“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” [46]
Mengenang Pemikir Muhammad Iqbal
Topik kajian yang sebelumnya telah saya siapkan untuk pertemuan ini, yang bertepatan dengan hari Arbain (peringatan 40 hari syahadahnya Imam Husain as) adalah “berhubungan dengan para syuhada”. Penyajian hal ini juga saya pikir sangat mengena mengingat pada hari ini telah terjadi dua peristiwa penting dalam sejarah. Dua buah peristiwa yang menjadi penyebab terjadinya acara peringatan Arbain.
Salah satunya adalah sejarah masuknya penziarah resmi pertama ke makam Imam Husain as, Karbala, yang datang dari Madinah, yakni Jabir bin Abdullah al Anshori. Dan peristiwa lainnya yang berkenaan dengan diresmikannya ziarah kepada Imam Husain pada hari ini. Banyak riwayat yang menganjurkan untuk berziarah ke makam Imam Husain pada hari Arbain. Hari Arbain merupakan hari yang dikhususkan untuk berziarah kepada Imam Husain as.
Kedatangan Jabir bin Hayyan untuk berziarah ke turbah (tanah) suci Imam Husain as, ataupun berziarah kepada beliau as dari jarak jauh dengan membaca doa ziarah sebagaimana yang dianjurkan dalam berbagai riwayat, bertujuan untuk “menjalin hubungan” dengan para syuhada.
Sebenarnya saya ingin menjelaskan makna filosofis dari pergi berziarah dan membaca doa ziarah dari jarak jauh. Namun kajian ini akan saya sampaikan pada kesempatan lain. Dikarenakan sebelumnya telah diadakan tiga kali pertemuan yang membahas topik tentang “menghidupkan pemikiran agama” dan dalam rangka mengenang tokoh besar reformis Islam asal Pakistan, Muhammad Iqbal, saya akan menentukan topik pertemuan kita kali ini yakni “Muhammad Iqbal dan menghidupkan pemikiran agama”. Pembahasan ini akan saya uraikan selama setengah jam. Mengingat waktunya sudah lewat, saya mengusulkan untuk membahas masalah filsafat ziarah pada lain kesempatan.
Dari sisi lain, pembahasan tentang “Muhammad Iqbal dan menghidupkan pemikiran Islam” merupakan pembahasan yang tidak akan tuntas dikaji dalam setengah jam. Pengalaman membuktikan, setiap kali masalah seperti ini dibicarakan dalam waktu singkat, akan timbul ketidakjelasan, kesamar-samaran, dan sulit dimengerti. Oleh sebab itu, saya ingin mengatakan bahwa untuk membicarakan topik “menghidupkan pemikiran Islam”, perlu kiranya diadakan pertemuan yang intens. Topik ini juga mendapat sambutan hangat dalam konferensi di Pakistan. Suatu konferensi yang benar-benar bernuansa ilmiah dan sosial. Saya pun berniat membicarakan topik ini.
Intelektual Pakistan ini telah menerbitkan sebuah buku yang merangkum tujuh konferensi yang dihadirinya di Pakistan, yang nampaknya kemudian diintroduksikan ke dalam lingkungan universitas. Karena bobot konferensi ini sangat tinggi, tentunya hasil-hasilnya tak mungkin diintroduksikan ke kalangan masyarakat umum. Seluruh rangkuman hasil konferensi tersebut hanya mungkin diintroduksikan ke dalam lingkungan masyarakat ilmiah dan terpelajar. Isi rangkuman tersebut berbicara tentang “menyambut dan menghidupkan pemikiran agama”.
Setiap konferensi yang dimaksud memiliki topik pembahasan masing-masing. Seperti topik “Eksperimen agama”, “Pembahasan-pembahasan filsafat dalam eksperimen agama”, “Kebebasan dan Keakuan manusia”, “Inti tradisi dan peradaban Islam”, “Asas gerakan Islam”, “Apakah agama sesuatu yang mungkin?”, serta “Pemahaman tentang Tuhan dan pengertian Ibadah”. Semua topik tersebut ditelaah di bawah judul besar “Menghidupkan pemikiran agama”.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa semua pendapat yang disampaikan sekaitan dengan topik tersebut bebas dari kritik, atau membenarkan semua pendapat yang telah dipaparkan penulis asal Pakistan ini. Pendapat yang disampaikan merupakan hasil dari upaya pemikir Islam yang mengkaji masalah tersebut dan sangat layak mendapatkan pujian dan sanjungan.
Dalam hal ini, pembicaraan saya akan banyak berkisar pada upaya menanggapi berbagai pendapat yang dilontarkan intelektual Islam Pakistan ini. Mudah-mudahan pembahasan ini akan ditindaklanjuti dengan kajian yang lebih mendalam. Barangkali saya juga akan mencari kesempatan untuk membahas tema “Menghidupkan pemikiran Islam” dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya. Namun pertama-tama, saya ingin menyampaikan sejumlah hal penting yang berkenaan dengan pemikiran tokoh Islam ini.
Muhammad Iqbal, yang pernah pergi ke Eropa dan mengenal persis seluk beluk benua itu, adalah orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Ia dikenal oleh bangsa Eropa sebagai pemikir, tokoh, dan pakar agama.
Iqbal bukanlah tipe laki-laki yang duduk mengasingkan diri di sudut dan lorong-lorong India, yang memandang Eropa dari kejauhan dan setelah itu menyampaikan kritik terhadap dunia barat. Ia melihat Eropa, memahami, menyelidiki, dan menganalisanya dari dekat. Ia sangat menggemari ilmu-ilmu baru dan mendorong para pemuda muslim untuk mempelajarinya juga. Dirinya tidak menentang ilmu-ilmu baru atau melarang kaum muslimin mempelajarinya.
Muhammad Iqbal telah memperoleh pendidikan tinggi di Eropa. Ia benar-benar mengenali dunia barat dan mengakui pentingnya mempelajari ilmu-ilmu baru. Hal pertama yang menarik perhatian sekaitan dengan ucapan tokoh ini adalah slogan yang dikemasnya dalam bentuk puisi. Slogan tersebut, dewasa ini dikenal dengan sebutan “Peradaban Eropa”, yang berarti sekumpulan urusan kehidupan ala Eropa, yaitu idealisme yang menciptakan peradaban Eropa pada masa kini. Jalan yang diajarkan dunia barat kepada umat manusia, serta nilai moral dan budaya bangsa tersebut yang merupakan hasil dari perjalanan hidupnya, bukan saja tidak memberikan manfaat sama sekali, lebih dari itu menjadi sesuatu yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan masyarakat Eropa itu sendiri.
Iqbal pernah mengunjungi Eropa dan memiliki pemahaman tentangnya. Menurutnya, gambaran masa depan Eropa sangat mengerikan dan berbahaya. Ucapan-ucapan ini acapkali diungkapkan dalam berbagai ceramahnya. Saya ingin membacakan untuk Anda beberapa bagian dari tulisan Iqbal.
Darinya Anda bisa melihat bagaimanapandangan tokoh ini berkenaan dengan peradaban Eropa masa kini dan terhadap berbagai keburukan yang terkandung dalam pandangan Barat. Selain itu, Anda juga dapat mengetahui, sejauhmana pemikirannya berpengaruh terhadap masyarakat di belahan Timur, khususnya kaum muslimin, hingga mereka tidak terpengaruh oleh peradaban Eropa.
Salah satunya, Iqbal pernah mengatakan: “Mata mereka telah dibutakan sikap mengikuti sehingga mereka tidak mampu memahami kebenaran. Budaya dan peradaban Eropa yang hampir mati bagaimana mungkin bisa memberikan kehidupan baru kepada bangsa Iran dan Arab, sementara mereka berada diambang kematian”. Ia juga mengatakan: “Sejarah baru; sangat cepat datangnya. Islam dengan perubahan cepat dari sisi spiritual tengah bergerak menuju belahan bumi bagian Barat”. Selanjutnya, diungkapkan: “Sejarah baru Negara-negara merupakan perjalanan yang sangat cepat yang tengah bergerak menuju belahan bumi barat”.
Kemudian untuk memisahkan antara pengetahuan dan peradaban Barat, Iqbal mengatakan: “Dalam gerakan ini, sama sekali tidak terdapat kebatilan dan kesesatan. Budaya Eropa dari sisi rasional (yaitu sisi pengetahuan dan pemikiran), mengambil dari beberapa tahapan budaya Islam”.
Maksudnya, jika kita memperhatikan sisi pemikiran dan pengetahuan Barat, dan melangkah jauh kepadanya, tidak akan berbahaya bagi kita karena yang diperoleh darinya tak lebih dari ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, ilmu adalah ilmu. Di dunia barat, ilmu yang dihasilkan banyak bersumber dari pengetahuan-pengetahuan Islam. Budaya barat —tepatnya, ilmu pengetahuan barat— diilhami dari budaya Islam.
“Ketakutan kita muncul dari fenomena budaya barat yang membingungkan yang menghalangi langkah kita dan kita takut jikalau budaya barat akan mencapal tujuannya”.
Iqbal berpendapat, kita merasa takut tatkala menyaksikan fertomena kemajuan barat dalam banyak bidang. Kita menyaksikan kemajuan mereka dalam bidang industri dan pengetahuan biologi. Adapun aspek batin yang mengantarkan manusia ke arah kemajuan tidak kita saksikan sama sekali. Kita harus mampu meneliti dan menganalisis hal tersebut.
Dalam bukunya yang lain lain, Iqbal mengatakan: “Akal dengan sendirinya tidak mampu menyelamatkan manusia.
Kekurangan budaya barat yang terbesar adalah keinginannya untuk menggunakan akal secara otonom tanpa bantuan kekuatan jiwa, perasaan, dan iman. Hanya mengandalkan kekuatan akal, tentu tidak akan bisa menyelamatkan bahtera kemanusiaan dari kehancuran”. Ia juga mengatakan: “Idealisme barat sama sekali bukan menjadi faktor utama dalam kehidupan mereka.”
Mitsaligari barat memiliki arti “idealisme barat”. Semua tuntutan serta ajaran-ajaran yang diberikan budaya barat bagi manusia, dan berbagai aliran yang terdapat di sana, muncul lantaran didorong oleh anggapan bahwa dirinya (dunia barat) mampu menyelamatkan umat manusia.
Iqbal mengatakan bahwa aliran-aliran tersebut pada kenyataannya tidak mampu menguraikan hakikat (orang) barat, terlebih menjadikannya manusiawi. Dengan ungkapan lebih jelas lagi, orang barat dan dunia barat banyak melakukan kebaikan dan tindakan kemanusiaan sebatas dalam pembicaraan, tulisan, dan slogan-slogan retorik belaka. Disebabkan ide-ide mereka semata-mata bersumber dari pemikiran akal dan tidak melalui kekuatan jiwa, maka apapun yang mereka katakan tak akan pernah berpengaruh dalam jiwa mereka sendiri. Orang barat mengatakan bahwa dirinya adalah manusia. Namun secara praktis mereka tidak memiliki perikemanusiaan. Barat sangat getol menggembar-gemborkan hak asasi manusia. Namun dalam praktik dan kenyataannya, mereka tak pernah menghargai manusia beserta segenap hak asasinya. Melalui aliran budayanya, orang barat meneriakkan suara kebebasan. Tapi pada kedalaman jiwanya, ia tidak meyakini adanya kebebasan. Mereka meneriakkan persamaan hak dan keadilan, namun dalam lubuk jiwanya, semua itu sama sekali ditolaknya.
Iqbal mengatakan: “Hasil semua itu adalah “keakuan” yang gamang (yaitu jiwa yang bimbang) yang mana di tengah-tengah alam demokrasi tidak terdapat solidaritas satu sama lain untuk mencari jati diri. “Keakuan” yang gamang yang disebarkan oleh orang-orang darwis, kelak menguntungkan kaum kapitalis.
Dihasilkan dari apakah seluruh suara keadilan yang digaungkan, serta seluruh aliran yang timbul di Eropa yang saling berkontradiksi satu sama lain? Kepentingan kaum kapitalis untuk mengambil keuntungan dari segenap upaya yang dilakukan kaum darwis. Dan pada saat bersamaan, kaum kapitalis tersebut juga mengambil keuntungan dari bentuk aliran lainnya.
Kemudian Iqbal menambahkan: “Percayalah dengan ucapan saya, Eropa pada masa sekarang merupakan penghalang besar bagi kemajuan moral umat manusia.”
Pendapat semacam ini acapkali disampaikan dalam berbagai kesempatan. Ia memiliki hubungan yang kuat dengan kaum muslimin, khususnya pemuda-pemudi muslim. Orang yang sedikit banyak mengenal fenomena budaya barat, pasti mengetahui padangan Iqbal tersebut.
Segenap kelemahan yang terdapat dalam budaya dan peradaban Eropa, tidak terdapat dalam budaya dan peradaban Islam. Berbagai kritikan tajam dan mendasar, yang ditujukan kepada budaya Eropa, tidak bisa ditujukan kepada Islam.
Atas dasar itu, dalam pembicaraan lain, Iqbal berupaya keras mengintroduksikan fondasi-fondasi dan aspek-aspek kebudayaan serta peradaban Islam. Saya ingin menelaah sebagian pembicaan Iqbal yang berkenaan dengan hal tersebut.
Setelahnya, saya akan mengkaji masalah yang berkenaan dengan upaya menghidupkan pemikiran Islam. Iqbal mengatakan: “Kaum muslimin memiliki pemikiran yang berdasarkan wahyu Illahi yang merupakan kesempurnaan mutlak, karena Islam menjelaskan sisi paling subtil dari intisari kehidupan yang menampilkan sebuah warna spiritual. Garis spiritual kehidupan bagi kaum muslimin merupakan perkara keyakinan (akidah). Dan untuk membela akidah ini, muslimin siap mengorbankan jiwa dan raganya.”
Saya ingin menjelaskan ringkasan dari ucapan Iqbal. Beliau mengatakan bahwa ajaran Islam berpijak di atas keimanan. Ajaran Islam bersumber dari Wahyu Illahi, sehingga mampu menembus sisi batin manusia. Bukti tentangnya telah eksis di masa lalu dan akan tetap terbukti pada masa sekarang; bahwa ajaran Islam memiliki kekuatan ajaran yang mampu menembus sisi batin manusia.
Islam mengajarkan kebebasan, keadilan, mencintai sesama manusia, dan hak-hak asasi manusia. Ajaran-ajaran ini juga sekaligus memberikan jaminan dalam jiwa manusia bahwa ia bisa diterapkan dalam kehidupan ini. Akan tetapi, ajaran-ajaran yang disampaikan dunia barat tidaklah demikian. Semua ajaran tersebut tidak memiliki garansi untuk bisa diterapkan secara konkret. Pada masa kini, manusia membutuhkan tiga hal:
1. Memandang dunia dari sisi metafisikal
Hal pertama yang dibutuhkan manusia adalah memandang dunia dari sisi metafisikal, bukan dari sisi material. Aliran yang mengakibatkan pemikiran dan akidah tidak termanifestasi dalam bentuk keimanan dan kenyataan adalah idealisme.
Aliran ini memandang keberadaan dunia hanya terbatas pada aspek materialnya belaka. Segala sesuatu yang ada di dunia ini hanyalah materi. Dunia ini buta, tidak berperasaan, bodoh, dungu, dan tidak bertujuan. Dunia tidak memahami kebaikan dan kebatilan. Dunia tidak memahami kebenaran dan kekeliruan. Di jagat semesta, kebenaran dan kebatilan tak bisa diukur dan ditimbang. Tak ada sesuatupun di dunia ini yang memiliki tujuan.
Kita diciptakan secara sia-sia. Iqbal mengatakan bahwa pemikiran semacam ini menyesatkan dan menghancurkan norma peradaban kemanusiaan.
Jadi, hal pertama yang dibutuhkan manusia adalah memandang dunia dari sisi metafisikal (bahwa dunia diciptakan dengan tujuan). Dalam sebuah ayat disebutkan: “Apakah kalian menyangka bahwa kalian diciptakan secara sia-sia?” [47]
Tak ada kesia-siaan dalan penciptaan alam semesta. Segala apa yang ada di jagat raya ini harus mempunyai pemilik yang disebut dengan Tuhan. Dunia diciptakan di atas prinsip kebenaran. Dunia diciptakan di atas prinsip keadilan. Di alam semesta ini terdapat kebaikan dan keburukan. Keberadaan alam semesta ini diciptakan Tuhan yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. “Allah tidak pernah lupa dan tidak tidur,” [48] Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Berilmu. Namun, keberadaan dunia ini tidak cukup hanya dipandang dari sisi metafisikal semata. Untuk itu, kita perlu melengkapinya dengan beberapa faktor lain.
2. Kebebasan spritual individu
Kebebasan spiritual individu bertentangan dengan ajaran kristen. Kebebasan individual berarti meyakini bahwa seseorang memiliki kepribadian yang unik. Jika seseorang tidak memandang dunia dari sisi metafisikal serta tidak meyakini adanya kepribadian yang khas dari masing-masing individu, maka potensi-potensi yang terkandung dalam diri manusia tidak akan pernah nampak. Terdapat beberapa kaidah yang memiliki pengaruh universal dan sanggup mengarahkan manusia pada kesempurnaan masyarakat yang berdasarkan pada prinsip spiritual. Yang dimaksud dengan kaidah tersebut adalah berbagai ketetapan dasar dari ajaran Islam.
Dalam pembahasan kali ini, saya tidak akan memaparkan ucapan-ucapan Iqbal lebih jauh lagi. Apakah seperti kebanyakan kita, kajian yang dilakukan Iqbal hanya berhenti sampai di sini? Maksudnya, apakah setelah melihat berbagai kekurangan peradaban Eropa dan kemudian melihat Islam sebagai bentuk alternatif yang hidup, ia kemudian mengatakan: “Pembahasan sudah selesai”? Tidak. Justru Iqbal menguraikan bagian ketiga tersebut secara lebih mendalam dalam risalahnya sendiri, risalah setiap muslim, dan risalah para cendikiawan mukmin. Tujuh rangkuman yang ditulis Iqbal di bawah topik “menghidupkan pemikiran agama dalam Islam”, ditujukan tak lain untuk menopang persoalan yang terdapat pada bagian yang ketiga tersebut. Dalam sejumlah slogan yang disampaikan Iqbal, sedikit banyaknya disampaikan tujuan dari bagian yang ketiga ini, sembari pula sedikit menyinggung tujuan dari bagian yang pertama.
Matinya Semangat Islam
Dalam slogan-slogan yang diserukan Muhammad Iqbal, terkandung berbagai kecaman keras terhadap sikap kaum muslimin yang mengikuti peradaban barat secara membabi buta. Sementara dalam slogannya yang lain, Iqbal juga menyampaikan keharusan untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Bagian ketiga yang dibutuhkan kaum muslimin adalah: Sesungguhnya, Islam macam apakah yang dewasa ini ada di tengah-tengah kaum muslimin?
Iqbal memperlihatkan sebuah noktah yang terbilang penting bahwasannya Islam (yang sebenarnya) ternyata eksis, namun tidak berada di tengah-tengah kaum muslimin. Islam yang eksis di tengah-tengah kaum muslimin hanyalah Islam yang ditampilkan dalam bentuk slogan-slogan, gema suara azan, dan perginya kaum muslimin ke masjid-masjid di waktu sholat. Hanya gimbal keislaman belaka yang tampil ke permukaan. Untuk menunjukan citra keislaman, mereka biasanya menggunakan nama-,nama lslami seperti: Muhammad, Hasan, Husain, Abdurrahim, Abdurrahman, dan sejenisnya. Namun, pada hakikatnya, intisari Islam yang sebenarnya tidak terdapat dalam masyarakat. Intisari Islam dalam masyarakat yang Islami sesungguhnya telah mati. Kita membutuhkan kehidupan Islam yang baru. Kehidupan Islam harus diperbaharui. Dan itu mungkin saja terjadi, mengingat pada hakikatnya Islam tidak pernah mati, melainkan kaum musliminlah yang mati. Islam tidak akan pernah mati, mengapa? Karena di sana terdapat Kitab langit (al-Quran) dan sunah (hadis) Nabi. Keduanya tampil dalam bentuk yang hidup. Dunia tak akan mampu memberikan sesuatu yang lebih baik dari al-Quran dan sunnah Nabi. Ajaran al-Quran tidak seperti teori Ptolomeus yang bisa dipatahkan teori lain. Islam itu sendiri hidup dan berpijak di atas pada landasan yang hidup pula. Lantas, di manakah letak kekurangannya? Kekurangannya terletak pada pemikiran kaum muslimin sendiri. Pemikiran dan cara penerimaan kaum muslimin terhadap ajaran Islam bukan dalam bentuk yang hidup, melainkan dalam bentuk yang mati. Misalnya, dalam menanam benih unggul, Anda tidak menggunakan cara-cara pertanian yang benar. Akibatnya, benih yang ditanam dalam tanah tidak akan membuahkan hasil apapun. Akar-akar benih tersebut tidak akan tertanam dengan kuat. Benih tersebut akan tumbuh menjadi pohon kecil yang mudah dicabut dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Pohon tersebut sekarang tumbuh dan hidup. Akan tetapi, apabila Anda mencabut dan menanamnya kembali dalam posisi terbalik (akar di atas dan daunnya di tanam), pohon tersebut tentu akan mati.
Imam Ali menyampaikan kata-kata yang sangat indah sehubungan dengan masa depan Islam dan kaum muslimin. Beliau mengatakan: “Islam dikenakan baju secara terbalik.” [49] Maksudnya adalah masyarakat Islam memang mengenakan baju keislaman. Namun baju yang dikenakan tersebut ternyata terbalik.
Pakaian musim dingin dikenakan untuk menangkal hawa dingin. Terkadang ada juga orang yang menanggalkannya dan menghadapi musim dingin dengan tubuh tanpa pakaian. Ada juga orang yang mengenakan baju tapi tidak dengan cara yang semestinya; maksudnya mengenakan pakaian secara terbalik. Sisi pakaian yang semestinya diarahkan ke luar malah diarahkan ke dalam, sebaliknya sisi yang seharusnya diarahkan ke dalam justru diarahkan ke luar. Orang yang mengenakan pakaian secara terbalik akan nampak lucu dan bakal menjadi bahan tertawaan orang lain.
Imam Ali mengatakan bahwa masyarakat mengenakan “baju” keislaman dengan cara yang terbalik. Di satu sisi, mereka memiliki baju keislaman, sementara pada sisi yang lain tidak memilikinya. Kendati memilikinya, mereka mengenakannya secara terbalik; yang semestinya di luar malah di dalam, dan yang semestinya di dalam malah di luar. Kesimpulannya, Islam yang eksis di tengah-tengah kaum muslimin adalah Islam yang tidak memiliki keutamaan dan pengaruh. Keislaman semacam itu tidak akan mampu menginspirasikan semangat, gerakan, kekuatan, dan pemahaman. Islam semacam itu lebih menyerupai pohon yang dipenuhi dengan benalu. Lantas dari mana kemunculan seluruh hal tersebut? Ini erat kaitannya dengan cara kaum muslimin menerima Islam. Yakni, bagaimana proses kepengikutan mereka terhadap agama Islam dan bagaimana pula cara mereka menganutnya. Apakah mereka mengambilnya dari kepala, dari kaki, dari tubuh, ataukah secara acak? Mereka mengambil sebagian ajaran Islam dan meninggalkan sebagian lainnya. Mereka hanya mengambil kulitnya, sementara intisarinya tidak. Atau sebaliknya, mengambil intisarinya dan meninggalkan kulitnya. Pada akhirnya, Islam yang mereka anut tampil dalam bentuk “Tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup” [50] Islam yang dipeluk tidak hidup juga tidak mati. Tidak bisa dibilang eksis juga tidak dapat di katakan tidak eksis. Ini merupakan noktah paling mendasar yang harus dipikirkan bersama. Jika tidak dipikirkan secara mendalam, bagaimana mungkin kita bisa melakukan kritik terhadap peradaban dan budaya Eropa, sementara budaya dan saripati Islam yang kita miliki belum otentik. Jika masyarakat dunia mengikuti kita, mereka tentu tidak akan pernah maju. Apabila masyarakat dunia menjejaki langkah kita, mereka pasti akan senasib dengan kita yang kini berada dalam kondisi yang nyaris binasa.
