Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS TASAWUF - IRFAN. Show all posts
Showing posts with label ABNS TASAWUF - IRFAN. Show all posts

Mengenal Tasawuf


Agama Islam adalah suatu aliran dan ajaran yang menginginkan kebahagian, kesempurnaan, dan keselamatan segenap manusia baik di dunia maupun di akhirat, dan manusia bisa menggunakan ajaran-ajaran Islam untuk memenuhi segala keperluan duniawi dan ukhrawinya.

Dengan mencermati al-Quran, secara sederhana dapat dipahami bahwa Tuhan mengajak hamba-hamba-Nya untuk menjauhkan diri dari penyembahan dunia [segala sesuatu selain Tuhan disebut dunia] dan memperhatikan aspek-aspek spiritual dan alam akhirat.[1] Namun poin ini juga diingatkan bahwa perhatian kepada alam akhirat jangan menjadi alasan untuk memilih bertapa (asketik) dan meninggalkan totalitas aktivitas-aktivitas kehidupan duniawi, melainkan juga tetap memanfaatkan berkah-berkah dan nikmat-nikmat duniawi dengan memperhatikan tolok ukur syariat [hukum fikih] dan senantiasa aktif dan giat dalam kegiatan-kegiatan keseharian dengan tetap berdzikir dan mengingat Tuhan.[2]

Berpijak pada hal ini, seorang Muslim sejati bukanlah penyembah dunia. Ia adalah seseorang yang memanfaatkan nikmat-nikmat Ilahi di dunia demi kesempurnaan ukhrawinya dan meminta kepada Tuhan kebaikan dunia dan akhirat.[3]

Sebagian dari kalangan Muslim ini hanya memikirkan dimensi-dimensi duniawi agama seperti penegakan kedisiplinan umum, pembentukan negara, aktivitas-aktivitas pertanian dan perdagangan, kemajuan ilmu, dan lain sebagainya sehingga terkadang melupakan bahwa semua aspek duniawi agama hanya merupakan suatu pengkondisian dan bekal [bukan tujuan] bagi kehidupan abadi dan cita-cita lebih tinggi [suci] yakni meraih keridhaan Tuhan. Aspek duniawi agama secara mandiri tidak memiliki nilai ukhrawi.

Dan sebagian yang lain hanya menekankan dan memperhatikan sisi-sisi spiritual dan batin Islam, dan dia meletakkan dirinya sendiri di bawah tanggung jawab orang lain dengan meninggalkan aktivitas-aktivitas yang merupakan kemestian kehidupan sosial, dan yang lebih aneh, perlu diketahui bahwa sebagian dari mereka ini menampakan kejauhan dari dunia (Asketisme) sebagai perantara untuk memuaskan kecenderungan-kecenderungan duniawinya sendiri!

Dengan memandang apa-apa yang telah diutarakan, kita kembali kepada pertanyaan Anda dan menjadikan dua hal di bawah ini sebagai obyek kajian:
Dengan memperhatikan bahwa pakaian wol merupakan pakaian yang memiliki nilai yang terendah dalam abad pertama Islam, secara natural orang-orang yang berpenghasilan rendah yang menggunakan jenis pakaian ini. Menggunakan pakaian seperti ini, jika untuk memerangi [keinginan] jiwa dan memandang rendah haikat dunia maka tidaklah bermasalah. Berkaitan dengan ini, Abu Dzar Giffari, seorang ahli zuhud berkata, “Dengan memiliki dua lembar roti yang satu aku simpan untuk makan siang dan yang lain untuk makan malam, dan juga dua potong kain wol yang satu aku gunakan sebagai sarung dan yang lain diletakkan di pundak, apa urusanku dengan dunia?”[4]

Dia dengan ungkapannya ini, ingin menyampaikan poin penting kepada kaum muslimin bahwa dalam keadaan yang butuh bisa mencukupkan diri dalam batasan-batasan yang sangat minimal, tapi jangan sampai mengganti agama sendiri dengan dunia. Hal ini tidak bermakna bahwa dia mengharamkan pemanfaatan nikmat-nikmat Ilahi, karena kita tahu bahwa sekalipun pada masa kehidupan pengasingan Abu Dzar, dia dan keluarganya hidup dengan penghasilan dan pendapatan yang sangat minim.[5]

Jauh setelah masa kehidupan Abu Dzar, sekelompok dari kaum muslimin, dengan pandangan yang ekstrim meletakkan kezuhudan dan menjauhi dunia dalam batasan yang berlebihan dan menilai bahwa panampakan lahiriah kaum muslimin adalah menggunakan pakaian wol, bahkan para Imam Ahlulbait As dan para pembesar agama menjadi sasaran kritikan mereka karena tidak menerapkan model penampakan lahiriah seperti ini.[6]

Dengan kata lain, kezuhudan hakiki yang telah diajurkan oleh Islam telah dipropagandakan oleh para “penjual-kezuhudan” dan “pencari-murid”, dan dipahami atau tidak, telah terjebak ke dalam “pencari-dunia” yang secara lahiriah menjauhi dunia! Dengan mencermati bahwa istilah “tashawwuf” bersumber dari akar kata “shuf” yang berarti wol, perlahan-lahan, kelompok yang berpakaian wol ini dikenal dengan nama shufiyah [Sufisme] atau mutashawwifah dan aliran pemikiran mereka disebut tashawwuf (tasawuf).

Pada abad-abad belakangan, nama-nama seperti darwis, khurabati, dan lain sebagainya juga digunakan untuk memperkenalkan orang-orang seperti itu, dan istilah-istilah seperti khaneqâh (semacam tempat ibadah), mi, pir (orang-tua), qalandar, dan lain sebagainya juga dipandang memiliki posisi khusus dalam aliran mereka.

Dari satu sisi kita harus mengetahui bahwa ajaran-ajaran tasawuf tidak hanya cukup dengan berpakaian wol, melainkan di sepanjang masa, juga dilontarkan tolok ukur-tolok ukur perilaku lainnya oleh para syaikh dari aliran pemikiran ini kepada para pengikutnya yang sebagian darinya merupakan bidah-bidah yang tidak berpijak kepada ajaran agama. Namun terdapat juga amal-amal yang bersumber dari prinsip-prinsip al-Quran dan syariat.

Dalam koridor ini, terkadang perbuatan-perbuatan yang bersumber dari agama berubah menjadi suatu bidah karena telah mengalami perubahan! Seperti anjuran untuk ikhlas dalam amalan selama empat puluh hari yang dijelaskan dalam hadis[7] dan hasilnya adalah ketercerahan dan pencerahan batin. Namun para sufi formal, mengamalkannya dalam bentuk Chil Nesyini[8] dengan adab-adab khusus yang sebagian darinya tidak sesuai dengan ajaran suci syariat.

Walhasil, tasawuf berubah menjadi suatu gabungan dan kumpulan antara perilaku benar agama dan bidah salah spiritual.[9] Perkara inilah yang mengantarkan kepada suatu kesimpulan bahwa sebagian kaum Muslimin yang hanya mengamalkan bagian pertama [dari ajaran tasawuf yang sesuai dengan Islam] dan pensucian diri melalui perintah-perintah yang telah dianjurkan oleh Tuhan dan para Imam Ahlulbait, dikecam oleh sebagian fukaha dan menggolongkan mereka sebagai ke dalam lingkaran sufi dan darwis.

Dengan memperhatikan penjelasan di atas, dari satu sisi, walaupun sebagian ajaran-ajaran tasawuf seperti bentuk dan penampakan lahiriah tidak disandarkan kepada sumber-sumber keagamaan yang valid, namun tidak benar jika keseluruhan ajaran-ajaran tasawuf ditolak atau diterima secara seratus persen, melainkan harus dikaji setiap bagian-bagian ajarannya dan diteliti kesesuiannya dengan ajaran suci agama. Dari sisi lain, tidaklah benar kita menuduh setiap Muslim yang lebih menekankan dimensi-dimensi spiritual dan metode-metode pembersihan jiwa termasuk dalam kalangan para sufi.

Kita ketahui bahwa Imam Khomeini Qs adalah seorang yang melakukan metode suluk ruhani dan pembentukan diri spiritual dari sejak masa mudanya hingga akhir umurnya, karena itu bisa dilihat dalam ungkapan-ungkapan dan syair-syair beliau suatu pemikiran yang mirip dengan akidah dan istilah para sufi yang dalam pandangan pertama bisa disimpulkan bahwa beliau memiliki kecenderungan kepada maktab tasawuf, seperti dalam syair berikut ini:
Kasykul[10] fakir sebab kebanggaan kami
Wahai penolong hati yang tertipu, tambahkan kebanggaan…[11]

Atau:
Wahai orang tua, sampaikan kami ke Khaneqah[12]
Sahabat karib telah pergi, tunjukkanlah jalan[13]

Dan juga:
Sufi! Sucikan hati dari jalan cinta
Janji yang terucap harus terpenuhi[14]

Walaupun syair-syair ini dan istilah-istilah yang digunakan di dalamnya, bisa dikatakan cenderung kepada tasawuf, akan tetapi jangan cepat dihukumi dari satu sisi, melainkan dari sisi lain, perlu diperhatikan bahwa istilah-istilah yang digunakan dalam ungkapan-ungkapan mengisyaratkan kepada suatu realitas dan hakikat yang mungkin tidak bisa diutarakan secara langsung dan jelas. Jika tidak demikian, kita ketahui bahwa di sepanjang kehidupan Imam Khomeini Qs, tidak pernah meletakkan [memikul] suatu kasykul di pundaknya atau mampir ke suatu Khâneqah. Dari aspek lain perlu diperhatikan ungkapan dan kata-kata lain beliau lalu melakukan penyimpulan terakhir. Dalam hal ini, terdapat syair-syair lain yang menjelaskan penentangan beliau terhadap Sufisme, seperti:
Sufi tak paham “penyatuan” kekasih
Saya tak ingin sufi yang tak suci[15]

Dan atau:
Saya buang cintamu dari lingkaran sufi
Hamba sufi, dengarkan kuletakkan dalam keledaiku[16]

Dan juga:
Kami perang dengan sufi, arif, atau darwis
Kami serang filsafat dan ilmu kalam (teologi)[17]

Secara lahiriah, syair-syair ini saling bertolak belakang, apa yang harus dilakukan? Pada akhirnya, apakah beliau menerima tasawuf atau menolaknya?

Dalam menjawab pertanyaan ini mesti dikatakan, sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian pertama, kumpulan ajaran-ajaran tasawuf yang searah dengan syariat suci dimana seorang muslim sejati harus mengamalkannya dalam upaya pembentukan diri spiritual, adalah perkara-perkara yang disepakati oleh Imam Khomeini Qs dan menganjurkannya, “Kita harus meyakini apa [efek dan pengaruh yang ditimbulkan] dari munajat Tuhan kepada manusia, kita harus mengimani munajat itu, jangan kita mengingkarinya, jangan kita mengatakan bahwa semua ini adalah perkataan-perkataan para darwis (sufi). Semua hal ini ada dalam al-Quran dalam bentuknya yang lembut [sempurna] dan dalam kitab-kitab doa suci kita yang bersumber dari para Imam Ahlulbait As, semua perkara ini ada, namun tidak sesempurna dalam al-Quran, melainkan dalam bentuk yang cukup sempurna…semua orang yang menggunakan istilah-istilah ini setelahnya, mengetahui atau tidak terambil dari al-Quran dan hadis, adalah [walaupun] mungkin mereka memandang sanad-sanad utamanya tidak sahih.”[18]

Berdasarkan hal ini, dalam perspektif Imam Khomeini Qs, jangan khawatir dengan cap sufi atau merek darwis yang kemudian kita meninggalkan upaya-upaya pembentukan diri [pensucian batin dan pembersihan hati] spiritual, namun hal ini bukan bermakna bahwa beliau mengesahkan seluruh perbuatan dan perilaku para sufi.

