Judul: Akal dalam Cahaya Wahyu dan Hadis Maksumin As
Penulis: Ruhullah Syams
"Akal juga dalam riwayat merupakan maujud yang paling dicintai Tuhan dan
menjadi parameter untuk pahala dan dosa anak-anak Adam, serta merupakan
hujjah bathin bagi manusia. Abu Abdillah As berkata: "Ketika Tuhan
menciptakan akal, Tuhan berkata padanya: menghadaplah, maka akal
menghadap, kemudian berkata padanya: membelakanglah, maka akal
membelakang, kemudian Tuhan berkata: "Demi kemuliaanku dan keagunganku,
tidak aku ciptakan makhluk yang lebih aku cintai darimu, denganmu Aku
mengambil, denganmu Aku memberi, dan denganmu Aku mengumpulkan
(membangkitkan)."
Kitab Al-Quran adalah suatu kitab suci yang sangat memberi penekanan dan
kontribusi besar bagi akal dalam berbagai lapangan pengetahuan dan
kehidupan.
Dalam agama islam menerima keyakinan agama harus lewat pemikiran dan
perenungan akal, dan Al-Qur'an dalam hal ini senantiasa mengajak untuk
berpikir, bertadabbur, dan menjauhi taqlid buta dalam berbagai masalah
akidah dan keyakinan, serta memandang sangat buruk orang-orang yang
tidak menggunakan akalnya (Q.S : Yunus :100).
Akal juga dalam riwayat merupakan maujud yang paling dicintai Tuhan dan
menjadi parameter untuk pahala dan dosa anak-anak Adam, serta merupakan
hujjah bathin bagi manusia. Abu Abdillah As berkata: "Ketika Tuhan
menciptakan akal, Tuhan berkata padanya: menghadaplah, maka akal
menghadap, kemudian berkata padanya: membelakanglah, maka akal
membelakang, kemudian Tuhan berkata: "Demi kemuliaanku dan keagunganku,
tidak aku ciptakan makhluk yang lebih aku cintai darimu, denganmu Aku
mengambil, denganmu Aku memberi, dan denganmu Aku mengumpulkan
(membangkitkan) (Bihâr al-Anwâr Juz 1\96)
Demikian pentingnya fungsi akal bagi manusia, maka Al-Qur'an menekankan
pada manusia untuk memanpaatkan nikmat besar Tuhan ini dengan cara
mengajak manusia menghilangkan dan menghancurkan berhala-berhala yang
menjadi penghalang penggunaan akal supaya akal mampu mengutarakan
argumen-argumen rasional.
Adapun hal-hal yang bisa menghalangi manusia menggunakan akal rasionalnya menurut Al-Qur'an :
1. Berpandangan empirisme;
2. Taqlid buta;
3. Mengikuti hawa nafsu.
1. Berpandangan empirisisme
Ayat-ayat suci Al-Qur'an yang berbicara tentang masalah-masalah ini
seperti: "Dan berkata orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan
dengan Kami (hari akhirat), mengapa tidak diturunkan atas kami malaikat
atau kami melihat (dengan mata lahiriah) Tuhan kami…"(Q.S: Al-Furqan
:21). Dan ayat yang serupa dalam (Q.S : Al-Baqarah :55) : "Dan ingatlah
ketika kamu (Bani Israil) berkata wahai Musa! kami tidak akan beriman
padamu hingga kami melihat Allah secara jelas(dengan mata lahiriah)…".
Jadi orang-orang seperti ini berpandangan empirisme, menolak
pandangan-pandangan yang tidak dijangkau oleh panca indera dan
pengalaman empirik, yakni mereka tidak meyakini adanya wujud-wujud non
materi dan gaib dari panca indera.
Dunia kita dewasa ini dipenuhi orang-orang yang berpandangan seperti
ini, terutama peradaban barat yang dikuasai pandangan dunia materialisme
dan filsafat materialisme, serta orang-orang timur (termasuk kaum
muslimin) yang dipengaruhi oleh pandangan barat dan kebarat-baratan
(Westernisasi).
