua
penetrasi ke dalam pemerintah, termasuk Departemen Pertahanan, telah
berdampak buruk terhadap kebijakan kami, khususnya yang berkaitan dengan
Timur Tengah perang global melawan terorisme. Staf kepala gabungan tahu
bahwa apa yang kita tengah lakukan kepada Irak dan Suriah untuk
mematahkan ISIS merupakan tindakan yang salah.
Berdasarkan
persetujuan mereka terhadap kebijakan perang setengah hati pemerintah,
mereka tidak bisa menghindar dari tanggung jawab atas kejahatan genosida
Negara Islam terhadap pada penduduk Suriah Kobani, Kurdi dan minoritas
lainnya. "(Cetak miring oleh Lewis).
Tentara
teroris Negara Islam (juga disebut ISIS dan ISIL) terdiri dari orang
asing, terutama umat Islam. Tapi baik jumlah non-Muslim dengan
pengalaman militer juga mengisi jajaran yang lebih tinggi.
Banyak
orang tidak tahu atau lupa (itu sudah disimpan sangat tenang) bahwa
tentara IS diciptakan empat tahun lalu oleh AS untuk menggulingkan rezim
diktator Suriah Bashir Al-Assad.
Bahkan Turki yang dipimpin oleh
masyarakat muslim terlibat dalam ISIS. Sebagai anggota NATO, Turki
telah lama menyediakan perekrutan, intel, pelatihan dan persenjataan
(termasuk aliran harian amunisi dan suku cadang) atas nama kepentingan
AS. Irak, Lebanon dan Yordania, yang juga berbatasan dengan Suriah,
tidak menawarkan layanan nyaman ini kepada AS.
Tak berhenti di
situ Qatar, negara Arab juga sangat bersedia untuk memberikan bantuan
pembiayaan. Qatar memberikan "layanan" yang lain berupa – propaganda.
Qatar
meyakinkan umat Islam bahwa pertempuran di Suriah adalah "Jihad"
terhadap orang-orang kafir, maksudnya seluruh Suriah. Akibatnya, lebih
dari 10 juta telah melarikan diri dari negara itu selama empat tahun
terakhir, banyak warga lainnya mengungsi.
Selain itu guna
melancarkan tujuan, pemimpin spiritual dari Ikhwanul Muslimin, Sheikh
Youssef Qaradawi mengeluarkan fatwa melalui TV Qatar Al-Jazeera. Dirinya
mendesak umat Islam di manapun berada untuk bergabung dengan Negara
Islam.
Perekrutan mulai dari utara Kanada, selatan Malaysia,
hingga ke Turki. Di sana, mereka disambut oleh intelijen Turki untuk
menjalani pelatihan dan indoktrinasi kemudian diserahkan kepada petugas
Turki di lapangan.
Jadi ini kampanye teror aneh di balik layar
Amerika terhadap Suriah. Pembiayaan dari Qatar, peralatan Amerika dan
pelatihan Turki, itu seperti pernikahan di surga.
Tapi kemudian masalah muncul dalam skema pintar ini.
IS
militan mulai memenggal kepala orang Barat dan menggunakan jangkauan
universal media sosial untuk memastikan bahwa seluruh dunia bisa melihat
pembunuhan mengerikan.
Pada saat itu AS menegaskan kepada
masyarakat internasional bahwa itu bertentangan, namun tidak pernah
mencegah Turki dan Qatar. Mereka terus merekrut, melatih, mempersenjatai
dan mendanai pejuang IS.
Pada tanggal 6 Maret Deputi Inspektur
Jenderal Polisi Malaysia mengatakan dalam New Straits Times, "Dengan
bantuan lembaga penegak internasional, kami telah mengidentifikasi lebih
dari 60 warga Malaysia yang telah bergabung IS militan di Suriah." Dia
menambahkan bahwa setiap orang Malaysia yang terlibat akan ditangkap dan
diselidiki kembali.
Empat tahun sudah AS mengorganisir,
merekrut, melatih, mempersenjatai, membiayai, memperalat agama dan
politik mengkampanyekan teror ISIS. Kini AS masih memainkan peran
sebagai penegak keadilan di panggung internasional.
Pemerintahan
Obama tampak benar-benar jujur. Bahkan pada 18-19 Februari Gedung
Putih menjadi tuan rumah Summit on Countering Violence and Extremism,
sebuah pertemuan mengkonter aksi terorisme di dunia.
-Penulis: Dr. Mohamed Elmasry, seorang Mesir-Canada, Profesor teknik di Universitas Waterloo. Kontak dengan beliau bisa melalui elmasry@thecanadiancharger.com(disarikan dari Global Research.org)
Kairo –
Menteri Wakaf Mesir Syekh Mohamed Mukhtar Gomaa menilai kebergabungan
banyak pemuda Qatar dengan kelompok teroris Negara Islam Irak dan Suriah
(ISIS) sebagai hasil yang alami dari tindakan pemerintah Qatar
melindungi para teroris dan pimpinan organisasi transnasional Ikhwanul
Muslimin.
Hal ini dikemukakan Gomaa saat mengomentari pernyataan ulama Qatar
Syek Yusuf Qaradawi yang mengaku prihatin atas keterlibatan para pemuda
Qatar dan beberapa negara lain dalam ISIS.
Qaradawi yang berasal dari Mesir dan dikenal sebagai “bapak
spiritual” kelompok Ikhwanul Muslimin dalam wawancara dengan TV
al-Jazeera yang berbasis di Qatar mengatakan, “Ada para pemuda dari
Qatar dan sebagian negara non-Arab yang bergabung dengan kelompok ISIS…
Mereka mengafirkan orang-orang Islam lainnya dan membunuh ahli dzimmah
yang tidak boleh dibunuh.”
Menanggapi pernyataan Qaradawi ini, al-Syekh Mohamed Mukhtar Gomaa,
sebagaimana dilansir al-Sharq al-Awsat, Akhbar Masr, dan Almesryoon
Jumat (29/8/2013), mengatakan, “Fenomena ini adalah hasil alami tindakan
mengayomi para teroris dan para pemimpin organisasi transnasional
Ikhwanul Muslimin… Padahal teroris tetaplah teroris… Sudah berulang kali
kami menegaskan bahwa teroris pasti akan memangsa pendukung dan
pengayomnya sendiri, entah hari ini ataupun besok.”
Dia menambahkan, “Ini bukan kali terakhir. Setiap kali kawanan
teroris menguat di suatu negara maka saat itu pula mereka akan
memusnahkan apa dan siapapun yang di sana… Seandainya masih ada kebaikan
pada para teroris, tidak mungkin mereka mengingkari negeri mereka
sendiri dan mendatangkan kerusakan di sana.”
Pemerintah Mesir akhir tahun lalu mengumumkan kelompok Ikhwanul
Muslimin telah bermutasi menjadi organisasi teroris sejak peristiwa
kudeta Presiden Mohamed Morsi oleh militer pada Juli 2013.
Yusuf
al-Qardhawi ucap terima kasih kepada Amerika kerana membekalkan senjata
kepada pemberontak Syria. Ketua Kesatuan Ulama ini turut berkeyakinan
bahawa kemenangan pemberontak tidak akan menjadi ancaman kepada Israel.
Agensi Berita Ahlul Bait (ABNA) - Beberapa laman sosial "Facebook"
dan "Twitter" didapati menyebarkan video lama ketua Kesatuan Ulama
Islam, Yusuf al-Qardhawi yang mengucapkan terima kasih kepada Amerika
Syarikat atas pendirian mereka terhadap regim Syria.
Laman-laman tersebut turut memfokuskan keyakinan Yusuf al-Qardhawi
bahawa kemenangan Amerika dan pengganas di Syria tidak akan menjadi
ancaman kepada Israel.
Yusuf al-Qardhawi dalam khutbah Jumaat beberapa bulan lalu di masjid
Jami' Umar bin al-Khattab, ibukota Qatar, Doha berkata, "Kami berterima
kasih kepada Amerika Syarikat kerana menyediakan senjata kepada
pejuang-pejuang dan kami minta lebih banyak lagi."
Al-Qardhawi menimbulkan tanda tanya, "Amerika takut dengan Israel, dan
khuatir sekiranya pemberontak menang di Syria mereka akan pergi ke
Israel?... dari mana datangnya kata-kata ini?"
"Mengapa Amerika tidak bertindak seperti yang dilakukannya terhadap
Libya? Amerika hendaklah membela rakyat Syria, sekiranya dia berhenti
maka kejantanannya pun turut berhenti.
Kami mengucapkan terima kasih untuk semua hal, dan kami menunggu
tambahan beberapa senjata "bukan perang" untuk rakyat Syria, Amerika
takut kemenangan rakyat di Syria dan mereka akan pergi ke Israel, dari
mana kamu bawa kata-kata ini?
Kamu tidak lakukan seperti yang dilakukan
terhadap Libya, kami mahu Amerika berhenti setelah kejantanannya turut
berhenti, berhentilah kerana Allah."
Selebaran pesan terakhir Nabi Muhammad beredar dan membakar rakyat Banten untuk memberontak.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI
DALAM sejarah
Islam, yang dianggap sebagai pesan terakhir Nabi Muhammad Saw adalah
khotbah beliau tatkala Haji Wada atau haji penghabisan pada 9 Zulhijah
10 Hijriyah atau 7 Maret 632. Namun kemudian beredar surat peringatan
terakhir Nabi dari Mekah di Nusantara.
“Sebuah terjemahan peringatan semacam itu (dalam bahasa Sunda) pernah jatuh di tangan saya,” kata Snouck Hurgronje dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje I. “Dikatakan bahwa tulisan itu diumumkan oleh Raja di Mekah atas perintah Nabi pada permulaan abad ke-13 Hijriyah.”
Surat peringatan semacam itu, baik dalam
bahasa Arab maupun bahasa Sunda, beredar luas dan umumnya berisi
tentang kiamat sudah dekat.
Sebuah surat berisi seorang bernama
Syekh Abdallah bermimpi bertemu Nabi yang berwasiat kepadanya. Isinya:
“Hai Syekh Abdallah... ini sesungguhnya adalah peringatan terakhir... Beritahukan
mereka, bahwa hari kiamat sudah dekat, gerbang permohonan pengampunan
segera ditutup. Hari kiamat sudah memberikan tanda di Ka’bah dan
malaikat Jibril telah memberi tahu kepadaku, bahwa dia akan turun
sepuluh kali di dunia untuk mencabut kebenaran, cinta dari hati para
bersaudara, karunia, kesabaran, sifat lemah lembut, iman dari hati para
hartawan, ilmu pengetahuan, dan yang kesepuluh penghormatan terhadap
Quran dari hati kaum yang beriman.”
Selain memilikinya, Hurgronje membaca di suratkabar Nieuws Rotterdamsche Courant (4 Juni 1884) dan Nieuws van den Dag (5 Juni 1884) yang mengutip Het Algemeen Dagblad mengenai
isi surat itu. Suratkabar tersebut juga mengabarkan bahwa umat Muslim
Priangan dilanda ketakutan karena gambaran mimpi itu diceritakan setiap
minggu di masjid-masjid. Di surat kabar Nieuws van den Dag (9 Juni 1884), yang dibaca Hurgronje, ditunjukkan panjang-lebar akibat buruk dari kegelisahan-kegelisahan itu.
Surat peringatan lain terbit dalam dua
versi: ditandatangani Raja (Syarif) Mekah Mohamad Ja’far ibn ‘Abd
al-Khaliq dan Abdus Sarip. “Raja Arab (sic), yang katanya telah
menerima wahyu dari Nabi, menyebarluaskan propaganda yang berisi
ramalan eskatologis,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.
Menurut Sartono, surat itu memuat
gambaran mesianik klasik tentang malapetaka dan bencana-bencana
mengerikan yang akan menimpa manusia menjelang “akhir zaman”. Surat itu
berisi pesan yang mengandung makna eskatologis, seruan agar manusia
menjauhkan diri dari perbuatan menghinakan Tuhan, berzina, bersikap
sombong, hidup mewah, dan makan riba. Ia juga berseru agar manusia
menyucikan kehidupan rohani mereka dengan jalan bertobat dan menjalankan
kewajiban agama.
Pada akhir 1883, polisi Banten menyita
sebuah surat selebaran dari seorang bernama Misru. “Dia mendapatkannya
dari saudaranya, Asta, yang membeli dari Mas Hamim dari Pakojan (Pinang,
Kota Tangerang). Katanya, surat itu ditulis oleh Syarif Mekah pada
1880, meskipun terdapat petunjuk-petunjuk yang kuat bahwa ia ditulis di
Jawa,” tulis Sartono.
Hurgronje bahkan memastikan, dari
susunan dan beberapa bagian isinya, tulisan itu bukan berasal dari tanah
Arab atau setidak-tidaknya secara khusus dan sengaja disesuaikan dengan
pengetahuan umat Muslim di Hindia Belanda; mereka hendak dibujuk,
digugah, dan dikobarkan semangat pada agama.
Yang menarik –mungkin dalam surat
peringatan yang lain– secara khusus disebutkan kewajiban mengirimkan
sumbangan ke Mekah dan menunaikan ibadah haji. Anjuran agar menunaikan
ibadah haji terkait dengan tanda-tanda bahwa “apabila selama waktu tujuh
tahun tidak ada orang yang beribadah haji, maka sewaktu bangun tidur
esok hari orang akan melihat Ka’bah sudah hilang, sehingga orang tidak
melihat bekasnya lagi,” tulis Hurgronje.
Lebih lanjut Hurgronje menerangkan,
surat peringatan itu mengingatkan pembacanya pada berbagai bencana yang
tak lama berselang dialami umat manusia seperti wabah penyakit, banjir,
gempa bumi; selanjutnya pada isyarat-isyarat khusus yang telah
menampakkan diri, misalnya Batu Hitam (Hajar Aswad) di Ka’bah
lambat-laun akan menghilang atau pintu Ka’bah tak dapat dibuka lagi.
Berdasarkan itu semua diramalkan Hari Kiamat sudah dekat dan dinasihati
kepada kaum yang percaya untuk mempersenjatai diri dengan ketaatan pada
agama dan perbuatan-perbuatan baik.
“Dianjurkan untuk menyebarluaskan surat
peringatan itu, bahkan jika tidak percaya dengan peringatan itu bisa
dianggap sebagai perbuatan kafir,” tulis Hurgronje.
Yang jelas, antara tahun 1880 sampai
1885 sejumlah besar surat selebaran keagamaan itu beredar di Aceh,
Lampung, Banten, Batavia, dan Priangan. Karena tarekat
Qadiriyah-Naqsyabandiyah, sebagai organisasi gerakan pemberontakan,
berkembang di bawah tanah, penyebarluasan surat itu tak mengkhawatirkan
para pejabat Belanda.
“Menurut pendapat mereka surat itu
bersifat komersial karena menyangkut usaha mencari calon jemaah haji,”
tulis Sartono. “Belakangan mereka memperkirakan surat itu akan
menimbulkan keresahan di kalangan rakyat, mengingat baru saja rakyat
dilanda gelombang kepanikan setelah terjadi wabah penyakit dan bencana
alam antara tahun 1879 sampai 1883.”
Wabah dan bencana dianggap sebagai
teguran dari Tuhan serta pertanda untuk segera melancarkan pemberontakan
terhadap penguasa kafir Belanda dan menjadikan bumi Banten sebagai
wilayah Islam (Dar al-Islam). Surat ederan dari Mekah itu, yang
isinya dikenal sebagai “Peringatan terakhir dari Nabi”, menjadi
pembakar semangat rakyat Banten untuk memberontak. Surat peringatan
tersebut dijadikan indoktrinasi pemberontakan yang dilakukan dalam
pertemuan-pertemuan di masjid, mushola, atau tarekat. Revolusi sosial,
yang disebut Sartono sebagai pemberontakan petani Banten, meletus pada 9
Juni 1888.
Surat tentang peringatan terakhir Nabi masih beredar hingga kini.Bahkan
menyebar di dunia maya, melalui situs, email, atau milis. Isi wasiatnya
sama: kiamat sudah dekat. Bedanya, kali ini penerima wasiatnya adalah
Syekh Ahmad, juru kunci makam Nabi.
Banyak orang mempertanyakan
kebenarannya. Bagi ulama besar Mesir Syekh Yusuf al-Qaradhawi,
kemunculan surat wasiat ini bukan saja baru-baru ini, tetapi dia telah
melihatnya sejak puluhan tahun lalu. Syekh Yusuf lalu mencari informasi
tentang Syekh Ahmad dan aktivitasnya kepada orang-orang di Madinah dan
Hijaz. Ternyata tak seorang pun pernah melihat dan mendengar berita
mengenai Syekh Ahmad. Syekh Yusuf lalu memberikan fatwa dalam bukunya Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah pada 2001 –terbit dalam bahasa Indonesia menjadi Fatwa-Fatwa Kontemporer. Isinya: segala isi pesan terakhir Nabi itu tak ada arti dan nilainya sama sekali dalam pandangan agama.
Majelis Fatwa Kebangsaan Malaysia pada
1978 mengeluarkan fatwa terhadap selebaran itu: “Barang siapa dengan
sengaja menyebarkan risalah ini adalah melakukan syirik dan tidak
mustahil jatuh murtad, melainkan dia bertaubat dan menarik balik
perbuatannya itu terhadap siapa pun yang telah dikirimkan risalah ini.”
Menurut Majelis, antara tahun 1881 sampai 1979, tak ada penjaga makam
Nabi bernama Syekh Ahmad.
Situs Eramuslim pada tanggal 10 Januari 2007 mengutip pernyataan Syaikh
Yusuf Qardhawi: “Apa yang kalian ketahui tentang peristiwa yang menimpa
saudara-saudara Muslim kita di Irak? Di sana ratusan ribu kaum Muslim
Sunni dibunuh, sebagaimana saya mendengarkan langsung dari utusan Irak
yang bertemu saya beberapa waktu lalu. Semua saluran kita untuk membantu
kaum Muslim Sunni di Irak diputus sehingga kita tidak bisa membantu
menolong mereka dari ancaman kematian.” Menurut Qaradhawi, “andai saja
pemimpin Syiah Ali Khamenei mau mengatakan kepada para pengikutnya,
“Hentikan pembunuhan atas Muslim Sunni…” niscaya pembunuhan itu akan
selesai.” Pernyataan tersebut diungkapkan Syaikh Qardhawi dalam
pertemuannya dengan berbagai tokoh Islam di rumah dinas Metua MPR Dr.
