Tajuk Rencana koran Hizbullah Iran edisi 9
April 2008 menurukan laporan mengenai hubungan pangeran Bandar bin
Sultan dari Arab Saudi dengan teror Imad Mughniyah, mantan komandan
Hizbullah. Ikuti laporan tersebut!
Seorang pangeran Arab Saudi yang melumuri
darahnya dengan meneror salah satu pejuang Hizbullah yang ikhlas jelas
sesuai dengan logika Imam Khomeini ra. mengenai permusuhan keluarga Al
Saud dengan Islam. Dengan ini, jangan memasukkan keraguan dalam diri
anda mengenai cerita bahu-membahunya Arab Saudi dengan Setan Besar.
Berikut ini sebuah laporan tentang peran pangeran Bandar bin Sultan,
mantan Duta Besar Arab Saudi di Amerika yang saat ini menjabat sebagai
Ketua Dewan Keamanan Nasional Arab Saudi dalam teror syahid Imad
Mughniyah, mujahid dan mitos perlawanan.
Teror ini membuktikan betapa keluarga ini
merupakan kaki tangan Gedung Putih. Namun teror Imad Mughniyah bukan
usaha pertama pangeran Arab Saudi ini dalam melenyapkan tokoh-tokoh
pejuang Syiah dan tentu bukan yang terakhir kalinya. Mengenal lebih jauh
unsur Amerika ini dan mengetahui langkah-langkah pengkhianatannya
terhadap umat Islam sangat membantu untuk membuktikan betapa dia adalah
tokoh kunci dalam teror Imad Mughniyah. Pangeran Bandar bin Sultan bin
Abdul Aziz Alu Suud adalah anak putra mahkota Arab Saudi saat ini,
Sultan Abdul Aziz. Bandar lahir di Thaif pada tahun 1949. Pada tahun
1983 sampai 2005 dia ditugaskan sebagai Duta Besar Arab Saudi di
Washington. Bandar bin Sultan oleh sebagian orang disebut sebagai Bandar
Bush. Selama hampir tiga dekade Bandar menjadi paling dekatnya duta
besar negara terpenting yang menjadi sekutu Amerika di Timur Tengah.
Menurut kebanyakan para analis politik,
Bandar bin Sultan punya pengaruh khusus di bagian politik luar negeri
Bush, terutama bila itu terkait dengan masalah-masalah Timur Tengah.
Pengaruhnya begitu kuat sehingga Bob Woodward, wartawan terkenal Amerika
yang punya peran penting dalam membongkar kasus Watergate dalam buku
“Plan of Attack” mengklaim bahwa Presiden Amerika, George W. Bush
sebelum menyampaikan keputusannya kepada Colin Powell, Menteri Luar
Negeri Amerika waktu itu untuk menyerang Irak, terlebih dahulu informasi
ini disampaikan kepada Bandar bin Sultan.
Scott McCloud, Pimpinan Redaksi Majalah
Time di Kairo yang selama 22 tahun terakhir bertanggung jawab untuk
melaporkan kejadian-kejadian di Timur Tengah dan Afrika Utara bagi
majalah ini terkait dengan Bandar bin sultan menulis, “Bila saya
mengatakan bahwa Bandar bin sultan dalam pengambilan sikap politik luar
negeri Amerika soal Timur Tengah punya pengaruh yang sama besar dengan
Condoleezza Rice, maka itu bukan sikap yang berlebihan.”
Selama bertahun-tahun, Bandar bin Sultan
punya komunitas luar biasa dalam menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh
kuat politik di Amerika yang akhirnya dikenal sebagai teman Washington
di masa-masa sulit. Sebagai contoh, Bandar bin Sultan punya peran kunci
dalam perundingan dengan Libia demi meyakinkan Muammar Qaddafi agar
menghentikan program nuklirnya. Menurut tulisan Woodward dalam buku
“Veil: Secet Wars of the CIA” yang dicetak tahun 1987 menyebutkan Bandar
bin Sultan bahkan di pemerintahan Reagen punya kerja sama dengan
penasehat keamanan nasional Amerika sebagai penjamin dana jutaan dolar
kepada gerilyawan Kontra di Nicaragua (saat itu Amerika secara hukum
tidak mampu melakukan itu). Menurut tulisan Woodward, berdasarkan
permintaan bantuan dari CIA, Bandar bin Sultan mengucurkan dana sebesar
dua juta dolar kontan untuk mencegah Partai Komunis memegang tampuk
kepemimpinan di Italia.
