Louisa Lamb. seorang aktifis kemanusiaan asal Amerikat Serikat bersama Fatima Haji di Mieh Mieh-kamp pengungsi Palestina di. Saida, Lebanon.
Menurut Lousia Lamb, Israel Tak Akan Pernah Berhenti Membasmi Bangsa Palestina
Data-data menunjukkan bahwa saat ini ada lebih dari 5 juta warga Bangsa Palestina yang tinggal di luar komunitas mereka sebagai pengungsi.
Keadaan bangsa Palestina yang hidup menderita dan teraniaya di bawah
pendudukan biadab Israel telah menjadi salah satu perhatian utama para
aktivis hak asasi manusia di seluruh dunia. Para aktifis yang cerdas
mampu melihat apa yang terjadi di balik semua derita dan aniaya
tersebut.
Kepada Fars News Agency, seorang warga negara Amerika Serikat yang telah melakukan perjalanan ke kamp-kamp pengungsi Palestina di Timur Tengah mengatakan bahwa bantuan kemanusiaan yang dialokasikan untuk pengungsi Palestina, khususnya di Lebanon dan Yordania, tidak signifikan dalam menolong pengungsi dan hingga kini mereka hidup dalam kondisi yang mengerikan dan sangat tersiksa.
Lousia Lamb telah meneliti situasi pengungsi Palestina yang terpaksa mengungsi dari tanah air mereka semenjak tahun 1948 dan hidup sebagai pengungsi di Timur Tengah. Data-data menunjukkan bahwa saat ini ada lebih dari 5 juta warga Palestina yang tinggal di luar komunitas mereka sebagai pengungsi.
“66 tahun adalah masa yang terlalu panjang bagi sekelompok orang untuk hidup sebagai pengungsi. Dan mereka, warga Palestina membutuhkan rumah untuk mereka sendiri di mana mereka dapat memperoleh hak-hak asasinya dan hidup sebagai manusia yang bermartabat.” ungkapnya, “Saya percaya satu aksi yang harus dilakukan PBB dan komunitas global untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah Israel adalah dengan memberlakukan boikot, divestasi, dan sanksi. “
“Disamping upaya pembersihan etnis secara brutal yang dilakukan mulai 15 Mei 1948, termasuk menyabotase kota-kota di Palestina dan memperbarui nama-nama kota itu, penghancuran rumah-rumah warga secara terus menerus, perusakan sekolah-sekolah dan rumah sakit serta serangan udara yang tiada henti ke wilayah-wilayah Palestina hingga akhir musim panas di Gaza, Israel tak akan pernah berhenti dalam usaha mereka untuk memberantas semua warga Palestina dari kawasan, sampai nantinya Israel tidak lagi merasa terancam dengan hak mereka untuk kembali,” ungkap Lamb pada FNA.
Lamb, yang mendapatkan gelar sarjana seni psikologi dari Universitas Salisbury di Universitas Maryland, menulis artikel pada jurnal-jurnal online mengenai konflik di Timur Tengah termasuk Suriah, Lebanon, dan Palestina.
Mengenai
perasaannya terhadap dukungan AS kepada Israel dan pendudukannya yang
terus berlanjut terhadap Palestina, ia berkata, “Saya merasa malu
sebagai warga negara Amerika terhadap prioritas dan motif pemerintahan
saya, namun saya berharap generasi saya akan pantang mundur nantinya di
masa depan berhasil untuk membentuk kembali kebijakan luar negeri kami
dan memastikan keterlibatan kami dengan negara-negara lain adalah hanya
untuk kebaikan seluruh ummat manusia.
Nona Lousia Lamb berbagi pengalamannya dengan para pengungsi di kamp pengungsian Palestina dan sudut pandangnya mengenai prospek hidup warga Palestina termasuk mereka yang terjebak di Jalur Gaza, dalam wawancaranya dengan FNA.
Ketika ditanya mengenai tindakan apa yang seharusnya diambil oleh PBB dan Badan-badan dunia atas sikap Israel yang terus menolak untuk mengakui hak-hak warga Palestina untuk kembali dengan alasan jika masyarakat Palestina yang terusir dari tanah air mereka semenjak tahun 1948 itu kembali maka akan menjadi ancaman bagi Israel, padahal hak untuk kembali itu sudah benar-benar diakui dan dilindungi oleh Hukum Internasional, nona Lamb mengatakan bahwa Israel tidak akan pernah mau berkompromi. Negara ilegal itu memang dengan sengaja berusaha membasmi seluruh bangsa Palestina agar tak lagi merasa terancam.