Hidayat Nurwahid pada 9 Januari 2007.
Menurut catatan Ahmad D.
Bashori dalam artikelnya yang dimuat Republika (17 Januari 2007),
pernyataan Syaikh Qardhawi tersebut bukan yang pertama kalinya. Dalam
berbagai kesempatan Ulama Qatar tersebut juga pernah menyampaikan hal
yang sama saat mengisi program rutin Aljazirah pada acara 'Syariah dan
Kehidupan' Ahad, 7 Januari 2007 lalu dan saat khutbah Jum'at (5 Januari
2007) di Masjid Umar bin Khattab, Doha. Apa yang dikemukakan Syaikh
Qardhawi berangkat dari adanya fakta (atau berita) yang sampai kepada
beliau bahwa di Irak telah terjadi sect-cleansing atau pemusnahan
(pengikut) madzhab yaitu pembunuhan besar-besaran atas kaum Sunni Irak
yang dilakukan oleh kaum Syi’ah.
Kritik atas “fakta” sect-cleansing.
Ada
beberapa hal yang perlu dikritisi dari pernyataan Syaikh Qardhawi.
Pertama, pernyataannya mengesankan bahwa kaum Muslim Sunni adalah
satu-satunya korban kekerasan yang terjadi di Irak. Padahal faktanya
korban kekerasan di Irak yang menurut laporan resmi Pemerintah Irak
-sebagaimana dilaporkan BBC Indonesia- jumlahnya mencapai lebih dari 12
ribu orang itu tidak hanya terdiri dari kaum Sunni tetapi juga kaum
Syi’ah. Kementerian Kesehatan Irak memperkirakan jumlah korban sipil
yang tewas hingga November 2006 lebih dari 100.000 orang. Sementara
jurnal medis The Lancet pada 11 Oktober 2006 membuat laporan yang
menyebutkan jumlah kematian penduduk sipil Irak pascainvasi AS tahun
2003 mencapai lebih dari 650.000 orang. Meski tidak ada kesepakatan
jumlah korban sipil yang tewas di Irak, tetapi semua pihak sepakat bahwa
para korban itu adalah rakyat Irak yang terdiri dari Syi’ah dan Sunni,
Arab dan Kurdi.
Masih segar dalam ingatan kita –sekedar untuk
menyebut beberapa contoh- bagaimana ratusan nyawa kaum Syi’ah melayang
pada hari peringatan Asyura di Karbala dan Baghdad pada bulan Maret
2004. Teror yang sama juga terjadi pada Januari 2006 yang menelan korban
tidak kurang dari 350 orang kaum Syi’ah. Juga teror yang merenggut
hampir 1000 peziarah Syi’ah di Kazhimain. Belum lagi peristiwa pemboman
yang meluluh-lantakkan masjid kubah emas tempat disemayamkannya dua dari
duabelas imam suci kaum Syi’ah, dan peristiwa-peristiwa pembunuhan yang
hampir setiap hari terjadi semakin memperpanjang deretan kekerasan dan
pembunuhan yang menimpa kaum Syi’ah Irak. Bahkan Jalal Talabani,
presiden Irak yang juga seorang Sunni, dalam wawancaranya dengan koran
Al-Hayat terbitan London mengemukakan fakta bahwa dalam kurun waktu
antara tanggal 1 Januari 2006 hingga 20 November 2006, jumlah warga Irak
yang tewas dalam berbagai insiden mencapai 20.101 orang. Dan dari
jumlah itu, sebanyak 15.522 orang atau 77 % adalah warga Syiah.
Kedua,
secara tidak langsung Syaikh Qardhawi telah membenarkan tuduhan bahwa
kaum Syi’ahlah yang membunuh saudaranya kaum Sunni. Hal ini dapat secara
mudah terbaca dari kata-kata Beliau : “....andai saja pemimpin Syi’ah
Ali Khamenei mau mengatakan kepada para pengikutnya, ‘Hentikan
pembunuhan atas Muslim Sunni…’ niscaya pembunuhan itu akan selesai”.
Atau seperti yang ditulis Ahmad D. Bashori: “...Bila tidak berbuat
sesuatu terhadap apa yang terjadi para ayatullah dan pemimpin Iran
secara umum berarti mengamini tuduhan banyak pihak selama ini bahwa
mereka punya andil mendanai malapetaka kemanusiaan yang menimpa kaum
Sunni Irak sekarang ini.” Sebenarnya sejak kerusuhan melanda Irak pasca
invasi AS pada Maret 2003 hingga kini tidak jelas siapa sebenarnya
pelaku pembunuhan dan teror di Irak. Adalah media massa Barat dan Arab
yang kerap menuding milisi Syi’ah seperti Tentara Badar dan Tentara
Al-Mahdi berada dibalik teror terhadap kaum Sunni. Sementara pemerintah
Irak dan Iran menyebut kelompok ekstrim takfiri, loyalis Partai Baath,
dan agen-agen Asing (baca: CIA dan Mossad) yang kesemuanya tidak terkait
dengan satu madzhab apapun sebagai pelaku atau dalang teror terhadap
warga Irak tersebut. (Sebagai catatan, jama’ah takfiri adalah jama’ah
yang mudah mengkafirkan orang di luar jama’ahnya dan kelompok ini sama
sekali tidak identik dengan Ahlussunnah atau Syi’ah). Jadi, apa yang
disebut sebagai sect cleansing terhadap kaum Sunni di Irak yang
dilakukan kaum Syi’ah sepenuhnya tidak faktual.
Sikap Pemimpin Syi’ah.
Dari
pernyataan Syaikh Yusuf Qardhawi terkesan bahwa pemimin Syi’ah
Ayatullah Ali Khamene’i berdiam diri atas terjadinya berbagai pembunuhan
terhadap kaum Sunni di Irak. Padahal dalam berbagai kesempatan pemimpin
tertinggi Iran itu berulang kali mengutuk berbagai peristiwa teror yang
menyengsarakan rakyat Irak dengan tanpa membeda-bedakan latar belakang
madzhabnya. Harapan Syaikh Qardhawi agar Ayatullah Khamene’i meminta
kaum Syi’ah untuk menghentikan pembunuhan terhadap kaum Sunni sangat
tidak masuk akal, karena dalam pandangan Ali Khamene’i pelaku pembunuhan
terhadap kaum Sunni bukanlah kaum Syi’ah seperti halnya pelaku
pembunuhan terhadap kaum Syi’ah bukanlah kaum Sunni.
“Kaum
agresor yang kejam dan bengis itu sekali lagi membuktikan bahwa mereka
tidak menghargai nyawa dan kehormatan tempat suci. Mereka hanya
mengandalkan taktik menebar kepanikan dan pembantaian.” Demikian
pernyataan Ali Khamene’i dalam mengutuk peristiwa pemboman Masjid Syi’ah
di Samarra pada 22 Februari 2006 yang lalu yang telah menewaskan lebih
dari 50 orang serta melukai puluhan lainnya. Situs IRIB Melayu
melaporkan bahwa Ali Khamene’i juga mengimbau warga Irak untuk
meningkatkan kewaspadaan mereka terhadap niat musuh untuk memecah
barisan persatuan umat Islam. Selain itu, Rahbar juga mengeluarkan fatwa
haram atas segala bentuk serangan terhadap masjid-masjid milik kaum
Sunni menyusul serangan atas 168 mesjid Sunni yang oleh media barat
disebut-sebut sebagai balas dendan kaum Syi’ah atas pemboman mesjid
Kubah Emas.
Sebelumnya, dalam pernyataannya yang dirilis pada
Kamis 18 November 2004 Wali faqih Iran ini mengutuk keras pembantaian
kaum Sunni Fallujah oleh tentara agresor AS. Beliau mengatakan:
“...tragedi yang menimpa Irak, termasuk dalam bentuk pembunuhan terhadap
ribuan anak kecil, kaum perempuan, dan warga sipil lainnya, serta
pengeksekusian terhadap para korban luka, pembumi-hangusan rumah-rumah,
masjid, dan tempat-tempat peribadatan lainnya, dan penistaan terhadap
kehormatan rumah tangga, sekarang ini telah sampai pada taraf yang
sangat merisaukan setiap manusia Muslim dan orang yang memiliki rasa
kemanusiaan.”
Di tengah-tengah isu sektarian Sunni-Syi’ah yang
makin dihembuskan oleh pihak penjajah yang ingin memecah belah umat
Islam, ada baiknya kita simak pesan haji Ayatullah Ali Kahemene’i
berkenaan dengan persatuan umat seperti yang dimuat Situs Islam
Alternatif:
“...Hari ini, semua tindakan yang dapat memicu
perselisihan di dunia Islam adalah dosa yang akan abadi dalam sejarah.
Mereka yang sengaja mengkafirkan saudara-saudara muslimnya dengan alasan
sepele. Mereka yang dengan anggapan batilnya menghina kesucian
madzhab-madzhab Islam. Mereka yang mengkhianati pengorbanan para pemuda
Lebanon yang telah menghadiahkan kebanggaan bagi umat Islam.
Mereka
yang mengklaim adanya bulan sabit Syiah hanya untuk menyenangkan hati
AS dan kaum Zionis. Mereka yang berusaha menjatuhkan pemerintahan muslim
di Irak yang dibentuk oleh rakyat dengan cara menebarkan ketidak-amanan
dan pembunuhan sesama muslim. Mereka yang dari berbagai sisi menekan
pemerintahan Hamas yang dicintai dan didukung oleh rakyat Palestina,
sadar atau tidak, adalah para pendosa yang kejahatannya akan terus
diingat oleh sejarah dan generasi-generasi mendatang. Mereka akan
dikenal sebagai para pengkhianat dan antek-antek musuh...”
Konspirasi CIA.
Setelah
terbongkarnya kebohongan AS tentang adanya senjata pemusnah masal di
Irak, diperlukan alasan lain bagi mempertahankan pendudukan AS atas
Irak. Maka isu adanya konflik sektarian yang memuncak pada adanya sect
cleansing menjadi amunisi baru bagi pemerintahan George W. Bush untuk
tetap bercokol di Irak.
Sebuah tulisan yang beredar di internet
akhir-akhir ini menyebutkan adanya sebuah buku yang berjudul A Plan to
Divide and Destroy the Theology yang terbit di AS. Buku ini berisi
wawancara Dr. Michael Brant, mantan anggota penting CIA yang membidangi
masalah Syi’ah dan telah lama bertugas di bagian ini tetapi kemudian
dipecat karena korupsi dan penyelewengan jabatan. Dr. Brant –tampaknya
dalam rangka balas dendam atas pemecatan dirinya- telah mengungkapkan
hal-hal yang sangat mengejutkan. Dia mengatakan bahwa CIA telah
mengalokasikan dana sebesar 900 juta US dolar untuk melancarkan berbagai
aktifitas anti Syiah. Dari sekian banyak program CIA yang
diungkapkannya, salah-satu diantaranya adalah membenturkan Syi’ah dengan
Sunni sehingga terjadi permusuhan satu sama lain tidak hanya di
kalangan awamnya tetapi juga di kalangan ulamanya.
Nampaknya apa
yang terjadi di Irak saat ini adalah hasil dari sebuah konspirasi.
Ketika tidak ada peluang untuk membenturkan kaum Sunni dan Syi’ah secara
ideologis karena fakta historis bahwa mereka sudah hidup berdampingan
dengan rukun selama ratusan tahun, maka dilakukanlah teror terhadap
mereka dan dikesankan mereka saling membunuh satu sama lain.
Mengakhiri
opini singkat ini penulis setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa
isu adanya konflik sektarian dan sectcleansing di Irak sebenarnya
sengaja dihembuskan oleh pihak penjajah yang dalam hal ini AS dengan
sekutu baratnya dan kaum Zionis Israel yang berupaya melemahkan umat
Islam dengan jalan mengadu domba satu dengan lainnya. Sayangnya ada
sebagian umat Islam, bahkan termasuk kalangan ulamanya, yang termakan
politik adu domba ini.
Video dibawah ini perlu ditonton tentang pengakuan perempuan korban
“Jihad Nikah” ala salafy/wahabi, salah satu korban adalah istri
militan/”mujahidin” yang digilir banyak lelaki/”mujahidin”.
Video dibawah ini dilengkapi bahasa Indonesia/melayu:
Awalnya, Syekh Buthi Membuat “Gerah” Salafi-Wahabi
* Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS), Rais Syuriyah PBNU
Syekh Said Ramadhan Al-Buthi adalah tokoh
utama kelas dunia dari kalangan Sunni atau Ahlussunnah wal Jama’ah.
Beliau tidak hanya dikenal sebagai seorang sufi, namun juga ahli syariat
sekaligus ahli hakikat, dan argumentator Sunni terhadap
serangan-serangan non-Sunni. Ini diakui baik di Suriah maupun di dunia
Muslim lainnya.
Salah satu dari kehebatan Syekh Buthi
adalah kemampuannya berargumentasi terhadap serangan-serangan kelompok
takfiriyah yang suka mengkafirkan kelompok Asy’ari (Sunni), juga suka
mengkafirkan amalan-amalan fadhilah dan lain sebagainya. Syekh Buthi ini
paling gigih dan paling jitu untuk melawan mereka.
Ada dua karya Syekh Buthi yang membuat
“gerah” kelompok Wahabi dan Salafi yang ada di Suriah dan di dunia
muslim pada umumnya. Pertama bukunya yang berjudul al-La Mazhabiyyah: Akhtoru Bid’atin Tuhaddidus Syariah Islamiyyah,
yang artinya bahwa pemikiran non madzhab adalah bid’ah baru yang dapat
merusak pemikiran syari’ah. Ringkasnya, buku itu menjelaskan bahwa orang
memahami Islam itu harus dengan pola berfikir. Nah pola berfikir itu
dengan metodologi ijtihad yang tidak bisa hanya diserahkan
orang-perorang yang tidak memenuhi syarat untuk itu. Menurut Syekh
Buthi, bagi mereka yang melakukan itu samalah artinya dia merusak Islam
karena dia akan memelencengkan makna yang sesungguhnya dari Islam itu
sendiri. Buku ini sangat terkenal dan jitu sekali untuk melawan
Wahabiyah dan kelompok takfiriyah tadi.
Kedua, buku Syekh Buthi yang berisi uraian tentang Salafi yakni As-Salafiyyah.
Bahwa menurutnya, Salafi ini bukan madzab tapi suasana keagamaan pada
zaman as-salafus salih. Jadi Salafi bukan merupakan pola pemikiran tapi
fakta kehidupan darus salam itu yang damai.
Dua buku itu betul-betul membikin
kelompok Wahabi dan Salafi kelabakan, sehingga sudah lama sebenarnya ada
pertentangan sektarian antara Wahabi-Salafi dengan Syekh Buthi.
Penasihat Presiden.
Bersamaan dengan itu Syekh Buthi menjadi
penasihat Presiden. Dalam keadaan normal ia memberikan nasihat di bidang
agama. Namun karena adanya konflik yang membelah pemerintah dan
masyarakat pemberontak, dalam hal ini juga dikompori oleh luar negeri,
maka terjadi kolaborasi antara faktor agama dan konflik politik.
Sementara itu di pemerintahan sendiri
banyak unsur Syiah Alawiyahnya yang tidak disukai oleh jamaah-jamaah
takfiriyah yang dimotori oleh Slafi-Wahabi, meskipun Syekh Buthi sendiri
bukan orang Syiah. Syekh Buthi sendiri sebenarnya berada di
pemerintahan dengan maksud ingin mencari keseimbangan antara Sunni
dengan Syiah Alawiyah itu.
Konflik Suriah memang terus berlanjut.
Faktor yang lebih dominan sebenarnya adalah politik. Pertama sebenarnya
karena Israel itu ingin menghancurkan Suriah karena dia negara yang
paling depan berhadapan dengan mereka. Di sana dihuni kekuatan-kekuatan
militan yang melawan Israel. Seperti kekuatan Syiah yang dikendalikan
oleh Iran, lalu kekuatan Hamas yang dikendalikan oleh Khalid Massal dan
beberapa kekuatan Syiah sebagai bagian dari Hezbollah yang dipimpin oleh
Hasan Nasrollah. Tiga kekuatan ini yang membuat Suriah menjadi musuh
utama Israel ditambah bahwa pemerintahan Basyar sendiri cenderung ke
Syiah Alawiyah.
Karena faktor politik ini, tentu
sebagaimana juga penyerangan terhadap negara Islam yang lain pasti
Amerika ikut campur. Dan dapat diduga bahwa dia pasti membantu
pemberontak, pertama karena tidak suka dengan pemerintahan, kedua
Salafi-Wahabi itu selalu pro Saudi-Amerika, termasuk di dalamnya jamaah
takfiriyah.
Sementara negara-negara yang ‘sudah
direformasi” seperti Mesir, Libya dan sebagainya yang diam-diam berpihak
kepada Amerika, dan di sini mereka berpihak pada pemberontak. Nah
karena itu maka Iran menyeret Cina dan Rusia untuk masuk dalam
pertempuran ini karena faktor perlawanan terhadap Amerika, sebenarnya
bukan karena faktor agama, namun untuk menjaga keseimbangan Barat dan
Timur.
Maka terjadilah carut marut politik di
Suriah, dan Syekh Buthi berada pada posisi yang tidak menguntungkan.
Karena beliau sebagai orang Sunni, sebagai penasihat pemerintah itu pun
dia harus berhadapan dengan Syiah Alawi, sementara yang takfiri ini
menganggap bahwa Syekh Buthi berpihak pada kedzaliman.
Karena Syekh Buthi itu dianggap sangat
besar kekuatannya terutama dalam Islam maka kemudian beliau diserang
dengan cara seperti itu. Syekh buthi meninggal dalam aksi serangan bunuh
diri. Saya kira penyerangan ini tidak jauh dari kelompok takfiriyah,
atau gerakan-gerakan politik yang anti pemerintah.
Propaganda Negatif.
Setelah Syekh Buthi meninggal dengan cara
seperti itu, kelihatannya pihak barat dan dari pihak Salafi-Wahabi ini
mengkhawatirkan dukungan ulama dunia, atau simpati umat dunia terhadap
beliau. Maka direkayasalah terhadap beberapa ulama untuk menjelekkan
Syekh Buthi, seperti Syekh Qaradhawi. Ada statemen beliau yang cenderung
memojokkan. Nah itu sebetulnya adalah bagian dari gerakan politik untuk
meredam dukungan dan simpati kepada Syekh Buthi.