2. Taqlid buta
Dan adapun ayat-ayat Al-Qur'an yang berkenan mencela taqlid buta dan
melarang manusia dari perbuatan tersebut seperti: "Atau Kami
mendatangkan kitab pada mereka sebelumnya dan mereka berpegang? Bahkan
mereka berkata sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami dalam satu
ummah (tradisi, budaya, kepercayaan), dan sesungguhnya kami juga
mendapat petunjuk untuk mengikuti mereka. Dan demikian tidak Kami
mengutus dari sebelum kamu dalam suatu Qaryah (daerah) dari seorang
pengingat kecuali berkata orang-orang kaya diantara mereka sesungguhnya
kami mendapati bapak-bapak kami dalam suatu ummah dan sesungguhnya kami
melaksanakan (melanjutkan) peninggalan-peninggalan mereka. (Nabi-nabi
mereka) berkata : apakah jika aku membawa petunjuk yang lebih memberi
hidayah padamu dari apa yang kamu dapati dari bapak-bapak kamu (kamu
juga akan tetap mengingkari)? Mereka berkata (ya!) sesungguhnya kami
dengan apa yang kamu diutus dengannya adalah kafir" (Q.S As-Zukhruf :
21-24). Orang-orang seperti ini tidak lagi menggunakan logika dan rasio
akalnya, tetapi mereka hanya mencukupkan diri dengan apa yang mereka
dapatkan dalam bentuk budaya, tradisi, dan kepercayaan dari nenek-nenek
moyang mereka, meskipun pada dasarnya tradisi dan budaya tersebut
sangat bertolak belakang dengan akal sehat mereka.
Tapi perlu juga kami kemukakan di sini bahwa taqlid yang dicela oleh
agama adalah taqlid buta yang tak berdasar, yang tak memiliki manpaat
memperbaiki kehidupan individu dan masyarakat. Sebab tak bisa dipungkiri
bahwa dalam kehidupan kita, taqlid itu sendiri banyak memiliki peran
dalam menyelesaikan berbagai masalah. Dan merupakan tabiat manusia bahwa
taqlid dari orang jahil kepada orang berilmu merupakan keharusan, dan
sesuai dengan logika serta akal. Misalnya taqlid orang sakit pada
dokter, taqlid orang yang membutuhkan bangunan rumah pada arsitektur,
dan dalam konteks agama taqlid orang-orang yang tak belajar fiqhi secara
khusus dan mendalam (sampai maqam mujtahid) pada marja taqlid (fuqaha).
Model dan cara taqlid seperti ini tidak dicela oleh akal, bahkan akal
menjadi dasar logis bertaqlid dalam konteks tersebut.
3. Mengikuti hawa nafsu
Al-Qur'an juga melarang manusia mengikuti hawa nafsu, sebab dengan
mengikutinya akal dan rasio menjadi tertutup. Ayat-ayat yang berkenan
masalah ini seperti: " Tapi orang-orang dzalim dengan tanpa ilmu
mengikuti hawa nafsu mereka, maka siapa yang dapat memberi petunjuk pada
orang yang Allah telah sesatkan? Dan bagi mereka tidak ada lagi
penolong" (Q.S Ar-Rum :29). Dan ayat: "Maka jika mereka tidak mengijabah
kamu (menerima usulan kamu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka
hanya mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat dari
pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dan tidak menerima petunjuk dan
hidayah Tuhan? Dan sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk pada
orang-orang dzalim" (Q.S : Al-Qishas :50). Pada dasarnya sangat banyak
orang-orang yang dengan pikiran dan akalnya mengetahui prinsip-prinsip
kebenaran dan kebaikan yang dibawa oleh para Nabi-nabi Tuhan as, tetapi
karena kepentingan dan kecenderungan mereka untuk mengikuti hawa nafsu
mereka, maka kebenaran dan kebaikan yang cahayanya seterang mentari
disiang hari yang tak bermega ini ditolak dan diabaikan.
Dan adapun pekerjaan akal dalam hal kemampuan berargumen dan berdalil,
terdapat ayat-ayat Al-Qur'an dalam masalah-masalah tersebut, misalnya
kemampuan akal memberi pendekatan yang sipatnya rasio dengan sipat yang
inderawi dengan permisalan dan penganalogian. Ayat yang berkenan hal ini
seperti: "Kemudian hati-hati kamu sesudah itu keras seperti batu,
bahkan lebih keras lagi, sebab sesungguhnya sebagian dari pada batu, ada
yang terbelah dan darinya mengalir sungai-sungai, dan sesungguhnya
sebagian lagi dari pada batu, ada yang terpecah dan keluar darinya air,
dan sebagian lagi terjatuh dan terjerembab karena takutnya pada Tuhan ,
(dan adapun hati-hati kamu sama sekali tidak pernah bergetar karena
takut pada Tuhan, dan juga tidak pernah menjadi sumber ilmu, pengetahuan
dan kasih sayang kemanusiaan), dan Allah tidak pernah lalai dari apa
yang kamu lakukan" (Q.S : Al-Baqarah: 74).
Juga terdapat ayat-ayat Al-Qur'an yang mengajak berdalil dan berargumen
akal dengan cara memperlihatkan kelemahan dan kekurangan apa yang
diperbuat manusia dalam masalah dan subyek tersebut. Seperti ayat:
"Katakanlah siapakah Tuhan langit dan bumi? Katakanlah Allah! (kemudian)
Katakanlah apakah kamu mengambil auliya (wali-wali atau tuhan-tuhan)
selain Tuhan, yang mana mereka itu tidak memiliki manpaat dan darar
(mudharat) bagi diri mereka sendiri (sehingga bagaimana hal itu bisa
sampai padamu?!) Katakanlah apakah sama orang buta dengan orang melihat?
Ataukah sama kegelapan dan cahaya? Apakah mereka menjadikan untuk Allah
sekutu-sekutu dikarenakan mereka (sekutu-sekutu tersebut) seperti Tuhan
mempunyai suatu ciptaan, dan ciptaan ini serupa mereka?! Katakanlah
Allah pencipta segala sesuatu dan Dia adalah Esa serta maha menang" (Q.S
: Ar-Ra'd:16). Dan mari kita simak ayat lain yang serupa tentang hal
ini dalam kisah nabi Ibrahim As: " Berkata mereka siapa yang melakukan
ini pada tuhan-tuhan kami? Sesungguhnya dia niscaya orang-orang zalim.
Kami dengar seorang pemuda yang dia menyebut tentang berhala-berhala,
disebut padanya (namanya) Ibrahim. Berkata mereka datangkanlah dia
disaksikan masyarakat, sehingga mereka menyaksikan. Berkata mereka
apakah engkau yang melakukan ini pada tuhan-tuhan kami wahai Ibrahim?
Berkata(nabi Ibrahim a.s) yang melakukannya adalah yang paling besar
diantara mereka ini, maka bertanyalah kamu pada mereka jika mereka
berbicara? Maka merujuk mereka dalam diri mereka, maka berkata mereka
sesungguhnya kamu orang-orang zalim. Kemudian mereka berbalik atas
kepala-kepala mereka (menarik kembali pendapatnya, dan melupakan secara
keseluruhan kata hatinya ) pada hakikatnya kamu tahu bahwa mereka ini
tidak berbicara. Baerkata (Ibrahim a.s) apakah kamu menyembah selain
Allah yang tidak memberi manpaat pada kamu sedikitpun dan juga tidak
memberi mudharat pada kamu? Uffi atas kamu, dan mengapa kamu menyembah
selain Allah, apakah kamu tidak berakal? (Q.S: Al-Anbiyaa:59-67). Yakni
apa yang diperbuat manusia dalam masalah ini tidak lain karena akal dan
logika sehat mereka tidak bekerja dan berfungsi, sehingga mengambil
sekutu untuk Tuhan yang mana sekutu tersebut sendiri tidak mampu
memberikan manpaat pada diri mereka sendiri dan juga tidak mampu membuat
mudharat pada diri mereka sendiri, apatah lagi pada manusia dan
makhluk-makhluk Tuhan lainnya.