Dalam sepucuk surat Imam Khomeini Qs yang kurang lebih ditulis puluhan tahun sebelum revolusi, selagi beliau masih muda, kita menyaksikan sebuah nasehat seperti ini, “Jangan ridha dengan ungkapan dan perkataan para pembesar formal tasawuf; jangan dengarkan klaim-klaim hiruk-pikuk para ahli khirqah (para sufi).”[19]

Sepuluh tahun setelahnya (tahun 1363 Syamsiah), setelah menjelaskan anjuran-anjuran tegasnya kepada anak beliau Hujjatul Islam dan Muslimin Sayid Ahmad dalam rangka pembentukan diri (pensucian batin), beliau berpesan bahwa apa-apa yang saya katakan adalah tidak bermakna bahwa dirimu tidak lagi berkhidmat kepada masyarakat, tatkala pergi bertapa (mengasingkan diri), dan menyerahkan segalanya kepada makhluk Tuhan [menjadikan diri sebagai beban masyarakat] yang hal ini merupakan sifat-sifat para jahil-religius[20] atau para darwis-penjaja.”[21]

Begitu pula dalam anjurannya kepada menantu perempuannya sendiri (istri Sayid Ahmad) terungkap demikian, “Saya tidak ingin mensucikan para pengklaim-pengklaim (sebagian sufi) itu yang mungkin layak masuk ke dalam api neraka, saya ingin kalian jangan mengingkari spiritualitas [aspek ruhani dan batin yang diklaim oleh para sufi] itu. Spiritualitas tersebut tidak lain adalah spiritualitas yang juga ditegaskan oleh al-Quran dan hadis, yang para penentangnya tidak memahaminya atau hanya mengerti secara awaw.”[22]

Imam Khomeini Qs mengkritik pandangan-pandangan yang ekstrim dan minor, dan menegaskan mizan dan tolok ukur diterimanya amal-perbuatan adalah niat-niat dan motif-motif ruhani setiap orang, dan bukan perilaku-perilaku khusus dan penampakan lahiriah, dalam suatu ungkapan beliau, “Anakku! Bukan pengasingan diri para sufi sebagai bukti kebersamaan dengan Tuhan, dan bukan bersama dengan masyarakat dan pembentukan negara adalah dalil keterpisahan dengan Tuhan, mizan dalam amal-perbuatan adalah motivasi-motivasi mereka, adalah sangat mungkin seorang abid [ahli ibadah] dan zahid [ahli zuhud] terjebak dalam tipuan Iblis.”[23]

Adalah tepat jika kita menyaksikan setiap perkataan beliau yang “berbau” tasawuf dan Darwisme, tidak semestinya kita menggolongkannya sebagai penegas atas dukungan kepada Sufisme dan Darwisme, melainkan kita meletakkannya dalam koridor perintah-perintah al-Quran dan Sunnah.


Referensi:

[1] . “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu berpikir?” (Qs. Al-An’am [6]: 32); “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (dapat memanfaatkannya), tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.” (Qs. Yunus [10]: 24); “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Qs. Ankabut [29]: 64); “Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.” (Qs. Muhammad [47]: 36); “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Qs. Al-Hadid [57]: 20), dan ratusan ayat-ayat lainnya.

[2] . “Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah, “Semua itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia ini, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (Qs. Al-A’raf [7]: 32); “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami anugerahkan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya semata kamu menyembah.” (Qs. Baqarah [2]: 168 dan 172); “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (Qs Al-Maidah [5]: 88); “Dan Dia-lah yang menciptakan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma dan tanam-tanaman yang bermacam-macam rasa dan buahnya, serta zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya; dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. Al-An’am [6]: 141); “Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah dari sebagian rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Qs. Al-Mulk [67]: 15); dan ayat-ayat lainnya.
[3] . “Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Baqarah [2]: 201).
[4] . Kulaini, Muhammad Ya’qub, al-Kâfi, jil. 2, hal. 134, Hadis 17, Dar al-Kutub Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[5] . Majlisi, Muhammad Baqir, Bihâr al-Anwâr, jild. 22, hal. 429, hadis 37, Muassasah Al-Wafa’, Beirut, 1404 H.
[6] . Al-Kâfi, jil. 5, hal. 65, Hadis 1.
[7] . Al-Kâfi, jil. 2, hal. 16, Hadis 6.
[8] . Duduk selama empat puluh hari dengan adab-adab khusus.
[9] . Untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana kemunculan dan perkembangan tasawuf, rujuklah ke kitab seperti Jasteju dar Tasawuf Irân ditulis oleh Dr. Abdul Husain Zarin Kub.
[10] . Suatu wadah yang terbuat dari tembaga yang kurang lebih berbentuk kerucut yang diikatkan pada sebuah tongkat. Bejana ini dipikul oleh para sufi yang digunakan untuk “mengemis” kepada orang lain.
[11] . Bodey-e ‘Isyq, hal. 40, Muassasah Tanzhim wa Nasyr-e Atsar-e Imam Khomeini, Tehrean, 1368 S.
[12] . Semacam tempat peribadatan, penyelenggaraan acara-acara resmi, pertemuan, dan perjamuan para sufi.
[13] . Bodey-e ‘Isyq, hal. 77.
[14] . Shahifah Imâm, jil. 18, hal. 444, Muassasah Tanzhim wa Nasyr-e Atsar-e Imam Khomeini, Teheran, 1386 S, Cetakan Keempat.
[15] . Bodey-e ‘Isyq, hal. 29.
[16] . Ibid, hal. 33.
[17] . Ibid, hal. 55.
[18] . Shahifah Imâm, jil. 17, hal. 458.
[19] . Ibid, jil. 1, hal. 18
[20] . Orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup seraya menampak-nampakkan kezuhudan dan ketakwaan.
[21] . Ibid, jil. 18, hal. 511.
[22] . Shahifah Imâm, jil. 18, hal. 453,
[23] . Ibid, jil. 18, hal. 512.

(Study-Syiah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengenal Irfan


Redaksi ‘ir-fâ-n secara leksikal bermakna pengenalan. Namun secara terminologis bermakna pengenalan khusus yang diperoleh melalui jalan syuhud (penyaksian) batin dan perolehan-perolehan intrinsik. Lantaran kasyf (penyingkapan) dan pelbagai syuhud (penyaksian) umumnya bergantung pada praktik-praktik dan amalan-amalan khusus, metode praktis atau ajaran sair dan suluk ini juga disebut sebagai “irfân.”

Dengan memperhatikan penjelasan ini menjadi terang bahwa arif sejati, yang menjalankan pelbagai program praktis khusus, memperoleh makrifat syuhudi dan hudhuri dalam hubungannya dengan Allah Swt, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya.

Apa yang menyebabkan munculnya banyak ikhtilaf tentang benar dan tidaknya irfan dan pelbagai metode sair dan suluk irfan adalah jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan yang dilontarkan bahwa apakah dalam Islam terdapat yang disebut sebagai irfan islami atau kaum Muslimin mengambilnya dari agama lain dan memasukkannya ke dalam agama?

Dalam menjawab pertanyaan ini, sebagian mengingkari secara mutlak adanya irfan dalam Islam dan memandangnya sebagai bid’ah dan tertolak. Mereka memandang para arif sebagai orang-orang sesat. Kelompok lainnya memandang bahwa irfan adalah bagian dari Islam bahkan laksana otak dan ruh bagi agama Islam seperti bagian-bagian lainnya dalam Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Nabawi.

Seseorang yang mencermati ayat-ayat al-Qur’an dan sabda-sabda Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya maka tanpa ragu ia akan mendapatkan hal-hal yang sublim dan subtil dalam domain irfan dan juga adab-adab serta banyak aturan-aturan praktis dalam kaitannya dengan sair suluk irfani. Sebagai contoh, kita dapat menyebutkan ayat-ayat yang sehubungan dengan tauhid zat, sifat dan perbuatan dalam surah Tauhid dan permulaan surah al-Hadid dan akhir surah al-Hasyr. Demikian juga ayat-ayat yang menyinggung kehadiran Ilahi di seantero alam semesta dan dominasi Tuhan atas seluruh entitas serta tasbih dan sujud takwini seluruh makhluk kepada Allah Swt.

Di samping itu, terdapat ayat-ayat yang menyangkut adab-adab dan kebiasaan yang dapat disebut sebagai ajaran sair dan suluk Islam seperti ayat-ayat tafakkur dan kontemplasi, dzikir dan perhatian terus-menerus, tahajjud dan menghidupkan malam, berpuasa, sujud dan tasbih yang panjang pada malam hari, tunduk dan khusyu, menangis, ikhlas dalam ibadah dan pekerjaan-pekerjaan baik yang bersumber dari kecintaan kepada Tuhan dan dengan motivasi untuk sampai kepada qurb (kedekatan) dan keridhaan (ridwan) Allah Swt dan juga ayat-ayat yang bertautan dengan tawakkal, ridha dan berserah diri (taslim) di haribaan Tuhan dan sabda-sabda Rasulullah Saw dan para Imam Suci As, doa-doa dan munajat-munajatnya yang berkaitan dengan hal ini tidak terhitung banyaknya.

Di hadapan ayat-ayat ini dan penjelasan terang Rasulullah Saw dan para Imam Ahlulbait As sekelompok orang memilih kutub tafrith dan kelompok lainnya kutub ifrath.

Kelompok pertama adalah orang-orang miopik (tak melihat yang jauh dan kedalaman) dan zahihirisme, memaknainya secara sederhana dan mengosongkan ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang mengandung pesan-pesan sublim dan subtil ini. Mereka adalah orang-orang yang mengingkari keberadaan sesuatu yang bernama “irfan” dalam teks-teks Islam.

Kelompok lainnya, meyakini sebagian perkara dalam irfan tidak bersumber dari teks-teks agama dan kandungan-kandungan Kitab dan Sunnah, melainkan boleh jadi sebagian dari perkara irfan tersebut bertentangan dengan nash-nash tegas dan tidak dapat ditakwil. Demikian juga, pada tataran praktik dari satu sisi, mereka menetapkan adab dan kebiasaan atau mengadopsi sesuatu dari firkah-firkah non-Islam. Dari sisi lain, mereka meyakini gugurnya taklif seorang arif wâshil (baca: tidak menjalankan syariat).

Adapun kelompok lainnya, yang menjaga dirinya dari kutub ifrath dan kutub tafrith, meyakini bahwasair dan suluk irfani adalah jalan yang seiring dan sejalan dengan syariat, bahkan bagian yang lebih akurat dan lebih subtil dari syariat. Apabila kita mengkhususkan hukum-hukum lahir syariat maka kita harus katakan, tarekat berada dalam lintasan vertikal syariat atau berada dalam batinnya. Sebagai contoh, syariat menentukan hukum-hukum lahir shalat dan irfan memikul tanggung jawab konsentrasi seluruh panca indera dan kehadiran hati.[1]


Kedua, Pembahasan Ihwal Tasawuf

Sebelum memasuki pembahasan tasawuf kiranya kita perlu memperhatikan poin ini bahwa yang kami maksud dengan sufi, menyitir Mullah Shadra, bukan para sufi dungu, melainkan para sufi sejati.[2]

Dalam menjelaskan akar kata “ta-sha-wuf” terdapat banyak perbedaan pendapat demikian juga terkait dengan ragam akar katanya. Karena itu, kita tidak akan memasuki pembahasan leksikal dan hanya mencukupkan diri dengan makna terminologis tasawuf. Tasawuf yang juga disebut sebaga tarekat secara terminologis adalah “metode khusus sair dan suluk dimana seorang sufi dalam kehidupannya menjadikan akhlak sebagai sentral, menjalani kehidupan zuhud, senantiasa bersikap keras terhadap hawa nafsunya, meninggalkan dunia, senantiasa memandang kepada dirinya, menjaga supaya kualitas ruhnya senantiasa meningkat dan melintasi makam-makam dan kondisi-kondisi. Tekad utamanya adalah sampai kepada makam tauhid.”[3] Namun mungkin saja disebutkan bahwa definisi ini sedikit mengandung bias dan tendensi terhadap tasawuf. Akan tetapi kembali kami ingatkan bahwa maksud kami sebelumnya bahwa yang dimaksud bukanlah sufi dungu.