Kita mendengar orang yang menjelekkan
Syekh baik di media cetak maupun elektronik internasional. Padahal di
dalam orang Islam orang yang meninggal itu tidak usah dijelekkan. Ada
haditsnya yang nenyebutkan, ‘Udzkuru ma hasina mautakum’. Nah
tapi untuk kepentingan supaya tidak ada reaksi maka Syekh Buthi
dijelekkan. Jadi kita tidak perlu memperbesar kontroversi ini karena
termasuk bagian dari konspirasi orang lain.
Menurut ahlissunnah wal jamaah, orang
yang shalih tetaplah shalih. Bahwa pilihan politik berakibat sesuatu itu
kita tidak masuk dalam penilaian pribadi dan agamanya seperti dulu pada
waktu zaman pertentangan Sayydina Ali dan Sayyidina Utsman. Orang Sunni
mengatakan, ‘Apa yang terjadi di dalam sahabat itu kita diam”, karena
itu bukan dari faktor agama tetapi faktor lain. Sehingga dari kelompok
Sunni di dunia lebih senang kalau dia tidak menghujat Syekh Buthi dan
ini lebih kepada masalah politik bukan masalah sektarianisme agama
sekalipun masalah sektarianisme agama ini menjadi sumbu disebabkan
karena permainan global untuk memainkan antara sektor itu.
Hubungan dengan NU.
Sewaktu ke Suriah, saya sempat bertemu
dengan Syekh Buthi bersama beberapa kiai, antara lain KH Idris Marzuki,
KH Masruri Mughni (alm.), dan KH Nur Muhammad Iskandar. Beliau sudah
memberikan ijazah langsung untuk menyebarkan semua karyanya.
Salah satu karyanya yang paling terkait dengan NU adalah Syarah Al-Hiham, karena Al-Hikam sendiri
adalah kitab tasawuf andalan yang dikaji di pesantren. Menurut saya,
kelebihan kitab yang ditulis Syekh Buthi dibanding syarah hikam lainnya,
pertama karena beliau memulai Hikam itu dari syariatnya
kemudian masuk hakikat. Jarang ada syarah Hikam seperti itu. Biasanya
hakikatnya itu saja yang disyarahi. Jadi dari syariat beliau
mengungkapkan dalil-dalilnya, baru baru masuk ke hakikat.
Yang kedua Syekh Buthi ini memperlengkapi Hikam
ini dengan dalil-dalil yang muktabar baik Al-Qur’an maupun hadits nabi,
karena hikam sendiri didalamnya tidak ada dalil hanya menyinggung
sedikit tentang ayat, tapi belum proporsional pada setiap qoul ada
dalilnya.
Di NU memang Sykeh Buthi ini kalah
populer dibanding dengan misalnya Syekh Wahbah Zuhaili dan Qaradhawi.
Itu karena masalah silaturrahim saja, karena beliau sudah sepuh. Syekh
Wahbah masih sering datang ke Indonesia, sementara Syekh Buthi hanya
diwakilkan kepada putranya, Dr Taufik.
Kedua, kitab-kitab Syekh Buthi bukan
kategori fikih praktis, meskipun banyak sekali yang terkait dengan fikih
dan ushul fikih, tapi beliau lebih dikenal dengan ulama sufi dan
argumentator Sunni. Namun mestinya para ulama itu tidak bisa secara
simpel dipetakan sebagai ahli fikih atau tasawuf. Seperti imam Syafi’i
adalah ahli fikih padahal beliau sangat sufi. Imam Hanafi adalah ahli
ra’yi tapi beliau juga sangat sufi. Jadi kita lebih sering melihat pada
disiplin ilmu apa yang menonjol. Namun, “apa yang ada di gudang itu kan tidak semua terlihat di etalase.”.
Salah satu pemikiran Sykeh Buthi yang
menurut saya perlu dikembangakan adalah komprehensi antar
disiplin-disiplin pecahan ilmu agama, misalnya konprehensi antara fikih
dengan tafsir, tasawuf dengan ilmu kalam. Ini dilakukan supaya integral.
Saya bisa mengatakan bahwa syekh buti ini bisa disebut Imam Ghazali
kedua baik di dalam mengutarakan argumentasi maupun mengutuhkan kembali
ilmu-ilmu Islam itu yang selama ini pecah: fikih jauh dari tarekat,
tarekat jauh dari ilmu kalam, teknologi jauh dari tauhid, dan
seterusnya. Ini tidak benar.
Nah pecahan pecahan ilmu agama itu
disatukan lagi oleh Syekh Buthi dalam ceramah-ceramah dan pengajian.
Keistemewaan lain Syekh Buthi adalah ceramahnya yang sistematik dan
terukur, serta bisa langsung ditranskrip dan dicetak tanpa editing. Maka
karya-karya beliau tercatat cukup banyak dan sebagian besar sudah
sampai ke berbagai pesantren di Indonesia.
* Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS), Rais Syuriyah PBNU
EX AL QAEDA Member Nabil Naim: The Syrian Lie Al Nusra’s Fake War.
Fatwa Horor Ulama Salafy: Mubaligh Saudi Serukan Pembantaian Anak dan Perempuan Irak.
Seorang mubaligh Arab Saudi menuntut
anasir bersenjata dan teroris di Irak untuk menciptakan ketakutan dan
membunuh perempuan dan anak-anak warga Syiah di negara itu.
Saad al-Duraihem, dosen Universitas Islam
Imam Muhammad ibn Saud, dalam pernyataan terbaru yang dimuat di twitter
menyebut anasir-anasir berbagai kelompok bersenjata dan teroris sebagai
“Mujahid” dan meminta mereka untuk membunuh setiap orang Syiah yang
mereka tawan meskipun anak-anak atau perempuan. Demikian dilaporkan
televisi Alalam, Kamis (25/4/2013).
Statemen mubaligh takfiri tersebut mengundang respon keras, bahkan di kalangan internal Saudi sendiri.
Abdullah bin Bakheet, penulis Saudi di
surat kabar Okaz mengatakan,”Apakah orang ini tidak akan dituntut …
Apakah kita tidak menyadari bahwa teroris terus bersarang di Arab
Saudi?”
Sementara itu, Halimah Muzaffar, penulis
surat kabar al-Watan Saudi, menuntut diadilinya al-Duraihem dan
pemecatannya dari Universitas Islam Muhammad ibn Saud.
Ia menegaskan bahwa pemikiran tersebut akan memunculkan aksi terorisme dan kejahatan atas nama agama.
Pada bulan Juli tahun lalu, al-Duraihem
juga melontarkan statemen kontroversial dan aneh. Ia mengklaim penduduk
dan ulama di wilayah Najd di Saudi lebih utama dibandingkan dengan umat
Islam lainnya.
“Satu orang awam di Najd lebih baik dari satu ulama Mesir,” klaim mubaligh takfiri itu.
Selama beberapa hari terakhir,
kelompok-kelompok bersenjata di Provinsi Kirkuk, utara Irak, menyulut
kekerasan dan bentrokan di wilayah tersebut dan telah menewaskan
beberapa orang.
دعا رجل دين سعودي من وصفهم بالمجاهدين في العراق إلى قتل النساء والأطفال الشيعة لإيقاع مزيد من الرعب في أوساط العراقيين.
وقال الدكتور سعد الدريهم عضو هيئة التدريس
بجامعة الإمام محمد بن سعود الإسلامية في تغريدة عبر حسابه في تويتر “لو
مارس المجاهدون في العراق الغلظة والقتل حتى فيمن وقع أسيرا حتى لو كان
طفلا أو امرأة لهابهم الرافضة”.
وواجه الدريهم اثر هذه التغريدة سيلا من الانتقادات الحادة تحت وسم فتح خصيصا بعنوان #المجرم_سعد_الدريهم .
وقال الكاتب الصحافي السعودي محمد العمر عبر
حسابه في تويتر “المجرم سعد الدريهم يأمر بقتل أطفال ونساء الشيعة ضارباً
عرض الحائط بوصية الرسول عليه السلام وأبو بكر للمجاهدين”.
وقال عبد العزيز الزهراني وهو خريج كلية
أصول الدين مخاطبا الدريهم “نبي الرحمة لم يقتل أطفال و نساء اليهود..!
فقولوا لمن بدَّل و غيَّر: سُحقا سُحقا”.
الكاتب بصحيفة المدينة سعود كاتب من جهته
هاجم الدريهم بالقول “اشهد الله ان اكثر من اساء لدين الاسلام ليس اليهود
ولا النصارى اوالمجوس ولكن امثال هذا المتطرف المتعطش للقتل وسفك الدماء.
وتساءل الكاتب في صحيفة عكاظ عبدالله بن بخيت “هل يترك هذا الرجل دون محاسبة الم ننبه ان الارهابيين مازالوا يعششون في المملكة”.
ودعت الكاتبة في صحيفة الوطن حليمة مظفر إلى محاكمة الدريهم وابعاده عن ممارسة التدريس في الجامعة.
ودعت مظفر وزارة الداخلية إلى محاسبة الدريهم قائلة “هكذا فكر سبب للإرهاب والجرائم التي ترتكب باسم الدين العظيم”.
وقالت عبر حسابها في تويتر “المجرم سعد
الدريهم بعد هذه التغريدة المتطرفة التي يطالب فيها بقتل النساء والأطفال
لأنهم مخالفين بالمذهب أطالب بإيقافه عن التدريس الجامعي”.
من جهته وصف الكاتب في صحيفة الرياض يوسف
أبا الخيل الدريهم بالقول “صاحب هذا الكلام الخطير إذ نزع الله الإيمان من
قلبه، فقد نزع منه الرحمة التي تتراحم بها حتى الدواب والهوام وخشاش
الأرض”.
وقالت الكاتبة سمر المقرن “تويتر كشف كمية العنف والتحريض التي كانت متوارية خلف جدران الجامعات وتصب في عقول أبنائنا”.
وسبق للدريهم أن أثار زوبعة في يوليو الماضي
حين خصّ أهل نجد وعلماءها بوصف الفرقة الناجية مستثنيا باقي المسلمين في
العالم من دخول الجنة
Pemberontak Suriah tidak menyesal makan hati mayat tentara Assad
Khalid al Hamad, pemberontak Suriah yang
terlihat dalam sebuah video sedang membelah mayat dan memakan hati
seorang tentara Suriah kemarin menyatakan tidak menyesali perbuatannya
itu.
Surat kabar the Daily Mail
melaporkan, Selasa (14/5), lelaki yang berada dalam video itu menegaskan
kekejaman dari rezim pemerintahan Basyar al-Assad telah mendorong dia
untuk melakukan tindakan brutal itu.
“Semboyan kami adalah mata dibalas dengan mata dan gigi dibalas gigi,” kata dia kepada majalah Time melalui aplikasi Skype di telepon seluler kemarin.
Klip video yang belum diverifikasi dan
diunggah oleh kelompok pendukung pemerintah ini menunjukkan Khalid al
Hamad, yang juga memiliki nama lain Abu Sakkar, merupakan pendiri salah
satu unit Tentara Pembebasan Suriah yakni Brigade Farouq yang bermarkas
di Kota Homs.
Dia terlihat berdiri di atas mayat
tentara masih berseragam itu di sebuah selokan sambil berteriak-teriak
dan mengecam Presiden Suriah Basyar al-Assad.
Dengan menggunakan pisau, Hamad kemudian
membelah mayat tentara itu dan mengeluarkan dua organ tubuhnya sambil
diperlihatkan ke depan kamera dan mengatakan, ‘Saya bersumpah demi
Tuhan, kami akan memakan hati Anda, para tentara Basyar anjing’. Dia
kemudian memasukkan salah satu organ itu ke mulutnya dan menggigit organ
itu.
Hamad, yang merupakan seorang Sunni dan
memiliki kebencian terhadap muslim Alawi yakni salah satu sekte di
Syiah, ini menegaskan adegan di video itu merupakan pertama kalinya dia
pernah mencoba memakan hati manusia.
Dia juga menemukan sebuah klip video di
telepon seluler tentara itu yang memperlihatkan seorang wanita dan dua
putri tentara itu dalam keadaan telanjang bulat. “Dia kemudian memukuli
mereka dengan tongkat,” ujar Hamad.
Hamad mengatakan dia memiliki video
mengerikan lainnya yang memperlihatkan dia sedang membunuh seorang
tentara Alawi dan menggergaji tentara itu menjadi beberapa potongan.
Dewan Militer Tertinggi Suriah telah
mengeluarkan sebuah poster, yang diedarkan di Facebook, meminta agar
Hamad ditangkap baik dalam keadaan hidup atau mati.
Teroris Bunuh Tentara Suriah dan Makan Jantungnya!
Sebuah
video mengerikan muncul di internet yang menunjukkan teroris dukungan
Barat di Suriah memotong jantung dan hati seorang prajurit Suriah dan
memakannya.
Dalam rekaman yang diposting online hari Minggu (12/05/13), seorang pria
yang mengenakan peralatan militer dan memegang pisau merobek bagian
tengah tubuh seorang tentara Suirah yang sudah mati dan memakan bagian
dalam tubuh prajurit tersebut sambil melihat ke arah kamera.
“Aku telah bersumpah akan memakan jantung dan hatimu,” kata pria berdarah dingin itu.
Peter Bouckaert dari New York-Human Rights Watch mengatakan pria itu bernama Abu Sakkar, seorang pendiri Brigade teroris Farouq.
Identitas Abu Sakkar telah dikonfirmasi oleh sumber-sumber teroris di
Homs dan dengan gambar dirinya di video lain yang mengenakan jaket
hitam seperti dalam rekaman terbaru dengan cincin yang sama di
jari-jarinya.
“Mutilasi mayat musuh adalah kejahatan perang,” kata Bouckaert.
Dia menambahkan, dalam versi yang belum diedit dari cuplikan video
tersebut, Sakkar terdengar memberitahu anak buahnya untuk membantai para
tentara Suriah dan memakan hati mereka.
Rekaman itu memicu kemarahan di kalangan pendukung Presiden Bashar al-Assad dan tokoh-tokoh oposisi.
Ekstrimis Salafy-Wahabi Bakar Makam Sahabat Nabi saw Ja’far bin Abi Thalib ra.
Wahabi Bakar Makam Sepupu Nabi Muhammad Saw.
Hanya selang dua hari pasca penghancuran makam salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw, Hujr Ibn Adi,
di Suriah, para Wahabi ekstrim kembali melakukan penodaan terhadap
makam saudara Imam Ali bin Abi Thalib as di selatan Yordania.
Ratusan Wahabi ekstrim dan kelompok takfiri di Karak yang terletak di selatan Yordania membakar makam sepupu Nabi Muhammad Saw, Jafar bin Abi Thalib yang dikenal dengan Jafar al-Tayyar. Demikian dilaporkan FNA mengutip situs Arabpress, Sabtu (4/5/2013).
Para pejabat Yordania hanya bungkam melihat aksi keji tersebut, bahkan media negara itu tidak mempublikasikannya.
Makam Jafar bin Abi Thalib terletak di wilayah al-Mazar, Provinsi Karak, sebelah selatan Yordania.
Pada Kamis, Front al-Nusra menyerang dan
menggali makam salah satu sahabat dekat Nabi Muhammad Saw, Hujr Ibn Adi
yang terletak di distrik Adra, dekat Damaskus dan mengambil jenazahnya
ke tempat yang tidak diketahui.
Para ulama dari berbagai mazhab dan Gerakan Muqawama Islam Lebanon (Hizbullah) langsung mengecam penodaan tersebut.
Hujr Ibn Adi adalah salah satu sahabat
dekat Nabi Muhammad Saw dan juga sahabat Imam Ali as. Ia memimpin
pasukan Muslim untuk meraih kemenangan dalam beberapa pertempuran
penting.
Meskipun dunia Islam mengecam berbagai
penodaan terhadap tempat-tempat suci umat Islam dan makam para auliya
Allah, namun kelompok-kelompok Wahabi terus melakukan tindakan keji
tersebut.
Jakarta, NU Online
Kaum muslim dunia baru saja berduka. Ulama Sunni terkemuka Syaikh
Muhammad Said Ramadhan al-Buti ditemukan tewas pada 21 Maret lalu dalam
serangan teroris di Masjid Al-Iman di Damaskus bersama dengan cucunya
dan 47 orang lainnya.
Serangan mengerikan itu terjadi ketika Syaikh al-Bouti sedang
memberi pengajian di depan sekelompok mahasiswa Islam, termasuk cucunya.
Di Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyampaikan rasa duka
yang mendalam atas wafatnya ulama besar Suriah tersebut. ”Kami sangat
menyesalkan kekerasan di Suriah yang mengakibatkan tewasnya ulama besar
yang luar biasa pengaruhnya di dunia Islam,” kata Rais Suriyah PBNU KH
Ahmad Ishomuddin pada NU Online, belum lama ini.
Pada 23 Maret, rakyat Suriah mengantar kepergian sarjana terkemuka dunia
ini dengan hikmat. Grand Mufti Ahmad Badr Hassanuddin, yang putranya
juga tewas di tangan para teroris beberapa bulan yang lalu, dan Menteri
Informasi Suriah Umran al-Zubi ikut ambil bagian dalam upacara
pemakaman.
Al-Buti sendiri yang tahun ini berusia 84 tahun adalah seorang
pensiunan dekan dan profesor Fakultas Hukum Islam di Universitas
Damaskus. Ia dikenal keras menentang terorisme dan pengkritik pihak
asing yang didukung kelompok-kelompok militan, yang ia gambarkan sebagai
“para tentara bayaran”.
Seminggu sebelum pembunuhan itu, ia mengatakan dalam ceramahnya,
“Kami diserang di setiap jengkal tanah kami, makanan kami, kesucian dan
kehormatan perempuan dan anak-anak kami Hari ini kami menjalankan tugas
yang sah… yakni kebutuhan mobilisasi untuk melindungi nilai-nilai, tanah
air, dan tempat-tempat suci kami, dan dalam hal ini tidak ada perbedaan
antara tentara nasional dan seluruh bangsa ini”.
Seminggu setelah pembunuhan Al-Buti, ulama Sunni lainnya Syaikh
Hassan Saifuddin (80 tahun) secara brutal dipenggal kepalanya di bagian
utara Kota Aleppo oleh sekelompok militan yang dibekingi pihak asing dan
menyeret tubuhnya di jalanan. Kepalanya ditanam di menara sebuah masjid
yang biasa digunakan untuk berkhotbah. Syaikh Saifuddin juga dikenal
sebagai seorang anti-milisi, dan penentang perang yang sedang berkecamuk
melawan pemerintah Suriah.
