Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label George W. Bush. Show all posts
Showing posts with label George W. Bush. Show all posts

Awas, Kelicikan AS Obrak-Abrik Isi Email Anda


WASHINGTON - Badan-badan intelijen Amerika dituduh telah melakukan spionase pada email dari jutaan orang Amerika dan ini sering kali di lakukan, bahkan termasuk mantan presiden Bill Clinton.

Dalam serangkaian skandal intelijen terbaru yang menerpa Washington, rincian skema pengawasan email mulai muncul ke permukaan dengan dugaan yang dilaporkan di New York Times.

The Times memetik satu klaim dari analis NSA bahwa pesan elektronik yang yang dikirim ke dan oleh warga negara Amerika, termasuk mantan presiden, yang kini istrinya menjadi Menlu AS, merupakan di antara dari mereka yang dijadikan sasaran sweeping.

Sistem database, yang disebut Pinwale, digunakan oleh National Security Agency (NSA) untuk menangkap dan memeriksa sejumlah besar email yang melewati jaringan telekomunikasi Amerika.

NSA yang telah mengkonfirmasikan bahwa Pinwale memang ada, meskipun tidak akan berkomentar mengenai dugaan terbaru atau memberikan rincian lebih lanjut mengenai bagaimana sistem tersebut beroperasi.

Ketua Komite Senat Intelijen, yang telah menyelidiki klaim pengawasan tanpa izin tersebut selama beberapa tahun, bereaksi terhadap berita tentang sistem Pinwale tersebut menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran hukum yang telah terjadi.

Berita tersebut merupakan salah satu dari rangkaian panjanng tentang sejauh mana badan-badan keamanan Amerika terus melacak kehidupan orang biasa, termasuk kontroversi mengenai warrantless wiretaps, sebuah kebijakan yang diisukan terjadi pada masa pemerintahan Bush yang mana mereka mengijinkan NSA untuk memeriksa segala jaringan yang dipakai oleh warga AS, termasuk telepon, email, sms dan kegiatan internet lainnya, tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Namun Senator California Dianne Feinstein, seorang Demokrat, mengatakan ia sebelumnya menginvestigasi Pinwale dan menyatakan bahwa sistem itu tidak melanggar hukum.

"Kami mengajukan pertanyaan. Kami yakin itu tidak benar," Feinstein mengatakan kepada sebuah Sidang Komite Kehakiman. "Saya telah memeriksa bab dan ayat ini. Saya tidak percaya bahwa semua konten pada bab ini termasuk dalam program tersebut."

Sikap tersebut kontras dengan empat tahun lalu, ketika Feinstein mengatakan kepada Senat mengatakan bahwa dia merasa "sangat berat hati" setelah mengetahui bahwa layanan intelijen telah bertindak dalam pelanggaran dari hukum yang telah dibantunya untuk lolos.

Pada tahun 2005 Presiden Bush telah memotong proses persetujuan yang biasa dari pengadilan untuk pemeriksaan elektronik, mendorong pejabat NSA untuk melakukan wiretaps di bawah perintahnya.
Dituduh menyalahgunakan kekuasaannya, Bush kemudian menyatakan itu adalah "tanggung jawab konstitusional", tetapi saat Kongres sangat menolak hal tersebut, kontroversi itu berakhir tahun lalu dengan kompromi bahwa tindakan itu disetujui secara efektif dan memberi kekebalan kepada perusahaan telekomunikasi AS atas peran mereka membantu NSA.

"Email paling pribadi masyarakat Amerika biasa telah dan masih sedang disadap dan kemudian disimpan dalam database rahasia NSA, mungkin tanpa alasan," ujar Kevin Bankston, seorang pengacara dengan kelompok kampanye Electronic Frontier Foundation.

Organisasi yang menuntut pemerintah atas penyadapan komunikasi ilegal, mengatakan sistem seperti Pinwale harus berhenti.

"Salah satu solusi yang kami minta dalam hal ini adalah pemusnahan komunikasi domestik dan catatan yang oleh NSA telah ditimbun secara ilegal di sistem database seperti Pinwale."

Sementara beberapa dari episode tentang pengawasan rahasia pemerintah telah terjadi di Amerika, sesungguhnya dalam memantau kegiatan para warga, AS tidak sendirian.

Sesungguhnya, kepopuleran komunikasi internet ini telah mendorong pemerintah dan badan-badan intelijen di seluruh dunia untuk fokus terhadap bidang tersebut. Minggu lalu, Cina telah dipaksa untuk menghentikan rencana untuk mewajibkan menginstal perangkat lunak pengawasan pada setiap PC dalam negeri, sementara pemerintah Iran melumpuhkan komunikasi internet dengan adanya sengketa Pemilu.

Pemerintah Inggris, sementara itu, berniat untuk membuat rangkaian database yang digunakan untuk melacak setiap panggilan telepon, email dan pesan teks di Inggris.