Dalam al-Quran disebutkan tentang bentuk kehidupan yang Islami, kehidupan pemikiran yang Islami. Sebagaimana dengan jelas diungkapkan dalam ayatnya yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu” [51]
Apakah ciri-ciri kehidupan tersebut? Apa yang dimaksud dengan “hidup”? Al-Quran menyebutkan bahwa masyarakat Jahiliyah adalah masyarakat yang mati. Dalam sebuah ayat disebutkan:
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar.” [52] Dalam Ayat lain juga dikatakan: “Dan kamu sekali-kali tidak sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” [53]
Masyarakat Jahiliyah merupakan masyarakat yang terdiri dari orang-orang mati yang bergerak. Mereka adalah orang-orang mati yang berjalan di muka bumi. Orang-orang seperti mereka tidak bisa disebut sebagai orang-orang yang hidup. Adapun berkenaan dengan orang-orang yang beriman, al-Quran menyerukan ajakan untuk menerima ajaran yang mampu menganugerahkan kehidupan. Ajaran Islam memberikan jiwa, kekuatan, serta kehidupan kepada manusia. Apa ciri-ciri kehidupan? Saya persilahkan Anda bertanya kepada orang pandai, atau para filosof yang bisa mendefinisikan kehidupan, tentang ‘bagaimana sesuatu bisa diangggap hidup’. Apa arti hidup? Tak seorangpun yang akan mengaku dirinya mampu mendefinisikan hidup. Hidup bisa diketahui melalui tanda-tanda dan dampak-dampaknya.
Hidup adalah hakikat yang tidak diketahui, yang memiliki dua karakter: Pengetahuan dan gerakan.
Dikarenakan memiliki pengetahuan yang lebih, manusia akan memiliki hidup yang lebih pula. Segala sesuatu yang memiliki gerakan lebih banyak, akan memiliki hidup yang lebih banyak pula. Segala sesuatu yang berpengetahuan minim akan menjadi sangat bodoh dan sangat mati. Setiap kejumudan mencirikan kematian, dan setiap kejumudan yang sangat akan menjadi kematian yang sangat pula. Segala sesuatu yang benar-benar kosong dari pengetahuan akan mengalami kematian dalam kematian, Begitu pula halnya dengan segala sesuatu yang benar-benar jumud. Sekarang coba Anda simak, apakah kaum muslimin yang ada sekarang ini merupakan masyarakat yang progresif ataukah stagnan? Kita lebih banyak diam ataukah bergerak? Maksudnya, apakah masyarakat kita lebih menghormati orang yang progresif ataukah orang yang jumud dan stagnan?
Anda bisa saksikan bahwa masyarakat kita lebih menghormati orang yang stagnan ketimbang orang yang dinamis dan kritis. Ini merupakan ciri kematian suatu masyarakat, di mana setiap orang yang kosong dari pengetahuan lebih dihormati dan dikagumi (Orang yang lebih banyak diam dan stagnan menandakan dirinya tidak memiliki banyak pengetahuan, seclangkan orang yang dinamis menunjukkan dirinya lebih banyak memiliki pengetahuan).
Logika Kereta Uap
Saya pernah bertanya kepada salah seorang teman tentang apakah yang dimaksud dengan logika kereta uap? Dia menjawab: “Saya mendapatkan pelajaran berharga dari kereta uap dan saya memahami masyakat melalui logika tersebut.”
“Ketika saya masih kecil, kereta api yang ada pada waktu itu tidak seperti yang ada sekarang ini. Saya menyaksikan saat kereta api tersebut berhenti di stasiun, anak-anak kecil berlarian mendatangi dan menontonnya. Mereka memandanginya dengan penuh keheranan dan kekaguman. Nampaknya mereka mengagumi betul kereta api yang sedang berhenti tersebut. Cukup lama mereka memandangi kereta itu dengan rasa kagum hingga tiba jam pemberangkatan, dan kereta tersebut kembali bergerak. Saat kereta api mulai melaju, anak-anak itu segera mengambil batu dan melempari kereta tersebut. Saya sungguh terkejut melihat sikap mereka. Jika memang harus dilempar, mengapa mereka tidak melakukannya di saat kereta tersebut berhenti, meskipun hanya dengan batu kerikil? Jika merasa kagum melihat kereta api yang sedang diam, mereka juga semestinya lebih kagum saat melihat kereta tersebut bergerak.”
Inilah perkara yang membingungkan saya. Ketika saya beranjak dewasa dan terjun ke tengah-tengah masyarakat, saya menyaksikan bahwa gaya hidup masyarakat kita (orang-orang Iran) pada umumnya hanya menghormati seseorang selama ia diam. Tatkala seseorang bersifat statis, ia akan lebih dihormati dan dikagumi. Namun tatkala dirinya bergerak dan melangkah secara progresif, masyarakat pun mulai mencela dan menghinanya. Sikap seperti ini menandakan bahwa masyarakat tersebut telah mati. Masyarakat yang hidup akan menghormati orang yang berbicara dan bertindak kreatif, bukan orang yang hanya berdiam diri. Masyarakat yang hidup akan menghormati orang yang progresif, kreatif, dan berwawasan luas.
Inilah tanda-tanda kehidupan dan kematian. Kedua hal ini merupakan sinyal yang paling jelas, di samping masih terdapat pula berbagai sinyal-sinyal lainnya.
Keterkaitan Salah Satu Tanda Kehidupan
Salah satu tanda dari suatu masyarakat yang dinamis adalah keterkaitan antar individu yang ada di dalamnya.
Ciri-ciri masyarakat yang mati adalah tidak terdapatnya keterikatan antar anggota, saling berpecah belah serta saling terpisah antara satu sama lain. Sementara ciri-ciri masyarakat yang hidup adalah adanya saling keterkaitan dan kerja sama di antara anggotanya. Masyarakat Islam pada masa sekarang merupakan masyarakat yang hidup ataukah masyarakat yang mati? Masyarakat Islam dewasa ini adalah masyarakat yang mati. Ini terbukti dengan terjadinya pembunuhan, perang saudara, dan konflik yang mencuat di kalangan internal sendiri, sehingga mengakibatkan musuh-musuh Islam mampu memanfaatkan keadaan untuk terus melemahkan kaum muslimin.
Sehubungan dengan persatuan kaum muslimin, Rasulullah saww pernah menyampaikan ungkapan yang sangat indah:
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling bersikap ramah di antara mereka bagaikan tubuh manusia, jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, seluruh anggota tubuh ikut merasakan sakit dengan tidak tidur dan merasa demam.” [54] Mereka adalah manifestasi dari ayat yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” [55]
Jika salah satu anggota tubuh terkena infeksi, dengan segera rasa demam akan menguasai seluruh badan. Tatkala terjadi peradangan di dalam usus seseorang dan dokter masih belum bisa mengetahui jenis penyakit apa yang dideritanya meskipun telah dilakukan diagnosa secara maksimal, seluruh anggota tubuhnya akan merasakan panas yang luar biasa. Reaksi tubuh semacam ini menunjukkan adanya kehidupan di dalam tubuh. Apakah kondisi kaum muslim in seperti ini? Apakah mereka akan bereaksi di saat salah seorang anggotanya merasakan sakit dan menderita?
Sekitar 500 tahun silam, Andalusia yang merupakan salah satu anggota tubuh kaum muslimin yang paling penting, mengalami musibah dan penderitaan. (Lihat, Dr. Ayati, Tarikh Andalus, Tehran university) Namun, kaum muslimin di belahan dunia lain tidak memberikan perhatian sama sekali kepadanya. Bahkan banyak yang di antaranya yang sama sekali tidak mengetahui penderitaan yang mereka alami. Padahal, perkembangan peradaban Islam dan dunia amat berutang budi pada Andalusia. Pada masa itu meletus pertikaian antara kalangan Syi’ah dan Ahlusunnah. Sayang, kaum muslimin pada umumnya tidak menyadari bahwa tragedi tersebut merupakan musibah yang besar bagi dunia Islam.
Iqbal menyatakan bahwa dalam sejarah, pemikiran yang Islami telah mati sejak 500 tahun lalu. Selama kurun waktu itu, kaum muslimin hanya menampilkan gaya pemikiran Islam yang kering, sembari mengubur bentuk pemikiran Islami yang hidup dan dinamis.
Apakah saya dan Anda ikut menderita oleh berbagai musibah yang dialami kaum muslimin pada masa sekarang, seperti penderitaan yang dirasakan kaum muslimin di Palestina? Rasa simpati apakah yang kita berikan pada mereka? Jika kita tidak menaruh perhatian kepada mereka, kita bukanlah termasuk orang-orang Islam berdasarkan hadis Nabi yang berbunyi: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling bersikap ramah di antara mereka bagaikan tubuh manusia, jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, seluruh anggota tubuh ikut merasakan sakit dengan tidak tidur dan merasa demam.” [56]
Hadis Nabi ini menjelaskan tentang tanda-tanda kehidupan masyarakat Islam. Dalam hadis lain, beliau bersabda: “Barang siapa yang mendengar seseorang menyeru memohon pertolongan dari kaum muslimin dan yang mendengar tidak menolongnya, maka dia bukan muslim.” [57] Barang siapa yang tidak memiliki keterkaitan diri dengan saudara-saudara muslim lainnya, maka dia bukanlah seorang muslim.
Apabila saya utarakan seluruh persoalan ini tentu akan menyita banyak waktu. Namun yang terpenting dari semua itu adalah bahwa kita harus menampilkan pemikiran Islami dalam bentuk yang hidup dan dinamis. Telah saya jelaskan sebelumnya tentang bagaimana kekeliruan kita dalam menerima ajaran Islam. Kita harus banyak melakukan introspeksi diri, dan lihatlah, apakah kita mengenakan pakaian (keislaman) secara terbalik. Ternyata kita memang mengenakan baju keislaman secara demikian. Kita tidak menyadari bahwa pakaian tersebut telah dikenakan secara terbalik, sampai-sampai orang lain mengingatkan kita. Kita harus benar-benar memperbaiki cara berpikir kita. Sebabnya, barangkali kita memang mengenakan baju keislaman secara terbalik sebagaimana pernah dikatakan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.
Teman saya pernah melontarkan kritik dengan mengatakan: “Apakah pengormatan terhadap Iqbal tidak menunjukkan penyembahan terhadap orang yang sudah mati? Apakah kita baru menghormati orang besar setelah ia mati ?” Maksud dari kritiknya adalah mengapa kita tidak menghormati tokoh besar yang masih hidup, meskipun kualitas keilmuannya berada di bawah Iqbal. Bahkan banyak pula tokoh pemikir yang masih hidup yang memiliki kapasitas ilmu lebih tinggi dari Iqbal tidak kita hormati?
Allamah Thaba’thaba’i merupakan salah seorang tokoh besar yang masih hidup. Namun mengapa kita tidak menghormatinya? Yang jelas, pertemuan kita kali ini bukan dalam rangka menentukan siapa yang layak untuk dihormati dan memperoleh hak yang semestinya. Namun lantaran masalah ini telah disinggung sebelumnya, maka saya akan memberikan sedikit penjelasan tentangnya.
Allamah Thaba’thaba’i termasuk salah seorang tokoh yang banyak mengabdi kepada Islam. Beliau merupakan bentuk konkret dari ketakwaan dan ketinggian nilai spiritual. Beliau telah mencapai kedudukan yang tinggi dalam penyucian jiwa dan ketakwaan. Selama bertahun-tahun, bahkan sampai sekarang, saya telah banyak menimba pelajaran dari tokoh besar ini.
Kitab tafsir Mizan yang ditulisnya merupakan salah satu kitab tafsir al-Quran yang sangat luar biasa. Memang, al-Quran memiliki kedudukan yang tinggi dan tidak satupun kitab tafsir yang mampu memenuhi hak al-Quran dengan semestinya. Setiap ahli tafsir hanya memandang al-Quran dari sisi tertentu. Sejak abad permulaan Islam sampai hari ini, kitab tafsir Mizan merupakan kitab terbaik yang pernah ditulis di kalangan Syi’ah dan Ahlussunnah. Allamah Thaba’thaba’i jelas merupakan tokoh besar dan agung.
Merupakan tugas kita semua untuk menghormati beliau yang kini telah berusia sekitar tujuh puluh tahun. Tak ada satupun orang yang sudah lanjut usia seperti beliau yang memiliki prestasi ilmiah semacam ini. Beliau menghabiskan umurnya untuk mendalami studi moral, budaya Islam, dan sastra Arab. Mengapa orang seperti ini layak dimuliakan dan dihormati? Sebabnya, beliau memiliki ilmu dan jiwa sosial yang mengagumkan. Masyarakat yang tidak pernah belajar dari orang besar ini hanya akan memperoleh sedikit manfaat. Kaum muslimin harus banyak belajar dari tokoh besar ini supaya mendapatkan banyak keuntungan.
Perbedaan masa kita sekarang dengan masa silam adalah tokoh-tokoh yang muncul pada masa sekarang mudah terkenal (melalui medium percetakan buku dan sebagainya). Allamah Thaba’thaba’i tidak hanya dikenal dikalangan orang Iran saja. Beliau juga dikenal di seantero dunia Islam. Tafsir Mizan yang disusunnya telah berkali-kali di cetak ulang secara diam-diam di Beirut, Lebanon. Ini membuktikan bahwa pemikiran dan buku beliau sangat terbuka bagi dunia Islam. Orang-orang orientalis pun mengenal siapa tokoh ini. Amerika dan Eropa mengenal beliau sebagai seorang pemikir besar Islam. Allal al-Faasi juga termasuk salah seorang tokoh dalam dunia Islam. Ketika datang ke Iran, ia berkunjung ke kota Qom dan mendatangi rumah Allamah Thaba’thaba’i. Dia sangat kagum menyaksikan ketinggian kedudukan spiritual Allamah Thaba’thaba’i. Kepribadian Allamah Thaba’thaba’i tidak hanya terbatas sebagai pribadi Syi’ah semata, melainkan juga sebagai orang yang memiliki ilmu yang bersifat universal. Namun sangat disayangkan, pribadi mulia ini pernah menderita sakit jantung selama satu tahun. Saya memohon kepada Allah agar berkenan menjaga tokoh besar ini untuk kita semua. Beliau benar-benar tokoh mulia yang memiliki kedudukan spiritual yang tinggi. Akhir-akhir ini, beliau menunjukkan sikap ikut merasakan penderitaan saudaranya sesama muslim.
Saudara-saudara muslim kita tengah menderita di Palestina, sementara Amerika tidak mampu memberikan hak yang semestinya kepada mereka. Kita harus memberikan perhatian dan bantuan kepada mereka. Allamah Thaba’thaba’i segera membuka rekening di bank untuk membantu saudara-saudara muslim in di Palestina yang sedang kesusahan. Beliau membuka rekening di bank Millie Iran, bank Bozargoni, dan bank Shaderaat. Beliau juga dibantu Ayatullah Sayyid Abul Fadhl Musawi Zanjani yang merupakan tokoh mulia dan memiliki kedudukan spiritual yang tinggi. Beliau adalah seorang mujtahid yang adil. Saya termasuk orang ketiga yang ikut membuka rekening tersebut. Jadi rekening bantuan kemanusiaan untuk kaum muslimin di Palestina tersebut dibuka atas nama tiga orang (Allamah Thaba'thaba'i, Ayatullah Zanjani, Syahid Muthahari, —pent.).
Program dana kemanusiaan ini tidak memandang berapa banyak uang yang terkumpul. Jika semua orang Iran mengumpulkan hartanya, barangkali tidak bisa menandingi banyaknya harta yang dimilki dua orang Yahudi kaya raya yang tinggal di Amerika, yang meraup harta dengan jalan riba dan mencuri. Hal terpenting bagi kita adalah bagaimana jiwa kita ikut merasakan penderitaan orang lain dan memiliki keterikatan hati dengan mereka.
Saya ingin memberikan sebuah contoh berkenaan dengan masaiah ini. Sewaktu Nabi Ibrahim dilemparkan ke tengah-tengah api yang sedang membara, seekor burung Bul-bul terbang mendekati tempat Nabi Ibrahim dibakar. Burung tersebut memenuhi paruhnya dengan air dan kemudian ditumpahkannya di atas kobaran api yang tengah menjilat tubuh Nabi Ibrahim. Melihat tindakan burung tersebut, Nabi Ibrahim bertanya dengan penuh rasa heran: “Wahai burung kecil! Apakah air yang kamu tumpahkan dari paruhmu berguna untuk memadamkan api yang besar ini?” Burung Bul-bul itu menjawab: “Dengan cara ini saya ingin memperlihatkan akidah, iman, dan hubungan saya dengan Nabi Ibrahim as.”
Kendati Anda hanya menyumbang dengan sedikit harta, namun sumbangan tersebut tetap bernilai. Dengannya, Anda telah menunjukkan perasaan dan kepedulian Anda terhadap orang lain yang tengah menderita. Melalui tindakan tersebut, Anda telah mempererat hubungan dengan Imam Husain as. Sebagaimana telah saya sampaikan pada awal pembicaraan, bahwa hari ini merupakan hari untuk “berhubungan dengan para Syuhada”. Mudah-mudahan kita semua digolongkan ke dalam barisan orang-orang yang syahid. Kita harus selalu mengatakan: “Assalamu ‘alaikum ya Aba Abdillah, ya laitanaa kunna ma’aka fa nafuuza fauzan ‘adhiman” (Salam sejahtera bagimu wahai Aba Abdillah, andai saja kami bersamamu pada saat itu, maka kami akan sangat beruntung). Andai saja kami bersamamu, wahai Husain. Imam Husain mengatakan bahwa Karbala tidak hanya terjadi dalam satu hari saja. Tragedi Karbala akan senantiasa terjadi, kapanpun, dimanapun!
Salah satu bukti bahwa masyarakat kita telah mati adalah pecahnya tragedi Karbala. Sekarang ini, kita tengah memperingati hari Arbain (empat puluh hari syahadahnya Imam Husain). Pada hari Arbain telah terjadi dua peristiwa penting; datangnya Jabir bin Abdullah al-Anshori untuk berziarah ke makam Imam Husain serta pembacaan ziarah Arbain yang disunahkan pada hari ini. Keterangan lebih rinci tentangnya akan saya sampaikan pada lain kesempatan. Disunahkan untuk berziarah kepada Imam Husain di mana saja kita berada, sekalipun dari jarak jauh.
Dalam kesempatan ini, saya akan menyampaikan suatu peristiwa yang pada dasarnya tidak termaktub dalam seluruh buku standar kesejarahan, kecuali dalam satu buku saja. Buku tersebut juga tidak bisa dikategorikan sebagai buku sejarah yang mu’tabar (otentik). Pengarangnya, yang merupakan salah seorang tokoh besar, menulis buku tersebut ketika ia masih muda. Buku tersebut mencakup sejumlah peristiwa bohong yang tidak terdapat dalam sejarah. Tak seorang pun dari kalangan sejarahwan, ahli hadis, dan penulis maqtal Islam yang menceritakan peristiwa tersebut. Mereka bahkan mengingkarinya. Terjadinya persitiwa tersebut juga tidak bisa diterima oleh akal sehat. Kejadian bohong itu berkisar tentang datangnya Ahlul Bait Nabi dan keluarga suci Imam Husain dari Syam ke gurun Karbala pada tanggal 20 Shafar 61 H (hari Arbain).
Kita sering mendengar kisah ini. Namun saya tidak ingat rinciannya. Barangkali kita tidak pernah mendengar bahwa yang berziarah ke makam Imam Husain pada hari Arbain hanyalah dua orang. Dalam seluruh majelis yang ada, kita pasti akan mendengar kisah seperti ini. Diceritakan bahwa keluarga suci Imam Husain datang ke Karbala dan menuju ke pusara Imam Husain as. Mereka membacakan syair-syair, puisi-puisi kesedihan, dan memukul-mukul dada masing-masing. Jelas, hal ini merupakan kebohongan belaka.
Inilah tanda-tanda kematian suatu masyarakat. Menerima kebohongan begitu saja dan gagap terhadap kebenaran serta kejujuran. Jabir bin Abdullah al-Anshori merupakan sahabat Nabi yang menemani beliau sejak masa remaja. Di saat terjadi perang Uhud, Jabir masih berusia 16 tahun dan baru menginjak masa baligh. Ketika Rasulullah wafat, ia telah berumur kira-kira 22 atau 23 tahun. Atas dasar ini, maka usia Jabir pada tahun 61 H Jabir adalah 72 tahun. Di akhir usianya, kedua matanya mengalami kebutaan. Ia bertolak ke Karbala ditemani oleh Athiyah a-Aufi, seorang ahli hadis. Tatkala tiba di sana, Jabir terlebih dahulu pergi ke sungai Furat untuk membersihkan dirinya sebelum melakukan ziarah. Ia mengambil tumbuh-tumbuhan yang berbau harum dan menjadikannya sebagai pewangi yang mengharumkan tubuhnya. Athiyah mengatakan: “Setelah selesai membersihkan diri di sungai Furat, Jabir melangkah mendekati kubur Imam Husain dengan perlahan-lahan sambil bibirnya mengucapkan zikir dan kalimat-kalimat suci”.
Jabir termasuk salah seorang pengikut Imam Ali dan Ahlul Bait Nabi. Usia Jabir lebih tua dari Imam Husain, sekitar 12 tahun. Dengan langkahnya yang perlahan-lahan, akhirnya sampai juga ia ke pusara Imam Husain. Setelah itu, Jabir berteriak: “Habibi ya Husain!! Kekasihku, wahai Husain! Habibu la yujiibu habibahu? Mengapa kekasih tidak menjawab seruan kekasihnya? Akulah Jabir bin Abdullah al Anshori, akulah temanmu, akulah sahabat dekatmu, akulah budakmu yang tua renta! Mengapa engkau tidak menjawab seruanku, wahai Husain? Husain kekasihku, engkau berhak untuk tidak menjawab seruanku, seruan budakmu yang tua renta. Aku tahu apa yang telah mereka lakukan terhadap urat-urat lehermu. Aku tahu kepala muliamu telah terpisah dari raga sucimu” Jabir mengucapkan banyak mengeluarkan kata-kata hingga akhirnya tidak sadarkan diri. Setelah siuman, ia menolehkan kepalanya ke sana kemari, seakan-akan dirinya memandang dengan mata batin seraya mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum ayyatuhal arwaahullati hallat bi finaail Husain, salam sejahtera bagi jiwa-jiwa yang berguguran bersama gugurnya Imam Husain.”
Setelah memberikan banyak kesaksian, Jabir mengatakan: “Aku bersaksi babwa aku bersamamu dalam perjuangan ini.” Athiyah terkejut mendengar kata-kata Jabir. Apa maksud kata-katanya? Apakah kita bersama mereka dalam perjuangan ini? Athiyah berkata kepada Jabir: “Aku tidak mengerti maksud ucapanmu, bukankan kita tidak berjihad bersama mereka? Kita tidak mengangkat pedang untuk berjuang, mengapa kamu katakan bahwa kita bersama mereka dalam perjuangan ini?” Jabir mengatakan: “Saya mendengar Rasulullah pernah mengatakan: ‘Barang siapa yang mencintai temannya dari kedalaman hati, maka jiwanya akan menyatu dengannya dan bersama dalam suatu perbuatan. Saya tidak bergabung dengan Imam Husain dalam perjuangannya saat itu karena saya tidak mampu bersamanya pada saat itu. Saya tidak ikut berjuang bersamanya, namun jiwaku terbang bersama Imam Husain. Jiwa kita bersama jiwa Imam Husain sebelumnya, dan saya berhak mengaku bahwa saya turut serta dalam perjuangan Imam Husain.”
Sejarah Penyimpangan Pemikiran Islam
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” [58]
Kajian kita kali ini masih berkenaan dengan upaya untuk menghidupkan pemikiran Islam, Para reformis dan para pemikir besar Islam yang hidup pada abad terakhir, sangat menaruh perhatian besar terhadap masalah ini, Saat ini, cara berpikir mayoritas kaum muslimin terhadap Islam mengalami banyak penyimpangan. Minggu lalu, saya telah menyampaikan bagaimana suatu aliran pemikiran atau aksi yang pada dasarnya hidup diterima oleh masyarakat. Boleh jadi suatu aliran pada dasarnya memberikan kehidupan, namun diapresiasi oleh masyarakat melalui cara berpikir yang keliru.