Baru-baru ini, seorang pengamat politik
Arab dalam wawancaranya dengan televisi Aljazeera membongkar bagian lain
dari langkah-langkah tersembunyi Bandar bin Sultan yang berperan dalam
terjadinya kekacauan. Nasser Qandil, Kepala Pusat Riset dan Media Timur
Modern di Lebanon dalam wawancaranya dengan Aljazeera mengatakan,
“Baru-baru ini, Bandar bin Sultan menyatakan kepada kelompok-kelompok
jihad bahwa sebagaimana Uni Soviet adalah musuh kita dahulu, kini Iran
menjadi musuh kita dan sikap kita adalah berperang dengan Iran dan
seluruh orang Syiah dunia.” Michael Moore, sutradara film dokumentasi
terkenal Amerika dalam film terkenalnya Fahrenheit 9/11 menggambarkan
hubungan mesra dan luas Bandar bin Sultan dengan para pejabat Gedung
Putih sebelum dan sesudah peristiwa 11 September. Dia mengajak para
penonton untuk berpikir dengan mengajukan pertanyaan cerdas, “Bagaiamana
bisa ketika seluruh kaum muslimin di Amerika dari seluruh etnis dan
negara karena peristiwa ini dianggap teroris dan mendapat tekanan di
mana-mana, sementara Duta Besar Arab Saudi di Amerika yang jelas-jelas
punya hubungan dengan kelompok Al Qaedah tetap mampu menjaga hubungan
baiknya dengan para pejabat senior Amerika?”
Bandar bin sultan kembali ke Riyadh pada
tahun 2005 dan dengan alasan pribadi meninggalkan pos Duta Besar di
Washington. Hanya beberapa hari setelah tiba di Riyadh, kematian Raja
Fahd diumumkan. Dengan kejadian ini, Raja Abdullah menjadi Raja Arab
Saudi dan Sultan bin Abdul Aziz, ayah Bandar menjadi putra mahkota
negara ini. Bandar bin Sultan dalam pergeseran kekuatan di dalam
keluarga Suud akhirnya menjadi Sekjen Dewan Keamanan Nasional Arab
Saudi. Dengan ini, kebanyakan analis politik menilai pengunduran dirinya
sebagai Duta besar di Washington setelah menjabat selama 22 tahun punya
kaitan dengan posisinya yang baru. Salah tugas yang diembannya di
posnya yang baru ini adalah mengkoordinasi milisi Sunni. Bandar
menduduki posisi ini, namun dia tetap menjadi orang Arab Saudi yang
punya pengaruh paling besar dan penting di Amerika, bahkan menjadi
pribadi di belakang layar dalam diplomasi Timur Tengah.
Peningkatan kehadiran personil Al Qaedah
di Irak dan tidak efektifnya metode kekerasan dengan kelompok-kelompok
milisi berdampak dimulainya lobi-lobi rahasia Amerika dengan orang-orang
Sunni pendukung Al Qaedah. Namun kehadiran secara luas dalam sistem
politik baru Irak menjadi pra syarat sebelum memulai segala kerja sama
dengan kelompok-kelompok Sunni Irak. Keinginan ini ditentang oleh
orang-orang Syiah di negara ini dan membuat Syiah sebagai penghalang
besar rencana mereka. Kondisi ini tetap berlangsung sampai kemenangan
Hizbullah dalam perang 33 hari menghadapi Rezim Zionis Israel. Kini,
Hizbullah tampil sebagai mitos di tengah-tengah masyarakat muslim, baik
Syiah maupun Sunni.
Di sisi lain, perbedaan internal di
antara kekuatan-kekuatan inti di Lebanon merupakan masalah dan ancaman
terbesar bagi pemerintah Fouad Siniora. Perbedaan yang muncul tidak
membahayakan orang-orang Syiah sejak Hizbullah muncul menjadi kekuatan
besar di Lebanon. Dalam kondisi yang semacam ini, tiba-tiba muncul
kelompok Fatah Islam di Utara Lebanon dan setelah sejumlah anggota
kelompok ini yang memiliki warga negara Arab Saudi tertangkap, tumbuh
satu kecurigaan hubungan kelompok ini dengan Arab Saudi. Fatah Islam
merupakan kelompok yang diciptakan Bandar bin Sultan untuk mengontrol
kekuatan Hizbullah. Bandar bin Sultan juga pendukung asli bahkan pendiri
kelompok 14 Maret Lebanon. Di tengah-tengah para pemimpin kelompok 14
Maret dia mengatakan, “Kalian harus menyertai aku dan akan kalian lihat
bahwa kami akan menciptakan sebuah kelompok di Lebanon yang tidak mampu
dilawan oleh Hizbullah.” Bandar bin Sultan juga mengatakan, “Saya
membeli posisi Perdana Menteri untuk Rafik Hariri dengan harga 50 juta
dolar!”
Dengan mencermati tindak-tanduk pangeran
Bandar bin Sultan selama ini, Hizbullah sebagai kelompok yang senantiasa
langkahnya bertentangan dengan politik bersama Al Saud, Rezim Zionis
Israel dan Amerika. Dapat dikatakan bahwa teror salah seorang komandan
senior, khususnya ahli strategi Hizbullah merupakan keinginan mereka
sejak dahulu. Oleh karenanya, Banda bin Sultan dengan bekerja sama
dengan Rezim Zionis Israel, sebagian pejabat Yordania dan Amerika punya
perang dalam meneror Imad Mughniyah seperti yang dapat ditemukan dalam
berita-berita. Pangeran Arab Saudi ini di tahun 2008 sangat layak bila
disebut sebagai Amr Ash. Dia mengaku Islam tapi selalu berpikiran untuk
menikam Islam dari belakang, salah satunya adalah teror para mujahid.
Dengan demikian, dia telah menorehkan namanya seperti nenek moyangnya
sebagai pembunuh para Imam as.