Foto: serbasejarah.wordpress.com
“Seperti jamak menimpa seorang pemula, terbuang setelah madu mulia habis terhisap, sekiranya ia tak mulai tradisi menggunakan pers sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti Hindia, bagaimana sebuah nation seperti Indonesia akan terbentuk?” (Pramodya Ananta Toer dalam “Sang Pemula”)
Beragam literatur menyebutkan bahwa sejarah awal kemunculan jurnalistik merujuk pada sebuah papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan informasi) yang dikenal dengan “Acta Diurna” pada zaman pemerintahan Julius Caesar, sekitar 100-44 Sebelum Masehi.
Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para “Diurnarii”, yaitu orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan. Dari sini pula istilah jurnalistik muncul, yakni kata “Diurnal” yang dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diafirmasi ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul kata “Diurnalis” dan “Journalist”.
Sementara di Indonesia, pers mulai muncul pada abad 18, tepatnya pada tahun 1744, ketika sebuah surat kabar bernama “Bataviasche Nouvelles” diterbitkan oleh perusahaan orang-orang Belanda. Surat kabar yang pertama sebagai bacaan untuk kaum pribumi dimulai tahun 1854 ketika majalah “Bianglala” diterbitkan, disusul oleh “Bromartani” pada tahun 1885, kedua-duanya di Weltevreden, pada tahun 1856 “Soerat Kabar Bahasa Melajoe” di Surabaya. Sejak itu bermunculanlah berbagai surat kabar di belahan nusantara.
Pers Menyongsong Kemerdekaan
Dalam “Zaman Bergerak”, Takashi Shiraishi menggambarkan awal abad XX adalah sebuah zaman baru bagi Politik Kolonial Belanda di Hindia, semboyan dari zaman baru ini adalah “Kemajuan menuju modernitas”, “Kemajuan” dalam arti di bawah pengawasan Belanda, dan “Modernitas” seperti yang ditunjukkan Belanda di Hindia dipahami sebagai (menuju) peradaban bangsa Barat. Zaman baru ini dirumuskan sebagai “ekspansi, efisiensi, dan kesejahteraan”, dimana kepulauan Hindia dari Sabang sampai Merauke kini berada dibawah kontrol Belanda secara politik, kebijakan ‘rust and order’-pun ditegakkan.
Sebelum abad 20, skema perjuangan dominan dilakukan lewat cara-cara peperangan dan adu pasukan di medan laga. Namun dalam dasawarsa pertama abad 20, pola perjuangan memasuki titik perubahan yang cukup signifikan. Titik perubahan itu dipicu oleh sebuah kesadaran baru tentang “perjuangan dengan jalan jurnalistik”.
Fakta sejarah bahwa nyaris seluruh tokoh kunci pergerakan kebangsaan adalah tokoh pers merupakan bukti bahwa nasionalisme (kebangsaan) kita tidak bisa dilepaskan dari dunia pers. Mahaguru Pergerakan Nasional, HOS Tjokroaminoto adalah pemimpin redaksi “Oetoesan Hindia” dan “Sinar Djawa”. “Tiga Serangkai” Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo menukangi “De Express”. Semaoen di usianya 18 tahun sudah memimpin “Sinar Djawa” yang kemudian berubah menjadi “Sinar Hindia”. Maridjan Kartosoewirjo menjadi reporter dan redaktur iklan di “Fadjar Asia”. Adapun Soekarno menjadi pemimpin redaksi “Persatoean Indonesia” dan “Fikiran Ra’jat”.
Tirto Adi Suryo dan koran Medan Prijaji.
Namun, jauh sebelum itu semua, kehadiran Tirto Adhi Soerjo dengan “Medan Prijaji” yang menerbitkan reportase tentang berbagai penyelewengan dan kesewenangan yang dilakukan pemerintah kolonial maupun para kaki tangan pribumi. Semangatnya untuk menggerakkan bangsanya menentang ketidakadilan semakin berkobar. Dialah pelopor pers nasional. Kisah perjuangannya diabadikan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novel Tetralogi Buru yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Selain Tetralogi Buru, Pram mengulas biografi Tirto Adhi Soerjo dalam “Sang Pemula”.
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email