Awal tahun ini badan GCHQ menyangkal bahwa mereka sedang membangun sistem yang setara dengan Pinwale, setelah adanya laporan bahwa badan tersebut mengalokasikan £ 1 miliar untuk membangun sebuah sistem untuk memonitor semua penggunaan internet di Inggris.

Namun, berita dari AS ini hanya datang sebulan setelah Presiden Obama mengatakan dia akan membuat kantor baru untuk cybersecurity, atau keamanan dunia maya, erat kaitannya dengan NSA, sementara bersumpah tidak akan membahayakan privasi rakyatnya.

"Upaya kami akan cybersecurity tidak akan, saya ulangi, tidak akan termasuk pemantauan sektor pribadi atau lalu lintas jaringan Internet," katanya. "Kami akan menjaga dan melindungi privasi pribadi dan kebebasan sipil yang sangat kami hargai sebagai orang Amerika."

Fakta bahwa AS menyadap lalu lintas email tidaklah terlalu mengejutkan, sebelumnya, Israel juga melakukan aksi penyadapan yang kurang lebih serupa, bahkan mungkin lebih canggih.

(Source)

Diantara berbagai peradaban yang eksis saat ini, memang hanya Islam yang pernah menaklukkan Barat. Dalam buku terkenalnya, “Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”, Huntington menyimpulkan


Ada sebuah tulisan menarik di Harian International Herald Tribune (20 Juli 2004) yang ditulis oleh Craig S. Smith. Judulnya: Europe fears threat from its converts to Islam. Artikel itu bercerita tentang dua pemuda Perancis, bernama David dan Jerome yang masuk Islam dan akhirnya ditahan karena tuduhan terlibat jaringan terorisme internasional.

Kasus dua bersaudara itu diangkat sebagai representasi, betapa perlunya masyarakat Eropa mencermati dan waspada terhadap kecenderungan meningkatnya konversi penduduk asli Eropa ke dalam Islam, setelah peristiwa 11 September 2001. Tahun 2003, dinas rahasia Perancis, memperkirakan, ada sekitar 30.000-50.000 orang Perancis yang masuk Islam. Islam kabarnya merupakan agama yang paling cepat berkembang di Eropa.

Sebagai sebuah artikel populer di media massa, sebenarnya terdapat aspek generalisasi yang berlebihan dalam menarik satu kesimpulan. Tetapi, dilihat dari sisi pembentukan opini publik di dunia Barat, tulisan semacam ini tampaknya dimaksudkan untuk membangun kewaspadaan terhadap Islam. Kampanye internasional anti-terorisme – yang kini lebih banyak ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam – ternyata tidak berhasil menahan laju perkembangan Islam di Eropa.

Tulisan-tulisan seperti ini tampaknya dibuat untuk memperkuat kembali kesadaran Barat terhadap bahaya Islam, yang terus-menerus dibangun oleh media massa dan sebagian politisi Barat, sejak kekalahan komunisme. Era Perang Dingin berakhir, berganti dengan era Perang melawan Islam (tertentu).

Fakta perkembangan Islam di Eropa itu menunjukkan, kampanye anti-terorisme oleh Barat, terutama, AS, yang menjadikan al-Qaidah sebagai musuh utama dunia internasional, ternyata tidak terlalu berhasil.

Bahkan, di Arab Saudi, menurut laporan Newsweek edisi 28 Juni 2004, simpatisan Osama bin Laden ternyata cukup tinggi. Sebuah polling rahasia yang dilakukan oleh pemerintah Saudi menunjukkan, 49 persen responden mendukung gagasan Osama.

Fenomena itu bisa dipahami, mengingat dunia internasional semakin jelas menyaksikan bagaimana berbagai paradoks dan kebrutalan ditunjukkan oleh AS, khususnya dalam kasus Palestina dan Irak. Terbongkarnya kebrutalan tentara-tentara AS terhadap tawanan Irak di penjara Abu Gharib semakin membuka mata umat manusia terhadap apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa, kampanye anti-terorisme sebenarnya tidak lepas dari kepentingan politik dan ekonomi Barat untuk mempertahankan hegemoninya.


Sebuah buku berjudul Western State Terrorism (ed. Alexander George), mengkompilasi data-data dari sejumlah penulis, seperti Chomsky, Edward S. Herman, Richard Falk, dan sebagainya, yang menunjukkan bagaimana Barat, terutama AS dan Inggris, menggunakan isu terorisme sebagai alat politik luar negerinya (to employ terrorism as a tool of foreign policy). Prof. Edward S. Herman, guru besar di University of Pensylvania dan Gerry O’Sullivan menulis sebuah artikel berjudul “Terrorism” as Ideology and Cultural Industry.