Menyusul insiden berdarah tersebut, Presiden Suriah Bashar al-Assad
mengecam tindakan kekerasan itu. Ia berjanji, kejahatan itu tidak akan
dibiarkan tanpa hukuman. “Ini janji rakyat Suriah – dan saya salah satu
dari mereka – bahwa darah Anda, cucu Anda, dan para syuhada di tanah air
ini tidak akan sia-sia, karena kita akan tetap mengikuti pemikiran Anda
untuk menghilangkan kejahatan mereka,“ katanya.
Dalam halaman Facebook milik kaum militan, Syaikh Saifuddin disebut
sebagai “kolaborator dari teman baik penguasa di Suriah”. Mereka juga
mengancam, “Kami akan datang kepada Anda, dan Anda tidak akan bisa
melarikan diri.”
Syaikh Hassan Saifuddin sebenarnya adalah ulama terakhir dari daftar
ulama-ulama yang dibunuh yang mencakup kelompok Sunni dan ulama Syiah
serta pendeta Kristen. Semua pembunuhan ini dilakukan oleh para teroris
yang secara manipulatif dinarasikan dalam media-media Barat mainstream
sebagai “kaum demokrat” itu.
Korban pertama adalah Romo Basilius Nassar, seorang Imam dari Kapel
Mar Elias di kota Kfar-Baham, dekat kota Hama. Dia ditembak pada tanggal
25 Januari 2012 oleh seorang penembak jitu milisi di daerah Citadel
saat ia sedang mengevakuasi korban perang.
Yang kedua adalah seorang ulama Sunni, Syaikh Mohammad Ahmad Aufus
Shadiq, yang kerap berkhotbah di Masjid Malik Bin Anas di Damaskus. Ia
adalah salah seorang ulama pertama yang memperingatkan ancaman kekerasan
di Suriah. Dia juga penentang keras kelompok Takfiri dengan mengatakan
Takfiri tak punya tempat di kalangan umat Islam. Syaikh Aufus Shadiq
ditembak mati pada 25 Februari 2012.
Korban ketiga dalam daftar ulama ini adalah Syaikh Sayyid Nasser,
seorang ulama Alawi dan imam Alawite hawze (sekolah agama) Zaynabiyya di
Damaskus. Dia meninggal ditembak di dekat situs suci makam Sayyidah
Zaynab, cucu Nabi Muhammad SAW.
Yang keempat adalah seorang ulama Syiah Suriah, Syaikh Abbas Lahham.
Ia tewas bulan Mei di luar Masjid Ruqayyah (putri Imam Hussein) di mana
ia biasa berkhotbah. Dia diikuti oleh tewasnya Syaikh Abdul-Kuddus
Jabbarah, seorang ulama Syiah pada bulan berikutnya. Yang terakhir ini
ditembak mati di sebuah pasar dekat situs suci Sayyidah Zainab.
Pada Juli 2012, pada awal bulan Ramadhan, Syekh Abdul Latif Ash-Shami
juga dibunuh dengan cara yang mengerikan: saat sedang shalat dalam
masjid bersama jamaah lain, ia ditembak matanya. Sebulan kemudian, imam
Masjid al-Nawawi di Damaskus, Syaikh Hassan Bartaui, juga dibunuh.
Pada bulan Oktober 2012, beberapa orang menemukan mayat yang
dimutilasi. Mayat itu adalah seorang imam dari Gereja Ortodoks Yunani,
Romo Fadi Hadadat di Katana, Provinsi Damaskus. Dia diculik oleh milisi
yang menuntut pertukaran untuk pembebasannya dengan uang tebusan sebesar
15 juta Pound Suriah. Romo Abdullah Saleh, pimpinan Gereja Ortodoks
Yunani Antiokhia dan Orient menegaskan bahwa ia telah dibunuh oleh
teroris. Lalu pada hari terakhir tahun 2012, Imam Sunni yang lain Syaikh
Abdullah Saleh juga dibunuh di Raqa.
Pada bulan Februari 2012, Syaikh Abdul Latif al-Jamili, seorang ulama
dari Masjid Ahrafiyyah terbunuh oleh pecahan peluru yang diluncurkan
oleh milisi di halaman masjid itu. Pada bulan Maret, giliran Sheikh Abid
Sa’ab, yang kerap memimpin doa di Masjid al-Mohammadi yang terletak di
distrik Mazze di Damaskus, terbunuh oleh ledakan bom yang ditempatkan di
bawah mobilnya.
Duka mendalam dirasakan kaum muslim dan Kristiani di Suriah, bahkan
muslim dunia. Namun siapakah sebenarnya para pembunuh berdarah dingin
yang menghabisi para ulama dan tokoh panutan umat ini?
Ketika seorang ulama Sunni terkemuka Syeikh al-Buti itu tewas,
beberapa ulama ekstremis Wahhabi dari Arab Saudi sama sekali tak
menunjukkan penyesalan terhadap kematiannya. Salah satunya adalah Syaikh
Abu Basir al-Tartousi. Ia mengatakan, bahwa dirinya tidak menyesali
kematian al-Bouti, karena “Dia adalah pembohong, yang sepanjang hidupnya
mendukung penguasa,” katanya sebagaimana dikutip UmmaNews. Dia
menambahkan bahwa Syeikh al-Bouti adalah seorang munafik yang pura-pura
menyesali terbunuhnya kaum Muslim maupun yang terluka.
Begitu juga Imam Masjidil Haram di Mekkah Abdul Rahman al-Sudais. Ia
secara terbuka merayakan pembunuhan itu dengan mengatakan bahwa “Dia
(al-Buti) adalah salah seorang imam besar penipu. Dia adalah Mujahid di
jalan Setan. Dan ini (pembunuhan al-Buti) adalah sukacita yang besar
bagi umat Islam,” katanya.
Wajar kemudian bila Sekjen International Conference of Islamic
Scholars (ICIS) KH Hasyim Muzadi mengungkapkan, pihak Barat dan dari
pihak Salafi-Wahabi memunculkan propaganda negatif untuk Syekh Buthi
melalui sejumlah media cetak maupun elektronik internasional. Sejumlah
ulama termasuk Syekh Yusuf Qaradhawi juga ikut memojokkan Syekh Buthi
dan membangun gerakan politik untuk meredam dukungan dan simpati kepada
Syekh Buthi, demikian pernyataan Rais Syuriah PBNU itu kepada NU Online
(Ahad, 31/3).
Pada kenyataannya, semua ulama yang dibunuh di Suriah adalah mereka
yang secara terbuka menentang pemberontakan atau setidaknya tidak
mendukungnya. Pembunuhan mereka dimaksudkan untuk meneror penduduk
Suriah yang menolak untuk mendukung kelompok-kelompok bersenjata. Hal
ini jelas ketika kita membaca pernyataan para teroris itu sendiri.
Sesaat sebelum serangan terhadap Fakultas Arsitektur Universitas
Damaskus, yang menewaskan 15 siswa, pemimpin kelompok Wahhabi, Liwa
al-Islam, Al Haytham Malih, menerbitkan sebuah pernyataan di halaman
Facebook-nya, dimana ia memperingatkan bahwa “ wajib untuk mahasiswa
dari Universitas Damaskus untuk meluncurkan kampanye pembangkangan
sipil. Jika mereka tidak melakukannya, Universitas mereka akan memiliki
nasib yang sama seperti yang terjadi dari Aleppo”. Perlu diingat bahwa
pada bulan Januari 2013, 82 mahasiswa dari Universitas Aleppo tewas dan
160 lainnya luka-luka akibat terjangan roket yang diluncurkan oleh para
milisi.
Seluruh kelompok agama (Kristen, Syiah, Alawi) telah dinyatakan
sebagai “musuh” oleh teroris Takfiri Wahhabi di Suriah. Beberapa
kelompok Syiah, misalnya, harus meninggalkan rumah mereka untuk
menyelamatkan nyawa. Diantara orang Syiah ini dalam surat kabar LA Times
mengatakan, bahwa kelompok Takfiri ini “semula dikirim untuk menjadi
tetangga kami, namun kemudian ingin menculik dan membunuh kami”.
Ketegangan antaragama, yang semula tidak pernah dijumpai sebelum
konflik, kini meningkat di desa-desa di sepanjang perbatasan antara
Lebanon dan Suriah bagian timur laut. Masyarakat yang tinggal di
daerah-daerah membincangkan satu sama lain tentang kampanye pembersihan
etnis yang dilakukan oleh pemberontak yang mencoba mendirikan negara ala
Taliban. Beberapa orang Syiah, yang punya ikatan keluarga di Lebanon
pun lalu ikut menjadi pejuang untuk membela desa mereka dari serangan
para teroris.
Seperti dilaporkan Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New
York, pemberontak dan teroris Wahhabis di Suriah juga membakar dan
menjarah situs-situs agama minoritas. HRW mengungkapkan bahwa pejuang
oposisi telah menghancurkan Husseiniyah – sebuah situs agama yang
ditujukan untuk menghormati Imam Hussein, seorang martir besar dalam
sejarah Islam. Sebuah video dipublikasikan secara online menunjukkan
pemberontak mengangkat senapan serbu di udara dan bersorak-sorai di
depan kobaran api karena telah menguasai situs itu di desa Zarzour pada
bulan Desember.
Dalam video tersebut, seorang pria mengumumkan “penghancuran sarang
kaum Syiah dan Rafida”, sebuah istilah penghinaan yang digunakan oleh
fanatik Wahhabi terhadap kaum Syiah.
Di bagian barat Provinsi Latakia, Human Rights Watch mengutip pernyataan
warga setempat bahwa orang-orang bersenjata yang bertindak atas nama
oposisi telah merusak dan mencuri barang-barang dari gereja-gereja
Kristen yang berada di dua desa, Ghasaniyah dan Jdeidah (di wilayah
Lattakia). Seorang warga Jdeideh melaporkan bahwa pria bersenjata itu
telah menghancurkan gereja lokal, mencuri dan melepaskan tembakan di
dalam.
Seperti dilaporkan Yusuf Fernandez, seorang jurnalis dan sekretaris
Federasi Muslim Spanyol, ia mengatakan Suriah belakangan ini menjadi
arena teror. Pembunuhan dan teror dilakukan di semua tempat yang
diduduki kelompok bersenjata yang dikontrol pihak asing di Suriah.
Karena tak mampu memicu revolusi rakyat untuk melawan pemerintah,
kelompok-kelompok ini lalu melakukan pembantaian dan pembunuhan.
Itulah sebabnya mengapa penduduk setempat meninggalkan rumah-rumah
mereka ketika desa-desa atau jalan-jalan sekitarnya berhasil direbut
oleh pemberontak. Sebagian besar warga kampong ini lalu bergabung dengan
Pasukan Pertahanan Nasional untuk memerangi para teroris di seluruh
negeri. (Mh. Nurul Huda)
Masih ingat kasus Nariyah? Itu adalah
seorang wanita yang mengaku sebagai perawat Kuwait yang bersaksi bahwa
tentara Irak melempar keluar 312 bayi dari inkubatornya hingga tewas
setelah pasukan Irak menginvasi Kuwait tahun 1991.
Media massa Amerika menayangkan kesaksian tersebut selama
berbulan-bulan, mengakibatkan publik Amerika marah kepada pemerintahan
Saddam Hussein di Irak dan merestui tentara Amerika melakukan serangan
terhadap Irak hingga berkobar Perang Teluk I yang menewaskan puluhan
ribu warga Irak.
Namun kemudian terbongkar kebenaran bahwa Nariyah adalah seorang
perawat palsu. Ia tidak pernah berada di Kuwait saat terjadi serangan
Irak. Ia bukan perawat dan ia adalah putri dari dubes Kuwait di Amerika,
Saud bin Nasir Al-Sabah. Saat kebenaran itu terkuak, kehancuran telah
terjadi di Irak. Dan kini propaganda palsu yang sama tengah dilancarkan
Amerika dan sekutu-sekutunya atas Syria.
Pertama kasus anak-anak Daraa. Pada awal terjadinya kerusuhan
di Syria bulan Maret 2011, media massa barat dan “underbow”-nya di
berbagai belahan bumi termasuk di Indonesia, gencar memberitakan kisah
tentang beberapa pelajar dari kota Daraa yang menulis di tembok bangunan
tulisan yang berbunyi “Rakyat menginginkan pemerintahan jatuh”. Akibat
tulisan tersebut mereka ditangkap oleh aparat keamanan dan disiksa
dengan berbagai cara, termasuk dengan mencabut kuku-kuku mereka. Setelah
bertahun-tahun, tidak pernah diketahui di mana anak-anak itu sekarang,
termasuk wajah dan identitas mereka, termasuk tidak diketahui siapa yang
pertama kali menuliskan cerita ini. Anak-anak itu bagaikan cerita
hantu.
Kedua kasus kematian Hamza Alkhatib, seorang remaja yang tewas
dimutilasi di Daraa pada awal kerusuhan. Cerita yang beredar adalah
bahwa ketika mulai terjadi kerusuhan, tentara membunuhnya dan
menyembunyikan mayatnya selama beberapa hari. Kemudian mereka
menyerahkan mayat yang telah termutilasi ini kepada keluarganya sehingga
menimbulkan kemarahan warga yang berakibat kerusuhan yang semakin
meluas. Cerita ini tentu saja sangat tidak rasional. Kalau tentara
benar-benar membunuhnya, mengapa mereka harus memutilasinya dan
menyembunyikan mayatnya selama beberapa hari dan kemudian menyerahkan
kepada keluarganya saat kondisi tengah rusuh? Cerita tersebut juga tidak
sejalan dengan fakta bahwa orang tua Hamza telah bertemu dengan
Presiden Bashar al Assad dan kemudian berkata, “Saya tidak akan
mengijinkan siapapun memanfaatkan kematian anak saya. Saya tidak percaya
tentara telah membunuhnya, dan Presiden telah menjanjikan penyidikan
atas kasus ini.”
Ketiga kasus kematian bayi dalam inkubator di Hama. Ceritanya
berbeda sedikit saja dengan kasus Nariyah, yaitu tentara Syria memasuki
rumah sakit kemudian mematikan lampu penghangat inkubator sehingga
menewaskan bayi-bayi di dalamnya. Cerita ini beredar seiring beredarnya
sebuah foto di dunia maya yang ternyata diambil dari Alexandria, Mesir.
Tidak ada seorang saksi pun yang membenarkan kebenaran foto tersebut dan
tidak ada satu keluarga pun di Syria yang mengakui bayinya meninggal di
dalam inkubator. Setidaknya dalam kasus Nariyah terdapat seorang saksi,
meski kemudian terbukti sebagai saksi palsu, yaitu Nariyah si putri
duta besar.
Keempat adalah kasus blogger lesbian bernama Amina Arraf.
Cerita yang beredar adalah seorang blogger lesbian Syria bernama Amina
Arraff ditangkap polisi Syria karena memposting tulisan-tulisan anti
pemerintah. Ia disiksa dalam penjara dan ceritanya beredar di Facebook
hingga menarik pengikut lebih dari 220 ribu orang “facebooker” di
seluruh dunia. Cerita tersebut bahkan mendapat tempat di media-media
mapan seperti BBC, CNN, The Guardians, FOX dan
lain-lain. Namun ternyata cerita tersebut hanya ilusi seorang laki-laki
Amerika yang bosan dengan hidupnya dan berusaha mendapatkan kesenangan
instan melalui media sosial.
Kelima adalah pembantaian Zainab Al-Hosni, seorang wanita dari kota Homs. Cerita yang beredar bersama video yang diunggah di YouTube
adalah mayat Zainab yang ditemukan dengan tubuhnya yang telah
dimutilasi. Pengambil gambar video terdengar meneriakkan kata-kata
sumpah serapah kepada satu golongan etnis tertentu yang dianggapnya
sebagai pembantai Zainab. Namun kemudian terungkap bahwa Zainab masih
hidup. Dengan KTP yang sama dengan identitas Zainab Al-Hosni yang
dinyatakan sebagai korban pembantaian, Zainab asli mengaku dalam
wawancara dengan televisi Syria bahwa dirinya telah lari dari
keluarganya karena alasan pribadi. Hingga saat ini tidak diketahui
identitas sebenarnya dari mayat termutilasi yang beredar di YouTube serta orang yang mengambil gambar dan meng-up-load-nya ke YouTube.
REF:
“Syria: Top Five Propoganda Stories”; thetruthseeker.co.uk; 6 April 2013.
Ya Salafisme, Ya Wahabisme: Ya Sama Saja SUMBER:Berita Protes
Apa jadinya bila negosiasi digusur oleh konfrontasi, argumentasi dibalas teror, dan dialog diubah dengan fatwa murtad?
.
Ada apa dengan sebutan ‘Salafi’? Sebesar
apa pengaruh dan manfaatnya? Apakah ‘salaf’ tidak lebih dari sekedar
alat justifikasi yang menjamin imunitas dari kritik dan tuduhan
‘sempalan’? Apakah ‘salaf’ itu seperti ‘merek dagang’ sehingga ia harus
diperlakukan sebagai copyright lembaga atau kelompok tertentu?
Ataukah
‘salaf’ dapat dianggap sebagai ‘nama barang’ sehingga setiap orang yang
merasa melestarikan tradisi orang-orang terdahulu berhak untuk
menyandangnya? Perlukah ada semacam lembaga ‘penertiban nama aliran’ di
tengah umat Islam yang memiliki hak mutlak untuk memberikan dan mencabut
atribut keagamaan agar tidak terjadi kesimpangsiuran, sengketa dan
perang atribut yang sia-sia? Lebih jauh lagi, Apakah atribut ‘salaf’
dan semacamnya itu bermakna, tidak ambigu dan tidak berbau truth claim
(hegemoni teologis)? Apa batasan ilmiah ‘salaf’ dan definisi logis
‘saleh’? Bukankah ruang untuk berbeda pendapat dan penafsiran untuk
setiap atribut itu selalu terbuka?
Sebagaimana atribut Ahlussunnah yang
sempat diperebutkan oleh kalangan Nahdliyyin dan para penganut Wahabisme
(seperti Laskar Jihad Ahlussunnah-nya Jakfar Talib), ternyata merek
‘salaf’ juga menjadi sengketa.
Salaf adalah kata Arab yang berarti
‘berlalu’ sebagai lawan dari ‘khalaf’ yang berarti ‘menyusul’. Salafi
adalah predikat bagi orang-orang Muslim yang memiliki jargon ‘mengikuti
para salaf’ (terdahulu), seperti para ulama dan terutama para pendiri
mazhab.
Sebutan ini lebih sering digunakan
sebagai upaya menghindari penyebutan ‘wahabisme’ yang cenderung sinis
Kata ‘salafi’ tidak lain adalah kemasan lain dari teologi Wahabi yang
didirikan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb dari keluarga klan Tamîm. Ia lahir
di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111
H [1700 M] Masehi dan meninggal di Dar’iyyah. tahun 1206 H [1792 M.].
Ia sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama besar bermazhab
Hanbali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke 4 M.. Untuk menimba
ilmu, ia juga mengembara dan belajar di Makkah, Madinah, Baghdad dan
Bashra [Irak], Damaskus {Siria], Iran, Afghanistan dan India. Di Baghdad
ia kawin dengan seorang wanita kaya. Lalu berpindah ke Basra dan
mengajar selama 4 tahun di sana.
Ketika pulang ke kampung halamannya, ia
menulis buku yang kemudian menjadi rujukan kaum pengikutnya,
Kitâbut’Tauhîd . Para pengikutnya menamakan diri kaum Al-Muwahhidûn atau
as-Salafiyun.
Ia kemudian pindah ke ‘Uyaynah. Saat
sering memberikan khotbah Jumat di ‘Uyaynah, ia terang-terangan
mengafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah
[inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama
seperti di zaman Nabi.
Di kota ini ia mulai menggagas dan
meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan
akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang dianggapnya
mengandung bid’ah atau inovasi.
Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah, lalu
kaum sufi, kemudian ia mulai menyerang kaum Sunni. Tatkala masyarakat
mulai merasa seperti duduk di atas bara, ia diusir penguasa [amîr]
setempat pada tahun 1774.Ia lalu pindah ke Al-Dar’iyyah, sebuah oase
ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ûd, masih di Najd Tahun 1744 Muhammad
bin Su’ûd, amir setempat dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb saling membaiat
untuk mendirikan negara teokratik dan mazhabnya dinyatakan mazhab
resmi Ibnu Su’ûd sebagai amîr dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb jadi Qhadi
(jaksa agung). Ibnu Su’ûd mengawini salah seorang putri Muhammad bin
‘Abdul Wahhâb.
Sejak saat itu, terjadilah merger ambisi
politik Saud dan teologi kaku Muhammad bin Abdul Wahhab di bawah restu
Inggris. Klan Saud yang bercita-cita menyatukan klan-klan badui di
Jazirah Arabia di bawah kepemimpinannya seraya mengajak mereka
melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Otoman (Khilafah Utsmaniyah).
Muhammad bin Abdul Wahab bercita-cita mengganti dominasi Sunni di dunia
Islam dengan pandangannya karena menganggap teologi Sunni tercemari
oleh bida’ah-bid’ah kaum Sufi dan Syiah.
Kemenangan suku badui dari klan Saud
sangat bergantung pada dukungan Kolonialisme Inggris. Berkat gucuran
dana, suplay senjata dan pendidikan keterampilan, kekuasaan Ibnu Su’ûd
menyebar ke seluruh Jazirah Arab yang masa itu berada dalam kekhalifahan
‘Utsmaniyah dengan tujuan melemahkan khilafah itu. Orang bisa
membacanya dalam buku Hamsfer, ‘Confession of a British Spy’. Tahun 1800
seluruh Jazirah Arab telah dikuasai dan keamiran berubah menjadi
kerajaan Saudi Arabia.
Penaklukan-penaklukan pun dilakukan,
terhadap para kabilah dan kelompok yang menolak mazhab mereka, termasuk
Makkah dan Madinah dan akhirnya bentuk pemerintahannya berubah dari
emirat menjadi kerajaan Saudi Arabia sejak tahun 1932 sampai sekarang.
Tidak sampai disitu. Usai merebut
kekuasaan kaum Asyraf (yang notabene Sunni asli, bukan wahabi), pada
bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syî’ah di Karbalâ’.
Kabilah-kabilah yang tidak mau mengikuti
mazhab mereka dianggap kafir ‘yang halal darahnya’. Dengan demikian
mereka tidak dinamakan perampok dan kriminal lagi, tapi kaum ‘mujâhid’
yang secara teologis dibenarkan membunuh kaum ‘kafir’ termasuk wanita
dan anak-anak, merampok harta dan memperkosa istri dan putri-putri
mereka yang dianggap sah sebagai ghanîmah. Hanya sedikit yang dapat
melarikan diri.
Setelah lebih dari 100 tahun kemudian,
kekejaman itu masih juga dilakukan. Tatkala mereka memasuki kota Thâ’if
tahun 1924, mereka menjarahinya selama tiga hari. Para Qhadi dan ulama
diseret dari rumah-rumah mereka, kemudian dibantai beserta ratusan
lainnya yang dibunuh. [‘Utsmân bin Bisyr, Unwân al-Majd fî Târîkh Najd ,
akkah, 1349, jilid 1, hlm 121-122).
Kerajaan Saudi yang berdiri diatas
teologi Wahabisme dan dilindungi secara politik oleh Barat, terutama
Inggris, yang saat itu merupakan Negara adidaya (kini dilindungi penuh
oleh Amerika dan sekutunya) makin berhasil mengukuhkan diri sebagai ikon
Islam, karena di dalamnya terdapat Mekkah dan Madinah. Dengan segala
cara para pendeta wahabisme mengajarkan dan menjejalkan doktrin takfir
(pengkafiran terhadap sesama Muslim yang tidak sepaham dengan wahabisme)
di seluruh penjuru dunia.
Di Tanah Air, berkat limpahan minyak dan
devisa haji dan umrah yang berlimpah dan memanfaatkan terpuruknya
ekonomi dalam negari akibat ulah para koruptor, kerajaan ini memberikan
bantuan-bantuan berupa masjid dan sarana pendidikan agama serta
pemberian beasiswa dalam jumlah sangat besar kepada pesantren-pesantren
dan perguruan tinggi Islam.
Salafisme atau wahabisme telah melakukan
perubahan dalam pola dan gaya sesuai dengan tuntutan strategis.
Wahabisme kini bahkan tidak melulu identik dengan pandangan teologis
yang kaku dan intoleran, tapi menjadi sebuah gerakan transnasional yang
pada dasarnya menolak segala jenis sistem Negara yang berdiri diatas
konsensus dan kontrak social karena dianggap mengabaikan perintah
menegakkan hokum Allah, seperti Al-Qaedah dan Talibanisme dan JI. Demi
tuntutan strategis, dibagilah divisi-divisi dengan modus operandi dan
gaya perjuangan yang dikesankan tidak saling berkaitan. Bahkan untuk
memaksimalkan marketing, mereka cepat-cepat mendirikan sebuah institusi
politik yang terkesan berwawasan domestik nasionalis serta memutasi
dirinya sebagai partai yang santun dan bersih. Alhasil, kekhawatiran
petinggi NU dan bahkan mungkin Muhammadiyah terhadap eskalasi kekearasan
yang diyakini bersumber dari doktrin kaku Wahabisme, memang tidak
berlebihan.
Akhirnya, memaksakan “satu Islam” kepada
semua penganut Islam yang terpencar dalam berbagai mazhab dan pandangan
tentulah menyalahi watak toleransi Islam. Obsesi seseorang atau suatu
kelompok terhadap yang “satu” hanya mungkin dilakukan lewat pemaksaan,
seringkali lewat kekuasaan senjata, dan tindakan ini menyalahi konsepsi
Islam yang dasar. Dengan kata lain, menginginkan ‘satu pemahaman tentang
Islam’ adalah utopia dan anarkisme!
Seandainya kekerasan struktural yang
‘menenteng’ jargon agama, tidak ditentang, maka kita akan memasuki babak
kehidupan yang sangat mencekam. Bumi kita akan berubah menjadi hutan
belantara dan rumah-rumah kita bagai rumah hantu. Karena itu kita harus
menentang teologi horor yang belakangan ini mulai disemburkan oleh
sekelompok penjagal-penjagal sesama muslim atas nama Sunnah dan Salaf.
Masjid-masjid kaum minoritas berubah menjadi ladang penjagalan dan
mimbar-mimbar masjid dijadikan sebagai pusat pengkafiran sesama umat
Muhammad! Di sejumlah negara, sekelompok Muslim lain menjadi beringas
dan sadis terhadap kelompok Muslim lain hanya karena berbeda dalam cara
shalat! Beberapa waktu lalu sebuah pesantren di Jawa Tengah diserbu oleh
sekelompok massa yang diprovokasi oleh kelompok yang berlagak sebagai
‘polisi agama’ sehingga menimbulkan kerugian psikologis, fisik dan
sebagainya.
Apa jadinya bila negosiasi digusur oleh
konfrontasi, argumentasi dibalas teror, dan dialog diubah dengan fatwa
murtad! Tidakkah semestinya energi dan semangat anti terhadap minorias
agama dan mazhab diubah menjadi semangat penolakan terhadap kezaliman
yang dilakukan oleh para koruptor yang telah menggerogoti bangsa ini
tanpa sedikitpun rasa malu?
Indonesia ini adalah hasil perjuangan
semua penganut agama dari beragam sekte. Mengapa sikap santun dan
toleran –yang dulu menjadi alat promosi pariwisata kita- kini seakan
lenyap? Ada apa dengan bangsa ini?
Sayyidina Ali Pernah Peringatkan, Waspadai Kelompok ISIS !
Sayyidina Ali Pernah Peringatkan, Waspadai Kelompok Ini!
Solo, NU Online
Kemunculan kelompok ekstrem seperti ISIS (the Islamic State of Iraq and
Syria), Al Nusro dan lain-lain, sudah diprediksi kedatangannya oleh
sahabat Ali bin Abi Thalib.
Menurut pengasuh Majelis ‘Bismillah’ MWCNU Pasarkliwon Surakarta,
Habib Muhammad bin Husein Al-Habsyi, 1.400 tahun silam, Imam Ali telah
mengingatkan akan datangnya gerombolan bengis yang akan mengibarkan
panji-panji hitam yang menyerupai panji-panji hitam Imam Mahdi.
“Ucapan beliau terekam dalam literatur Hadits Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, yakni dalam kitab Kanzul Ummal yang dihimpun oleh ulama besar
yang bernama Al Muttaqi Al Hindi pada riwayat nomer 31.530,” terang
cicit Muallif Simtuddurar, Habib Ali Al-Habsyi itu, Ahad (20/7).
Dalam kitab tersebut, diriwayatkan bahwa Imam Ali pernah berkata: “Jika
kalian melihat bendera-bendera Hitam, tetaplah kalian di tempat kalian
berada, jangan beranjak dan jangan menggerakkan tangan dan kaki kalian.
Kemudian akan muncul kaum lemah (lemah akal sehat dan imannya), tiada yang peduli pada mereka, hati mereka seperti besi (hati keras membatu jauh dari cahaya Hidayah).
Mereka akan mengaku sebagai Ashabul Daulah (pemilik negara, saat ini ISIS telah mengumumkan berdirinya Daulah Islam di Iraq dan Syam), mereka tidak pernah menepati janji, mereka berdakwah pada Al Haq (kebenaran) tapi mereka bukan Ahlul Haq (pemegang kebenaran).
Namanya dari sebuah julukan, marganya dari nama daerah (nama pemimpin mereka, memakai nama julukan dan marga dari asal daerah Baghdad) rambut
mereka tak pernah dicukur, panjang seperti rambut perempuan, jangan
bertindak apapun sampai nanti terjadi perselisihan diantara mereka
sendiri, kemudian Allah mendatangkan kebenaran kepada siapa yang
dikehendaki-Nya.” (Ajie Najmuddin/Mahbib).
Bagaimana Sejarah Terbentuknya ISIS ?
Rabu, 06/08/2014 15:59
Jakarta, NU Online
Negara Islam Irak dan Suriah ISIS merupakan kelompok Jihadis yang aktif di Irak dan Suriah.
ISIS dibentuk pada April 2013 dan cikal bakalnya berasal dari
al-Qaida di Irak (AQI), tetapi kemudian dibantah oleh al-Qaida.
Demikiran reportase yang dikutip dari laman BBC Indonesia.
Kelompok ini menjadi kelompok jihad utama yang memerangi pasukan pemerintah di Suriah dan membangun kekuatan militer di Irak.
Huruf “S” dalam singkatan ISIS berasal dari bahasa arab “al-Sham”, yang merujuk ke wilayah Damaskus (Suriah) dan Irak.
Tetapi dalam konteks jihad global disebut Levant yang merujuk kepada
wilayah di Timur Tengah yang meliputi Israel, Yordania, Lebanon, wilayah
Palestina, dan juga wilayah Tenggara Turki.
Jumlah mereka tidak diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan memiliki ribuan pejuang, termasuk jihadis asing.
Koresponden BBC mengatakan tampaknya ISIS akan menjadi kelompok jihadis yang paling berbahaya setelah al-Qaida.
Siapa Abu Bakr al-Baghdadi?
Organisasi ini dipimpin oleh Abu Bakr al-Baghdadi. Hanya sedikit yang
mengetahui tentang dia, tetapi dia diyakini lahir di Samarra, bagian
utara Baghdad, pada 1971 dan bergabung dengan pemberontak yang merebak
sesaat setelah Irak diinvasi oleh AS pada 2003 lalu.
Pada 2010 dia menjadi pemimpin al-Qaida di Irak, salah satu kelompok yang kemudian menjadi ISIS.
Baghdadi dikenal sebagai komandan perang dan ahli taktik, analis
mengatakan hal itu yang membuat ISIS menjadi menarik bagi para jihadis
muda dibandingkan al-Qaeda, yang dipimpin oleh Ayman al-Zawahiri,
seorang teolog Islam.
Prof Peter Neumann dari King’s College London memperkirakan sekitar
80% pejuang Barat di Suriah telah bergabung dengan kelompok ini.
ISIS mengklaim memiliki pejuang dari Inggris, Prancis, Jerman, dan
negara Eropa lain, seperti AS, dunia Arab dan negara Kaukakus.
Sumber dana
Tak seperti pemberontak di Suriah, ISIS tampak akan mendirikan kekhalifahan Islam di Suriah dan Irak.
Kelompok ini tampak berhasil membangun kekuatan militer. Pada 2013
lalu, mereka menguasai Kota Raqqa di Suriah – yang merupakan ibukota
provinsi pertama yang dikuasai pemberonyak.
Juni 2014, ISIS juga menguasai Mosul, yang mengejutkan dunia. AS
mengatakan kejatuhan kota kedua terbesar di Irak merupakan ancaman bagi
wilayah tersebut.
Kelompok ini mengandalkan pendanaan dari individu kaya di
negara-negara Arab, terutama Kuwait dan Arab Saudi, yang mendukung
pertempuran melawan Presiden Bashar al-Assad.
Saat ini, ISIS disebutkan menguasai sejumlah ladang minyak di wilayah
bagian timur Suriah, yang dilaporkan menjual kembali pasokan minyak
kepada pemerintah Suriah.
ISIS juga disebutkan menjual benda-benda antik dari situs bersejarah.
ISIS menguasai kota Raqqa dan kota utama Mosul di Irak utara.
Prof Neumann yakin sebelum menguasai Mosul pada Juni lalu, ISIS telah
memiliki dana serta aset senilai US$900 juta dollar, yang kemudian
meningkat menjadi US$2 milliar.
Kelompok itu disebutkan mengambil ratusan juta dollar dari bank
sentral Irak di Mosul. Dan keuangan mereka semakin besar jika dapat
mengontrol ladang minyak di bagian utara Irak.
Kelompok ini beroperasi secara terpisah dari kelompok jihad lain di
Suriah, al-Nusra Front, afiliasi resmi al-Qaeda di negara tersebut, dan
memiliki hubungan yang “tegang” dengan pemberontak lain.
Baghdadi mencoba untuk bergabung dengan al-Nusra, yang kemudian
menolak tawaran tersebut. Sejak itu, dua kelompok itu beroperasi secara
terpisah.
Zawahiri telah mendesak ISIS fokus di Irak dan meninggalkan Suriah
kepada al-Nusra, tetapi Baghdadi dan pejuangnya menentang pimpinan
al-Qaida.
Di Suriah, ISIS menyerang pemberontak lain dan melakukan kekerasan terhadap warga sipil pendukung opoisisi Suriah. (mukafi niam) Foto: Reuters
Jakarta, LiputanIslam.com–
Diam-diam, kelompok teroris transnasional Negara Islam Irak dan Suriah
(ISIS), telah memiliki pemimpin di Indonesia. Ketua Umum Gerakan
Reformis (Garis) Islam, Chep Hernawan, mengaku dirinya adalah pimpinan
regional ISIS di Indonesia. Ia ditunjuk karena dinilai militan, berilmu
tinggi, amanah hingga istiqamah.
“Mereka melihat saya punya kriteria yang
diinginkan oleh mereka untuk menjadi pemimpin ISIS di wilayah
Indonesia,” kata Chep kepada wartawan di kediamannya, 7 Agustus 2014,
seperti dilansir Jpnn.
Ia akhirnya menampakkan diri, dan
mengakui bahwa ia telah ditunjuk sebagai pemimpin, ketika deklarasi ISIS
digelar pada Minggu 12 Maret 2014 lalu di Hotel Indonesia. Namun, ia
membantah jika ISIS di Indonesia memiliki tujuan untuk membentuk negara
Islam di Indonesia.
“ISIS di Indonesia itu tidak ada bedanya
dengan Garis. Tidak ada presiden, menteri, panglima perang, dan
kabinet-kabinet. Yang ada kami meneruskan perjuangan untuk menegakan
syariat Islam di Indonesia,” kata Chep.
Chep menambahkan, tidak ada instruksi dan
seruan untuk melakukan perang di Indonesia. Menurutnya, medan perang
sejatinya ada di Irak, Suriah, dan negara timur tengah yang kini sedang
berperang memperjuangkan akidah Islam. “Tidak ada radikalisasi dalam
ISIS ini. Pemberitaan yang ada di media itu tidak benar. ISIS sendiri
memperjuangkan dan menegakkan syariat Islam,” paparnya.
Diakui Chep, setidaknya ada ribuan
pengikut ISIS di Indonesia yang tersebar di Pulau Jawa. Menurutnya,
pengikut ISIS terbanyak di Indonesia berada di wilayah Jawa Barat. Akan
tetapi pengikut ISIS itu bukanlah teroris seperti yang diberitakan media
akhir-akhir ini.