Ketiga, Hubungan Irfan dan Tasawuf

Poin berikutnya adalah ihwal hubungan irfan dan tasawuf. Imam Khomeini berkata bahwa arif adalah seseorang yang telah meraup ilmu tauhid; namun sufi adalah seorang yang mengetahui bahwa ilmu ini telah terealisir dalam dirinya dan menggiringnya dari tingkatan akal menuju tingkatan kalbu.[4] Oleh itu, dalam pandangan Imam Khomeini makam sufi lebih tinggi daripada makam arif.

Namun sebagian lainnya seperti Syahid Muthahhari memandang tasawuf sebagai dimensi sosial irfan dan para arif.[5] Dengan tasawuf ini kita dapat memahami poin ini bahwa tasawuf sejati dalam pandangan kebanyakan ulama Syiah adalah suatu hal yang baik dan terpuji. Meski harus diperhatikan bahwa sebagian ulama menentang ajaran tasawuf; lantaran pelbagai penyimpangan yang tampak pada sebagian periode pada kelompok ini, dan atas alasan ini ulama menghindar untuk menggunakan istilah tasawuf dan berusaha untuk lebih banyak menggunakan terminologi irfan.


Keempat, Pandangan-pandangan Irfani dan Tafsir Birray al-Qur’an

Sekarang kita harus mencari tahu bahwa apakah pandangan-pandangan irfani adalah sejenis tafsir birray, atau para arif dalam proses memahami al-Qur’an telah melakukan tafsir birray?

Bahwa kita menuduh setiap penafsiran yang sedikit meninggalkan batas-batas lafaz dan lebih tinggi dari pencerapan akal sebagai kalimat-kalimat seorang darwisy dan seterusnya bukan merupakan perbuatan benar dan menjadi sebab terjauhkannya kita dari ajaran-ajaran dan pengetahuan-pengetahuan (maarif) al-Qur’an. Sebagai contoh Anda mengutip ayat “laisa kamitslihi syai” dalam pertanyaan Anda, sementara Anda mengeyampingkan ayat-ayat lainnya yang menyatakan, “Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).” (Qs. Al-Najm [53]:8-9)[6] Atau ayat, “Dia-lah Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Yang Maha Zahir dan Yang Maha Batin.” (Qs. Al-Hadid [57]:3) Yang penting dalam memahami redaksi-redaksi al-Qur’an adalah kita sampai pada pemahaman universal. Bukan dengan melihat satu ayat kemudian melontarkan kritikan terhadap yang lain.

Imam Ali dalam meyanggah seorang Zindiq yang berkata, “Apabila tidak terdapat pertentangan dalam al-Qur’an maka saya akan masuk ke dalam agamamu.” Imam Ali menukas, “Alim dan jahil mengetahui sebagian firman Ilahi. Namun sebagian lainnya hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang memiliki kecerlangan batin dan subtilitas indra serta keluasan jiwa.”[7]

Imam Khomeini juga meyakini bahwa mereka yang tidak memiliki dzauq (rasa yang dicerap hati dan batin) irfani, tentu tidak akan dapat memahami sebagian makrifat agama. Imam Khomeini bertutur ihwal ayat 8 dan 9 surah al-Najm (53) yang telah dijelaskan sebelumnya, “Ayat-ayat ini hanya dapat dipahami oleh orang yang dirinya telah memahami kedekatan (qurb) kepada Tuhan.”[8] Namun Imam Khomeini mengkritisi orang yang berkata bahwa maarif ini adalah ucapan-ucapan seorang darwis. Imam Khomeini Ra menandaskan bahwa semua ini secara subtil terdapat dalam al-Qur’an.

Terlepas dari itu, sebagian dari penafsiran-penafsiran yang ada dari ulama Syiah terdapat tafsir-tafsir irfani dimana Anda dapat merujuk pada kitab-kitab Mullah Shadra Syirazi, Mullah Ali Nuri, Haji Mulla Hadi Sabzewari, Aqha Muhammad Ridha Qumsyei dan Imam Khomeini Ra. Namun poin ini penting bahwa orang-orang ini semuanya menghindari hal-hal permukaan yang tidak rasional. Dalam pada itu, orang-orang ini menjelaskan perkara-perkara irfani secara rasional dan argumentatif.[9]

Karena itu, tafsir irfani dalam memahami al-Qur’an sangat urgen dibutuhkan dan bahkan menurut Imam Khomeini Ra seorang mufassir yang lalai terhadap penjelasan perkara-perkara irfani dan akhlak maka sesungguhnya ia telah lalai terhadap tujuan al-Qur’an dan maksud utama penurunan kitab-kitab samawi dan pengutusan para rasul.[10] Penting juga untuk memperhatikan masalah ini bahwa Imam Khomeini memandang sumber penafsiran-penafsiran irfani adalah pengetahuan-pengetahuan (maarif) Ahlulbait As.[11]

Namun demikian dalam tafsir irfani kita harus mencermati dua poin penting sebagai berikut. Pertama, bahwa dalam tafsir-tafsir ini harus bersandar dan berpijak pada maarif Ahlulbait As bukan temuan-temuan personal. Kedua, lebih baik temuan-temuan irfani itu bersifat rasional dan argumentatif. Kalau tidak demikian maka hal itu tidak dapat diterima.


Kelima, Melihat Tuhan pada Segala Sesuatu di Alam Semesta

Anda katakan bahwa para arif meyakini bahwa mereka menyaksikan Tuhan pada seluruh fenomena alam semesta; padahal disebutkan dalam al-Qur’an, “laisa kamitslihi syai” (tiada sesuatu apa pun yang serupa dengan-Nya). Harus kita ketahui bahwa sebenarnya pandangan para arif terhadap tauhid lebih sempurna dan lebih akurat daripada mereka berpandangan bahwa Tuhan sebagaimana makhluk-makhluk bumi. Atas dasar ini, ada baiknya kami sedikit menjelaskan tentang tauhid dalam pandangan para arif:

Tauhid dalam irfan islami bermakna bahwa tiada satu pun yang eksis selain Tuhan. Dalam pandangan ini, seorang arif Muslim memandang bahwa segala sesuatu adalah manifestasi wujud Tuhan dan tidak melihat sesuatu yang lain selain-Nya. Segala sesuatu selain Allah Swt adalah jelmaan-Nya yang mewujud berkat kemurahan-Nya. Tauhid seorang arif lebih kuat dan sublim dari tauhid seorang filosof. Arif memandang satu-satunya yang wujud (wujud hakiki) adalah Tuhan dan segala sesuatu selain Tuhan adalah penampakan dan murni hubungan (ain rabth) kepada Allah Swt. Menurut arif bahwa wujud bersifat simpel (basith) dan tunggal (wâhid) dari sudut pandang mana pun. Tidak terdapat kemajemukan vertikal dan horizontal pada-Nya. Kemajemukan (katsrat) adalah penampakan bukan keberadaan; hubungan segala sesuatu selain Allah kepada Tuhan laksana bayangan terhadap pemilik bayangan dan laksana cermin dan pemilik wajah.[12]

Sebagaimana yang Anda ketahui bahwa bayangan, wujudnya bersandar pada pemiliki bayangan dan potret kita pada cermin juga bersandar pada diri kita dan sama sekali tidak akan pernah mewujud tanpa keberadaan kita. Seluruh entitas dan makhluk yang terdapat di alam semesta ini memiliki hubungan sedemikian terkait dengan Tuhan.

Karena itu, para arif yang mengatakan bahwa kami melihat Tuhan pada segala sesuatu, bukan bermakna bahwa segala sesuatu seperti pohon, sungai dan sebagainya itu adalah Tuhan. Atau Tuhan seperti mereka, melainkan kesemua ini penampakan dan bayangan dari wujud Tuhan. Dengan kata lain, tajalli (manifestasi) wujud Tuhan; misalnya tatkala mengenal suara seseorang maka Anda memahami kehadirannya. Dengan kata lain, dengan mendengar suara maka tidak akan terlintas dalam benak Anda selain pemilik suara. Para arif juga dalam menyaksikan alam semesta tidak melihat sesuatu yang lain selain Tuhan. Karena itu, tuturan para arif tidak bertentangan dengan makna ayat yang dinukil di atas. Lantaran ayat tersebut menjelaskan bahwa tiada sesuatu apa pun yang mirip dengan Tuhan. Dan keyakinan para arif juga bahwa tiada satu pun di dunia ini tidak memiliki wujud hakiki kecuali wujud Allah Swt. Imam Khomeini dalam hal ini menuturkan, “Eksitensi sejati bersumber dari Tuhan. Dan karena manifestasi sama sekali tidak mandiri dan keberadaannya adalah hubungan itu sendiri. Ia tidak memiliki hukum mandiri sehingga kita menyebutnya sebagai eksisten di hadapan eksistensi Tuhan.

Imam Khomeini memandang beda antara arif dan hakim (filosof) bahwa filosof tenggelam dalam kemajemukan materi sementara arif karam dalam kesatuan (wahdat). Filosof hanya melihat dunia dan kemudian sampai kepada Tuhan. Namun arif hanya melihat Tuhan dan selesai.[13]

Apa yang dapat disebutkan sebagai kesimpulan adalah bahwa irfan bertitik tolak dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Ahlulbait As. Kendati kita juga tidak boleh menerima dan memandangnya sebagai irfan ungkapan-ungkapan batil sebagian orang dungu sufi yang memandang dirinya sebagai arif dan segala sesuatu yang bernama irfan yang disodorkan kepada masyarakat.

Poin penutup adalah bahwa kita harus berjaga-jaga bahwa ajaran-ajaran murni irfan harus kita pelajari dari ulama agama dan para sesepuh di jalan ini menyitir syair:
Janganlah melintasi tingkatan ini tanpa kawan,
Inilah kegelapan takutlah dari bahaya kesesatan.


Referensi:

[1]. Ringkasan dari makalah, Irfan wa Hikmat-e Islami, Muhammad Taqi Mishbah, yang terdapat padaFashl Name Ma’rifat, No. 221, sesuai nukilan dari Pertanyaan 3321.

[2]. Mulla Shadra menggunakan istilah sufi dungu. Sesuai nukilan dari ‘Ârifân Musalmân wa Syariat Islâm, Ali Aqha Nuri, hal. 34, Intisyarat-e Adyan wa Madzhahib.

[3]. Mishbâh al-Hidâyah wa Miftâh al-Kifâyah, Kasyani, Korektor dan Pendahuluan, Sayid Jalaluddin Hamai, hal. 81, Nasyr-e Huma.

[4]. Taqrirât Dar Falsafah Imâm Khomeini, Sayid Abdul Ghani Ardabili, jil. 2, hal. 156, Muassasah Tanzhim wa Nasyr-e Atsar-e Imam Khomeini.

[5]. Âsynâi bâ ‘Ulûm Islâmi, Murtadha Muthahhari, hal. 196, Intisyarat-e Shadra.

