Oleh: Ahmad Sahidin
Islam sebagai agama tidak hanya berwajah lahiriah, tapi juga bernuasa rohani. Dalam kajian ushuluddin (pokok-pokok ajaran Islam), ilmu yang mempelajari aspek lahiriah disebut syariah atau fiqh. Sedangkan aspek ruhani disebut ilmu tasawuf atau spiritualitas Islam.
Ayatullah Murtadha Muthahhari, ulama dari Iran, menyebut ilmu yang berkaitan dengan spiritualitas ini dengan istilah irfan. Menurutnya, irfan ini merupakan ilmu Islam yang membahas dimensi ruhani (batin) Islam. Isi, ajaran, dan nilai-nilai yang dibahasnya tak jauh dengan ilmu tasawuf. Hanya istilahnya yang berbeda. Hal ini untuk menghindarkan dari tuduhan bahwa ilmu tasawuf berasal dari luar Islam.
Muthahhari membagi dua kajian dalam irfan, yaitu nazariyah (teoritis) dan `amaliyah (praktis). Yang pertama ini kajiannya fokus pada masalah wujud (ontologi), yaitu Tuhan, manusia dan alam semesta. Bagian ini menjelaskan ada tidaknya Allah, dan hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Intinya, irfan nazariyah membuka tabir atau penghalang yang menutupi diri sehingga ia yakin dan jelas akan kebenaran Islam.
Sedangkan yang kedua, menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunia dan Tuhan. Bagian ini lebih mirip etika dalam menjalani hidup yang sesuai tuntunan Ilahi. Muthahhari menyebut irfan `amaliyah sebagai sayr wa suluk (perjalanan ruhani), yang menjelaskan bagaimana seorang penempuh ruhani (salik) yang ingin mencapai puncak kesempurnaan. Biasanya mereka ini dibimbing seorang mursyid atau guru spiritual agar langkah-langkahnya teratur dan mengetahui apa yang seharusnya, melalui maqam (tahapan) awal hingga terakhir. Selanjutnya, seseorang yang menempuh perjalanan ruhani ini menjadi manusia sempurna (insan kamil).
Memang harus diakui, hadirnya tasawuf dalam Islam merupakan sebuah upaya mendekatkan diri pada Allah melalui rutinitas ibadah dan pelatihan-pelatihan spiritual. Jadi, tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian ruhani.
Asal-usul Tasawuf
Menurut Harun Nasution, tasawuf muncul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha. Itu sebabnya muncul anggapan bahwa aliran tasawuf lahir atas pengaruh dari luar. Namun bila ditelusuri, justru banyak ayat dan hadits serta perilaku Rasulullah SAW yang sama dengan nila-nilai yang ada dalam tasawuf. Contohnya anjuran berbuat baik dan senantiasa mensucikan diri. Orang yang menjalankan nilai-nilai tersebut secara istiqomah dalam hidupnya disebut sufi.
Istilah sufi atau tasawuf biasanya dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Di antaranya: 1) Shafa, artinya suci. Jadi sufi di sini merujuk pada orang yang menyucikan diri melalui ibadah dan amal-amal shalih, terutama shalat dan puasa sunnah;
2) Shaf, artinya baris. Yang dimaksud shaf di sini ialah baris pertama dalam salat di masjid. Biasanya baris pertama ditempati orang-orang yang cepat datang ke masjid, yang membaca ayat-ayat al-Qur’an dan berdzikir sebelum waktu shalat. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri agar lebih dekat pada Allah;
3) Ahlu al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi Muhammad SAW ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal;
4) Sophos, artinya hikmah atau kebenaran. Biasanya mereka yang tahu hikmah atau kebenaran yang hakikiyah adalah mereka yang dekat pada sumber kebenaran (Allah);
5) Suf, artinya kain wol. Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
Dari keterangan di atas, Harun Nasution yakin bahwa pendapat terakhir yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Dan yang pertama memakai kata sufi ini adalah Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).
Fungsi dan Peranan Tasawuf dalam Kehidupan
Hakikat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui penyucian diri dan amaliyah-amaliyah Islam. Dan memang ada beberapa ayat yang memerintahkan untuk menyucikan diri (tazkiyyah al-nafs) di antaranya: “Sungguh, bahagialah orang yang menyucikan jiwanya” (Q.S. Asy-syam [91]:9); “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS. Al Fajr: 28-30). Atau ayat yang memerintahkan untuk berserah diri kepada Allah, “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tema menyerahkan diri (kepada) Allah” (QS. Al An’am: 162).
Jadi, fungsi tasawuf dalam hidup adalah menjadikan manusia berkeperibadian yang shalih dan berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam sebuah tharekat atau aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup sederhana, jujur, istiqamah dan tawadhu.
Semua itu bila dilihat pada diri Rasulullah SAW, yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-harinya. Apalagi di masa remaja Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai manusia yang digelari al-Amin, Shiddiq, Fathanah, Tabligh, Sabar, Tawakal, Zuhud, dan termasuk berbuat baik terhadap musuh dan lawan yang tak berbahaya atau yang bisa diajak kembali pada jalan yang benar. Perilaklu hidup Rasulullah SAW yang ada dalam sejarah kehidupannya merupakan bentuk praktis dari cara hidup seorang sufi.
Jadi, tujuan terpenting dari tasawuf adalah lahirnya akhlak yang baik dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.
Dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Maka lewat spiritualitas Islam lading kering jadi tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih baik dan jelas arah tujuannya.
Penerapan Tasawuf dalam Kehidupan Modern
Manfaat tasawuf bukannya untuk mengembalikan nilai kerohanian atau lebih dekat pada Allah, tapi juga bermanfaat dalam berbagai bidang kehidupan manusia modern. Apalagi dewasa ini tampak perkembangan yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan inter-disipliner.
Budhi Munawar Rachman, pakar agama dari Universitas Paramadina Mulya, Jakarta, menyebutkan beberapa contoh penerapan atau hubungan tasawuf dengan ilmu-ilmu sekuler. Misalnya, pertemuan tasawuf dengan fisika atau sains modern yang holistik, akan membawa kepada kesadaran arti kehadiran manusia dan tugas-tugas utamanya di muka Bumi—segi yang kini disebut The Anthropic Principle; pertemuan tasawuf dengan ekologi yang menyadarkan mengenai pentingnya kesinambungan alam ini dengan keanekaragaman hayatinya, didasarkan pada paham kesucian alam; pertemuan tasawuf dengan penyembuhan alternatif yang memberikan kesadaran bahwa masalah kesehatan bukan hanya bersifat fisikal, tetapi ada persoalan ruhani dan juga memberikan visi keruhanian untuk kedokteran; pertemuan tasawuf dengan psikologi baru yang menekankan segi transpersonal; dan lain-lainnya. Jadi, tasawuf dalam kehidupan sangat bermanfat dan menjadikan hidup lebih bermakna, ada arahan yang jelas, dan menyelamatkan manusia dari kemaksiatan.
Menempuh Jalan Tasawuf
Untuk menjadikan hidup lebih baik dan ada nuansa sufistiknya, tentu saja harus melakukan latihan spiritual secara baik, benar, dan berkesinambungan. Karena itu, bagi seorang penempuh tasawuf awal, langkah sebagai berikut:
Pertama, yang harus dilakukan adalah taubat. Ia harus menyesal atas dosa-dosanya yang lalu dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi.
Kedua, untuk memantapkan taubatnya itu ia harus zuhud. Ia mulai menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur’an dan dzikir, sedikit tidur dan banyak beribadat serta yang dicari hanya kebahagiaan rohani dan kedekatan dengan Allah.
Ketiga, adalah wara’. Ia menjauhkan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Juga tidak memakan makanan atau minuman yang tidak jelas kedudukan halal-haramnya.
Keempat, adalah faqr. Ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya.
Kelima, adalah ia harus sabar. Bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Allah yang berat dan menjauhi larangan-larangan-Nya, tapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Allah kepadanya. Ia juga sabar dalam menderita.
Keenam, adalah tawakal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini.
Ketujuh, adalah ridla. Ia tidak menentang cobaan dari Allah, bahkan ia menerima dengan senang hati. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Allah.
Itu semua hanya hanya latihan untuk memasuki dunia sufistik. Adapun untuk memasuki pintu tasawuf, atau sufi, ada beberapa tahapan yang lebih tinggi dari sekedar membersihkan atau mengosongkan diri (takhali), mengisinya kembali dengan nilai-nilai ilahiyah (tahalli) dan kemudian tajalli, atau merasakan manifestasi Ilahi dalam kehidupan dunia ini.
Selanjutnya, bila ia memang berada dalam perjalanan “menjadi” sufi, ia akan mengalami mukasyafah atau penyingkapan sesuatu yang tidak diketahuinya, kemudian menjadi tahu. Dari tahap ini ia akan berlanjut pada musyahadah, menyadari sekaligus bersaksi bahwa diri ini tiada apa-apanya. Yang ada dan berada hanya Allah Yang Mahaesa. Tidak ada yang Ada selain Ia. Seseorang yang berada dalam posisi ini pantas disebut muwahid (orang yang bertauhid). Posisi ini akan terus berlanjut pada penyatuan dengan Tuhan. Namun dalam tahap ini kadang tidak setiap orang mampu menerima pengalaman seorang sufi yang mengalami ektase (fana). Sebab kalimat yang terlontar ketika dalam keadaan fana adalah kata-kata “janggal” seperti yang dilontarkan Abu Mansur Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Busthomi, Syeikh Siti Jenar, dan lainnya.
Sumber:
– Murtadha Muthahhari, Mengenal Irfan: Meniti Maqam-maqam Kearifan (Jakarta: PT.IIMAN dan Hikmah, 2002).
– Syekh Fadhlullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf (Jakarta: PT.Lentera, 1999).
– H. Rudy Harsa Tanaya, Idulfitri dan Kesucian Diri, dalam Harian Umum Pikiran Rakyat, Edisi Rabu, 10 Oktober 2007.
– http://www.media.isnet.org
(Berbagai-Sumber/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email