“Tidak ada instruksi angkat senjata di
Indonesia, tapi kami mengirimkan pengikut ISIS yang betul mewakafkan
dirinya untuk membantu saudara sesama muslim di medang perang. Kami
sendiri ikut berbaiat dengan Abu Bakr Al-Baghdadi tapi tidak harus
datang ke sana,” paparnya.
Di Cianjur, dirinya menyebut ada puluhan
anggota ISIS yang bergabung dari berbagai latar belakang. Menurutnya,
bergabungnya mereka ke ISIS dalam rangka keinginan untuk mengubah dan
menegakkan syariat Islam dan konstitusi.
“Latar belakang pendidikan mereka 60
persen sarjana, ada juga lulusan pesantren yang tersebar di beberapa
wilayah di Cianjur. Selain itu, usia mereka semua rata-rata di atas 20
tahun,” tandasnya lagi.
Chep menyebut, selama ini ia melakukan
koordinasi dengan jaringan ormas, seperti Majelis Mujahidin, FPI, yang
dilakukan lewat telpon. Tujuannya adalah menghentikan pergerakan
radikal di NKRI.
Terkait ISIS yang disimpulkan sebagai
pergerakan yang dilarang oleh pemerintah, dirinya siap menjelaskan
kepada negara, bahwa ISIS tidak seperti yang dituduhkan selama ini
seperti yang ada di media-media Barat. “Kemarin saya sudah dipanggil
oleh Menteri Agama. Di sana kami jelaskan bahwa ISIS bukan organisasi
radikal,” jelasnya.
Chep juga berani bersumpah bahwasanya
sumber pendanaan ISIS berasal dari dana yang halal dan bukan dari hasil
merampok. “Demi Allah, dana yang kita himpun bukan hasil dari kejahatan,
ini murni dari hasil sedekah dan infak perusahaan-perusahaan saya,”
tegasnya.
MUI Segera Panggi Pimpinan ISIS Indonesia.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kabupaten Cianjur, KH Abdul Halim, dilaporkan akan segera memanggil
Pemimpin ISIS, Chep Hernawan. “Kami belum bisa menindak apa-apa karena
kami juga baru mendengar pernyataan itu tadi malam (Kamis, 7 Agustus
2014) melalui media,” kata Abdul, seperti dilansir Tribunnews, 8 Agustus 2014.
Menurut Abdul, MUI memang telah
mengharamkan ISIS untuk berkembang di Indonesia. Selain ideologinya yang
berbeda, ISIS bukanlah gerakan Islam melainkan hanya mengatasnamakan
Islam yang perilakunya tidak Islami. Karenanya ia ingin mengetahui
secara pasti tentang ISIS yang dipimpin warga Cianjur itu.
“Apakah ISIS itu identik dengan yang di
sana (Irak- red). Kami tidak bisa memberikan pandangan andaikata yang
ada di Cianjur itu hanya mendukung ISIS saja. Sekarang kami hanya bisa
melarang kelompok atau aliran yang merusak tatanan ajaran Islam itu
saja,” kata Abdul.
Senada dengan MUI, Bupati Cianjur,
Tjetjep Muchtar Soleh, juga sangat mendukung penolakan ideologi ISIS di
Kabupaten Cianjur. Menurutnya, termasuk segala bentuk gerakan-gerakan
ideologi yang bisa merusak tatanan masyarakat tidak boleh berkembang di
Kabupaten Cianjur.
Terkait adanya tokoh masyarakat Cianjur
yang mengaku sebagai pimpinan tertinggi ISIS di Indonesia, Tjetjep
bersikap diplomatis. Menurutnya, perlu ada penjelasan terkait dengan
pernyaaan itu. “Itu kan baru informasi yang belum jelas. Saya yakin di
Kabupaten Cianjur tidak ada penggikut ISIS,” kata Tjetjep.
Pihak lain, Kapolres Cianjur, AKBP Dedy
Kusuma Bakti, mengaku telah melakukan pemantauan ke sejumlah wilayah
terhadap perkembangan ISIS di Kabupaten Cianjur. Terlebih setelah adanya
klaim pemimpin ISIS regional Indonesia yang merupakan warga Kabupaten
Cianjur.
“Pantauan kami terus berjalan dan memang
ada beberapa pihak yang mendeklarasikan dirinya adalah bagian dari ISIS
tapi itu akan kami tindaklanjuti lagi apakah klaim itu seperti paham
ISIS sejatinya atau memang beliau tidak tahu paham ISIS. Karena yang
berkembang di Irak dan Suriah itu membahyakan NKRI,” kata Dedy. (ba)
Polri: Tidak ada Aksi Teror, Anggota ISIS Tak Bisa Ditangkap.
Jakarta, LiputanIslam.com –
Terkait maraknya pembahasan terhadap isu terkait kelompok teroris
transnasional Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), pihak Polri turut
angkat bicara. Dari keterangan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas
Besar Polri, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar, menyatakan bahwa pihaknya
tak bisa asal ISIS Indonesia. Mengapa?
Alasannya, penangkapan para anggota
maupun perekrut ISIS tersebut harus ada dasar hukumnya. “Sekarang mereka
masih sebatas simpatisan. Belum terkait dengan aksi-aksi perbuatan
melanggar hukum unsur-unsur subyektif dan obyektif,” kata Boy di kantor
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kementerian Agama, Jakarta
Pusat, Sabtu, 9 Agustus 2014, seperti dilansir Tempo.
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa
penangkapan anggota ISIS bisa dilaksanakan bila ada aktivitas terorisme.
Kalau tidak ada, maka tak ada dasar hukum untuk menangkap. Boy juga
menyatakan untuk penangkapan perekrut ISIS di Indonesia tinggal menunggu
waktu. “Mereka diwaspadai. Silakan berbicara, ini negara demokrasi.
Ketika melanggar hukum, kami baru melakukan penangkapan,” ujarnya.
Menurut Boy, pengikut ISIS di Indonesia merupakan teroris yang sudah
menjalani tahanan.
Gerakan ISIS di Indonesia mulai muncul
sejak bulan lalu. Belakangan, muncul video ajakan untuk masuk ISIS di
YouTube yang tersebar di Indonesia. Bahkan sudah ada beberapa pembaiatan
di sejumlah daerah. Abu Bakar Ba’asyir, terdakwa terorisme yang sedang
mendekam di Nusa Kambangan, pun dikabarkan telah membaiat 20-an
narapidana terorisme untuk bergabung dengan ISIS.
Sikap Polri ini mendapat kritikan dari
Muhammad AS Hikam, seorang pengamat politik. Menurutnya, pernyataan
Polri tersebut sama sekali tidak membantu pemerantasan terhadap
terorisme.
“Statemen Polri yang menurut hemat saya
sangat tidak membantu pemberantasan maraknya gagasan dan gerakan Islam
radikal dan atau gerakan lain yang berlawanan dengan Konstitusi serta
berusaha mengganti bentuk NKRI,” tulisnya di jejaring sosial.
“Omongan Boy Rafli Amar bahwa Polri tidak
bisa asal menangkap anggota ISIS di Indonesia, terkesan sangat
legalistik dan, bagi saya, hanya sebuah cover up (upaya menutupi)
kelemahan, ketidak mampuan, dan ketidak beranian dirinya menghadapi
ancaman terhadap keamanan dan kepentingan nasional RI,” tambahnya.
AS Hikam menilai, untuk dasar hukum
penangkapan anggota ISIS, ada UU mengenai Terorisme dan UU mengenai
Kewarganegaraan RI pun sebenarnya bisa digunakan. Dia khawatir statemen
Polri itu akan ditafsirkan publik bahwa pihak Polri tidak punya
semangat yang serius dalam menghadapi ancaman terhadap keamanan nasional
seperti ISIS ini.
“Boro-boro Polri aktif dalam upaya
deteksi, cegah, dan penanggulangan dini terhadap ancaman ini, bahkan
setelah begitu banyak informasi dan bukti maraknya gerakan perekrutan
ISIS di Indonesia saja, pejabat seperti Boymasih berkilah,” katanya.
Argumen Boy bahwa Polri baru bisa
menangkap simpatisan ISIS jika mereka melakukan aksi teror, menurut dia,
menunjukkan kebebalan nalar yang luar biasa. Bagaimana mungkin Polri
akan bisa dijadikan alat negara untuk mengatasi maraknya perkembangan
ideologi dan gerakan massal para pendukung ISIS jika ukurannya adalah
adanya aksi teror di negeri kita?
“Lagipula, bukankah justru rekrutmen
mereka itu akan dipergunakan untuk melakukan aksi perang di negara lain?
Kalau nalar Boy diikuti, sampai ada lebaran kuda baru akan terjadi
tindakan terhadap penyebar ideologi Islam garis keras dan gerakan
rekrutmen terhadap anak bangsa di Indonesia.”
AS Hikam juga merasa bahwa pencegahan
terorisme harus dimulai sejak dini. “Padahal yang namanya tindakan cegah
dini harus dimulai sejak gagasan radikalisme tumbuh dan dikembangkan,
apalagi jika sudah ada aksi rekrutmen. Penangkapan dalam rangka cegah
dini dan untuk pemeriksaan intensif bisa saja dilakukan untuk mencegah
aksi-aksi yang akan mengancam keamanan nasional,” tulisnya. (ba)
Mengamati pola gerakan ISIS yang sangat
radikal dan paham ke agamaannya yang keras (ekstrim) membuat saya
teringat dengan sejarah berdirinya Kerajaan Arab Saudi ( KAS) di Jazirah
Arabia ( Semenanjung Arab). Saya mencoba kembali membuka sejarah KAS,
dan setelah saya amati, terdapat dua sisi kesamaan antara ISIS dan KAS;
1. Paham keagamaan yang ektrim. Paham
keagamaan yang dianut ISIS adalah paham penafikan (ilgha’) terhadap
paham yang lain, atau yang biasa disebut dengan takfiri, sebuah paham
yang menyatakan bahwa paham lain yang tidak sama dengan dianggap sesat,
kafir dan murtad, dan praktek-praktek keagamaan yang menurut mereka
menyimpang dianggap sebagai perbuatan musyrik. Karena itu, mereka
mengganggap kafir dan musyrik orang-orang dan kelompok Islam yang tidak
sejalan dengan mereka.
Mungkin, kita semua telah tahu bahwa
paham keagamaan resmi KAS seperti itu. Sehingga setiap jamaah Umrah dan
Haji tidak akan mendapatkan situs-situs sejarah Islam yang mempunyai
nilai sejarah yang tinggi di tempat-tempat suci ( Mekah dan Madinah).
Kalaupun situs-situs itu masih ada, maka terdapat di sekitarnya board besar yang bertuliskan dengan beberapa bahasa (termasuk bahasa Indonesia) dan isinya peringatan akan kemusyrikan.
Lebih dari itu, para jamaah haji dan
umrah merasakan tidak nyaman ketika berziarah ke kuburan Nabi saw.
Mereka dihardik dan dibentak dengan kata-kata musyrik, haram dan bid’ah
oleh paramuthawwi’ dengan cara yang kasar. Konon, sebelum KAS berdiri, di mesjidil Haram dibentukhalaqah-halaqah (kelas-kelas) yang diisi oleh para ulama dari berbagai mazhab dan aliran dalam Islam, tapi sejak KAS berdiri hingga saat ini, halaqah-halaqah itu hanya diisi oleh satu paham keagamaan saja, yaitu paham keagamaan resmi KAS.
Mazhab dan aliran yang lain dilarang
bahkan sebagian darinya dianggap sesat dan kafir (seperti aliran
tasawwuf). Penganut paham keagamaan seperti ini jelas tidak akan toleran
dan tidak akan bersahabat dengan penganut paham lain.
2. Gerakan dakwah yang radikal. ISIS
dibangun di atas teritorial yang dikuasai oleh mereka dengan cara
perampasan wilayah Aleppo ( Suria) dan Mosul ( Irak ) yang secara de
facto dan de jure berada dalam kekuasaan dua negara tersebut.
ISIS secara semena-mena mengklaim dua wilayah itu sebagai kekuasaannya.
Mereka memaksanya penduduk dua wilayah itu mengikuti paham keagamaan
mereka secara paksa. Mereka tidak segan-segan membunuh dan membantai
orang-orang yang tidak menerima paham mereka, seperti kelompok Muslim
Syiah dan umat Kristiani.
Demi menjaga keutuhan paham keagamaan,
mereka menghancurkan kuburan orang yang disucikan oleh penduduk setempat
( kuburan Nabi Yunus di Mosul dan kuburan sahabat Ammar bin Yasir di
Damaskus dan lainnya). Juga gereja kaum Kristiani tidak luput dari
penghancuran.
Hal yang sama; pembantaian terhadap
penganut paham lain dan penghancuran kuburan orang-orang yang disucikan,
telah dilakukan oleh para pendahulu dari pendiri KAS. Sejarah mencatat
bagaimana mereka masuk ke Mekkah pada 1806, dan merusak kiswah, kain
penutup Ka’bah yang terbuat dari sutra. Kemudian merobohkan puluhan
kubah di Ma’la, termasuk kubah tempat kelahiran Nabi Saw, tempat
kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna
Khadijah, dan masjid Abdullah bin Abbas.
Mereka juga mencaci-maki ahli kubur
bahkan sebagian mereka kencing di kubur kaum salihin tersebut. Kekejaman
mereka lainnya adalah meruntuhkan kubah-kubah di atas makam
sahabat-sahabat Nabi Saw yang berada di Ma’la (Mekkah), di Baqi’ dan
Uhud (Madinah). Semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan tanah dengan
mengunakan dinamit penghancur. Demikian juga kubah di atas tanah
kelahiran Nabi Saw. Namun karena gencarnya desakan kaum Muslimin
International maka dibangun perpustakaan.
Mereka benar-benar tidak pernah
menghargai peninggalan sejarah dan menghormati nilai-nilai luhur Islam.
Pada puncaknya tahun 1924, mereka menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan
Jeddah dengan memanfaatkan kelemahan Turki akibat kekalahannya dalam
Perang Dunia I. kemudian mendaklarasikan KAS.
Sejarah terulang kembali, namun yang
membedakan keduanya adalah bahwa KAS berdiri saat media informasi belum
sehebat dan seluas saat berdirinya ISIS sehingga hanya sedikit dari kaum
Muslimin yang mengetahui sejarah KAS. Kalangan umum dari kaum Muslimin
menganggap bahwa KAS adalah lanjutan dari kekuasaan Islam jaman dahulu
sehingga mereka menganggap KAS adalah refresentatif dari kerajaan Islam
yang asli. Sementara ISIS dirikan saat media massa sudah maju dan
berkembang pesat, sehingga keburukan mereka mudah terpantau oleh dunia.
Keberuntungan saja yang berpihak ke KAS sehingga kekejaman dan keburukan
mereka hilang dari pantau umum. (HMA)
ISIS Disebut Teroris, Tokoh-tokoh Agama ini Walk Out.
Palembang, LiputanIslam.com
– Kekejaman yang dilakukan organisasi teroris transnasional Negara
Islam Irak dan Suriah sudah marak beredar, namun tetap saja masih ada
pihak yang membelanya di Indonesia. Seperti kemarin (8/8), temu tokoh
agama di palembang berlangsung panas lantaran adanya perbedaan pandangan
terkait ISIS.
Awalnya pertemuan ini bertujuan untuk
untuk membahas langkah yang diambil terkait ISIS. Namun acara yang
difasilitasi oleh Kanwil Kementerian Agama Sumsel ini, tidak sesuai
dengan harapan, lantaran beberapa tokoh memilih walk out dari ruangan.
Forum tersebut dihadiri sejumlah tokoh
agama di Sumsel, seperti dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB),
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Forum Umat Islam (FUI), Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Walubi, Persekutuan
Gereja-gereja Indonesia (PGI), dan sejumlah tokoh agama dan organisasi
keagamaan lain.
Aksi walk out ini bermula dari
pernyataan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragam (FKUB) Sumsel KH Buya
Thohlon Abdul Rauf bahwa ISIS adalah teroris dan hanya warga negara
Indonesia yang gila saja jadi pengikut ISIS.
Pernyataan tersebut ternyata mengundang emosi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sodikun.Bahkan
Sodikun sempat mengacungkan tangannya ke muka Thohlon. Menurut Sodikun,
tidak ada yang berhak menyatakan organisasi ISIS adalah teroris. Ia
menilai, ISIS perlu dikaji secara mendalam tentang ajaran dan tujuannya.
“Kepada anjing saja kita ada adab. Tidak bisa kita sebut orang itu gila
hanya karena ISIS apalagi sesama Muslim,” ungkap Sodikun, seperti
dilansir Merdekacom, 8 Agustus 2014.
Penolakan yang sama juga diutarakan Ketua
FUI Sumsel Umar Said. Ditegaskannya, terlalu dini menyatakan ISIS
adalah teroris. Bisa jadi, kata dia, isu ini diprovokasi oleh negara
tertentu untuk menghancurkan Islam. Umar Said pun langsung keluar
setelah menyampaikan sikap.
Situasi makin memanas setelah sejumlah
tokoh agama lain turut berkomentar. Suasana mereda setelah suara azan
berkumandang. Setelah dilanjutkan, pertemuan itu pun akhirnya memutuskan
sejumlah poin, salah satunya menolak setiap aksi kekerasan terhadap
agama. (ba)
Awal Ramadhan tahun ini, dunia
internasional dikejutkan oleh pengumuman dari juru bicara gerakan
bersenjata yang menamakan dirinya Islamic State in Iraq and Sham
(ISIS) tentang telah berdirinya Khilafah Islamiyah. Juru bicara ISIS,
Syaikh Abu Muhammad al Adnaniy asy Syamiy melalui rekaman audio yang
disebarkan secara online, memberi penegasan bahwa (Islampos.com, 30/6/2014):
“ Dewan syura Daulah setelah melalui
berbagai pertimbangan memutuskan untuk mendirikan Khilafah Islam dan
menunjuk Abu Bakar Al-Baghdadiy sebagai khalifah yang akan memimpin
seluruh kaum Muslimin. Dan ia (Al-Baghdadiy) telah menerima bai’at.
Oleh karena itu, dia adalah imam dan khalifah bagi setiap Muslim di
manapun. Dan dengan ini, nama Irak dan Syam dalam nama Daulah Islam
sekarang dihapus dari semua pembahasan dan komunikasi resmi, dan nama
resminya diubah menjadi ‘Daulah Islam’ dimulai dari sejak tanggal
deklarasi ini!”