Atas dasar itu, saya akan menyatakan bahwa penyimpangan pola pikir kaum muslimin dewasa ini terhadap Islam berhubungan erat dengan cara mereka menerima ajaran Islam. Jika hendak menelaah pola pikir semacam ini, kita harus berperan sebagai seorang dokter. Hal pertama yang akan dilakukan seorang dokter adalah mendiagnosis pasien guna mengetahui jenis penyakit apa yang dideritanya. Ia akan menanyakan kepada pasien tentang apa yang dilakukan sebelumnya, gejala-gejala apa yang dirasakannya, dan bagaimana keadaan sebelumnya. Upaya-upaya ini dilakukan untuk menentukan jenis penyakit apa yang dideritanya. Baru setelah itu ia melakukan pengobatan terhadap pasiennya.
Jika ingin membenahi pola pikir kita yang keliru, kita harus menengok kembali sejarah Islam di masa silam. Apakah akar penyimpangan tersebut berasal dari masa silam? Yang jelas, kondisinya pasti berbeda-beda. Sebagian mungkin terjadi dalam dua, tiga, empat, atau lima abad yang lalu. Namun, penyimpangan pemikiran telah muncul sejak abad kedua Islam. Pada malam ini, saya ingin menjelaskan dua materi pembahasan yang berhubungan dengan abad pertama Islam. Dan pada abad modern ini, telah nampak juga berbagai akar penyimpangan baru.
Salah satu penyimpangan pemikiran yang terjadi pada permulaan abad Islam adalah adanya anggapan bahwa pengaruh perbuatan akan menghalangi proses penciptaan kebahagiaan manusia. Dengan kata lain, seseorang harus menanggalkan cara berpikir yang realistis, untuk kemudian menggunakan pemikiran imajinatif. Padahal, apabila seseorang merujuk kepada al-Quran —yang merupakan rujukan dan sandaran pertama kita— serta sunah Nabi dan para imam suci, maka akan nampak dengan jelas bahwasannya Islam merupakan agama yang amat menekankan pengikutnya untuk senantiasa beramal (shalih).
Dasar pengajaran dan pendidikan Islam adalah beramal atau berupaya. Islam senantiasa mengarahkan pengikutnya untuk bekerja (beramal). Takdir menetapkan bahwa manusia harus beramal. Ini merupakan pola pikir yang sesuai dengan kenyataan, bersifat rasional, dan juga sesuai dengan rahasia penciptaan.
Berapa banyakkah jumlah kisah al-Quran yang diungkap dalam bahasa yang memukau mengenai keharusan beramal? Sungguh, ayat-ayat yang berkenaan dengannya memiliki ungkapan yang indah dan luar biasa. Misalnya ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya manusia tidak akan mendapatkan apapun kecuali apa yang telah ia upayakan.” [59] Maksudnya, kebahagiaan manusia amat bergantung pada amal perbuatannya. Dalam ayat lain disebutkan: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat (biji) dzarahpun, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejaharan seberat (biji) dzarahpun, niscaya ia akan melihat balasannya pula.” [60]
Ajaran ini merupakan yang terbesar bagi kehidupan suatu bangsa. Pada saat suatu bangsa memahami bahwa takdir yang ada di tangannya menentukan dirinya harus beramal, maka pada saat itulah mereka akan senantiasa beramal dengan kekuatannya sendiri. Bangsa tersebut sadar bahwa segala sesuatu tidak akan bermanfaai kecuali diamalkan oleh dan kekuatannya sendiri. Hal itu menjadi motivasi yang kuat bagi mereka untuk mengarungi bahtera kehidupan.
Jika Anda menengok sejarah permulaan Islam, betapa mereka senantiasa gigih berupaya dengan kekuatannya sendiri dalam meraih suatu tujuan. Itu dikarenakan pemikiran mereka ditopang oleh prinsip-prinsip ajaran ini. Mereka senantiasa mengikuti ajaran ini dan, sampai sekarang, tak pernah menyeleweng darinya. Prinsip pemikiran mereka adalah, dengan beramal dan bekerja keras, dirinya pasti akan meraih keuntungan (amal perbuatan seorang muslim tidak terbatas pada perbuatan lahiriah semata, namun harus dibarengi pula dengan niat dan iman yang benar).
Kita bisa lihat, betapa ajaran ini mampu menumbuhkan kepercayaan yang kuat dalam diri manusia dan menjadikannya bertumpu di atas kekuatannya sendiri!! Namun sayang, ajaran ini sekarang menjadi salah satu ajaran Islam yang sedikit banyak telah mengalami penyimpangan. Dan penyimpangan pemikiran semacam ini semakin hari semakin menjadi-jadi.
Secara berangsur-angsur, apa yang disebut dengan beramal mulai diremehkan dan dianggap tidak berguna. Bersamaan dengan itu, dalam upayanya mengkonstruksi kebahagiaan manusia, masyarakat mulai menanggalkan pola pikir yang realistis untuk kemudian mengandalkan pola pemikiran yang bersifat imajinatif. Sejarah membuktikan bahwa akar pemikiran semacam ini diciptakan dinasti Bani Umayyah.
Pokok permasalahan yang berkembang di kalangan teolog (ulama kalam) saat itu; apakah dasar agama adalah iman? Apa yang dimaksud dengan iman? Sejarah menunjukkan bahwa khalifah Bani Umayyah terdiri dari orang-orang fasik dan pembuat kerusakan. Mereka tak mampu menutupi kebejatan dan keburukan perbuatan mereka dari mata masyarakat, yang pada saat bersamaan justru mengetahuinya. Pemikiran ini yang mereka sebar luaskan menyatakan bahwa dasar agama adalah keimanan. Apabila iman yang dimiliki sudah benar, maka amal perbuatan menjadi tidak penting.
Dikarenakan memiliki kekuasaan dan harta kekayaan, pemerintahan Bani Umayyah mampu menyebarkan ajaran ini, sekalipun dengan cara memaksa. Para ulama bayaran juga turut berperan serta dalam menciptakan serta menyebar-luaskan ajaran ini. Mereka mengatakan bahwa dasar agama adalah keimanan. Iman yang benar tidak lagi memerlukan amal perbuatan.
Ajaran ini ditujukan untuk mencuci bersih noda kejahatan yang melekat pada tubuh kekuasaan bani Umayyah sehingga masyarakat yang memiliki kepekaan sosial politik tidak sampai mengecam sang khalifah dan juga tidak memiliki anggapan bahwa para ulama (istana) merupakan pelaku kerusakan. Pada abad kedua Islam, dalam bidang teologi (ilmu kalam) lahir sebuah ajaran baru yang kemudian menyebut dirlnya aliran Murji’ah. Akidah yang mendasari aliran ini bertujuan untuk melindungi seluruh kejahatan bani Umayyah.
Lantas bagaimana pandangan orang-orang Syi’ah saat itu? Perintah apa yang diinstruksikan para imam suci? Pelajaran apa yang kita peroleh dari Imam Ali as? Ketika ditanya tentang tentang makna iman, para imam mengatakan: “Iman adalah keyakinan dalam hati, pernyataan dengan lisan, dan beramal dengan anggota tubuh.” [61] Para Imam tidak memisahkan amal dan iman. Orang yang tidak beramal adalah orang yang tidak memiliki iman. Tentunya tidak logis, apabila orang yang tidak beramal, demi menyenangkan hatinya, mengatakan bahwa dirinya memiliki iman. Jika Anda perhatikan, pujian yang disampaikan al-Quran ditujukan kepada orang-orang mukmin, bukan kepada orang-orang yang hanya memiliki keyakinan namun tidak menjalankan amal perbuatan. Dalam setiap ayat yang menyertakan pujian terhadap orang- orang beriman, dijelaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat, memiliki keyakinan dalam hati, serta beramal dengan anggota tubuh mereka:
Syi’ah dan Murji’ah
Pada masa itu, pemikiran sesat yang diusung aliran Murji’ah hanya menimpa kalangan ahlusunnah wal jamaah. Namun raja masa sekarang, mazhab Syi’ah yang sesungguhnya mendapatkan ajaran dari para imam suci dan raja awalnya paling keras menentang aliran Murji’ah, tak pelak juga telah terpengaruh pemikiran tersebut.
Di tengah-tengah ajaran yang diperoleh, ternyata kita meremehkan amal perbuatan. Misalnya, kita beranggapan bahwa untuk menjalin hubungan dengan Ali bin Abi Tholib, cukup dengan mengatakan: Ya Ali! Selain itu, kita juga sudah merasa puas hanya dengan menyandang nama Syi’ah dan namamu tencantum dalam daftar orang-orang yang berduka atas Imam Husain. Kemudian kita menghimbau masyarakat untuk menjadi anggota partai tertentu, dengan anggapan bahwa Imam Husain juga aktif dalam partai. Ada yang mengatakan, barang siapa yang telah mengedarkan kartu anggota (majelis) di sini, akan memperoleh keselamatan. Orang yang mengatakan semua itu sama sekali tidak memahami filsafat kesyahidan Imam Husain.
Makna filosofis dari kesyahidan tersebut adalah demi menghidupkan ajaran Islam sampai pada tingkat amaliahnya.
“Saya bersaksi bahwa engkau telah mendirikan sholat, menunaikan zakat, memerintahkan kebaikan, mencegah perbuatan munkar, dan kamu telah berjuang di jalan Allah dengan sebaik-baiknya jihad.” [62] Maksudnya, engkau wahai Imam Husain, terbunuh untuk menghidupkan Islam dalam bentuk perbuatan.
Namun bertolak belakang dengan itu, kita malah mengatakan bahwa kesyahidan ditempuh Imam Husain demi mematikan amal perbuatan dalam Islam dan menciptakan keterikatan serta hubungan lahiriah. Saya teringat pada sebuah kisah yang sepuluh tahun silam telah saya kemukakan dalam salah satu pertemuan bulanan.
Abu al-Faraj al-Isfahani memiliki buku yang sangat terkenal, berjudul aghoni, yang berisikan lagu-lagu dan nada-nada musik. Salah satu peristiwa yang secara bertahap terjadi dalam dunia Islam adalah bahwa para khalifah senantiasa menampilkan hiburan dan lagu-lagu. Jika keadaan seperti ini terus menyebar luas ke dalam tubuh setiap bangsa, maka itu akan mengantarkannya ke ambang kehancuran. Dalam tubuh bangsa tersebut akan muncul berbagai praktik prostitusi, legalisasi minum-minuman keras, tari-tarian eksotis, musik, serta bermacam-macam lagu. Akibatnya kemudian, di dunia Islam mulai banyak bermunculan para musikus dan seniman.
Sosok Abu al-Faraj al-Isfahani merupakan seorang umawi dan tergolong sejarahwan yang terampil dan obyektif. Beliau menulis buku yang berjudul Maqatil at Thalibiin (Pembunuhan terhadap keluarga Abu Thalib). Buku yang relatif obyektif tersebut dijadikan pegangan oleh kaum muslimin, termasuk ulama Syi’ah. Bisa dikatakan bahwa buku ini ditulis secara netral tanpa berpihak kepada siapapun.
Buku aghani terdiri dari 18 jilid dan kebanyakan berhubungan dengan masa lalu para seniman, artis, dan musikus dalam dunia Islam.
Buku ini banyak mengutip berbagai kisah yang aneh. Salah satunya dikatakan dalam buku tersebut: Pada suatu ketika, seorang Syi’ah dan seorang Murji’ah membicarakan masalah amal perbuatan. Orang murji’ah mengatakan bahwa dasar agama adalah memiliki iman. Keimanan tetap ada kendati tidak terdapat amal (perbuatan). Sementara orang syi’ah mengatakan bahwa iman dan amal tidak dapat dipisahkan. Jika tidak ada amal (perbuatan), maka iman juga tidak akan eksis. Keduanya kemudian terlibat dalam perdebatan yang sengit dan masing-masing tidak puas terhadap lawan bicaranya.
Untuk menghentikan perdebatan, mereka sepakat untuk menanyakan persoalan itu kepada orang yang pertama kali melewati gang tempat mereka berdebat, demi mengetahui mana yang benar dan mana yang keliru. Kebetulan, lewatlah seorang musikus (sehubungan dengan masalah inilah cerita tersebut dikutip dalam buku Aghoni). Dikarenakan kesepakatan tadi, mereka pun lantas bertanya kepadanya. Orang Murji’ah sangat senang dan beruntung dengan kedatangan musikus tersebut. Kemudian keduanya menerangkan pembicaraan mereka sebelumnya kepada sang musikus tersebut. Orang Syi’ah mengatakan akidahnya meyakini bahwa amal cldan iman tidak terpisah satu sama lain dan kebahagiaan manusia tergantung pada amal perbuatannya. Sementara orang Murji’ah mengatakan bahwa amal perbuatan tidak ada harganya. Kebahagiaan manusia, katanya, bergantung pada iman dan akidah. Setelah itu, keduanya bertanya kepada si musikus: “Apa akidahmu?”
Musikus tersebut berpikir sejenak, lalu mengatakan: “Dari ujung rambut sampai pinggang saya orang Syi’ah dan dari pinggang ke bawah saya orang Murji’ah.” Maksud orang itu, pemikiran saya condong pada pendapat Syi;ah, namun secara praktik saya orang Murji’ah.
Dalam konteks kekinian, banyak orang yang mengaku Syi’ah, termasuk diri kita, akan menjumpai dirinya seperti si musikus tadi; mulai dari pinggang sampai ujung kaki sebagai Murji’ah. Kita selalu mencari-cari alasan untuk tidak beramal, bahkan kita telah menciptakan surga dengan alasan-alasan pula (bukan dengan amal perbuatan, —peny.). Ada yang mengatakan bahwa nikmat surga tidak diberikan dengan “harga”, melainkan dengan “alasan”. Siapa yang mengatakan demikian? Imam Ali menyampaikan sebuah ungkapan bahwa surga adalah “harga”, yaitu surga merupakan “harga” dari amal perbuatan Anda. Namun kita malah mengatakan bahwa surga diberikan tanpa “harga”. Kita tak mungkin bisa meraih surga tanpa amal perbuatan. Tentunya, alasan untuk masuk surga haruslah tepat. Ini merupakan contoh dari bentuk pemikiran yang keliru dan spekulatif.
Sehubungan dengan masalah ini, masih banyak hal yang perlu dibicarakan lebih lanjut. Bila kita merujuk pada al-Quran, persoalannya akan nampak semakin jelas. Al-Quran gusar terhadap orang-orang Yahudi yang menganut pemikiran semacam ini (bahwa iman terpisah dari amal, —pent.).
Orang-orang Yahudi yang menganggap dirinya makhluk paling mulia di sisi Allah berkeyakinan bahwa jika mereka melakukan kejahatan, Allah tidak akan menghukum kejahatannya. Namun jika mereka melakukan kebaikan, Allah akan mengganjarnya berlipat ganda. Pada dasarnya, konsep semacam ini —sebagaimana acapkali disebutkan dalam al-Quran— bersumber dari pemikiran orang-orang Yahudi. Dalam pandangan orang Yahudi, apapun dosa serta kejahatan yang kita lakukan, tidak akan menyebabkan kita masuk neraka. Kita adalah makhluk yang mulia. Kalaupun kita dijerumuskan ke dalam siksa neraka, itu hanya bersifat sesaat dan segera terbebas darinya. Surga adalah milik kita. “Dan mereka berkata: ‘Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” [63] Coba Anda simak bagaimana penjelasan al-Quran tentang orang-orang Yahudi tersebut.
Dalam beberapa kitab tafsir disebutkan bahwa pada masa Nabi, orang-orang Yahudi dan Nasrani tinggal di Madinah. Saat itu acap terjadi perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, orang-orang Nasrani, dan Yahudi. Kaum muslimin mengatakan, kita sekarang telah masuk Islam sehingga Allah memberikan kemuliaan kepada kita. Setiap perbuatan buruk yang kita lakukan akan dimaafkan oleh Allah. Orang Nasrani balik mengatakan, tidak, kamilah orang-orang yang mulia. Demikian pula halnya dengan orang-orang Yahudi.
Coba Anda perhatikan bagaimana jawaban yang diberikan al-Quran berkenaan dengan masalah ini: “Pahala dari Allah itu bukan menurut angan-angan kamu yang kosong dan tidak pula menurut angan-angan ahli kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.” [64]
Allah tidak membeda-bedakan keberadaan satu kaum dengan yang lainnya. “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.” Coba Anda simak, bagaimana al-Quran dengan jelas membantah angan-angan yang pada gilirannya menjadi pemicu terjadinya dekadensi di kalangan muslimin tersebut. Al-Quran seakan-akan mengatakan, perbaikilah amal perbuatan kalian!
Kita menyaksikan bahwa di masa para imam, pemikiran semacam ini tersebar luas ke tengah-tengah komunitas Syi’ah. Para imam dengan upaya maksimal memerangi pemikiran tersebut. Saya akan mengutip dua buah cerita yang berhubungan dengan masalah ini. Salah satunya sebagai berikut:
Suatu ketika, khalifah Makmun meminta kepada Imam Ali bin Musa ar-Ridha as untuk menerima jabatan perdana menteri (waliy al-‘ahd). Namun beliau menolaknya. Lantaran terus menerus dipaksa, akhirnya Imam menerimanya secara lahiriah. Bagi orang yang cermat dalam menganalisis masalah ini, akan diperoleh pemahaman bahwa pada saat Imam Ali Ridha menolak jabatan tersebut, beliau akan dianggap sebagai pembelot sehingga dirinya tidak lagi leluasa dalam bergerak. Kemudian, Makmun membentuk suatu pertemuan yang dihadiri banyak orang, di mana Imam berbicara di hadapan mereka.
Imam Ali Ridha memiliki seorang saudara yang bernama Zaid bin Musa bin Ja’far, yang terkenal dengan julukan Zaid an-Naar. Zaid bin Musa pernah mengadakan perlawanan terhadap Makmun, namun gagal. Makmun telah memaafkan perbuatannya lantaran dirinya menghormati Imam Ali Ridha. Dalam pertemuan tersebut, Zaid bin Musa juga hadir.
Saat itu, terdapat dua orang yang bernama Zaid putra imam. Selain Zaid bin Musa, ia adalah Zaid bin Ali bin Husain, saudara Imam Muhammad al Baqir. Di antara keduanya, Zaid bin Ali merupakan orang yang sangat mulia. Ia (dianggap sebagai) imam oleh para pengikut aliran Syi’ah Zaidiyyah. Pengikut Syi’ah di wilayah Yaman ini meyakini bahwa Zaid bin Ali adalah sosok imam setelah Imam Ali Zainal Abidin as.
Berdasarkan keyakinan kita sebagai penganut Syi’ah Imamiyah dan juga dari berbagai riwayat yang disampaikan para imam, Zaid bin Ali merupakan orang yang sangat mulia dan tidak pernah mengaku sebagai imam, Pengakuan sebagai imam berasal dari orang lain, Namun Zaid an-Naar berbeda dengannya. Di saat Imam Ali Ridha as berbicaradi hadapan masyarakat umum, beliau memperhatikan Zaid yang saat itu tengah duduk di pinggir dan berbicara dengan orang sekitarnya. Imam mendengar Zaid seringkali menyebut kata-kata “kami Ahlul Bait”. Maksudnya, “Kami ahlul Bait seperti ini, kami keluarga suci Nabi begitu, begini cara Allah memperlakukan kami Ahlul Bait,” dan seterusnya. Zaid banyak membanggakan kemulian-kemulian yang tidak semestinya.
Di tengah-tengah pidatonya kepada khalayak, Imam Ali Ridha memotong pembicaraannya dan memandang ke arah Zaid bin Musa, seraya berkata:
“Wahai Zaid! Omong kosong apa yang kamu sampaikan kepada masyarakat? Keutamaan-keutamaan yang kamu sebutkan, apakah kamu kira karena Allah fanatik terhadap kita? Apakah dikarenakan kita sebagai keluarga suci Nabi berarti kita dekat dengan Allah? Jika kamu berkata seperti ini, bahwa karena kita keluarga Nabi, jika melakukan perbuatan buruk, niscaya Allah akan memaafkan. Surga kita sudah di jamin dan kita pasti aman dari siksa neraka. Jika ucapanmu ini benar, berarti kamu lebih mulia dari ayahmu Musa bin Ja’far lantaran engkau telah mendapat jaminan surga. Engkau pasti masuk surga dan ayahmu Musa bin Ja’far juga masuk surga. Ayahmu menghabiskan umurnya dengan beramal, bekerja keras, bersungguh-sungguh dalam berbuat, dan beribadah. Sedangkan kamu hanya menghabiskan umur dengan menganggur. Berdasarkan ucapanmu, seharusnya kamu dan ayahmu Musa bin Ja’far termasuk orang-orang yang didekatkan ke sisi Allah. Jadi kamu lebih mulia dari ayahmu, karena dia menghabiskan umurnya untuk ibadah supaya sampai ke surga sedangkan engkau mencapainya tanpa beribadah.”
Untuk menyadarkannya, Imam ar Ridha segera memandang ke arah Wisya’, seorang perawi hadis yang berasal dari Kufah. Wisya’ termasuk ulama dan ahli hadis Kufah —pada masa itu pemikiran yang keliru dan menyimpang telah tersebar luas di kalangan ulama, di mana Imam Ali Ridha mengetahui hal tersebut dan bermaksud menyinggungnya). Imam berkata kepadanya: “Wisya”! Bagaimana penafsiran penduduk Kufah sehubungan dengan ayat al-Quran yang mengisahkan Nabi Nuh dan putranya. Dalam ayat tersebut Nabi Nuh berseru kepada Allah: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar.” [65] Kemudian bagaimana kelanjutan firman Allah itu?” Wisya’ memahami maksud Imam dan berkata: “Wahai Imam, sebagian ulama di Kufah membaca ayat selanjutnya sebagai berikut: “Sesungguhnya ia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya perbuatan yang tidak baik.”
Ketika Nabi Nuh as berseru kepada Allah: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku masuk keluargaku, ampunilah dia (hati Nabi Nuh merasa iba terhadap putranya, sedangkan anaknya seorang pendosa). Ya Allah perkenankanlah aku menaikkan putraku ke atas bahtera agar ia tidak tenggelam. Kemudian turun ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya perbuatan yang tidak baik.” Wisya’ mengatakan bahwa sebagian orang Kufah membaca ayat di atas sebagai berikut: Nabi Nuh as berseru kepada Allah; Tuhanku dia adalah anakku, ampunilah dosanya demi aku. Namun, kemudian penduduk Kufah membengkokan pengertian yang sebenarnya dari ayat tersebut, sehingga seolah-olah Allah mengatakan kepada Nabi Nuh as: “Wahai Nuh! Kamu keliru, dia bukan anakmu. Jika dia memang benar anakmu, Aku akan mengampuninya demi kamu. Aku tidak akan membuat susah seorang Nabi gara-gara perbuatan anaknya. Tapi kamu keliru, dia bukan dari keturunanmu. Dia bukan dari hasil perbuatanmu. Dia bukan putramu. Dia anak orang jahat dan fasik.”
Tafsiran seperti ini merupakan penghinaan terhadap kedudukan seorang Nabi. Orang-orang akan mengatakan kepada Nabi tersebut bahwa istrimu di rumah telah berselingkuh, dan anak yang dilahirkannya bukanlah anakmu.
Wisya’ mengatakan bahwa tafsir yang dihasilkan sebagian penduduk Kufah tersebut menjatuhkan nama baik Nabi Nuh as. Imam Ali Ridha mengatakan: “Yang mereka katakan adalah kebohongan.” Mereka telah menyimpangkan ayat al-Quran. Ayat yang sebenarnya berbunyi: “... sesungguhnya perbuatannya perbuatan yang tidak baik.” Ia telah melakukan perbuatan yang tidak baik meskipun ia adalah anakmu. Secara genetis, ia memang anakmu. Namun secara maknawi (spiritual), ia tidak termasuk keluargamu. Wahai Nuh, mengapa kamu ingin memberi syafa’at kepada anak yang jahat dan fasik ini? Permohonan Nabi Nuh as agar Allah mengampuni dosa anaknya, tidak terkabul. Dalam riwayat disebutkan bahwa selama bertahun-tahun, Nabi Nuh as meratapi dan menangisi serta memohon ampunan atas permohonannya ini.
Imam Ali Ridha lantas berkata: “Apakah anak Nabi Nuh as bukan putra seorang Nabi? Wahai Zaid, mengapa Allah tidak mengabulkan permohonan seorang Nabi yang menginginkan supaya anaknya diampuni? Bahkan Allah mengatakan perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan yang tidak baik. Apakah kamu mempunyai argumentasi yang lebih baik darinya!”
Pada kesempatan ini, saya juga akan membacakan riwayat lainnya. Dari riwayat sebelumnya bisa diketahui bahwa pada masa itu banyak terjadi penyimpangan terhadap keberadaan hadis dan riwayat.
