Selebaran pesan terakhir Nabi Muhammad beredar dan membakar rakyat Banten untuk memberontak.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI
DALAM sejarah
Islam, yang dianggap sebagai pesan terakhir Nabi Muhammad Saw adalah
khotbah beliau tatkala Haji Wada atau haji penghabisan pada 9 Zulhijah
10 Hijriyah atau 7 Maret 632. Namun kemudian beredar surat peringatan
terakhir Nabi dari Mekah di Nusantara.
“Sebuah terjemahan peringatan semacam itu (dalam bahasa Sunda) pernah jatuh di tangan saya,” kata Snouck Hurgronje dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje I. “Dikatakan bahwa tulisan itu diumumkan oleh Raja di Mekah atas perintah Nabi pada permulaan abad ke-13 Hijriyah.”
Surat peringatan semacam itu, baik dalam
bahasa Arab maupun bahasa Sunda, beredar luas dan umumnya berisi
tentang kiamat sudah dekat.
Sebuah surat berisi seorang bernama
Syekh Abdallah bermimpi bertemu Nabi yang berwasiat kepadanya. Isinya:
“Hai Syekh Abdallah... ini sesungguhnya adalah peringatan terakhir... Beritahukan
mereka, bahwa hari kiamat sudah dekat, gerbang permohonan pengampunan
segera ditutup. Hari kiamat sudah memberikan tanda di Ka’bah dan
malaikat Jibril telah memberi tahu kepadaku, bahwa dia akan turun
sepuluh kali di dunia untuk mencabut kebenaran, cinta dari hati para
bersaudara, karunia, kesabaran, sifat lemah lembut, iman dari hati para
hartawan, ilmu pengetahuan, dan yang kesepuluh penghormatan terhadap
Quran dari hati kaum yang beriman.”
Selain memilikinya, Hurgronje membaca di suratkabar Nieuws Rotterdamsche Courant (4 Juni 1884) dan Nieuws van den Dag (5 Juni 1884) yang mengutip Het Algemeen Dagblad mengenai
isi surat itu. Suratkabar tersebut juga mengabarkan bahwa umat Muslim
Priangan dilanda ketakutan karena gambaran mimpi itu diceritakan setiap
minggu di masjid-masjid. Di surat kabar Nieuws van den Dag (9 Juni 1884), yang dibaca Hurgronje, ditunjukkan panjang-lebar akibat buruk dari kegelisahan-kegelisahan itu.
Surat peringatan lain terbit dalam dua
versi: ditandatangani Raja (Syarif) Mekah Mohamad Ja’far ibn ‘Abd
al-Khaliq dan Abdus Sarip. “Raja Arab (sic), yang katanya telah
menerima wahyu dari Nabi, menyebarluaskan propaganda yang berisi
ramalan eskatologis,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.
Menurut Sartono, surat itu memuat
gambaran mesianik klasik tentang malapetaka dan bencana-bencana
mengerikan yang akan menimpa manusia menjelang “akhir zaman”. Surat itu
berisi pesan yang mengandung makna eskatologis, seruan agar manusia
menjauhkan diri dari perbuatan menghinakan Tuhan, berzina, bersikap
sombong, hidup mewah, dan makan riba. Ia juga berseru agar manusia
menyucikan kehidupan rohani mereka dengan jalan bertobat dan menjalankan
kewajiban agama.
Pada akhir 1883, polisi Banten menyita
sebuah surat selebaran dari seorang bernama Misru. “Dia mendapatkannya
dari saudaranya, Asta, yang membeli dari Mas Hamim dari Pakojan (Pinang,
Kota Tangerang). Katanya, surat itu ditulis oleh Syarif Mekah pada
1880, meskipun terdapat petunjuk-petunjuk yang kuat bahwa ia ditulis di
Jawa,” tulis Sartono.
Hurgronje bahkan memastikan, dari
susunan dan beberapa bagian isinya, tulisan itu bukan berasal dari tanah
Arab atau setidak-tidaknya secara khusus dan sengaja disesuaikan dengan
pengetahuan umat Muslim di Hindia Belanda; mereka hendak dibujuk,
digugah, dan dikobarkan semangat pada agama.
Yang menarik –mungkin dalam surat
peringatan yang lain– secara khusus disebutkan kewajiban mengirimkan
sumbangan ke Mekah dan menunaikan ibadah haji. Anjuran agar menunaikan
ibadah haji terkait dengan tanda-tanda bahwa “apabila selama waktu tujuh
tahun tidak ada orang yang beribadah haji, maka sewaktu bangun tidur
esok hari orang akan melihat Ka’bah sudah hilang, sehingga orang tidak
melihat bekasnya lagi,” tulis Hurgronje.