Pengumuman ini merupakan sebuah
proklamasi hadirnya Negara baru yang berimajinisi mengembalikan kejayaan
Kekhilafahan Islam di masa lalu. Nama Khilafah Islamiyah merujuk pada
sebuah imperium yang dibangun sejak masa Abu Bakr ash-Shiddiq sampai
masa Kekhilafahan Turki Ottoman, yang runtuh di awal abad 20.
Namun, berbeda dengan bangunan
Kekhilafahan era Khulafa-ar-Rasyidin (The Great Chalipate) saat Abu Bakr
ash-Shiddiq pertama-kali diba’iat, yang berbasis pada transisi dan
pergantian kepemimpinan secara damai dari Nabi Muhammad; Kekhilafahan
Islamiyah model ISIS hadir justru dari kecamuk perang antar faksi-faksi
umat Islam di sekitar Irak dan Syria. ISIS – pada awalnya – merupakan
bagian dari faksi militer Al-Qaeda yang menyempal. Sang Khalifah, Abu
Bakr al-Baghdadiy merupakan tokoh penting Al-Qaeda yang kemudian keluar
dan mengorganisasikan sebuah kekuatan milisi bersenjata bernama ISIS.
Kemahirannya dalam pengorganisasian membuat al-Baghdadiy sanggup
menjadikan ISIS sebagai faksi bersenjata yang sangat disegani, bahkan
Al-Qaeda sendiri tak sanggup menghadapi.
Anggota utama dari pasukan yang
diorganisir oleh ISIS adalah faksi-faksi militer yang bersimpati dengan
perjuangan Al-Qaeda. Beberapa simpatisan Ikhwanul-Muslimin, Hizbut
Tahrir, dan Salafy secara personal – yang mempunyai visi sama – juga
merupakan anggota dari ISIS. Meskipun demikian, sejauh ini, tidak ada
pernyataan terbuka dari Ikhwanul Muslimin dan Salafy untuk mendukung
berdirinya Khilafah Islamiyah versi ISIS itu. Bahkan, melalui rilis di
website-nya, Hizbut Tahrir secara terbuka mengutuk pendirian Khilafah
Islamiyah versi ISIS, menganggap bahwa pendiriannya tidak sesuai dengan
kaidah-kaidai syar’i.
Di Indonesia, dukungan secara resmi
justru muncul dari jejaring Islam yang berafiliasi dengan Jama’ah
Islamiyah seperti Korps Mubaligh Jakarta (KMJ) dan Jam’ah Anshorut
Tauhid (JAT). Patut dicatat, KMJ dan JAT (Kompas, 18/7/2014) adalah dua
organisasi yang secara terang-terangan mempermasalahkan karikatur The
Jakarta Post yang mengkritik kebiadaban ISIS. Meskipun, secara terbuka,
The Jakarta Post telah memintaa maaf dan mencabut karikatur itu, KMJ dan
JAT tetap menuntut The Jakarta Post ke pengadilan.
Satu tokoh penting dari lingkaran dalam
Jama’ah Islamiyah, Ustadz Abu bakr Ba’asyir secara terbuka telah memberi
dukungan atas berdirinya Khilafah Islamiyah versi ISIS itu. Dari
penjara Nusa Kambangan, melalui juru bicaranya, Ustadz Abu Bakar
Ba’asyir memberi dukungan terbuka, tetapi belum memberi ba’iat terhadap
Khalifah Abu Bakar Al-Baghdadiy. Di samping itu, kampanye-kampanye untuk
mensosialisasikan dan mendukung berdirinya Khilafah Islamiyah sangat
massif dilakukan. Simpul-simpul gerakan ini meliputi Ciputat,
Bandung,Bogor, Solo, Jogja, Surabaya, Malang, dan bahkan sampai Nusa
Tenggara Barat.
Melihat gerakan yang sangat massif itu,
potensi menjamurnya dukungan (dan juga ba’iat) terhadap Khilafah
Islamiyah versi ISIS sangat kuat terjadi di Indonesia. Adalah wajar,
jika kemudian, ternyata anggota dari milisi bersenjata ISIS merupakan
orang-orang Indonesia. Majalah TIME (17/6/2014) pernah melaporkan bahwa
sebagian besar anggota ISIS bukanlah orang-orang Timur-Tengah, Uzbek,
atau Checnya melainkan orang-orang dari Indonesia. Artinya, meskipun
gerakan terorisme telah diperangi secara massif di Indonesia oleh Densus
88, namun aliansi antara gerakan fundamentalisme Islam radikal di
Indonesia dengan Timur-Tengah belum terputus, eksodus migrasi para
pejuang jihad dari Indonesia ke wilayah-wilayah konflik di Timur-Tengah
masih terus terjadi. Indonesia adalah wilayah subur kaderisasi pejuang
jihad.
Delegitimasi Pancasila.
Realitas sosial ini tentu saja sangat
mengkhawatirkan dan membutuhkan respon yang tepat dan cepat. Pembiaran
terhadap kampanye yang sangat massif oleh para pendukung ISIS di
Indonesia merupakan tindakan yang sangat kontraproduktif.
Ideologi yang dibawah oleh ISIS adalah
fundamentalisme Islam yang ekslusif, mengabaikan aspek inklusifisme dan
acuh terhadap keragaman. ISIS – dengan Khilafah Islamiyah-nya –
memimpikan hadirnya Pan-Islamisme Raya di dunia. Irak, Syria dan
sekitarnya dijadikan basis utama gerakan ini. ISIS – sama dengan Hizbut
Tahrir – menentang keras demokrasi dan nasionalisme yang dianggapnya
sebagai taghut, berhala terkutuk yang harus dilawan. Bahkan, dalam
banyak aksinya, ISIS tak segan membunuh siapa saja yang menentang cita
ideal yang diimpikannya. Aksi-aksi kekerasan dan kekejaman oleh ISIS
banyak diunggah di dunia maya oleh anggotanya sendiri. Kekejaman ISIS
inilah yang sejatinya merupakan sasaran kritik dari karikatur The
Jakarta Post edisi 3 juli 2014. Karikatur itu sejatinya adalah
copy-paste dari media Al-Quds Al-Arabiya yang mempublikasikan karikatur
yang sama pada tanggal 30 Juni 2014. Artinya, di Timur-Tengah sendiri,
ISIS juga dikritik.
Ideologi ISIS yang anti-dialog dan
mengembangkan sudut pandang islamisme sempit sangat bertentangan dengan
cita-ideal bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa memimpikan Indonesia
menjadi bangsa yang majemuk, bangsa yang internasional – kalau meminjam
istilah dari Bung Karno. Sebaliknya, ISIS menghadirkan konsep
homogenisasi kebangsaan melalui islamisme. Jika di Indonesia yang
menjadi ikatan pemersatu kredo kebangsaan adalah Pancasila maka ISIS
memimpikan Islam sebagai pengikat kebangsaan. Dilihat dari sini, gagasan
ISIS jelas sangat bertentangan dengan keindonesiaan. ISIS adalah
anti-thesis dari keindonesiaan.
Masalahnya, di level akar rumput,
gagasan-gagasan ala ISIS ini berkembang bak cendawan. Ustadz-ustadz yang
mempunyai sudut-pandang Islamisme dan anti-Pancasilaisme bertebaran di
kampong-kampung dan sudut-sudut kota. Pengajian-pengajian yang
mendeskreditkan Pancasila kerap terdengar, meskipun tidak dilakukan
secara terbuka.
Musuh terbesar dari Pancasila adalah
islamisme. Hal ini perlu digaris-bawahi mengingat Indonesia adalah
Negara dengan jumlah pemeluk Islam yang sangat besar. Setiap usaha
provokasi untuk menumbangkan pancsilaisme dan menggantikannya dengan
islamisme akan mudah direspon, terutama oleh anak-anak muda. Lebih lagi,
di saat yang sama, ketidak-adilan terjadi begitu massif di Indonesia.
Isu-isu ketidak-adilan menjadi “pemantik api” yang pas untuk menawarkan
“surga”.
Counter Discourse.
Sikap paling bijaksana menghadapi
membiaknya gagasan fundamentalisme agama berbasis Islamisme ini bukan
dengan cara-cara kekerasan atau intimidasi. Kekerasan dan intimidasi
justru memperkuat militansi dan diskursus yang mereka bangun. Terbukti,
pendekatan kekerasan yang dilakukan oleh Densus 88 tidak serta-merta
mengeliminasi cara-pandang islamisme ini. Alih-alih berkurang, cara
pandang islamisme justru mngental, menguat dan membiak. Densus 88 malah –
sekarang – menjadi musuk publik karena tindakan-tindakannya kerap tidak
transparan.
Cara terbaik menghadapi membiaknya
ideology islamisme ini adalah dengan melakukan counter discourse atau
melawan wacana islamisme dengan wacana pancasilaisme, Halini penting
dilakukan untuk mendarah-dagingkan falsafah Pancasila sebagai
philosofische grondslag, terutama pada kalangan kaum muda. Hancurnya
karakter kebangsaan di kalangan kaum muda disebabkan pancasila tidak
pernah dikampanyekan secara massif. Kalau toh ada kampanye tentang
pancasila, itu dilakukan hanya dalam bentuk seremonial, tanpa ada
pemahaman dan pemaknaan yang mendalam. Pancasila – akhirnya – hanya
menjadi sebagai ornament sejarah – meminjam istilah BJ. Habibie.
Diskursus tandingan (Counter discourse)
tentang Pancasila perlu dimassifkan dalam menghadapi islamisme atau
islamsentrisme ala ISIS untuk menghadirkan wajah Islam yang
mengindonesia. Islam yang otentiuk dengan nilai-nilai keindonesiaan,
bukan Islam ala Timur-Tengah yang anti-perbedaan. Kredo “Bhineka Tunggal
Ika” harus dapat diresapi sebagai usaha untuk mengindonesiakan Islam.
ISIS-led sectarian terror is causing
havoc in the region. The Maliki government in Baghdad, however, cannot
be absolved of responsibility either for contributing to the alienation
of tribal elders in places like Mosul that facilitated the takeover by
ISIS of the country’s second largest city. Sectarianism cuts both ways;
it must be condemned no matter who indulges in it.
Beirut, Crescent-online
Sunday June 15, 2014, 11:47 DST
The capture of Mosul and Takrit by the
takfiri terrorist group that uses the inappropriate title, Islamic State
of Iraq and Syria (ISIS) even surprised the group. They had expected
some resistance from the 30,000-strong “US-trained” Iraqi army but when
ISIS thugs entered the city on June 10, the Iraqi army fled.
Why?
Various explanations have been offered
ranging from the cowardice of Iraqi officers that fled the scene,
providing an opening for the ISIS thugs, to lack of motivation of the
Iraqi army against a determined enemy that has gained notoriety extreme
cruelty and mass murder.
All these have elements of truth. How can
a 30,000-strong heavily equipped army melt away before barely 1,000
ISIS fighters no matter how well equipped?
The real reason for the Iraqi army’s rout
can be traced to massive corruption in the country, lack of
representative government that functions on the basis of sectarianism
rather than addressing the needs of all the people and failing to take
account of tribal loyalties.
It was essentially the deep
disenchantment of tribal leaders in Mosul that facilitated the ISIS’s
take over. In 2007, it was the same Sunni tribal elders that had helped
rout the terrorists from Anbar province.
Instead of appreciating such help and
giving them a stake in governing of the country, Iraqi Prime Minister
Nouri al-Maliki indulged in sectarian politics.
It must be admitted that sectarianism
cuts both ways. There are Sunni sectarians and there are Shia
sectarians. Unless both rise above such sectarianism, it will not help
to condemn the sectarianism of one side and gloss over that of the
other.
Maliki and his allies have as much to answer for as the terrorists and
their sponsors—Saudi Arabia, Qatar and the US—regarding the alarming
rise of sectarianism in Iraq.
Regimes that operate on the basis of
sectarianism lose legitimacy even if the disadvantaged groups are
minorities. Should we not expect Maliki to behave differently than the
medieval tribal rulers of Saudi Arabia, Qatar, Bahrain or other
Shaikhdoms in the region?
There is of course American involvement
as well. The ISIS thugs are nurtured by the US. It is interesting to
note that there are Americans advising both the ISIS and the Iraqi army.
American mercenaries are embedded on both sides.
Instigating sectarian warfare is a long
established US policy. This is what we have witnessed in Syria where it
is on the verge of defeat but it was expected that these mercenaries
would flood into Iraq from where many of them had emerged led by Abu
Bakr al-Baghdadi. He has appeared as replacement for Osama bin Laden
even superseding Ayman al Zawahiri.
Al Baghdadi was captured by the Americans
in 2005 and spent four years in Bucca prison after Abu Ghraib gained
notoriety for American torture, rape and murder.
It cannot be ruled out that the Americans
struck a deal with al-Baghdadi before releasing him in 2009. His
absolute ruthlessness is precisely the kind of character the Americans
were looking for. He can advance their sectarian agenda. Further, he had
served in the Iraqi army of Saddam Hussain.
By indulging in horrific acts of
terror—public beheadings, killing children and women as well as shooting
people without any reason—such acts were bound to evoke a strong
reaction from the other side. The ISIS thugs even murdered fellow
terrorists from Jabhat al-Nusra as well as the Free Syrian Army; the
latter simply disintegrated because it could not match ISIS brutality.
ISIS ranks are filled with former
Ba‘thist soldiers as well as disgruntled Iraqi Sunnis that successive
Iraqi regimes have alienated because of sectarianism. If governments
cannot represent the interests of all its people, they will face such
problems.
True, the rise of ISIS is a grave threat
to the entire region but their military defeat alone will not solve the
problems plaguing Iraq.
Whosoever is in power in Baghdad will
have to address the legitimate grievances of all the people—Sunnis,
Shias, Kurds etc—that make up the state of Iraq. It will not do to
simply say that the Shias were deprived of their rights by successive
Iraqi regimes that were Sunni dominated.
Saddam Hussain could hardly be described a
Sunni even if he was born into a Sunni family. He was a CIA-imposed
thug whose ruthlessness appealed to the Americans and other Western
powers. He was assigned the task of destroying the Islamic Republic of
Iran. When he failed in that mission, he ended up dangling from a rope, a
fate he richly deserved.
Today’s Iraq does not need the Shia
equivalent of a “Sunni” Saddam; it needs a leader who will represent all
the myriad people of the country. That is the only way to defeat the
sectarian mass murderers.
American Senator Rand Paul says the
US government is involved in training and arming ISIS terrorists and its
allies that have caused havoc in Syria and Iraq. The Republican Senator
from Kentucky said had it not been for American support, ISIS would not
be spreading terror in Iraq today. In the photo, ISIS terrorists are
seen shooting and killing civilians dumped in a ditch in Tal Afar in
Iraq.
Washington DC, Crescent-online
Monday June 23, 2014, 08:49 DST
The eruption of violence in Iraq by the
so-called Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) led by the new
terrorist poster boy Abu Bakr al-Baghdadi, has sent shock waves in the
region. Numerous questions have been asked about the group’s backers and
how it has made such spectacular gains against the US-trained Iraqi
army.
It is well known that the archaic Saudi
regime has been the principal sponsor of terrorist groups in the region.
American senator Rand Paul has now accused the US government of arming
ISIS terrorists in Syria and funding its allies despite Washington
expressing hypocritical concern about its murderous activities in Iraq.
The Republican Senator from Kentucky,
Rand Paul made the remarks on NBC News’s ‘Meet the Press’ on Sunday June
22. He said the US regime has been funding ISIS allies and supporting
the terrorist group in Syria.
The ISIS made its mark as the most
ruthless terrorist group in Syria by murdering civilians as well as
members of rival terrorist gangs, essentially out-terrorizing them. The
US has been funding, arming and training these murderous thugs for years
in Syria.
“They’re emboldened because we’ve been
supporting them … It could be Assad [could have] wiped these people out
months ago,” Senator Rand Paul told NBC.
Pembantaian oleh ISIS
“I personally believe that this group
would not be in Iraq and would not be as powerful had we not been
supplying their allies in the war.”
There have been widespread reports that
the CIA has been training terrorists at a secret base in Jordan to
carrying out terrorist activities in Syria. This has gone on since 2012.
According to reports there are between 200 to 1000 American Special
Forces and CIA operatives involved in such terrorist training.
American allies Britain and France are
also involved in such illegal criminal activities while publicly
claiming to be supporting democracy and the rule of law.
The British news agency Reuters and the
Guardian newspaper have reported CIA training of terrorists for
launching operations in Syria. More recently, the independent news
website, WND, has carried similar reports.
The ISIS mutated from the Islamic State
of Iraq, a group that emerged in 2005 in Iraq and was then led by the
Jordanian Musab al-Zarqawi. When he was killed by the Americans in 2006,
the group went into decline but its fortunes were revived with the
US-Saudi-zionist conspiracy against the government of Bashar al-Asad in
Syria.
The Americans had already released their
prize possession, Abu Bakr al-Baghdadi (real name Ibrahim al-Badri
al-Samarrai) in Iraq. Al-Baghdadi was in American custody from 2005 to
2009 and was held at Camp Bucca after the torture and rape scandals of
Abu Ghraib were exposed.
It is widely believed that the Americans
are using al-Baghdadi—and this is borne out by his activities in Syria
since his release—to advance the American agenda in the region.
With funding from Saudi Arabia and Qatar,
and logistical support from Turkey—all staunch US allies—the ISIS has
emerged as the most ruthless terrorist group. The foreign sponsors have
no favorites; whether it is al-Qaeda, Jabhat al-Nusra or ISIS, they are
interested in results.
ISIS has been able to deliver, at least
in Iraq, hence the showering of largesse upon its thuggish members. The
American Senator Rand Paul also reiterated in his NBC interview that
Saudi Arabia and Qatar were funding the terrorist group.
“We should prevent [ISIS] from exporting terror but I’m not so sure where the clear-cut American interest is,” Paul added.
Meanwhile, the Rahbar of the Islamic
Revolution in Iran, Imam Seyyed Ali Khamenei said in a speech on June 22
that there should be no American involvement in Iraq and that the
government, people and the ulama were quite capable of dealing with the
seditionists.
Propaganda Republika dan Antaranews atas Krisis Irak.
LiputanIslam.com —
Semakin hari, pemberitaan media-media besar tanah air semakin
memprihatinkan. Sebut saja Detikcom, Vivanews, Tempo, dan kini,Republika
Online dan Antaranews terkait krisis Irak, semuanya sepakat memberikat
predikat “Sunni” kepada Daulah Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Republika menyatakan, “Gerilyawan Sunni
yang dipimpin kelompok Negara Islam Irak dan Levant (ISIL) merebut tiga
kota di Provinsi Anbar.” Dalam artikel tersebut, Republika mencantumkan
bahwa sumber beritanya adalah Antaranews. Dan dari penelusuran pada
artikel Antaranews, berita tersebut bersumber dari Reuters, media Barat.
Penyimpangan informasi ini sudah ditulis
berkali-kali di Liputan Islam, dengan ulasan mendalam yang diperkuat
dengan data-data valid dan analisis dari para pakar, dan akan terus kami
sampaikan, bahwa predikat “Sunni” untuk kelompok teroris ISIS adalah
tidak benar.
Silahkan baca ulasan kami di link-link berikut ini:
Zaid Hamid, seorang Muslim Sunni yang
menjadi analis bidang pertahanan dari Pakistan, mengungkapkan bahwa
ISIS dan kelompok-kelompok teroris lainnya, tidak terkait dengan Sunni,
tapi mereka adalah Khawarij pelaku bid’ah yang melayani agenda plot
anti-Islam. Khawarij adalah kelompok ultra-radikal yang menolak sejak
awal baik Sunni dan Syiah.
Hamid berpendapat bahwa kelompok-kelompok
ultra-radikal mendestabilisasi Pakistan, Suriah dan Irak memang telah
melangkah di luar rambu-rambu Islam, dan memerangi Islam dan umat Islam
demi Zionisme dan imperialisme.
Indonesia, dengan NU dan Muhammadiyah
sebagai representasi dari “Sunni” atau Ahlussunah wal Jama’ah atau kaum
yang mengikuti sunah-sunah dari Kanjeng Nabi, apakah akan menerima jika
kelompok teroris ISIS yang menebarkan teror dan permusuhan, yang
memenggal kepala dan memamerkannya di depan kamera, yang menjarah
bank-bank pemerintah, yang menghancurkan makam-makam bersejarah –
disebut sebagai “Sunni” ? Jika menerima, bukankah artinya adalah NU =
ISIS, Muhammadiyah= ISIS? Baik NU maupun Muhammadiyah terkenal dengan
sikapnya yang moderat, toleran, dan sangat menghargai perbedaan. Tidak
layak disandingkan apalagi disama-samakan dengan teroris yang
meneriakkan takbir sebelum membunuh.
Kevin Barret, seorang pengamat politik
Timur Tengah bahkan tidak ragu-ragu untuk mengatakan, bahwa pelabelan
“Sunni” kepada ISIS adalah fitnah terhadap kaum Ahlussunah wal Jama’ah
yang terkenal moderat dan toleran.
Menurutnya, dalam kasus apapun,
sesungguhnya Muslim Sunni di dunia sedang difitnah setiap kali media
menyebut ISIS sebagai “Sunni.” Sudah saatnya Muslim Sunni menolak
pembunuhan karakter atas keyakinan mereka. Mungkin, mereka harus
mengajukan gugatan terhadap media yang menyebarkan fitnah ini. (ba)
Jihadis Indonesia: Dukung ISIS atau Front al-Nusra? (1)
Islam Times- Jika jihadis
Indonesia lebih memihak ISIS ketimbang al-Qaeda, lanjutnya, maka kondisi
ini akan mempercepat globalisasi perpecahan dalam gerakan al-Qaeda,
dengan semakin banyaknya afiliasi internasional yang berpihak pada ISIS
dan karenanya melemahkan [posisi] al-Zawahiri.
Perpecahan terjadi di antara
kelompok jihadis Suriah setelah gembong al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri,
mengumumkan pada 3 Februari lalu bahwa al-Qaeda “tidak memiliki
hubungan” dengan ISIS atau Negara Islam Irak dan Syam (lihat: Daily
Times, 13 Februari). Pesan yang beredar di situs-situs jihadis, telah
memaksa kelompok-kelompok jihadis Suriah memihak ISIS atau afiliasi
al-Qaeda di Suriah, Front al-Nusra (fisyria.com, 13 Januari).
Demikian ungkap analis perang Suriah,
Jacob Zenn. “Pengumuman itu juga mempengaruhi kelompok jihadis di luar
Suriah, seperti yang ada di Indonesia,” katanya.
Jihadis Indonesia memanfaatkan Perang
Sipil Suriah sebagai celah untuk membangun kembali hubungan jihad
internasionalnya dengan al-Nusra, ISIS, dan organisasi “kemanusiaan” di
Suriah yang terhubung dengan kelompok teroris. “Perpecahan yang
diumumkan telah menghadapkan jihadis Indonesia dengan keputusan untuk
mendukung al- Zawahiri atau ISIS,” papar Zenn.
Di medan perang Suriah, sebagian besar
pemasok bantuan dan pemberontak asal Indonesia didukung al-Nusra pada
awal Perang Sipil Suriah. “Namun kelompok jihad utama domestik Indonesia
di pulau Sulawesi serta sebagian besar situs jihad berbahasa Indonesia
kini terlihat lebih memihak ISIS,” ujar Zenn.
Jika jihadis Indonesia lebih memihak ISIS
ketimbang al-Qaeda, lanjutnya, maka kondisi ini akan mempercepat
globalisasi perpecahan dalam gerakan al-Qaeda, dengan semakin banyaknya
afiliasi internasional yang berpihak pada ISIS dan karenanya melemahkan
[posisi] al-Zawahiri.
Pada 2011, kelompok pemberontak Suriah
Ahrar al-Sham memposting secara online pengumuman “martir” pertama
militan Indonesia, Reza Fardi (alias Abu Muhammad), yang tewas dalam
bentrokan dengan pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad di pinggiran
Aleppo. “Sejak itu, para pejabat intelijen Indonesia memperkirakan bahwa
50 orang Indonesia telah bergabung dengan pemberontak di Suriah Jakarta
Post, 8 Januari),” terang Zenn.
Puluhan warga Indonesia yang tergabung
dalam Hilal al-Ahmar Society Indonesia (HASI), yang dianggap sebagai
sayap kemanusiaan kelompok terroris Indonesia, Jemaah Islamiyah (JI),
juga memberikan bantuan pada para pemberontak, dengan beberapa di
antaranya kemungkinan ganti seragam dari pekerja kemanusiaan menjadi
memberontak (Jakarta Globe, 30 Januari).
Jakarta khawatir, lanjut Zenn, bahwa
warga Indonesia di Suriah dapat memperoleh keterampilan membuat bom dan
pengalaman yang diperlukan untuk meniru gelombang serangan yang
dilakukan JI di Indonesia antara 1999-2002. “Selama tiga tahun , JI
mengebom Masjid Istiqlal di Jakarta, berusaha membunuh duta besar
Filipina di Jakarta, dan mengebom gereja di Jakarta, Sumatera (pulau
terbesar di Indonesia), Jawa (pulau berpenduduk terpadat), Pulau Lombok
(sebelah timur Bali), Batam (jalur pengapalan di Selat Singapura), dan
diakhiri pada 2002 dengan serangan bom JI di Pantai Kuta, Bali, yang
menewaskan hampir 200 orang,” tuturnya.
“Saat pasukan elit kontra-terorisme
Indonesia, Densus 88, mulai menangkap militan kunci JI pada 2005,
bermula dari pembuat bom Bali, Dr. Azahari Husin, Indonesia mengamati
bahwa sebagian besar jihadis JI adalah warga Indonesia atau Malaysia
yang bertempur di Afghanistan pada 1980-an dan 1990-an, terang Zenn.
Densus 88 dan intelijen negara lainnya menangkap atau membunuh hampir
semua militan yang terlibat dalam pengeboman JI, serta menetralisasi
ancaman JI di Indonesia dengan menangkap pendiri JI, Abu Bakar Baashir,
pada 2011 (Dawn [Bangkok], 17 Agustus 2003; The Star [Petaling Jaya], 17
Desember 2012).
Elemen-elemen Indonesia di Suriah kini
telah membangun jaringan dengan Front al-Nusra, ISIS, serta
kelompok-kelompok jihadis Asia Tengah dan Kaukasia, yang memungkinkan
mereka membawa pulang pengalaman Suriah ke Indonesia dan menghidupkan
kembali JI di bawah payung Mujahidin Indonesia Timur ( MIT ), kelompok
teroris paling aktif di Indonesia.
Menurut Zenn, itu menyerupai cara warga
Indonesia yang bertempur di Afghanistan pada 1980-an dan 1990-an,
memberi kontribusi terhadap JI pada 2000-an. (IT/MTT/rj)
_______
Jihadis Indonesia: Dukung ISIS atau Front al-Nusra? (2)
Islam Times- Ia juga
mengatakan, sel [jihadis] itu telah merampok sebuah bank dekat Jakarta
pada Desember 2013 untuk membiayai perjalanan mereka ke Suriah, termasuk
membeli paspor palsu sekita 1000 dolar AS. Ia juga mengaku bahwa sel
itu mengebom sebuah kuil Buddha di Jakarta pada Agustus 2013.
Satu kesamaan antara militan
Indonesia di Suriah seperti Reza Fardi dengan kelompok-kelompok seperti
HASI dan MIT adalah, mereka semua menerima ilham ideologis dan dukungan
operasional dari Abu Bakar Baashir. Kendati mendekam di penjara
Indonesia karena terbukti mendanai kamp pelatihan al-Qaeda di Aceh,
lanjutnya, Baashir (76 tahun) diperbolehkan merilis pernyataan dan
menerbitkan buku.
“Versi kedua dari buku Tadzkirah
(Peringatan dan Saran), yang diterbitkan Baashir dari balik penjara pada
2013, menyebut pemerintah Indonesia ‘murtad’ karena bekerjasama dengan
‘kafir’ Amerika Serikat,” papar Zenn. Setelah dimulainya Perang Sipil
Suriah, Baashir menulis bahwa Suriah analog dengan Afghanistan dua
dekade silam, seraya mengatakan bahwa pengalaman tempur di Suriah dapat
menyediakan agi warga Indonesia, “universitas pendidikan jihad” (The
Diplomat [Tokyo], 1 Februari 1).
Baashir kemungkinan telah mempengaruhi
enam militan yang tewas dalam baku tembak bulan Januari lalu di Jakarta,
yang berencana meledakkan kuil Buddha dan Kedutaan Burma setelah Bashir
menyerukan Indonesia untuk melawan Burma karena perlakuannya terhadap
Muslim Rohingya (Jakarta Globe, 14 Januari). “Seorang jihadis yang
berhasil ditangkap mengatakan pada pasukan keamanan bahwa sel itu
berencana bertemu dengan sesama militan di Suriah setelah melakukan
serangannya di kedutaan,” kutip Zenn.
Ia juga mengatakan, sel [jihadis] itu
telah merampok sebuah bank dekat Jakarta pada Desember 2013 untuk
membiayai perjalanan mereka ke Suriah, termasuk membeli paspor palsu
sekita 1000 dolar AS. Ia juga mengaku bahwa sel itu mengebom sebuah kuil
Buddha di Jakarta pada Agustus 2013.
“Bukti dari baku tembak menunjukkan bahwa
salah satu militan sel itu telah dilatih merakit bom bersama MIT di
Poso, Sulawesi,” papar Zenn. Pemimpin MIT, Santoso, adalah mantan
pemimpin Jamaat Ansarul Tauhid (JAT) sayap Poso, sebuah cabang JI yang
didirikan Baashir pada 2000-an (Tempo.com [Jakarta], 1 Januari).
HASI, seperti al-Mukmin yang ikut
didirikan Baashir dan Abdullah Sungkar, telah menyelenggarakan lebih
dari 50 kampanye penggalangan dana publik di 20 provinsi di Indonesia
untuk mendukung pemberontak Suriah. “Organisasi takfiri itu juga
menjalankan berbagai situs untuk menerima donasi online,” imbuh Zenn.
Kurangnya tranparansi HASI tentang ke
mana dana itu mengalir setelah dikumpulkan dan pemanfaatan anggota JI
yang dibebaskan dari penjara sebagai juru khutbah dalam penggalangan
dana, menyulut kekhawatiran seputar apakah dana tersebut benar-benar
digunakan untuk menghidupkan kembali JI (Jihadsyam.blogspot.com, 26 Agustus, 2013).
“Acara penggalangan dana juga mempromosikan intoleransi JI terhadap
Syiah (Presiden Assad adalah Alawit, yang diklaim secara keliru sebagai
cabang Syiah),” kata Zenn.
Pengalangan dana di Jawa Tengah pada Juli
2013, menggunakan slogan “Pengkhianatan Syiah” untuk menarik minat
peserta, sementara di Sukoharjo, pada Mei 2013, yang dihadiri lebih dari
1500 orang, memperingatkan tentang munculnya “Cengkraman Syiah” di
Indonesia (VOA-Islam.com, 2 September 2013 dan arrahmah.com, 23 Mei 2013).
HASI dan [kelompok] pemberi bantuan asal
Malaysia lainnya di Suriah juga menyaksikan pengiriman bantuan mereka
dicegat, dijarah, dan bahkan ditembak ISIS, setelah pekerja bantuan
tersebut menolak berbaiat (janji setia) pada pemimpin ISIS, Abu Bakr
al-Baghdadi. “Kondisi ini cenderung mempengaruhi warga Indonesia
[takfiri] itu untuk bekerja dengan Front al-Nusra, sekaligus
menjelaskan, mengapa pengiriman HASI lebih sering ke benteng Front
al-Nusra di barat laut Suriah ketimbang ke benteng ISIS dekat perbatasan
Suriah-Irak,” ujar Zenn.
Namun begitu, sebagian besar situs jihad berbahasa Indonesia, seperti almustaqbal.net, mengumumkan “dukungan dan solidaritasnya” pada ISIS. Selain itu, situs populer albusyro.com
memblokir keanggotaan siapapun yang memposting pesan yang menentang
ISIS. Seorang mantan anggota JI yang kini mendekam di penjara atas
perannya dalam pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada 2004,
Rois, mengkritik situs berpengaruh arrahmah.com karena hanya memposting pernyataan Front al-Nusra (tanpa ISIS).
Santoso dan komandan bawahannya di MIT
yang dilatih di kamp yang disponsori Baashir di Aceh, mungkin juga lebih
cenderung pada ISIS. Santoso, misalnya, dihormati mantan pemimpin
al-Qaeda di Irak, Abu Mus’ab al-Zarqawi, dengan memberinya alias “Abu
Mus’ab al-Zarqawi al-Indonesi” (arrahmah.com, 15 Oktober 2012).
Video terbaru Santoso, yang memuji pengeboman bunuh diri di sebuah markas polisi di Poso, Sulawesi, ditayangkan situs pro-ISIS (al-mustaqbal.net, 31 Oktober 2013).
“Selain itu, tujuan ISIS untuk menyebarkan syariat di seluruh wilayah
Islam mungkin lebih cenderung menarik Santoso dan MIT ketimbang objektif
Front al-Nusra yang hanya menggulingkan Presiden Assad dan fokus pada
pembentukan negara Islam di Suriah sebelum mengekspor jihad,” ujar Zenn.
Jihadis takfiri Indonesia di Suriah,
pelbagai organisasi bantuan “kemanusiaan” seperti HASI dan
kelompok-kelompok jihad seperti MIT merupakan bagian dari jaringan yang
mengalami kebangkitan akibat Perang Sipil Suriah. “Fondasi utama
kebangkitan ini adalah kepemimpinan ideologis berkelanjutan Abu Bakar
Baashir, berkembangnya gerakan jihad Santoso di Sulawesi (yang terhubung
dengan sel-selnya di Jakarta), dan kesempatan Suriah untuk memungkinkan
militan Indonesia dan pekerja bantuan itu untuk berhubungan kembali
dengan komunitas jihad internasional,” papar Zenn.
Saat “perang sipil dalam perang sipil”
meningkat di Suriah antara ISIS melawan afiliasi yang diakui
al-Zawahiri, Front al-Nusra, jihadis Indonesia, seperti militan lain di
dalam dan di luar Suriah, mungkin dipaksa untuk berpihak dalam sengketa
itu. “Tampaknya MIT dan jihadis Indonesia yang aktif secara online lebih
selaras dengan ideologi dan kepemimpinan ISIS ketinbang dengan
al-Zawahiri. Namun, para aktor yang konon tanpa kekerasan, seperti
kelompok “kemanusiaan” Indonesia, barangkali lebih cenderung pada Front
al-Nusra ketimbang ISIS,” papar Zenn.
Dukungan atau afiliasi yang diekspresikan
MIT terhadap ISIS kiranya menunjukkan bahwa MIT kemungkinan mulai
melancarkan serangan yang menarget warga asing, Kristen, dan Syiah di
Indonesia. “Sejauh ini, kebanyakan serangan MIT menyasar aparat keamanan
Indonesia,” kata Zenn.
Kemungkinan pula, Abu Bakar Baashir
mengeluarkan pernyataan dari sel penjaranya, yang menyerukan para
jihadis takfiri Indonesia untuk mendukung salah satu dari kedua belah
pihak takfiri yang berkonflik di Suriah. Dalam pernyataan terbaru pada 1
April 2014, Baashir mengatakan bahwa dirinya “menerima berita dari
Internet” tentang “pelbagai hambatan” yang ditempatkan “para tiran” di
antara “saudara-saudara Mujahidin di Syam” dan bahwa al-Zawahiri tidak
akan “melupakan” mereka (Shamikh1.info, Februari 2014).
Menurut Zenn, hal ini menunjukkan bahwa
Baashir akan tetap setia pada al-Qaeda seperti ketika dirinya mendirikan
JI pada 1990-an dan mengawasi kamp pelatihan al-Qaeda di Aceh pada
2000-an.
Sebuah pernyataan Baashir yang lebih
menentukan dukungan pada Front al-Nusra dapat memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap jihadis takfiri asing Indonesia di Suriah serta MIT
di Sulawesi. “Namun, itu juga bisa menyulut perpecahan antara loyalis
Bashir dan loyalis Santoso jika Santoso menolak saran Bashir, terus
mengeluarkan pernyataan pro-ISIS, dan menghidupkan visi kekhalifahan
Islam pan-regional di Asia Tenggara seperti kekhalifahan yang
‘diperjuangkan’ ISIS di Irak dan Suriah.” (IT/MTT/rj)