Seseorang mendatangi Imam Ja’far as seraya berkata: “Orang-orang banyak meriwayatkan hadis dari Anda. Saya ingin mengetahui apakah hadis tersebut benar atau keliru. Hadis tersebut sehubungan dengan masalah wilayah dan amal perbuatan. Apakah benar Anda mengatakan: ‘Jika pengetahuan kamu tentang imamah sudah benar, maka berbuatlah sekehendak hatimu.’”
Imam Ja’far mengatakan: “Benar, saya pernah menyampaikan hadis tersebut.” Lalu orang tersebut menambahkan: “Apakah yang Anda maksud bahwa jika seseorang mengetahui imamnya secara benar, ia boleh berbuat sekehendak hatinya, meskipun dengan berzina dan mencuri?” [66] Imam terkejut mendengar itu. Kemudian beliau berkata: “Celakalah kamu! Seperti inikah kamu memahami ucapan saya? Maksud ucapan saya tidaklah identik dengan yang engkau pahami. Maksud ucapan saya adalah ketika seseorang mengenal imamnya dan mengetahui pengertian imamah secara benar, ia boleh mengerjakan perbuatan baik sekehendak hatinya.
Karena di saat mengenal imam, engkau akan mengetahui bagaimana cara melakukan perbuatan baik. Engkau sudah menemukan prasyarat bagi diterimanya amal perbuatan. Engkau sekarang telah mengenal imam. Engkau mengenal Imam Ali bin Abi Thalib as, dan Imam Husain as. Kini seluruh perbuatan baik yang ingin engkau kerjakan, kerjakanlah! Kapankah saya mengatakan bahwa pada saat engkau mengenal imam, pada saat itu pula engkau bebas mengerjakan setiap perbuatan jahat dan kefasikan?”
Coba Anda perhatikan, ketika kita merujuk kepada al- Quran, sunah Nabi, dan riwayat para Imam, akan nampak bahwa seluruh amal perbuatan memiliki dasar yang kokoh. Kita juga akan menyaksikan bahwa kebahagiaan manusia amat tergantung pada amal perbuatan. Maksudnya, manusia harus mewujudkan kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya.
Penyimpangan Pemikiran
Apabila kita menelaah pemikiran kaum muslimin di abad kontemporer ini, kita akan menjumpai bahwa amal perbuatan telah dilecehkan sedemikian rupa. Amal perbuatan hanya dianggap sebatas formalitas dan konsep belaka. Kita menyaksikan bahwa bangsa kita tidak menaruh perhatian yang serius terhadap amal perbuatan. Umpama, seseorang beranggapan bahwa apabila kelak dirinya meninggal dunia dan kuburannya berdampingan dengan makam Imam Ali Ridha as atau Imam Husain as, maka seluruh dosanya akan terampuni. Apakah pemikiran seperti ini sesuai dengan ajaran Islam? Apakah masyarakat bisa menjamin bahwa jika mereka mengerjakan amal selama hidupnya, dan setelah meninggal dunia dimakamkan di bawah kaki Imam Ali Ridha, maka semua dosa-dosanva akan terampuni dan mereka akan mencapai kebahagiaan abadi di alam akhirat? Jika engkau ingin dimakamkan di bawah kaki Imam Ali Ridha as agar dosa-dosamu terampuni, maka Harun Ar-Rasyid (ahli maksiat) akan terpelihara dari siksa Allah lantaran ia dimakamkan persis di bawah kaki Imam Ali Ridha.
Namun mengapa ketika hendak dimakamkan di atas kepala Imam Ali Ridha as, jasad Harun tidak bisa diletakkan ke dalam liang lahat. Itu dikarenakan Harun dan putranya (Makmun) merupakan orang-orang yang terkutuk. Semua itu merupakan pemikiran yang menyimpang dan mati. Kita telah mengatakan sebelumnya bahwa kita hendak menelaah “upaya menghidupkan kembali pemikiran Islam”, yang salah satunya berkenaan dengan masalah “beramal”. Pemikiran kita harus hidup dan dinamis. Kita harus memahami bahwa Islam merupakan agama praktik, bukan agama yang berhubungan dengan imajinasi.
Masalah Kekebalan Hukum
Dalam Islam, sama sekali tidak terdapat kekebalan hukum. Dahulu kala, memang terdapat kekebalan hukum bagi sejumlah individu. Bila seseorang melakukan kejahatan dan pihak aparat hendak menangkapnya, ia bisa meminta perlindungan dari tokoh agama yang sangat berpengaruh. Dengan demikian, pihak aparat berwajib tidak akan mampu menangkapnya.
Kejahatan telah dilakukan dan menurut ketetapan undang-undang pelakunya harus dijatuhi hukuman, namun ketika pelakunya berlindung di balik pribadi seorang tokoh berpengaruh, pihak pemerintah tidak akan berani menghukumnya dikarenakan kekebalan hukum yang dimiliki tokoh tersebut. Kadangkala kita menyangka bahwa dalam ajaran Allah terdapat pula konsep kekebalan hukum. Padahal, kekebalan hukum sama sekali tidak termaktub dalam ajaran Islam.
Imam Husain atau Imam Ali Ridha as tidaklah memiliki kekebalan hokum. Bahkan, kekebalan hukum akan bertolak belakang dengan pemikiran Imam Husain dan Imam Ali as. Sepanjang hidupnya, mereka tidak pernah menerima konsep kekebalan hukum. Lantas, apakah setelah wafat (syahid, —peny.), mereka akan menerima konsep tersebut? Jika Anda mempelajari kitab Nahjul Balaghah, Anda akan menjumpai dua perkara yang acapkali disebutkan secara berulang-ulang, yaitu masalah “takwa” dan “amal shaleh”. Anehnya, kita malah menutup mata dari kedua perkara penting tersebut bahkan menolak keduanya. Kita tidak meyakini nilai amal shalih dan ketakwaan. Kita hanya menghabiskan umur tanpa melakukan amal shalih (perbuatan baik), namun kemudian mewasiatkan kepada ahli waris apabila kelak meninggal dunia, kita ingin dimakamkan di Najaf berdampingan dengan makam Imam Ali as. Perbuatan seperti ini jelas tidak dibenarkan dalam Islam.
Saya akan membacakan dua hadis sekaitan dengan masalah di atas. Pada hari pengangkatan kenabian (yaumul bi’tsah), turunlah ayat yang berbunyi: “Dan berikanlah peringatan kepada keluarga dekatmu.” [67]
Setelah ayat ini turun, Rasulullah saww mengumpulkan anggota keluarga Bani Hasyim dan berkata di hadapan mereka: “Wahai Bani Hasyim! Wahai Bani Muthalib! Janganlah kalian datang kelak pada hari kiamat dengan mengandalkan hubungan kekeluargaan denganku, sedangkan manusia datang pada hari itu dengan membawa bekal amal perbuatan baik mereka. Hubungan kekeluargaan pada hari kiamat tidak akan berguna.”
Terdapat pula riwayat lain yang berhubungan dengan putri Nabi, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, seorang wanita suci yang disebut Rasulullah saww sebagai “bagian dari tubuhku”. Berkenaan dengan Sayyidah Fathimah as, Rasulullah saww pernah mengatakan: “Wahai putriku Fathimah as, beramallah untuk dirimu sendiri, karena aku tidak bisa membantumu kelak di akhirat. Hubungan kekeluargaan denganku tidak akan bermanfaat pada hari itu. Terimalah ajaran yang aku sampaikan dan amalkanlah. Jangan kamu mengatakan ayahku seorang Nabi. Ucapan ‘ayahku seorang Nabi’ tidak akan berguna pada hari kiamat. Yang berguna adalah mengamalkan perintah dan ajaran ayahmu.” [68]
Anda harus mempelajari biografi kehidupan Sayyidah Fathimah as. Pada saat Anda mengkaji kehidupan wanita suci ini, Anda akan mengetahui bahwa beliau tidak pernah membanggakan diri sebagai putri Nabi akhir zaman.
Terdapat riwayat yang menyebutkan, setiap kali Sayyidah Fathimah as berdiri di mihrabnya untuk menunaikan sholat, tubuhnya senantiasa bergetar. Itu dikarenakan beliau akan menghadap Allah Swt, beliau menangis lantaran takut (siksa) Allah. Setiap malam Jumat, beliau tidak pernah tidur dan menghabiskan malam itu untuk menangis dan meratapi dosa-dosa. Saya juga mempersilahkan Anda untuk menyaksikan kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib as. Saya tidak tahu, mengapakita seperti ini? Jika amal perbuatan memang tidak ada manfaatnya dan tidak menimbulkan pengaruh (dalam menciptakan kebahagiaan), maka Sayyidah Fathimah as lebih layak untuk tidak beramal.
Demikian pula halnya dengan Imam Ali Zainal Abidin as, Imam Hasan as, Imam Husain as, dan Imam Ali bin Abi Thalib as yang setiap tengah malam selalu tenggelam dalam rasa takut terhadap (siksa) Allah. Apa yang menyebabkan semua itu? Apakah Imam Ali as lupa bahwa dirinya merupakan orang yang pertama kali masuk Islam? Apakah Imam lupa kalau dirinya adalah menantu Nabi dan memiliki hubungan batin yang kuat dengan Rasulullah? Inilah ajaran Islam.
Lantaran ajaran Islam telah disampaikan kepadanya dengan benar, maka kendati beliau putra Nabi, namun beliau tidak pernah mengandalkan hubungan nasabnya. Ia lebih mengedepankan kualitas amal perbuatannya sendiri. Prinsip yang dijunjungnya adalah menjalankan ajaran Nabi.
Inilah salah satu musibah pemikiran yang menimpa kaum muslimin pada permulaan Islam. Akan tetapi, kadar musibah yang menimpa tersebut sangatlah lemah lantaran orang-orang Syi’ah dan sebagian besar penganut Ahlussunnah menentang pemikiran itu (pemikiran bahwa amal tidak memberikan pengaruh dalam menciptakan kebahagiaan manusia, —pent.). Banyak terdapat faktor yang menyebabkan tersebarnya pemikiran yang menyimpang. Sehubungan dengan persoalan ini, ada sejumlah mimpi serta kejadian yang pernah saya kemukakan beberapa kali di sejumlah universitas.
Di kalangan ulama Syi’ah, Muqaddas Ardibili dikenal sebagai ulama yang zuhud dan bertakwa. Ia termasuk salah seorang tokoh yang berilmu tinggi dan pakar dalam bidang fikih. Syeikh Anshori menyebutnya dengan Muhaqqiq Ardibili. Beliau orang yang sangat bertakwa dan begitu zuhud. Banyak orang yang menuturkan bahwa beliau memiliki berbagai karamah. Ia merupakan orang yang rajin beramal.
Pernah pada suatu ketika, seseorang melihat Muqaddas Ardilibi dalam mimpinya. Orang tersebut bertanya kepada beliau: “Apa yang Allah lakukan terhadapmu?” Beliau mengatakan: “Allah menyayangiku dan memperlakukanku dengan baik.” Kembali orang tersebut bertanya: “Apa yang menyelamatkanmu dari siksa-Nya?” Beliau menjawab: “Saya melihat pasar amal perbuatan begitu sunyi (di hari kiamat).” Apa maksud dari ungkapan tersebut? Bahwa pasar amal perbuatan begitu sepi di hari kiamat, sedangkan Al-Quran menyatakan bahwa di hari kiamat, pasar amal perbuatan manusia sangatlah ramai (pada hari kiamat Allah membeli amal perbuatan manusia, di mana amal perbuatan yang baik dibayar Allah dengan pahala surga dan amal perbuatan buruk akan dibayar Allah dengan siksa neraka. Ungkapan ini merupakan ungkapan kiasan, —pent.). Namun menurut kisah dalam mimpi tersebut, pasar amal perbuatan akan sepi di hari kiamat. Jika pada hari kiamat, pasar amal perbuatan bakal sepi, lantas apa yang menjadikannya ramai oleh para pembeli? Pemikiran seperti ini ibarat penyakit yang menggerogoti kulit dan tubuh sedemikian rupa sampai-sampai ia hanya menyisakan tulang belulang. Pemikiran semacam ini justru akan merusak akidah.
Saya juga akan menyampaikan riwayat dari Imam Muhammad Baqir sebagaimana yang tercantum dalam kitab Al-Kaafi.
Imam Muhammad Baqir pemah berpesan kepada orang-orang Syi’ah dengan mengatakan: “Sampaikanlah pesanku kepada Syi’ah (pengikut) kami...” Ucapan tersebut mencerminkan bahwa beliau mengetahui adanya pemikiran yang menyimpang yang sedang menyebar di tengah-tengah pengikutnya. Beliau mengatakan: “Bukan termasuk pengikut kami, kecuali orang yang wara’ (orang yang berhati-hati dalam menjalankan agamanya), orang yang bertakwa, dan orang yang bersungguh-sungguh dalam perbuatannya, berusaha keras, aktif, dan beramal. Selain dari itu tidak kami terima sebagai pengikut kami (Ahlul Bait).”
Dalam kitab Nahjul Balaghah disebutkan adanya seseorang yang mengunjungi Imam Ali as untuk meminta nasihat. Imam mengatakan: “Janganlah kamu menjadi orang yang mencintai akhirat akan tetapi kamu tidak mau beramal. Janganlah kamu menjadi orang yang mengharapkan taubat namun kamu berangan-angan panjang. Janganlah kamu menjadi orang yang berbicara dengan pembicaraan orang yang tidak memperhatikan dunia, namun dalam perbuatan, kamu beramal layaknya orang yang rakus terhadap dunia dan tertipu olehnya.” [69]
Apabila pada hari ini kita meminta nasihat kepada Imam Alias, beliau pasti akan menyampaikan hal ini. Ucapan Imam yang berbunyi:
“Janganlah kamu menjadi orang yang mengharapkan (kebahagiaan) akhirat tanpa beramal.” Maksudnya, seluruh harapan dan angan-angan tak lebih dari kebohongan belaka.
“Jangan menjadi orang yang mengharapkan taubat namun kamu berangan-angan panjang.” Maksudnya, janganlah kamu mengulur-ulur taubat dan mengatakan bahwa untuk bertaubat belum terlambat dan waktu untuk itu masihlah panjang. Tatkala Imam Ali as mengatakan: “Wahai manusia, janganlah kamu menjadi orang yang mencintai akhirat akan tetapi kamu tidak mau beramal,” beliau kemudian menjelaskan maksudnya dalam ungkapan berikut:
“Janganlah kamu menjadi orang yang berbicara dengan pembicaraan orang yang tidak memperhatikan dunia, namun dalam perbuatan, kamu beramal layaknya orang yang rakus terhadap dunia dan tertipu olehnya”
Pemikiran Dinamis dan Kejumudan
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” [70]
Salah satu persoalan yang disebutkan dalam al-Quran menyangkut topik kematian dan kehidupan. Masalah ini dalam semua tingkatannya dipaparkan dalam al-Quran untuk berbagai macam tujuan dan maksud. Seperti yang berkenaan dengan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, juga manusia. Ini bukanlah pembahasan kehidupan secara umum, namun hanya berkenaan dengan jenis tertentu darinya yang kita sebut dengan kehidupan manusia. Sedangkan untuk bagian-bagian kehidupan lain tidak akan kita bahas, mengingat jenis kehidupan manusia lebih banyak diperhatikan oleh al-Quran.
Banyak orang yang beranggapan bahwa ketika jantung seseorang berdetak, urat syarafnya aktif, urat nadinya berdenyut, dan bisa bergerak, maka ia bisa dikatakan hidup. Dalam keadaan bagaimanakah seseorang dikatakan mati? Pada saat dokter meletakkan stetoskop di atas dadanya dan mengatakan bahwa jantungnya telah berhenti berdetak. Inilah anggapan kebanyakan orang mengenai kematian. Padahal, kehidupan seperti ini bukanlah kehidupan manusia yang sebenarnya. Kehidupan semacam itu tak jauh berbeda dengan kehidupan satwa pada umumnya (zendegi haywoni-e inson). Manusia jelas harus memiliki pula kehidupan yang identik dengan kehidupan semua binatang. Umpama, seekor anjing. Kehidupannya tentu memiliki ciri-ciri semacam ini; memiliki jantung, urat syaraf, otot-otot, darah yang mengalir, dan anggota tubuh. Namun, al-Quran menerangkan pula adanya jenis kehidupan lain yang khas bagi manusia, yang berbeda dengan kehidupan dalam tingkat binatang. Menurut logika al-Quran, boleh jadi manusia hidup, berjalan di tengah-tengah masyarakat, jantungnya berdenyut, urat syarafnya bekerja, dan darahnya mengalir, namun pada waktu bersamaan (sesungguhnya) dia mati (mati dalam hidup, — pent.). Ungkapan ini berasal dari al-Quran. Dalam sebuah ayat difirmankan: “Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)...” [71]
Keberadaan masyarakat manusia terbagi menjadi dua bagian; masyarakat yang hidup dan yang mati. Al-Quran hanya akan memberikan pengaruhnya kepada orang-orang yang memiliki hati yang hidup. Adapun masyarakat manusia yang hatinya mati sama sekali tidak akan terpengaruh al-Quran.
Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kematian dan kehidupan? Dalam ayat lain, al-Quran menjelaskan bahwa setiap bayi yang dilahirkan ke dunia membawa fitrah ketuhanan. Fitrah tersebut adalah fitrah pencari kebenaran, pencari hakikat, dan rasa ingin tahu. Namun dalam diri sebagian orang, cahaya fitrah tersebut padam. Pada saat cahaya fitrah tersebut padam, manusia akan berubah menjadi makhluk yang mati. Bentuk jasmaninya memang masih hidup, namun ruhnya telah mati.
Dalam ungkapannya yang lain, al-Quran menyatakan bahwa orang-orang yang dalam dirinya terdapat kehidupan akan memiliki lahan jiwa (ruh) laksana padang rumput yang subur.
Pada saat al-Quran ditanamkan di dalamnya, ia akan segera tumbuh dan berkembang. Sebelumnya, keberadaan jiwa ibarat tanah atau lahan yang siap ditanami, yang setelah itu berubah menjadi kebun yang rimbun dengan pohon-pohon, tanaman, bunga-bunga, serta berbagai macam tanaman lainnya. Ini sesuai dengan ungkapan al-Quran, yang salah satunya berbunyi: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian kami hidupkan (dengan perantaraan al-Quran)?” [72]
“...dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia.” [73]
Sewaktu berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, ia akan memancarkan cahaya yang terang dan bergerak dalam sinarnya yang benderang.
Apakah orang seperti ini “serupa dengan orang yang berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?” [74]
Di bagian yang lain, terdapat ayat yang mengklasifikasikan keberadaan komunitas manusia ke dalam dua bagian; komunitas yang hidup dan yang mati. Ayat tersebut menjelaskan bahwa al-Quran merupakan faktor kehidupan dan para Nabi merupakan muhyi (orang yang memberikan kehidupan). Ayat yang saya bawakan pada permulaan pembicaraan ini barangkali merupakan ayat yang paling jelas untuk menerangkan persoalan tersebut. Ayat yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” [75]
Betapa ungkapan tersebut sangat indah, luar biasa, dan amat jelas pengertiannya! Ayat tersebut mengatakan: “Hai orang-orang yang beriman dan yang membenarkan Nabi inii (Nabi Muhammad) serta ajarannya, penuhilah seruannya apabila dia menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian.”
Islam merupakan ajaran yang memberikan kehidupan bagi umat manusia. Nabi Muhammad datang membawa kehidupan bagi kalian (umat manusia). Kini kalian tengah berada dalam kematian dan dalam keadaan tidak memahami diri kalian sendiri. Karenanya, tunduklah kalian pada dokter spiritual ini agar mengetahui bagaimana ia memberikan kehidupan kepada kalian.
Apa arti kehidupan? Kehidupan memiliki arti penglihatan dan kemampuan. Pada titik inilah letak perbedaan kehidupan dan kematian.
Setiap kali tingkat penglihatan dan kemampuan berubah menjadi lebih besar, maka kehidupan pun akan menjadi lebih besar. Mengapa kita menyebut Tuhan dengan nama Hayyun (Zat Yang Maha Hidup)? Seperti dalain ayat:
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia Yang Maha Hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya” [76]
atau ayat yang berbunyi: “Dialah Zat Yang Maha Hidup dan tidak pernah mati” [77]
Mengapa kita katakan Allah Maha Hidup? Apakah yang dimaksud dengannya adalah bahwa Tuhan memiliki jantung dan darah yang mengalir? Bukan, bukan seperti ini pengertian dari hidupnya Tuhan. Allah tidak memiliki jantung, urat, darah dan tubuh.
Makna dan Syarat-syarat Kehidupan
Apakah yang dimaksud dengan hidup adalah bernafas dan menghirup udara? Semua itu bukanlah pengertian dari hidup, melainkan sebagai syarat-syaratnya. Arti hidup itu sendiri adalah penglihatan yang berarti pengetahuan dan kemampuan. Dari aspek inilah kita dapat katakan bahwa Allah Hayyun (Maha Hidup), Maha Mengetahui, dan Maha Kuasa secara absolut. Kita menyebut Allah Maha Hidup yang memberikan kehidupan dari Zat-Nya yang Suci. Dia Maha Lembut, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dengan begitu, hidup identik dengan pengetahuan dan kemampuan. Ajaran Islam adalah ajaran pengetahuan dan kemampuan. Ajaran inilah yang telah diterapkan selama berabad-abad. Islam agama kehidupan. Dan agama kehidupan tidak identik dengan ketidaktahuan dan kelemahan.
Hal ini bisa dijadikan perbandingan untuk memahami Islam. Dalam pertemuan sebelumnya, (telah saya kemukakan) bahwa salah satu unsur kehidupan dalam pemikiran Islam adalah beramal. Islam mengharuskan seseorang untuk berusaha dan berupaya gigih. Dalam ajaran Islam dijelaskan bahwa takdir manusia amat bergantung dari amal perbuatannya. Maksudnya, manusia bergantung pada dirinya sendiri. Islam mengatakan, wahai manusia, kebahagiaan kamu tergantung pada amal perbuatanmu, demikian pula dengan kesengsaraan kamu, juga bergantung kepadanya. Apakah perbuatan manusia bergantung pada sesuatu? Perbuatan manusia bergantung pada keinginan dan kehendaknya sendiri. Kesimpulannya, manusia adalah makhluk yang bergantung pada diri dan perbuatannya sendiri, yang darinya ia akan memiliki kepribadian sendiri. Apakah kalian berpikir al-Quran sekadar bergurau saat mengatakan:
“Dan bahwasannya manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” [78]
Diri manusia sendirilah yang menjadi faktor penggerak, kebangkitan, penglihatan, dan kemampuan.
Rasa Percaya Diri
Pada masa sekarang, pakar pendidikan telah berusaha keras untuk menumbuhkan rasa percaya diri manusia. Rasa percaya diri yang ditumbuhkan Islam adalah menghilangkan harapan yang tidak berasal dari perbuatannya. Apabila seseorang hendak mewujudkan harapannya, ia harus mengusahakannya sendiri. Seperti inilah keterkaitan antara manusia dengan segala sesuatu maupun manusia lainnya. Keterkaitan itu terjadi melalui amal perbuatan. Anda tidak bisa menyatu dengan Imam Ali bin Abi Thalib as atau dengan Sayyidah Fathimah as kecuali melalui amal perbuatan. Maksudnya, Islam menutup semua pintu keterkaitan dan hubungan dengan Rasulullah saww dan Ahlul Baitnya, kecuali melalui pintu beramal.
Saya teringat sebuah hadis Nabi yang pernah saya baca sekitar 17-18 tahun silam. Hadis tersebut membuat saya sangat terkesan. Saya benar-benar melihat kehidupan Nabi nampak sebagai sebuah gambaran kehidupan yang luar biasa, yang tak seorang pun memiliki gambaran kehidupan dan sisi-sisi keagungan seperti itu. Ketika seseorang berpikir dan melihat bagaimana orang yang buta huruf yang hidup dalam lingkungan jahiliyah bisa melontarkan berbagai kalimat yang sedemikian indah dalam hidupnya, tentu ia akan hanyut dalam kekaguman dan mengakui bahwa itu merupakan perbuatan yang luar biasa.