“Saya akan menyarankan PBB untuk terus mendorong dikembalikannya wilayah-wilayah Palestina dan terus mendorong komunitas internasional untuk meneruskan dukungannya, serta terus mengingatkan bahwa hak untuk kembali ada dibawah hukum internasional dan apa yang dilakukan Israel adalah Ilegal jika tidak boleh dikatakan tidak berperi kemanusiaan.
Menanggapi klaim yang mengatakan bahwa warga Palestina pergi bukan karena diusir melainkan dengan “sukarela” setelah peristiwa Nakba atas perintah dari beberapa pemimpin Arab, Lamb menolak keras klaim tersebut. Ia mengatakan bahwa ia sangat tidak setuju dengan hal itu, dan hal itu hanyalah cara lemah imperialisme Zionist dalam rangka membenarkan kejahatan kemanusiaan yang telah mereka lakukan kepada bangsa Palestina. “Jika mereka meninggalkan Palestina dengan kemauan sendiri, bukankah seharusnya mereka bisa juga kembali dengan kemauannya sendiri?” ungkapnya.
Dalam wawancaranya, Lamb menceritakan mengenai kedatangannya pertama kali ke Lebanon dan mengunjungi lima kamp pengungsian. Menurut Lamb, ia merasa sangat terkejut sekaligus ngeri melihat kondisi kehidupan para pengungsi. Kamp yang paling sering ia kunjungi adalah kamp Shatilla di Beirut. Pertama datang ia segera bisa melihat bangunan-bangunan yang tak jelas bentuknya, kotor dan sempit serta jalan tak beraspal yang penuh genangan air dan sampah dimana-mana.
“Ada sampah dimana-mana, saya melihat satu tempat yang dipakai sebagai tempat pembuangan sampah dan sampah menggunung disana. Anak-anak yang kelaparan menggali gundukan sampah itu untuk mencari sisa-sia makanan,” ungkap Lamb menggambarkan kondisi menyedihkan para pengungsi.
Lamb menggambarkan kondisi rumah-rumah di Shatilla, umumnya hanya sebuah kamar yang terdapat sebuah kamar mandi dan dapur di dalamnya. Ada juga yang memiliki dua kamar, atau tiga kamar maksimal, dan dalam rumah rumah itu terdapat lebih dari satu keluarga. Keluarga-keluarga tersebut biasanya mendapat makanan dan kebutuhan dasar hidupnya dari bantuan UNRWA karena masyarakat Palestina disana susah mencari kerja dan terus bertambah jumlahnya setelah kelahiran bayi-bayi di dalam kamp, dimana hal itu pada akhirnya menjadikan Medecin san Frotiers mendirikan klinik di Shatilla untuk menolong wanita hamil dan melahirkan. Anak-anak di kamp-kamp itu tidak memiliki fasilitas kesehatan serta pendidikan yang cukup, dan hal itu jelas mengancam masa depan mereka.
Menanggapi anak-anak Palestina yang masih berada di Jalur Gaza, Lamb mengatakan bahwa anak-anak Palestina itu hidup dalam trauma yang luar biasa karena mereka menghabiskan seluruh hidupnya dalam perang, menyaksikan pemboman dimana-mana, berpindah-pindah tempat tinggal akibat dari lingkungan yang tidak aman atau terkena bom, menjadi saksi orang tua, saudara, tetangga dan teman-temannya jadi korban ledakan, dan bahkan anak-anak ini dihalang-halangi dari mendapatkan makanan yang layak serta air yang besih. Anak-anak ini juga dihalangi dari mendapatkan pendidikan dimana hal itu merupakan unsur sangat penting bagi hidup mereka kelak. Sebagai seorang psikolog, Lamb menyebut anak-anak Palestina menderita PTSD (Post Traumatic Stress Dissorder), kecemasan dan depresi.
Pada akhirnya, , karena upaya tak kenal lelah Israel dalam serangan mereka terhadap anak-anak dan warga Palestina yang dalam hal ini bahkan kelompok-kelompok oposisi Israel, tidak bisa membela diri, menurut Lamb, adalah tanggung jawab dari masyarakat internasional dan organisasi kemanusiaan yang fokus pada kesehatan mental untuk memberikan perawatan dan pelayanan khusus bagi anak-anak ini, karena tidak ada pengobatan yang akan cukup untuk menyembuhkan luka akibat kejahatan psikologis dan luka itu akan terus menghantui anak-anak ini sampai akhir hayat mereka.
Menurut Lamb, masa depan jalur Gaza yang berada dalam blokade Israel sejak Juni 2007 dan telah menjadikan dua juta penduduk didalamnya hidup dalam kondisi yang menyedihkan seperti di pemakaman, hanya akan bisa diselesaikan dengan dukungan internasional.
“Masa depan Gaza akan ditentukan oleh upaya orang-orang yang peduli tentang Palestina dan membela hak-hak mereka,” pungkasnya.
(Islam-institute/ABNS)
Kepada Fars News Agency, seorang warga negara Amerika Serikat yang telah melakukan perjalanan ke kamp-kamp pengungsi Palestina di Timur Tengah mengatakan bahwa bantuan kemanusiaan yang dialokasikan untuk pengungsi Palestina, khususnya di Lebanon dan Yordania, tidak signifikan dalam menolong pengungsi dan hingga kini mereka hidup dalam kondisi yang mengerikan dan sangat tersiksa.
Lousia Lamb telah meneliti situasi pengungsi Palestina yang terpaksa mengungsi dari tanah air mereka semenjak tahun 1948 dan hidup sebagai pengungsi di Timur Tengah. Data-data menunjukkan bahwa saat ini ada lebih dari 5 juta warga Palestina yang tinggal di luar komunitas mereka sebagai pengungsi.
“66 tahun adalah masa yang terlalu panjang bagi sekelompok orang untuk hidup sebagai pengungsi. Dan mereka, warga Palestina membutuhkan rumah untuk mereka sendiri di mana mereka dapat memperoleh hak-hak asasinya dan hidup sebagai manusia yang bermartabat.” ungkapnya, “Saya percaya satu aksi yang harus dilakukan PBB dan komunitas global untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah Israel adalah dengan memberlakukan boikot, divestasi, dan sanksi. “
“Disamping upaya pembersihan etnis secara brutal yang dilakukan mulai 15 Mei 1948, termasuk menyabotase kota-kota di Palestina dan memperbarui nama-nama kota itu, penghancuran rumah-rumah warga secara terus menerus, perusakan sekolah-sekolah dan rumah sakit serta serangan udara yang tiada henti ke wilayah-wilayah Palestina hingga akhir musim panas di Gaza, Israel tak akan pernah berhenti dalam usaha mereka untuk memberantas semua warga Palestina dari kawasan, sampai nantinya Israel tidak lagi merasa terancam dengan hak mereka untuk kembali,” ungkap Lamb pada FNA.
Lamb, yang mendapatkan gelar sarjana seni psikologi dari Universitas Salisbury di Universitas Maryland, menulis artikel pada jurnal-jurnal online mengenai konflik di Timur Tengah termasuk Suriah, Lebanon, dan Palestina.
Nona Lousia Lamb berbagi pengalamannya dengan para pengungsi di kamp pengungsian Palestina dan sudut pandangnya mengenai prospek hidup warga Palestina termasuk mereka yang terjebak di Jalur Gaza, dalam wawancaranya dengan FNA.
Ketika ditanya mengenai tindakan apa yang seharusnya diambil oleh PBB dan Badan-badan dunia atas sikap Israel yang terus menolak untuk mengakui hak-hak warga Palestina untuk kembali dengan alasan jika masyarakat Palestina yang terusir dari tanah air mereka semenjak tahun 1948 itu kembali maka akan menjadi ancaman bagi Israel, padahal hak untuk kembali itu sudah benar-benar diakui dan dilindungi oleh Hukum Internasional, nona Lamb mengatakan bahwa Israel tidak akan pernah mau berkompromi. Negara ilegal itu memang dengan sengaja berusaha membasmi seluruh bangsa Palestina agar tak lagi merasa terancam.
“Saya akan menyarankan PBB untuk terus mendorong dikembalikannya wilayah-wilayah Palestina dan terus mendorong komunitas internasional untuk meneruskan dukungannya, serta terus mengingatkan bahwa hak untuk kembali ada dibawah hukum internasional dan apa yang dilakukan Israel adalah Ilegal jika tidak boleh dikatakan tidak berperi kemanusiaan.
Menanggapi klaim yang mengatakan bahwa warga Palestina pergi bukan karena diusir melainkan dengan “sukarela” setelah peristiwa Nakba atas perintah dari beberapa pemimpin Arab, Lamb menolak keras klaim tersebut. Ia mengatakan bahwa ia sangat tidak setuju dengan hal itu, dan hal itu hanyalah cara lemah imperialisme Zionist dalam rangka membenarkan kejahatan kemanusiaan yang telah mereka lakukan kepada bangsa Palestina. “Jika mereka meninggalkan Palestina dengan kemauan sendiri, bukankah seharusnya mereka bisa juga kembali dengan kemauannya sendiri?” ungkapnya.
Dalam wawancaranya, Lamb menceritakan mengenai kedatangannya pertama kali ke Lebanon dan mengunjungi lima kamp pengungsian. Menurut Lamb, ia merasa sangat terkejut sekaligus ngeri melihat kondisi kehidupan para pengungsi. Kamp yang paling sering ia kunjungi adalah kamp Shatilla di Beirut. Pertama datang ia segera bisa melihat bangunan-bangunan yang tak jelas bentuknya, kotor dan sempit serta jalan tak beraspal yang penuh genangan air dan sampah dimana-mana.
“Ada sampah dimana-mana, saya melihat satu tempat yang dipakai sebagai tempat pembuangan sampah dan sampah menggunung disana. Anak-anak yang kelaparan menggali gundukan sampah itu untuk mencari sisa-sia makanan,” ungkap Lamb menggambarkan kondisi menyedihkan para pengungsi.
Lamb menggambarkan kondisi rumah-rumah di Shatilla, umumnya hanya sebuah kamar yang terdapat sebuah kamar mandi dan dapur di dalamnya. Ada juga yang memiliki dua kamar, atau tiga kamar maksimal, dan dalam rumah rumah itu terdapat lebih dari satu keluarga. Keluarga-keluarga tersebut biasanya mendapat makanan dan kebutuhan dasar hidupnya dari bantuan UNRWA karena masyarakat Palestina disana susah mencari kerja dan terus bertambah jumlahnya setelah kelahiran bayi-bayi di dalam kamp, dimana hal itu pada akhirnya menjadikan Medecin san Frotiers mendirikan klinik di Shatilla untuk menolong wanita hamil dan melahirkan. Anak-anak di kamp-kamp itu tidak memiliki fasilitas kesehatan serta pendidikan yang cukup, dan hal itu jelas mengancam masa depan mereka.
Menanggapi anak-anak Palestina yang masih berada di Jalur Gaza, Lamb mengatakan bahwa anak-anak Palestina itu hidup dalam trauma yang luar biasa karena mereka menghabiskan seluruh hidupnya dalam perang, menyaksikan pemboman dimana-mana, berpindah-pindah tempat tinggal akibat dari lingkungan yang tidak aman atau terkena bom, menjadi saksi orang tua, saudara, tetangga dan teman-temannya jadi korban ledakan, dan bahkan anak-anak ini dihalang-halangi dari mendapatkan makanan yang layak serta air yang besih. Anak-anak ini juga dihalangi dari mendapatkan pendidikan dimana hal itu merupakan unsur sangat penting bagi hidup mereka kelak. Sebagai seorang psikolog, Lamb menyebut anak-anak Palestina menderita PTSD (Post Traumatic Stress Dissorder), kecemasan dan depresi.
Pada akhirnya, , karena upaya tak kenal lelah Israel dalam serangan mereka terhadap anak-anak dan warga Palestina yang dalam hal ini bahkan kelompok-kelompok oposisi Israel, tidak bisa membela diri, menurut Lamb, adalah tanggung jawab dari masyarakat internasional dan organisasi kemanusiaan yang fokus pada kesehatan mental untuk memberikan perawatan dan pelayanan khusus bagi anak-anak ini, karena tidak ada pengobatan yang akan cukup untuk menyembuhkan luka akibat kejahatan psikologis dan luka itu akan terus menghantui anak-anak ini sampai akhir hayat mereka.
Menurut Lamb, masa depan jalur Gaza yang berada dalam blokade Israel sejak Juni 2007 dan telah menjadikan dua juta penduduk didalamnya hidup dalam kondisi yang menyedihkan seperti di pemakaman, hanya akan bisa diselesaikan dengan dukungan internasional.
“Masa depan Gaza akan ditentukan oleh upaya orang-orang yang peduli tentang Palestina dan membela hak-hak mereka,” pungkasnya.
(Islam-institute/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email