[6]. Ayat-ayat ini berceritera tentang mikraj Rasulullah Saw, jarak antara Rasulullah Saw dan Allah Swt sejarak dua busur anak panah.

[7]. Bihâr al-Anwâr, Allamah Majlisi, jil. 90, hal. 120, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1362 S.

[8]. Shahifeh-ye Imâm, jil. 17, hal. 457-458, Muassasah Tanzhim wa Nasyr-e Atsar-e Imam Khomeini.

[9]. Tafsir Qur’ân Majid Bargirifte az Âtsâr-e Imâm Khomeini, Sayid Muhammad Ali Iyazi, jil. 1, hal. 456 di bawah pengawasan Muhammad Hadi Ma’rifat, Nasyr-e ‘Uruj.Ibid, jil. 17, hal. 458.

[10]. Ibid, hal. 219.

[11]. Ibid, hal. 225.

[12]. Silahkan lihat, Pertanyaan 1220 pada site ini.

[13]. Mishbâh al-Hidâyah ila al-Khilâfah wa al-Wilâyah, Imam Khomeini, hal. 48, Muassasah Tanzhim wa Nasyr-e Atsar-e Imam Khomeini.

(Study-Syiah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Perbedaan Irfan teoritis dan Irfan praktis


Terdapat dua makna yang digunakan dalam bidang Irfan praktis:
1. Suluk itu sendiri dan segala perbuatan yang dilakukan.
2. Ajaran-ajarannya yang mengandung tentang metode suluk.

Irfan teoritis terkadang digunakan sebagai lawan kata dari makna pertama. Dan terkadang kebalikan dari makna kedua dari dua makna Irfan praktis di atas. Artinya Irfan teoritis adalah menjelaskan temuan-temuan dan capaian-capaian seorang salik atau berada pada tataran menjelaskan pembahasan ontologi dan ilmu yang mengkaji tentang manusia.


Terdapat ragam ungkapan dan penjelasan pada ucapan-ucapan para ahli makrifat dalam menerangkan Irfan teoritis dan Irfan praktis dan perbedaan di antara keduanya.

Penjelasan pertama:


Irfan memiliki dua dimensi:

1. Dimensi sosial (tasawwuf): Dalam dimensi ini yang menjadi obyek kajian adalah Irfan sebagai mazhab sosial dengan segala tipologi yang dimilikinya.[1]

2. Dimensi keilmuan dan kebudayaan: Dan dimensi ini sendiri terdiri dari dua bagian lainnnya:

a. Praktis, dari dimensi ini Irfan ingin mengubah manusia dan singkatnya menjelaskan pelbagai hubungan dan tugas manusia terkait dengan dirinya, semesta dan Tuhan.

b. Teoritis, dari dimensi ini Irfan ingin memberikan penafsiran dan interpretasi tentang keberadaan; artinya interpretasi tentang Tuhan, semesta dan diri manusia.[2]


Penjelasan kedua:

Pembahasan yang membimbing seseorang untuk bagaimana mengenal manusia, manusia sempurna (insan kamil), tauhid, nama-nama, dan sifat-sifat Tuhan serta masalah ontologi seluruhnya merupakan tema-tema penting yang diusung dalam pembahasan Irfan teoritis. Adapun terkait dengan masalah zuhud, kecintaan, riyadhah, dzikir, berbuat kebaikan, beribadah dan lain sebagainya merupakan tema-tema yang diangkat dalam pembahasan Irfan praktis.[3]

Penjelasan Ketiga:

Dalam Irfan teoritis (nazhari) apa yang disaksikan dengan hati dijelaskan dengan lisan akal.[4]


Penjelasan Keempat:

Pengarang kitab Irfan teoritis setelah menjelaskan matlab ini bahwa yang paling asasi dalam masalah Irfan Islami (unsur-unsur utama Irfan) adalah:
1. Wahdat.
2. Syuhud.
3. Fana.
4. Riyadah (olah jiwa).
5. Cinta (isyq).

Dalam menjelaskan perbedaan antara Irfan teoritis dan praktis, ia berkata: "Irfan praktis adalah mengimplementasikan program-program yang sarat dengan usaha dan kerja keras dalam melintasi pelbagai tingkatan dan stasiun untuk sampai pada derajat-derajat dan kondisi-kondisi di jalan meraih makrifat irfani dan sampai kepada tauhid dan kefanaan yang disebut sebagai thariqat. Adapun Irfan teoritis adalah sekumpulan redaksi dan ungkapan para arif terkait dengan pelbagai pengetahuan, capaian syuhudinya tentang hakikat semesta dan manusia.[5]


Penjelasan Kelima:

Dalam kitab Tamhid al-Qawâid, setelah menjelaskan pelbagai objeksi ilmiah (isykalan) yang diarahkan pada fondasi-fondasi Irfan teoritis (nazhari) tentang keharusan adanya seorang manusia sempurna (insan kamil), objeksi-objeksi ini mengarah pada fondasi Irfan praktis – untuk sampai pada derajat yang disebut sebagai Kaun Jami' – dan disebutkan bahwa: "Ucapan-ucapan yang telah lewat merupakan objeksi-objeksi yang mengarah pada Irfan teoritis. Dan obyeksi-obyeksi ini terkait dengan Irfan praktis.

Ayatullah Jawadi Amuli dalam memberikan ulasan terkait masalah ini berkata: "Yang dimaksud dengan Irfan amali (praktis) dalam hal ini adalah sekumpulan ajaran dan bimbingan yang menyangkut masalah metodologi dan tata laku. Karena itu hal ini tidak berseberangan dengan Irfan praktis yang membentuk teks suluk dan perbuatan dengan pelbagai redaksi, proposisi, masalah dan semisalnya.[6] Ayatullah Jawadi Amuli menegaskan bahwa dalam Irfan yang mengemuka bukanlah sebuah masalah atau sebuah proposisi. Yang mengemuka adalah tingkatan dan stasiun. Artinya seorang arif berupaya dengan melintasi tingkatan-tingkatan, ia sampai pada tingkatan ain al-yaqin yang bukan merupakan sebuah pengetahuan yang dicapai dengan pemahaman, melainkan sebuah penyaksian (syuhud) terhadap realitas sebenarnya.

Mereka yang mencerap dan memahami sebuah realitas melalui pemahaman dan konsep adalah laksana orang yang menyaksikan asap yang muncul dari api. Akan tetapi mereka yang seperti Haritsa bin Malik yang telah berhasil menyingkirkan media, menyaksikan langsung dengan ain al-yaqin wujud api.

Yang menarik adalah menyaksikan api

Bukan sekedar melihat membumbung dari kejauhan asap api

Akan tetapi Irfan teoritis yang bersandar dan berpijak pada konsep dan pemahaman sebagai ilmu memiliki proposisi dan argumentasi.[7]

Kesimpulan pembahasan:
Sebagaimana yang telah dikaji pada kesempatan kali ini secara lahir terdapat kontradiksi dan kerancuan dalam penjelasan-penjelasan ini. Akan tetapi dengan sedikit menyimak secara teliti atas matlab yang dijelaskan akan menjadi terang bahwa keluasan dan kesempitan pemahaman Irfan teoritis bergantung pada bagaimana kita memaknai Irfan praktis dalam benak kita.

Terkait dengan Irfan praktis terdapat dua makna yang mengemuka:
1. Suluk itu sendiri dan perbuatan
2. Ajaran-ajarannya yang mengandung tentang metode suluk.
Dua penjelasan pertama terkait dengan perbedaan antara Irfan teoritis dan Irfan praktis. Lantaran Irfan teoritis terkadang digunakan sebagai lawan kata dari makna kedua. Adapun tiga penjelasan belakangan Irfan teoritis diposisikan berhadapan (lawan kata dari) dengan makna pertama. Dan sesuai dengan ungkapan kedua tidak ada masalah bahwa seluruh pembahasan Asfar Arba'ah (Empat Perjalanan) dan penjelasan tingkatan-tingkatan sair suluk dan qaus su'ud, zuhud, kecintaan (mahabbah), riyadhah (olah jiwa) dan sebagianya dikemukakan dalam Irfan teoritis.[]


Catatan kaki:
[1]. Atas dasar ini ia disebut sebagai firqah sufiyah. Dalam buku "Mabâni Irfân wa Tasawwuf" karya Dr. Qasim Anshari pada pelajaran pertama dijelaskan alasan penamaan firqah ini sebagai firqah sufiyah.
[2]. Syahid Muthahhari, Asynai ba 'Ulum-e Islami, bag. Irfân, hal. 76-77.
[3]. Nazhimzadeh Qummi, 'Ali Aiyine 'Irfan, hal. 40-41.
[4]. Syahid Muthahhari, A^synâi bâ 'Ulûm-e Islâmi, bag. Irfân, hal. 76-77.
[5]. Dr. Yatsribi, Irfân Nazhari, hal. 38-53.
[6]. Ayatullah Jawadi Amuli, Tahrir Tamhid al-Qawâid, hal. 598-601.
[7]. Ayatullah Jawadi Amuli, Tahrir Tamhid al-Qawâid, hal. 13 dan 158.

(Syiah-Menjawab/ABNS)

Apakah yang dimaksud dengan fana dalam dunia Irfan?


Apakah yang dimaksud dengan fana dalam dunia Irfan?

Fana merupakan kata yang diserap dari bahasa Arab dan secara leksikal bermakna tiada atau binasa. Dalam terminologi Irfan fana ini bermakna tenggelamnya seorang hamba dalam samudera Ilahi. Sedemikian karamnya sehinggga kemanusiaan seorang hamba lebur dan sirna dalam rububiyah Tuhan. Para pesuluk dan orang-orang yang meniti jalan menuju Allah, membagi beberapa tingkatan (manazil) untuk sampai kepada Allah Swt dan fana dipandang sebagai jalan pamungkas dan akhir dari perjalanan seorang salik (pejalan) menuju Allah Swt.

Misalnya Fariduddin Attar terkait dengan masalah ini meyakini delapan jalan untuk mencapai Allah Swt: Thalab (menuntut), isyq (cinta ekstrem), istighna (merasa cukup), tauhid, takjub kefakiran dan fana. Dan di sisi lain, orang-orang yang mencicipi kelezatan Irfan membaginya menjadi beberapa jalan. Pertama, fana secara lahir atau fana seluruh perbuatan. Kedua, fana secara batin yang merupakan fana pada sifat-sifat. Ketiga fana dzat.

Para ahli makrifat berkata bahwa mereka yang telah fana maka mereka baqa (berkediaman tetap) di hadirat Ahadiyat (Allah Swt).

Fana merupakan kata yang diserap dari bahasa Arab dan secara leksikal bermakna tiada atau binasa.[1] Dalam terminologi Irfan, fana disebutkan sebagai tenggelamnya seorang hamba dalam samudera Ilahi. Sedemikian karamnya sehinggga kemanusiaan seorang hamba lebur dan sirna dalam rububiyah Tuhan.