Lebih lanjut Hurgronje menerangkan,
surat peringatan itu mengingatkan pembacanya pada berbagai bencana yang
tak lama berselang dialami umat manusia seperti wabah penyakit, banjir,
gempa bumi; selanjutnya pada isyarat-isyarat khusus yang telah
menampakkan diri, misalnya Batu Hitam (Hajar Aswad) di Ka’bah
lambat-laun akan menghilang atau pintu Ka’bah tak dapat dibuka lagi.
Berdasarkan itu semua diramalkan Hari Kiamat sudah dekat dan dinasihati
kepada kaum yang percaya untuk mempersenjatai diri dengan ketaatan pada
agama dan perbuatan-perbuatan baik.
“Dianjurkan untuk menyebarluaskan surat
peringatan itu, bahkan jika tidak percaya dengan peringatan itu bisa
dianggap sebagai perbuatan kafir,” tulis Hurgronje.
Yang jelas, antara tahun 1880 sampai
1885 sejumlah besar surat selebaran keagamaan itu beredar di Aceh,
Lampung, Banten, Batavia, dan Priangan. Karena tarekat
Qadiriyah-Naqsyabandiyah, sebagai organisasi gerakan pemberontakan,
berkembang di bawah tanah, penyebarluasan surat itu tak mengkhawatirkan
para pejabat Belanda.
“Menurut pendapat mereka surat itu
bersifat komersial karena menyangkut usaha mencari calon jemaah haji,”
tulis Sartono. “Belakangan mereka memperkirakan surat itu akan
menimbulkan keresahan di kalangan rakyat, mengingat baru saja rakyat
dilanda gelombang kepanikan setelah terjadi wabah penyakit dan bencana
alam antara tahun 1879 sampai 1883.”
Wabah dan bencana dianggap sebagai
teguran dari Tuhan serta pertanda untuk segera melancarkan pemberontakan
terhadap penguasa kafir Belanda dan menjadikan bumi Banten sebagai
wilayah Islam (Dar al-Islam). Surat ederan dari Mekah itu, yang
isinya dikenal sebagai “Peringatan terakhir dari Nabi”, menjadi
pembakar semangat rakyat Banten untuk memberontak. Surat peringatan
tersebut dijadikan indoktrinasi pemberontakan yang dilakukan dalam
pertemuan-pertemuan di masjid, mushola, atau tarekat. Revolusi sosial,
yang disebut Sartono sebagai pemberontakan petani Banten, meletus pada 9
Juni 1888.
Surat tentang peringatan terakhir Nabi masih beredar hingga kini. Bahkan
menyebar di dunia maya, melalui situs, email, atau milis. Isi wasiatnya
sama: kiamat sudah dekat. Bedanya, kali ini penerima wasiatnya adalah
Syekh Ahmad, juru kunci makam Nabi.
Banyak orang mempertanyakan
kebenarannya. Bagi ulama besar Mesir Syekh Yusuf al-Qaradhawi,
kemunculan surat wasiat ini bukan saja baru-baru ini, tetapi dia telah
melihatnya sejak puluhan tahun lalu. Syekh Yusuf lalu mencari informasi
tentang Syekh Ahmad dan aktivitasnya kepada orang-orang di Madinah dan
Hijaz. Ternyata tak seorang pun pernah melihat dan mendengar berita
mengenai Syekh Ahmad. Syekh Yusuf lalu memberikan fatwa dalam bukunya Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah pada 2001 –terbit dalam bahasa Indonesia menjadi Fatwa-Fatwa Kontemporer. Isinya: segala isi pesan terakhir Nabi itu tak ada arti dan nilainya sama sekali dalam pandangan agama.
Majelis Fatwa Kebangsaan Malaysia pada
1978 mengeluarkan fatwa terhadap selebaran itu: “Barang siapa dengan
sengaja menyebarkan risalah ini adalah melakukan syirik dan tidak
mustahil jatuh murtad, melainkan dia bertaubat dan menarik balik
perbuatannya itu terhadap siapa pun yang telah dikirimkan risalah ini.”
Menurut Majelis, antara tahun 1881 sampai 1979, tak ada penjaga makam
Nabi bernama Syekh Ahmad.