Sebagian
kelompok dengan ‘galak’ mengecam keras ziarah kubur, menuduhnya bid’ah,
bahkan musyrik. Dalil yang sering dipakai adalah hadis Rasulullah yang
melarang bepergian kecuali ke tiga masjid:
Artinya: “Dan tidak boleh syaddur rihal kecuali tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Al-Aqsha, dan masjidku.”[1]
Jika
dalil ini digunakan secara umum pelarangan bepergian, pastinya
bepergian ke daerah lain untuk kunjungan, studi banding, belajar,
bekerja atau hanya sekedar wisata juga dilarang.
Nyatanya
hal-hal itu juga tidak dilarang bahkan oleh kalangan yang melarang
ziarah makam Ulama’ sekalipun. Jika bepergian hanya sekedar wisata ke
Eropa saja tidak dilarang, mengapa bepergian untuk ziarah kubur para
Ulama’ itu dilarang.
Para
Ulama’ memaknai hadits ini, bahwa tidak ada bumi yang mulia untuk
dikunjungi kecuali kepada tiga masjid tadi. Artinya tidak ada sejengkal
bumi yang mulia yang mempunyai kemuliaan untuk dikunjungi kecuali ke
tiga masjid tadi. Sebagaimana dikutip dari fatwa Daar Al Ifta’ Mesir
fatwa No. 450.
Artinya:
Adapun sabda Nabi [tidak boleh bepergian kecuali kepada tiga masjid]
maka mustatsna minhunya dibuang. Jika dikira-kirakan keumuman larangan
itu, maka akan menjadi tidak boleh bepergian kemanapun kecuali ke tiga
tempat itu. Maka hal itu akan menghalangi bolehnya bepergian untuk
bisnis, silaturrahim, mencari ilmu dan lain sebagainya.
Artinya:
Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua
berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin
Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia
berkata: Rasulullah SAW berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau
menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di sekitar beliau.
Beliau
lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan
ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun
meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan.
Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian”
[HR. Muslim no.108, 2/671].
Diantara
faedah dari hadits ini adalah bolehnya mengadakan ziarah ke makam orang
tua. Bahkan Nabi Muhammad SAW memerintahkan berziarah ke kubur, karena
hal itu bisa mengingatkan kepada kematian.
Sudah
banyak yang tahu bahwa Makam Aminah, ibu Nabi Muhammad SAW berada di
sebuah desa bernama Abwa’. Daerah yang sekarang disebut dengan nama
kharibah. Jarak dari Abwa’ ke Madinah adalah 180 Km, tulis salah satu
artikel alarabiya.net[3].
Jarak
180 km zaman dahulu pasti bukan jarak yang pendek lagi. Dalam kitab
fiqih disebutkan bahwa jarak bepergian yang dibolehkan safar diantaranya
adalah sekitar 85 km. Artinya Nabi Muhammad telah mengadakan perjalanan
untuk mengunjungi makam ibunya.
Hukum ziarah kubur pada asalnya boleh. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Dulu
aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang
ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat
melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian
akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak
(qaulul hujr), ketika berziarah” [HR. Al Haakim no.1393]
Para Ulama’ ahli ushul fiqih berbeda pendapat mengenai Amar setelah Nahyi, perintah setelah larangan[4].
-Pendapat pertama; amar setelah Nahyi berfaedah “Wajib”. Ini adalah pendapat sebagian Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Ibnu Hazm.
-Pendapat kedua; berfaedah “Mubah”. Ini adalah pendapat Malik, Syafi’i dan Hanbaliyah.
-Pendapat ketiga, hukum dikembalikan kepada hukum awal sebelum adanya nahyi. Ini adalah pendapat Ibnu Taymiyyah.
-Pendapat keempat; tawaqquf atau tidak menentukan sikap. Ini adalah pendapat Al Juwaini dan Al Amidi.
Artinya semua sepakat tidak ada larangan untuk ziarah kubur, baik kedua orang tua, saudara, teman termasuk kubur orang shalah.
Artinya:
Wasilah/perantara terhadap sesuatu itu hukumnya seperti tujuan sesuatu
tersebut. Sebagai contoh sholat lima waktu hukumnya wajib, maka
mengetahui masuknya waktu shalat hukumnya juga wajib[5].
Sebagaimana
ziarah ke kubur itu hukumnya sunnah, ada yang mengatakan mubah. Maka
mengadakan perjalanan untuk ziarah hukumnya mubah. Bagaimana bisa hukum
ziarah kuburnya boleh atau sunnah, sedangkan wasilah untuk sampai ke
tempat yang diziarahi hukumnya haram. Dan bepergian adalah wasilah untuk
bisa sampai ke tempat tujuan ziarah.
Maka
pengharaman sesuatu karena dalil Saddu Ad Dzarai’, dalam kekuatan hukum
fiqihnya tidaklah seperti suatu hukum yang keharamannya telah
ditentukan syara’ dengan nash.
Disebutkan
dalam kitab Tahdzibu At Tahdzib karya Imam Ibnu Hajar, ketika menulis
sejarah Imam Ali bin Musa Ar Ridha disebutkan[6]:
Artinya:
Kubur Imam Ali bin Musa ar Ridha telah diziarahi oleh banyak Ulama’ dan
Masyayikhu as sunnah, diantaranya adalah Imam besar Ahli Hadits [yang
benar-benar Ahli dalam bidang Hadits] Ibnu Khuzaimah.
Disebutkan dalam kitab At Tsiqat karangan Ibnu Hibban[7] ketika mengomentari kubur Al Imam Ar Ridha sebagai berikut:
Artinya:
Saya telah mengunjungi kuburannya berkali-kali. Bahkan ketika saya
mengalami kesulitan di Thus, saya datang ke kuburnya dan saya berdo’a
kepada Allah agar dihilangkan kesusahan itu. Maka hilanglah
kesulitan-kesulitan itu.
Disebutkan
dalam kitab Tarikh Baghdad Karya al Imam al Hafizh Abu Bakr Ahmad bin
Ali; yang lebih dikenal dengan al Khathib al Baghdadi[8] (w 463 H),
sebagai berikut:
Artinya:
Al Khatib al Baghdadiy ketika menulis tentang Kubur Salman al Farisi
berkata: Dia [Salman Al Farisi] ikut dalam fath al Madain sehingga
meninggal disana. Kuburannya sekarang masih ada di dekat Iwan Kisra.
Saya telah melihatnya dan mengunjunginya beberapa kali.
Artinya:
Ibnu Hibban ketika menulis tentang Seorang Shabat nabi Abu Darda’ al
Anshari: Dan kuburnya di bab as Shaghir Damaskus yang telah masyhur dan
banyak diziarahi, saya telah menziarahinya berkali-kali.
Disebutkan dalam kitab Thabaqat As Syafiiyyah karya Ibnu Qadhi Syuhbah sebagai berikut[10]:
Artinya:
Abu Bakar bin Muhammad ketika menuliskan biografi Ahmad bin Ali Al
Hamdani berkata: Berdo’a di kuburnya termasuk mustajab.
Sebaimana disebutkan dalam kitab Siyaru a’lami an Nubala’ karya Ad Dzahabi[11] sebagai berikut:
Artinya: do’a di kuburnya termasuk mustajab.
[1] HR. Al-Bukhari no. 1132 dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Muslim No. 1397 dari Abu Hurairah
[2]Al
Barmawi, Futuhat al Wahhab/ Hasyiyatul Jumal: 2/361. Lihat fatwa dari
daar Ifta’ mesir
di:http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=450&LangID=1
[4]Lihat:
Al Bahru al Muhith: 2/111, Al Mahshul: 1/202, Ahkamul Amidi: 3/398,
Ahkam Ibn hazm: 1/404, Al Uddah: 1/175, Al Burhan: 1/87
Pandangan Ibnu Taimiyyah Tentang Ziarah Kubur
Qastilaani
[1] dan Ibnu Hajar dalam kitab
al-Jawharu al-Munazhzham
menukil pandangan Ibnu Taimiyyah. Dia (Ibnu Taimiyyah) melarang ziarah
kubur Nabi saww dan mengharamkannya. Baik yang harus ditempuh dengan
persiapan (
Syaddu al-Rihaal)
[2] karena jauhnya jarak perjalanan, atau tanpa persiapan seperti orang-orang yang tinggal di sekitar kubur beliau.
Ketika ziarah kubur Nabi saww saja sudah diharamkan, maka lebih utama
–keharamannya- ziarah kepada kubur selain kubur beliau. Ia mengkhayal
bahwa haramnya ziarah kubur itu adalah ijma’ (kesepakatan) ulama. Karena
itu, yang memaksa pergi maka shalatnya tidak boleh diqashr
[3].”
Menolak Pandangan Ibnu Taimiyyah
Empat Dalil Tentang Kebolehan Ziarah Secara Syariat
Al-Quran
Allah berfirman,
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ
جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ
لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“
Kalau mereka yang menganiaya diri mereka sendiri itu –berdosa-
datang kepadamu –Muhammad- dan memohon ampun kepada Allah dan Rasulpun
memintakan ampun untuk mereka, maka mereka pasti mendapakan Allah Maha
Penerima Taubat dan Maha Pengasih.”
[4]
Ziarah adalah menghadiri orang yang diziarahi, baik untuk meminta
ampunan atau tidak. Ketika menziarahi Nabi saww dimasa hidup beliau,
sudah terbukti kebenarannya, maka ia juga benar dilakukan dimasa wafat
beliau. Karena Nabi saww memiliki kehidupan barzakhi
[5] dan mendengar salam para penziarah serta amalan mereka disajikan kepada beliau.
Dalil Kehidupan Barzakh
Dalil-dalil yang mebuktikan kehidupan barzakhi Nabi saww adalah sebagai berikut:
a. Pandangan Samhuudi. Ia menukil dari Sabki, “Para
ulama memahmi dari ayat ini sebagai universal. Yakni menghadiri Nabi
saww dan meminta kepada beliau doa pengampunan. Artinya, hal itu tidak
dikhususkan pada waktu ketika beliau saww masih hidup. Bahkan mencakupi
ketika beliau saww sudah wafat. Karena itulah para ulama mensunnahkan
pembacaan ayat di atas, di dekat kuburan Nabi saww.”
[6]
b. Pandangan Qastilaani. Ia berkata, “Tidak ada satu
haripun kecuali semua perbuatan umat beliau –yang dilakukan siang dan
malam- disajikan kepada beliau dan beliaupun mengetahui semua perbuatan
itu dengan masing-masing pelakunya. Karena itulah, di akhirat kelak,
beliau saww adalah saksi terhadap perbuatan umat.”
[7]
Ibnu Zar’ati ‘Iraaqi menukil dari Ibnu Mas’uud yang meriwayatkan
bahwa Nabi saww bersabda, “Hidupku adalah kebaikan buat kalian semua.
Karena kalian bisa berbicara denganku. Begitu pula aku bisa berbicara
dengan kalian. Dan kematianku juga kebaikan buat kalian. Karena
perbuatan kalian disajikan kepadaku. Dan ketika aku melihat perbuatan
baik kalian, maka aku memuji Tuhan. Akan tetapi kalau aku melihat
perbuatan buruk kalian, maka aku memohonkan ampunan kepada Tuhan untuk
kalian.”
[8]
c. Pandangan Muhammad bin Harb[9].
Ia dinukil dari Ibnu ‘Asaakir dan ulama-ulama dari berbagai madzhab,
berkata, Aku mendatangi kota Madinah dan menziarahi kubur Nabi saww lalu
aku duduk di hadapan kubur beliau saww. Sekonyong-konyong aku melihat
satu orang desa yang datang ke kubur beliau saww dan melakukan ziarah.
Setelah itu ia berkata, “Wahai paling afdhalnya rasul, Tuhan telah
menurunkan al-Qur-an yang haq kepadamu dan berfirman, “
Kalau
orang-orang yang menganiaya diri mereka itu –berdosa- datang kepadamu
–Muhammad- dan memohon ampun kepada Allah dan Rasulpun memintakan ampun
untuk mereka, maka mereka pasti mendapakan Allah Maha Penerima Taubat
dan Maha Pengasih”. Dan aku telah menganiaya diriku sendiri. Karena
itu aku datang agar engkau memintakan ampunan untukku.” Setelah itu
terdengar suara dari arah kubur yang mengatakan “kamu telah diampuni.”
Riwayat ini diriwayatkan oleh Samhuudi dengan dua jalur yang berakhir
kepada Imam Ali bin Abi Thalib as.
[10]
Hadits
Sangat banyak hadits yang telah diriwayatkan dari berbagai jalur (sanad) dan berbagai makna.
a. Rasulullah saww bersabda, “Barang siapa yang menziarahi kuburku, maka mensyafaatinya merupakan kemestian bagiku.”
[11]
Hadits ini, memiliki 40 sumber di kitab-kitab Ahlusunnah. Dan
pengarang kitab-kitab tersebut adalah para haafizh (setidaknya menghafal
seratus ribu hadits lengkap dengan perawi-perawinya, lihat di jilid
satu, penj.) dan imam hadits, seperti:
- ‘Ubaid bin Muhammad al-Warraaq Nisyaaburi (wafat 255 H)
- Ibnu Abi al-Dun-yaa Abu Bakr al-Quraysyii (wafat 281 H)
- Dulaabi Raazii dalam kitab al-Kun-ya wa al-Asmaa’ (wafat 310 H)
- Ibnu Khaziimati dalam kitab shahihnya (wafat 311 H)
- Abu Ja’far al-‘Uqailii (wafat 322 H)
- Abu Ahmad bin ‘Uddaa dalam kitabnya al-Kaamil (wafat 360 H)
- Daaru Quthnii dalam kitab Sunannya (wafat 385 H)
- Al-Maawardii dalam kitabnya al-Ahkaamu al-Sulthaniyyati (wafat 450 H)
- Ibnu ‘Asaakir dalam kitab Tarikhnya bab “Siapa Yang Menziarahi Kuburnya”[12] (wafat 571 H)
- Taqiyyu al-Diin Sabki dalam kitabnya Syifaa-u al-Saqaam[13] (wafat 756 H)
Allaamah Laknowi berkata, siapa yang berusaha melemahkan hadits
“siapa yang menziarahiku maka wajib baginya surga.”, maka ia telah
kehilangan akalnya. Dan barang siapa yang ingin mengetahui kerincian
pembahasan ini, hendaklah merujuk ke tulisanku yang berjudul “
Ziyaaratu al-Qabri al-Nabawi”.
Layak dikatakan bahwa perawi dari hadits “siapa yang menziarahi
kuburku, maka mensyafaatinya merupakan kemestian bagiku”, dipercaya dan
tidak diragukan sampai kepada Musa bin Hilaal. Tentang dirinya,
dikatakan oleh Ibnu ‘Uddaa: Semoga tidak ada masalah dengannya, karena
dia adalah salah satu dari Masyaayikh (tempat mengambil hadits, pentj.)
dari Ahmad bin Hanbal, sedang Ahmad bin Hanbal hanya mengambil dari
orang dipercaya (
tsiqah)
[14]. Orang yang mempermasalahkan hadits itu, juga menyatakan hal seperti yang dinyatakannya ini
[15] (artinya, mengakui keshahihan hadits tersebut, pentj.).
Sabki membawa bukti-bukti tentang keshahihan sanad (perawi) hadits di
atas, dan -setelah itu- mengatakan: Dengan semua penjelasan yang telah
kami tulis ini, maka menjadi jelas bahwa kalaulah kita tetap
mempermasalahkan keshahihan hadits ini, setidaknya, paling rendahnya
derajat hadits tersebut adalah “Hasan’ (baik dan dapat diamalkan,
pentj.).
Ia juga meneruskan, dengan semua dalil-dalil ini, atau bahkan dengan
sedikit saja dari dalil-dalil itu, menjadi jelaslah kebohongan
orang-orang yang telah mengatakan bahwa semua hadits-hadits tentang
ziarah –kubur- itu adalah hadits-hadits palsu (
maudhuu’).
Apakah dia –Ibnu Taimiyyah dan golongannya yang mengharamkan ziarah
kubur Rasulullah saww dan yang lainnya- tidak malu terhadap Allah dan
RasulNya ketika mengatakan kata-kata yang tidak pernah dikatakan oleh
orang-orang sebelumnya, baik awam atau alim atau bahkan ahlulhadits
(yang melarang pembahasan akidah dengan akal, pentj.) sekalipun?
Subhaanallah. Sejauh yang kami tahu –dari semua
ahlurrijal– tak
seorangpun yang mendustakan Musa bin Hilaal dan orang-orang yang
menjadi perawi dari hadits ini. Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin
seorang yang mengaku muslim, mengijinkan dirinya sendiri untuk
mengatakan bahwa hadits-hadits tentang ziarah ini adalah palsu??!
[16]
b. Rasulullah saww bersabda, “Barang siapa yang dengan niat
berziarah, ia datang –ke kuburku- maka sudah semestinya aku menjadi
pemberi syafaat kepadanya di hari kiamat kelak.”
Hadits ini memiliki 16 sumber dari kitab-kitab Ahlussunnah Waljama’ah yang diantaranya sebagai berikut:
- Thabraanii (wafat 360 H) dalam kitabnya al-Mu’jamu al-Kabiir.
- Haafizh bin al-Sakan al-Baghdaadii (wafat 353 H) dalam kitab al-Sunan al-Shahhaah.
- Daaru al-Quthnii (wafat 385 H) dalam kitabnya yang berjudul Amaalii.
- Abu Na’iim Ishfahaanii (wafat 430 H).
- Imam Ghazaalii yang bermadzhab al-Syaafi’ii (wafat 505 H) dalam kitabnya yang berjudul Ihyaa-u al-’Uluum.[17]
c. Rasulullah saww bersabda, “Barang siapa yang pergi haji, lalu ia
menziarahiku setelah matiku, maka seperti telah menziarahiku dikala
hidupku.”
[18]
Hadits ini diwirayatkan dari Ibnu Umar secara
Marfuu’. Hadits ini memiliki 25 sumber di kitab-kitab Ahlussunnah Waljama’ah. Sebagiannya adalah seperti berikut ini:
- Syaibaanii (wafat 303 H).
- Abu Ya’laa (wafat 307 H) dalam kitab Musnadnya.
- Baghwii (wafat 317 H).
- Ibnu ‘Uddaa (wafat 364 H) dalam kitabnya yang berjudul al-Kaamil.
- Baihaqii (wafat 458 H) dalam kitab Sunannya.
- Ibnu ‘Asaakir (wafat 571 H) dalam kitab Tariikhnya.
d. Rasulullah saww bersabda, “Barang siapa yang pergi haji, akan
tetapi ia tidak menziarahiku, maka ia telah memutus hubungan denganku.”
Hampir semua haafizh
[19] meriwayatkan hadits ini, seperti:
- Samhuudii (wafat 911 H) dalam kitabnya Wafaa-u al-Wafaa’.
- Daaru al-Quthnii (wafat 385 H). Ia dalam kitab haditsnya itu,
meriwayatkan hadits-hadits yang tidak diriwayatkan oleh Malik dalam
kitabnya yang berjudul al-Muwaththa’.
- Qastilaani (wafat 923 H) dalam kitabnya yang berjudul al-Mawaahibu al-Laduniyyatu.
e. Rasulullah saww bersabda, “Barang siapa yang memiliki kemampuan
untuk menziarahiku, akan tetapi ia tidak datang menziarahiku, maka tidak
ada uzur baginya.”
[20]
Perbuatan Para Shahabat
- Umar bin Khaththaab, setelah kembali dari menaklukkan Syaam (Suria)
dan memasuki kota Madinah, pertama kali yang dilakukannya adalah pergi
ke masjid Nabi, lalu melakukan shalat dan setelah itu mengucap salam
kepada Nabi saww.[21]
- Ibnu Umar bin Khaththaab setiap pulang dari bepergian jauh, selalu
datang ke kubur Nabi saww dan mengucap, “salam padamu wahai Rasul, salam
padamu wahai Abu Bakar, salam padamu wahai ayah.”[22]
- Ibnu Umar bin Khaththaab berdiri di samping kubur Nabi saww dan mengucap salam kepada beliau.[23]
- Ibnu ‘Aun berkata, seseorang bertanya kepada Naafi’: “Apakah Ibnu
Umar mengucap salam ke kubur Nabi saww?” Naafi’ menjawab, “benar
demikian. Aku melihatnya seratus kali atau lebih, datang ke kubur Nabi
saww dan berdiri di sampingnya lalu mengatakan, salam atas Nabi saww”[24]
- Abu Haniifah meriwayatkan dari Ibnu Umar, “adalah sunnah mendatangi kubur Nabi saww dari arah kiblat lalu membaca: ….”
Ini semua, adalah contoh saja dari perbuatan para shahabat. Dan
almarhum allaamah Amiinii, menukil lebih dari empat puluh pandangan
ulama ahli fikih Sunni yang menyatakan kesunnahan ziarah pada kubur Nabi
saww, dan mereka juga mengajari cara atau adab ziarah itu dalam
kitab-kitab mereka.
[25]
Akal
Akal menegaskan, menghormati orang yang dimuliakan Tuhan adalah
kebaikan. Ziarah adalah suatu penghormatan. Ziarah kepada Nabi saww yang
merupakan penghormatan pada beliau, juga termasuk syiar Tuhan yang
jelas boleh dan bahkan baik. Karena perbuatan itu bertentangan dengan
keinginan para musuh dan penentang.
Berdalil dengan Hadits Syaddu al-Rihaal
Ibnu Taimiyyah, dalam rangka melanjutkan tuduhannya kepada Syi’ah,
berkata, “Mereka –Syi’ah- sebagaimana para jemaah haji yang menunaikan
hajinya di Kabah, juga melakukan hal itu di pekuburan suci mereka
(kuburan para imam-imam maksum dan para shalih). Sepertinya, ziarah
kubur ini merupakan ciri khusus orang-orang Syi’ah Imamiyyah saja.
Selain madzhab mereka, tidak ada yang melakukan perbuatan tersebut.”
Ibnu ‘Abdu al-Wahhaab juga mengkhayal bahwa ziarah kubur Nabi saww
dan para orang shalih ini, adalah haram. Dan untuk keharamannya itu, ia
berdalil dengan hadits. Ia berkata, “Ziarah nabi adalah sunnah. Akan
tetapi bepergian untuk selain ke Masjid al-Haraam, Masjid al-Nabi saww
dan Masjid al-Aqshaa, adalah tidak boleh.
Karena Nabi saww bersabda, “Jangan menyiapkan apapun untuk bepergian
(dan jangan bepergian) kecuali untuk tiga tempat: al-Masjid al-Haraam,
Masjidku dan Masjid al-Aqshaa!.”
[26]
Karena itu berdasarkan hadits ini, ia mengharamkan bepergian yang disebabkan untuk ziarah.
Menolak Dalil Wahhabiah
Pengecualian dalam hadits itu adalah pengecualian yang tidak memiliki
jenis yang dikecualikan darinya (mufarragh). Artinya, jenis atau
golongan yang dikecualikan tidak disebut dalam haditsnya. Sesuai dengan
kaidah bahasa Arab, sudah pasti ada kata yang tidak disebutkan dalam
kalimat itu (taqdiir), akan tetapi dimaksudkan dalam makna, hingga
hadits memiliki arti yang sempurna. Karena itu ada dua kemungkinan dalam
memahami taqdiir itu (kata yang tidak diterakan akan tetapi dimaksudkan
tersebut):
- Kata yang tidak disebutkan itu adalah “masjid”.
- Kata yang tidak disebutkan itu adalah “tempat”.
Kalau yang tidak disebutkan secara lahiriah itu adalah “masjid”, maka
hadits itu akan bermaksa seperti ini: “Tidak boleh melakukan perjalanan
–untuk melakukan shalat dan sebagainya- ke suatu masjid, kecuali kepada
tiga masjid.”
Dengan demikian, pengecualian yang terbatas pada tiga masjid itu
adalah pengecualian yang nisbi atau terbatas (pengecualian yang “Nisbi”
adalah pengecualian dari golongan tertentu saja. Misalnya pengecualian
di hadits yang kita bahas itu, adalah pengecualian dari jenis atau
gologan masjid saja. Tidak termasuk tempat-tempat lainnya. Dan lawan
dari pengecualian “nisbi” ini adalah pengecualian “Hakiki”. Yakni
benar-benar mengecualikan dari semua tempat. Apapun saja, pentj.) dan
tidak hakiki atau mutlak. Artinya, poros bagi pelarangan dan pembolehan
Nabi saww itu bertumpu pada “masjid”. Karena itu, bepergian ke kubur
Nabi saww tidak termasuk golongan larangan yang kemudian dikecualikan
kepada tiga masjid itu. Yakni, secara obyek, tidak termasuk golongan
yang dilarang.
Hadits itu, memiliki makna –seperti ini: “Seseorang tidak boleh
bepergian ke suatu kota, hanya untuk shalat di masjidnya itu. Karena
pahala shalat di masjid luar kota itu, tidak berbeda dengan pahala
shalat di masjid yang ada di kotanya sendiri. Akan tetapi pahala shalat
di tiga masjid yang dikecualikan itu, berbeda dan lebih besar, hingga
layak untuk didatangi walau harus menempuh perjalanan (
syaddu al-rihaal).”
Inilah arti pengecualian dari golongan yang dikecualikan. Jadi hadits
di atas itu, membicarakan tentang bepergian ke suatu “masjid”, bukan ke
tempat-tempat lainnya.
Akan tetapi kalau golongan yang darinya dikecualikan itu adalah
“tempat”, maka penyimpulan Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya, bisa
dibenarkan –dari sisi bahasa. Karena hadits itu akan bermakna seperti
ini: “Tidak boleh bepergian ke tempat manapun kecuali ke tiga masjid.”
Karena itu, pengecualian yang ada pada hadits tersebut adalah
pengecualian hakiki (benar-benar hanya mengecualikan tiga tempat dari
semua tempat, bukan hanya dari golongan tertentu saja seperti masjid,
penj.).
Akan tetapi, kalau kata yang tidak disebutkan itu (
taqdiir)
adalah “tempat”, maka ia memiliki konsekuensi yang tidak bisa diterima
(isykal atau masalah) dan tidak juga ada jalan keluarnya. Di kelanjutan
bahasan ini, kami akan menerangkan masalah-masalah (problem) yang
merupakan konsekwensi tersebut.
Karena itu, maka hanya
taqdiir (masjid) pertamalah yang bisa
diterima. Karena menaqdiirkan kata masjid (tidak menerakan kata masjid,
tapi memaksudkannya, penj.), dan menjadikannya golongan yang darinya
dikecualikan, adalah pahaman yang lebih cepat datangnya ke pemahaman
pendengarnya secara umum. Dan lahiriah dari hadits itupun memaksudkan
yang demikian. Hal itu, karena antara hukum dan obyek hukumnya, memiliki
keserasian dan menjadi seirama. Beda halnya kalau yang ditaqdiirkan itu
adalah “tempat”. Karena itulah, maka hadits tersebut tidak berhubungan
sama sekali dengan bepergian ke tempat-tempat mulia lainnya (kubur Nabi
saww, para imam dan orang-orang shalih) dan pekuburan-pekuburan serta
tempat-tempat yang lain.
Kritikan-kritikan
Pertama. Qastilaani berkata, “Golongan yang darinya
dikecualikan di hadits ini adalah ‘Mufarragh’ (tidak disebutkan). Dan
mengambil kata “tempat” sebagai golongan yang darinya dikecualikan,
menyebabkan haramnya bepergian ke semua tempat selain dari tiga tempat
itu. Seperti bepergian ke kota dimana di sana ada orang shalihnya atau
teman. Atau bepergian untuk menuntut ilmu, bisnis, rekreasi dan
semacamnya.
Keharaman itu, karena pengecualian tiga tempat tersebut dari semua tempat -bukan dari golongan masjid saja.
Taqdiir
seperti itu, menjadikan pengecualian itu menjadi umum dan meliputi
semua tempat tanpa kecuali. Akan tetapi kalau kata yang tidak disebutkan
dalam hadits itu (taqdiir) adalah “masjid”, maka keharaman bepergiannya
tidak akan meliputi semua tempat secara keseluruhan.”
[27]
Kedua. Semua madzhab Islam sepakat (ijma’) bahwa
hukum bepergian itu adalah halal, baik untuk bisnis, mencari ilmu,
jihad, ziarah pada ulama atau bahkan untuk rekreasi. Karena itu, kalau
kata yang tidak disebutkan dalam hadits itu (yakni golongan yang darinya
dikecualikan) adalah “tempat”, maka bisa mengakibatkan haramnya
bepergian dengan alasan-alasan di atas. Dan hal ini, bertentangan dengan
ijma’ semua madzhab kaum muslimin.
Dengan demikian, dapat diyakini bahwa kata yang tidak disebutkan tapi
dimaksudkan itu (taqdiir) adalah kata “masjid”. Jadi, maknanya:
“Tidak semestinya bepergian ke suatu masjid -di luar kota- kecuali ke tiga masjid.”
Karena itu, hadits tersebut tidak berhubungan dengan bepergian ke
tempat-tempat ziarah, khususnya ziarah ke kubur Rasulullah saww dan,
apalagi pengharamannya.
Ketiga. Bahkan, sekalipun kata yang
tidak disebutkan itu adalah “masjid”, tetap tidak bisa diamalkan.
Karena sesuai dengan kemungkinan pertama ini, maknanya adalah tidak
boleh bepergian untuk mendatangi masjid kecuali kepada tiga masjid yang
telah dikecualikan itu. Padahal, dalam riwayat dikatakan bahwa Nabi saww
dan para shahabatnya, setiap hari sabtu, selalu mendatangi masjid
Qubaa. Sementara jarak masjid Qubaa dengan kota Madinah sekitar 12 km,
dan ia bukan dari tiga masjid yang dikecualikan itu. Dengan demikian,
sesuai dengan hadits pertama, maka bepergian ke masjid Qubaa ini juga
harus diharamkan. Dan kita tahu bahwa tidak seorangpun dari kaum muslim
yang mengatakannya.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar yang mengatakan bahwa Nabi saww setiap
hari Sabtu, selalu mendatangi masjid Qubaa, baik dengan berjalan kaki
atau menunggang binatang. Dan dia sendiri juga melakukan hal yang sama.
[28]
Keempat. Bilal mengadakan persiapan safar (syaddu
al-rihaal), kemudian ia melakukan perjalanan untuk menziarahi Nabi saww.
Ibnu ‘Asaakir meriwayatkan, “Ketika ‘Umar kembali dari Baitu
al-Muaqaddas, dan melewati daerah yang bernama Jaabiyah, Bilaal meminta
kepada ‘Umar untuk membiarkannya tinggal di Syaam (Suriah). ‘Umar
mengabulkan permintaannya dan membiarkannya tetap tinggal di Syaam.”
Ibnu ‘Asaakir melanjutkan, “setelah itu –lama berselang- Bilaal
bermimpi Rasulullah saww dan mengatakan: ‘Kebencian apa gerangan ini
wahai Bilaal, apakah belum waktunya kamu menziarahiku?’ Bilaal bangun
dalam keadaan sedih dan takut. Iapun segera menunggangi kudanya dan
memicunya menuju kota Madinah. Sesampai di Madinah, ia langsung pergi ke
kubur Nabi saww dan menangis sambil mengusap-usapkan pipinya –tabarruk-
ke kubur beliau. Kala itu, Hasan as dan Husain as mendekatinya.
Bilaalpun merangkul keduanya dan menciuminya. Imam Hasan as dan Husain
as berkata kepadanya: ‘Kami rindu pada suara adzanmu.’
Ketika Bilaal mengucap ‘Allahu Akbar’ Madinah menjadi tergetar.
Ketika mengucap ‘Asyhadu an laa ilaaha illallaah’ goncangan Madinah
menjadi semakin dakhsyat. Dan ketika Bilaal mengucap ‘Asyhadu anna
Muhammadan Rasuulullaah’ para wanita yang tinggal di kemah-kemahpun
keluar dan berteriak: ‘Nabi saww telah keluar dari kuburnya.’ Setelah
Rasulullah wafat, Madinah tidak pernah menangis dan histeris seperti
kala itu.”
[29]
Haafizh ‘Abdu al-Ghanii dan yang lainnya berkata, “Bilaal, setelah
wafat Nabi saww hanya sekali mengumandangkan adzan –pada waktu datang ke
Madinah untuk menziarahi kubur Nabi saww.”
[30]
Sabkii berkata, “Dasar kami untuk menghalalkan ziarah kubur Nabi
saww, bukan mimpi Bilaal. Akan tetapi dasar kami adalah perbuatan Bilaal
itu sendiri. Ia melakukan ziarah tersebut di jaman pemerintahan ‘Umar
dimana pada waktu itu para shahabat besar masih hidup. Dan sudah tentu
kejadian itu, tidak mungkin tertutup dari mereka. Sementara itu, tidak
satupun dari mereka yang memprotes atau menyalahkan Bilaal. Dengan ini,
mimpi Bilaal tersebut hanyalah sebagai penguat saja, bukan dasar
dalilnya.
[31]
Dalam kitab
Futuuhu al-Syaam dikatakan, ketika ‘Umar
melakukan perjanjian damai dengan masyarakat Baitu al-Muqaddas, Ka’bu
al-Ahbaar datang padanya dan memeluk agama Islam. ‘Umar sangat senang
dengan masuknya dia ke dalam agama Islam. Setelah itu ‘Umar berkata
kepadanya: “Apakah kamu mau menyertaiku pergi ke kota Madinah dan
menziarahi kubur Nabi saww untuk mengambil manfaat –barakah- darinya?”
Ka’bu al-Ahbaar menerima tawarannya. Ketika ‘Umar sudah sampai di kota
Madinah, pertama kali yang ia lakukan adalah masuk ke dalam masjid
Madinah dan mengucap salam kepada –kubur- Nabi saww.
[32]
Kelima. Telah diriwayatkan secara mustafiidh (yang
riwayatnya melebihi 2 atau 3 jalur sanad, pentj.) tentang ‘Umar bin
‘Abdu al-‘Aziiz bahwa: Ia pernah mengirim orang dari Syaam (Suriah) ke
kota Madinah –hanya- untuk mengucap salam kepada Nabi saww.
[33]
Sikap Para Ulama terhadap Pikiran Ibnu Taimiyyah
1. Qastilaanii
Ia berkata, “Perkataan Ibnu Taimiyyah tentang pelarangannya terhadap
ziarah Nabi saww adalah paling buruknya sesuatu yang telah diriwayatkan
darinya.”
[34]
2. Naabulusii
Ia berkata, “Hal ini adalah bukan awal petaka dari Ibnu Taimiyya dan
para pengikutnya. Karena ia telah mendosakan orang yang melakukan
perjalanan ke Baitu al-Muaqaddas. Begitu juga ia melarang orang untuk
bertawassul (berperantara) kepada Allah melalui para nabi atau wali.
Semua ini, adalah hal-hal yang menunjukkan tentang kegilaannya yang
memalukan itu dimana telah menyebabkan semua ulama secara keras
menentangnya. Seperti al-Hashnii yang telah menulis kitab secara mandiri
dalam menentang Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya. Dalam kitabnya
itu, ia dengan tegas telah mengafirkannya- Ibnu Taimiyyah.”
[35]
3. Imam Ghazaalii
Ia berkata, “Kitab: Rahasia haji dan termasuk di dalamnya ziarah
kubur Nabi saww, shahabat, taabi’iin, ulama dan para wali. Maka barang
siapa –seperti Nabi saww- yang bisa ditabaruuki di masa hidupnya, ia
juga bisa ditabarruki di masa wafatnya. Dan dibolehkan melakukan
Syaddu al-Rihaal
(mempersiapkan bekal untuk bepergian jauh –dan pergi. penj.) untuk
tujuan tabarruk ini. Dan hadits yang mengatakan bahwa tidak boleh
bepergian kecuali kepada tiga masjid itu, tidak bisa mencegahnya. Karena
hadits itu adalah larangan bepergian untuk masjid yang selain dari yang
tiga tersebut (Masjidu al-Haraam, Masjidu al-Nabii dan Masjidu
al-Aqshaa, penj.).”
[36]
4. ‘Uzzaamii
Ia yang bermadzhab Syaafi’ii berkata, “Orang ini –Ibnu Taimiyyah-
sangat benari sekali sekalipun kepada Rasulullah saww dengan berkata:
Melakukan perjalanan untuk menziarahi Nabi saww adalah dosa.”
[37]
5. Haitsamii
Ia yang bermadzhab Syaafi’ii, setelah membuktikan kebolehan ziarah
kubur Nabi saww dengan dalil-dalil, berkata: Kalau kalian mengajukan
masalah dan mengatakan, “Bagaimana bisa kamu mengatakan bahwa kebolehan
ziarah kubur Nabi saww itu adalah ijma’ dan kesepakatan semua ulama,
padahal Ibnu Taimiyyah (dari generasi akhir madzhab Hanbali) mengingkari
kebolehan ziarah dan melarang perjalanan untuk ziarah? Sabkii juga
telah menukil dari tulisan tangan Ibnu Taimiyyah sendiri yang telah
mengajukan dalil panjang lebar tentang penolakannya terhadap kebolehan
ziarah Nabi saww itu, dan bahkan dia mengira bahwa keharaman terhadap
bepergian untuk ziarah itu adalah ijma’ dan kesepakatan ulama yang mana
menyebabkan shalat dalam perjalan tersebut harus dilakukan secara penuh
(tidak qashar). Begitu pula ia mengatakan bahwa semua hadits tentang
ziarah itu adalah hadits-hadits palsu dimana pandangannya ini diikuti
oleh orang-orang yang lebih akhir darinya?”
Untuk menjawab hal ini kami akan mengatakan, “Memangnya siapa Ibnu
Taimiyyah itu hingga pandangannya mesti diperhatikan? Atau siapa dia
hingga bisa dianggap tokoh yang bisa dijadikan tempat merujuk dalam
masalah-masalah ke-Islaman dan bisa dijadikan penoda bagi ijma’ dan
kesepakatan ulama yang telah ada? Sangat banyak ulama yang menelusuri
pandangan-pandangan sesatnya dan dalil-dalil lemahnya dimana membuat
gonjang-ganjing pandangan jahilnya serta khayal-khayalnya yang gila itu
menjadi sangat jelas terbukti.”
[38]
Kesimpulannya adalah hadits-hadits tentang hal ini –kebolehan ziarah
dan bepergian karenanya- yang telah diriwayatkan oleh para haafizh (yang
setidaknya hafal seratus ribu hadits lengkap dengan perawinya) dan para
ulama hadits Ahlussunnah, adalah sampai ke derajat Istifaadhah (hadits
shahih yang melebihi 2 atau 3 riwayat) dan bahkan sampai ke tingkat
Mutawaatir.
Selain itu –bukti kebolehannya juga- adalah perbuatan shahabat, dan
ziarahnya Bilaal serta bepergiannya untuk ziarah kubur Nabi saww itu
dimana sudah tentu diketahui oleh para shahabat besar yang lainnya, baik
dengan melihat atau mendengarnya, sementara tak satupun dari mereka
yang memprotes dan menyalahkannya.
Begitu pula –sebagai bukti- adalah permintaan ‘Umar kepada Ka’bu
al-Ahbaar –di Suriah- untuk menziarahi kubur Nabi saww –di Madinah-
dimana tidak ada satu shahabatpun juga yang memprotes dan
menyalahkannya.
Semua kejadian-kejadian itu, adalah paling kuatnya dalil bagi
kebolehan ziarah kubur, terlebih kubur Rasulullah saww dimana bahkan
selain menunjukkan kebolehannya, juga menunjukkan kepada keutamaan dan
kesunnahannya. Karena pada sebagian riwayatnya berisikan perintah untuk
melakukan ziarah kubur dimana semua ulama –Ahlussunnah- memahaminya
sebagai kesunnahan. Bahkan sampai-sampai Ibnu Hazm menyimpulkannya
sebagai hukum wajib. Yakni setidaknya, seorang muslim dalam sepanjang
umurnya, harus menziarahi kubur Nabi saww walaupun hanya sekali.
[39]
6. Syaikh Ahmad Qastilaanii
Ia berkata, “Ketahuilah bahwa ziarah kubur Nabi saww adalah paling
besarnya cara bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan juga
merupakan paling tingginya derajat ketaatan dan derajat capaian
kesempurnaan. Dan kalau ada orang yang menentang hal ini, maka ia telah
keluar dari agama Islam, serta telah menentang Tuhan dan RasulNya.
Sebagian ulama besar juga telah menyatakan pernyataan ini. Dan mereka
juga telah menukil perkataan aneh Ibnu Taimiyyah tentang bepergian untuk
ziarah kubur itu.”
[40]
7. Jawaban Dzahabii kepada Hasan bin Hasan
Suatu hari, Hasan bin Hasan melihat seseorang yang berdiri di depan
makam kubur Nabi saww (bangunan kubur Nabi saww) dan mendoakan Nabi saww
serta mengirimkan salam dan shalawat. Hasan melarang orang itu dengan
alasan ilmunya dan dengan dalil sebuah hadits yang berbunyi, “Janganlah
kalian jadikan rumahku sebagai tempat ibadah dan janganlah kalian
jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dimana saja kalian berada, maka
dari sanalah kalian kirimkan salam dan shalawat kepadaku. Karena salam
dan shalawat kalian itu sampai kepadaku.”
Dzahabii menjawab: Riwayat ini adalah Mursal (Mursal adalah hadits
yang sanadnya terputus di perawi akhirnya. Misalnya taabi’iin
meriwayatkan langsung dari Nabi saww padahal tidak pernah melihat
beliau, pentj.), dan karena itu, Hasan yang berdalil dengan riwayat
tersebut adalah batil. Oleh sebab itu, siapa saja yang secara tawadhu’
mendatangi kubur Rasulullah saww dan mengucapkan salam dan shalawat
untuk beliau, maka kebahagiaan baginya. Karena ia –dengan ziarahnya itu-
telah menunjukkan ziarah dan pertemanan yang baik. Dan selain mengucap
salam dan shalawat kepada Nabi saww serta shalat untuk beliau, ia juga
melakukan ibadah yang lain. Karena itu, penziarah mendapatkan dua
pahala. Pertama, pahala ziarah. Ke dua, pahala salam atau shalawat untuk
Nabi saww serta shalat yang dihadiahkan untuk beliau.
Orang yang mengucap salam dan shalawat untuk Nabi saww dari kejauhan,
ia hanya mendapatkan satu pahala. Memang, satu ucapan salam dan
shalawat, akan dibalas Tuhan dengan sepuluh salam dan shalawat untuknya.
Dan barang siapa yang menziarahi Nabi saww dari dekat, akan tetapi
tidak dengan adab yang benar atau menyembah kubur Nabi saww (atau Nabi
saww), maka ia telah melakukan perbuatan yang dilarang [(Kalaulah hadits
pelarangan menjadikan kubur Nabi saww yang mursal di atas itu bisa
dijadikan dalil sebagaimana hadits shahih (dimana tetap tidak bisa),
maka maknanya adalah bukan larangan untuk menziarahi Nabi saww dan
menjadikan kuburan beliau tempat ibadah seperti berdoa dan shalat kepada
Allah. Akan tetapi, larangan menjadikan kuburnya tempat menyembah
beliau sendiri. Jadi, maksudnya adalah: “Jangan jadikan kuburku tempat
menyembahku!”, bukan “Jangan jadikan kuburku tempat menyembah Allah!”.
Karena pahaman seperti ini, selain tidak masuk akal, ia juga
bertentangan dengan banyak ayat dan riwayat sebagaimana maklum. Seperti
ayat yang memerintahkan orang yang telah melakukan dosa dan ingin
mendapat istijabah dalam taubat dan pengampunan dosanya (QS: 4: 64).
Pentj.)] . Memang, sekalipun ia telah melakukan keburukan, akan tetapi
ia juga telah melakukan kebaikan –datang menziarahi Nabi saww- dimana
membuatnya layak mendapat perhatian dan pengajaran terhadap ziarah yang
benar
[41], karena Allah Maha Pengasih.
Ketika seseorang bersedia mengemban kesusahan perjalanan yang
dilakukannya untuk menziarahi Nabi saww, kemudian menyebut nama beliau
sesampainya di tempat, lalu menciumi tembok kuburan sambil menangis,
maka hal inilah yang menyebabkannya layak dikatakan teman Allah dan
NabiNya. Dan pertemanan dengan Allah dan RasulNya adalah tolok ukur
pemisah baginya dari neraka. Karena itu, maka ziarah ke kubur Nabi saww
adalah paling afdhalnya sesuatu yang dapat mendekatkan seseorang kepada
Allah.
Sekarang, kalau ziarah kubur para nabi dan para wali dilarang dengan
alasan hadits “Jangan lakukan perjalanan selain kepada tiga masjid!”
itu, maka kami akan berkata, “Kalaulah bepergian untuk ziarah kubur
adalah dilarang, maka setidaknya melakukan perjalanan untuk Masjid Nabi
saww sudah pasti dibolehkan dimana tidak ada perselisihan di dalamnya.
Dan untuk menziarahi Nabi saww, sudah tentu terlebih dahulu harus masuk
ke dalam Masjidunnabi.
Dan ketika masuk ke dalam masjid, maka sudah selayaknya melakukan
shalat. Kemudian setelah itu membaca shalawat untuk pemilikinya –Nabi
saww.”
8. Pendapat penulis catatan kaki terhadap kitab Dzahabi
Ia dalam catatan kaki kitab
Sairu A’laami al-Nubalaa’,
berkata, “Tujuan penulis dengan perkataannya itu adalah dalam rangka
menolak pandangan Ibnu Taimiyyah yang berkata tentang tidak bolehnya
mempersiapkan bepergian –dan perginya- untuk ziarah ke kubur Nabi saww.
[42]
9. Zainu al-Diian al-Muraaghii
Ia berkata, “Setiap muslim harus meyakini bahwa menziarahi Nabi saww
atau kubur beliau dapat mendekatkan diri kepada Allah swt., karena telah
diriwayatkan dari berbagai hadits yang banyak sekali tentang hal ini.
Allah berfirman,
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ
جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ
لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“
Dan kalau orang-orang yang menganiaya diri itu –berdosa- datang
kepadamu –Muhammad- lalu mereka meminta ampun kepada Allah dan Rasulpun
memintakan ampunan untuk mereka, maka mereka akan mendapati Allah Maha
Penerima Taubat dan Maha Pengasih”[43]
Dari sisi bahwa menghormati Nabi saww tidak bisa berhenti dengan
wafatnya beliau, maka tidak bisa dikatakan bahwa, “Permintaan ampunan
dari Nabi saww dan ziarah pada beliau, hanya dikhususkan pada waktu
beliau masih hidup saja.”
Karena para ulama dan peneliti akan menjawab, “Di akhir ayat itu
dikatakan bahwa mereka -yang mendekati Nabi saww dan meminta ampun itu-
akan mendapatkan Tuhan Maha Penerima Taubat dan Maha Pengasih. Sementara
kepenerimaan taubat ini memiliki tiga syarat:
- Datang ke Nabi saww;
- Meminta ampunan;
- Doa ampunan dari Nabi saww.
Dua bagian pertama, tidak memiliki masalah dan problem sama sekali.
Karena datang dan meminta ampun, tergantung kepada perbuatan setiap
orang yang bersangkutan. Akan tetapi bagian ke tiganya, adalah
tergantung kepada Nabi saww. Di lain pihak, Nabi saww selalu memohonkan
ampunan untuk setiap mukminin karena Tuhan dalam al-Quran telah
memerintahkan beliau untuk itu dengan firmanNya: ‘Mintakanlah ampunan
untuk dosamu dan dosa setiap mukmin dan mukminat!’
[44].
Jadi, kalau ketiga hal itu sudah sempurna, yakni orang yang berdosa itu
datang ke dekat Nabi saww, dan beliaupun memintakan ampunan untuknya,
maka kala itulah Tuhan akan menjadi Maha Penerima Taubat dan Maha
Pengasih.’.”
[45]
(Maksudnya: Karena Nabi saww, sesuai dengan ayat yang memerintahkan
beliau supaya selalu memintakan ampunan untuk para mukminin itu, maka
beliau pasti salalu memintakan ampunan untuk semua mukminin. Di sini
belum ada kepastian terhadap penerimaan Tuhan atas permintaan beliau
itu. Karenanya, maka tolok ukur kepastian pengampunan Tuhan di ayat
tersebut, adalah dua syarat sebelumnya. Yaitu datang kepada Nabi saww
dan meminta ampunan di sisi beliau, pentj.)
Ziarah Kubur dan Tempat-tempat Lainnya
Pembahasan yang telah lalu adalah pembahasan mengenai ziarah ke kubur
Nabi saww. Akan tetapi ziarah ke kubur lainnya, maka dari sisi
kebolehannya, sama dengan ziarah ke kubur Nabi saww, dimana beliaupun
suka sekali pergi menziarahi kuburan dan memerintahkan umat muslimin
untuk melakukannya. Beliau saww menziarahi kubur ibundanya, Aaminah
bintu Wahab as. Dan kehidupan muslimin (
siiratu al-muslimiin) sepanjang sejarahnya juga demikian, yakni menziarahi kuburan muslimin.
Hadits-hadits Ziarah
- Sulaimaan bin Buraidah meriwayatkan dari ayahnya yang meriwayatkan
dari Nabi saww bahwasannya beliau bersabda, “Sebelum ini aku melarang
kalian untuk menziarahi kubur. Ketahuilah, bahwa dari sekarang kalian
harus menziarahi kuburan.”[46]
Syaikh al-Manshuur berkata, “Umumnya ulama memahami dari perintah
Nabi saww untuk menziarahi kubur itu, sebagai kesunnahan (bukan wajib).
Akan tetapi Ibnu Hazm berkata, “Perintah di hadits ini menunjukkan
kewajiban. Karena itu, setiap muslimin dalam sepanjang umurnya,
setidaknya harus menziarah kubur Nabi saww walau hanya sekali.”.”
[47]
- Nabi saww bersabda, “Aku pernah melarang kalian semua untuk
melakukan ziarah kubur. Setelah itu Muhammad telah diijinkan untuk
melakukan ziarah kepada kubur ibunya. Karena itu, setelah ini,
ziarahilah kuburan. Karena ziarah kubur mengingatkan kepada akhirat!”
Semua pengarang kitab hadits shahih, selain Bukhari, telah
meriwayatkan hadits ini. Diriwayatkan dari Turmudzi, “Mayat mengambil
manfaat dari yang menziarahinya. Seperti doa yang dikhususkan untuknya,
al-Quran yang dibacakan untuknya, pahala sedekah yang diberikan padanya.
Dan semua ini, adalah hikmah dari ziarah kubur itu.”
[48]
- Nabi saww bersabda, “Kalian pernah kularang untuk menziarahi kubur.
Akan tetapi setelah itu, sesuatu yang lain telah ditunjukkan padaku.”[49]
- Nabi saww bersabda, “Pergilah ke kuburan keluarga kalian dan
ucapkanlah salam pada mereka. Karena mereka adalah pelajaran bagi
kalian!”[50]
- Nabi saww pergi menziarahi pekuburan orang-orang syahid di daerah yang bernama Ra’su al-Haul
dan bersabda kepada pekuburan itu, “Salam untuk kalian –yang berada di
kuburan- atas kesabaran kalian terhadap apa-apa yang telah menimpa
kalian. Kalian memiliki tempat yang baik.”
Setelah itu Abu Bakar, Umar dan ‘Utsmaan-pun datang. Ketika
Mu’awiyyah juga datang, dan masyarakatpun telah berkumpul di tempat itu,
Nabi saww di hadapan mereka semua mengulang ucapannya lagi dengan
berkata, “Salam untuk kalian semua –yang ada di kuburan- atas kesabaran
yang kalian lakukan.”
[51]
- ‘Aisyah berkata, “Nabi saww pernah keluar rumah menjelang subuh
untuk pergi menziarahi pekuburan Baqii’. Ketika sampai di sana, beliau
berkata: ‘Salam untuk kalian wahai orang-orang yang telah menghuni rumah
iman. Apa-apa yang telah dijanjikan buat kalian telah kalian dapatkan.
Sementara kalian masih di antara kematian dan kebangkitan (barzakh).
Kamipun, kalau dikehendaki Allah, akan menyusul kalian juga. Ya Allah,
ampunilah orang-orang yang dikuburkan di Baqii’ al-Gharqad.’.”[52]
- Ibnu Mas’uud meriwayatkan dari Nabi saww yang bersabda, “Ketahuilah,
setelah ini ziarahilah kuburan, karena membuat kalian tidak perduli
kepada dunia, dan selalu mengingat akhirat!”[53]
- Anas meriwayatkan dari Nabi saww yang bersabda, “Sebelumnya, aku
telah melarang kalian untuk melakukan ziarah kubur. Setelah ini, maka
ziarahilah kuburan, karena ziarah kubur mengingatkan kalian kepada
kematian!”[54]
- Nabi saww bersabda, “Aku pernah melarang kalian untuk melakukan
ziarah kubur. Setelah ini, siapa saja dari kalian yang ingin menziarahi
kubur tertentu, maka lakukanlah. Karena ziarah kubur melembutkan hati,
menangiskan mata dan mengingatkan akan akhirat!”[55]
- Thalhah bin ‘Abdullah berkata, “Kami pergi dengan Rasulullah saww
untuk menziarahi pekuburan syahid. Ketika kami sudah dekat dengan
pekuburan itu, Nabi saww bersabda: ‘Kubur-kubur ini adalah
saudara-saudara kita.’.”[56]
- ‘Aisyah meriwayatkan dari Nabi saww yang bersabda, “Jibril datang
kepadaku dan berkata, ‘Tuhanmu memerintahkanmu untuk mendatangi
pekuburan Baqii’ dan memintakan ampunan untuk mereka!”[57]
Perbuatan Para Shahabat dan Taabi’iin dalam Ziarah Kubur
Perbuatan Hadhrat Faathimah as
- Abu Ja’far as Bersabda, “Faathimah binti Rasul as selalu menziarahi
kubur Hamzah ra. dan memperbaiki kuburnya serta meletakkan batu di
atasnya sebagai tanda.”[58]
- Raziin meriwayatkan dari Abu Ja’far as yang bersabda, “Hadhrat
Faathimah binti Rasul as selalu menziarahi pekuburan syahid dalam dua
atau tiga hari sekali.”[59]
- Dalam riwayat yang lain, tentang ziarah hadhrat Faathimah as ini,
telah diriwayatkan dari Abu Ja’far as dan imam Muhammad al-Baaqir as
yang keduanya meriwayatkan dari Imam Ali bin Husain as dimana dikatakan
juga, “Hadhrat Faathimah as juga melakukan shalat di sana –pekuburan
para syahid- begitu pula berdoa dan menangis. Begitu seterusnya beliau
as lakukan –ziarah setiap dua atau tiga hari sekali itu- sampai beliau
wafat.”[60]
- Ali as Bersabda, “Hadhrat Faathimah as setiap minggu selalu
menziarahi kubur pamannya Hamzah, dan melakukan shalat di sana serta
menangis.”[61]
Perbuatan ‘Aisyah
- Ibnu Abi Maliikah berkata, “Aku melihat ‘Aisyah menziarahi kubur
saudaranya yang bernama ‘Abdu al-Rahmaan, yang dikuburkan di tempat
bernama Habsyaa di Makkah.”[62]
- Ubnu Abi Maliikah berkata, “Suatu hari ‘Aisyah pergi ke arah
pekuburan untuk melakukan ziarah. Aku berkata kepadanya: ‘Tidakkah Nabi
saww telah melarang ziarah kubur?’ Ia menjawab: ‘Benar demikian. Tapi
setelah itu beliau saww menyuruh kita untuk melakukan ziarah kubur.”[63]
Perbuatan Imam Ali al-Sajjaad as
Imam Muhammad al-Baqir as pergi menziarahi kuburan ayahnya, Imam Ali al-Sajjaad as.
[64]
Perbuatan Haasyim bin Muhammad al-‘Amri
Baihaqii meriwayatkan dari Haasyim bin Muhammad al-‘Amri –dari
keturunan ‘Umar bin ‘Ali- yang berkata, “Di kota Madinah, antara
terbitnya fajar shadiq dan terbitnya matahari, ayahku mengajakku pergi
ziarah ke pekuburan syahid. Akupun pergi mengikutinya dari belakang
sampai ke pekuburan. Lalu ayahku dengan suara yang keras mengucapkan,
‘Salam buat kalian semua atas kesabaran kalian. Betapa bagusnya tempat
kalian.’
Ia berkata, “Ketika ayahku mengucap salam itu, aku mendengar jawaban
dari arah pekuburan yang berkata: ‘Wa ‘alika al-salaam wahai Aba
‘Abdillah.’.”
Ayahku menoleh ke arahku dan berkata: ‘Apakah kamu yang menjawabku?’
Aku menjawab: ‘Tidak.’
Lalu ayahku menarikku berdekatan di sebelah kanannya dan ia
mengulangi lagi salamnya. Dan iapun kembali mendengar jawaban yang sama.
Ayahku mengulangi lagi untuk ketiga kalinya, dan iapun tetap mendengar
jawaban itu. Karenanya, ayahku bersimpuh ke tanah dan melakukan sujud
syukur.”
[65]
Perbuatan Yahya ‘Ithaaf
Yahya ‘Ithaaf meriwayatkan dari bibinya yang termasuk wanita
shalihah, ia berkata, “Aku menaiki kuda dan budakku menyertaiku, sampai
ke kuburan Hamzah. Di sana aku melakukan shalat sebanyak yang aku mampu.
Demi Tuhan aku bersumpah, bahwa waktu itu tidak ada seorangpun yang
bisa memanggil atau menjawab panggilan. Budakkupun tetap berdiri di
sampingku sambil memegangi kendali tungganganku. Ketika aku sudah
selesai melakukan shalat, aku berdiri dan mengucapkan: ‘Assalamu
‘alaikum.’ Sambil mengarahkan tangan ke arah kubur Hamzah. Tahu-tahu
seketika aku mendengar jawaban dari dalam kubur. Sebagitu jelasnya
kesadaranku atas terciptanya diriku, sebegitu jelasnya pula aku
mendengar jawaban tersebut. Karena itu semua bulu romaku berdiri.
Setelah itu aku memanggil budakku untuk mendekatkan tungganganku dan aku
menaikinya.”
[66]
Perbuatan Harun al-Rasyiid
Dzahabii meriwayatkan dari seseorang, “Harun al-Rasyiid pergi menunaikan haji.
Setelah itu ia datang ke kota Madinah, dan berkata kepada Yahya bin
Khaalid, “Bawakan orang yang tahu tempat-tempat ziarah di Madinah
kepadaku agar dia menjelaskan kepadaku bagaimana turunnya malaikat
Jibril as kepada Nabi saww dan begitu pula menerangkan bagaimana beliau
saww menziarahi pekuburan para syahid. Lalu ia –Yahya bin Khaalid-
mengirim orang kepadaku untuk datang padanya dan akupun mendatanginya.
Kami bersepakat untuk bertemu lagi di malam berikutnya –untuk melakukan
ziarah. Aku sesuai dengan waktu yang telah disepakati itu, keluar rumah
dengan membawa lentera –dan pergi besama Harun dan Yahya. Di setiap
tempat suci (tempat ziarah) dan pekuburan syahid yang kulewati bersama
mereka berdua, aku selalu membaca doa. Mereka juga mengikuti membaca doa
dan shalat sampai terbit fajar dalam keadaan seperti itu.”
[67]
Kuburan Yang Sudah Diziarahi
Sejarah kehidupan kaum muslimin sejak awal, selalu menziarahi kubur
para shahabat, orang shalih dan orang mukmin. Begitu pula melakukan
tawassul dan tabarruk. Di bawah ini, kami akan membawakan beberapa
contoh, diantaranya:
1. Kubur Bilaal bin Hamaamah Habasyii
Ia adalah tukang adzannya Rasulullah saww dan wafat pada tahun 20 H
di kota Damaskus (Suriah). Di nisannya ditulis nama dan tanggal
wafatnya. Doa di tempat itu termasuk yang bisa mendapatkan istijabah
(kabul). Banyak sekali para tokoh dan orang-orang shalih yang telah
mengalami peristiwa itu (diterimanya doa) dengan menziarahi kubur Bilaal
tersebut dan bertabarruk kepadanya.
[68]
2. Kubur Salmaan ra (wafat 36 H)
Khathiib al-Baghdaadii berkata, “Kubur Salmaan, sampai sekarang ini
jelas dan terkenal. Ia dimakamkan di kota Madaain (Iraq). Kuburannya
dibangung dan selalu ada penjaganya (juru kunci). Aku berulang kali
menziarahi kubur itu
[69]. Ibnu Jauzii meriwayatkan dari Qalaansii dan Samanuun yang berkata: ‘Kami pernah menziarahi kubur Salmaan.’.”
[70]
3. Kubur Ayyuub al-Anshaari wafat tahun 52 H di kota Roma
Haakim berkata, “Masyarakat menjaga kuburannya dan menjadikannya
tempat ziarah. Ketika masyarakat mengalami paceklik, mereka bertawassul
dengannya untuk meminta hujan kepada Allah.”
[71]
4. Kubur kepala imam Husain as di Mesir
Ibnu Jubair (wafat tahun 614 H) berkata, “Kepala imam Husain as
diletakkan di bejana perak dan dimakamkan. Di atasnya dibangun sebuah
bangunan yang megah yang sulit disifati dengan kata-kata dan dimengerti
dengan akal (baca: sangat mengherankan, pentj.). Pertama kali kami
datang ke tempat suci itu, kami lihat di dinding bagian dalam masjid
diletakkan batu yang sangat hitam dan berkilau hingga apapun yang
diletakkan di hadapannya, maka dapat terlihat seperti melihat pada
cermin India. Aku melihat penziarah kepala imam Husain as itu sangat
ramai sekali hingga berjubel. Mata menjadi sangat terperangah melihat
hal itu. Dan penziarah dengan bergilir tanpa henti bertabaruuk dengan
kain yang diletakkan di atas kubur. Air mata mereka begitu berderai
hingga bisa membuat hati menjadi hancur dan batu menjadi rapuh. Semoga
Tuhan memberikan kami barakah dari kubur suci itu.”
[72]
5. Kubur ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziiz Umawi (wafat 101 H)
Ia dikubur di Diir Sam’aan
[73] dan menjadi tempat ziarah.
[74]
6. Kubur imam Musa bin Ja’far as (syahid 183 H)
Beliau as dimakamkan di Kaazhimiyyah (Kaazhimain, Iraq). Khatiib
berkata: “Aku mendengar dari Hasan bin Ibraahiim (tokoh madzhab Hanbali
pada jamannya) yang berkata, ‘Setiap aku menghadapi problem, aku pergi
menziarahi kubur Musa bin Ja’far as dan aku bertawassul dengannya.
Tuhanpun selalu memudahkan urusanku setelah itu’.”
[75]
7. Kubur Imam Jawaad as
Ibnu ‘Imaad berkata, “Abu Ja’far Muhammad Jawaad syahid di Baghdaad
dan dimakamkan di dekat kakeknya Musa bin Ja’far as dimana masyarakat
tak pernah henti menziarahi makam keduanya.”
[76]
8. Kubur imam Ridha as
Muhammad bin Muammal berkata, “Aku bersama imam Ahlulhadits, Abu
Bakar bin Khaziimah dan Abu ‘Alii Tsaqafii serta banyak orang lain dari
para tokoh, pergi ke kota Thuus (Iran) untuk menziarahi kubur ‘Ali bin
Musa al-Ridhaa as. Aku sangat terkejut melihat bagaimana Ibnu Khaziimah
sebegitu tawadhuknya dan sebegitu hormatnya, ketika berada di tepian
kubur beliau.”
[77]
9. Kubur Muhammad bin Idriis al-Syaafi’ii
Ia adalah pemuka madzhab Syaafi’ii yang dikuburkan tahun 204 H di
Qaraafah Shughraa di Mesir. Kuburnya berdekatan dengan daerah yang
bernama Maqtham dan menjadi tempat ziarah.
[78]
10. Kubur imam madzhab Hanbali, Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H)
Dzahabii berkata, “Makam dia di Baghdaad adalah tempat ziarah.”
[79]
11. Kubur Dzi al-Nuun Mishri (wafat 246 H)
Ia dikuburkan di Qaraafah dan di atasnya dibangun sebuah bangunan.
[80]
12. Kubur imam madzhab Hanafi, Abu Hanifah (wafat 150 H)
Kuburnya berada di A’dzamiyyah di Baghdaad dan menjadi tempat ziarah yang terkenal.
[81] Telah dinukilkan dari imam Syaafi’ii yang berkata, “Aku setiap hari Sabtu selalu menziarahi Abu Haniifah.”
13. Kubur Ismaa’iil bin Yuusuf al-Dailamii
Mu’aafii berkata, “Masyarakat menziarahi kuburannya yang terletak di
belakang kuburnya Ma’ruuf Karakhii. Di antara dua kubur itu, hanya
terdapat beberapa kuburan saja. Aku sering sekali menziarahi kubur
tersebut.”
[82]
14. Kubur Mush’ab bin Zubair (wafat 157 H)
Ibnu Jauzii berkata: “Masyarakat menziarahi kuburnya yang berada di Maskan
[83], seperti menziarahi kubur Imam Husain as.”
[84]
15. Kubur Laits bin Sa’ad al-Hanafii (wafat 175 H)
Ia adalah penutan orang-orang Mesir. Dikuburkan di Qaraafah Shughraa dimana kuburnya menjadi tempat ziarah.
[85]
16. Kubur Abu ‘Awwaanah
Kuburnya berada di dalam kota Isfaraain dan di atasnya dibangun sebuah bangunan (makam).
[86]
17. Kubur Isfaraain
Ibnu ‘Asaakir berkata, “Abu ‘Awwaanah di kubur di Isfaraain di tempat
dimana disana juga dikubur seorang alim yang ditabarruki oleh
masyarakat.”
[87]
Ibnu Shaffaar Isfaraaini berkata, “Ketika kakekku sampai ke kuburan
Abu Ishaaq, demi menghormatinya, ia tidak langsung masuk ke dalamnya.
Pertama kali yang ia lakukan adalah mencium tembok luar bangunan
makamnya, lalu sejenak berdiri dalam keadaan menghormati dan
mengagungkan –seperti orang yang memiliki amanat besar di tangannya.
Kemudian setelah itu baru ia masuk melewati pintu makam. Ketika ia sudah
sampai di kubur Abu ‘Awwaanah, ia menghormati dan mengagungkan serta
diam di samping kuburnya dalam waktu yang lama.”
[88]
Kubur Haafizh Abu al-Hasan al-‘Aamiri (wafat 403 H). Masyarakat
bermalam-malam membaca al-Quran dan membaca doa di samping kuburnya. Dan
para penyair dari segala arah membacakan kidungannya dan peringatan
kematianpun dilaksanakan.
[89]
Kubur al-Mu’tamid ‘Alallaah. Dia adalah Abu al-Qaasim Muhammad bin
al-Mu’tadhid al-Lakhami al-Andalusii yang meinggal pada tahun 488 H.
Beberapa penyair berkumpul mengelilingi kuburannya dan membacakan
puisi-puisi pujian terhadapnya. Begitu juga untuk memperingati
kematiaannya mereka mengidungkan puisi-puisi duka dan menangis untuknya.
Salah satu dari penyair itu bernama Abu Bahr. Ia dalam kasidahnya
berkata, “Aku cium tanah kuburmu. Kutundukkan kepalaku untukmu. Kuburmu
adalah tempat untuk membacakan kidungan-kidungan syair.”
Setelah ia selesai membacakan syairnya, ia mengambil tanah kuburnya
–Muhammad- dan mengusap-usapkan ke seluruh badanya. Kemudian iapun
melumuri pipinya dangan tanah kubur tersebut. Orang-orang yang ada di
majlis tarhim (peringatan kematian) itu menangis karenanya.
[90] Sementara itu, tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa mereka telah melakukan kesyirikan.
18. Kubur Nashr bin Ibraahiim Maqdisii
Dia adalah ulama besar madzhab Syaafi’ii yang meninggal pada tahun
490 H. dan dikuburkan di Baabu al-Shaghiir di Damaskus (Suriah).
Kuburnya jalas dan menjadi tempat ziarah.
[91]
19. Kubur Qaasim bin Fiirah al-Syaathii
Pengarang kitab Thabaqaath berkata, “Dia meninggal pada tahun 590 H.
dan dikuburkan di Qaraafah. Kuburnya sangat terkenal dan aku sering
menziarahinya.”
[92]
20. Kubur Ahmad bin Ja’far Khazrajii Bastii (Wafat 601 H)
Pengarang kitab Nailu al-Ibtihaaj berkata, “Sampai saat ini
masyarakat berjejalan menziarahi kuburnya untuk mendapatkan hajat-hajat
mereka –tawassul dengannya kepada Allah- dan aku sendiri lebih dari 500
kali telah menziarahinya serta lebih dari 30 hari aku menginap di
makamnya.”
[93]
21. Kubur Sufyaan al-Tsaurii
Ibnu Hubbaan berkata, “Kuburnya terletak di pekuburan Bani Kulaib di Bashrah (Iraq). Aku pernah menziarahinya.”
[94]
22. Kubur Malik Muzhaffar
Quthubu al-Diin berkata, “Kuburnya selalu diziarahi orang. Aku pernah
menziarahinya di bulan Ramadhan tahun 659 H. dan sekaligus menulis
biorgrafi tentangnya.”
[95]
Contoh-contoh yang telah disebutkan di atas adalah topik-topik yang
diringkas dari kitab-kitab biografi, sejarah dan hadits. Sesuai dengan
kenyataan ini, dapat dipahami bahwa para shahabat Nabi saww dan para
taabi’iin, melakukan ziarah kubur. Terkhusus sekali kubur Rasulullah
saww dimana mereka benar-benar mengambil penting masalah ini. Begitu
juga mereka melakukan perjalanan khusus untuk menziarahi kubur para
imam-imam yang maksum, para shalih, wali serta ulama. Sementara itu
tidak satupun yang pernah menyalahkan mereka.
Dengan semua bukti dan nash-nash ini, maka dalil apa yang bisa
dipergunakan oleh Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya dalam mengharamkan
ziarah kubur tersebut? Apakah orang-orang Syi’ah telah melakukan dosa
karena telah melakukan ziarah sesuai dengan riwayat-riwayat mulia dan
budaya Islam? Bukankah kuburan yang diziarahi kaum muslimin tidak hanya
kuburan para imam-imam maksum Syi’ah? Apakah Ibnu Khaziimah dan temannya
yang bernama Ibnu ‘Alii al-Tsaqafi adalah seorang Syi’ah? Apakah
pemimpin madzhab Hanbaliah yang melakukan ziarah ke kubur Imam Musa as
adalah seorang Syi’ah? Apakah Ibnu Habbaan yang menziarahi kubur Imam
Ridhaa as adalah seorang Syi’ah? Apakah Muhammad bin Idriis (Imam
Syaafi’ii) yang menziarahi kubur Abu Haniifah adalah seorang Syi’ah?
Apakah ‘Aisyah yang menziarahi kubur saudaranya yang bernama ‘Abdu
al-Rahmaan yang dikubur di Makkah, adalah seoarng Syi’ah dan pengikut
Imam Ali as.?
Pandangan-pandangan Ahli Fikih Ahlussunnah
1. ‘Askalaanii
Ia meriwayatkan dari Anas yang berkata, “Nabi saww melewati seoarng
wanita yang sedang menangis di samping sebuah kubur. Nabi saww bersabda
kepadanya: ‘Bertahanlah, sabarlah!’
[96]
Hadits ini telah dijadikan dasar bagi kebolehan menziarahi kubur.
Baik penziarahnya itu seorang lelaki atau wanita. Dan baik yang
diziarahinya itu adalah orang Islam atau kafir. Karena hadits ini tidak
memiliki kerincian tersebut dan bahkan memutlakkan hukumnya.”
[97]
2. Nawawi
Ia berkata, “Umumnya ulama, meyakini kebolehan ziarah kubur.
Al-Maawardii berkata: ‘Tidak boleh menziarahi kubur seorang kafir.’
Padahal kata-kata ini tidak benar. Dalil yang dibawakan oleh
al-Maawardii adalah ayat al-Quran yang berbunyi ‘Dan janganlah kamu
berdiri di atas kuburnya!’ Dalil seperti ini –menggunakan ayat kepada
ketidak bolehan tersebut- tidak sepi dari masalah sebagaimana tidak
tertutup bagi semua pembaca.
Shahih Muslim meriwayatkan dari Nabi saww yang bersabda, ‘Aku pernah
melarang kalian ziarah kubur. Akan tetapi dari sekarang ke depan,
ziarahilah kuburan itu, karena dapat mengingatkan kepada akhirat!’
Sesuai dengan riwayat ini, kelemahan pendapat al-Maawardii dapat
diketahui secara jelas. Karena itulah maka ziarah kubur itu adalah boleh
dan sesuai dengan syariat.”
3. Pandangan Maalik
Ia pernah ditanya tentang ziarah kubur. Dalam menjawab ia berkata,
“Nabi saw pernah melarangnya. Akan tetapi setelah itu beliau
mengijinkannya. Dan kalau siapapun melakukan ziarah kubur dan tidak
berkata apapun kecuali kebaikan, maka hal itu boleh dilakukan.”
[98]
4. Samhuudii
Ia berkata, “Adalah merupakan ijma’ ulama bahwa hukum ziarah bagi
seorang lelaki adalah sunnah sebagaimana yang diisyaratkan oleh
al-Nawawii. Dan kelompok Zhaahiriyyah bahkan mewajibkannya bagi lelaki.”
[99]
Ziarah Kubur Ibu Nabi saww
Shahih Muslim dan Nasaai meriwayatkan dari Abu Hurairah yang
meriwayatkan tentang ziara kubur dengan berkata, Nabi saww menziarahi
kubur ibunya dan menangis. Karena itu, siapapun yang ada di sekitar
beliau pada waktu itu, ikut menangis. Setelah itu beliau bersabda: “Aku
memohon kepada Tuhan agar aku bisa memintakan ampunan untuk ibuku, akan
tetapi Dia Yang Maha Mulia, tidak mengijinkannya. Kemudian aku meminta
ijin untuk menziarahi kuburnya, lalu Dia mengijinkanya. Karena itu,
ziarahilah kuburan, karena mengingatkan kalian akan kematian.”
[100]
Keimanan Kedua Orang Tua Nabi saww
Riwayat-riwayat dan bukti-bukti sejarah, semuanya menyaksikan
keimanan dua orang tua Nabi saww dan mensucikan mereka dari kemusyrikan.
Bagaimana mungkin keduanya itu bisa musyrik sementara mereka, sebelum
terlahir, terestafetkan melalui sulbi-sulbi yang suci (dari syirik).
Bagaimana mereka bisa dikatakan musyrik sementara ayat al-Quran dengan
jelas berkata,
وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ
“
Dan perpindahanmu –Muhammad- melalui orang-orang yang bersujud[101]” (QS: 26: 219) dimana jelas menerangkan kesucian mereka.
Riwayat-riwayat juga menerangkan ayat tersebut dan menjelaskan
tentang kesucian kedua orang tua Nabi saww dimana sebagian contohnya
adalah sebagai berikut:
- Suyuuthii meriwayatkan dari ‘Umar al-‘Adni dan Bazzaar dan Ibnu Abi
Haatim dan Thabrani dan Ibnu Murdawaih dan begitu juga dari Baihaqi
dalam kitabnya yang berjudul Dalaailu al-Nubuwwati yang diriwayatkan
dari Mujaahid. Dikatakan bahwa: Ayat yang berbunyi, “Dan perpindahanmu
melalui orang-orang yang bersujud.” Yakni –bibit Nabi saww- diestafetkan
melalui sulbi seorang nabi ke sulbi nabi yang lainnya sampai
terlahirkan ke dunia ini.”[102]
- Suyuuthii meriwayatkan dari Abu Haatim dan Ibnu Murdawaih dan Abu Naa’im dalam Dalaailu al-Nubuwwati
yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata, “Makna ayat itu
adalah bahwasannya Nabi saww itu diestafetkan melalui sulbi-sulbi para
nabi sampai beliau diahirkan oleh ibundanya.”[103]
- Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata, Aku
bertanya kepada Nabi saww: “Ayah dan ibuku kukorbankan untukmu (ucapan
hormat dan cinta, penj.). Ketika Nabi Adam as berada di surga, Anda
berada dimana?” Nabi saww tertawa hingga gigi bagian belakang beliau
terlihat. Setelah itu beliau bersabda: “Ketika Nabi Adam as berada di
surga, aku berada di sulbinya. Begitu pula ketika ia terlempar ke bumi.
Aku pernah menaiki perahu ketika aku berada di sulbi ayahku, Nabi Nuh
as. Aku juga pernah terlempar ke dalam api ketika ayahku nabi Ibraahiim
dilempar ke dalam api. Sama sekali, ayah ibuku bukanlah orang penzina.
Dan Tuhan selalu meletakkanku di sulbi dan rahim yang suci (dari
kesyirikan). Akupun suci dan terpelihara. Tak ada dua golongan sekalipun
–di dunia ini- kecuali aku berada di sulbi yang terbaik diantara
keduanya. Tuhan, dengan alasan kenabian, telah mengambil janji dariku,
dan dengan melalui Islam Ia menghidayahiku. Aku disebutkan dalam Tauraat
dan Injiil. Tuhan mencahayai semua keberadaan baik di timur atau di
barat dengan cahayaku. Dan Ia mengajarkan kitabNya kepadaku. Namaku di
langit ditinggikanNya, dan Ia mengambil namaku dari pecahan NamaNya. Ia
adalah Mahmuud (Terpuji) yang memiliki ‘Arsy dan aku adalah Muhammad
(Pemuji). Ia telah menjanjikan padaku untuk mencintaiku di tepian telaga
surga dan akan memberikan kepadaku al-Kautsar serta menjadikanku
pemberi syafaat yang pertama. Syafaatku adalah paling awalnya syafaat
yang akan diterimaNya. Aku diutus untuk paling utama umat manusia. Dan
umatku adalah yang memuja Tuhan dan melakukan amar makruf dan nahi
mungkar.”[104]
Hadits ini, jelas menerangkan tentang kesucian para orang tua Nabi
saww, dan membersihkan mereka semua dari kemusyrikan. Karena musyrik itu
adalah najis. Karena itulah Siti Aaminah bintu Wahab ra termasuk
golongan wanita yang bertauhid, mukmin dan suci serta tidak pernah
terkotori oleh kemusyrikan sedikitpun.
Karena itulah dapat diketahui bahwa riwayat yang bersumber dari Abu
Hurairah itu adalah penghinaan terhadap kedua orang tua Nabi saww.
[105]
Syaikh Manshuur dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, “Tidak
Islamnya ibu Nabi saww tidak bertentangan dengan masuknya beliau ke
dalam surga. Karena beliau mengikuti agama fitrahnya. Dan jumhur ulama
berpendapat bahwa orang-orang yang mengikuti agama fitrahnya (tauhid)
–sebelum datangnya agam Islam- akan tetap mendapat keselamatan dari api
neraka. Dan bahkan orang-orang kasyafpun telah menkasyaf bahwa kedua
orang tua Nabi saww itu hidup setelah diutusnya Nabi saww menjadi rasul,
dan keduanya beriman kepada risalah Nabi saww, karena itu, mereka masuk
ke dalam surga.”
[106]
Tafsir ayat yang sudah dijelaskan di atas itu, tidak terkhususkan kepada tafsir Syi’ah.
[107]
Mereka juga tidak hanya mencukupkan dengan menukil riwayat-riwayat
saja. Akan tetapi bahkan mereka, para ulama Ahlussunnah itu –seperti
Suyuuthii- menukil pula perkataan Ibnu Haatim, Ibnu Murdawaih, Abu
Na’iim, Bazzaar, Thabraanii, Mujaahid dan Ibnu ‘Abbaas
[108]. Karena itu, maka apa-apa yang dikatakan oleh Fakhru al-Raazii
[109], yang mengatakan: “Tafsir riwayat pada ayat ini, hanyalah milik ajaran Syi’ah.”
[110], tidak mengena sama sekali.
Catatan
Pembahasan di atas itu, seperti pembahasan tentang penolong dan
pembela Rasulullah saww, yaitu hadhrat Abu Thaalib ra. Siapa saja yang
tahu keberaniannya dalam membela Nabi saww, syair-syair dan
pidato-pidatonya, maka ia akan meyakini keimanannya terhadap tauhid dan
kenabian serta agama beliau. Akan tetapi fanatisme Bani Umayyah dan
permusuhan mereka terhadap Imam Ali as, membuat kenyataan ini menjadi
tertutup, hingga tidak bisa dikatakan: “Abu Thaalib meninggal dalam
keadaan beriman.”
Ibnu Katsir dalam kalimat-kalimatnya yang sangat aneh berkata, “Dari
yang telah diterangkan sebelumnya dapat diketahui bahwa Abu Thaalib
adalah komandan dari para pelindung Nabi saww. Ia mendebat (menghujjah)
semua musuh-musuh hingga mereka melepaskan Nabi saww dan para
pengikutnya dari kejahatan mereka. Ia juga menguntai kata-kata indah
(puisi) sebagai pujian terhadap Nabi saww dan para shahabatnya, begitu
pula tentang cinta dan kasihnya terhadap beliau. Ia sering mendatangi
musuh dan membuat mereka tidak berdaya dengan kefasihan sastra Arabnya
yang merupakan cirri khusus dari keluarga ‘Abdu al-Muthallib. Dalam
semua keadaan itu, Abu Thaalib tahu juga bahwa Rasulullah saww adalah
manusia yang jujur, al-amiin, baik dan berada dalam jalan yang benar.
Akan tetapi, dengan semua itu, dalam hatinya ia tidak beriman kepada
Rasulullah saww.!!!”
[111]
Fanatisme (kefanatikan terhadap diri, suku dan madzhad) Ibnu Katsir
benar-benar dapat dilihat dengan nyata. Seakan-akan ia berada di dalam
hati Abu Thaalib ra. dan mengerti pandangan mata dari para pengkhianat
serta dapat mencium apa-apa yang tersembunyi di dalam hati manusia.
Ia mengakui dengan berkata, “Abu Thaabli ra membenarkan apapun yang
dikatakan Nabi saww.” Akan tetapi setelah itu ia berkata, “Dalam hatinya
tidak beriman kepada Rasulullah saww.” Memang, orang seperti dia ini,
harus mengatakan kata-kata seperti itu. Karena Abu Thaalib adalah ayah
dari Imam Ali as. Coba Abu Thaalib ayah dari Mu’awiyah, maka ia akan
memujanya melebihi Abu Sufyan dan sudah pasti akan menguntai kata-kata
pujian palsu yang lebih banyak untuknya.
[1] Irsyaadu al-Saari, jld. 2, hal. 329.
[2] Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 365.
[3]
Qashr dalam shalat adalah melakukan shalat yang berjumlah empat rakaat
menjadi dua rakaat karena musafir. Akan tetapi kalau bepergiannya itu
untuk melakukan maksiat, maka hukum shalat musafir itu menjadi batal.
Karenanya harus tetap shalat empat rakaat. Ibnu Taimiyyah, ketika
mengharamkan ziarah kubur, maka hukum musafir diankat dari orang yang
melakukan perjalanan untuk ziarah ini. (Pentj.)
[5]
Dalil-dalil tentang kehidupan barzakhi Nabi saww telah dijelaskan di
pembahasan yang telah lalu (lihat jilid pertama dari buku ini!).
[6] Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 366.
[7] Al-Mawaahibu al-Daniyyati Bi al-Manahi al-Muhammadiyyati, jld. 3, hal. 410.
[8] Tharhu al-Tatsriib Fi Syarhi al-Taqriib, hal. 297.
[9]
Dia adalah seorang Haafizh, faqih (mujtahid) dan terkenal dengan
julukan Al-Khuulaani (wafat tahun 194 H). Penulis kitab-kitab hadits
shahih, meriwayatkan darinya. Ibnu Mu’iin dan Muhammad bin ‘Auf
al-Thaa-i i juga mentsiqahkannya (
Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 9, hal. 58).
[10] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1326;
al-Raudhu al-Faa-iq, jld. 2, hal. 380;
Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 257 dan 366;
al-Mawaahibu al-Laduniyyatu, jld. 3, hal. 405;
Mughni al-Muhtaaj, jld. 1, hal. 512;
Kunuuzu al-Haqaa-iq, jld. 2, hal. 108;
Nailu al-Authaar,
jld. 5, hal. 108; Begitu pula Maraaghii menghukumi kebolehan ziarah
Nabi saww dari ayat ini, dan berkata, “Ziarah bisa menyebabkan dekatnya
seseorang kepada Allah. Hal ini telah diriwayatkan dalam berbagai bentuk
periwayatan. Salah satu buktinya riwayat ‘Utbaa –Muhammad bin ‘Abdullah
‘Umar- yang diambil oleh Ibnu ‘Ubainah dimana kedua orang ini adalah
ulama madzhab Syaafi’ii yang mengatakan: Seorang Arab pedesaan datang
kepada Nabi saww dan meminta beliau untuk memohonkan ampunan untuknya.
Ia membacakan puisi pujian terhadap Nabi saww:
Wahai paling mulianya manusia yang dimakamkan di tempat ini
Yang bau wanginya menyeruak, melesat dan mengharumi kota ini
Jiwaku sajian debu-debu kuburmu, gudang kemulian dan kasihmu
Setelah itu ia mengucapkan istighfar dan pergi. Dalam keadaan itu,
kantukku menguasai diriku. Dalam tidur aku melihat Nabi saww dan
berkata: ‘Carilah orang Arab pedesaan tadi itu dan katakan padanya bahwa
Tuhan telah mengampuninya!’ Karena itu aku mencari orang tersebut. Akan
tetapi aku tidak mendapatkanya.” Orang Arab pedesaan ini, dengan
fitrahnya yang polos dan murni, datang ke kubur Nabi saww dan meminta
beliau untuk memohonkan ampunan bagi dirinya. Apakah Ibnu Taimiyyah
tidak menyadari bahwa menziarahi kubur orang-orang besar dan wali Tuhan
itu adalah hal yang fitrah? Atau mungkin fitrah dia itu telah dikotori
oleh kebekuan, permusuhan dan kebencian, seperti yang dikatakan oleh
Sabki: Telah dikotori oleh hawa nafsunya??!
[11] Al-Ghadiir, jld. 5, hal. 93;
Sunanu al-Daar Qathnii, jld. 2, hal. 278;
al-Ahkaamu al-Sulthaaniyyati, jld. 2, hal. 109;
al-Kaamilu Fi al-Dhu’afaa-i, jld. 6, hal. 351;
al-Du’afaa-u al-Kabiir, jld. 4, hal. 170;
al-Syifaa’ Bita’riifi Huquuqi al-Mushthafaa, jld. 5, hal. 194;
Mukhtasharu Taariikhi Damisyq, jld. 2, hal. 406;
al-Targhiibu wa al-Tarhiibu, jld. 2, hal. 224;
Syifaa-u al-Suqqaam, jld. 2;
Kanzu al-‘Ummaal, jld. 15, hal. 651;
Nailu al-Authaar, jld. 5, hal. 108.
[12] Bagian ini telah dihilangkan oleh Ibnu Badraan dalam kitabnya yang berjudul
al-Tahdziib.
[13] Lihat,
al-Ghadiir, jld. 5, hal. 167.
[14] Al-Kaamilu Fi al-Dhu’afaa’, jld. 6, hal. 351.
[15] Al-Ghadiir, jld. 5, hal. 169.
[16] Syafaa-u al-Saqaam,
hal. 8. Taqiyyu al-Diin Sabkii adalah bermadzhab Syaafi’ii, pengarang
kitab Syafaa-u al-Saqaam dan wafat pada tahun 728 .. Karena itu, ia
sejaman dengan Ibnu Taimiyyah (yang lahir pada tahun 661 H, pentj.). Ia
dalam kitab
Syifaa-u al-Saqaam itu mengkritisi kitab Sunannya
Ibnu Taimiyyah, dan dengan dalil-dalilnya yang kuat, telah mematahkan
semua dalil-dalil Ibnu Taimiyyah.
Syifaa-u al-Saqaam, adalah paling bagusnya kitab dalam topik ini –menolak ajaran Ibnu Taimiyyah yang menjadi ikutan Wahhabiah.
[17] Al-Mu’jamu al-Kabiir, jld. 12, hal. 225;
Ihyaa-u al-‘Uluum, jld. 1, hal. 231;
Mukhtasharu Tariikhi Damasyq, jld. 3, hal. 406;
Syifaa-u al-Saqaam, hal. 16;
Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1340;
Mughni al-Muhtaaj, jld. 1, hal. 512;
Al-Mawaahibu al-Laduniyyatu, jld. 4, hal. 571.
[18] Al-Ghadiir, jdl. 5, hal. 246 yang merujuk ke kitab:
Al-Mu’jamu al-Kabiir, jld. 12, hal. 310;
Sunanu al-Daari al-Quthnii,
jld. 2, hal. 278. Hadits ini dinukil secara Marfuu’. Dan hadits Marfuu’
adalah hadits yang satu atau lebih dari perawinya tidak disebutkan.
Akan tetapi memang dinyatakan secara jelas kalau Marfuu’ (sengaja tidak
disebutkan semuanya, penj.). Seperti: dari Kulaini, dari Ali bin
Ibrahim, dari ayahnya, rafa’ahu (secara marfuu’) dari Imam Shadiq as
berkata: “Ini dan itu.” misalnya.
Marfuu’ juga berarti suatu hadits yang pada akhirnya dinisbahkan atau
dihubungkan kepada orang maksum, baik secara Maqthuu’ (yang
diriwayatkan dari taabi’iin, baik berupa perkataan atau perbuatan
mereka, penj.) atau Mursal (yang diriwayatkan dari maksum as sementara
ujung perawinya tidak sejaman dengan maksum dan tidak menyebutkan satu
perantaranya, penj.). Hadits Marfuu’ ini di kalangan Ahulussunnah
waljama’ah, disebut juga dengan hadits shahih.
[19] Nailu al-Authaar, jld. 5, hal. 108;
Syafaa-u al-Saqaam, hal. 27;
Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1342;
al-Mawaahibu al-Laduniyyatu, jld. 3, hal. 404;
Kasyfu al-Khafaa’, jld. 2, hal. 244;
Kitaabu al-Majruuhiin, jld. 3, hal. 73;
Mushannifu ‘Abdu al-Rahmaan, jld. 3, hal. 569;
al-Ghadiir, jld. 5, hal. 100.
[20] Majma’u al-Anhar Fi Syarhi al-Abhar, jld. 1, hal. 157;
Wafaa-u al-Wafaa’,
jld. 4, hal. 1340. Riwayat lainnya yang serupa, juga diriwayatkan oleh
almarhum Amiin dalam kitab Kasyfu al-Irtiyaab-nya (hal. 366-368).
[21] Syifaa-u al-Saqaam, hal. 44.
[22] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1340.
[23] Ibid. Dalam sebagian riwayat dikatakan “Kemudian ia mengucap shalawat kepada Nabi saww”
Ibnu A’tsam dalam kitab
al-Futuuh, jld. 5, hal. 18, berkata:
Suatu malam imam Husain bin Ali as mendatangi kubur kakeknya Rasulullah
saww dan berkata: “Salam padamu wahai Rasulullah. Aku adalah Husain
anak Fathimah as. Aku adalah dari sulbimu dan anak dari putrimu. Aku
adalah cucumu yang merupakan anak dari orang yang telah engkau pilih
menjadi khalifahmu untuk umat ini. Karena itu, maka jadilah saksi wahai
Rasulullah, bahwa umat ini telah menyia-nyiakan aku dan tidak
melindungiku. Ini adalah keluhku padamu hingga aku menjumpaimu.” Pada
malam ke dua, ia –Imam Husain as- datang lagi ke kubur Nabi saww dan
melakukan shalat dua rokaat. Ketika selesai melakukan shalatnya, ia
membaca doa ini: “Ya Allah, ini adalah kubur NabiMu Muhammad saww, dan
aku adalah cucunya. Telah menimpaku suatu masalah yang Engkau sendiri
mengetahuinya. Aku menyukai perbuatan baik dan membenci perbuatan buruk.
Aku memohon padaMu wahai Yang Maha Perkasa dan Pemberi, demi kebenaran
kubur ini dan demi yang dimakamkan di dalamnya, agar apa yang akan aku
lakukan sesuai dengan RidhaMu.” Contoh doa seperti di atas ini, juga
dilakukan oleh Imam Ridha as.
[24] Ibid (atau jld. 4, hal. 183, dalam cetakan yang lain. Penj.)
[25] Al-Ghadiir, jld. 5, hal. 109.
[26] Al-Bukhaarii, jld. 2, hal. 136;
Shahih Muslim, jld. 4, hal. 126;
Ihya-u al-‘Uluum,
karya Ghazali, jld. 2, hal. 247. Muhammad bin ‘Abdu al-Wahhaab berkata,
“Ziarah Nabi saww adalah sunnah akan tetapi bepergiannya harus
diniatkan untuk shalat di Masjidunnabi itu –bukan unuk ziarah.”
[27] Irsyaadu al-Saarii, jld. 2, hal. 332.
[28] Ibid;
Shahih Bukhari,
jld. 2, hal. 137. Shalatnya Nabi saww –yang didahului dengan menempuh
perjalanan itu- tidak hanya dilakukan terhadap masjid Qubaa. Samhuudii,
dalam kitabnya yang berjudul Wafaa-u al-Wafaa’ menyebutkan masjid-masjid
yang di dalamnya Nabi saww pernah melakukan shalat. Kebanyakan
masjid-masjid itu, masih ada sampai pada masanya, yakni abad ke 9 dan
awal abad ke 10 Hijriah. Karena ia menyebutkan semua masjid-masjid itu.
Sangat disayangkan, bahwa banyak sekali peninggalan-peninggalan sejarah
Islam yang tersisa, hancur di tangan para Wahhabi. Ia –Samhuudi- menukil
dari Baghwii yang bermadzhab Syaafi’ii bahwa ia berkata: “Kalau
seseorang bernadzar untuk melakukan shalat di salah satu masjid yang
Nabi saww pernah melakukan shalat di dalamnya, maka shalatnya menjadi
wajib dan ia-pun wajib mengamalkan nadzarnya, sebagaimana kalau
bernadzar untuk melakukan shalat di tiga masjid itu (yang dikecualikan
dalam hadits di atas).”
Setelah itu, Samhuudii menyebutkan masjid-masjid yang dimaksudkan: 1.
Masjid al-Jum’at dimana pertama kalinya Rasulullah saww mendirikan
shalat Jum’at. 2. Masjid al-Fadhiih yang mana sekarang dikenal dengan
masjid Syamsun. Rasulullah saww sewaktu mengepung suku Bani al-Nadhiir,
melakukan shalat di masjid itu. 3. Masjid Banii Zhafar. 4. Masjid
al-Ijaabatu. 5. Masjid al-Fathu. 6. Masjid Banii al-Haraam. 7. Masjid
Qiblataian. 8. Masjid al-Suqyaa. 9. Masjib al-Dzubaab yang juga dikenal
dengan masjid al-Raayatu.
Semua masjid-masjid itu, masih ada di kota Madinah sampai pada masa
Samhuudi. Karena itu ia menyebutkannya. Selain itu, iapun menyebutkan
posisi geografi semua masjid Madinah tersebut. Sementara masjid-masjid
yang sudah tidak ada pada masa Samhuudi adalah sebagai berikut: 1.
Masjid Banii Judailati. 2. Masjid Banii ‘Ubaid yang juga dikenal dengan
masjid al-Khirbatu. 3. Masjid Banii Ghaffaar. 4. Masjid Banii Diinaar.
5. Masjid Banii ‘Uddaa. Di bagian akhir Samhuudii menyebutkan sebanyak
39 masjid.
Para Wahhabi, ketika menguasai Makkah dan Madinah, merusak sebagian
besar masjid-masjid itu. Dan bahkan melarang mendatangi (ziarah) dan
menabarrukinya. Kebanyakan dari masjid-masjid itu dijadikan kandang
binatang –na’udzu billah. Dan sebagian lainnya dijadikan tempat
dibangunnya perpustakaan umum. Banyak sekali orang yang tidak perhatian
terhadap hukum masjid (seperti orang haid atau junub tidak boleh
memasuki masjid, penj.) telah memasuki masjid yang telah dijadikan
perpustakaan itu. Orang-orang seperti Wahhabi yang tidak punya malu ini,
bagaimana mendakwa dirinya sebagai muslim dan pembela Islam, sementara
mereka menghancurkan masjid-masjid itu dan menguasainya serta merubahnya
dari posisi masjid (sebagai kandang atau perpustakaan, penj.)? Apakah
merampas wakaf itu tidak haram? Apakah hal itu bukan merupakan
penghinaan terhadap masjid dan Rasulullah saww? Salah satu dari
penghinaan mereka –Wahhabi- telah menghancurkan masjid al-Thaaif.
Untuk masalah-masalah seperti ini, bisa dilihat di kitab-kitab: (1)
Al-Tawassul bi al-Nabii saww karnya Abu Haamid bin Marzuuq. (2)
Al-Duraru al-Sunniyyatu, karya Sayyid Ahmad bin Zainii Dahlaan. (3)
Syafaa-u al-Saqaam, karya Sabkii. (4)
Tathhiiru al-Fuaad, karya Syaikh Muhammad Muthii’ii. (5)
Al-Minhatu al-Wahbiyyatu, karya Husain Hamlii. (6)
Al-Bashaa-ir, karya Hamadullah al-Daajwaa. (7)
Al-Tabarruk, karya Ayatullah Ahmad Miyaanijii, hal. 219-228.
[29] Usdu al-Ghaabati, jld. 1, hal. 208;
Tahdziibu al-Tahdziib, jld. 2, hal. 408;
Syafaa-u al-Saqaam, hal. 85.
[30]
Ada bukti sejarah bahwa Bilaal, setelah wafatnya Nabi saww
mengumandangkan adzan sebanyak tiga kali. Dua kali di Madinah dan sekali
di Syaam (Suriah). Rujuk kitab
Qaamuusu al-Rijaal, jld. 2, hal. 398.
[31] Taariikhu al-Islaam (‘Ahdu Khulafaa’), jld. 3, hal. 205;
Wafaa-u al-Wafaa’ jld. 4, hal. 1357.
[32] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1358.
[33] Tahdziibu al-Mathaalib, jld. 21, hal. 408.
[34] Irsyaadu al-Saarii, jld. 2, hal. 329.
[35] Al-Hadhratu al-Insiyyatu Fi al-Rihlati al-Qudsiyyati, hal. 129.
[36] Ihyaa-u al-‘Uluum,
jld. 2, hal. 247. Imam Ghazaalii (wafat tahun 505 H.) menambahkan:
“Barang siapapun yang ingin melakukan perjalanan untuk menziarahi Nabi
saww maka di tengah jalan ia harus mengucap salam dan shalawat pada
beliau. Dan ketika pandangannya sudah bisa melihat pohon-pohon dan
tembok-tembok Madinah, hendaknya membaca: ‘Ya Tuhan, ini adalah haramMu
(tempat suci). Jadikanlah ia jempatan dan keamanan bagiku dari api
nerakaMu dan buruknya hisab.’ Setelah ziarah Nabi saww hendaknya
mendatangi pekuburan Baqii’ untuk menziarahi Hasan bin Ali dan setelah
itu hendaknya shalat di Masjid Faathimah.” (Ihyaa-u al-‘Uluum, jld. 1,
hal. 305-396.).
[37] Furqaanu al-Qur aan, hal 133;
al-Ghadiir, jld. 5, hal. 154. ‘Abdu al-Rahmaan al-Jaziirii, penulis kitab
al-Fiqhu ‘Alaa al-Madzaahibi al-Arba’ati,
menulis: “Ziarah kubur Nabi saww adalah paling afdhalnya kesunnahan dan
telah diriwayatkan melalui banyak riwayat. Setelah itu ia menukil
cara-cara atau tatakrama ziarah (Wahhaabiyat, Mabaanii Fikrii wa
Kornomeh ‘Amalii, hal. 122).
[38] Al-Ghadiir, jld. 5, hal. 116;
Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 372;
al-Jawaahiru al-Munazhzham Fi Ziyaarati al-Qabri al-Mukarram, hal. 12.
Catatan: Pengarang kitab Kasyfu al-Irtiyaab menukil suatu hal dari
Muhammad al-Barsii yang dengan kata-kata keras telah menentang pandangan
Ibnu Taimiyyah, dengan berkata: Telah berkata al-Syaikhu al-Imaamu
al-Habru al-Himaamu, sanad dari para ahli hadits, al-Syaikh Muhammad
al-Barsii dalam kitabnya Ittihaafu Ahli al-Irfaan bi Ru’yati al-Anbiyaa’
wa al-Malaaikati wa al-Jaanni: “Ibnu Taimiyyah telah berani-beraninya
–semoga Tuhan mengadilinya- berkata bahwa hukum bepergian untuk ziarah
Nabi saww adalah haram. Dan bahwa shalat di tengah perjalanannya itu
mesti dilakukan secara penuh (karena musafir haram tidak membuat shalat
menjadi qashar, penj.) karena musafirnya adalah haram. Karena itu ia
telah jatuh –dari kehormatan- di mata para ulama dan masyarakat Islam,
hingga jadi sindiran di masyarakat awam, apalagi di kalangan ulama. (
Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 371-372).
[39] Al-Taaju al-Jaami’ li al-Ushuul, jld. 2, hal. 382.
[40] Al-Mawahib Al-Dininyyah, jld. 3, hal. 403 dan 406
[41]
Tidak seperti Wahhabi (yang kita lihat di musim haji misalnya, penj.)
yang begitu melihat orang mendekati kubur Nabi saww dan mengusapnya –dan
apalagi menciumnya- maka langsung dihardik, dihina, dikatakan kafir
atau syirik, serta memukulinya.
[42] Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 4, hal. 484.
[45] Al-Mawaahibu al-Laduniyyatu bi al-Manahi al-Muhammadiyyati, jld. 3, hal. 405.
[46] Shahih Muslim, jld. 3, hal. 65;
Sunan Nasaai, jld. 4, hal. 89;
Mustadraku al-Shahihain karya Muslim, jld. 1, hal. 530, hadits ke: 1385.
Catatan:
Nabi saww pernah melarang ziarah kubur
untuk sementara. Dan setelah itu beliau menyuruhnya. Kemungkinan pertama
adalah karena di awal-awal Islam, kuburan dipenuhi oleh orang-orang
kafir yang telah mati sebelumnya. Karena itu, pelarangan beliau tersebut
dimaksudkan untuk memahamkan kepada muslimin bahwa tidak ada kompromi
antara Islam dan kafir (baca: dalam keyakinan, bukan dalam kehidupan
sosial, penj.). Kemungkinan ke dua, adalah dikhawatirkan di awal-awal
masa keIslaman itu (baca: belum lengkapnya ajaran Nabi saww) muslimin
tidak melakukan ziarah sesuai dengan agama Islam (baca: sesuai dengan
ajaran kafir musyrik, penj.). Karena itu, dengan berkembangnya agama
Islam dan semakin sempurnanya ajarannya, mereka meninggalkan cara-cara
ziarah yang batil itu. Hingga pada akhirnya, Nabi saww mengeluarkan
perintah terhadap ziarah kubur tersebut. (
Oyine-e Wahhaabiyyat, hal. 107).
[47] Al-Taaju al-Jaami’i Li al-Ushuul, jld. 1, hal. 381;
Jaami’u al-Ushuul, jld. 11, hal. 438.
[49] Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 2, hal. 337;
Mausuu’atu Athraafi al-Hadiits, jld. 10, hal. 181.
[50] Akhbaaru Makkati, jld. 2, hal. 52.
[51] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 3, hal. 932.
[52] Ibid, hal. 883;
Shahih Muslim, jld. 3, hal. 63;
Sunan Nasaai dan
Sunanu al-Kubraa,
jld. 4, hal. 132. Dalam riwayat ini berbunyi: “Ya Allah, ampunilah
orang-orang yang dikuburkan di Baqii’ al-Gharqad.” Gharqad adalah nama
pohon yang banyak tumbuh di Baqii’. Karena itu Baqii’ dikenal dengan
Baqii’u al-Gharqad. Samhuudi dalam Wafaa-u al-Wafaa’ (jld. 2, hal. 84)
berkata: “Ketika ‘Utsmaan bin Mazh’uun dikuburkan di sana, pohon itu
dipotong. Dia adalah orang pertama yang dikuburkan di sana. Setelah
Ibrahim putra Nabi saww meninggal, Nabi saww memerintahkan untuk
dikuburkan di sisi ‘Utsmaan bin Mazh’uun. Karenanya, setelah itu,
masyarakat pada menguburkan keluarganya yang meninggal di tempat
tersebut:
Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 2, hal. 84.
[53] Sunan Ibnu Maajah, jld. 1, hal. 501;
Mustadrak Haakim, jld, 1, hal. 531;
Akhbaaru Makkati, jld. 2, hal. 53.
[54] Mustadrak Haakim, jld. 1, hal. 531, hadits ke: 1388.
[55] Ibid, hal. 533, hadits ke: 1394
; Majma’u al-Zawaa-id, jld. 2, hal. 58.
[56] Sunan Abu Daaud, jld. 3, hal. 216
; al-Sunanu al-Kubraa, jld. 4, hal. 127. Telah diriwayatkan dari ‘Ithaaf: “Nabi saww menziarahi pekuburan para syahid yang ada di Uhud.”
(Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 2, hal. 932).
[57] Al-Sunanu al-Kubraa, jld. 4, hal. 132.
[58] Mushannif ‘Abdu al-Razzaaq, jld. 3, hal. 572;
al-Sunanu al-Kubraa, jld. 4, hal. 131;
Mustadrak al-Haakim, jld. 1, hal. 533;
Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 2, hal. 932
; al-Ghadiir, jld. 5, hal. 167.
[59] Ibid;
Syarhu Nahju al-Balaaghah,
jld. 15, hal. 40, Ziarah al-Nabii saww pada kuburan syuhada Uhud,
setiap tahunnya. Begitu pula ziarah Faathimah as dan Sa’d bin Abi
Waqqaash.
[62] Mushannaf ‘Abdu al-Razzaaq, jld. 3, hal. 570.
[63] Sunanu al-Kubraa, jld. 4, hal. 131.
[64] Taariikh Damesyq, jld. 57, hal. 220.
[65] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 3, hal. 933.
[67] Sairu A’laami al-Nubalaa’,
jld. 9, hal. 464. Almarhum Ahmadi Miyaanijii dalam kitabnya yang
berjudul Tabarruk telah menuliskan hadits di atas lengkap dengan semua
sumbernya.
[68] Rihlatu Ibni Jubair, hal. 229;
al-Ghadiir, jld. 5, hal. 184.
[69] Taariikh Baghdaad, jld. 12, hal. 241.
[70] Al-Muntazham, jld. 12, hal. 241.
[71] Mustadrak Haakim, jld. 3, hal. 518;
Shafwatu al-Shafwah, jld. 1, hal. 470;
Rihlatu Ibni Baithuuthah, jld. 1, hal. 187.
[72] Safar Naameh Ibnu Jubair,
hal. 1. Muhammad bin Ahmad bin Jubair al-Andaluusii adalah pengelana
dunia yang terkenal di akhir-akhir abad ke enam. Ia tiga kali berkelana,
dan daerah Timur telah tiga kali dikunjunginya. Salah satu dari
perjalanannya dilakukan pada tahun 578 H dan berakhir pada tahun 581 H.
Lihat,
Wahhabiyyat Mabaanii Fikrii Kaarnaaneh ‘Amalii -menukil dari beberapa ulama- jld. 5, hal. 319.
[73] Diir Sam’aan terletak di daerah sekitaran Damaskus. Lihat,
Mu’jamu al-Buldaan, jld. 2, hal. 586.
[74] Taariikhu al-Islaam, hal. 26;
Tadzkiratu al-Huffaazh, jld. 1, hal. 121.
[75] Taariikhu al-Islaam, jld. 1, hal. 120;
al-Bidaayatu wa al-Nihaayatu, jld. 5, hal. 88.
[76] Syadzaraatu al-Dzahab, jld. 3, hal. 97.
[77] Wafiyaatu al-A’yaan, jld. 4, hal. 165;
Tahdziibu al-Tahdziib, jld. 7, hal. 339.
[78]
Ibid. Dzahabi berkata tentang Maalik: “Secara meyakinkan ia dikubur di
pekuburan Baqii’ (Madinah, Saudi) dan kuburnya menjadi tempat ziarah.” (
Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 8, hal. 132).
[79] Mizaanu al-I’tidaal,
jld. 1, hal. 114. Khatiib berkata: “Telah dinukil dari Abu al-Farj
al-Hindibaaii yang berkata: ‘Aku adalah orang yang suka menziarahi kubur
Ahmad bin Hanbal. Setelah itu aku berhenti melakukannya. Suatu malam,
dalam tidurku aku bermimpi ada suara yang mengatakan: Mengapa kamu
berhenti menziarahinya? (
Taariikh Baghdaad, jld. 4, hal. 423.)
[80] Wafiyaatu al-A’yaan, jld. 1, hal. 318.
[81] Taariikh Baghdaad,
jld. 1, hal. 123. Catatan: Kebanyakan dari yang kami bawakan di sini
sebagai contoh dari tempat-tempat ziarah itu adalah dari bab “debat”
(mengajukan dalil yang asas kebenarannya berdasar pada apa-apa yang
diterima dan diyakini oleh lawan bicaranya, penj.). Karena itu
sebenarnya, kami tidak mengimani kebanyakan dari contoh-contoh tersebut.
[82] Shafwatu al-Shafwati, jld. 2, hal. 413.
[83]
Maskan adalah sebuah tempat di dekat Aunaa dan berada di atas sungai
Dajiil di pinggiran Diir Jaatsliiq. Pada tahun 72 H terjadi peperangan
antara ‘Abdu al-Malik bin Marwaan dengan Mush’ab bin al-Zubair di tempat
itu dimana berakhir dengan terbubuhnya Mush’ab. Kuburnya di sana sangat
terkenal. (Mu’jamu al-Buldaan, jld. 5, hal. 127).
[84] Al-Muntazhim,
jld. 15, hal. 14. Komentar kami (penulis buku ini): Mana bisa
dibandingkan antara langit dan bumi? Apa bisa dibandingkan antara
pertumpahan darah muslimin yang diakibatkan oleh ketamakan akan
kekuasaan atas Iraq –Mush’ab- dangan Imam Husain as yang berkedudukan
sebagai Penghulu Pemuda Surga?
[85] Al-Jawaahiru al-Mudhiiah,
jld. 2, hal. 720, hadits ke: 1131. Ibnu Jubair adalah pengelana
terkenal. Ia menyebutkan bahwa Qaraafah di Mesir adalah salah satu dari
keajaiban dunia. Sesuai dengan pernyataannya, di sana, banyak dikuburkan
nabi-nabi dan keluarga mereka serta shahabat-shabat mereka. Sebagian
dari mereka adalah: (1) Ruubil bin Ya’quub bin Ishaaq. (2) Aasiah istri
Fir’aun. (3) Dua orang dari putra Imam Shadiq as. (4) Qaasim bin
Muhammad bin Ja’far al-Shaadiq. (5) Anak Qaasim yang bernama ‘Abdullah.
(6) Yahya bin Qaasim. (7) ‘Ali bin ‘Abdullah Qaasim. (8) ‘Iisaa bin
‘Abdullah. Dia banyak sekali menyebutkan kuburan putra-putra Imam Ali as
yang berada disana.
[86] Tadzkiratu al-Huffaazh, jld. 3, hal. 780, hadits ke: 772.
[87] Wafiyaatu al-A’yaan, jld. 6, hal. 394;
Ansaabu Sam’aanii, jld. 3, hal. 484. Ia berkata: “Aku menziarahi kubur Abu ‘Awwaanah.” (
Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 14, hal. 419.).
[89] Al-Bidaayatu wa al-Nihaayatu,
jld. 11, hal. 375. Dia adalah penguasa Andaluus menggantikan ayahnya.
Dia berperang dengan penguasa Eropa dan melenyapkan sebagian mereka.
Akan tetapi karena adanya fitnah di Andalus sendiri, maka ia ditangkap
dan kemudian dihukum mati. (
Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 19, hal. 63).
[90] Al-Mawaahibu al-Laduniyyatu, jld. 3, hal. 390;
Syadzaraatu al-Dzahab, jld. 5, hal. 388.
[91] Al-Mawaahibu al-Laduniyyatu, jld. 3, hal. 396;
Syadzaraatu al-Dzahab, jld. 2, hal. 397; Al-‘Ibar, jld. 2, hal. 363.
[92] Thabaqaatu al-Qurraa’, jld. 2, hal. 22.
[93] Nailu al-Ibtihaaj, hal. 62.
[94] Al-Nujuumu al-Zaahiratu, jld. 7, hal. 80.
[95] Sairu A’laami al-Nubalaa’,
jld. 16, hal. 92 dan jld. 17, hal. 193. Dzahabi menulis bahwa tokoh
ulama Hanbaliah yang bernama al-Tamiimii, menziarahi kubur Baaqilaani
setiap hari Jum’at.
[96]
Abu Daawud dalam kitab Sunannya meriwayatkan kelanjutan hadits di atas
sebagaimana berikut ini: Wanita itu tidak mengenali Nabi saw., karenanya
ia protes kepada beliau dan berkata: “Apa hubunganmu dengan tangisku?”
Pada saat itu satu wanita yang ada disamping wanita tersebut berkata
kepadanya: “Apakah kamu mengenalnya? Ia adalah Rasulullah saww” Wanita
pertama tadi, karena ingin mengurangi salahnya, mendatani rumah Nabi
saww dan berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah, maafkanlah aku. Aku
tidak menganal Anda.” Rasulullah saww bersabda: “Sabar dalam menghadapi
musibah itu adalah baik.”
[97] Irsyaadu al-Saarii, jld. 3, hal. 400.
[99] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1362.
[100] Shahih Muslim, jld. 3, hal. 65;
Sunan Nasaai, jld. 4, hal. 90;
Mushannaf ‘Abdu al-Razzaaq, jld. 3, hal. 572;
Sunan al-Kubraa, jld. 4, hal. 128.
[101] Maksudnya adalah pengestafetan bibit Nabi saww, itu dari sulbi-sulbi yang bersujud alias beriman kepada Allah, pentj.
[102] Al-Durru al-Mantsuur, jld. 5, hal. 98.
[105]
Abu Hurairah berkata, “Ketika Nabi saww menziarahi kubur ibunya, beliau
menangis dan orang-orang yang berada di sekitarnyapun ikut menangis.”
Abu Hurairah menjadi muslim setelah perang Khaibar. Dan kira-kira
setahun setelah Islamnya itu Nabi saww meninggalkan dunia fana ini.
Walaupun perkenalannya dengan Nabi saww paling pendek masanya dibanding
shahabat yang lainnya, akan tetapi ia jauh lebih banyak dari
shahabat-shahabat lain dalam meriwayatkan hadits (hadits yang langsung
dari Nabi saww, penj.). Riwayat dia sendiri saja melebihi semua riwayat
yang diriwayatkan oleh Imam Ali as dengan ditambah riwayat-riwayat yang
diriwayatkan oleh ketiga khalifah sebelumnya (Abu Bakar, Umar dan
Utsman).
Dzahabi dalam kitabnya, jld. 2, hal. 632, berkata, “Hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebanyak 5374 hadits. Sedang semua hadits
Shahih Bukhari adalah 7000 hadits. Dan kalau hadits-hadits
pengulangannya disisihkan, maka semuanya akan menjadi 3000 – 4000 hadits
dimana sepersepuluhnya diriwayatkan melalui Abu Hurairah. Segolongan
orang, dianataranya ‘Aisyah, telah mencercanya dengan mengatakan telah
membuat hadits-hadits palsu.”
Dzahabi dalam kitabnya , jld. 2, hal. 615, berkata, “Kalau Mu’awiyah
memberikan sesuatu kepadanya, maka ia mulai berbicara. Tapi kalau tidak
memberikannya sesuatu, ia diam seribu bahasa.”
Ibnu Katsiir dalam kitabnya
al-Bidaayah, jld. 8, hal. 114,
berkata, Abu Hurairah pernah mendatangi ‘Aisyah. ‘Aisyah berkata
kepadanya: “Benarkah kamu menukil banyak sekali hadits dari Nabi saww?”
Abu Hurairah menjawab, “Aku bukan orang yang disibukkan dengan cermin,
celak dan minyak.” (sindiran untuk ‘Aisyah).
Dzahabi dalam
Sairu al-Nubalaa’, jld. 2, berkata, Ketika
Imam Hasan as mau dikuburkan di rumah Nabi saww –disamping beliau-
terjadi keributan yang dahsyat (karena dilarang oleh ‘Aisyah dan Marwan
serta pengikut keduanya, pentj.). Dikatakan bahwa Ibnu Rubaah berkata
kepada Marwan, “Kamu bukan gubernur Madinah, apa urusanmu, biarkan saja
ia –Imam Hasan as- dikuburkan disini.” Ketika Imam Hasan as sudah mau
dikuburkan di sisi Nabi saww, Abu Hurairah berkata kepada Marwan, “Kamu
ini ikut campur urusan orang, biarkan saja ia dikubur disini. Kamu
melarang penguburan ini karena ingin mendapatkan perhatian dari
Mu’aawiyah.” Marwan dengan penuh amarah menjawab Abu Hurairah dengan
berkata: “Hai Abu Hurairah, orang-orang berkata bahwa kamu banyak sekali
meriwayatkan hadits dari Nabi saww, padahal kamu masuk Islam beberapa
hari sebelum wafatnya beliau.” (walhasil, pada akhirnya, Imam Hasan as
tidak bisa dikuburkan di sisi kakeknya Rasulullah saww, penj.)
Dalam kitab ‘
Aqdu al-Fariid, jld. 1, hal. 46 dan
Sairu A’laami al-Nubalaa’,
jld. 2, hal. 512, dituliskan, Ketika ‘Umar menurunkan jabatan Abu
Hurairah sebagai gubernur Bahrain, ‘Umar berkata kepadanya, “Hai musuh
Tuhan dan kitabNya, berani-beraninya kamu mencuri harta Tuhan
-baitulmaal?” Kemudian ‘Umar mengambil sepotong kayu dan memukulnya.”
[106] Al-Taaju al-Jaami’ Li al-Ushuul,
jld. 1, hal. 382. Agama fitrah dikatakan pada orang-orang yang
mengikuti fitrah tauhidnya di masa-masa dimana Allah belum mengirimkan
rasulNya dan/atau ajaran beliau belum sampai kepadanya dengan jelas,
sementara agama sebelumnya sudah bercampur. Karena itu pendapat ulama
mengatakan bahwa orang-orang yang hidup pada masa-masa itu, asal tetap
mengikuti fitrah tauhidnya, akan mendapat keselamatan.
[107] Zamakhsyari berkata, Ayat yang berbunyi: “
Dan perpindahanmu melalui orang-orang yang bersujud.”
menunjukkan kemukminan dan ketauhidan dari ayah-ayah dan ibu-ibu Nabi
saww. Seluruh orang-orang tua laki dan perempuan beliau adalah
orang-orang yang bersujud –kepada Allah- dan suci –dari kesyirikan.
Lihat juga kitab Abu Thaalib dan Keturunannya, karya Sayyid ‘Ali Khaan,
hal. 216. Dan kitab
Muniyyatu al-Raaghib, hal. 56, karya Almarhum Ayatullah Thabasi.
[108] Al-Miizaan, jld. 15, hal. 367.
[109] Tafsiir al-Kabiir, jld. 24, hal. 173.
[110]
Sebagai tambahan terhadap dalil-dalil Syi’ah tentang kesucian –dari
syirik- para orang tua Nabi saww dapat dikatakan, Ayat di atas memiliki
beberapa makna yang dapat dimungkinkan:
1. Menerangkan tentang apa-apa yang dikerjakan oleh Nabi saww di
tengah malam (seperti ibadah atau berkeliling di tengah malam untuk
memeriksa kegiatan kaum muslimin).
2. Nabi saww dengan penglihatannya sendiri, dapat melihat orang-orang
yang shalat dibelangknya dan memeriksanya. Karena Nabi saww dalam suatu
riwayat bersabda: “Sempurnakanlah rukuk dan sujud kalian. Karena aku
dapat melihat kalian walau dengan membelakangi.”
[111] Al-Bidaayatu wa al-Nihaaytu, jld. 11, hal. 124.
(Berbagai-Sumber-Sunni-dan-Syiah/ABNS)