Untuk menjelaskan duduk perkara dari apa yang dijelaskan sebelumnya kiranya poin-poin berikut ini perlu mendapat perhatian:

1. Sebagaimana kita tahu bahwa Allah Swt, dengan kehendak-Nya yang penuh hikmah, sedemikian Dia mencipta manusia sehingga sepanjang hidupnya, senantiasa berpikir bagaimana dapat sampai kepada kesempurnaan mutlak dan melalui kehidupan yang transident tersebut ia dapat menembus batas keabadian. Untuk dapat sampai kepada tujuan ini maka ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan dan membuang-buang waktu. Ia senantiasa berupaya mendapatkan apa yang tidak ia miliki dan tatkala ia meraihnya, kecendrungan dan hasratnya kepada sesuatu yang lebih baik dan lebih sempurna pada dirinya senantiasa bergelora. Hasrat ini akan terus-menerus menghantuinya sebagaimana dalam syair Hafiz:

Takkan surut biduk ke pantai hingga aku mencapai dermaga seberang

Tak peduli jiwa yang akan sampai kepada Sang Pencipta atau akan berkalang


Akan tetapi harus diperhatikan bahwa harapan dan hasrat ini adalah bersumber dari kedalaman hati dan bercorak hakiki bukan majazi. Hasrat dan harapan ini merupakan sebuah realitas dan hakikat yang sejalan dan selaras dengan derajat dan kedudukan manusia sehingga dengan mengeksplorasi anugerah ini yang dikhususkan untuknya supaya melesakkannya kepada kesempurnaan dan kembali kepada kediaman aslinya:

Sesiapa yang jauh dari kediamannya

Maka hendaklah ia mencari hakikat kediriannya


2. Manusia adalah sebuah entitas yang merdeka dan bebas memilih yang dapat melesak hingga titik tanpa batas pada dua kausa su'udi dan nuzuli-nya.

3. Manusia dalam perjalanana menuju kesempurnaan melintasi pelbagai hambatan dan rintangan yang disebut oleh para urafa sebagai ta'ayyunat (entifikasi)[2] dan inniyat (keakuan).[3] Selagi ia tidak merobohkan entifikasi-entifikasi ini dan dan menjebol keakuan-keakuan ini maka sekali-kali ia tidak akan pernah sampai pada tujuan. Entifikasi dan keakuan ini adalah debu dan tirai gelap yang menjadi penghalang memendarnya cahaya kebenaran atas diri seorang hamba.

Engkau tidak keluar dari watak aslimu

Kemanakah engkau hendak ayunkan langkahmu

Tirai dan topeng membungkus dirimu

Singkirkanlah debu ini hingga engkau mampu melihat jalanmu


Dengan memperhatikan pendahuluan-pendahuluan ini kita berkata bahwa tatkala seorang salik melintasi stasiun demi stasiun sedemikian hingga ia tak lagi mengenakan busana dirinya dan menanggalkan pelbagai keakuan, entifikasi dan pelbagai keterikatan duniawi dan bahkan maknawi kemudian lebur, manunggal dan karam dalam samudera Hadhrat Ahadiyat maka ia telah mencapai makam fana. Dalam kondisi seperti ini ia telah melupakan diri dan kediriannya serta sirna dalam keindahan Sang Kinasih dan kemanapun ia melihat yang ia saksikan hanyalah dan semata hanyalah Dia.

Karena itu ahli makrifat berkata bahwa penutur (ana al-Haq) sejatinya berkata-kata sesuatu yang tidak dikehendakinya sehingga keluar dari lisannya seruan bahwa ia adalah Tuhan, melainkan sejatinya ia tengah menafikan dirinya dan keakuannya. Artinya bahwa aku tidak melihat siapa pun dalam diriku. Hanya Engkaulah yang kusaksikan dan lamat-lamat bertutur lirih:

Antara aku dan Engkau terdapat diri yang menghijabi

Dengan keagungan-Mu angkatlah tirai yang membentang ini

Kemarilah singkirkan wujud Hafiz dari dirinya

Sehingga dengan Wujud-Mu tiada yang mendengar bahwa aku adalah aku


Sebagai kelanjutan dari pembahasan ini kiranya kita juga perlu menyimak dua poin penting berikut ini:

1. Para arif yang meniti jalan menuju Allah membagi jalan tersebut dengan beberapa tingkatan dan stasiun[4] dan mereka berpandangan bahwa fana merupakan ujung dari tingkatan dan stasiun ini. Misalnya Fariruddin Atthar dalam perjalanan ini meyakini ada tujuh tingkatan dan stasiun: Thalab (menuntut), isyq (cinta ekstrem), istighna (merasa cukup), tauhid, takjub, kefakiran dan terakhir adalah fana.

2. Para ahli makrifat menyebutkan bagian-bagian fana sebagai berikut:[5]

1. Fana secara lahir yang merupakan fana seluruh perbuatan. Artinya bahwa seorang arif memandang seluruh perbutan dan pekerjaan itu sebagai berasal dari Tuhan dan menyandarkan kepada-Nya. Dalam hadis yang makruf qurb nawâfil disebutkan: "Dan sesungguhnya hambaku mendekatiku dengan amalan nafilah hingga Aku mencintainya. Bilamana Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar. Menjadi penglihatan yang dengannya ia melihat. Dan menjadi lisannya yang ia gunakan untuk bertutur-kata. Dan menjadi tangan yang dengannya ia meraih. Sekiranya ia berdoa maka Aku kabulkan doanya dan apabila ia memohon maka Aku penuhi permohonannya.[6]

2. Fana secara batin yang merupakan fana pada sifat-sifat. Artinya berubahnya sifat-sifat kemanusiaan menjadi sifat-sifat Ilahi.

Khaja Nasiruddin Thusi berkata:
Karena seorang arif membawa dirinya sendiri dan menyatu dengan Tuhan maka ia melihat seluruh kekuatan yang ia miliki karam dalam samudera kekuatan-Nya. Dan seluruh ilmunya ia saksikan tenggelam dalam lautan ilmu-Nya sehingga tiada satu pun makhluk yang luput darinya dan melihat seluruh keinginannya larut dalam keinginan-Nya sehingga tiada satu pun dari makhluk yang dapat menolak atau mencegahnya.[7]

3. Fana dzat yang merupakan puncak tertinggi dari perjalanan malakuti dan ruhani seorang arif yang dapat dilakukan oleh sebagian jawara suluk. Bahkan hijab cahaya nama-nama dan sifat-sifat juga akan tersingkir dan sampai pada pelbagai jelmaan dzati ghaibi. Dan dalam penyaksian ini, ia menyaksikan dominasi qayyumi Tuhan dan kefanaan dzatinya. Ia menyaksikan entifikasi wujudnya dan seluruh entitas berada di bawah siluet dan bayangan Hak sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Khomeini Ra dalam karya monumental Irfannya, Chihil Hadits (40 Hadis) "Inna ruha al-Mu'min asyadda ittishalan biruhiLlah min ittishal syia' al-syams biha."[8]
(Sesungguhnya pertautan ruh seorang mukmin dengan ruh Tuhan lebih erat dan lekat ketimbang pertautan cahaya matahari dengan matahari).[9][]


Catatan Kaki:
[1]. Farhangg-e Farsi, 'Amid, hal. 1551.
[2]. Tipologi dan karakteristik seseorang.
[3]. Keberadaan dan eksisten.
[4]. Akan tetapi terdapat ragam pendapat terkait dengan bilangan stasiun dan tingkatan ini.
[5]. Silahkan lihat Diwân Hâfiz ba Syarh-e 'Irfân, Ahmad Daneshgar, hal. 144-145.
[6]. Ushûl Kâfi, Kitâb al-Iman wa al-Kufr, bâb "Man adza al-Muslimin wa ihtiqârihim", hadis ke-8; Mahasin Barqi, hal. 291.
[7]. Syarh-e Isyârât, Ibnu Sina, jil. 3, Maqâmat al-'A^rifîn, hal. 390.
[8]. Ushûl Al-Kâfi, jil. 2, Kitâb al-Kufr wa al-Imân, bab Ukhuwat Mu'minin, hadis ke-4.
[9]. Silahkan lihat, Chihil Hadîts, Imam Khomeini, hal. 382 (Edisi Indonesianya 40 Hadis Imam Khomeini)

(Syiah-Menjawab/ABNS)

Iri-dengki: Lorong Sempit Tersulit


Merenungi dan menikmati puisi-puisi Sang Maulana Rumi tidak akan pernah membuat kita terlena, bahkan kita beliau seru untuk selalu mawas diri. Berikut salah satu puisi beliau yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Sahabat Herman Soetomo Sebagai Berikut:


Siapa kah Dia?


Siapakah Dia?
Yang memenuhi dada dengan kesedihan;
lalu ketika engkau mengeluh-mengaduh pada-Nya,
diubahnya kepahitanmu menjadi manis.

Awalnya Dia tampil layaknya pengawas nan teliti;
sampai akhirnya kau kan dapati Dia bagaikan
sebuah Gudang Mutiara. [1]

Kekasih yang Maha Lembut:
Engkau lah yang dalam sekejap
mengubah keburukan menjadi kebaikan. [2]

Walau awalnya jiwa si hamba serendah setan,
digubah-Nya jadi secantik bidadari. [3]

Sebuah pemakaman dibuat-Nya
menjadi seindah pesta perkawinan. [4]

Dan Dia lah yang membuat orang
yang mengetahui dan menguasai dunia
terbutakan dari saat dia segumpal janin
dalam rahim ibunya. [5]

Dia yang mengubah kegelapan menjadi cahaya,
yang mengubah duri menjadi kelopak mawar;
Dia mencabut duri dari telapak tanganmu
dan menyediakan untukmu sebuah
pembaringan yang tersusun dari mawar.

Bagi Ibrahim, khalil-Nya, api dinyalakan-Nya,
dan diubah-Nya tanur Namrud menjadi
sesejuk bunga-bunga merekah. [6]

Dia limpahkan cahaya pada bintang-bintang,
dan ditolongnya mereka yang tak berdaya.
Dia mengganjar hamba-Nya,
bahkan memuji mereka.

Dia lah yang membuat dosa para pendosa
berserakan bagai dedaunan dilanda angin
bulan Desember;
ke telinga mereka yang menghujat-Nya
dilantunkan-Nya ayat bahwa Dia pengampun
bagi mereka yang bertaubat.

Dia berkata, "Wahai kaum yang beriman
maafkan lah orang yang tergelincir'; [7]
ketika sang hamba menegakkan shalat,
Dia lah yang diam-diam mengaminkan.

Adalah "Aamiin" dari-Nya yang membuat
sang hamba merasakan kebahagiaan
dalam shalatnya;
bagaikan buah tin, sisi lahiriah maupun batiniah
sang hamba menjadi manis dan menyenangkan. [8]

Rasa bahagia yang teramat mendalam ini
yang menguatkan tangan dan kaki sang hamba,
ketika dia dilintaskan melewati kesenangan
dan kemalangan;
karena rasa bahagia itu memberi kekuatan
setara kedigdayaan seorang Rustam
kepada tubuh seorang hamba yang rapuh.


Dalam rasa bahagia Ilahiah,
sang hamba bagaikan seorang Rustam; [9]
tanpa kehadirannya, bahkan seorang Rustam
terpuruk dalam liputan kepedihan;

dengan rasa bahagia ini lah jiwa diangkat dan dikuatkan oleh Sang Wazir. [10]

Kukirimkan warta ini dengan sepenuh hatiku:
ia telah paham cara menempuh jalan dengan cepat--
membawa penjelasan tentang Syams ad-Diin
ke Tabriz-nya keimanan. [11]


Catatan:
[1] Terkait dengan pengertian tentang "Khazanah Tersembunyi,"
yang telah dibahas pada puisi-puisi yang lain.

[2] "kecuali mereka yang bertaubat, beriman dan beramal
amal yang shalih, maka sayyiah mereka diganti Allah
dengan hasanah..."
(QS Al Furqaan [25]: 70)

[3] Ketika tenggelam dalam kejahilan jiwa seseorang dapat
merosot serendah setan; dan sebaliknya ketika sungguh bertaubat
dia dapat kembali meraih keindahan jiwanya.

[4] Suasana ketika seorang suci dimakamkan.
Ada beberapa terjemahan di blog ini dimana Mawlana Rumi
mengisyaratkan soal tersebut.

[5] Hakikat insan adalah jiwanya.
Salah satu momen yang menakjubkan adalah saat
jiwa itu yang didatangkan-Nya ketika janin (atau calon jasadnya)
berusia 120 hari dalam rahim ibunya.
Didalam jiwa terkandung Ruh.

[6] "... Wahai api, jadi lah sejuk dan jadi lah keselamatan
bagi Ibrahim."
(QS [21]: 69)

[7] "... orang-orang yang menahan amarahnya
dan memaafkan..."
(QS [3]: 134)

[8] Salah satu pesan Rasulullah saw, dalam kutbah haji perpisahan
bagi kaum beriman adalah agar orang lain terjaga dari tangan
dan lisan mereka.

[9] Rustam: seorang pahlawan legendaris Persia kuno.

[10] Wazir atau penasehat bagi jiwa, Ruh al-Quds.

[11] Melukiskan ketakziman seorang Mawlana Rumi kepada
Syamsuddin (Matahari Agama) at-Tabriz.
Interaksi sepasang Waliyullah ini bagaikan Matahari dan Rembulan,
atau Langit dan Bumi, dari sini dilahirkan bermacam pembelajaran
berharga bagi para penempuh jalan taubat.


Sumber:
Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, ghazal 528
Diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh A.J. Arberyy
dalam "Mystical Poems of Rumi 1"
The University of Chicago Press, 1968.

_______________________

Selamat merenungkannya…

Iri-dengki: Lorong Sempit Tersulit

Jangan masuki lembah ini tanpa pemandu; [1]
ikutilah ucapan sang Khalilullah Ibrahim a.s, “… Aku tidak suka
sesuatu yang tenggelam …” [2]

Bertolaklah dari dunia bayangan, raihlah matahari:
berpeganglah ke lengan baju Lelaki seperti Syamsi-Tabriz. [3]

Jika belum kau ketahui alamat pesta perkawinan seperti ini,
carilah Cahaya al-Haqq, Husamuddin. [4]

Ketika engkau tengah menempuh Jalan, dan tenggorokanmu
tercekik iri-dengki, ketahuilah, itu ciri iblis;
dia melanggar batas karena iri-dengki.

Karena iri-dengkinya, dia membenci Adam a.s; [5]
dan karena iri-dengki pula dia berperang melawan kebahagiaan. [6]

Di dalam Jalan, tiada lorong sempit yang lebih sulit
daripada hal ini; beruntunglah pejalan yang tidak membawa
iri-dengki sebagai teman.

Ketahuilah, ragamu adalah sarang iri-dengki;
para warga di dalamnya tercemari oleh iri-dengki.

Semula, raga ini Tuhan buat sangat murni, tapi
kemudian menjadi sarang iri-dengki.

Ayat-Nya, “… dan sucikanlah rumah-Ku …” [7]
adalah perintah untuk memurnikan diri;
karena hanya di dalam qalb yang tersucikan tersimpan
harta-karun Cahaya Ilahiah, itulah sejatinya Permata Bumi.

Jika tipu-daya dan iri-dengki kau tujukan kepada seseorang
yang tanpa iri-dengki, maka asap gelap naik menghitamkan qalb-mu.

Perlakukanlah dirimu bagaikan debu di kaki para Lelaki Ilahiah,
seraya engkau benamkan iri-dengkimu ke tanah.

(Rumi: Matsnavi, I no 428 – 436, terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson)

Catatan:
[1] Jangan menempuh jalan pencarian tanpa bimbingan seorang Guru Sejati
[2] QS [6]: 76.
[3] “Matahari dari Tabriz,” pembimbing Mawlana Rumi ke Jalan pencarian Tuhan.
[4] Husamuddin, salah seorang murid kesayangan Mawlana Rumi,
bergelar “Zhiya ul-Haqq”. Diriwayatkan bahwa dialah yang mencatat
ujaran-ujaran Mawlana Rumi yang kemudian dikenal sebagai Matsnavi.
[5] QS [38]: 76, “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api,
sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah,” merupakan ucapan Azazil
yang menjadi sumber pertama iri-dengki; sejak itu dia terusir dan dikenal sebagai iblis.
[6] QS [38]: 82 – 83, “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka
semuanya,kecuali abdi-abdi-Mu yang al-Mukhlashiin”.
[7] QS [22]: 46.


(Serambi-Tashawuf/Ngrumi/ABNS)

Wali Allah Dalam Pandangan Maulana Rumi


Matsnawi-e Ma`nawi adalah sebuah kitab tentang para wali dan jalan hidup mereka. Segala seluk beluk tentang wali dijelaskan dalam kitab ini. Di antara kitab-kitab mistik (‘irfan), jarang ditemukan kitab seperti Matsnawi-e Ma`nawi yang mampu menerangkan ihwal dan rahasia para wali dengan penjabaran mendetil dan memukau.

Bisa dikatakan bahwa kitab ini jarang, kalau tak bisa dikatakan tidak, memiliki padanan di antara kitab-kitab irfan atau warisan-warisan mistis di dunia. Kitab agung ini ibarat samudera yang bergolak dan penuh dengan mutiara-mutiara hakikat ketuhanan. Semuanya dilantunkan dalam bingkai syair-syair indah Persia. Kami hanya akan membahas salah satu masalah irfan terpenting Rumi, yaitu ihwal wali Allah.

Dalam pandangan Rumi, kewalian (wilayah) adalah sebuah kehidupan kedua; mati dan keluar dari kehidupan materi, lalu hidup dengan kehidupan spiritual. Alquran juga menerangkan makna ini, Apakah orang yang mati, kemudian Kami hidupkan dan memberinya cahaya, yang dengannya ia berjalan di tengah manusia, sama seperti orang berada dalam kegelapan dan tak akan keluar darinya. (Al-An`am:122).

Para wali Allah seumpama Isrofil yang meniupkan nyawa kepada orang mati dan memberinya kehidupan kembali.

Dari mulut manusia yang harum

Kudengar pesan ilahi, juga salam

Sqlam ini tercium oleh semua

Kuteguk dengan hati yang lebih lezat darinya

Dari salam itu terdengar salam Tuhan

Yang telah nyalakan api dalam dirinya

Ia sudah mati, tapi hidup bersama Tuhan

Karena itulah bibirnya ucapkan rahasia Tuhan

Matinya tubuh adalah kehidupan

Derita tubuh kan lestarikan jiwa

Para wali adalah Isrofil masa ini

Mereka hidupkan orang mati

Jiwa-jiwa mati dalam kuburan badan

Suara mereka teredam dalam kafan

Mereka kata, suara ini berbeda dari yang lain

Yang beri kehidupan adalah suara Tuhan

Kita mati dan habis sudah

Kita bangun saat suara Tuhan berkumandang

Bahwa para wali ibarat Isrofil yang memberikan jiwa kepada orang mati, Rumi menjelaskan bahwa mereka sudah mati meninggalkan diri sendiri dan hidup kembali dengan (cahaya) Allah. Mereka telah melebur dalam cinta ilahi sedemikian rupa, sehingga mereka mendengar dan melihat dengan Allah. Semua sifat mereka adalah sifat rabbani. Rumi berargumen dengan hadis qurb nawafil, qurb faraidh, dan riwayat man kana Allah lahu…Meski hakikat-hakikat yang didengar dari lisan wali Allah berasal dari lidah mereka, namun sesungguhnya itu adalah suara Sang Penguasa Wujud.

Rahasianya adalah bahwa Allah telah mengajarkan rahasia-rahasia asma ilahi kepada manusia serta menyingkap rahasia asmaul husna melalui manusia atau wali-Nya kepada makhluk-makhluk lain. Lantaran manusia adalah manifestasi asma ilahi, maka cahayanya adalah cahaya Allah dan cahaya-Nya menyinari orang-orang beriman melalui wali-Nya.

Dia yang ajarkan asma-Nya kepada Adam

Dan Adam singkap asma-Nya kepada selainnya

Para wali menguasai alam wujud berkat kuasa Allah. Dengan kuasa-Nya pula mereka mampu menarik anak panah yang telah melesat, kembali ke busurnya.

Jika kita menyerupakan alam wujud sebagai samudera, maka para wali adalah paus-paus penjaga samudera ini dan ikan-ikan di dasarnya. Karena mereka berada dalam naungan kubah keagungan Allah, hingga membuat mereka tak bisa dikenali selain mereka. Para wali berada dalam kubah “la ya`rifunahum ghoiri” (tak ada yang mengenal mereka selain-Ku).

Mereka adalah ikan-ikan lihai di bawah samudera

Ular jadi ikan dengan sihir mereka

Mereka adalah ikan-ikan di dasar samudera Tuhan

Semua mereka kuasai sihir yang diijinkan Tuhan

Maka mustahil kenali mereka

Kesialan menyelam di sana dan keluar menjadi keberuntungan

Jika aku bicara tentang mereka hingga kiamat

Bicaraku tak akan rampung meski terjadi seratus kiamat.

Para wali adalah ‘bayangan’ Allah di dunia. Sebagian urafa menyebut wujud mutlak sebagai bayangan Allah. Mereka berdalil dengan ayat, Tidakkah kaulihat Tuhanmu yang telah memanjangkan bayangan. Dan andai Ia menghendaki, niscaya Ia akan membuatnya tenang. (Al-Furqan:48).

Menurut Rumi, bayangan yang dihamparkan Allah adalah para wali. Oleh karena itu, manusia harus berpegang dengan mereka agar terlindung dari bencana akhir zaman.

Hamba Tuhan adalah bayangan-Nya

Mati di dunia ini, tapi hidup di sisi-Nya

Segera pegang tangan mereka

Agar selamat dari bencana

Jangan pergi ke lembah tanpa pemandu

Seperti Ibrahim, katakan “la uhibbul afilin”

Para wali adalah alkemis sejati. Mereka merubah wujud manusia dari tembaga menjadi emas. Jika kisah tentang berubahnya tembaga menjadi emas adalah benar dan bukan sekedar mitos, lalu apa gunanya bagi manusia? Andai dunia ini dipenuhi emas sekalipun, bukankah itu tak akan berguna bagi manusia saat ia mati, dan bahkan hanya membawa penyesalan? Kimia yang sesungguhnya adalah kimia kewalian, yang mengantarkan manusia kepada Allah. Kewalian tak akan berakhir dengan kematian, bahkan turut menyertai manusia ke akhirat. Bisa dikatakan bahwa dalam wujud manusia, hanya kewalian yang tetap tersisa. Dengan satu pandangan, para wali bisa mengubah orang kafir menjadi orang beriman, orang musyrik menjadi muwahhid, orang bodoh menjadi berilmu, dan jauh dari Allah menjadi dekat dengan-Nya.

Dalam Buku Ketiga, Rumi menyebut para wali sebagai tabib-tabib ilahi. Ia membandingkan mereka dengan para tabib biasa, yang disebutnya sebagai ‘tabib-tabib dunia.’ Para wali adalah tabib-tabib jiwa. Mereka belajar dari Allah, mengendalikan alam dengan ijin-Nya, melihat langsung ke hati manusia, mendeteksi penyakitnya, dan mengobatinya. Mereka tahu apa manfaat dan bahaya setiap perbuatan dan tindakan. Ilmu mereka adalah ilham dari Allah yang tak mungkin dinodai oleh waswas dari setan.

Berbeda dengan tabib jasmani yang mengetahui kondisi manusia melalui nadinya, para wali mengetahuinya dari ilham ilahi. Tak seperti tabib biasa yang mengambil upah dari pasien, para nabi dan wali tak menuntut imbalan atas amanat kenabian dan kewalian mereka.

Kami adalah murid-murid Tuhan

Samudera terbelah saat tatap kami

Tabib-tabib jasmani itu berbeda

Mereka tahu batin manusia lewat nadi

Kami tahu batin manusia tanpa perantara

Karena kami miliki pandangan tajam

Tak ada upah yang kami kehendaki

Imbalan kami datang dari Yang Mahasuci

Dalam Buku Keempat, Rumi menegaskan bahwa para wali adalah ‘mata-mata’ hati. Mereka tahu penyakit agama dan hati pengikut mereka melalui tatapan mata. Mereka tahu isi hati manusia lewat nada bicara dan warna mata, bahkan meski tak satu pun kata terucap. Dengan mendengar nama seseorang dari jauh, mereka bisa menyelami batinnya hingga dasarnya. Sebagaimana dikatakan bahwa Yazid Basthami telah memberitahukan sifat dan kedudukan spiritual Abul Hasan Kharqani jauh sebelum ia dilahirkan.

Para nabi dan wali adalah wakil-wakil Allah. Memang Allah tak bisa dilihat dengan mata, tapi wakil-Nya bisa dilihat dengan mata. Melihat mereka sama saja dengan melihat Allah, seperti yang ditegaskan dalam riwayat dari Nabi saw,”Sesiapa yang melihatku, berarti ia telah melihat Allah.” Ini dikarenakan wali mutlak adalah manifestasi asmaul husna ilahi. Mereka telah melebur sedemikian rupa dalam cinta ilahi sehingga tak ada perpisahan antara mereka dan Allah.

Ketika masa kenabian telah berlalu dan wanginya telah berakhir, maka kita harus mencari wangi bunga kenabian dalam sari bunga kewalian, yang merupaka perasan dari kenabian.

Secara lahiriah, para wali nampak biasa-biasa saja. Tapi dalam diri mereka terpendam banyak hal; semua dunia, surga dan neraka, serta segala bagian dari wujud tunduk kepada wali mutlak. Pada prinsipnya, kedudukan wali mutlak tak bisa dilukiskan dalam bingkai kata-kata. Apapun yang kita lihat pada diri mereka, sebenarnya kita hanya melihat rumahnya saja dan lalai dari tuan rumah. Kita tidak tahu bahwa ada mutiara yang sedemikian berharga. Sebagian orang gemar memuliakan masjid-masjid, tapi mengusik manusia-manusia pilihan yang merupakan rahasia masjid. Para wali adalah hakikat masjid dan mihrab, bahkan mereka adalah masjid dan tempat sujud sejati semua makhluk. Bangunan masjid tak lebih dari sebuah kiasan di hadapan para wali.

Karena para wali telah melebur dalam cinta ilahi dan menyingkirkan hawa nafsu, maka tak ada perselisihan di antara mereka. Berbeda dengan ilmu-ilmu biasa, yang disebut Rumi sebagai “ilmu-ilmu prasangka,” yang dipenuhi perbedaan dan perselisihan. Pada hakikatnya, wujud para wali ini telah disinari cahaya ilmu.

Lantaran orang-orang beriman telah menaklukkan hawa nafsu, maka kendati secara lahiriah mereka berjumlah banyak, namun hakikat iman adalah satu. Meski tubuh mereka berbeda, tapi seolah satu jiwa ditiupkan kepada tubuh-tubuh ini. Sebaliknya, karena orang-orang biasa masih dikuasai nafsu hewani, maka mereka saling bertarung seperti anjing dan serigala. Tapi jiwa-jiwa para wali Allah bersatu ibarat singa-singa.

Rumi menggunakan perumpamaan cahaya. Ketika cahaya matahari menyinari pekarangan rumah-rumah, cahaya itu menjadi banyak mengikuti banyaknya pekarangan. Tapi jika pekarangan-pekarangan itu diambil, maka pasti cahaya itu menjadi satu. Rumi mengulang perumpamaan indah dan penyerupaannya dengan cahaya kewalian di beberapa tempat dalam Matsnawi-nya. Ia menyerupakan para wali dengan cahaya dua mata yang tak memiliki perbedaan. Atau seperti seratus pelita dalam sebuah rumah yang saling berbagi cahaya.

Para wali adalah anonim di tengah masyarakat. Keberadaan mereka selalu dipungkiri. Jarang ada orang yang mengetahui rahasia mereka. Inilah yang menyebabkan kesesatan orang awam, sebab orang biasa menghukumi secara lahiriah dan melalaikan sisi batiniah. Mereka menganggap wali seperti mereka, bahkan menganggap diri mereka lebih unggul darinya. Seperti yang dilakukan orang-orang kafir ketika melihat Rasulullah seperti mereka. Mereka berkata,”Nabi macam apa ini? Dia makan, tidur, dan berjalan seperti kita.” Para wali adalah manusia dari jenis lain. Perbedaan mereka dengan manusia biasa seperti perbedaan antara lebah madu dan lebah penyengat, atau kijang penghasil kotoran dan kijang penghasil kesturi. Manusia biasa tak bisa melihat perbedaan antara mereka, sebab ia menghakimi dengan mata kepala, bukan mata hati.

Jangan bandingkan orang suci dengan dirimu

Meski satu singa sama dengan yang lain dalam memangsa

Semua dunia tersesat karena ini

Jarang orang tahu rahasia wakil ilahi

Mereka anggap wali seperti mereka

Kata mereka, kami sama-sama manusia

Kami sama-sama tidur dan makan

Orang awam ini tidak ketahui

Perbedaan tanpa ujung antara mereka

Dua lebah sama-sama makan dari satu tempat

Tapi yang ini keluarkan sengat, yang itu madu

Dua rusa sama-sama makan rumput

Tapi yang ini keluarkan kotoran, yang itu kesturi

Dua tebu sama-sama minum air

Tapi yang ini kosong, yang itu berisi gula

Lihatlah ribuan yang mirip semacam ini

Tapi masing-masing berbeda jauh

Yang ini makan, kotoran keluar darinya

Yang itu makan, cahaya memancar darinya

Kecintaan terhadap para wali adalah kecintaan kepada Allah, dan permusuhan dengan mereka adalah permusuhan dengan-Nya. Bergabung bersama mereka adalah bergabung dengan Allah, dan berpisah dari mereka adalah berpisah dari-Nya. Jika Allah hendak menghinakan suatu kaum, maka Ia akan membuat mereka menyakiti hati wali-Nya. Rumi memperingatkan manusia agar jangan memusuhi para wali dan menghimbaunya untuk mencintai mereka. Ia selalu mengatakan jangan sampai manusia meniru para pendahulunya yang memusuhi wali-wali Allah. Ia harus tetap waspada dan tidak membiarkan tanda-tanda permusuhan kepada wali Allah muncul dalam dirinya.

Salah satu pembahasan penting tentang wali yang dikemukakan Rumi adalah ilmu mereka. Karena para wali telah melebur dalam cinta ilahi, maka Allah menjadi telinga, mata, dan lisan mereka saat mendengar, melihat, dan berbicara.

(Maula-Nusantara/Segelas-Kopi-Cinta/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kedudukan Cinta Dalam Tasawuf


Ilahi! Jika Engkau berikan kepadaku dunia, maka berikanlah itu kepada musuh-musuhku!, jika Engkau berikan akhirat kepadaku, maka berikanlah itu kepada sahabat-sahabatku!. Karena bagiku cukup DIRIMU

Jika cinta sudah sempuna maka dia adalah Allah
(para urafa islam)

Aku beragama dengan agama cinta, sungguh aku menghadap (dengan) tunggangannya, maka cinta adalah agama dan imanku
(Ibnu Arabi)

Walau cinta merupakan masalah asli dalam irfan (tasawuf), akan tetapi para arif mengaku bahwa mereka tidak mampu memaknai dan mendefinisikan cinta. Ibnu Arabi yang mengaku bahwa cinta adalah agama serta imannya, akan tetapi tentang cinta ia berkata:
“Orang yang mendefinisikan cinta, berarti ia belum tahu arti cinta. Orang yang belum meminum anggur dari cawan, maka ia belum mengetahuinya rasanya. Orang yang berkata; aku telah telah merasakan isi cawan, dimana cinta adalah anggur, maka ia belum mengetahuinya jika belum meneguknya.”

Artinya jika seseorang belum mencinta maka ia tidak akan pernah tahu rasanya cinta. Cinta tidak bisa didefinisikan dengan definisi mantiqi, dan dengan satu kali merasakan cinta belum cukup bagi seseorang untuk bisa memahami rasa cinta, perjanan cinta adalah perjalanan yang tidak ada akhir dan manusia tidak akan sampai kepada akhir dan rasa hausnya terhadap cinta tidak akan pernah hilang. Dalam bukunya ‘ Futuhat Al-makiah’ Ibnu Arabi dengan belajar kepada sang maha guru, wali Allah swt. Yang mencinta dan dicintai olehNya, ia belajar dari Ali as. kekasih Allah, menuliskan:
“Hati para pencinta Tuhan telah terbelah, mereka melihat keagungan dan kebesaran Tuhan dengan cahaya hatinya. Badan-badan mereka adalah alam ini, ruh-ruh mereka adalah alam malakut dan akal-akal mereka adalah langit. Mereka berbaris diantara barisan-barisan malaikat dan mereka menyaksikan dengan ainul yakin. Dengan kemampuannya yang mereka miliki, mereka menyembah-Nya, tapi itu bukan kerana rakus terhadap surga dan takut terhadap neraka, akan tetapi karena mereka mencintai-Nya.”

Ucapan terakhir Ibnu Arabi, menjelaskan tentang tanda dan ciri-ciri dasar ibadah dan riadhah ( latihan bathin ) para arif. Dikalangan para arif muslim ( tanpa melihat para Maksumin as. yang merupakan maha guru mereka ) Rabiah Adawiah ( 135 H ) salah seorang wanita sufi yang pertama kali meraih tahapan ini dalam irfan islam berkata :

“ Tuhanku! Jika kami menyembahMu karena takut kepada api neraka, maka masukkanlah kami ke dalamnya!. Dan jika kami menyembahMu karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah kami darinya. Akan tetapi jika kami menyembahMu karena kecintaan kami terhadapMu, maka abadikanlah KeindahanMu dengan kami!”“

Ilahi! Jika Engkau berikan kepadaku dunia, maka berikanlah itu kepada musuh-musuhku!, jika Engkau berikan akhirat kepadaku, maka berikanlah itu kepada sahabat-sahabatku!. Karena bagiku cukup DIRIMU” (Tadzkirah Al-Auliya, jilid 1, hal. 73)

Masalah ini sampai saat sekarang menjadi pembahasan di kalangan para arif islam, dimana setiap bertambah ibadah dan riadhah, maka semakin sedikit tujuan-tujuan selian Allah swt. Baik tujuan dunia maupun tujuan akherat tidak lagi menjadi harapan kaum arif hakiki, bagi mereka hanya satu tujuan yaitu untuk sampai ke haribaan yang maha Indah.

Inilah kecintaan kepada kesempurnaan sang Kekasih, dan kecintaan itu pasti bersumber dari kesadaran akan kebesaran dan keindahan Haq Ta’ala. Karena tanpa mengetahui dan sadar akan keagungan dan keindahan Tuhan, maka kecintaan itu mustahil akan tumbuh. Dan para arif meyakini bahwa keagunganNyalah yang menjadi sumber terciptanya alam semesta. Ketika keagungan tersebut hendak ditampakkan, maka cermin, jelmaan dan tajalli keagungan pun akan tanpak juga. sementara cinta adalah jelmaan dari keindahanNya, walau seandainya pun tidak ada wujud dan pencinta lain, akan tetapi cukuplah keindahan yang dimilikiNya menjadi yang dicintaNya.

Tentang masalah cinta, Dr. Qasim Ghani berkata : keyakinan para arif tentang cinta adalah, bahwa cinta merupakan gharizah ( insting ) Ilahi dan ilham dari langit. Dengan menelusurinya manusia akan mengetahui diri dan nasibnya. Ruh bersumber dari Tuhan, sebelum diciptakan dunia, ruh sudah berada disisi Tuhan, oleh karenanya kecintaan terhadap dunia adalah kecintaan yang asing dan jauh dari rumah aslinya, tempat asli dan rumahnya itu selalu menjadi pikiran dan dirindukan olehnya. Masalah cinta ini kita dapatkan pada kisah-kisah cinta dan syair-syair sufi, seperti kisah cinta Laila dan Majnun, Yusuf as. dan Julaiha, Wamiq dan Adzra, Syirin dan Farhad, Salaman dan Isal dan kisah cinta lainnya… ( Tarikh Tasawus dar islam, hal. 338-340 )

Kecintaan terhadap Tuhan, melazimkan kita juga untuk mencintai para kekasih hakikiNya. Jelmaan dan dzuhur tertinggi dari wujud Haq yang maha Tinggi adalah wujud Rasulullah saww. dan para Imam as. Seorang arif mutaakhir berkata :

sekiranya dadaku dibelah

Di tengahnya kan terlihat dua garis

Yang digoreskan tenpa seorang penulis

Tauhid dan keadilan pada garis yang satu

Dan cinta pada Ahlul Bayt pada garis yang lain.

(Berbagai-Sumber/ABNS)

Tasawuf, Langkah Menuju Kebahagiaan Ruhani


Oleh: Ahmad Sahidin

Islam sebagai agama tidak hanya berwajah lahiriah, tapi juga bernuasa rohani. Dalam kajian ushuluddin (pokok-pokok ajaran Islam), ilmu yang mempelajari aspek lahiriah disebut syariah atau fiqh. Sedangkan aspek ruhani disebut ilmu tasawuf atau spiritualitas Islam.

Ayatullah Murtadha Muthahhari, ulama dari Iran, menyebut ilmu yang berkaitan dengan spiritualitas ini dengan istilah irfan. Menurutnya, irfan ini merupakan ilmu Islam yang membahas dimensi ruhani (batin) Islam. Isi, ajaran, dan nilai-nilai yang dibahasnya tak jauh dengan ilmu tasawuf. Hanya istilahnya yang berbeda. Hal ini untuk menghindarkan dari tuduhan bahwa ilmu tasawuf berasal dari luar Islam.

Muthahhari membagi dua kajian dalam irfan, yaitu nazariyah (teoritis) dan `amaliyah (praktis). Yang pertama ini kajiannya fokus pada masalah wujud (ontologi), yaitu Tuhan, manusia dan alam semesta. Bagian ini menjelaskan ada tidaknya Allah, dan hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Intinya, irfan nazariyah membuka tabir atau penghalang yang menutupi diri sehingga ia yakin dan jelas akan kebenaran Islam.

Sedangkan yang kedua, menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunia dan Tuhan. Bagian ini lebih mirip etika dalam menjalani hidup yang sesuai tuntunan Ilahi. Muthahhari menyebut irfan `amaliyah sebagai sayr wa suluk (perjalanan ruhani), yang menjelaskan bagaimana seorang penempuh ruhani (salik) yang ingin mencapai puncak kesempurnaan. Biasanya mereka ini dibimbing seorang mursyid atau guru spiritual agar langkah-langkahnya teratur dan mengetahui apa yang seharusnya, melalui maqam (tahapan) awal hingga terakhir. Selanjutnya, seseorang yang menempuh perjalanan ruhani ini menjadi manusia sempurna (insan kamil).

Memang harus diakui, hadirnya tasawuf dalam Islam merupakan sebuah upaya mendekatkan diri pada Allah melalui rutinitas ibadah dan pelatihan-pelatihan spiritual. Jadi, tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian ruhani.


Asal-usul Tasawuf

Menurut Harun Nasution, tasawuf muncul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha. Itu sebabnya muncul anggapan bahwa aliran tasawuf lahir atas pengaruh dari luar. Namun bila ditelusuri, justru banyak ayat dan hadits serta perilaku Rasulullah SAW yang sama dengan nila-nilai yang ada dalam tasawuf. Contohnya anjuran berbuat baik dan senantiasa mensucikan diri. Orang yang menjalankan nilai-nilai tersebut secara istiqomah dalam hidupnya disebut sufi.

Istilah sufi atau tasawuf biasanya dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Di antaranya: 1) Shafa, artinya suci. Jadi sufi di sini merujuk pada orang yang menyucikan diri melalui ibadah dan amal-amal shalih, terutama shalat dan puasa sunnah;

2) Shaf, artinya baris. Yang dimaksud shaf di sini ialah baris pertama dalam salat di masjid. Biasanya baris pertama ditempati orang-orang yang cepat datang ke masjid, yang membaca ayat-ayat al-Qur’an dan berdzikir sebelum waktu shalat. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri agar lebih dekat pada Allah;

3) Ahlu al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi Muhammad SAW ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal;

4) Sophos, artinya hikmah atau kebenaran. Biasanya mereka yang tahu hikmah atau kebenaran yang hakikiyah adalah mereka yang dekat pada sumber kebenaran (Allah);

5) Suf, artinya kain wol. Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.

Dari keterangan di atas, Harun Nasution yakin bahwa pendapat terakhir yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Dan yang pertama memakai kata sufi ini adalah Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).


Fungsi dan Peranan Tasawuf dalam Kehidupan

Hakikat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui penyucian diri dan amaliyah-amaliyah Islam. Dan memang ada beberapa ayat yang memerintahkan untuk menyucikan diri (tazkiyyah al-nafs) di antaranya: “Sungguh, bahagialah orang yang menyucikan jiwanya” (Q.S. Asy-syam [91]:9); “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS. Al Fajr: 28-30). Atau ayat yang memerintahkan untuk berserah diri kepada Allah, “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tema menyerahkan diri (kepada) Allah” (QS. Al An’am: 162).

Jadi, fungsi tasawuf dalam hidup adalah menjadikan manusia berkeperibadian yang shalih dan berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam sebuah tharekat atau aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup sederhana, jujur, istiqamah dan tawadhu.

Semua itu bila dilihat pada diri Rasulullah SAW, yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-harinya. Apalagi di masa remaja Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai manusia yang digelari al-Amin, Shiddiq, Fathanah, Tabligh, Sabar, Tawakal, Zuhud, dan termasuk berbuat baik terhadap musuh dan lawan yang tak berbahaya atau yang bisa diajak kembali pada jalan yang benar. Perilaklu hidup Rasulullah SAW yang ada dalam sejarah kehidupannya merupakan bentuk praktis dari cara hidup seorang sufi.

Jadi, tujuan terpenting dari tasawuf adalah lahirnya akhlak yang baik dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.

Dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Maka lewat spiritualitas Islam lading kering jadi tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih baik dan jelas arah tujuannya.


Penerapan Tasawuf dalam Kehidupan Modern

Manfaat tasawuf bukannya untuk mengembalikan nilai kerohanian atau lebih dekat pada Allah, tapi juga bermanfaat dalam berbagai bidang kehidupan manusia modern. Apalagi dewasa ini tampak perkembangan yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan inter-disipliner.

Budhi Munawar Rachman, pakar agama dari Universitas Paramadina Mulya, Jakarta, menyebutkan beberapa contoh penerapan atau hubungan tasawuf dengan ilmu-ilmu sekuler. Misalnya, pertemuan tasawuf dengan fisika atau sains modern yang holistik, akan membawa kepada kesadaran arti kehadiran manusia dan tugas-tugas utamanya di muka Bumi—segi yang kini disebut The Anthropic Principle; pertemuan tasawuf dengan ekologi yang menyadarkan mengenai pentingnya kesinambungan alam ini dengan keanekaragaman hayatinya, didasarkan pada paham kesucian alam; pertemuan tasawuf dengan penyembuhan alternatif yang memberikan kesadaran bahwa masalah kesehatan bukan hanya bersifat fisikal, tetapi ada persoalan ruhani dan juga memberikan visi keruhanian untuk kedokteran; pertemuan tasawuf dengan psikologi baru yang menekankan segi transpersonal; dan lain-lainnya. Jadi, tasawuf dalam kehidupan sangat bermanfat dan menjadikan hidup lebih bermakna, ada arahan yang jelas, dan menyelamatkan manusia dari kemaksiatan.


Menempuh Jalan Tasawuf

Untuk menjadikan hidup lebih baik dan ada nuansa sufistiknya, tentu saja harus melakukan latihan spiritual secara baik, benar, dan berkesinambungan. Karena itu, bagi seorang penempuh tasawuf awal, langkah sebagai berikut:

Pertama, yang harus dilakukan adalah taubat. Ia harus menyesal atas dosa-dosanya yang lalu dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi.

Kedua, untuk memantapkan taubatnya itu ia harus zuhud. Ia mulai menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur’an dan dzikir, sedikit tidur dan banyak beribadat serta yang dicari hanya kebahagiaan rohani dan kedekatan dengan Allah.

Ketiga, adalah wara’. Ia menjauhkan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Juga tidak memakan makanan atau minuman yang tidak jelas kedudukan halal-haramnya.

Keempat, adalah faqr. Ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya.

Kelima, adalah ia harus sabar. Bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Allah yang berat dan menjauhi larangan-larangan-Nya, tapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Allah kepadanya. Ia juga sabar dalam menderita.

Keenam, adalah tawakal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini.

Ketujuh, adalah ridla. Ia tidak menentang cobaan dari Allah, bahkan ia menerima dengan senang hati. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Allah.

Itu semua hanya hanya latihan untuk memasuki dunia sufistik. Adapun untuk memasuki pintu tasawuf, atau sufi, ada beberapa tahapan yang lebih tinggi dari sekedar membersihkan atau mengosongkan diri (takhali), mengisinya kembali dengan nilai-nilai ilahiyah (tahalli) dan kemudian tajalli, atau merasakan manifestasi Ilahi dalam kehidupan dunia ini.

Selanjutnya, bila ia memang berada dalam perjalanan “menjadi” sufi, ia akan mengalami mukasyafah atau penyingkapan sesuatu yang tidak diketahuinya, kemudian menjadi tahu. Dari tahap ini ia akan berlanjut pada musyahadah, menyadari sekaligus bersaksi bahwa diri ini tiada apa-apanya. Yang ada dan berada hanya Allah Yang Mahaesa. Tidak ada yang Ada selain Ia. Seseorang yang berada dalam posisi ini pantas disebut muwahid (orang yang bertauhid). Posisi ini akan terus berlanjut pada penyatuan dengan Tuhan. Namun dalam tahap ini kadang tidak setiap orang mampu menerima pengalaman seorang sufi yang mengalami ektase (fana). Sebab kalimat yang terlontar ketika dalam keadaan fana adalah kata-kata “janggal” seperti yang dilontarkan Abu Mansur Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Busthomi, Syeikh Siti Jenar, dan lainnya.

Sumber:
– Murtadha Muthahhari, Mengenal Irfan: Meniti Maqam-maqam Kearifan (Jakarta: PT.IIMAN dan Hikmah, 2002).
– Syekh Fadhlullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf (Jakarta: PT.Lentera, 1999).
– H. Rudy Harsa Tanaya, Idulfitri dan Kesucian Diri, dalam Harian Umum Pikiran Rakyat, Edisi Rabu, 10 Oktober 2007.
http://www.media.isnet.org

(Berbagai-Sumber/ABNS)

Terkait Berita: