Foto : memobee.com
Sampai dekade 1950-an, Belanda masih saja terus mengganggu upaya Indonesia untuk membangun hubungan diplomatik dengan negar-negara yang lain. Hal itu terjadi pula pada masa awal hubungan diplomatik Indonesia dan Meksiko. Seperti yang pernah dipaparkan Hassan Wirayuda dalam peringatan “50 tahun hubungan Indonesia-Meksiko” pada tahun 2003 silam, sangat sulit bagi Indonesia dalam melakukan pendekatan dengan para pejabat setempat, karena pengaruh Belanda di Meksiko cukup besar dan luas.
Berbagai kesulitan dihadapi oleh Kantor Penerangan RI di Meksiko pada waktu itu, terutama dalam usaha mengimbangi propaganda-propaganda yang dilakukan pihak Belanda di Meksiko. Kesulitan muncul karena keterbatasan anggaran belanja yang masih tergantung Kedutaan Besar RI di Amerika Serikat.
Pada awal bulan Oktober 1956 telah diadakan pertunjukan tari-tarian Indonesia oleh rombongan kesenian RI bertempat di Palacio de Bellas Artes (Gedung Kesenian Meksiko). KBRI Meksiko City menyelenggarakan kegiatan di bidang kesenian dan kebudayaan, dengan menhadirkan rombongan kesenian yang terdiri dari 40 orang seniman daerah yang dipimpin oleh Bapak Djokosanyoto (Atase Kebudayaan), Bapak Ibnuwono Hamimsar (Sekretaris Pertama) dan Bapak Sumarjo (Sekretaris Pertama) dari KBRI di Washington. Untuk mendukung hal itu, KBRI Meksiko City juga telah menyebarluaskan publikasi melalui berbagai media masa cetak maupun elektronik, serta mencetak buletin dan pamflet maupun poster yang disebarkan ke berbagai negara bagian di Meksiko.
Keberhasilan untuk meyakinkan Meksiko agar membuka diri terhadap Indonesia tidak lepas dari peran sentral Hadi Thayeb selaku Kuasa Usaha Sementara RI di Meksiko. Sosok inilah yang ditugaskan untuk mengubah posisi Meksiko yang secara terang-terangan bersikap memihak kepada PRRI/PERMESTA.
Dengan pendekatan kebudayaan melalui pengiriman berbagai misi kesenian tersebut mulai tampak adanya perubahan sikap Meksiko terhadap Indonesia, terutama politik Meksiko dalam masalah konflik antara Indonesia dengan Belanda. Pada sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa beberapa tahun kemudian, terlihat sikap politik Meksiko berubah.
Kunjungan Bersejarah 1959
Pada awalnya, Meksiko sebenarnya masih enggan menerima kunjungan kenegaraan Presiden Soekarno, hal itu tercermin dalam pernyataan Menlu Meksiko saat itu, Manuel Tello, bahwa negara tersebut memiliki “very good and friendly relations” dengan Belanda, dan kunjungan Presiden RI berpotensi merusak kemesraan Meksiko-Belanda.
Usaha tanpa lelah Hadi Thayeb akhirnya berhasil setelah dirinya menemui Humberto Romero, Sekretaris Presiden Meksiko saat itu, dan seorang penulis dan wartawan, Luis Spota, melalui jasa baik Dr.Josue de Benito Lopez.
Tidak lama kemudian Dr.Josue de Benito Lopez, Sr. Luis Spota dan Sr.Humberto Romero menyampaikan kabar gembira, bahwa Presiden Lopez Mateos setuju untuk menerima kunjungan resmi Presiden Soekarno dan rombongan selama lima hari.
Pada tanggal 27 Mei hingga 1 Juni tahun 1959, Presiden RI, Soekarno, mengadakan kunjungan pertama ke Meksiko. Kunjungan kehormatan kepada Presiden Mexico berlangsung di Istana Presiden yang terletak di Plaza Zocalo, di pusat kota Meksiko City. Presiden Soekarno didampingi Menteri Luar Negeri RI, Dr.Subandrio, Duta Besar RI, Mukarto Notowidigdo, dan Kuasa Usaha RI, Hadi Thayeb.
Pada momentum kunjungan tersebut, Pemerintah Meksiko juga memberikan kesempatan kepada Soekarno untuk menyampaikan pidato di depan parlemen Meksiko. Menurut berbagai cacatan, pidato inilah yang berhasil mengikis sikap anti-pati Meksiko terhadap Indoensia.
Dalam pidato yang berdurasi satu jam tersebut, Soekarno menguraikan Pancasila dan usaha menggalang kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama dan bahasa-bahasa daerah. Dikemukakan pula mengenai perjuangan Bangsa Indonesia, persamaan-persamaan dalam perjuangan sambil menyebutkan satu per satu tokoh-tokoh perjuangan Amerika Latin dan Meksiko. Secara geografis antara Meksiko dan Indonesia, kata Bung Karno, letaknya saling berjauhan, akan tetapi “its shores are washed by the waters of the same big ocean, the Pacific Ocean, that not separate us but actually brings us closer together”. Seusai pidato, Presiden Soekarno mendapat standing ovation untuk waktu cukup lama.
Beberapa anggota Parlemen Meksiko mengatakan ”kita memerlukan seorang pemimpin seperti Soekarno untuk memimpin Amerika Latin”.
Appresiasi Pemerintah Meksiko terhadap Indonesia ditegaskan dalam kunjungan Presiden Soekarno ke daerah permukiman rakyat yang sederhana di Tacuba. Sekolah Dasar Negeri M-1560 secara resmi berganti nama menjadi “Escuela de la Republica Indonesia”, dan Soekarno didaulat untuk meresmikannya.
Pada tahun 1979, Isabel Olguin Romo, seorang guru yang pernah mengajar di Escuela de la Republica Indonesia, mendirikan sekolah yang diberi nama “Colegio Indonesia” yang berlokasi di Kota Coacalco di negara bagian Estado de Mexico. Lembaga pendidikan ini merupakan bentuk penghargaan, appresiasi yang mendalam serta persahabatan yang tulus dari Meksiko untuk Indonesia.
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email