Mereka menyebut “terorisme, sebagai “industri multinasional”, dimana terdapat hubungan erat antara pemerintah, sponsor swasta, institusi-institusi pemikir, cendekiawan, baik di dalam AS maupun utamanya antara AS, Israel, dan Inggris. Contoh bagaimana biasnya penggunaan istilah “teroris” adalah dalam kasus pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) di Shabra-Shatila pada 1982. Pembantaian itu jelas dilakukan oleh Tentara Kristen Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama sekali bebas dari cap sebagai negara teroris. Korban warga Palestina di Shabra-Shatila itu juga melampaui jumlah korban kelompok yang sudah ditetapkan sebagai teroris, ketika itu, seperti PLO, Baader-Meinhof gang dan Red Brigades.

Salah satu peran penting untuk mendukung operasi “industri terorisme” dimainkan oleh lembaga-lembaga studi “quasi pemerintah”, seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Georgetown, AS.

Institusi-institusi semacam ini beserta para pakar di dalamnya bekerja bersama agensi-agensi pemerintah untuk memberikan perspektif tertentu tentang terorisme kepada masyarakat. Mereka juga merupakan alat penting bagi propaganda pemerintah Barat. “They are also important vehicles for spesific pieces of government propaganda,” tulis Herman dan Sullivan.

Lembaga-lembaga ini mendapatkan alokasi dana yang sengat besar. Pada pertengahan 1980-an, CSIS, Hoover Institution, American Enterprise Institute (AEI), dan Heritage Foundation, masing-masing mendapatkan anggaran lebih dari 10 juta USD (sekitar Rp 90 milyar) per tahun. CSIS, yang aktif mengadakan diskusi di berbagai negara, memiliki kecenderungan kuat ke kelompok “sayap kanan”. Bahkan, pada awal 1970-an, CSIS memiliki peran penting dalam melakukan destabilisasi rezim Allende di Chili. Setelah menguraikan peran CSIS dalam kasus terorisme, kedua penulis ini menyimpulkan: “The CSIS is a truly “multinational” member of the terrorism industry.”

Adakah hubungan CSIS di AS dengan CSIS di Indonesia?
Lembaga lain yang menjadi bagian penting dari industri terorisme, tentu saja, adalah pers. Pers, atau media massa, bertugas membentuk imej tentang siapa yang harus dipersepsikan sebagai teroris dan siapa yang dipersepsikan sebagai pemberantas teroris. Siapa yang harus dicap sebagai penjahat dan siapa yang dicap sebagai orang baik. Lihatlah, meskipun kejahatan Ariel Sharon begitu nyata, tetapi nyaris tidak ada pers yang secara konsisten menyebut Ariel Sharon sebagai “ekstrimis”, “teroris”, “militan Yahudi”, dan sebagainya. Begitu juga dengan Presiden George Bush.

Sudah jelas berbagai kesalahannya dan tanggung jawabnya terhadap terbunuhnya puluhan ribu nyawa manusia tidak berdosa di Afghanistan, Irak, Palestina, dan sebagainya. Hubungannya dengan kelompok fundamentalis Kristen dan Yahudi pun sangat jelas.

Tetapi, adakah pers di Indonesia yang mau secara konsisten menjuluki Bush sebagai “ekstrimis” atau “militan” Barat?
Pada akhirnya, semua kepalsuan dan standar ganda itu sulit untuk ditutup-tutupi. Dunia pun semakin terbuka. Dan itulah memang konskuensi dari cara berpikir peradaban Barat. Marvin Perry memulai kata pengantar untuk bukunya “Western Civilization: a Brief History”“Western civilization is a grand but tragic drama.” Menurut Perry, peradaban Barat adalah peradaban yang besar, tetapi merupakan drama yang tragis. Meskipun sukses dalam pengembangan berbagai bidang kehidupan, tetapi kurang berhasil dalam menyelesaikan penyakit sosial dan konflik antar negara. Sains Barat, meskipun sukses dalam mengembangkan berbagai sarana kehidupan, tetapi sekaligus juga memproduksi senjata pemusnah massal.

Disamping mempromosikan perlindungan hak asasi manusia, Barat pun memproduksi rejim-rejim totaliter yang menindas kebebasan individu dan martabat manusia. Juga, meskipun Barat berkomitmen untuk mempromosikan konsep kesetaraan manusia, namun sekaligus Barat juga melakukan praktik rasisme yang brutal.


Dalam buku Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (2002), yang menghimpun gagasan pemikir-pemikir besar dalam sejarah manusia, seperti Sopocles (495-406 SM), Thucydides (460-400 SM), Plato (428-348 SM), Aristotle (384-322 SM), Confucius (551-479), Adam Smith (1723-1790), Immanuel Kant (1724-1804), Karl Marx (1818-1883), Nelson Mandela, Edward Said (1935-2003), dimuat tulisan Prof. Syed Naquib al-Attas, berjudul “The Dewesternization of Knowledge”. Tulisan ini membongkar sebab-musabab bahaya yang ditimbulkan peradaban Barat terhadap umat manusia.

Al-Attas memandang problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan.