Hadis ini telah saya ungkapkan pula dalam kitab Dastan e-Rastan (telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, Orang-orang Bijak, —peny.). Dalam hadis tersebut dikatakan:
Pada suatu ketika, Nabi melakukan perjalanan bersama para sahabatnya (dalam riwayat tidak di sebutkan perjalanan yang mana). Setelah memasuki waktu dhuhur, beliau memerintahkan kafilah untuk turun. Para sahabat kemudian turun dari tunggangannya, dan Nabi pun juga turun dari ontanya. Beliau kemudian pergi menuju ke suatu arah. Para sahabat berpikir bahwa Nabi akan melakukan sesuatu. Semua sahabat segera turun dari tunggangan masing-masing. Setelah agak jauh dari ontanya, para sahabat melihat Nabi kembali. Para sahabat menduga, Nabi tidak merasa cocok dengan tempat tersebut dan akan memerintahkan mereka pergi mencari tempat lain. Namun, tatkala kembali ke tunggangannya, Nabi tidak berbicara apapun kepada mereka. Para sahabat melihat Nabi membuka tempat perbekalannya yang menggantung di punggung ontanya dan serta merta mengeluarkan seutas tali. Kemudian beliau mengikat ontanya dan kembali menempuh arab sebelumnya. Para sahabat terheran-heran melihat Nabi kembali hanya untuk mengikat ontanya. Padahal, itu merupakan pekerjaan yang sepele! Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, jika kamu kembali hanya untuk melakukan pekerjaan ringan ini, mengapa engkau tidak menyuruh kami? (Mereka merupakan para sahabat setia yang apabila Rasulullah menyuruhnya menyeberangi lautan api, mereka pasti akan melakukannya. Kebanggaan mereka adalah menjalankan perintah Rasulullah) Mereka juga mengatakan: “Wahai Rasulullah, untuk pekerjaan remeh ini, mengapa engkau tidak memberikan perintah, padahal kami pasti akan melakukannya?” Beliau menjawab: “Hendaknya kalian jangan minta tolong orang lain dalam melakukan pekerjaan sekecil apapun meskipun hanya untuk mengambilkan sikat gigi (siwak).”
Lakukanlah pekerjaan yang bisa kalian lakukan dan jangan sampai menginginkan orang lain untuk melakukan pekerjaanmu. Lihat, betapa indahnya ungkapan tersebut! Jika kata-kata Nabi ini diucapkan di atas mimbar, tentu itu tidak akan menimbulkan pengaruh apa-apa. Beliau mengucapkan kalimat ini sambil mempraktikkannya. Tujuan saya menyampaikan ini adalah ingin mengingatkan bahwa salah satu pilar dari ajaran Islam adalah menghidupkan pemikiran Islam. Salah satunya adalah dengan beramal dan bergantung pada amal sendiri. Saya juga ingin menyampaikan materi yang berhubungan dengan moralitas serta beberapa dasar pendidikan Islam lainnya.
Masalah pendidikan merupakan masalah yang sensitif dan rawan. Maksudnya, apabila masalah ini diajarkan dengan baik dan benar, maka akan timbul hasil yang sangat luar biasa. Namun jika sedikit saja terjadi penyimpangan, maka secara seratus persen, ia akan menimbulkan pengaruh yang sebaliknya. Sejauh yang saya telaah, khususnya dengan bersandar pada perspektif al-Quran, ternyata hampir sebagian besar pengajaran moral dan pendidikan Islam dilakukan secara terbalik dan menyimpang, sehingga berpengaruh besar terhadap pemikiran kaum muslimin dewasa ini.
Tawakal, Konsep Pemberi Hidup dan Semangat
Konsep tawakal merupakan konsep akhlak dan pendidikan Islam. Pada dasamya, Islam menghendaki kaum muslimin untuk bertawakal kepada Allah. Jika Anda mengkaji masalah tawakal dalam al-Quran (saya senantiasa mencatat ayat al-Quran yang bicara tentang ketakwaan), maka Anda akan menjumpai keserasian yang luar biasa di dalamnya. Dalam al-Quran, konsep tawakal disebut sebagai konsep yang menganugerahkan hidup dan semangat kepada manusia. Setiap ayat yang memerintahkan manusia untuk beramal dan menghilangkan rasa takut, senantiasa dibarengi dengan ungkapan: “...jangan takut dan bertawakalIah kepada Allah”. Bergantunglah kamu kepada Allah dan melangkah majulah ke depan. Bergantunglah pada Allah dan sampaikanlah kebenaran. Bergantunglah pada Allah dan janganlah gentar menghadapi musuh yang banyak jumlahnya.
Jika Anda, mempelajari konsep tawakal di tengah-tengah pemikiran kaum muslimin pada jaman modern ini, Anda akan menjumpainya sebagai konsep yang mati dan kering. Kita hanya mulai bertawakal tatkala kita menginginkan kehidupan yang tenang, tidak memiliki aktivitas, dan menjauhkan diri dari tanggung jawab. Padahal, konsep tawakal yang benar harus sesuai dengan apa yang diajarkan al-Quran. Saya harus diberi kesempatan untuk membacakan ayat-ayat tentang ketakwaan untuk Anda secara satu, persatu, serta membuktikan bahwa konsep tawakal dalam al-Quran merupakan konsep yang luar biasa. Konsep yang memberikan semangat dan kehidupan, yang merupakan manifestasi dari ayat di bawah ini:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”
Terdapat konsep lain yang akan saya kemukakan pula pada pertemuan kali ini.
Pengertian Zuhud
Tidak ada istilah dalam al-Quran yang menyatakan bahwa manusia harus bersikap zuhud. Istilah tersebut hanya terdapat dalam hadis Nabi dan ucapan para imam suci. Kendati tidak diragukan lagi bahwa inti pengertian dari zuhud juga terkandung dalam al-Quran. Namun, secara khusus, pengertian zuhud banyak disampaikan dalam berbagai ucapan Amirul Mukminin Ali as.
Istilah zuhud telah sangat populer di kalangan kita. Namun, jika kita ingin mencari orang zuhud yang sesuai dengan kriteria hadis dan riwayat, tentunya kita akan sangat kesulitan. Yang kita jumpai dalam kenyataan malahan akan amat berbeda. Julukan zuhud acapkali dinisbahkan kepada banyak individu secara sembarangan. Kadangkala, seseorang mengatakan bahwa si fulan adalah orang yang sangat zuhud. Namun, pada saat kita telusuri orang tersebut, akan nampak kenyataan bahwa ia hanya menjalani kezuhudan secara negatif. Artinya, ia termasuk orang yang hanya merasa puas dengan kehidupan yang dijalaninya. Karenanya, kita lantas mengatakan bahwa orang yang merasa puas dalam kehidupannya disebut sebagai orang zuhud. Padahal, pengertian zuhud yang sebenarnya bukanlah seperti ini.
Salah satu prasyarat kezuhudan adalah merasa puas dengan kehidupan pribadi yang dijalani dan dimilikinya. Pengertian semacam ini memiliki makna filosofis yang sangat mendalam. Namun, ternyata tidak setiap orang yang merasa puas dengan apa yang dimilikinya bisa disebut sebagai orang yang zuhud.
Kezuhudan berkaitan erat dengan harta, materi, dan kedudukan duniawi. Jika Anda bertanya, apakah dalam pandangan Islam, keberadaan harta dan materi merupakan sesuatu yang baik atau buruk? Jawabannya jelas tergantung pada tujuan penggunaan harta dan materi? Kekayaan merupakan kekuasaan.
Demikian juga dengan kedudukan. Apa tujuan dan maksud yang Anda inginkan dari kekuatan tersebut? Anda adalah anak Adam, hamba sahaya, dan tawanan hawa nafsu sendiri. Apakah kekuatan berupa harta dan materi akan Anda gunakan untuk memuaskan hawa nafsu pribadi? Jika Anda telah menjadi tawanan hawa nafsu, Anda akan diatur dan didikte olehnya. Anda akan menjadi rakus terhadap harta dan kekayaan. Anda juga akan menjadi seseorang yang gila pangkat dan kedudukan. Demikian seterusnya. Segala sesuatu yang digunakan semata-mata untuk memenuhi selera hawa nafsu merupakan keburukan.
Namun, jika Anda mulai memperbaiki diri, tidak menjadi penyembah berhala hawa nafsu, menjauhkan egoisme dari dalam diri, memiliki tujuan sosial, menjadi seorang religius yang taat pada Tuhan, maka harta dan kekayaan yang merupakan kekuasaan, akan Anda gunakan untuk tujuan suci dan mulia. Ini merupakan ibadah. Begitu pula jika Anda menginginkan pangkat dan kedudukan demi maksud-maksud spiritual. Apa yang saya kemukakan ini bukanlah berasal dari pribadi saya sendiri, melainkan ungkapan dari Imam Ja’far Shadiq as.
Pada masa Imam Ja’far Shadiq as, banyak bermunculan ulama zuhud yang bodoh. Mereka berdebat dengan Imam Ja’far as tentang masalah zuhud. (Imam Ja’far mengatakan): “Jika pengertian zuhud seperti yang kalian sampaikan, lantas bagaimana dengan Nabi Yusuf yang menurut al-Quran adalah Nabi dan hamba Allah yang shalih. Mengapa ketika terbukti tidak bersalah dan dikeluarkan dari penjara, Nabi Yusuf malah berkata kepada penguasa Mesir:
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”
Ternyata Nabi Yusuf menghendaki jabatan tinggi dalam pemerintahan. Beliau mengatakan: “Serahkanlah padaku seluruh pengaturan keuangan yang ada.” Mengapa al-Quran menceritakan kisah Nabi Yusuf tersebut dan tidak menganggap tindakannya sebagai sebuah tabu? Lagipula, mengapa al-Quran tidak menyatakan beliau sebagai orang yang rakus dunia? Semua ini dikarenakan Nabi Yusuf bukan penyembah materi. Sejak awal kehidupannya, beliau telah menjadi penyembah Allah, bukan seorang hedonis atau penyembah harta dunia . Segenap pangkat dan jabatan yang dikehendaki Nabi Yusuf as akan digunakannya untuk mencapai tujuan-tujuan spiritual dan religius. Dikarenakan menghendaki tujuan spiritual dan religius, maka apa yang beliau lakukan tidak bisa disebut dengan upaya mencari pemenuhan kepentingan duniawi. Sebaliknya, upaya beliau justru ditujukan untuk kepentingan eskatologis (ukhrawi atau keakhiratan).
Masalah Kedudukan Penguasa Zalim
Para ulama Islam mengatakan bahwa kedudukan (wilayah) penguasa zalim hukumnya haram. Seseorang yang hendak mengabdi pada pemerintah zalim sesungguhnya telah melakukan kejahatan dan dosa besar. Namun, apabila seseorang menerima kedudukan tersebut dengan tujuan menyelamatkan orang-orang tertindas, tentu itu bukanlah perbuatan dosa. Bahkan berdasarkan fatwa sebagian ulama, perbuatan tersebut tergolong mustahab (sunah). Lebih dari itu, menurut perndapat sebagian ulama lainnya, hukumnya malah wajib. Menerima kedudukan dari pemerintah zalim untuk mengabdi (pada masyarakat), menentang kezaliman, dan menyelamatkan orang-orang tertindas bukanlah perbuatan yang haram. Bahkan, sebagaimana tadi dikemukakan, menurut sebagian pendapat, mengupayakan hal tersebut hukumnya wajib atau mustahab.
Demikian pula dengan kepemilikan harta kekayaan. Untuk tujuan apakah Anda mengumpulkan harta kekayaan? Apa tujuan Anda mencari kekuatan ini? Pada saat moralitas Anda sudah terbina, dan Anda membutuhkan hal itu demi mencapai tujuan spiriulal yang mulia, Anda harus melakukannya! Jika tidak, berarti Anda telah berbuat dosa!
Kezuhudan Cermin Kekuatan Jiwa
Islam merupakan pendukung kekuatan: kekuatan jiwa dan ekonomi. Islam merupakan pendukung kekuatan jiwa. Dengan demikian, sebagai orang muslim, Anda harus kokoh dari segi akhlak dan moral. Anda tidak boleh memfokuskan diri pada materi. Anda tidak boleh menjadi hamba sahaya serta tawanan materi. Betapa agung ucapan Amirul Mukminin: “Kezuhudan semuanya terletak di antara dua kata dalam al-Quran.” [79]
Imam Ali as menafsirkan kezuhudan dari sisi kekuatan jiwa dengan mengatakan: “Allah menjelaskan dalam al-Quran: ‘(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” [80]
Saat Anda secara spiritual telah mencapai kedudukan ini, yakni Anda dianugerahi seluruh ihwal kehidupan duniawi, Anda tidak serta merta menjadi budak hawa nafsu. Dan apabila seluruh ihwal kehidupan duniawi direngut, Anda tidak merasa kalah dan frustasi. Dalam kondisi seperti ini, Anda disebut sebagai orang yang zuhud. Islam mendukung dua jenis kekuatan; kekuatan yang berhubungan dengan kezuhudan dan keduniawian. Jiwa kita harus tegar sehingga tidak diperbudak oleh harta dan kekayaan dunia. Dari perspektif ekonomi, kita harus bekerja keras untuk mencari harta dan kekayaan. Namun upaya tersebut harus didasari oleh tuntunan syariat sehingga kita bisa benar-benar memanfaatkan kekuatan materi dan ekonomi.
Ketika mengetahui bahwa Islam mendukung kekuatan tersebut (moral dan ekonomi), Anda bisa melihat bahwa sesungguhnya kita tergolong orang-orang zuhud yang mendukung sekaligus memiliki kelemahan (terhadap kedua faktor tersebut, —peny.).
Apabila kita menjadi orang zuhud yang senantiasa menjauh dari ekonomi dan kekayaan, itu artinya kita lebih memilih kelemahan. Masyarakat yang tidak memiliki kekayaan, tidak akan mampu melaksanakan tugas-tugas ekonomi dan harus mengulurkan tangan untuk mengemis kepada orang lain. Kita juga mempunyai kelemahan dari sisi moralitas. Sebab, pada saat mendidik diri untuk menjauh dari harta dan kehidupan dunia, kita menyangka bahwa diri kita sudah menjadi zuhud. Namun, tatkala kehidupan dunia menghampiri mereka, kita akan saksikan bagaimana mereka mengabaikan nilai-nilai kezuhudan. Kita menyadari bahwa kita tidak memiliki kemampuan dari segi ruhani maupun ekonomi. Jadi, kezuhudan dalam Islam merupakan kekuatan dan kemampuan jiwa. Dengan kekuatan dan kemampuan tersebut, harta, kekayaan, dan segala hal yang bersifat duniawi, tidak akan berbahaya jika berada dalam genggaman Anda. Bahkan semua itu akan menjadi kekuatan Anda.
Beberapa ulama pernah mengunjungi Imam Ja’far dan menentang pendapat beliau. Padahal, mereka sesungguhnya tidak memahami filsafat kezuhudan. Mereka mendengar bahwa Imam Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang zuhud pada jamannya. Mereka menyangka Imam Ali mendukung orang yang hidup dengan berpakaian compang-camping dan memakan roti kering. Mereka tidak memahami filsafat memakan roti kering. Imam Ja’far kemudian memberi penjelasan sampai mereka memahami filsafatnya. Mengapa Imam Ali hidup zuhud? Sebabnya, beliau ingin menjadi manusia. Imam Ali bukan orang zuhud yang hanya duduk-duduk di sudut ruangan. Beliau bahkan menganggap pengucilan diri bukan sebuah kezuhudan.
Dalam kehidupannya, Imam Ali as senantiasa berbaur dengan masyarakat dan melakukan berbagai kegiatan sosial serta memproduksi kekayaan melebihi siapapun. Namun, beliau tidak menggenggam kekayaan tersebut di telapak tangannya. Beliau mengumpulkan harta, namun tidak menyimpannya. Pekerjaan produktif manakah yang tidak dikerjakan Imam Ali pada masa itu? Beliau melakukan perniagaan, bercocok tanam, berkebun, menanam pohon, dan menggali lubang. Beliau juga ahli dalam bidang kemiliteran. Namun pada waktu yang bersamaan, beliau merupakan oraang yang zuhud. Imam Ali pernah bekerja di kebun-kebun kota Madinah milik ahli kitab dan non-muslim. Beliau bekerja, membantu, dan memperoleh gaji dari mereka. Kemudian beliau menukar upah yang didapatkan dengan roti. Terkadang beliau membawa gandum dan tepung ke rumahnya. Kemudian Sayyidah Fathimah sendiri yang menggiling gandum tersebut dan memasaknya. Mereka pernah didatangi orang-orang yang membutuhkan, yakni orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang. Imam Ali as merupakan pribadi yang lebih mementingkan orang lain ketimbang dirinya. Tanpa pikir panjang lagi, beliau akan segera memberikan santapannya. Seperti inilah kezuhudan Imam Ali. Orang zuhud seperti inilah yang harus Anda jumpai.
Dalam kezuhudannya, Imam Ali senantiasa menyertakan dirinya dalam kedukaan (orang lain, —peny.). Menyertakan diri dalam kedukaan (orang lain) merupakan keadaan yang manusiawi. Kendati memperoleh gaji negara, namun beliau tidak memanfaatkan semuanya demi memenuhi kepentingan pribadi. Beliau hanya mengambil sedikit haknya dari baitul mal (kas negara). Meskipun demikian, beliau tetap merasa puas. Ketika makan, beliau tidak sudi perutnya berada dalam keadaan kenyang. Mengapa? Karena jiwa, hati, dan nuraninya tidak mengizinkan beliau untuk berbuat demikian. Beliau berkata: “Apakah saya akan berbaring dengan perut kenyang sementara di sekitar saya mungkin ada orang yang resah dan gelisah lantaran perut yang lapar dan dahaga? Atau apakah saya akan menjadi seperti yang dikatakan sang penyair,
Cukuplah bagi Anda untuk punya suatu penyakit,
bahwa Anda berbaring dengan perut penuh,
sementara di sekitar Anda,
mungkin ada orang yang sangat merindukan kulit kering.”
Beliau tidak hanya memperhatikan para tetangga, namun juga keseluruhan umat manusia. Dalam hal ini, beliau sering mengatakan: “Dan keserakahan membawa saya untuk memilih makanan yang bagus-bagus, sementara di Hijaz atau di Yamamah (dekat teluk Persia), mungkin ada orang yang tak mempunyai harapan untuk mendapatkan roti, atau tidak memiliki cukup makanan untuk dimakan sampai kenyang.” Inilah pengertian zuhud yang sesungguhnya. Apabila Anda menjumpai orang seperti ini, maka kemanusiaan akan bangga terhadapnya. Bukan seperti kezuhudan yang kita jalani; kezuhudan yang mati dan tak bergerak serta menganggap diri sendiri sebagai zuhud. Kezuhudan bukanlah seperti ini. Kezuhudan (sejati) identik dengan kezuhudan Imam Ali as. “Apakah saya akan berbaring dengan perut kenyang sementara di sekitar saya mungkin ada orang yang resah dan gelisah karena perut yang lapar dan haus? Atau apakah saya akan menjadi seperti yang dikatakan sang penyair,
Cukuplah bagi Anda untuk punya suatu penyakit,
bahwa Anda berbaring dengan perut penuh,
sementara di sekitar Anda,
mungkin ada orang yang sangat merindukan kulit kering.
Kita harus menjalani kezuhudan sebagaimana yang dipraktikkan Rasulullah saww. Meskipun berada di senja usianya, Rasulullah tetap memiliki kekuatan dan hatinya tetap hidup. Beliau orang yang lebih mengutamakan orang lain dan memiliki sifat pemaaf. Dikarenakan itulah, diturunkan ayat yang khusus diperuntukkan bagi beliau. Ayat tersebut berbunyi: “Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal” [81] (Maksud ayat tersebut, “janganlah kamu terlampau kikir, dan jangan pula terlampau pemurah, —pent.)
Pada suatu ketika, Rasulullah tidak datang (ke masjid) di waktu shalat. Setelah itu diketahui bahwa tatkala waktu shalat akan tiba, seseorang yang tidak mengenakan pakaian mendatangi rumah beliau saww. Saat itu, Nabi saww tidak memiliki apapun kecuali baju kasar yang melekat di tubuhnya. Namun, beliau tetap memberikannya kepada orang tersebut. Dikarenakan itulah, Nabi menjadi berhalangan untuk datang ke masjid. Inilah bentuk kezuhudan dan kemanusiaan.
Rasulullah menyuruh seseorang membeli baju untuk beliau. Orang itu kemudian membeli baju yang cukup bagus seharga dua belas dirham. Setelah itu, ia segera kembali. Rasulullah Saww memandang ke arah orang tersebut seraya mengatakan: “Saya lebih puas mengenakan pakaian yang lebih murah dari ini.” Kemudian Rasulullah sendiri yang pergi menukarkan kembali pakaian tersebut dengan yang lebih murah. Di tengah jalan, beliau menjumpai seorang budak perempuan kecil yang sedang menangis. Kemudian Rasul menghampirinya dan berkata: “Mengapa kamu menangis?” Gadis kecil itu menjawab: “Saya telah menghilangkan uang majikan saya.” Rasulullah segera memberinya empat dirham, lalu pergi. Dengan uang sebanyak empat dirham, Rasulullah membeli dua buah baju yang salah satunya diberikan kepada orang yang membutuhkan. Dalam perjalanan pulang, Rasulullah melihat budak perempuan kecil tadi masih duduk dan menangis. Rasulullah kembali bertanya: “Mengapa kamu masih menangis?” Dia menjawab: “Karena terlambat, saya tidak berani pulang ke rumah, mereka pasti akan memukuli saya.” Beliau berkata: “Saya akan mengantarmu pulang.”
Setelah gadis kecil tersebut menunjuk pintu sebuah rumah, Rasulullah mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum, wahai penghuni rumah.” Kebiasaan Rasulullah ketika hendak masuk rumah orang lain adalah mengucapkan salam (ini juga merupakan perintah al-Quran yang melarang masuk ke rumah tanpa izin). Sebagimana sikap kita (orang-orang Iran, —pent.) yang senantiasa mengucapkan: “Ya Allah.” Ucapan tersebut merupakan zikir. Alangkah baiknya jika ingin memberi tahu orang lain, kita mengucapakan kata “ya Illahi”.
Rasulullah kemudian mengeraskan ucapan salamnya. Mendengar suara Nabi, hati penghuni rumah tersebut berdebar-debar. Rasulullah kembali mengucapkan salam, namun penghuni rumah tidak juga menjawabnya. Sampai pada salam yang ketiga, akhirnya mereka menjawab: “Wa’alaikassalam ya Rasulullah. Silahkan masuk.” Rasulullah bertanya: “Apakah kalian tidak mendengar salam pertama saya?” Mereka menjawab: “Ya, kami mendengar, namun kami ingin Anda mengulangi ucapan salam, karena hal itu memberi berkah kepada keluarga kami. Apabila kami menjawab salam pertama Anda, maka kami tidak akan mendapatkan (berkah) salam kedua dan ketiga. Karena kami tahu bahwa Anda akan mengucapkan salam sebanyak tiga kali, dengan sengaja kami tidak menjawab salam Anda.” Rasulullah memasuki rumah tersebut seraya berkata: “Kedatangan saya ingin membantu gadis kecil yang datang terlambat ini. Semoga tidak merepotkan kalian.” Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, dikarenakan kedatanganmu, kami membebaskannya.” Rasulullah kembali berkata: “Segala puji bagi Allah, dengan dua belas dirham saya memberi pakaian orang yang telanjang dan membebaskan seorang budak!”
Inilah kezuhudan (yang sebenarnya). Inilah filsafat kezuhudan yang Islami, yang membuat hati, kemanusiaan, dan menyertakan diri dalam kedukaan (orang lain) menjadi hidup.
Zuhud dan Kehidupan Duniawi
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” [82]
Sebagaimana yang telah saya sampaikan, ayat ini menegaskan bahwa ajaran Islam secara keseluruhan menganugerahkan kehidupan dalam semua aspeknya kepada manusia. Ajaran Islam yang telah bersemayam dalam jiwa seseorang akan memberikan semangat, kehidupan, penglihatan, dan gerakan. Atas dasar itu, ajaran yang tidak memberikan pengaruh hidup, bahkan menimbulkan kematian, menghilangkan penglihatan dan gerakan, serta membekukan pemikiran manusia, bukan ajaran yang ditnaksud dalam kandungan ayat di atas, dan juga bukan berasal dari ajaran Islam.
Al-Quran menegaskan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang memberikan spirit kehidupan, dan sejarah Islam telah memberikan kesaksian tentangnya. Selama berabad-abad, sejarah Islam telah menunjukkan bagaimana ajaran ini memberikan spirit kehidupan seperti yang diungkapkan al- Quran.
Dewasa ini, seringkali kita saksikan bagaimana pengertian dan konsep Islam yang kita miliki tidak memberikan atau menciptakan kehidupan. Kita harus memperbaiki pandangan kita sehubungan dengan pengertian dan konsep ini. Barangkali kita keliru dalam menggambarkan dan memahami konsep serta ajaran Islam. Pola pikir kita harus segera diperbaiki. Inilah yang dimaksud dengan menghidupkan kembali pemikiran Islam. Pola pikir dan cara pandang kita terhadap Islam harus dibenahi. Perspektif yang kita gunakan selama ini untuk meneropong Islam bukanlah perspektif yang benar. Dengan begitu, perspektif dan pola pemikiran kita harus segera diperbaiki.
Dalam pertemuan sebelumnya, telah saya kemukakan beberapa konsep moralitas Islam, seperti kezuhudan dan ketakwaan. Sedikit banyak, saya telah mencoba menelaah ihwal kezuhudan. Memang, pembahasan tersebut tidaklah lengkap. Masih banyak aspek yang belum ditelaah. Karena itu, saya ingin menguraikan lebih rinci, konsep serta ajaran mendasar tentang Islam, pada malam ini.
Meninggalkan Kehidupan Duniawi
Potret kezuhudan serupa dengan potret keberadaan budak dunia dan pengabaian dunia. Meskipun tidak tertera dalam al-Quran, namun kata zuhud banyak dijumpai dalam ucapan Nabi, perkataan Imam Ali, serta imam suci. Tidak diragukan lagi bahwa kezuhudan merupakan pengertian dan konsep yang suci. Islam senantiasa mengajak manusia kepada kezuhudan.
Dalam sastra Persia dan Arab, masalah kezuhudan acap kali diekspresikan dalam bentuk puisi dan prosa. Persoalannya sekarang, bagaimana kita menggunakan metode pemikiran yang Islami tentang kezuhudan berdasarkan bukti-bukti, dalil-dalil, serta penjelasan al-Quran.
Dari segi bahasa (Arab), istilah zuhud memiliki arti ‘tidak suka atau tidak menginginkan’. Jika orang Arab menggunakan kata zahada, itu berarti ia tidak menyukai sesuatu. Zahada fiihi berarti ‘tidak menyukai’. Namun, yang pasti, kezuhudan dalam ajaran Islam, kristen, dan non-kristen digunakan sehubungan dengan kehidupan duniawi yang kemudian menjadi terminologi tersendiri.
Orang zuhud secara alamiah tidak menyukai sesuatu. Umpama, orang sakit yang enggan makan, atau orang yang membenci dan tidak menyukai makanan yang manis-manis. Atau juga orang yang dikarenakan memiliki kelainan seks tidak menyukai wanita. Inikah yang dimaksud dengan orang zuhud? Tak seorang pun yang tidak mencintai kehidupan duniawi berdasarkan naluri alamiahnya. Kezuhudan merupakan salah satu konsep moral. Orang zuhud secara naluriah menyukai kenikmatan materi. Namun, dikarenakan tujuan dan maksud-maksud tertentu, perbuatan dan sikapnya menunjukan dirinya tidak menyukai sesuatu. Maksudnya, ia akan meninggalkan segenap hal yang disukainya demi suatu tujuan. Dalam hal ini, pengertian dari ‘mengarapkan jiwa dan pemikiran kepada sesuatu berdasarkan tujuan dan aktivitas’ tentu berbeda dengan pengertian ‘tidak menyukai sesuatu secara alamiah’. Makna kezuhudan adalah ketidakpedulian terhadap hal-hal yang diinginkan secara alamiah. Inilah pengertian zuhud menurut masyarakat umum.
Kezuhudan menjadikan seseorang meninggalkan sesuatu yang disukai demi suatu tujuan. Sekarang, kita akan menelaah tentang tujuan tersebut serta menentukan pandangan Islam sekaitan dengan masalah ini. Pertama- tama, kita harus melihat apakah Islam menganggapnya sebagai suatu kewajiban atau sekadar mustahab (sunah)? Maksudnya, apakah Islam mewajibkan atau sekadar menganjurkan secara mustahab kepada seseorang untuk menutup mata dari kenikmatan duniawi yang disukainya? Apakah pada dasarnya Islam tidak pernah menganjurkan manusia untuk meninggalkan kenikmatan duniawi demi suatu tujuan?
Anggaplah hal seperti ini terdapat dalam Islam; Namun, timbul suatu pertanyaan, apakah tujuan Islam dalam menganjurkan kezuhudan? Tujuan-tujuan agung apakah yang akan dicapai manusia sehingga harus meninggalkan kenikmatan duniawi?
Tujuan-tujuan apakah yang mengharuskan manusia berpaling dari kelezatan duniawi? Berpaling dari kelezatan duniawi bukan saja dianggap sebagai perbuatan baik, bahkan Islam menerima dan menganjurkan manusia untuk melakukannya. Sebagian orang beranggapan, filsafat kezuhudan menghendaki keterpisahan antara ihwal keagamaan dengan ihwal keduniawian —seperti perdagangan, pertanian, dan industri. Urusan agama hanya berkenaan dengan masalah peribadatan, sedangkan di luar itu (pencarian materi, perdagangan, pertanian, manajemen, dan sebagainya) merupakan urusan duniawi. Apa yang. disebut dengan kezuhudan adalah meninggalkan urusan dunia untuk mengurus akhirat. Ini merupakan anggapan yang keliru, lantaran Islam juga menganjurkan manusia untuk menggarap urusan duniawi. Zuhud mencakup semua urusan (baik duniawi maupun ukhrowi). Terdapat dua jenis kezuhudan yang bukan bersumber dari ajaran Islam, melainkan dari agama-agama lain.
Yang pertama adalah bentuk kezuhudan yang memisahkan ihwal keduniawian dengan keakhiratan. Dalam hal ini, praktik kezuhudan memisahkan secara kontras dua bentuk urusan. Sebagian berhubungan dengan keduniawian, seperti mencari nafkah, berdagang, bertani, industri, mencari rezeki, dan memperoleh harta. Semua yang berhubungan dengan kehidupan merupakan urusan duniawi. Harta berhubungan dengan alam kehidupan di dunia (dengan urusan duniawi) dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan alam kehidupan lainnya. Sebaliknya, terdapat pula persoalan yang tidak berhubungan dengan kehidupan dunia. Tepatnya, persoalan tersebut tidak menimbulkan pengaruh apapun terhadap kehidupan duniawi. Inilah yang disebut dengan Ibadah, seperti berdoa, berpuasa, dan membersihkan jiwa. Jadi, kezuhudan berarti meninggalkan kehidupan dunia lantaran ingin menyendiri demi menjalankan urusan keakhiratan (ibadah).
Al-Munjid merupakan buku kamus berbahasa Arab. Ada juga buku lain yang hampir mirip dengannya yakni Aqrobul Mawarid. Bahkan buku al-Munjid banyak menyadur darinya. Dalam al-Munjid, kata zuhud memiliki arti seperti yang telah saya sampaikan, yang pada dasarnya merupakan ajaran orang Nasrani, yakni ‘meninggalkan dunia untuk menyepi guna beribadah’. Maksudnya, manusia harus meninggalkan segenap urusan duniawi untuk menyepi dan beribadah. Berdasarkan pendapat ini, urusan dunia terpisah dari urusan akhirat. Segenap hal yang berkenaan dengan kehidupan duniawi tidak berhubungan dengan kehidupan ukhrawi. Yang berhubungan dengan kehidupan ukhrawi disebut dengan ibadah. Dan ibadah sama sekali tidak berhubungan dengan kehidupan duniawi.
Dengan demikian, kezuhudan berarti meninggalkan urusan duniawi untuk mencapai urusan ukhrawi. Untuk menjadi orang zuhud, seseorang harus memutuskan hubungan sosialnya dengan masyarakat. Jalan kezuhudan adalah mengasingkan dan mengucilkan diri, serta rahbaniyyah (persemediaan) dan bertapa. Karenanya, zuhud dalam pengertian semacam ini identik dengan rahbaniyyah yang diajarkan dalam agama Nasrani.
Apakah Islam menerima bentuk kezuhudan seperti ini? Tidak! Alasan untuk ini sudah jelas sekali dan untuk membuktikannya tidak diperlukan dalil atau argumen. Saya pernah menulis buku tentang hijab. Sebagian orang beranggapan bahwa filsafat hijab cenderung pada persemedian (rahbaniyyah). Islam menolak persemedian. Saya telah jelaskan secara mendetail bahwa Islam sama sekali menentang persemedian atau pengucilan diri dari lingkungan masyarakat. Nabi dengan tegas mengatakan: “Tidak ada rahbaniyyah (persemedian) dalam Islam.”
Nabi pernah bersabda: “Rahbaniyyah umatku adalah jihad.” Islam justru menganjurkan untuk melakukan hal-hal yang dianggap aliran lain sebagai urusan duniawi, bahkan menganggapnya sebagai ibadah. Ada yang mengatakan bahwa kata zuhud tertera dalam al-Quran: “...dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.” [83]
Saya telah memperhatikan teks suci ini. Kata zuhud memiliki pengertian etimologis maupun terminologis. Dalam ayat ini, kata zuhud merujuk pada makna etimologisnya. Sebagai buktinya, kata zahada fihi memiliki arti ‘tidak menyukai’ atau ‘tidak menginginkan sesuatu’. Ayat ini berbicara tentang Nabi Yusuf. Dikarenakan ketidaktahuannya akan keutamaan Nabi Yusuf, mereka menjual beliau dengan beberapa dirham saja. Kata zuhud secara terminologis tidak terdapat dalam al-Quran. Segenap hal yang dalam pengertian Nasrani merupakan bagian duniawi, dianggap Islam sebagai bagian dari Urusan ukhrawi yang dilakukan semata-mata untuk Allah. Islam tidak menyatakan adanya perbedaan antara keberadaan dunia dan akhirat.
Menurut pandangan Islam, perniagaan atau pertanian bisa menjadi urusan duniawi sekaligus ukhrawi, asalkan perbuatan serta tujuannya saling terkait satu sama lain. Jika Anda bekerja dan mencari nafkah, carilah dengan cara yang sesuai dengan syarat Islam. Jika Anda berdagang, janganlah memakan uang riba. Janganlah Anda melakukan tipu daya dalam bertransaksi. Anda harus bersikap adil. Tujuan Anda berdagang adalah untuk menghasilkan kekayaan dan menyelamatkan diri dari kehinaan mengemis. Selain pula bertujuan untuk berbakti kepada masyarakat serta turut meningkatkan kekuatan ekonomi masyarakat. Menurut Islam, sikap semacam ini merupakan ibadah. Bertani dan bekerja termasuk dalam kategori beribadah apabila dilakukan seperti ini. Atas dasar ini, perbuatan tersebut tidak akan keluar dari ihwal keakhiratan. Apabila orang yang memahami dan mencoba mewujudkan tujuan-tujuan Islami, melakukan seluruh perbuatan tersebut, maka ia bisa disebut sebagai orang yang sedang beribadah. Segenap hal yang dianggap ibadah oleh aliran-aliran lain, akan dipandang Islam sebagai bagian dari urusan duniawi. Ibadah shalat dan puasa tidak hanya bernuansa keakhiratan semata, namun juga bernuansa keduniawian. Ibadah doa berhubungan, baik dengan kehidupan ukhrawi maupun kehidupan duniawi. Sebagaimana berdagang dan bertani bisa berhubungan dengan kehidupan akhirat, demikian pula ibadah yang juga bermanfaat bagi kehidupan dunia.
Berdasarkan semua itu, Islam tidak pemah mengartikan kezuhudan sebagai pemisahan antara kehidupan dunia dan akhirat. Tujuan penghalalan dan pengharaman Islam terhadap sesuatu memiliki dua dimensi; untuk kehidupan dunia dan akhirat. Islam mengharamkan, misalnya, minuman keras dikarenakan hal itu berbahaya bagi kehidupan dunia maupun akhirat. Perjudian dan riba hukumnya haram lantaran keduanya membahayakan kehidupan dunia dan akhirat. Saya mempersilahkan jika Anda ingin menganggap hal tersebut semata-mata sebagai urusan duniawi. Semua itu merupakan makna kezuhudan dalam pandangan Nasrani yang tidak sesuai dengan pandangan Islam. Namun sangat disayangkan, kebanyakan dari kita memahami pengertian zuhud sama seperti yang diajarkan agama Nasrani.
Kesimpulan Keliru tentang Zuhud
Kali ini saya akan menjelaskan pengertian lain dari istilah zuhud. Namun, penjelasan saya tidak berkenaan dengan urusan dunia maupun urusan akhirat. Seluruh urusan duniawi merupakan tugas yang harus kita laksanakan. Akan tetapi, kenikmatan duniawi jelas berbeda dengan kenikmatan ukhrawi. Dilema yang timbul darinya adalah, apakah kita harus merasakan kenikmatan duniawi dan menjauhkan diri dari kenikmatan ukhrawi, ataukah kita harus mencari kenikmatan ukhrawi dan menghindarkan kenikmatan duniawi. Pola pikir semacam ini juga keliru. Mereka mengatakan, manusia tidak harus meninggalkan pekerjaan, pencarian nafkah, serta seluruh urusan duniawi. Seseorang harus bekerja dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai manusia. Tetapi ia harus berusaha keras untuk tidak menikmati dunia. Apabila ia sampai menikmati dunia, otomatis kenikmatan ukhrawi akan berkurang.
Pada saat manusia merasa bahagia di dunia, pada saat itu pula kebahagiaan ukhrawinya berkurang. Jadi, kita harus meninggalkan kenikmatan duniawi supaya bisa memperoleh kenikmatan ukhrawi. Abu Ali Sina dalam kitab Isyaraat, bagian kesembilan, mengatakan: “Orang yang berpaling dari kenikmatan dunia untuk mencapai kenikmatan akhirat, disebut orang yang zuhud.” Bagaimana sebenarnya pendapat ini? Apakah benar-benar terdapat konsep ganti rugi kenikmatan? Apakah Islam mengatakan adanya dua macam kenikmatan? Apakah Islam meyakini bahwa bila menikmati kelezatah dunia, manusia akan kehilangan nikmat ukhrawinya? Apakah Islam meyakini, apabila menjauhkan diri dari kenikmatan dunia dan melepaskannya, manusia akan memperoleh ganti rugi (di akhirat)? Dengan kata lain, apakah setiap orang berhak mendapatkan ukuran tertentu dari kenikmatan yang harus dicapai, baik di dunia dan di akhirat? Apakah orang yang telah mendapatkan kenikmatan di dunia, tidak akan kebagian nikmat akhirat? Sebaliknya, apakah orang yang belum memperolehnya ketika di dunia akan mendapat bagiannya di akhirat? Mereka sebenarnya keliru dalam memahami ayat yang berbunyi:
“Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniamu (saja)...“ [84]
Pemahaman semacam ini jelas keliru! Jika dalam kehidupan dunia seseorang menjauhkan diri dari kenikmatan yang terkandung di dalamnya, bahkan melepaskannya, ia tidak akan merasakan kenikmatan duniawi. Dan di akhirat nanti pun, ia tetap tidak akan memperoleh kenikmatan. Kenikmatan ukhrawi diperoleh melalui berbagai faktor lain, dan bukan disebabkan oleh pengabaian kenikmatan duniawi secara sengaja.
Aspek lain dari persoalan ini adalah; apakah dengan menikmati dunia, kita tidak lagi berhak memperoleh kenikmatan lain? Jika memang demikian, berarti Anda harus menanggung nasib buruk, yakni penderitaan di dunia dan juga di akhirat. Keduanya tidak mungkin diperoleh secara bersamaan. Menurut logika Islam, pendapat semacam ini tidaklah masuk akal.
Imam Ali as dalam kitab Nahjul Balaghah mengatakan: “Orang-orang yang takwa kepada Allah telah ikut serta dalam kegembiraan dunia yang fana ini maupun dunia akhirat, karena mereka ikut serta dengan manusia dunia dalam urusan duniawi mereka sementara manusia dunia tidak menyertai mereka dalam urusan akhirat. Mereka hidup di dunia ini dalam cara hidup yang terbaik dan memakan makanan yang paling terpilih dan karenanya mereka menikmati di sini segala yang dinikmati orang yang hidup enak.”
Islam telah menjatuhkan vonis haram terhadap sejumlah kenikmatan duniawi. Kenikmatan duniawi yang diharamkan tersebut bisa menjadikan manusia tidak dapat menikmati kelezatan duniawi. Bahkan lebih dari itu, akan menimbulkan akibat buruk bagi kehidupan manusia di dunia. Kenikmatan berzina akan menjadikan manusia kehilangan kenikmatan ukhrawi, bahkan menyebabkan siksa di akhirat. Kenikmatan minuman keras akan menjauhkan manusia dari kenikmatan duniawi. Begitu pula dengan kenikmatan berjudi (jika memang nikmat), menggunjing, berbohong, dan seluruh perbuatan haram lainnya. Lain halnya dengan kenikmatan yang halal. Al-Quran menghalalkan kebahagiaan di dunia. Semua yang membahagiakan, membersihkan, menyucikan, serta tidak membahayakan manusia, akan dihalalkan al-Quran.
Kenikmatan yang diharamkan al-Quran pada hakikatnya bukanlah kenikmatan. Sebaliknya, semua itu merupakan penderitaan belaka. Apabila Anda menganggap minuman keras membawa kebahagiaan dan kenikmatan, maka Anda telah mengabaikan sama sekali seluruh akibat buruk yang akan ditimbulkannya terhadap jiwa manusia, kesehatan tubuh, dan kehidupan masyarakat. Anda hanya melihat kenikmatan berzina yang bersifat temporer, dan tidak memperhatikan akibat buruk yang ditimbulkannya. Al- Quran mengharamkan perzinaan dikarenakan itu merupakan perbuatan keji dan membahayakan. Semua perbuatan yang menimbulkan akibat baik akan dihalakan al-Quran. Dalam hal ini, al-Quran mengatakan: “...dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk...” [85]
Perhatikan dengan cermat, betapa ayat ini mengandungi logika yang amat tinggi! Setiap kebahagiaan yang tidak bersifat sementara dan tidak menimbulkan dampak buruk, entah yang berkenaan dengan tubuh, jiwa, serta kehidupan masyarakat, hukumnya halal. Dan setiap hal yang membahayakan, hukumnya haram. Allah berfirman: “Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?’” [86]
“Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu...” [87]
Jadi, kezuhudan dalam Islam bukan bermakna menutup mata dari kenikmatan duniawi yang halal agar memperoleh ganti rugi kenikmatan di akhirat. Ganti rugi semacam ini tidak pernah ada.
Konsep dan Tujuan Zuhud
Konsep zuhud jelas terdapat dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, kezuhudan bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Ia merupakan keutamaan dan kesempurnaan. Namun, keutamaan dan kemuliaan bukanlah tujuan kezuhudan. Dalam beberapa keadaan, Islam menganjurkan manusia menjalani kezuhudan demi tercapainya tujuan atau maksud tertentu. Islam menganjurkan agar manusia tidak menjadi penyembah berhala kenikmatan duniawi dan tenggelam di dalamnya. Kendatipun jika terbenam dalam berbagai kenikmatan yang halal, seseorang tidak akan dianggap telah melakukan perbuatan yang haram. Namun, apabila tidak melakukannya, berarti manusia telah melakukan pekerjaan moral yang agung. Islam tidak menyetujui praktik penyembahan kenikmatan duniawi meski dengan cara yang halal.
Untuk sejumlah tujuan, Islam bisa menerima konsep kezuhudan yang memiliki makna ‘menutup mata dari kenikmatan halal duniawi’. Tatkala seseorang berhadapan dengan orang yang lebih memerlukan dan membutuhkan, apa yang mesti dilakukannya? Ia harus mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang kepentingan dirinya sendiri, serta harus bersikap dermawan. Kenikmatan halal yang diperbolehkan baginya, harus diberikan kepada orang lain (yang membutuhkan, —peny.). Ia tidak akan makan sebelum memberi makan orang lain. Ini bukan berarti ia membuang makanannya dengan harapan di akhirat kelak ada orang yang memberinya makan. Jika tetap melakukan hal seperti itu, kelak ia akan mendapat teguran di akhirat: “Kamu telah melakukan perbuatan bodoh dengan membuang-buang makanan dan menganggap kami akan memberimu makan.”
Ia tidak akan mengenakan pakaian sebelum memberinya kepada orang lain. Ia juga tidak mau makan sampai orang lain bisa beristirahat dan merasa tenang. Ia tidak mau merasakan kenikmatan duniawi dikarenakan ingin memberikannya kepada orang lain. Inilah bentuk itsaar (sikap lebih mementingkan orang lain dari diri sendiri) yang merupakan sifat manusiawi yang sangat tinggi dan agung. Salah satu sikap yang manusiawi adalah itsaar. Kezuhudan semacam ini merupakan kezuhudan yang benar, bersifat manusiawi, dan bernilai tinggi. Kezuhudan semacam inilah yang dimiliki Imam Ali bin Abi Thalib as. Beliau tidak makan, namun juga tidak membuangnya. Beliau bekerja keras, tetapi tidak memakan upahnya lantaran dibelikan makanan untuk diberikan kepada orang lain. Beliau tidak berpakaian (bagus-bagus, —peny.) agar bisa memberi pakaian kepada orang lain. (Dalam al-Quran disebutkan): “Dan mereka memberi makan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang. Sesungguhnya kami memberi makan semata-mata mengharap ridha Allah, serta tidak mengharapkan balasan dan juga rasa terima kasih.” [88] Apakah Islam menerima makna kezuhudan semacam ini, yakni berpaling dari kenikmatan duniawi demi mendahulukan kepentingan orang lain? Jelas sekali, Islam akan menerimanya. Akal dan hati siapa yang akan menolak kezuhudan seperti ini? Agama yang tidak menyarankan istaar, pada hakikatnya bukanlah agama. Mazhab akhlak yang tidak menganjurkan kezuhudan semacam ini adalah mazhab yang tidak memahami ajaran serta nilai-nilai kemanusian yang paling tinggi.
Semua itu merupakan tujuan filosofis dari kezuhudan yang bisa terima akal dan hati sanubari. Islam menganjurkan kezuhudan seperti ini. Tentang sejumlah sahabat Nabi dari Anshor dan orang-orang mukmin yang tinggal di Madinah, al-Quran mengatakan: “... dan mereka mengutamakan orang-orang muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan...”
Imam Ali Zainal Abidin senantiasa berpuasa. Beliau menyuruh para sahabatnya untuk menyiapkan santapan. Makanan yang dimasak waktu itu berupa daging kambing. Tak lama kemudian, mereka pun memasaknya. Ketika tiba waktu berbuka puasa, Imam kemudian duduk di hadapan hidangan dan menyuruh budaknya membawa makanan tersebut untuk dibagikan kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan untuk keluarganya, beliau hanya menyisakan secukupnya. Dalam pandangan Islam, kebutuhan keluarga harus didahulukan dari diri sendiri dan orang lain. Sekonyong-konyong, datanglah seorang fakir meminta makan kepada beliau. Segera saja Imam Ali Zainal Abidin memberinya makanan yang beliau sisihkan tersebut. Inilah yang disebut dengan perbuatan zuhud yang luar biasa dan bersifat manusiawi. Perbuatan tersebut merupakan implementasi dari filsafat kezuhudan. Islam mendukung kezuhudan seperti ini.
Dalam kezuhudan yang Islami, seseorang harus lebih mengutamakan orang lain dan berempati terhadap segenap duka deritanya. Menyertakan diri dalam penderitaan (orang lain) merupakan salah satu tujuan kezuhudan yang Islami. Orang yang memiliki kemampuan harus mengutamakan kepentingan orang lain. Namun, terkadang pengutamaan kepentingan orang lain tidak perlu dilakukan. Dalam kehidupan ini, jumlah orang miskin sangat banyak. Pada kondisi demikian, seseorang tak mungkin memberi pakaian yang melekat ditubuhnya kepada mereka semua. Atau tidak bisa memberi makan dan membuat mereka semua kenyang hanya dengan (sedikit makanan) yang dimilikinya. Juga tidak bisa memberi mereka semua uang yang ada dalam sakunya.
Masyarakat yang kebanyakan anggotanya terdiri dari orang-orang miskin, tentu akan menghadapi kondisi perekonomian yang sangat memprihatinkan. Saking miskinnya masyarakat tersebut, sampai-sampai para orang tua akan membiarkan anaknya memakan rumput-rumputan. Apa yang bisa dilakukan seseorang di tengah-tengah masyarakat yang seperti ini? Perbuatan mulia yang bisa dilakukan adalah ikut merasakan (empati) penderitaan orang lain. Ia harus mengatakan pada dirinya sendiri, banyak saudara-saudara saya yang tidak mendapatkan makanan untuk disantap, mengapa saya harus menyantap (makanan mewah)? Saudara-saudara saya tidak memiliki baju untuk dikenakan, mengapa saya mengenakan baju mewah? Dengan kata lain, sikap kebersamaan dalam kedukaan merupakan bantuan moral yang bisa diberikan seseorang ketika dirinya tidak mampu mengentaskan kemiskinan orang lain secara material. Saya hanya bisa melakukan sebatas ini. Saya berusaha membantu mereka secara moral, bukan secara material. Mendahulukan kepentingan orang lain merupakan bantuan material. Ini juga memiliki makna filosofis.
Dalam berbagai ucapan Imam Ali yang merupakan orang zuhud pertama di dunia, kita bisa menjumpai filsafat tersebut. Imam Ali adalah orang zuhud yang memiliki tujuan. Imam Ali amat mengetahui bahwa sebagai pemimpin umat, beliau memiliki tugas dan keharusan untuk turut merasakan penderitaan orang lain. Apabila tidak bisa membantu orang lain secara material, beliau akan melakukannya secara moral. Beliau tahu betul bahwasannya penderitaan orang-orang lemah berada dalam tanggung jawab para pemimpin. Imam Ali as sering mengatakan: “Saya tidak makan, dan dengan cara ini saya ingin membantu menguatkan jiwa umatku yang lemah. Saya akan katakan: ‘Jika kamu tidak memiliki sesuatu untuk di makan’, maka saya pun tidak akan memakan makanan yang saya miliki, supaya saya bisa seperti kamu.”
Pada kesempatan lain, Imam Ali juga mengatakan: “Allah menjadikanku sebagai Imam atas makhluk-Nya. Saya memiliki tugas khusus yang mana dalam makan dan berpakaian saya harus seperti umatku yang paling lemah. Supaya orang miskin bisa merasa tenang ketika melihat keadaanku dan orang kaya tidak berbuat zalim karena kekayaannya.”
Terdapat sebuah cerita dari seorang ulama Syi’ah yang bernama Wahid Bahbahani (Muhammad bin Baqir bin Muhammad Akmal). Beliau merupakan ulama besar dan guru dari Syeikh Mirza al-Qummi, Bahrul Ulum, dan Kaasyiful Ghitho’. Beliau kini tinggal di Karbala (Iraq) dan memiliki sekolah agama yang penuh berkah di sana. Beliau memiliki dua orang putra; yang satu bernama Muhammad Ali, penulis kitab Maqoomi’, dan yang lainnya Muhammad Ismail.
Pada suatu waktu, ulama ini melihat menantu perempuannya (istri Muhammad Ismail) mengenakan pakaian mahal dan mewah. Beliau menegur putranya, seraya mengatakan: “Mengapa kamu membelikan baju seperti itu untuk istrimu?” Dengan jawaban yang jelas, putranya mengatakan: “Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” [89]
Apakah ini merupakan perbuatan yang haram? Siapa yang mengharamkan pakaian mewah dan indah? Ulama tersebut mengatakan: “Anakku, ini memang halal, dan saya tidak mengatakan haram. Saya melihatnya dari sisi lain. Saya seorang marja’ dan pemimpin umat.
Di tengah masyarakat, terdapat orang miskin dan orang kaya, orang mampu dan orang yang tidak mampu. Ada sejumlah orang yang mengenakan pakaian yang jauh lebih mewah dari ini. Namun, banyak juga anggota masyarakat yang tidak mampu memiliki pakaian mewah seperti ini. Mereka hanya mengenakan pakaian compang camping. Kita tidak mampu memberikan pakaian yang kita kenakan kepada masyarakat seperti itu.
Kita tidak mampu mengentaskan mereka dari kemiskinan. Namun, satu hal yang bisa kita lakukan, yakni mencoba merasakan penderitaan mereka. Tentu mereka akan memandang kehidupan kita. Ketika diminta oleh istrinya untuk dibelikan baju mewah, seorang laki-laki miskin bisa menenangkan hati istrinya tersebut dengan mengatakan: ‘Tak usah kita meniru orang kaya. Biarlah kita menjalani kehidupan seperti istri Syeikh Wahid. Coba kamu perhatikan, istri Syeikh Wahid mengenakan pakaian seperti yang kamu pakai.’ Bagaimana jadinya jika keadaan kita seperti orang-orang kaya?
Kita tidak akan bisa menghibur hati orang miskin. Dengan alasan inilah, saya mengingatkanmu. Kita harus hidup zuhud. Kita menjalankan kezuhudan dengan merasakan penderitaan orang lain. Kelak, jika orang-orang miskin mengenakan pakaian mewah, kita juga akan memakainya.”
Turut merasakan penderitaan orang lain merupakan tugas semua orang. Namun, tugas tersebut harus lebih sungguh-sungguh dijalankan para pemimpin. Kisah yang akan saya sampaikan ini tertulis dalam kitab Nahj al-Balaghah, yang tentunya sudah acapkali kalian dengar:
Setelah perang Jamal berakhir dengan kemenangan, Imam Ali as mendatangi kota Basrah. Amirul mukminin pergi menjenguk keadaan sahabatnya al-‘Ala’ ibn Ziyad al-Haritsi. Tatkala melihat rumahnya yang besar, beliau berkata: “Apa yang Anda lakukan dengan rumah besar ini di dunia, padahal Anda lebih memerlukannya di akhirat? Apakah Anda hendak membawanya ke akhirat? Di dalamnya, Anda dapat menerima para tamu, bersikap hormat terhadapnya, senantiasa menjalin persaudaran, dan menjalankan semua kewajibanmu berdasarkan besarnya rumah ini. Denganjalan tersebut, kamu akan membawanya ke akhirat.”
Kemudian al-‘Ala’ berkata kepada beliau: “Ya Amirul Mukminin, saya hendak mengadukan kepadamu tentang saudara saya, ‘Ashim ibn Ziyad.” Amirul Mukminin bertanya: “Ada apa dengannya?” Al-‘Ala’ berkata: “Ia mengenakan baju yang terbuat dari bulu domba (kasar) dan menjauhkan dirinya dari dunia.” Amirul Mukminin berkata: “Bawalah ia ke hadapan saya.” Tatakala ‘Ashim tiba, Amirul Mukminin langsung berkkata: “Wahai musuh diri sendiri. Sungguh Iblis telah menyesatkan Anda. Apakah Anda tidak merasa kasihan terhadap istri dan anak-anak Anda? Apakah Anda percaya bahwa jika Anda memakai pakaian yang dihalalkan Allah bagimu, Dia tidak akan menyukai Anda? Karena itu, diri Anda menjadi sangat tidak penting bagi Allah.” Ia berkata: “Ya Amirul Mukminin, Anda pun mengenakan pakaian kasar dan memakan makanan yang keras.” Kemudian Imam Ali menjawab: “Celakalah Anda, saya tidak seperti Anda. Sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi mewajibkan kepada pemimpin yang sesungguhnya supaya memelihara diri pada tingkat rakyat yang paling rendah sehingga orang miskin tidak menangis lantaran kemiskinannya.”
Hal ini juga merupakan filsafat zuhud lainnya. Apakah Islam menerima sikap mementingkan orang lain dan memberikan bantuan secara material? Apakah Islam juga menerima sikap empati, yakni ikut merasakan penderitaan orang lain dan memberikan bantual moral? Tentu! Islam tentu akan menerima semua sikap tersebut. Sebab, semua itu merupakan perbuatan orang-orang yang memiliki tujuan rasional dan sesuai dengan syariat.
Masih terdapat sejumlah tujuan lain yang terkandung kezuhudan yang Islami. Tujuan-tujuan tersebut, yang akan saya sampaikan dalam kesempatan lain, pada gilirannya akan membentuk kezuhudan sebagai sebuah upaya rasional dan manusiawi.
Filsafat Zuhud dalam Pandangan Islam
“Hai orang-orang yang beriman; penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” [90]
Salah satu ajaran Islam yang memberikan kehidupan adalah konsep kezuhudan. Namun, boleh dikatakan bahwa dewasa ini kezuhudan tampil dalam maknanya yang mati, atau menyimpang serta berubah dari makna aslinya.
Dalam pertemuan sebelumnya, telah saya sampaikan dua macam pengertian zuhud. Kedua pengertian tersebut ternyata tidak relevan dengan ajaran Islam. Arti zuhud adalah perasaan puas dengan kehidupan yang serba sederhana dalam hal makan, berpakaian, dan bertempat tinggal. Dalam semua aspek kehidupannya, orang zuhud akan merasa puas dengan kehidupan yang serba sederhana.
Namun, perbuatannya tersebut harus dilakukan berdasarkan hikmah dan filosofi tertentu, bukan berdasarkan keyakinan bahwa urusan dunia terpisah dari urusan akhirat. Juga bukan didasari pengertian bahwa kenikmatan duniawi dan ukhrawi bersifat kontradiktif dan saling bertolak belakang satu sama lain. Orang menjalani kezuhudan (hidup dalam kesederhanaan) dikarenakan kondisi dan keadaan tertentu yang di hadapinya —sebagaimana yang telah saya kemukakan, hal ini berhubungan dengan masalah mementingkan orang lain (itsaar).
Tatkala seseorang menjumpai orang miskin yang membutuhkan, sementara dirinya mampu memberikan bantuan serta kebaikan, tentu ia akan segera membantunya. Tindakan ini muncul dikarenakan ia memiliki sikap lebih mementingkan orang lain (terlebih fakir miskin, —peny.) ketimbang dirinya sendiri. Tindakan berkorban demi orang lain semacam itu jelas memiliki kemuliaan serta makna filosofis yang amat dalam. Kenikmatan serta kenyamanan yang dimilikinya dikorbankan demi kenikmatan dan kenyamanan orang lain. Perbuatan semacam ini mendapat pujian dari al-Quran, yang salah satunya tercantum dalam surat al-Insan (hal ataa), yang diungkapkan dengan bahasa yang sangat menyentuh.
Dalam sejarah terdapat kisah yang sangat populer berkenaan dengan sikap mementingkan orang lain. Imam Ali dan keluarganya yang suci memberikan makanan (untuk mereka berbuka puasa, —peny.) kepada orang miskin (pada malam pertama), anak yatim (pada malam kedua), dan tawanan perang (pada malam ketiga). Disebabkan nilai keagungan dan pentingnya sifat itsaar, diturunkanlah ayat yang memuji perbuatan tersebut:
“Dan mereka memberikan makanan yang mereka cintai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang. Sesungguhnya kami memberi makan kalian semata mengharap keridhaan Allah dan kami tidak mengharapkan balasan dari kalian dan ucapan terima kasih.” [91]
Mereka justru memberikan makanan yang dibutuhkan pada saat melihat orang lain lebih membutuhkan (seperti orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang tersebut). Mereka melupakan diri mereka sendiri dan memberikan makanannya kepada orang lain. Untuk apa semua itu dilakukan? Semata-mata hanya mengharapkan ridho Allah!
Inilah kezuhudan yang memiliki makna filosofis yang agung dan sekaligus menjadi tanda kehidupan jiwa manusia. Sedangkan pengertian zuhud lainnya yang pernah saya sampaikan, tak lebih dari konsep kezuhudan yang mati dan kering kerontang. Kedua konsep zuhud tersebut bersumber dari pemikiran yang keliru serta tidak menunjukkan kehidupan manusia. Mereka menyangka perhitungan dunia dan akhirat terpisah satu sama lain. Ia tidak menyadari bahwa ibadah yang dilakukannya tidak hanya memberikan pengaruh pada kehidupan akhirat, tapi juga terhadap kehidupan dunia. Sebagaimana berpengaruh bagi kehidupan dunia, ihwal keduaniawian juga berpengaruh kepada kehidupan akhirat. Pemikiran yang keliru telah menjadikan manusia keliru pula dalam melangkah.
Pemikiran tersebut akan membentuk manusia menjadi makhluk yang tidak berperasaan dan memiliki hati yang mati. Orang yang salah kaprah dalam mengartikan zuhud akan meninggalkan urusan dunia dan kehidupan duniawi. Ia akan pergi ke gua atau puncak gunung untuk duduk menyendiri, bersemedi, dan mengasingkan diri. Ia menyangka, melalui cara ini dirinya akan memperoleh kebahagiaan di akhirat. Pada akhirnya, ia tidak merasakan kenikmatan duniawi, juga kenikmatan ukhrawi. Dirinya tidak lagi memiliki perasaan dan kepekaan terhadap lingkungannya serta tidak memiliki pengaruh bagi manusia lain. Semua itu merupakan pengertian zuhud yang salah kaprah. Pengertian keliru lainnya bersumber dari prasangka bahwa Tuhan bakhil. Tuhan akan memberikan kenikmatan duniawi kepada orang yang meninggalkan kenikmatan akhirat. Sebaliknya, Allah akan memberikan kenikmatan akhirat kepada orang yang meninggalkan kenikmatan duniawi. Kita menyangka bahwa mustahil manusia bisa hidup bahagia sekaligus di dunia dan di akhirat.
Pada akhirnya, kita lantas mengharamkan kenikmatan duniawi atas diri kita sendiri agar bisa mencicipi kenikmatan ukhrawi. Ini juga merupakan pengertian zuhud yang absurd. Keberadaan orang yang berkeyakinan seperti ini tak lebih dari seonggok makhluk yang sudah mati.
Keridhaan Allah Swt akan dijumpai seseorang dalam berbuat kasih sayang, saling mengasihi, serta mengabdi kepada makhluk-Nya. Ia akan menemukan keridhaan Allah dalam ayat yang berbunyi: “...dan mereka mengutamakan orang-orang muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan....” bahwa dirinya mesti meninggalkan kenikmatan duniawi untuk diri sendiri, dan memberikannya kepada orang lain. Dengan sikap seperti ini, ia akan menjelma menjadi makhluk hidup yang memiliki kedudukan tinggi. Orang seperti inilah yang akan menjadi hidup; tepatnya lagi, menjadi manusia yang paling hidup.
Telah saya katakan bahwa salah satu doktrin filosofis kezuhudan adalah menjalani kebersamaan dalam merasakan penderitaan. Manusia harus hidup dengan merasakan penderitaan orang lain. Perbedaan kasta yang membedakan antara kelompok “perahu-perahu kenikmatan” (orang-orang kaya) dengan “lautan penderitaan” (orang-orang miskin), merupakan ajaran yang keliru. Saya tidak mengatakan bahwa manusia harus hidup dalam satu tingkatan. Tidak. Ini bukanlah pendapat yang benar. Taraf hidup manusia berbeda-beda berdasarkan potensi, kemampuan, dan upaya masing-masing. Kehidupan merupakan ajang perlombaan. Setiap orang yang lebih keras dalam bekerja akan meraih untung yang lebih banyak dan lebih baik. Untuk memperoleh kekayaan, Seseorang tidak boleh menempuh jalan diskriminasi dan berbagai tindak kejahatan. Ia harus menempuhnya dengan cara yang layak serta kerja keras dan ketekunan. Demikian pula, jangan sampai seseorang menderita kemiskinan dikarenakan kemalasan dirinya —bukan disebabkan tidak adanya penolong.
Imam Ali berkata: “Apabila orang-orang tidak datang kepada saya, dan para pendukung tidak mengajukan hujjah, dan apabila tak ada perjanjian Allah dengan ulama bahwa mereka tak boleh berdiam diri dalam keserakahan si penindas dan laparnya orang tertindas, tentu saya sudah melemparkan kekhalifahan dari bahu saya, dan memperlakukan orang yang terakhir sama seperti terhadap orang yang pertama.”
Imam Ali berbicara tentang kekhalifahan yang beliau terima pasca terbunuhnya Utsman bin Affan. Beliau menerima kekhalifahan dalam kondisi yang benar-benar tidak menguntungkan. Sebelumnya beliau enggan menerima tanggung jawab kekhalifahan. Waktu itu, ketika didesak agar berkenan menerima kekhalifahan, beliau berkata: “Tinggalkanlah saya dan carilah orang selain saya, kita akan menghadapi berbagai macam kejadian dan peristiwa di masa yang akan datang.”
Atas dasar pengetahuannya tentang berbagai kejadian yang akan muncul di masa datang, beliau menolak menerima tanggung jawab tersebut. Namun, pada akhirnya, beliau menganggap hal itu sebagai suatu kewajiban bagi dirinya, dan kemudian berkenan menerimanya. Kewajiban apa? Pada dasarnya, Allah telah memegang janji para ulama, di mana Dia kemudian menetapkan tugas yang harus mereka emban. Apa tugas ulama? Salah satunya adalah memimpin kebangkitan tatkala di tengah-tengah masyarakat terdapat sejumlah orang yang perutnya kenyang lantaran terlampau banyak makan, namun tidak membuat kenyang perut orang lain. Dalam kondisi seperti ini, ulama wajib bangkit untuk membuat orang-orang yang kelaparan menjadi kenyang dan menghapuskan diskriminasi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Apakah cuma itu tugas ulama? Tidak. Selain itu, ulama harus merasakan penderitaan orang lain. Seseorang yang memiliki taraf hidup tertentu harus merasakan penderitaan orang yang taraf hidupnya lebih rendah. Kadangkala, apapun yang kita upayakan tidak juga mampu meningkatkan tarat hidup (orang lain). Karenanya, yang bisa kita lakukan hanyalah turut merasakan penderitaan orang yang hidup sengsara.
Di masa Imam Ja’far, terjadi musim kemarau yang cukup panjang. Kondisi saat itu sangatlah kritis. Saat itu masyarakat menjadi gelisah. Orang-orang mulai membeli makanan dan menyimpannya. Dan untuk berjaga-jaga, mereka kebanyakan menyimpan cadangan makanan dua kali lipat lebih banyak dari kebutuhan. Imam Ja’far Shodiq kemudian bertanya kepada pegawainya: “Apakah kita menyimpan makanan di rumah?” Pegawai tersebut menduga bahwa Imam akan menyuruhnya menyimpan makanan lebih banyak lagi mengingat masa sulit yang akan berlangsung selama bertahun-tahun. Di luar dugaannya, Imam mengeluarkan perintah: “Berapapun gandum yang kita miliki, bawalah ke pasar dan jual kepada masyarakat.” Pegawai tersebut berkata: “Apakah tuan tidak tahu, jika kita menjualnya, kita tidak akan mampu lagi membelinya.” Imam berkata: “Apa yang dilakukan masyarakat umum?” Pegawai itu menjawab: “Setiap hari mereka membeli roti yang terbuat dari gandum yang dicampur dengan sya’ir (sejenis gandum) di pasar.” Imam Ja’far berkata: “Juallah semua gandum yang ada, dan mulai besok, belilah roti untuk kita, sebab kita tidak bisa menjadikan masyarakat mampu memakan gandum seperti kita lantaran kondisi yang tidak memungkinkan, namun paling tidak kita bisa meniru kondisi hidup yang mereka hadapi dan merasakan penderitaan mereka sehingga tetangga kita akan mengatakan: ‘Biarlah saya memakan roti yang terbuat dari sya’ir karena Imam Ja’far juga memakannya, padahal dia mampu membeli roti gandum.’” Mengapa kita memilih kehidupan seperti ini? Tak lain dikarenakan kita ingin turut serta merasakan penderitaan orang lain.
Faktor Kebebasan dan Kemerdekaan
Makna filosofis kezuhudan yang ketiga adalah kebebasan dan kemerdekaan. Al-Quran tidak pernah mengharamkan kenikmatan yang halal bagi manusia. “Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” [92] Al-Quran tidak pemah melarang manusia untuk memanfaatkan kenikmatan yang halal demi mencapai kebahagiaan ukhrawi. Terdapat topik lain yang perlu saya sampaikan di sini, yakni tentang orang-orang yang memiliki harapan untuk hidup bebas dan mendapatkan kebebasan, yang senantiasa berusaha keras untuk melepaskan belenggu yang mengikat tangan dan kakinya, tentunya sebatas kemampuan yang dimiliki.
Coba Anda perhatikan! Kita hidup di dunia ini dengan memiliki mata rantai kebutuhan dan keperluan. Berdasarkan hukum penciptaan, kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak bisa kita hilangkan. Kita membutuhkan makan dan sampai batas terjauh dari kemampuan kita pun, kita tidak bisa membebaskan diri dari kebutuhan tersebut. Dengan demikian, kita tetap harus makan. Tubuh amat memerlukan pengganti dari segenap hal yang sudah dicerna. Kita tidak bisa membebaskan diri dari udara yang digunakan untuk bernafas. Juga tidak bisa terbebas dari air, atau sampai batas tertentu, dari pakaian. Semua itu merupakan ukuran keterikatan penciptaan dan alam yang berakar dalam diri kita.
Di samping itu, terdapat pula mata rantai pengekang yang ada dalam diri manusia. Mau tidak mau, manusia akan terikat olehnya, dan menjadikan kebebasan tercabut dari dirinya. Salah satunya, mata rantai kebiasaan. Dalam jaman modern ini, kita menjumpai berbagai bentuk kebiasaan. Barangkali teramat jarang orang yang tidak memiliki kebiasaan. Rata-rata dari kita, minimal, memiliki satu kebiasaan. Setidaknya kita memiliki kebiasaan meminum teh. Saat tidak meminum air teh, kita akan merasa gelisah. Banyak orang yang punya kebiasaan merokok. Jika tidak merokok, mereka tidak bisa berkonsentrasi. Tak sedikit pula orang yang memiliki kebiasaan yang berbahaya dan diharamkan, misalnya kecanduan opium, atau bahkan lebih buruk dari itu.
Semakin sering terbiasa terhadap sesuatu, seseorang akan lebih terikat dan tertawan kebiasaan tersebut. Pada saat tertawan, manusia tak lagi memiliki kebebasan. Persoalan ini bukan hanya berkenaan dengan kebiasaan minum teh, merokok, dan menggunakan opium. Tapi juga dengan kebiasaan tidur di atas kasur dan bantal yang empuk. Apabila dalam kondisi tertentu, orang yang memiliki kebiasaan seperti ini harus tidur di atas karpet atau tanah, ia tentu sama sekali tidak akan bisa terlelap. Ia sudah terikat dengan kebiasaannya.
Sebaliknya, Anda bisa melihat bagaimana orang yang hidup sederhana di dunia tanpa mengharamkan kenikmatan Tuhan atas dirinya dan tidak menganggapnya haram, serta tidak meninggalkan urusan kehidupan (duniawi). Mereka senantiasa berada dalam kehidupan, namun hati mereka menghendaki kehidupan yang serba sederhana. Mereka ingin mengenakan baju yang paling sederhana, menyantap makanan yang paling sederhana, rumah dan kendaraan yang juga paling sederhana. Mengapa? Alasannya, mereka tidak ingin menukar kebebasannya dengan sesuatu yang lain. Sedikit saja mengikatkan diri kepada sesuatu, mereka dengan serta merta akan menjadi tawanannya. Pada saat menjadi tawanan sesuatu, mereka layaknya orang yang terkekang oleh ribuan rantai pengikat. Orang semacam ini tak bisa hidup bebas.
Karena itu, kehidupan para nabi yang agung dan tokoh-tokoh masyarakat akan senantiasa diliputi kesederhanaan. Apabila sebaliknya, di mana kehidupan mereka dilumuri dengan perhiasan (yaitu kehidupan yang halal dan diperbolehkan), mereka mati tak mati harus meninggalkan kursi kepemimpinan. Kehidupan yang dipenuhi perhiasan tidak sesuai dengan prinsip kepemimpinan yang mengharuskan hidup sederhana. Kehidupan sederhana akan menjadikan seseorang leluasa dan bebas bergerak.
Kita membaca keterangan tentang kondisi Rasulullah saww yang menyatakan bahwa ‘Rasulullah hidup sederhana’. Pertama kali yang kita akan saksikan dalam sejarah Nabi saww adalah sesosok pribadi yang gemar memberikan bantuan. Mulai dari pakaian dan makanannya, cara duduk dan berdirinya, serta bekal perjalanan yang beliau miliki sangatlah sederhana.
Batasan dan Ikatan
Lihatlah bagaimana seluruh pengikat yang diciptakan manusia untuk dirinya sendiri telah menghambat kemajuan dirinya. Keterikatan dalam diri seseorang akan menginjak- injak dirinya sendiri. Saya akan memberikan contoh seperti ini; misalnya saya seorang tokoh agama yang terkenal. Saya seorang Hujjatul Islam atau Ayatullah. Apakah saya harus pergi berziarah ke Masyhad? Saya berpikir, tidak mudah untuk pergi ke Masyhad. Bagaimana caranya agar saya bisa memasuki (makam Imam Ali Ridha as) ? Dari pintu manakah saya harus masuk (ke makam)? Bagaimana jika orang-orang melihat saya? Saya berpikir ini dan itu. Anda akan melihat bahwa waktu terus berjalan sedangkan saya tetap tidak melakukan hajat yang paling sederhana sekalipun (pergi berziarah ke makam Imam Ridha, —peny.), apalagi untuk suatu kepergian yang sifatnya wajib seperti menunaikan haji ke Makkah. Saya telah terbelenggu pelbagai persyaratan dan ikatan. Karenanya, saya tidak bisa pergi dengan leluasa.
Rasulullah justru memiliki kehidupan yang sederhana sekali. Jika kehidupan beliau tidak mudah dan ringan, tentu beliau tidak akann mampu memimpin umatnya. Pada saat berpuasa, apakah beliau harus memanaskan poci untuk minum teh yang mana jika tidak maka beliau akan dipersalahkan? Tak ada perbedaan antara hari puasa atau hari biasa. Kadangkala Nabi baru pulang ke rumahnya setengah jam setelah usai menunaikan shalat Isya. Anas bin Malik, budak Nabi, mengatakan: “Makanan Rasulullah biasanya segelas susu dan sekerat roti. Sewaktu pulang ke rumah, Nabi memakan makanan yang sederhana ini, dan setelah itu Nabi melakukan pekerjaannya. Nabi makan sedikit dan beristirahat selama dua jam sudah cukup baginya. Setelah bangun tidur, beliau beribadah kepada Allah. Menurut nash al-Quran, Rasulullah tidak tidur selama dua pertiga malam.”
Al-Quran diturunkan di suatu tempat yang bisa disaksikan banyak orang. Jika tidak, maka lawan akan mengingkarinya dan kawan pun tidak akan mempercayainya, dan mengatakan: “Yang kita lihat, Nabi tidak terjaga, mengapa al-Quran mengatakan beliau tidak tidur pada dua pertiga malam? Menurut al-Quran, Nabi minimal terjaga dan melakukan ibadah pada sepertiga malam, dan terkadang pada pertengahan malam atau dua pertiga malam. Pribadi mulia ini tidak beristirahat barang sebentar pun mulai dari waktu subuh hingga akhir malam. ‘Rasulullah hidup sederhana’. Saya pernah membaca syair parsi yang ditulis Atsiruddin Akhsitegi sehubungan dengan masalah ini. Isi syair tersebut sungguh luar biasa:
Di tengah-tengah lautan peristiwa
tanggalkanlah pakaian Anda
dengan telanjang Anda dapat mengarunginya
Jika Anda ingin menyelam ke dalam lautan peristiwa, pertama-tama Anda harus menelanjangi diri dulu agar dapat berenang. Orang yang mengenakan baju yang memiliki bobot yang berat (seperti jubah, sorban, dan sejenisnya), akan tenggelam ketika ia berupaya menyelam di dalam sungai besar. Itu dikarenakan beratnya beban baju yang dikenakan. Orang seperti ini tidak bisa mengarungi lautan peristiwa. Syarat pertama untuk bisa mengarungi lautan peristiwa adalah bertubuh telanjang. Orang yang tidak ingin terjatuh atau menyengaja terjun ke dalam sungai “peristiwa”, dan hanya ingin hidup di “pinggiran” kehidupan masyarakat, pada dasarnya adalah orang yang tidak memiliki keinginan untuk memperbaiki masyarakatnya. Dengan demikian, orang semacam ini bebas mengenakan baju yang dikehendakinya. Sementara, orang yang ingin terjun ke dalam lautan masyarakat, harus terlebih dahulu menelanjangi dirinya, baru setelah itu ia bisa mengarungi lautan peristiwa kemasyarakatan. Orang yang terbelenggu oleh banyak hal, tidak akan bisa memasuki lautan masyarakat, apalagi memimpinnya.
Bagaimana dengan kehidupan pribadi Imam Ali as? Dalam khotbahnya yang termasyhur, beliau menyifati Nabi:
“Rasulullah memiliki kehidupan yang sangat sederhana.
Demikian pula dengan para Nabi yang berkuasa, seperti Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as. Meskipun memiliki kekuasaan dan fasilitas, kehidupan pribadi Nabi Daud as sangatlah sederhana. Beliau membuat baju besi, yang kemudian dijual sendiri ke pasar. Dengan cara inilah beliau hidup.” Tentang Nabi Isa as, Imam Ali mengatakan: “Begitu sederhana dan bebasnya hidup Nabi Isa, sampai-sampai kendaraan beliau adalah kedua kakinya. Pelita beliau di malam hari adalah sinar rembulan.”
Nabi Isa bukanlah tawanan pelita atau kendaraan tunggangan. Seperti inilah kehidupan seluruh para Nabi. Mereka menjalani kehidupan seperti itu agar bisa memimpin masyarakat. Dengan demikian, kezuhudan yang memiliki makna filosofis yang mendalam adalah kezuhudan seperti ini, dan bukan kezuhudan yang didasari atas keyakinan bahwa kenikmatan dunia bertentangan dengan kenikmatan akhirat, atau anggapan bahwa kehidupan duniawi terpisah dari ibadah. Kezuhudan demikian jelas keliru dan mematikan. Adapun zuhud para Nabi adalah zuhud yang menghidupkan.
(Mahatma) Gandhi merupakan seorang tokoh yang berasal dari India. Sewaktu ingin memimpin dan membebaskan empat ratus juta (400.000.000) rakyat India dari cengkeraman penjajah, ia tidak mempunyai jalan lain kecuali meneladani model kehidupan para Nabi. Ia memilih hidup sederhana untuk dirinya sendiri. Ia mengenakan kain sederhana yang melekat ditubuhnya seraya mengatakan: “Dengan ini saya bisa hidup.”
Apa filosofi kezuhudan Gandhi? Dari satu sisi, Gandhi terjun ke dalam kehidupan masyarakat, serta berkeinginan untuk membebaskan masyarakat dari cengkeraman cakar penjajah. Dari sisi yang lain, ia hidup zuhud sedemikian rupa dan hanya memiliki kain sederhana yang melekat di tubuhnya. Dalam pada itu, ia menyeru kepada rakyat India: “Jika kalian ingin terbebas dari cengkeraman penjajah, hiduplah secara zuhud.” Maksudnya, hiduplah dalam kesederhanaan supaya Anda bisa terbebas. Setelah Anda bebas, dan ingin memperindah hidup Anda, silahkan lakukan, tapi jangan sampai diri Anda terbelenggu dan kembali tidak bebas. Jenis kezuhudan semacam ini mengandung filosofi kebebasan dan kemerdekaan.
Zuhud dan Tuntutan Jaman
Terdapat topik lain yang akan saya kemukakan kepada Anda, yang berkenaan dengan kezuhudan dan tuntutan jaman. Keadaan jaman senantiasa berbeda-beda. Pada suatu jaman, kehidupan zuhud menjadi tugas bagi manusia, dan tidak pada masa yang lain. Jika kita menelaah kehidupan mulia Rasulullah saww dan Imam Ali as, kita akan menjumpai bahwa bentuk kehidupan mereka berdua sedikit berbeda dengan bentuk kehidupan Imam Muhammad Baqir as dan Imam Ja’far as. Kehidupan Rasulullah saww dan Imam Ali as lebih sederhana dan lebih zuhud dibandingkan dengan kehidupan Imam Muhammad Baqir as, Imam Ja’far Shadiq as, Imam Musa bin Ja’far as, dan Imam Ali Ridha as. Bahkan kehidupan para imam tersebut juga berbeda dengan kehidupan Imam Hasan Mujtaba as.
Dari mana datangnya perbedaan tersebut? Sesuai dengan keterangan sebelumnya, jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi sangat jelas. Imam Ja’far telah menjawabnya dengan gamblang. Pada paruh tengah abad kedua, seorang sufi mendatangi Imam Ja’far Shadiq. Ia melihat Imam mengenakan pakaian indah dan halus. Kemudian ia mengatakan: “Wahai putra Rasulullah, mengapa Anda mengenakan pakaian mahal dan mewah?” Imam menjawab: “Silahkan duduk dan dengarkan jawaban saya. Kadangkala Anda berbuat suatu kekeliruan dalam bertindak (bukan dengan sengaja) dan kadangkala Anda mengerti (makna sebenarnya dari zuhud) akan tetapi Anda. hendak menipu orang-orang awam. Jika Anda memang tidak ada keinginan untuk menipu masyarakat dengan menggunakan bentuk penampilan sederhana, duduklah dan saya akan berbicara denganmu.”
Imam Ja’far berbicara panjang lebar dengannya dan sedikitpun ia tidak mampu membantah ucapan Imam. Setelah itu dia pergi dan tak lama kemudian kembali lagi bersama serombongan sahabatnya.
Kisahnya sangat panjang. Saya ingin memfokuskannya hanya pada satu noktah penting. Rombongan yang datang melontarkan protes atas penampilan Imam dengan mengatakan: “Mengapa Anda mengenakan pakaian mewah?” Imam Ja’far menjawab: “Mungkin Anda berpikir, jika mengenakan pakaian mewah merupakan perbuatan baik, mengapa Rasulullah saww dan Imam Ali as tidak mengenakannya? Dan apabila itu merupakan perbuatan buruk, mengapa Anda mengenakannya?” Mereka menjawab: “Benar, itu yang akan kami katakan.” Kembali Imam menjelaskan: “Kalian tidak mengikuti perkembangan jaman. Menurut pandangan Islam, mengenakan pakaian mewah bukanlah sebuah dosa. Allah menciptakan semua kenikmatan duniawi untuk dimanfaatkan manusia. Dan Allah tidak menciptakan segala kenikmatan ini untuk dijauhi manusia. Allah menciptakannya supaya kita bisa memanfaatkannya. Namun, terkadang, dikarenakan kondisi dan tujuan (filsafat) tertentu kita diharuskan berpaling dari kenikmatan-kenikmatan tersebut. Salah satunya jika kita berada dalam suatu kondisi kehidupan masyarakat yang sedang sangat kesulitan dan kritis. Dengan kata lain, kita hidup di tengah masyarakat yang tengah mengalami krisis ekonomi. Jika hidup dalam masyarakat seperti ini, sementara kita memiliki fasilitas hidup mewah, kita tidak boleh hidup secara mewah. Sebab, jika kita hidup mewah, berarti kita tidak merasakan penderitaan saudara-saudara kita yang lain.
Namun, kadangkala kita hidup dalam masyarakat yang memiliki kondisi ekonomi yang sangat baik. Dalam kondisi demikian, kita tidak memiliki alasan untuk menutup mata dari pakaian yang indah.”
Kemudian Imam Ja’far menambahkan: “Rasulullah dan Imam Ali hidup dalam kondisi dan masa di mana keadaan ekonomi masyarakat sangatlah buruk. Rasulullah tinggal di Madinah, di mana di dalamnya terdapat sekelompok orang yang terlantar (ashabu assuffah). Mereka adalah orang-orang yang sangat fakir dan miskin. Tambahan lagi, Madinah saat itu tengah berada dalam situasi peperangan. Negara atau kota yang sedang berperang dengan negara atau kota lain, mau tak mau akan mengalami kesulitan ekonomi, terlebih jika pada saat bersamaan mereka dilanda musim kemarau dan paceklik. Madinah acapkali mengalami kondisi seperti itu. Dikarenakan keadaan semacam itu, para sahabat yang datang dari luar Madinah (ashabu assuffah) terpaksa tinggal di samping masjid Nabawi. Kehidupan mereka sangat sulit dan menderita, sampai-sampai tidak memiliki pakaian untuk datang ke masjid dan bergabung dengan jamaah lainnya. Saking jarangnya pakaian yang dimiliki, mereka terkadang harus bergantian dalam mengenakan pakaian. Apabila salah seorang usai menunaikan shalat, baju yang tadi dikenakannya kemudian digunakan orang lain, juga untuk shalat. Dalam kondisi seperti ini, tidak dibenarkan bagi seorang mukmin mengenakan baju mewah, meskipun itu dibeli dari hartanya sendiri.
Pernah pada suatu ketika Rasulullah berkunjung ke rumah putrinya, Sayyidah Fathimah Zahra as. Ketika sampai, beliau melilit lengan putrinya dibalut gelang perak dan pintu rumahnya dilapisi tirai berwarna warni. Melihat keadaan putrinya seperti itu, Rasulullah langsung pulang sebagai isyarat kekurangsenangannya terhadap penampilan putrinya. Sayyidah Fathimah langsung memahami sikap ayahnya. Dengan serta merta, beliau melepaskan gelang perak dari tangannya dan menanggalkan tirai dari pintu rumahnya. Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk menyerahkan semua itu kepada ayahandanya. “Sampaikan salamku pada ayahku dan katakan bahwa putrinya yang mengirimkan semua ini untuk digunakan menurut yang terbaik bagi Rasulullah.” Kemudian Rasulullah memerintahkan seseorang untuk membagi-bagikannya kepada ashabu assuffah. Dalam kondisi seperti ini, seorang mukmin memiliki tugas yang lain (yakni turut merasakan penderitaan orang lain).
Kepada orang-orang yang mengkritiknya, Imam Ja’far mengatakan: “Saya sekarang hidup dalam kondisi yang berbeda dengan kondisi Rasulullah. Jika saya hidup dalam kondisi seperti kakekku, Rasulullah saww, niscaya saya akan bersikap seperti beliau. Dan jika Rasulullah hidup di masa saya sekarang ini, di mana kondisi ekonomi masyarakat sudah membaik dan lebih mapan, tentu Rasulullah akan hidup dan (berpenampilan) seperti saya.” Inilah salah satu filosofi yang lain dari kezuhudan.
Zuhud dan Kenikmatan Spiritual
Filosofi kezuhudan lainnya adalah suatu keadaan di mana manusia yang tenggelam dalam kenikmatan material (sekalipun itu halal) tidak akan pernah merasakan kenikmatan spiritual.
Manusia memiliki kenikmatan spiritual yang akan mengangkat kekuatan maknawiah dirinya. Orang yang terbiasa bertahajud dan shalat malam adalah orang yang tergolong shadiqiin (orang-orang yang benar), yang bersabar, dan orang yang memohon ampunan di waktu pagi (al-mustaghfiriina bilashaar). Mereka adalah orang-orang yang memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan dari shalat malam, Kenikmatan yang diperoleh seseorang yang melakukan shalat malam adalah kenikmatan yang hakiki dan riil. Ia mendapatkan kenikmatan dari ucapan “astaghfirullah wa atuubu ilaihi” (Aku memohon ampunan Allah dan kembali kepada-Nya). Ia merasakan nikmat ketika berzikir “al-afwa” (ya Allah, aku mohon maaf-Mu). Ia sangat menikmati detik-detik ketika sedang mendoakan sedikitnya empat puluh orang mukmin. Ia amat menikmati ucapan “ya rabbi ya rabbi” (wahai Tuhan Pemeliharaku... wahai Tuhan Pemeliharaku...). Ia tidak pernah merasakan kenikmatan seperti ini dari hal-hal yang bersifat material. Kenikmatan orang yang mengerjakan shalat malam sangatlah lezat dan memberikan kekuatan serta semangat hidup.
Akan tetapi, jika kita tenggelam dalam kenikmatan duniawi, kita tidak akan pernah merasakan kehangatan spiritualitas yang terkandung dalam shalat malam. Pada permulaan malam, umpamanya, kita hanya mengobrol, tertawa terbahak-bahak, menggunjing orang lain yang merupakan perbuatan haram, bersenda gurau, dan setelah itu membentangkan hidangan untuk makan sampai kita kesu1itan bernafas lantaran kekenyangan. Berpikir dan bergurau membuat kita lelah dan akhimya tertidur pulas di atas ranjang. Apakah dalam keadaan seperti ini kita memiliki kesempatan untuk bangun dari tidur dan kemudian menunaikan shalat subuh, sementara waktu fajar tinggal dua jam lagi? Dan apakah setelah itu kita mampu mengucapkan dari lubuk jiwa yang paling dalam, yarabbi... yarabbi...? Kita sama sekali tidak bisa bangun untuk melaksanakan shalat. Kalaupun bangun, kita akan berada dalam keadaan yang mirip dengan orang yang sedang mabuk, yang baru meminum segelas minuman keras.
Jadi, apabila manusia ingin merasakan kenikmatan spiritual dalam kehidupan di dunia ini, tak ada jalan lain kecuali harus meninggalkan kenikmatan material dan duniawi. Pada saat bangun di waktu pagi, Imam Ali as merasakan suasana yang sangat menakjubkan. Seketika itu juga beliau memandang ke arah langit yang ditaburi bintang-bintang ciptaan Allah, seraya mengatakan:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berpikir, yaitu orang-orang yang mengingat Allah di saat berdiri, duduk dan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya mengatakan: ‘Wahai Tuhan kami,, tidak Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau dan selamatkanlah kami dari siksa neraka.” [93]
Pada malam hari, insan beriman ini bangun dari tidurnya dan menghayati kenikmatan bersama Tuhannya tatkala pandangannya menumbuk bintang di langit, seraya membacakan ayat yang merupakan suara kebenaran dan kemudian menyatu dengan alam wujud. Kenikmatan seperti ini tak akan tertandingi oleh seluruh kenikmatan material di jagat alam. Insan semacam ini tidak bisa hidup seperti kita. Beliau tidak bisa duduk di hadapan hidangan yang menyajikan berbagai macam makanan, beragam masakan daging, minyak hewani dan minyak nabati, aneka rupa roti-rotian, serta seluruh makanan yang mengundang selera. Semua itu, lambat laun akan menjadikan jiwa manusia mati. Orang yang duduk dan menyantap banyak makanan sampai kekenyangan tidak akan mampu bangun tengah malam. Kalaupun mampu, kemudian menunaikan shalat tahajud, ia tidak bisa menikmati spirit dari ibadah tersebut.
Karena itu, orang-orang yang mendapat bimbingan (hidayah) untuk menikmati ibadah tidak akan pernah memperdulikan seluruh kenikmatan materi. Tak ada salahnya saya mencoba mengenang masa hidup kakek saya. Seingat saya, kira-kira empat puluh tahun yang silam, saya melihat orang besar dan mulia ini setiap malam membutuhkan waktu untuk tidur selama tiga jam. Beliau makan pada permulaan malam dan tidur selama tiga jam. Minimal, selama dua jam menjelang terbitnya fajar subuh, beliau bergegas bangun untuk melaksanakan ibadah. Setiap tengah malam Jumat, beliau senantiasa terjaga dan beribadah selama tiga jam sebelum terbitnya fajar subuh. Sekarang, kakek saya telah berusia seratus tahun, namun saya belum pernah melihat beliau tidak nyenyak dalam tidurnya. Kenikmatan maknawi yang beliau rasakan menjadikan jiwanya tenang dan bahagia. Bukan hanya satu-dua malam saja kakek mendoakan ayah dan ibu saya. Nenek mengatakan bahwa kakek sangat menyayangi diri saya. Tiap malam beliau senantiasa berdoa. Dalam berdoa, beliau senantiasa mengingat keluarga, serta kerabat dekat maupun jauh. Semua hal inilah yang menghidupkan hati orang tersebut. Siapapun yang ingin memperoleh kenikmatan seperti ini, harus menjaga jarak dari berbagai kenikmatan material. Apabila itu sungguh-sungguh diupayakan, niscaya ia akan bisa merasakan kenikmatan spiritual yang sangat lezat.
Pandangan Ibnu Sina
Ibnu Sina pernah mengatakan: “Kezuhudan orang arif berbeda dengan kezuhudan orang yang tidak arif. Kegiatan ritual dan kezuhudan orang arif merupakan olah batin dan persiapan kekuatan rasional, imajinasi, dan empiris. Karena pada saat dia hendak menghadapkan cermin jiwanya ke hadapan alam malakut, kekuatan-kekuatan tersebut tidak menjadi beban dan penghalang hingga seseorang mampu berdiri di hadapan Allah.”
Sayang, saya tidak ingat lagi kalimat selanjutnya. Namun, inti pernyataannya termaktub dalam ungkapan di atas. Inilah filosofi dari kezuhudan.
Sekarang, berdasarkan berbagai filosofi yang telah saya sebutkan, apakah kezuhudan sanggup menghidupkan jiwa, atau sebaliknya menjadikannya mati? Seseorang menjadi zuhud dikarenakan ingin mengutamakan kepentingan orang lain serta ingin merasakan penderitaan orang lain. Selain pula disebabkan dirinya melihat kondisi perekonomian masyarakat yang sedemikian morat-marit, atau juga dikarenakan ingin menjadi orang bebas di tengah-tengah masyarakat. Seseorang menjadi orang zuhud lantaran dirinya menginginkan jiwa kemanusiaannya terbebas sehingga bisa bermunajat kepada Tuhannya. Apakah dengan kezuhudan semacam ini, jiwa manusia akan hidup ataukah mati? Jawabannya, justru itu akan membuat jiwa manusia lebih hidup. Kezuhudan Imam Ali as dilandasi oleh alasan di atas sehingga menjadikan beliau manusia paling hidup dan paling aktif sepanjang sejarah kemanusiaan. Imam Ali as merupakan orang yang benar-benar zuhud, pemberani, dan memiliki kebesaran jiwa.
Sebagai orang zuhud, Imam Ali as adalah orang yang adil. Sebagai orang zuhud, Imam Ali as adalah orang yang arif. Sebagai orang zuhud, Imam Ali as adalah pemimpin masyarakat pada masanya.
Dengan demikian, seluruh kezuhudan yang dipraktikan orang-orang yang tidak memahami makna sejati kezuhudan, hanya identik dengan tidak berbicara dengan orang lain, tidak mencampuri urusan orang lain, harus berdiam diri, datang ke suatu tempat dari arah sini dan keluar dari arah yang lain (berusaha menutupi diri dari pandangan orang lain, —pent.), menutupi kepala dengan jubah supaya tidak dikenali, dan tidak bergaul dengan siapapun. Kezuhudan seperti ini tidak sesuai dengan ajaran Islam dan akan membunuh jiwa. Islam sama sekali tidak mendukung bentuk-bentuk kezuhudan semacam ini.
Referensi:
46. al-Anfal:24
47. al-Mukminuun:115
48. al-Baqarah:225
49. Nahjul Balaghah, “Faidhul Islam”, Khutbah ke-70, hal.324
50. Taaha:74; al-A’laa:13
51. al-Anfal:24
52. jan-Naml:80
53. al-Fathir:80
54. Jami as-Shoghir: Jilid II, hal.155
55. al-Anfal:24
56. Jami as-Shogir: Jilid II, hal.155
57. Wasail as-Syiah: Jilid XI, hal.108 dan 560; Ushul al-Kaafi: Jilid III, hal.239
58. al-Anfal:24
59. al-Najm:39
60. az-Zalzalah:7-8
61. Jaami’ al-Akhbar, bab XVIII, hal.42; Al-Khishool, hal.178-179; Bihar al-Anwar, Jilid ke 69, hal.64-73
62. Mafatih al-Jinan: Bab Ziarah Imam Husain pada Idul Fitri dan Idul Adha
63. al-Baqarah:80
64. an-Nisa:123
65. Huud:45
66. Ushul al-Kaafi: Jilid IV, hal.207
67. as-Syu’araa:214
68. Bihar al-Anwar: Jilid 43, hal. 35, 54, 76, dan 80
69. Nahj Al -Balaghah, "Faid al Islam", Hikmah ke-142, hal.1160
70. al-Anfal:24
71. Yaasiin:70
72. al-An’am:122
73. Ibid.
74. bid.
75. al-Anfal:24
76. al-Baqarah:255
77. Ibid.
78. an-Najm:39
79. Nahj al-Balaghah, “Faidhul Islam”, Hikmah ke-34, hal.1291
80. al-Hadid:23
81. al-Israa:29
82. al-Anfal:24
83. Yusuf:20
84. al-Ahkaaf:20
85. al-A’raaf: 157
86. al-A’raaf:32
87. Thaha:81
88. al-Insan:8-9
89. al-A’raaf:32
90. al-Anfal:24
91. al-Insan:8-9
92. al-Araaf:32
93. Ali Imran:48
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email