Dan salah satu diantaranya lagi cara Al-Qur'an untuk membangunkan akal
manusia supaya befungsi dan berpikir logis serta berargumen untuk
menundukkan pihak lawan adalah menukar dalil sebelumnya dengan dalil
lainnya sesuai starata pihak yang dihadapi, dan cara ini dapat kita
saksikan contohnya dalam ayat: "Apakah tidak kamu lihat kepada orang
yang berhujjah (Namrud) dengan nabi Ibrahim tentang Tuhannya? Sebab
Tuhan telah memberikan padanya mulk (kekuasaan) (dan karenanya dia
menjadi congkak dan takabbur), ketika berkata Ibrahim as Tuhanku adalah
yang menghidupkan dan mematikan, berkata (Namrud) aku menghidupkan dan
mematikan ( dan untuk membuktikan ucapannya dia memerintahkan pada
pengawalnya untuk mengeluarkan dua orang narapidananya, satu diantaranya
dia bebaskan dan biarkan hidup dan satu lagi dia tidak biarkan hidup
dan dibunuhnya), Nabi Ibrahim as berkata sesungguhnya Allah menerbitkan
matahari dari ufuk Timur (dan jika benar apa yang kamu katakana bahwa
kamu adalah hakim alam eksistensi dan Tuhan), maka terbitkanlah kamu
matahari itu dari ufuk Barat, (dalam keadaan ini) Namrud yang kafir
tersebut tinggal dalam keadaan terperanjat, dan Allah tidak memberi
petunjuk pada kaum yang dzalim" (Q.S:Al-Baqarah:258). Tapi meskipun
ayat-ayat Al-Qur'an telah memberikan hidayahnya dan petunjuknya pada
akal manusia, namun jika manusianya itu sendiri tidak mau menuruti dan
mengikuti pikiran dan renungan akalnya, dia selamanya akan tetap dalam
kegelapan dan kedzaliman, sebab manusia sendiri yang mempunyai kemampuan
untuk merubah nasibnya dengan ikhtiyar dan pilihannya.
Masih banyak masalah-masalah dimana ayat Al-Qur'an mencahayai akal
manusia supaya manusia mau mengikuti akal dan rasio sehatnya yang dapat
membawanya pada kebenaran hakiki dan kesempurnaan akhir. Namun tentu
pembahasan ini tidak akan sedemikian luasnya, sebab pembahasan kita ini
terbatas dan bukan proporsi bahasan seluas masalah-masalah tersebut.
Dan diakhir pembahasan ini kami membawakan beberapa hadits ma'sumin
berkenan tentang akal dan kebaikannya. Seseorang bertanya pada Abu
Abdillah a.s, dia berkata:" Aku berkata padanya (Abu Abdillah a.s)
apakah akal itu"? Beliau menjawab: "Apa yang dengannya Rahman (Tuhan
maha Rahman) disembah dan apa yang dengannya jinan (jamaknya surga)
diusahakan" (Al-Kâfi, 1\11) Dan juga hadits dari Nabi saww. beliau
bersabda: "Tegaknya seseorang adalah akalnya, dan tidak ada agama bagi
orang yang tidak berakal" (Bihâr al-Anwâr, juz 1\94). Barkata imam
Shadiq as: "Barang siapa yang berakal maka baginya agama, dan barang
siapa punya agama maka masuk surga" (Bihâr al-Anwâr, 1\91).
Dari cahaya sabda dan perkataan ma'sumin a.s tersebut di atas, maka
dapat kita pahami bahwa dasar dan landasan untuk menerima agama dan
parameter kebenaran suatu keyakinan dan akidah agama, tidak lain adalah
akal yang merupakan anugerah termulia Tuhan pada manusia.[]