Tetapi, belum pernah, mereka menghadapi tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini. (Many challenges have arisen in the midst of man’s confusion throughout the ages, but none perhaps more serious and destructive to man than today’s challenge posed by Western Civilization).

Kekacauan itu, menurut al-Attas, bersumber dari sistem keilmuan Barat itu sendiri, yang disebarkan ke seluruh dunia. Knowledge yang disebarkan Barat itu, menurut al-Attas, pada hakekatnya telah menjadi problematik, karena kehilangan tujuan yang benar; dan lebih menimbulkan kekacauan (chaos) dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa perdamaian dan keadilan; knowledge yang seolah-olah benar, padahal memproduksi kekacauan dan skeptisisme (confusion and scepticism); bahkan knowledge yang untuk pertama kali dalam sejarah telah membawa kepada kekacauan dalam ‘the Three Kingdom of Nature’ yaitu dunia binatang, tumbuhan, dan mineral.

Menurut al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama, dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia.

Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. (Man is deified and Deity humanised). Dengan karakteristiknya semacam itu, maka menurut al-Attas, peradaban Barat juga merupakan tantangan terbesar bagi kaum Muslim. Dan secara konseptual, antara keduanya terdapat perbedaan yang fundamental sehingga akan menimbulkan konflik yang bersifat permanen. Ia juga mengingatkan, bahwa dalam melihat Islam, Barat tidak bersikap pasif, tetapi sangat aktif memerangi Islam dalam berbagai bidang. Dalam sebuah risalahnya kepada kaum Muslimin, al-Attas mengingatkan: ““Shahadan, maka sesungguhnya tiada hairan bagi kita jikalau agama Kristian Barat dan orang Barat yang menjelmakan Kebudayaan Barat itu, dalam serangbalasnya terhadap agama dan orang Islam, akan senantiasa menganggap Islam sebagai bandingnya, sebagai tandingnya, sebagai taranya dan seterunya yang tunggal dalam usaha mereka untuk mencapai kedaulatan duniawi.”

Diantara berbagai peradaban yang eksis saat ini, memang hanya Islam yang pernah menaklukkan Barat. Dalam buku terkenalnya, “Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”, Huntington menyimpulkan: “Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done that at least twice.” (Islam adalah satu-satunya peradaban yang telah menampatkan keberlangsungan peradaban Barat dalam keraguan, dan ini telah terjadi sekurangnya dua kali).

Dalam kilasan sejarahnya, Islam pernah menaklukkan Barat selama beratus-ratus tahun. Islam pernah menduduki Spanyol selama hampir 800 tahun (711-1492). Kekuatan Islam, yang ketika itu diwakili oleh Turki Uthmani, selama beratus-ratus tahun menjadi “momok” yang sangat menakutkan bagi Barat. Selama dua kali (1529 dan 1683) kota Vienna dikepung oleh Turki Uthmani, yang ketika itu menjadi “The Superpower of the World”.

Jatuhnya Konstantinopel, tahun 1453, oleh Turki Uthmani di bawah pimpinan Sultan Muhammad al-Fatih, juga merupakan pukulan berat bagi Barat. Konstantine adalah nama Kaisar Romawi yang dianggap begitu besar jasanya bagi perkembangan agama Kristen. Dialah yang membangun imperium Romawi Timur. Dia juga yang dikenal memelopori penyelenggaraan Konsili Nicea, 325, yang kemudian merumuskan doktrin-doktrin pokok dalam Teologi Kristen. Setelah runtuhnya imperium Romawi Barat, maka Imperium Romawi Timur masih tetap bertahan sampai masuknya pasukan Islam di bawah pimpinan al-Fatih pada 1453.

Selama dua bulan, sejak 6 April sampai 29 Mei 1453, pasukan al-Fatih (yang ketika itu berumur 29 tahun), mengepung Konstantinopel yang dikenal memiliki pertahanan sangat kuat. Meskipun mengalami perpecahan dalam paham keagamaan dengan Kristen Ortodoks di Romawi Timur, Paus Nicholas V di Roma, mengirimkan tiga kapal perang untuk membantu melawan pasukan al-Fatih. Jadi, meskipun Kristen bersatu, mereka tetap kalah. Begitu juga yang terjadi dalam Perang Salib. Meskipun Barat sudah bersatu padu, tetap kalah melawan Islam.

Memori kolektif sejarah Barat memang menyimpan kenangan pahit dan kekhawatiran terhadap kebangkitan Islam. Apalagi, begitu banyak sarjana Barat yang mengakui bahwa peradaban Barat sedang mengalami kemunduran. Tahun 1917, filosof Jerman Oswald Spengler menulis dua jilid buku berjudul Der Untergang des Abenlandes (The Decline of the West). Buku populer “The Rise and Fall of the Great Powers”, ditutup Paul Kennedy dengan bab “The United States: the Problem of Number One in Relative Decline”.

Sebenarnya merupakan hal yang mudah dipahami, bahwa Barat akan selalu berusaha mempertahankan eksistensinya, dengan menekan bangkitnya peradaban lain, terutama Islam. Kekhawatiran terhadap Islam akan mudah sekali dibangkitkan. Masyarakat Barat, yang secara nominal beragama Kristen, tidak risau jika warga mereka menjadi ateis, Budha, Hindu, atau mengikuti berbagai aliran keagamaan dari Cina. Tetapi, mereka tampak begitu peduli dan risau jika warganya masuk Islam.

Yang justru sulit dipahami, adalah, bahwa ada saja kalangan sarjana Muslim yang justru habis-habisan menjiplak pandangan hidup Barat untuk memimpikan adanya kebangkitan Islam. Mereka berpikir, untuk maju, jangan tanggung-tanggung dalam menjiplak Barat. Ambil semuanya apapun yang dari Barat. Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Muda menyatakan: “Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus.”

(There is only one civilization, and that is European civilization. Therefore, we must borrow western civilizaton with both its rose and its thorn). Banyak yang bermimpi, bahwa dengan mengikuti sekularisme dan liberalisme Barat, Islam akan maju dan mujur. Padahal, yang terjadi bukan mujur, tetapi malah babak belur.

Bandar bin Sultan, Amr Ash 2008!


Tajuk Rencana koran Hizbullah Iran edisi 9 April 2008 menurukan laporan mengenai hubungan pangeran Bandar bin Sultan dari Arab Saudi dengan teror Imad Mughniyah, mantan komandan Hizbullah. Ikuti laporan tersebut!

Seorang pangeran Arab Saudi yang melumuri darahnya dengan meneror salah satu pejuang Hizbullah yang ikhlas jelas sesuai dengan logika Imam Khomeini ra. mengenai permusuhan keluarga Al Saud dengan Islam. Dengan ini, jangan memasukkan keraguan dalam diri anda mengenai cerita bahu-membahunya Arab Saudi dengan Setan Besar. Berikut ini sebuah laporan tentang peran pangeran Bandar bin Sultan, mantan Duta Besar Arab Saudi di Amerika yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Keamanan Nasional Arab Saudi dalam teror syahid Imad Mughniyah, mujahid dan mitos perlawanan.

Teror ini membuktikan betapa keluarga ini merupakan kaki tangan Gedung Putih. Namun teror Imad Mughniyah bukan usaha pertama pangeran Arab Saudi ini dalam melenyapkan tokoh-tokoh pejuang Syiah dan tentu bukan yang terakhir kalinya. Mengenal lebih jauh unsur Amerika ini dan mengetahui langkah-langkah pengkhianatannya terhadap umat Islam sangat membantu untuk membuktikan betapa dia adalah tokoh kunci dalam teror Imad Mughniyah. Pangeran Bandar bin Sultan bin Abdul Aziz Alu Suud adalah anak putra mahkota Arab Saudi saat ini, Sultan Abdul Aziz. Bandar lahir di Thaif pada tahun 1949. Pada tahun 1983 sampai 2005 dia ditugaskan sebagai Duta Besar Arab Saudi di Washington. Bandar bin Sultan oleh sebagian orang disebut sebagai Bandar Bush. Selama hampir tiga dekade Bandar menjadi paling dekatnya duta besar negara terpenting yang menjadi sekutu Amerika di Timur Tengah.

Menurut kebanyakan para analis politik, Bandar bin Sultan punya pengaruh khusus di bagian politik luar negeri Bush, terutama bila itu terkait dengan masalah-masalah Timur Tengah. Pengaruhnya begitu kuat sehingga Bob Woodward, wartawan terkenal Amerika yang punya peran penting dalam membongkar kasus Watergate dalam buku “Plan of Attack” mengklaim bahwa Presiden Amerika, George W. Bush sebelum menyampaikan keputusannya kepada Colin Powell, Menteri Luar Negeri Amerika waktu itu untuk menyerang Irak, terlebih dahulu informasi ini disampaikan kepada Bandar bin Sultan.

Scott McCloud, Pimpinan Redaksi Majalah Time di Kairo yang selama 22 tahun terakhir bertanggung jawab untuk melaporkan kejadian-kejadian di Timur Tengah dan Afrika Utara bagi majalah ini terkait dengan Bandar bin sultan menulis, “Bila saya mengatakan bahwa Bandar bin sultan dalam pengambilan sikap politik luar negeri Amerika soal Timur Tengah punya pengaruh yang sama besar dengan Condoleezza Rice, maka itu bukan sikap yang berlebihan.”

Selama bertahun-tahun, Bandar bin Sultan punya komunitas luar biasa dalam menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh kuat politik di Amerika yang akhirnya dikenal sebagai teman Washington di masa-masa sulit. Sebagai contoh, Bandar bin Sultan punya peran kunci dalam perundingan dengan Libia demi meyakinkan Muammar Qaddafi agar menghentikan program nuklirnya. Menurut tulisan Woodward dalam buku “Veil: Secet Wars of the CIA” yang dicetak tahun 1987 menyebutkan Bandar bin Sultan bahkan di pemerintahan Reagen punya kerja sama dengan penasehat keamanan nasional Amerika sebagai penjamin dana jutaan dolar kepada gerilyawan Kontra di Nicaragua (saat itu Amerika secara hukum tidak mampu melakukan itu). Menurut tulisan Woodward, berdasarkan permintaan bantuan dari CIA, Bandar bin Sultan mengucurkan dana sebesar dua juta dolar kontan untuk mencegah Partai Komunis memegang tampuk kepemimpinan di Italia.

Baru-baru ini, seorang pengamat politik Arab dalam wawancaranya dengan televisi Aljazeera membongkar bagian lain dari langkah-langkah tersembunyi Bandar bin Sultan yang berperan dalam terjadinya kekacauan. Nasser Qandil, Kepala Pusat Riset dan Media Timur Modern di Lebanon dalam wawancaranya dengan Aljazeera mengatakan, “Baru-baru ini, Bandar bin Sultan menyatakan kepada kelompok-kelompok jihad bahwa sebagaimana Uni Soviet adalah musuh kita dahulu, kini Iran menjadi musuh kita dan sikap kita adalah berperang dengan Iran dan seluruh orang Syiah dunia.” Michael Moore, sutradara film dokumentasi terkenal Amerika dalam film terkenalnya Fahrenheit 9/11 menggambarkan hubungan mesra dan luas Bandar bin Sultan dengan para pejabat Gedung Putih sebelum dan sesudah peristiwa 11 September. Dia mengajak para penonton untuk berpikir dengan mengajukan pertanyaan cerdas, “Bagaiamana bisa ketika seluruh kaum muslimin di Amerika dari seluruh etnis dan negara karena peristiwa ini dianggap teroris dan mendapat tekanan di mana-mana, sementara Duta Besar Arab Saudi di Amerika yang jelas-jelas punya hubungan dengan kelompok Al Qaedah tetap mampu menjaga hubungan baiknya dengan para pejabat senior Amerika?”

Bandar bin sultan kembali ke Riyadh pada tahun 2005 dan dengan alasan pribadi meninggalkan pos Duta Besar di Washington. Hanya beberapa hari setelah tiba di Riyadh, kematian Raja Fahd diumumkan. Dengan kejadian ini, Raja Abdullah menjadi Raja Arab Saudi dan Sultan bin Abdul Aziz, ayah Bandar menjadi putra mahkota negara ini. Bandar bin Sultan dalam pergeseran kekuatan di dalam keluarga Suud akhirnya menjadi Sekjen Dewan Keamanan Nasional Arab Saudi. Dengan ini, kebanyakan analis politik menilai pengunduran dirinya sebagai Duta besar di Washington setelah menjabat selama 22 tahun punya kaitan dengan posisinya yang baru. Salah tugas yang diembannya di posnya yang baru ini adalah mengkoordinasi milisi Sunni. Bandar menduduki posisi ini, namun dia tetap menjadi orang Arab Saudi yang punya pengaruh paling besar dan penting di Amerika, bahkan menjadi pribadi di belakang layar dalam diplomasi Timur Tengah.

Peningkatan kehadiran personil Al Qaedah di Irak dan tidak efektifnya metode kekerasan dengan kelompok-kelompok milisi berdampak dimulainya lobi-lobi rahasia Amerika dengan orang-orang Sunni pendukung Al Qaedah. Namun kehadiran secara luas dalam sistem politik baru Irak menjadi pra syarat sebelum memulai segala kerja sama dengan kelompok-kelompok Sunni Irak. Keinginan ini ditentang oleh orang-orang Syiah di negara ini dan membuat Syiah sebagai penghalang besar rencana mereka. Kondisi ini tetap berlangsung sampai kemenangan Hizbullah dalam perang 33 hari menghadapi Rezim Zionis Israel. Kini, Hizbullah tampil sebagai mitos di tengah-tengah masyarakat muslim, baik Syiah maupun Sunni.

Di sisi lain, perbedaan internal di antara kekuatan-kekuatan inti di Lebanon merupakan masalah dan ancaman terbesar bagi pemerintah Fouad Siniora. Perbedaan yang muncul tidak membahayakan orang-orang Syiah sejak Hizbullah muncul menjadi kekuatan besar di Lebanon. Dalam kondisi yang semacam ini, tiba-tiba muncul kelompok Fatah Islam di Utara Lebanon dan setelah sejumlah anggota kelompok ini yang memiliki warga negara Arab Saudi tertangkap, tumbuh satu kecurigaan hubungan kelompok ini dengan Arab Saudi. Fatah Islam merupakan kelompok yang diciptakan Bandar bin Sultan untuk mengontrol kekuatan Hizbullah. Bandar bin Sultan juga pendukung asli bahkan pendiri kelompok 14 Maret Lebanon. Di tengah-tengah para pemimpin kelompok 14 Maret dia mengatakan, “Kalian harus menyertai aku dan akan kalian lihat bahwa kami akan menciptakan sebuah kelompok di Lebanon yang tidak mampu dilawan oleh Hizbullah.” Bandar bin Sultan juga mengatakan, “Saya membeli posisi Perdana Menteri untuk Rafik Hariri dengan harga 50 juta dolar!”

Dengan mencermati tindak-tanduk pangeran Bandar bin Sultan selama ini, Hizbullah sebagai kelompok yang senantiasa langkahnya bertentangan dengan politik bersama Al Saud, Rezim Zionis Israel dan Amerika. Dapat dikatakan bahwa teror salah seorang komandan senior, khususnya ahli strategi Hizbullah merupakan keinginan mereka sejak dahulu. Oleh karenanya, Banda bin Sultan dengan bekerja sama dengan Rezim Zionis Israel, sebagian pejabat Yordania dan Amerika punya perang dalam meneror Imad Mughniyah seperti yang dapat ditemukan dalam berita-berita. Pangeran Arab Saudi ini di tahun 2008 sangat layak bila disebut sebagai Amr Ash. Dia mengaku Islam tapi selalu berpikiran untuk menikam Islam dari belakang, salah satunya adalah teror para mujahid. Dengan demikian, dia telah menorehkan namanya seperti nenek moyangnya sebagai pembunuh para Imam as.

RUSIA SERANG SAUDI JIKA AMERIKA SERANG SYRIA


(SEMANGAT SEKUTU-SEKUTU AMERIKA MEREDUP)

Bagi umat Islam yang hafal Al Qur'an tentu mengetahui apa yang difirmankan Allah tentang orang-orang Arab badui. Dalam satu ayat Allah menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang tidak memahami agama alias tidak berpengetahuan, sementara di ayat lain Allah menyebut mereka sebagai orang-orang munafik yang keterlaluan.

Tentu ada kekhususan bagi orang-orang Arab badui tertentu yang tidak masuk dalam kategori tersebut di atas, namun secara umum demikianlah adanya. Maka kalau seorang Bandar bin Sultan, pangeran Arab Saudi yang beribukan mantan budak yang oleh raja diangkat sebagai kepala inteligen Saudi, berbuat bodoh, hal itu tentu tidak mengherankan.

Kebodohan yang dilakukan Bandar (pers Amerika sering menyebutnya sebagai Bandar Bush karena kedekatannya dengan keluarga penjahat perang George "Dubya" Bush) adalah tindakannya mengancam seorang pemimpin negara besar seperti Vladimir Putin. Sebagai buntut peristiwa itu Vladimir Putin dikabarkan telah mengeluarkan perintah kepada militer Rusia untuk menyerang Saudi secara besar-besaran jika sekutunya, Syria, diserang Amerika.

Kabar yang sangat serius tersebut muncul di berbagai media massa barat maupun Arab, di antaranya The Telegraph News Inggris dan As Safir Lebanon, dan dengan cepat menyebar di media-media online independen.

Menurut berbagai sumber terpercaya Putin sangat marah setelah pertemuannya dengan Bandar bin Sultan di Moskow awal Agustus lalu. Sebagaimana telah disebutkan di blog ini, dalam pertemuan tersebut Bandar membujuk Rusia untuk menghentikan dukungannya atas regim Syria dengan imbalan menarik seperti pembelian perlengkapan militer besar-besaran serta jaminan kepentingan ekonomi Rusia di kawasan Timur Tengah. Namun Putin menolak tawaran tersebut.

Yang tidak diberitakan blog ini dan juga media-media massa lainnya adalah bahwa Putin tersinggung berat oleh tindakan Bandar yang berani mengancam Rusia untuk menggerakkan para teroris binaan Saudi dan mengancam keamanan Rusia, termasuk keamanan even Olimpiade Musim Dingin di kota Sochi yang akan digelar Februari 2014. Pemerintah Rusia dan Saudi sendiri sampai saat ini tidak pernah memberikan keterangan resmi tentang pertemuan tersebut.

"Saya memberi jaminan pada Anda untuk melindungi Olimpiade Musim Dingin mendatang. Kelompok-kelompok Chencnya yang mengancam keamanan even tersebut berada di bawah kontrol kami," kata Bandar kepada Putin.

Lebin jauh Bandar menginformasikan pada Putin bahwa teroris-teroris Chencnya yang kini berada di Syria adalah sekedar "alat" yang digunakan Saudi untuk memberikan tekanan pada pemerintah Syria. "Mereka tidak menakuti kami. Kami menggunakan mereka untuk melawan pemerintah Syria, namun mereka tidak bukan penentu prospek politik Syria," tambah Bandar.

Rusia adalah bangsa besar. Mereka sudah terkenal sebagai bangsa pejuang yang berulangkali menjadi korban agresi bangsa-bangsa lain, dan berhasil mengalahkannya. Mereka pernah mengalahkan tentara Mongol, Tartar, hingga tentara Napoleon, Jepang dan Jerman dalam Perang Dunia II. Namun ujian terbesar bangsa Rusia adalah kala menghadapi penindasan regim komunis zionis Uni Sovyet. Puluhan juta rakyat Rusia diyakini telah tewas selama berkuasanya regim komunis tersebut. Terlebih lagi dengan kepemimpinan Putin yang tegas, Rusia jelas tidak akan bisa membiarkan tingkah kurang ajar seorang Arab badui, bangsa yang sebagian rakyatnya masih buta huruf dan selama ratusan tahun setelah khalifah Ali bin Abi Thalib memindahkan pusat pemerintahan ke Irak, tidak memiliki identitas kebangsaan yang jelas.

Vladimir Putin tentu sudah mengetahui Bandar dan Saudi sebagai aktor penting gerakan separatisme Chechnya yang telah menewaskan ribuan tentara dan rakyat sipil Rusia dan Chechnya, dan Bandar pun seharusnya mengetahui bahwa Putin mengetahui hal itu. Maka apa yang dikatakan Bandar kepada Putin dengan mengakui secara terbuka peran Saudi di balik gerakan separatis Chechnya tidak bisa ditafsirkan lain selain sebagai "olok-olok" Bandar terhadap Putin. Putin masih bisa bersabar dengan olok-olok itu, namun tentu saja ia tidak bisa memaafkannya. Dalam konteks ini sangat wajar jika Putin mengeluarkan perintah untuk menyerang Saudi.


MEREDUPNYA SEMANGAT SEKUTU-SEKUTU AMERIKA


Dalam beberapa hari terakhir sejak munculnya isu senjata kimia oleh regim Syria dan retorika perang yang dikeluarkan para pejabat Amerika dan Inggris dan didengung-dengungkan oleh media massa, suara-suara "serang Syria" terdengar justru semakin meredup.

Dimulai oleh pemerintah Italia yang dengan tegas menolak rencana serangan militer terhadap Syria, disusul kemudian oleh pemerintah Jerman, Kanada, Mesir dan negara-negara sekutu Amerika lainnya. Terakhir dan yang paling telak adalah penolakan parlemen Inggris atas rencana tersebut yang memaksa PM David Cameron akhirnya menurunkan nada suaranya tentang Syria, dari sebelumnya sesumbar akan menyerang Syria meski tanpa restu DK PBB menjadi "menunggu keputusan DK PBB". Kini praktis tinggal Amerika saja yang masih cukup lantang menyerukan suara "serang Syria" yang diikuti oleh seruan-seruan lebih kecil oleh PM Turki Tayyip Erdogan.

Hal ini tentu saja sangat berkebalikan dengan semangat yang ditunjukkan oleh para pendukung Syria seperti Iran, Rusia, Hizbollah hingga Venezuela. Seorang pejabat tinggi Iran mengancam akan menyerang Israel jika Syria diserang sementara Hizbollah menyatakan "tidak akan tinggal diam" jika Syria diserang. Sementara jubir kemenlu Rusia Alexander Lukashevich mengingatkan bahwa serangan ilegal terhadap Syria akan membawa bencara bagi negara-negara  lainnya di seluruh kawasan Timur Tengah hingga Afrika Utara.

Keseriusan Rusia untuk membela Syria juga ditandai dengan perintah yang dikeluarkan Vladimur Putin tgl 17 Mei lalu untuk meningkatkan kesiapan perang Rusia dari status "perang lokal" menjadi "perang regional" dan dalam hal Amerika dan Eropa melibatkan diri dalam konflik Syria, Rusia meningkatkannya menjadi kesiapan "perang skala besar". Rusia, sebagaimana Hizbollah dan Iran terlalu bodoh untuk tidak mengetahui bahwa Syria hanyalah target antara sebelum mereka menjadi korban agresi Amerika berikutnya. Terutama bagi Rusia yang gegabah mengijinkan PBB menetapkan zona larangan terbang atas Libya yang ternyata digunakan untuk menjatuhkan sekutunya Moammar Khadafi. Kala itu Putin tidak berdaya mencegah karena kursi kepresidenan masih dipegang oleh Medvedev, orang yang memerintahkan dubes Rusia di PBB untuk menyetujui. Kini hal yang sama tidak akan dibiarkan oleh Rusia untuk terjadi di Syria, bagaimana pun mahalnya konsekuensi yang harus dibayar.

Saya (blogger) percaya bahwa Presiden Amerika Barack Obama tidak sebodoh Pangeran Bandar dengan mengikuti kemauan Israel dan antek-anteknya untuk menyerang Syria. Namun jikapun hal itu harus terjadi, saya sangat yakin dengan hasilnya sebagaimana keyakinan Presiden Syria Bashar al Assad, yaitu bahwa Syria-lah yang bakal memenangkan peperangan. Source

Terkait Berita: